• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224 UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224 UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224

UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

SKRIPSI

OLEH:

NURUL FARISTIN HESTI FEBRIANTY

NIM. C33211066

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

SURABAYA

(2)

PENGESAHAN

Skripsi yang ditulis oleh Nurul Faristin Hesti Febrianty NIM. C33211066 ini telah dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Slaipsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada hari Rabu, tanggal 27

luli

2016, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syari'ah.

Majelis Mrmaqasah Skripsi:

Penguji I,

Dr. Mugiyati. S.Ag.. M.EI.

r97 r0226t99703200 I

Penguji

III

Moch. Zainul Arifin. S. Ag.. M. Pd.I r97104172007101004

Surabaya, 11 Agustus 2016 Mengesahkaq

Fakultas Symiah dan Huktrm Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

(ttt'

Dr. H. Sahid HM.. M. Ae NIP. 19680309199603 1002

Penguji II,

Penguji IV,

(3)

Yang bertanda tangan c1i barvah irri saya:

Narla

NIM

Fakultas/ I'}rodi

PERNYATAAN

KEASLIAN

IIAK

IMUNI]'AS ANGGOT'A

2',21 LfiJ NO. 17 'fAHIJN 2014 ISI-AM

Nurul Faristin Ilcsti Febrianty c332r r066

Syariah clan I Iukr.rm/ I{ukum l']ublik IslartV IIul<um Pidana Islarn

DPR DALAM PASAL

PERSPEI(TIF HUKLM Judul Skripsi

Dengan sungguh-sr-urgguh mr:nyatal<an bahwa skripsi

ini

secara keselurtilran adalah hasil penelitian/karya saya sendiri. kccuali pacla bagian-bagian yang dimjuk sumbernya.

Surabaya, 13 Juni 2016 Saya yang menyatakan,

(4)

$

KEMENTERIAN AGAMA

UM\TERSITAS

ISLAM

NEGERI

ST}NAN

AMPEL

ST}RABAYA

PBRPUSTAKAAN

Sekretariat Jl. Jendral Achmad Yani 117 Telp. A3l-8431972 Fax. 031-8413300

Email: perpus@uinsby.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN PERSETUruAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagian civitas akademik UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertandatangan di bawah ini, saya:

Fakultas/Jurusan : SYARIAH DAN HUKUM / HUKUM PUBLIK ISLAM

E-mailaddress

:Azmiliyaharfa@gmail.cqnr

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiyah :

Nama NIM

I

Skripsi Yang berjudul:

: NURUL FARISTIN IIESTI FEBRIANTY

-.c33211066

l--l

Lain-lain (...)

HAK IMUMTAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224 UNDANG.UNDANG

NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-mediakar/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pengkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/ mempublikasikannya di Internet atau media launsecarafulhe:d untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenamya

Surabay4 23 Agustus 2016

(5)

PERSETUruAN PEMBIMBING

Skripsi yang ditulis oleh Nurul Faristin Hesti Febrianty NIM. C33211066 dengan judul

"

IIAK MUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224

UNDANG-I]NDANG NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,, iNi tEIAh

diperiksa dan diset uj ui unt uk dimunaqas ahkan.

Sttrabal,a, 1'1 Juni 2016 Pembirnbing,

NrP. 1 96602122007 0l t049

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Hak Imunitas anggota DPR dalam pasal 224 Undang -Undang no. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD” ini, merupakan

hasil penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut: Pertama, bagaimana hak imunitas anggota DPR yang diatur dalam pasal 224 Undang-Undang no. 17 Tahun 2014. Kedua, bagaimana perspektif hukum Islam terhadap Hak Imunitas anggota DPR dalam pasal 224 Undang-Undang no. 17 tahun 2014 Perspektif Hukum Islam.

Hasil penelitian menunjukkan, pertama bahwa Hak Imunitas merupakan hak yang diberikan kepada anggota DPR sebagai perlindungan dalam menjalankan tugas, yang didasarkan pada pasal 20 A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hak Imunitas selanjutnya diatur dalam pasal 80 huruf f dan secara rinci diatur dalam pasal 224 Undang-Undang MD3. Hak Imunitas sebagaimana diatur dalam pasal 224 Undang-Undang MD3 memberikan kekebalan kepada anggota DPR dalam menjalankan tugas, terkait dengan fungsi dan wewenangnya, yaitu tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, pendapat baik dalam bentuk lisan dan tulisan yang disampaikan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR (pasal 224 ayat 1); tidak dapat dituntut karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional (pasal 224 ayat 2); Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan dan pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi dan wewenangnya (pasal 224 ayat 3). Pada pasal 224 ayat (4) diatur tentang pengecualian; serta pada ayat berikutnya (5, 6, 7) tentang mekanisme pemanggilan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.

Kedua, membandingkan konsep Hak Imunitas anggota DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 224 Undang-Undang MD3 perspektif hukum Islam. Dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara spesifik tentang hal tersebut, melainkan

menyebutkan tentang kebebasan berbicara, berpendapat dan bertindak. Berkenaan dengan perintah berbuat baik dalam hal perbuatan, tindakan, serta bersikap lemah lembut dalam berbicara.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... viii

KATAPENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. KajianPustaka ... 9

E. TujuanPenelitian ... 10

F. KegunaanHasilPenelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. MetodePenelitian ... 14

I. SistematikaPembahasan ... 17

BAB II AHLU HALLI WAL ‘AQDI DALAM FIQH SIYASAH ... 19

A. Konsep Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 19

1. Pengertian Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 19

2. Dasar Hukum Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 22

3. Tugas dan Wewenang Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 25

(8)

BAB III HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224

UNDANG-UNDANG NO.17 TAHUN 2014 ... 37

A. Deskripsi Hak Imunitas Anggota DPR ... 37

1. Pengertian Hak Imunitas Anggota DPR ... 37

2. Pengertian dan Fungsi DPR ... 45

B. Tugas dan Wewenang Anggota DPR ... 49

BAB IV HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224 UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 53

A. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR dalam Pasal 224 Undang-undang No. 17 Tahun 2014 ... 53

B. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR Undang-undang No. 17 Tahun 2014 perspektif Hukum Islam ... 59

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam mewajibkan kepada penguasa untuk bermusyawarah dalam

perkara-perkara umum, namun tidak menemukan baik didalam Alquran atau

sunah sebutan atau spesifikasi apa yang disebut dengan Ahlul Halli Wal

‘Aqdi. Dan yang ditemukan dalam praktik Rasulullah saw serta para Khalifah

Ar-Rasyidin, musyawarah dengan beragam gambaran dan peristiwa yang

semuanya mengukuhkan akan komitmen penguasa dalam Islam untuk

bermusyawarah dengan dewan permusyawaratan, dan tidak bersikap egois

yang hanya memegang pendapatnya sendiri dalam perkara itu. Juga

menunjukkan sejauh mana komitmen penguasa dengan pendapat dewan

permusyawaratan tersebut.1

Bahwa banyaknya sebutan kelompok Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam

turats fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah “Dewan Perwakilan

Rakyat” yang para khalifah selalu merujuk kepada mereka dalam

perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mereka

mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khalifah dan juga

memberhentikannya2, yang terdiri dari para ulama, para pemimpin suku dan

1

Ridha. Sayyid Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, juz 4 hlm. 50.

