HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224
UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
SKRIPSI
OLEH:
NURUL FARISTIN HESTI FEBRIANTY
NIM. C33211066
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI HUKUM PIDANA ISLAM
SURABAYA
PENGESAHAN
Skripsi yang ditulis oleh Nurul Faristin Hesti Febrianty NIM. C33211066 ini telah dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Slaipsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada hari Rabu, tanggal 27
luli
2016, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syari'ah.Majelis Mrmaqasah Skripsi:
Penguji I,
Dr. Mugiyati. S.Ag.. M.EI.
r97 r0226t99703200 I
Penguji
III
Moch. Zainul Arifin. S. Ag.. M. Pd.I r97104172007101004
Surabaya, 11 Agustus 2016 Mengesahkaq
Fakultas Symiah dan Huktrm Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
(ttt'
Dr. H. Sahid HM.. M. Ae NIP. 19680309199603 1002
Penguji II,
Penguji IV,
Yang bertanda tangan c1i barvah irri saya:
Narla
NIM
Fakultas/ I'}rodi
PERNYATAAN
KEASLIAN
IIAK
IMUNI]'AS ANGGOT'A2',21 LfiJ NO. 17 'fAHIJN 2014 ISI-AM
Nurul Faristin Ilcsti Febrianty c332r r066
Syariah clan I Iukr.rm/ I{ukum l']ublik IslartV IIul<um Pidana Islarn
DPR DALAM PASAL
PERSPEI(TIF HUKLM Judul Skripsi
Dengan sungguh-sr-urgguh mr:nyatal<an bahwa skripsi
ini
secara keselurtilran adalah hasil penelitian/karya saya sendiri. kccuali pacla bagian-bagian yang dimjuk sumbernya.Surabaya, 13 Juni 2016 Saya yang menyatakan,
$
KEMENTERIAN AGAMA
UM\TERSITAS
ISLAM
NEGERI
ST}NANAMPEL
ST}RABAYAPBRPUSTAKAAN
Sekretariat Jl. Jendral Achmad Yani 117 Telp. A3l-8431972 Fax. 031-8413300
Email: perpus@uinsby.ac.id
LEMBAR PENGESAHAN PERSETUruAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagian civitas akademik UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertandatangan di bawah ini, saya:
Fakultas/Jurusan : SYARIAH DAN HUKUM / HUKUM PUBLIK ISLAM
E-mailaddress
:Azmiliyaharfa@gmail.cqnrDemi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiyah :
Nama NIM
I
Skripsi Yang berjudul:: NURUL FARISTIN IIESTI FEBRIANTY
-.c33211066
l--l
Lain-lain (...)HAK IMUMTAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224 UNDANG.UNDANG
NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-mediakar/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pengkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/ mempublikasikannya di Internet atau media launsecarafulhe:d untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.
Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenamya
Surabay4 23 Agustus 2016
PERSETUruAN PEMBIMBING
Skripsi yang ditulis oleh Nurul Faristin Hesti Febrianty NIM. C33211066 dengan judul
"
IIAK MUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224UNDANG-I]NDANG NO. 17 TAHUN 2014 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,, iNi tEIAh
diperiksa dan diset uj ui unt uk dimunaqas ahkan.
Sttrabal,a, 1'1 Juni 2016 Pembirnbing,
NrP. 1 96602122007 0l t049
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Hak Imunitas anggota DPR dalam pasal 224 Undang -Undang no. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD” ini, merupakan
hasil penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut: Pertama, bagaimana hak imunitas anggota DPR yang diatur dalam pasal 224 Undang-Undang no. 17 Tahun 2014. Kedua, bagaimana perspektif hukum Islam terhadap Hak Imunitas anggota DPR dalam pasal 224 Undang-Undang no. 17 tahun 2014 Perspektif Hukum Islam.