2

(10)

2

pemuka masyarakat menguatkan “kekuasaan besar yang dimiliki kelompok ini

(Ahlul Halli Wal ‘Aqdi) dan jelas menunjukkan bahwa kelompok ini

merupakan lembaga legislatif”.3

Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara

umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan

kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat

yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin

tertinggi Negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan

peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan

yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk

mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak

Allah.4

Di bidang perbandingan antara undang-undang konstitusional modern

dan fikih politik Islam untuk mengatakan bahwa dewan-dewan parlementer

sama dengan majelis permusyawaratan. Kebenaran perkataan ini tidak

terpengaruh dengan adanya perbedaan sekitar apakah kaum muslimin di masa

awal-awal Islam telah mengenal apa yang dinamakan dengan dewan legislatif

atau tidak. Sebab, semua telah sepakat akan adanya Dewan Perwakilan

Rakyat atau Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam komunitas kaum muslimin yang

3

Syalabi Ahmad i, Al-Hukumah wa Ad-Dawlah fil Islam, 1958, hlm. 28.

4

(11)

3

para khalifah melakukan musyawarah dengan merekadalam segala

perkara-perkara penting dan tidak mengambil pendapat mereka sendiri.5

Bila Alquran dan Sunnah sebagai dua sumber perundang-undangan

Islam tidak menyebutkan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi atau Dewan Perwakilan

Rakyat, namun sebutan itu hanya ada di dalam turats fikih kita di bidang

politik keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar

menyeluruh, maka dasar sebutan ini di dalam Alquran ada dalam mereka yang

disebut dengan “ulil amri” dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 59

yaitu sebagai berikut:























“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. “ (Q.S An-Nisa’: 59)6

Berdasarkan perintah di atas, ketaatan terhadap Negara harus tunduk

kepada ketaatan terhadap Tuhan serta Rasul-Nya dan tidak terlepas darinya.

Hal ini dengan jelas berarti bahwa apabila Negara memaksa untuk melanggar

5

Ibid., 81.

6

(12)

4

perintah Tuhan serta batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Rasulullah,

maka Negara kehilangan haknya untuk menuntut ketaatan dari rakyatnya.7

Allah Ta’ala mewajibkan kita mentaati ulil amri diantara kita dan ulil amri

yang dimaksud adalah para imam (khalifah) yang memerintah kita.8

SebagaimanaAllah SWT telah menjelaskan juga dalam firman Allah

dalam surat An-Nisa ayat 83, yaitu :

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).

Dari penjelasan tersebut mengharuskan untuk taat kepada ulil amri,

para pemimpin ini mampu mengembalikan manusia kepada

ketentuan-ketentuan yang di bawa oleh Rasul dalam seluruh aspek kehidupan untuk

kebaikan yang menyeluruh. Apabila ulil amri telah bermufakat menentukan

suatu peraturan maka rakyat wajib mentaatinya dengan syarat ulil amri itu

bisa di percaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul.

Sesungguhnya ulil amri adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan

7

Al-Maududi. Abul A’la, Hukum & Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1995), 244.

8

(13)

5

suatu masalah dan dalam menentukan kesepakatan mereka.9Sudah jelas bahwa

suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan Tuhan tidak dapat

melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Alquran dan Sunnah

sekalipun konsensus rakyat menuntutnya. Maka secara otomatis timbul

prinsip bahwa lembaga legislatif dalam Negara Islam sama sekali tidak berhak

membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan

Tuhan dan Rasul-Nya.

Bagi Negara yang menganut kedaulatan rakyat keberadaan lembaga

perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan, tidak mungkin membayangkan

terwujudnya suatu pemerintah yang menjunjung demokrasi tanpa kehadiran

institusi tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal 68 UU No. 17 Tahun 2014

tentang MPR, DPR, DPD, DPRD adalah DPR merupakan lembaga perwakilan

rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara.10 Setelah amandemen,

DPR mengalami perubahan fungsi legislasi yang sebelumnya berada di tangan

presiden Maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke

DPR.11

Untuk benar-benar melaksanakan demokrasi pasca amandemen UUD

1945 mereformasikan keanggotaan DPR yaitu: anggota DPR terdiri dari

anggota-anggota golongan politik (partai) yang dipilih melalui pemilu.12

Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih

9

Djaelani. Abdul Qadir, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Jakarta : Gramedia, 2001), 92.

10

Pasal 68 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.

11

Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 pasca amandemen.

12

(14)

6

berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan

yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di

kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota. Kedudukan DPR diperkuat

dengan adanya perubahan UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 7C yang

menyebutkan “ Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR “.

Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga keduanya memiliki legitimasi

yang sama dan kuat sehingga masing-masing tidak bisa saling menjatuhkan.13

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa amandemen UUD 1945

telah menempatkan DPR sebagai lembaga legislasi yang sebelumnya berada di

tangan presiden. Dengan demikian DPR mempunyai fungsi politik yang

sangat strategis, yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan kenegaraan.

Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR sangat dominan, karena

kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya. Selain berkaitan dengan proses

legislasi dalam kewenangannya DPR sebagai penentu kata putus dalam bentuk

memberi persetujuan terhadap agenda kenegaraan.14

Dalam undang-undang No. 17 Tahun 2014 ayat (2) ketentuan

dimaksud dinyatakan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut didepan

pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang

dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR

ataupun diluar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan

kewenangan DPR. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa

13

Tutik. Titik Triwulan, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2006), 135.

14

(15)

7

selama seorang anggota DPR mengemukakan pernyataan, pertanyaan,

dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis

sepanjang dalam rapat DPR ataupun diluar rapat DPR serta berkaitan erat

dengan fungsi serta tugas dan kewenangan DPR tidak dapat dituntut didepan

pengadilan, dan inilah yang selanjutnya disebut hak imunitas.

Keberadaan hak imunitas sebenarnya terkait erat dengan fungsi, tugas

dan kewenangan DPR. Fungsi DPR secara institusional meliputi fungsi

legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Keterkaitan hak imunitas

dan fungsi, tugas dan kewenangan tersebut yang melekat pada anggota DPR

berlaku baik anggota berada didalam rapat DPR ataupun diluar rapat DPR.

Sehingga sepanjang seorang anggota mengemukakan pernyataan, pertanyaan,

dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di

dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR tidak dapat dituntut didepan

pengadilan. Namun, demikian apabila dalam penyampaian pernyataan,

pertanyaan, dan atau pendapat yang dikemukakan oleh anggota tersebut tidak

benar atau dirasa tidak etis dan dinilai mencemarkan nama baik seseorang

maka mekanismenya adalah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan.15

Dengan demikian hak imunitas seorang anggota DPR diharapkan dapat

mengaktualisasikan keberadaannya sebagai wakil rakyat untuk melakukan

fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Namun tentunya

dengan batasan dalam ruang lingkup fungsi, tugas dan wewenang DPR.

15

(16)

8

Bagaimana jadinya apabila dalam penggemukan pernyataan, pertanyaan dan

pendapat dalam menjalankan fungsi DPR, seorang anggota DPR dilanda

perasaan takut karena nantinya akan dituntut dijalur hukum, justru akan

kontra produktif peran anggota parlemen kita sebagai wakil rakyat di mata

masyarakat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

menganalisa dan menuangkannya dalam tulisan yang berbentuk skripsi dengan

judul :

“ Hak Imunitas Anggota DPR dalam pasal 224 Undang-undang No. 17

Tahun 2014 Perspektif Hukum Islam”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat

penulis identifikasikan dalam hal ini, sebagai berikut:

1. Syarat menjadi anggota DPR.

2. Konsep Hak Imunitas dalam Perspektif Hukum Islam.

3. Konsep Hak Imunitas dalam UU No. 17 Tahun 2014.

4. Pengertian Hak Imunitas anggota DPR.

5. Aktualisasi Hak Imunitas anggota DPR terhadap pasal 224 dalam

(17)

9

Dari identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif dalam pasal 224 UU

No. 17 Tahun 2014?

2. Bagaimana Analisis Hak Imunitas anggota DPR dalam pasal 224 UU No.

17 Tahun 2014 perspektif Hukum Islam

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah tersebut

di atas, maka rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam hal ini yaitu

sebagai berikut:

1. Bagaimana Hak Imunitas anggota DPR perspektif dalam pasal 224 UU

No. 17 Tahun 2014?

2. Bagaimana analisis terhadap Hak Imunitas Anggota DPR dalampasal 224

UU No. 17 Tahun 2014 perspektif Hukum Islam?

D. Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa

sumber yang membicarakan masalah tersebut diantaranya:

Skripsi karya Moh. Rifa’i Suparlan mahasiswa Fakultas Syariah

(18)

10

Serta Wewenang MPR Dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi: Studi Perbandingan “.

Skripsi ini membahas dengan membandingkan tugas serta wewenang MPR

dengan Ahlul halli Wal ‘Aqdi, sehingga terdapat perbedaan dengan skripsi

yang penulis buat karena berbeda dalampembahasannya secara eksplisit lebih

condong ke Hak Imunitasnya Anggota DPR dalam Undang-undang Baru.16

Skripsi karya Sakinah Binti Ibrahim mahasiswa Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 1998 yang berjudul

“Kedudukan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi Dalam Ketatanegaraan Islam“. Skripsi ini

membahas kedudukan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam kajian Fiqh

Siyasah/ketatanegaraan Islam, sehingga terdapat perbedaan juga dengan

skripsi yang penulis buat, karena penulis menggunakan dua sudut pandang

yaitu dalam kajian fiqh siyasah dan Tatanegara di indonesia.17

Berdasarkan kajian diatas jelas membedakan dengan penelitian yang

penulis buat. Hal ini tampak jelas dari permasalahan yang diangkat peneliti

dalam tulisan ini mengangkat tentang hak imunitas anggota DPR dalam

kajian hukum positif dan Islam. sehingga penelitian tentang hak imunitas

anggota DPR dalam kajian fiqh siyasah dan UU No. 17 Tahun 2014

diharapkan dapat menambah wawasan ilmu terutama di bidang ilmu hukum

pada umumnya.

16 Suparlan. Moh Rifa’i, “ Tugas Serta Wewenang MPR dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi: Studi Perbandingan” (Skripsi—Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 1992).

17 Ibrahim. Sakinah Binti, “ Kedudukan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi Dalam Ketatanegaraan Islam “

(19)

11

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Hak Imunitas yang dimiliki oleh Anggota DPR.

2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengaktualisasikan hak imunitas

tersebut ke dalam perspektif hukum Islam.

F. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan penelitian ini, peneliti berharap semoga penelitian ini

dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun secara teoritis, sebagai

berikut:

a) Praktis

Kegunaan penulisan skripsi ini selain untuk meningkatkan pengetahuan

dan memperluas wawasan masyarakat dan penulis sendiri, serta

diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada

penegak hukum mengenai Hak Imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR

menurut pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

b) Teoritis

Hasil dari penelitian skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dalam pengkajian ilmu hukum sumber inspirasi dalam rangka memberikan

kontribusi ilmiah, khususnya mengenai hak imunitas anggota DPR sejalan

(20)

12

pengetahuan khususnya mengenai masalah aktualisasi hak imunitas

anggota DPR bagi masyarakat yang telah diatur dalam UU No. 17 Tahun

2014.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari berbagai interpretasi yang beranekaragam dalam

memahami penelitian ini, maka peneliti menganggap perlu untuk menjelaskan

beberapa istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Dari terminology hukum kata Imunitas dalam bahasa inggris “immunity“

berarti kekebalan, kata lainnya “Imunis” yang menyatakan “tidak dapat

diganggu gugat” terkait dengan tindakan seseorang dalam lingkup tertentu

seperti korps diplomatik atau anggota legislatif Hak Imunitas adalah hak

yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan,

pertanyaan, dan pendapat yang disampaikan baik secara lisan maupun

tertulis dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR dengan pemerintah dan

rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dan anggota DPR terkait hak imunitasnya tidak dapat dituntut di muka

pengadilan karena sikap, tindakan dan kegiatan di dalam rapat DPR

maupun luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan

konstitusional DPR atau anggota DPR.

2. Ahlul Halli Wal ‘Aqdi adalah lembaga perwakilan yang menampung dan

menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota Ahlul Halli Wal

(21)

13

profesi, merekalah yang bertugas menetapkan dan mengangkat kepala

Negara sebagai pemimpin pemerintahan.18

3. DPR/Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga utama yang menjalankan

fungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Lembaga ini

mempunyai fungsi legislasi, pengawasan (controlling), dan penganggaran

(budgeting). Dalam UUD 1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi

legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah Dewan Perwakilan

Rakyat (selanjutnya disebut dengan DPR)19. Sebelum perubahan UUD

1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara tertinggi. Di bawahnya mendapat

lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi termasuk

DPR. Dalam kedudukannya senbagai lembaga tertinggi negara, MPR

pemegang kekuasaan negara tertinggi karena lembaga ini merupakan

penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu DPR yang merupakan

lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa

dapat mengawasi tindakan-tindakan Presiden. Setelah amandemen, DPR

mengalami perubahan fungsi legislasi yang sebelumnya berada ditangan

Presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah

ketangan DPR20.