Hasil penelitian menunjukkan, pertama bahwa Hak Imunitas merupakan hak yang diberikan kepada anggota DPR sebagai perlindungan dalam menjalankan tugas, yang didasarkan pada pasal 20 A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hak Imunitas selanjutnya diatur dalam pasal 80 huruf f dan secara rinci diatur dalam pasal 224 Undang-Undang MD3. Hak Imunitas sebagaimana diatur dalam pasal 224 Undang-Undang MD3 memberikan kekebalan kepada anggota DPR dalam menjalankan tugas, terkait dengan fungsi dan wewenangnya, yaitu tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, pendapat baik dalam bentuk lisan dan tulisan yang disampaikan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR (pasal 224 ayat 1); tidak dapat dituntut karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional (pasal 224 ayat 2); Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan dan pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi dan wewenangnya (pasal 224 ayat 3). Pada pasal 224 ayat (4) diatur tentang pengecualian; serta pada ayat berikutnya (5, 6, 7) tentang mekanisme pemanggilan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Kedua, membandingkan konsep Hak Imunitas anggota DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 224 Undang-Undang MD3 perspektif hukum Islam. Dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara spesifik tentang hal tersebut, melainkan
menyebutkan tentang kebebasan berbicara, berpendapat dan bertindak. Berkenaan dengan perintah berbuat baik dalam hal perbuatan, tindakan, serta bersikap lemah lembut dalam berbicara.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... viii
KATAPENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LatarBelakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. KajianPustaka ... 9
E. TujuanPenelitian ... 10
F. KegunaanHasilPenelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. MetodePenelitian ... 14
I. SistematikaPembahasan ... 17
BAB II AHLU HALLI WAL ‘AQDI DALAM FIQH SIYASAH ... 19
A. Konsep Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 19
1. Pengertian Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 19
2. Dasar Hukum Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 22
3. Tugas dan Wewenang Ahlu Halli Wal ‘Aqdi ... 25
BAB III HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224
UNDANG-UNDANG NO.17 TAHUN 2014 ... 37
A. Deskripsi Hak Imunitas Anggota DPR ... 37
1. Pengertian Hak Imunitas Anggota DPR ... 37
2. Pengertian dan Fungsi DPR ... 45
B. Tugas dan Wewenang Anggota DPR ... 49
BAB IV HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM PASAL 224 UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 53
A. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR dalam Pasal 224 Undang-undang No. 17 Tahun 2014 ... 53
B. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR Undang-undang No. 17 Tahun 2014 perspektif Hukum Islam ... 59
BAB V PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam mewajibkan kepada penguasa untuk bermusyawarah dalam
perkara-perkara umum, namun tidak menemukan baik didalam Alquran atau
sunah sebutan atau spesifikasi apa yang disebut dengan Ahlul Halli Wal
‘Aqdi. Dan yang ditemukan dalam praktik Rasulullah saw serta para Khalifah
Ar-Rasyidin, musyawarah dengan beragam gambaran dan peristiwa yang
semuanya mengukuhkan akan komitmen penguasa dalam Islam untuk
bermusyawarah dengan dewan permusyawaratan, dan tidak bersikap egois
yang hanya memegang pendapatnya sendiri dalam perkara itu. Juga
menunjukkan sejauh mana komitmen penguasa dengan pendapat dewan
permusyawaratan tersebut.1
Bahwa banyaknya sebutan kelompok Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam
turats fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah “Dewan Perwakilan
Rakyat” yang para khalifah selalu merujuk kepada mereka dalam
perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mereka
mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khalifah dan juga
memberhentikannya2, yang terdiri dari para ulama, para pemimpin suku dan
1
Ridha. Sayyid Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, juz 4 hlm. 50.
2
2
pemuka masyarakat menguatkan “kekuasaan besar yang dimiliki kelompok ini
(Ahlul Halli Wal ‘Aqdi) dan jelas menunjukkan bahwa kelompok ini
merupakan lembaga legislatif”.3
Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara
umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan
kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat
yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin
tertinggi Negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan
peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan
yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk
mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak
Allah.4
Di bidang perbandingan antara undang-undang konstitusional modern
dan fikih politik Islam untuk mengatakan bahwa dewan-dewan parlementer
sama dengan majelis permusyawaratan. Kebenaran perkataan ini tidak
terpengaruh dengan adanya perbedaan sekitar apakah kaum muslimin di masa
awal-awal Islam telah mengenal apa yang dinamakan dengan dewan legislatif
atau tidak. Sebab, semua telah sepakat akan adanya Dewan Perwakilan
Rakyat atau Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam komunitas kaum muslimin yang
3
Syalabi Ahmad i, Al-Hukumah wa Ad-Dawlah fil Islam, 1958, hlm. 28.