18

Iqbal Muhammad , Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), 138.

19

Jimly Assiddique, Pokok-pokok Hukum Tatanegara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : BIP, 2007), 186.

20

(22)

14

4. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang suatu kejadian atau

peristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau peristiwa

tersebut.21

5. Fiqih Siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas

tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya

dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, pengaturan, dan

kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan

ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan

menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum

normatif yang dimana menekankan tentang materi hukum yaitu UUD 1945

dan Undang-undang MD3. Serta didukung dengan literatur yang ada

mengenai pokok masalah yang dibahas. adalah suatu cara atau jalan yang

ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam

suatu penelitian untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap

21

(23)

15

permasalahan.22 Untuk memperoleh dan membahas data dalam penelitian ini

penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif disebut

penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu dengan jalan melakukan

penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, kembali lagi pada fungsi

penelitian yaitu mencari kebenaran korespondensi, sesuai atau tidak

hipotesis dengan fakta yang berupa data. Library Research menurut

Bambang Waluyo adalah metode penelitian ini penelitian hukum

normatif.23 dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis

seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu suatu metode

penelitian dengan mengumpulkan data-data yang tertuju pada masa

sekarang, disusun, dijelaskan, dianalisa dan diinterpretasikan dan kemudian

disimpulkan.24

2. Sumber Data

Sumber-sumber penelitian terdiri dari dua sumber diantaranya adalah

sumber primer dan sumber sekunder. Bahan hukum primer merupakan

22

Subagyo Joko, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994), 2.

23

Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), 50.

24

(24)

16

bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi tau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan. Sedangkan bahan-bahan sekunder

berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi.publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.25

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute approach)26

Pendekatan perundang-undangan adalah adanya peraturan

perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut.

Perundang-undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa legislation

maupun regulation. Oleh karena itulah untuk memecahkan suatu isu

hukum, mungkin harus menelusuri sekian banyak berbagai produk

peraturan perundang-undangan.

b. Pendekatan Historis

Pendekatan Historis yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum

seperti peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum dari

waktu ke waktu.dan bahan bahan yang dikumpulkan harus mempunyai

relevansi dengan isu yang akan dipecahkan.

25

Subagyo Joko, Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek...,141.

26

(25)

17

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dapat

mengumpulkan aturan perundang-undangan atau putusan-putusan

pengadilan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Akan tetapi yang lebih

esensial adalah penelusuran buku-buku hukum (treatises). Karena di dalam

buku itulah banyak terkandung konsep-konsep hukum.

4. Analisis Data

Adapun untuk menganalisis data, penulis menggunakan deskriptif

analisis, karena sebagian sumber data dari penelitian ini berupa informasi

dan berup teks dokumen. Maka penulis dalam menganalisis menggunakan

teknik analisi dokumen yang sering disebut content analisys. Disamping itu

data yang dipakai adalah data yang bersifat deskriptif, yang

mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian dan analisis data yang

dipergunakan dengan pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data

sekunder.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam memahami hasil penelitian ini, maka

penulis mensistematisasikan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai

(26)

18

BAB I : Pendahuluan, dalam bab ini peneliti memaparkan seluruh

isi penelitian secara umum yang terdiri dari : 1. Latar

belakang, 2. Identifikasi dan batasan masalah, 3. Rumusan

masalah, 4. Kajian pustaka, 5. Tujuan penelitian, 6.

Kegunaan hasil penelitian, 7. Definisi Operasional, 8.

Metode Penelitian, 9. Sistematika pembahasan.

BAB II : Dalam bab ini penulis akan membahas tentang Ahlul Halli

Wal Aqdi dalam Fiqh Siyasah.

BAB III : Dalam bab tiga ini peneliti membahas tentang konsep Hak

imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR dalam

Undang-undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,

DPRD.

BAB IV : Dalam bab empat ini diuraikan analisis tentang aktualisasi

Hak imunitas anggota DPR menurut UU No. 17 Tahun

2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dalam Kajian

Hukum Islam.

(27)

BAB II

AHLUL HALLI WAL ‘AQDI DALAM FIQH SIYASAH

A. Konsep Ahlul Halli Wal ‘Aqdi

1. Pengertian ahlul halli wal ‘aqdi

Secara bahasa Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi terdiri dari tiga kata; Ahlul,

yang berarti orang yang berhak (yang memiliki). Halli, yang berarti

melepaskan, menyesuaikan, memecahkan. ‘Aqdi, yang berarti mengikat,

mengadakan transaksi, membentuk. Para ahli fiqh siyasah merusmuskan

Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk

memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat. Dengan kata lain,

Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi adalah lembaga perwakilan yang menampung dan

menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.

Al-Mawardi menyebut Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdidengan Ahl

al-ikhtiyar1, karena merekalah yang berhak memilih khalifah. Sedangkan Ibnu

Taimiyah menyebutkan Ahl Al- Syaukah, sebagian lagi menyebutkan

dengan ahl al-Syura atau ahl al-Ijma’. Sementara al- Baghdadi menamakan

mereka dengan ahl al-Ijtihad. Istilah yang lebih populer dipakai pada awal

pemerintahan Islam tentang hal ini adalah ahl al-Syura. Pada masa khalifah

empat khususnya pada masa ‘Umar istilah ini mengacu kepada pengertian

1

(28)

20

beberapa sahabat senior yang melakukan musyawarah untuk menentukan

kebijaksanaan negara dan memilih pengganti kepala negara. Mereka adalah

enam orang sahabat senior yang ditunjuk ‘Umar untuk melakukan

musyawarah menentukan siapa yang akan menggantikannya setelah

meninggal.

Berbagai pengertian yang dikemukakan mengenai Ahlu-Halli Wa

al-‘Aqdioleh pakar muslim secara tersirat menguraikan kategori

orang-orang yang representatif dari berbagai kelompok sosial, memiliki profesi

dan keahlian berbeda baik dari birokrat pemerintahan maupun lainnya.

Walaupun tidak ada kejelasan apakah dipilih oleh rakyat atau langsung

ditunjuk oleh kepala pemerintahan. Dengan kata lain anggota-anggotanya

harus terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang diakui tingkat keilmuan

mereka, sementara cara pemilihan adalah suatu hal yang bersifat relatif,

berarti banyak bergantung pada situasi dan kondisi zaman.2

Ada pendapat beberapa ahli mengenai Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi, yaitu:

a. An-Nawawi dalam Al-Minhaj Ahl Halli waal ‘Aqdi adalah para ulama,

para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat

yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.3

b. Muhammad Abduh menyamakan ahl al-hall wa al’aqdi dengan ulil amri

yang disebut dalam Alquran surat An-Nisa ayat 59. Ia menafsirkan Ulil

2

Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, (Jakarta: Granit, 2004), hal. 74.

3

(29)

21

Amri atau Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi sebagai kumpulan orang dari

berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat. Abduh

menyatakan yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Golongan

Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi dari kalangan orang-orang muslim. Mereka itu adalah

para amir, para hakim, para ulama, para militer, dan semua penguasa dan

pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan

dan kemaslahatan publik4 lebih lanjut ia menjelaskan apabila mereka

sepakat atas suatu urusan atau hukum maka umat wajib mentaatinya

dengan syarat mereka itu adalah orang-orang muslim dan tidak

melanggar perintah Allah dan Sunnah Rasul yang mutawatir.

c. Rasyid Ridha juga berpendapat Ulil Amri adalah Ahlu-Halli Wa

al-‘Aqdi. Ia menyatakan kumpulan ulil amri dan mereka yang disebut

Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari

umat yang terdiri dari berbagai ulama, para pemimpin militer, para

pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang,

petani, para pemimpin perusahaan, para pemimpin partai politik dan

para tokoh wartawan.5

d. Al-Razi juga menyamakan pengertian antara Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdidan

ulil amri yaitu para pemimpin dan penguasa.6

4

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, hal. 181.

5

Muhammad, Dhiya al-Din al-Rayis, hal. 167-168.

6

(30)

22

e. Al-Maraghi rumusannya sama seperti yang dikemukakan oleh

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.7

f. Al-Mawardi merumuskan beberapa syarat, yaitu berlaku adil dalam

segala sikap dan tindakan, berilmu pengetahuan dan memiliki wawasan

dan kearifan.8

2. Dasar hukum ahlul halli wal ‘aqdi

Menurut Muhammad Abduh Ulil Amri adalah Ahlu-Halli Wa

al-‘Aqdiyaitu kumpulan orang-orang profesional dalam bermacam keahlian

ditengah masyarakat, mereka adalah orang-orang yang mempunyai

kapabilitas yang telah teruji. Mereka adalah para amir, hakim, ulama’,

pemimpin militer dan semua pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat

islam dalam berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan

publik.9Adapun yang disebutkan dengan adanya dasar Ahlu al- Halli Wa al-

‘Aqdidalam kitab Allah, yakni ulil amri legislatif dan pengawas atas

kewenangan eksekutif, terutama pimpinan tertinggi negara, ia hanya

disebutkan dengan lafal Al-Ummah, dan tugasnya hanya terbatas oleh dua

hal. Pertama, mengajak pada kebaikan, termasuk di dalamnya segala

perkara umum yang diantaranya menetapkan hukum atau peraturan untuk

rakyat yang dibuat lewat musyawarah. Kedua, menindak para penguasa

7

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid V, Marhaba at Mshthafa al-Bat al-Halabi, Mishr 1389/1979, hal. 72-73

8

Imam Al-Mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah; Hukum-hukum penyelenggaraan negara dalam syariat Islam, hal. 6

9

(31)

23

yang zalim, yakni yang melakukan penyimpangan dalam pemerintahan.10

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan rakyat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.

Dari pengertian secara bahasa di atas, dapat kita simpulkan

pengertian Ahlu al- Halli Wa al- ‘Aqdisecara istilah yaitu orang-orang yang

berhak membentuk suatu sistem di dalam sebuah negara dan

membubarkannya kembali jika dipandang perlu. Bila Alquran dan sunnah

sebagai dua sumber perundang-undangan Islam tidak menyebutkan Ahlu al-

Halli Wa al- ‘Aqdiatau Dewan Perwakilan Rakyat, namun sebutan itu

hanya ada dalam turats fikih kita di bidang politik keagamaan dan

pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar menyeluruh, maka dasar

sebutan ini di dalam Alquran disebut dengan Ulil Amri.

Ulil amri adalah istilah syar’i yang terdapat didalam Al-quran. Ulil

amri dalam konteks semacam ini lebih terkesan sebuah sosok dan tokoh,

atau sekumpulan sosok dan tokoh yang harus ditaati perintah-perintahnya

selama itu sesuai dengan syara’. Oleh karena itu cara mengembalikan

10

(32)

24

permasalahan politik kepada ulil Amri lebih banyak menggunakan istilah

Ahlu al- Halli Wa al- ‘Aqdi.

Adanya dasar Ahlu al- Halli Wa al- ‘Aqdidalam kitab Allah, yakni

ulil amri legislatif dan pengawas atas kewenangan eksekutif, terutama

pimpinan tertinggi negara. Hanya disebutkan dengan lafal Al-Ummah dan

tugasnya hanya terbatas pada dua hal. Pertama, mengajak kepada kebaikan

termasuk di dalamnya segala perkara umum yang diantaranya menetapkan

hukum atau peraturan untuk rakyat yang dibuat lewat musyawarah.Kedua,

menindak para penguasa yang zalim, yakni yang melakukan penyimpangan

dalam pemerintahan.

Apabila Ulil Amri telah bermufakat menetukan suatu peraturan,

rakyat wajib mentaatinya, dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan

tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul. Sesungguhnya Ulil

Amri adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah

dan dalam menentukan kesepakatan mereka.11 Berbagai pengertian yang

dikemukakan mengenai Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdioleh pakar muslim secara

tersirat menguraikan kategori orang-orang yang representatif dari berbagai

kelompok sosial, memiliki profesi dan keahlian berbeda baik dari birokrat

pemerintahan maupun lainnya.

Walaupun tidak ada kejelasan apakah dipilih oleh rakyat atau

langsung ditunjuk oleh kepala pemerintahan. Dengan kata lain

11

(33)

25

anggotanya harus terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang diakui tingkat

keilmuan mereka, sementara cara pemilihan adalah suatu hal yang bersifat

relatif, berarti banyak bergantung pada situasi dan kondisi zaman.12

3. Tugas dan wewenang ahlul halli wal ‘aqdi

Ada sepuluh tugas yang harus dilakukan seorang imam (khalifah);

1) Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang establish, dan ijma’ generasi salaf. Jika muncul pembuat bid’ah, atau

orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan.

2) Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara, dan mengehentikan perseteruan diantara dua pihak yang berselisih, agar keadilan menyebar secara merata, kemudian orang tiranik tidak sewenang-wenang, dan orang teraniaya tidak merasa lemah.

3) Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci, agar manusia dapat leluasa bekerja, dan berpergian ketempat manapun dengan aman dari gangguan terhadap jiwa dan harta.

4) Menegakkan supremasi hukum (hudud) untuk melindungi larangan-larangan Allah Ta’ala dari upaya pelanggaran terhadapnya, dan melindungi hak-hak hamba-hamba-Nya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya.

5) Melindungi daerah-daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh, dan kekuatan yang tangguh hingga musuh tidak mampu mendapatkan celah untuk menerobos masuk guna merusak kehormatan, atau menumpahkan darah orang muslim, atau orang yang berdamai dengan orang muslim (Mu’ahid).