4
3
para khalifah melakukan musyawarah dengan merekadalam segala
perkara-perkara penting dan tidak mengambil pendapat mereka sendiri.5
Bila Alquran dan Sunnah sebagai dua sumber perundang-undangan
Islam tidak menyebutkan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi atau Dewan Perwakilan
Rakyat, namun sebutan itu hanya ada di dalam turats fikih kita di bidang
politik keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar
menyeluruh, maka dasar sebutan ini di dalam Alquran ada dalam mereka yang
disebut dengan “ulil amri” dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 59
yaitu sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. “ (Q.S An-Nisa’: 59)6
Berdasarkan perintah di atas, ketaatan terhadap Negara harus tunduk
kepada ketaatan terhadap Tuhan serta Rasul-Nya dan tidak terlepas darinya.
Hal ini dengan jelas berarti bahwa apabila Negara memaksa untuk melanggar
5
Ibid., 81.
6
4
perintah Tuhan serta batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Rasulullah,
maka Negara kehilangan haknya untuk menuntut ketaatan dari rakyatnya.7
Allah Ta’ala mewajibkan kita mentaati ulil amri diantara kita dan ulil amri
yang dimaksud adalah para imam (khalifah) yang memerintah kita.8
SebagaimanaAllah SWT telah menjelaskan juga dalam firman Allah
dalam surat An-Nisa ayat 83, yaitu :
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).
Dari penjelasan tersebut mengharuskan untuk taat kepada ulil amri,
para pemimpin ini mampu mengembalikan manusia kepada
ketentuan-ketentuan yang di bawa oleh Rasul dalam seluruh aspek kehidupan untuk
kebaikan yang menyeluruh. Apabila ulil amri telah bermufakat menentukan
suatu peraturan maka rakyat wajib mentaatinya dengan syarat ulil amri itu
bisa di percaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul.
Sesungguhnya ulil amri adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan
7
Al-Maududi. Abul A’la, Hukum & Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1995), 244.
8
5
suatu masalah dan dalam menentukan kesepakatan mereka.9Sudah jelas bahwa
suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan Tuhan tidak dapat
melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Alquran dan Sunnah
sekalipun konsensus rakyat menuntutnya. Maka secara otomatis timbul
prinsip bahwa lembaga legislatif dalam Negara Islam sama sekali tidak berhak
membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan
Tuhan dan Rasul-Nya.
Bagi Negara yang menganut kedaulatan rakyat keberadaan lembaga
perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan, tidak mungkin membayangkan
terwujudnya suatu pemerintah yang menjunjung demokrasi tanpa kehadiran
institusi tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal 68 UU No. 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD adalah DPR merupakan lembaga perwakilan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara.10 Setelah amandemen,
DPR mengalami perubahan fungsi legislasi yang sebelumnya berada di tangan
presiden Maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke
DPR.11
Untuk benar-benar melaksanakan demokrasi pasca amandemen UUD
1945 mereformasikan keanggotaan DPR yaitu: anggota DPR terdiri dari
anggota-anggota golongan politik (partai) yang dipilih melalui pemilu.12
Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih
9
Djaelani. Abdul Qadir, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Jakarta : Gramedia, 2001), 92.
10
Pasal 68 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
11
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 pasca amandemen.
12
6
berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan
yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di
kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota. Kedudukan DPR diperkuat
dengan adanya perubahan UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 7C yang
menyebutkan “ Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR “.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga keduanya memiliki legitimasi
yang sama dan kuat sehingga masing-masing tidak bisa saling menjatuhkan.13
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa amandemen UUD 1945
telah menempatkan DPR sebagai lembaga legislasi yang sebelumnya berada di
tangan presiden. Dengan demikian DPR mempunyai fungsi politik yang
sangat strategis, yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan kenegaraan.
Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR sangat dominan, karena
kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya. Selain berkaitan dengan proses
legislasi dalam kewenangannya DPR sebagai penentu kata putus dalam bentuk
memberi persetujuan terhadap agenda kenegaraan.14
Dalam undang-undang No. 17 Tahun 2014 ayat (2) ketentuan
dimaksud dinyatakan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut didepan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR
ataupun diluar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan
kewenangan DPR. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa
13
Tutik. Titik Triwulan, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2006), 135.