6) Memerangi orang yang menentang Islam setelah sebelumnya ia didakwahi hingga ia masuk Islam, atau masuk dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu dzimmah), agar hak Allah Ta’ala terealisir yaitu

kemenangan-Nya atas seluruh agama.

7) Mengambil Fai (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa

pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan Syari’at

secara tekstual atau ijtihad tanpa rasa takut dan paksa.

12

(34)

26

8) Menentukan gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam Baitul Mal (kas negara) tanpa berlebih-lebihan, kemudian mengeluarkannya tepat pada waktunya, tidak mempercepata atau menunda pengeluarannya.

9) Mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi masalah keuangan, agar tugas-tugas ini dikerjakan oleh orang-orang yang ahli, dan keuangan dipegang oleh orang-orang yang jujur.

10)Terjun langsung menangani persoalan segala persoalan, dan menginspeksi keadaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama.

Tugas-tugas tersebut, tidak boleh ia delegasikan kepada orang lain

dengan alasan sibuk istirahat atau ibadah. Jika tugas-tugas tersebut ia

limpahkan kepada orang lain, sungguh ia berkhianat kepada ummat, dan

menipu penasihat. Allah Ta’ala berfirman;

Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (pemimpin) dimuka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa

nafsu , karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Shaad:

26).

Pada ayat diatas Allah SWT tidak hanya memerintahkan

pelimpahan tugas, namun lebih dari itu Dia memerintahkan penanganan

langsung. Ia tidak mempunyai alasan untuk mengikuti hawa nafsu. Jika hal

itu ia lakukan, maka ia masuk kategori orang tersesat. Inilah kendati

pelimpahan tugas dibenarkan berdasarkan hukum agama dan tugas

(35)

27

B. Hak-hak Ahlul Halli Wal Aqdi

Para ulama ushul fiqh menjelaskan bahwa di dalam Islam, kekuasaan

(kedaulatan) ada ditangan umat, yang diselenggarakan oleh Ahlul Halli Wal

Aqdi. Kelompok ini mempunyai wewenang untuk mengangkat khalifah dan

para Imam, juga untuk memecatnya jika musyawarah sudah terpenuhi demi

kepentingan umat. Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam

perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan

dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan salah satu dari dasar-dasar

syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih

pemimpin tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup

melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai

wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan

penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap suatu

hak dari hak-hak Allah.

Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall wal-aqd ini tampak hak-hak

sebagai berikut:

1. Ahl al-hall wal-aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat imam.

2. Ahl al-hall wal-aqdi mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.

(36)

28

4. Ahl al-hall wal-aqdi tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.

5. Ahl al-hall wal-aqdi mengawasi jalannya pemerintahan, wewenang no 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang no 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan wewenang no 4 adalah wewenang DPA di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945.

Menurut Al-Mawardi, imamah dilembagakan untuk menggantikan

kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur

kehidupan dunia. Pelembagaan imamah, menurutnya adalah fardhu kifayah

berdasarkan ijma’ ulama13. Pandangannya didasarkan pula pada realitas

sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik

dari Bani Umayyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan

politik umat Islam. Pandangannya ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang

menyatakan ma la yatimmu al-wajibilla bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban

tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat tu juga

hukumannya wajib).

Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib,

sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka

hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah). Hal ini juga sesuai

dengan kaidah amr bi syay’ amr bi wasa’ilih (perintah untuk mengerjakan

sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan

penghubung-penghubungannya). Negara adalah alat atau penghubung untuk menciptakan

kemaslahatan bagi manusia.

13

(37)

29

Al-Mawardi berpendapat bahwa pemilihan kepala negara harus

memenuhi dua unsur, yaitu ahl al-ikhtiyar atau orang yang berwenang untuk

memilih kepala negara, dan ahl al-imamah atau orang yang berhak menduduki

jabatan kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil,

mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang

luas serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik

untuk negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi tujuh

persyaratan yaitu: adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat

panca inderanya, punya kemampuan menjalankan pemerintahan demi

kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan Islam dan berjihad

untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy.14

Ahl al-ikhtiyar inilah yang dalam teori Al-Mawardi disebut

Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi (orang-orang yang dapat melepas dan mengikat). Kepala

negara dipilih berdasarkan kesepakatan mereka. Sayangnya, Al-Mawardi tidak

menjelaskan prosedur pemilihan Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi. Hal ini mungkin

karena dalam praktiknya keanggotaan mereka ditentukan dan diangkat oleh

kepala negara. Karenanya, kedudukan mereka menjadi tidak independen. Ini

mengakibatkan Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi tidak mampu menjalankan fungsinya

sebagai alat kontrol terhadap kepala negara. Apalagi kalau dikaitkan dengan

pendapatnya bahwa kepala negara juga dapat diangkat berdasarkan wasiat

kepala negara sebelumnya.15

14

Ibid,. hal. 6.

15

(38)

30

Al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kandidat kepala

negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kepada

kandidat yang paling memenuhi kualifikasi diminta kesediaannya. Dalam hal

ini Al-Mawardi menolak pemaksaan terhadap kandidat kepala negara, sebab

jabatan kepala negara merupakan kontrak yang harus dilakukan kedua belah

pihak atas dasar kerelaan. Kalau kandidat kepala negara bersedia dipilih, maka

telah dimulailah sebuah kontrak sosial antara kepala negara dan masyarakat

yang diwakili oleh Ahl al-ikhtiyar. Mereka melakukan bay’ah terhadap kepala

negara terpilih untuk kemudian diikuti oleh masyarakat islam.

Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara

kepala negara sebagai penerima amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah.16

Menurut Al-Mawardi, secara garis besar ada 10 tugas dan kewajiban kepala

negara terpilih, yaitu:

a) Memelihara Agama

b) Melaksanakan hukum diantara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang

terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan teraniaya

c) Memelihara keamanan dalam negeri agar orang dapat melakukan

aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan aman

d) Menegakkan hudud

e) Membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi negara dari

serangan musuh

16

(39)

31

f) Melakukan jihad terhadap orang yang menolak ajaran islam setelah diajak

g) Memungut harta fa’i dan zakat dari orang yang wajib membayarnya

h) Membagi-bagikannya kepada yang berhak

i) Menyampaikan amanah

j) Memperhatikan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik

pemerintahannya terhadap masyarakat dan pemeliharaannya terhadap

agama.17

Dalam kaitannya dengan fungsi keagamaan kepala negara,

Al-Mawardi menyatakan bahwa penguasa adalah pelindung agama. Dialah yang

melindungi agama dari pendapat-pendapat sesat yang merusak kemurnian

agama, mencegah muslim dari kemurtadan dan melindunginya dari

kemungkaran. Bagi Al-Mawardi, karena adanya hubungan timbal balik antara

agama dan penguasa, wajib hukumnya bagi umat islam mengangkat penguasa

yang berwibawa dan tokoh agama sekaligus. Dengan demikian, agama

mendapat perlindungan dari kekuasaan dan kekuasaan kepala negara pun

berjalan diatas rel agama.18

Namun Al-Mawardi juga menegaskan kemungkinan tidak bolehnya

umat taat kepada kepala negara apabila pada dirinya terdapat salah satu dari

tiga hal, yaitu19:

(1) Menyimpang dari keadilan (berbuat fasik)

17

Ibid,. hal. 16.

18

Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din,terjemahan Ibrahim Syu’aib, Etika Agama dan Dunia, hal. 100-101.

19

(40)

32

(2) Kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya

(3) Dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau ditawan oleh musuh.

Sifat tidak adil kepala negara dapat dilihat dari kecenderungannya

memperturutkan syahwat (nafsu) seperti melakukan perbuatan yang dilarang

agama dan mungkar serta melakukan hal-hal yang syubhat. Perbuatan tersebut

menjatuhkan kredibilitas kepala negara sebagai pemimpin, sehingga ia tidak

pantas memangku jabatannya lagi.

Namun demikian, Al-Mawardi menegaskan bahwa hilangnya fungsi

pancaindra kepala negara tidak serta-merta menyebabkan hilangnya hak

kekhalifahan dan ketaatan rakyak kepadanya. Menurutnya, hilangnya fungsi

akal dan penglihatan menyebabkan hilangnya hak khilafah dan ketaatan,

karena hal ini sangat vital bagi kepala negara dalam melaksanakan tugas-tugas

kenegaraan. Sementara hilangnya kemampuan merasa atau mencium tidak

mengakibatkan hilangnya hak khilafah dan ketaatan rakyat kepada kepala

negara, karena hal ini tidak berhubungan sama sekali dengan kemampuan akal

dan kesanggupannya untuk melakukan tugas-tugas kenegaraan. Adapun

hilangnya kemampuan mendengar bicara, menurut Al-Mawardi, masih

diperdebatkan para ulama. Ada yang menyatakan hal demikian

(41)

33

Menurut Al-Mawardi20, ada dua kemungkinan akibat bila kepala

negara dikuasai oleh orang-orang dekatnya. Kalau orang-orang dekatnya

menguasainya tetapi masih menjalankan kebaikan dan tidak menyusahkan

rakyat, maka kepala negara tetap dibiarkan dalam jabatannya. Tetapi bila

tindakan dan perbuatan orang-orang dekatnya sudah menyimpang dari agama

dan keadilan , maka mereka harus ditindak. Demikian juga kalau kepala

negara ditawan musuh dan tidak dapat melepas diri, maka umat islam harus

segera mencari penggantinya untuk menjalankan roda pemerintahan sehingga

tidak terjadi kevakuman politik.

Semenjak berakhirnya masa pemerintahan khulafaurrasyidin

sektarianisme Arab Islam muncul mengatasnamakan Islam sebagai ruh dari

negara dan pemerintahan yang sedang dipegang oleh suatu dinasti yang

sedang berkuasa. Sebagai penguasa dinasti, sang penguasa tentu

mengutamakan pula kepentingan dinastinya. Oleh karena itu penguasa harus

menjaga imagenya sebagai penguasa Islam dan untuk tujuan dimaksud para

ulama tidak boleh diabaikannya sehingga ia senantiasa harus berusaha untuk

menetapkan sebagaian diantaranya sebagai pembantu dalam mengeluarkan

hukum dan undang-undang yang disetujui mereka dan dengan demikian dapat

diakui bernafaskan Islam21. Akan tetapi, kenyataannya, tidak semua ulama

bersedia untuk tugas itu, apalagi apabila telah terbukti bahwa kebenaran dan

keadilan penguasa meyakinkan para ulama bahwa ia lebih patut disebut

20

Muhammad Iqbal, Pemikiran politik islam dari masa klasik hingga indonesia kontemporer, hal. 23.

21

(42)

34

sebagai penguasa yang dzalim yang suka bertindak sewenang-wenang dan

seorang yang alim.

Di setiap era, dalam Islam, berulangkali tampil para ulama yang lebih

setia kepada keyakinan dan agamanya daripada terhadap penguasanya, dan

tidak jarang, akibat dari itu, mereka dipenjarakan atau diamankan seperti yang

telah dialamai oleh para Imam besar mazhab fiqh, Abu Hanifah, Malik bin

Anas, al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal yang menjadi penghuni langganan

dalam penjara dan para ulama lain yang mengalami nasib lebih buruk dari

mereka.Meskipun demikian para ulama banyak bergerak dalam lapangan teori

kenegaraan dengan berbagai corak. Kegiatan pemikiran ini diawali oleh

beberapa ulama diantaranya; al-Mawardi, al-Baqillani al-Ghazali, ibn

Qutaibah, ibn Muqaffa’, ibn Taimiyah, ibn Jama’ah, al-Farabi, ibn Sina dan

lain sebagainya. Di masa awal kebangkitan pemikiran kenegaraan itu yang

paling besar dan menonjol teorinya pada masa itu adalah Mawardi dan

al-Farabi. Kemudian diikuti oleh para ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya

seperti ibn Taimiyah, Muhammad ibn Abd Wahab, Jamaluddin al-Afghani,

Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, al-Kawakibi, Hasan al-Banna, Abul A’la

Maududi, Khumaini dan lain sebagainya. Selain gerakan pemikiran, para

ulama dan tokoh-tokoh Islam tersebut juga bergerak dalam kegiatan-kegitan

organisasi praktis, yang selanjutnya berkembang menjadi gerakan-gerakan

pembaharuan politik dan kenegaraan.

Secara ideal Al-Mawardi menginginkan kepala negara yang berkuasa

(43)

pembantu-35

pembantunya. Namun kenyataannya, khalifah-khalifah Bani Abbas hanya

menjadi kepala negara simbol dan bahkan seperti boneka yang dapat

dikendalikan oleh para pejabat tinggi negara. Itulah sebabnya Al-Mawardi

masih menoleransi orang yang menguasai kepala negara, sejauh tidak

membahayakan negara dan umat islam. Al-Mawardi masih menerima

kenyataan khalifah Bani Abbas yang menjadi boneka dari kepentingan politik

pejabat-pejabat tinggi negara.

Seandainya Al-Mawardi maju sedikit mengembangkan teorinya

tentang mekanisme pemberhentian kepala negara, dapat dipastikan bahwa

kekhalifahan Bani Abbas akan segera berakhir dan digantikan oleh Bani

Buwaihi yang sudah mendominasi politik pemerintahan. Hal ini tentu tidak

diinginkan Al-Mawardi. Apalagi Al-Mawardi penganut doktrin al-A’immah

min Quraisy ( kepala negara harus dari suku quraisy). Pandangan Al-Mawardi

di atas setidaknya dapat mengamankan posisi khalifah Bani Abbas.

Di sisi lain, Al-Mawardi juga berusaha mengembalikan kekuasaan

Bani Abbas dengan menegaskan bahwa hanya ada satu kepala negara untuk

umat Islam dalam satu masa yang sama.22 Pandangan ini merupakan upaya

Al-Mawardi mengantisipasi tuntutan Fathimiyah di Mesir yang ingin membentuk

dinasti sendiri dan terpisah dari Bani Abbas. Pengabsahan tuntutan itu tentu

saja merupakan ancaman serius bagi keutuhan kekuasaan Bani Abbas. Dengan

pandangannya ini, Al-Mawardi berusaha mempertahankan sisa-sisa kekuatan

dinasti Bani Abbas, setidaknya memperlambat kehancurannya.

22

(44)

36

Pandangan Al-Mawardi tentang kontrak sosial juga merupakan

pemikiran modern yang sekarang banyak dianut oleh bangsa-bangsa maju.

Kontrak sosial ini meniscayakan adanya checksand balance antara pemerintah

dan rakyat. Dengan demikian, pemerintah tidak dapat berbuat

sewenang-wenang, karena ada koridor-koridor yang harus diikutinya.Untuk

melaksanakan pemerintahan Allah telah memberi bimbingan dan petunnjuk

sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Namun hal ini tidak

dicontohkan sebagai hal yang baku, karena Allah lebih banyak memberikan

garis-garis besarnya saja melalui Alquran dan Sunnah.

Untuk itu manusia harus dapat melakukan pemahaman kreatif

terhadap garis-garis besar tersebut agar dapat diterapkan dalam masyarakat

islam. Sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang.Al-Mawardi

menjelaskan bahwa Ahlul Halli wal ‘Aqd merupakan lembaga yang tidak

terorganisir, terstuktur dan tidak independen yang berada di bawah kekuasaan

kepala negara. Sehingga ada indikasi bahwa lembaga tersebut hanya sebagai

legitimasi kekuasaan belaka. Disamping itu anggotanya dipilih oleh kepala

negara sehingga tidak representatif bagi kepentingan umat. Dan Mawardi

(45)

BAB III

HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM UU NO. 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD

A. Hak Imunitas Anggota DPR

1. Pengertian Hak imunitas anggota DPR

Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang

bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian

rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan

sekecil-kecilnya.Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan

membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang,

dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap

kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi

kepentingan di lain pihak1

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka

kepentingannya tersebut.Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara

terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya.Kekuasaan yang

demikian itulah yang disebut sebgaai hak.Dengan demikian setiap

kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya

1

(46)

38

kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada

seseorang.

Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang satu mencerminkan adanya yang lain. Cirri-ciri yang melekat pada hak menurut hokum adalah sebgaai berikut (Fitzgerald, 1966 : 221)2 :

1. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.

2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif. 3. Hak yang ada ;pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk

melakukan (Commission) atau tidak melakukan (Omission) sesuatu perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.

4. Commission atau Omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak.

5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.

Pengertian “hak” pada akhirnya juga dipakai dalam arti kekebalan

terhadap kekuasaan hukum orang lain. Sebagaimana halnya kekuasaan itu

adalah kemampuan untuk mengubah hubungan-hubungan hukum,

kekebalan ini merupakan pembebeasan dari adanya suatu hubungan hukum

untuk bisa diubah oleh orang lain. Kekebalan ini mempunyai kedudukan

yang sama dalam hubungan dengan kekuasaan, seperti antara kemerdekaan

dengan hak dalam arti sempit: kekebalan adalah pembebasan dari

kekuasaan orang lain, sedang kemerdekaan merupakan pembebasan dari hak

orang lain.

Lembaga legislatif adalah lembaga yang memegang kekuasaan

membuat undang-undang sebagai sistem lembaga perwakilan rakyat.

2

(47)

39

Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama

mencerminkan kedaulatan rakyat3. Kegiatan bernegara, pertama-tama

adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan

untuk menetapkan peraturan itu harus diberikan kepada lembaga

perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif.Oleh karena itu,

fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan

untuk menentukan peraturan yang mengikat dan membatasi. Dengan

demikian, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang

rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum yang

dimaksud sebab cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada

dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat.Dalam pengaturan yang lebih

tegas dapat dilihat dalam pasal 224 undang-undang no. 17 tahun 20144,

yaitu:

1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan / atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan / atau anggota DPR.

3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan / atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah

3

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 299.

4

(48)

40

disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis mahkamah kehormatan dewan. 6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan

putusan atas surat permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah diterimanya pemanggilan keterangan tersebut. 7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak

memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/ batal demi hukum.

Dalam kamus hukum, Sudarsono membagi hak imunitas ke dalam 2

(dua) bagian:

1) Hak anggota DPR dan para menteri untuk menyatakan melalui

tulisan atau membicarakan segala hal kepada lembaga tersebut

tanpa dapat dituntut di muka pengadilan.

2) Kekebalan hukum bagi kepala Negara, perwakilan diplomatik

dari hukum pidana, hukum perdata dan hukum tata usaha

negara yang dilalui atau negara tempat mereka ditempatkan

atau bertugas.5

Dalam hukum dikenal 2 (dua) macam hak Imunitas, yaitu: hak

imunitas mutlak, yaitu hak imunitas yang tetap berlaku secara mutlak

dalam arti tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Sedangkan hak imunitas

kualifikasi bersifat relatif, dalam arti hak imunitas ini masih dapat

5

(49)

41

dikesampingkan. Manakala penggunaan hak tersebut “dengan sengaja”

dilakukan menghina atau menjatuhkan nama baik dan martabat orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Mempunyai tugas dalam melakukan penjadwalan produksi, mengatur urutan dalam melakukan proses produksi untuk secepat mungkin memenuhi order yang telah diterima dan dapat

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya serta berdasarkan data dan fakta yang diperoleh dilapangan, maka peneliti dapat

1) Metoda penyampaian dan cara pembukaan dokumen penawaran harus mengikuti ketentuan yang dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa. 2) Metoda penyampaian

Hal tersebut diduga dikarenakan dalam menentukan anggota komite audit, perusahaan tidak memperhatikan frekuensi pertemuan komite audit dan aspek kompetensi akuntansi

Perspektif ini mengevaluasi profitabilitas stra- tegi.Tujuan operasional perspektif keuangan berfokus pada pertumbuhan pendapatan, pengurangan atau penghematan biaya,

kelembaban (%) yang sama menggunakan Soil Tester Lutron Dari hasil pengukuran diperoleh data hasil kalibrasi menggunakan Soil Tester Lutron dan kurva yang

Sebuah atribut relasi disatukan dalam sebuah kotak bersama entitas jika hubungan yang terjadi pada diagram ER 1:M (relasi bersatu dengan cardinality M ) atau

Di Indonesia melalui Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tahun 2009 telah membuat Standar Akuntansi bagi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Dilihat dari