14
7
selama seorang anggota DPR mengemukakan pernyataan, pertanyaan,
dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis
sepanjang dalam rapat DPR ataupun diluar rapat DPR serta berkaitan erat
dengan fungsi serta tugas dan kewenangan DPR tidak dapat dituntut didepan
pengadilan, dan inilah yang selanjutnya disebut hak imunitas.
Keberadaan hak imunitas sebenarnya terkait erat dengan fungsi, tugas
dan kewenangan DPR. Fungsi DPR secara institusional meliputi fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Keterkaitan hak imunitas
dan fungsi, tugas dan kewenangan tersebut yang melekat pada anggota DPR
berlaku baik anggota berada didalam rapat DPR ataupun diluar rapat DPR.
Sehingga sepanjang seorang anggota mengemukakan pernyataan, pertanyaan,
dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di
dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR tidak dapat dituntut didepan
pengadilan. Namun, demikian apabila dalam penyampaian pernyataan,
pertanyaan, dan atau pendapat yang dikemukakan oleh anggota tersebut tidak
benar atau dirasa tidak etis dan dinilai mencemarkan nama baik seseorang
maka mekanismenya adalah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan.15
Dengan demikian hak imunitas seorang anggota DPR diharapkan dapat
mengaktualisasikan keberadaannya sebagai wakil rakyat untuk melakukan
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Namun tentunya
dengan batasan dalam ruang lingkup fungsi, tugas dan wewenang DPR.
15
8
Bagaimana jadinya apabila dalam penggemukan pernyataan, pertanyaan dan
pendapat dalam menjalankan fungsi DPR, seorang anggota DPR dilanda
perasaan takut karena nantinya akan dituntut dijalur hukum, justru akan
kontra produktif peran anggota parlemen kita sebagai wakil rakyat di mata
masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk
menganalisa dan menuangkannya dalam tulisan yang berbentuk skripsi dengan
judul :
“ Hak Imunitas Anggota DPR dalam pasal 224 Undang-undang No. 17
Tahun 2014 Perspektif Hukum Islam”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat
penulis identifikasikan dalam hal ini, sebagai berikut:
1. Syarat menjadi anggota DPR.
2. Konsep Hak Imunitas dalam Perspektif Hukum Islam.
3. Konsep Hak Imunitas dalam UU No. 17 Tahun 2014.
4. Pengertian Hak Imunitas anggota DPR.
5. Aktualisasi Hak Imunitas anggota DPR terhadap pasal 224 dalam
9
Dari identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Hak Imunitas Anggota DPR Perspektif dalam pasal 224 UU
No. 17 Tahun 2014?
2. Bagaimana Analisis Hak Imunitas anggota DPR dalam pasal 224 UU No.
17 Tahun 2014 perspektif Hukum Islam
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah tersebut
di atas, maka rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam hal ini yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana Hak Imunitas anggota DPR perspektif dalam pasal 224 UU
No. 17 Tahun 2014?
2. Bagaimana analisis terhadap Hak Imunitas Anggota DPR dalampasal 224
UU No. 17 Tahun 2014 perspektif Hukum Islam?
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
sumber yang membicarakan masalah tersebut diantaranya:
Skripsi karya Moh. Rifa’i Suparlan mahasiswa Fakultas Syariah
10
Serta Wewenang MPR Dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi: Studi Perbandingan “.
Skripsi ini membahas dengan membandingkan tugas serta wewenang MPR
dengan Ahlul halli Wal ‘Aqdi, sehingga terdapat perbedaan dengan skripsi
yang penulis buat karena berbeda dalampembahasannya secara eksplisit lebih
condong ke Hak Imunitasnya Anggota DPR dalam Undang-undang Baru.16
Skripsi karya Sakinah Binti Ibrahim mahasiswa Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 1998 yang berjudul
“Kedudukan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi Dalam Ketatanegaraan Islam“. Skripsi ini
membahas kedudukan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam kajian Fiqh
Siyasah/ketatanegaraan Islam, sehingga terdapat perbedaan juga dengan
skripsi yang penulis buat, karena penulis menggunakan dua sudut pandang
yaitu dalam kajian fiqh siyasah dan Tatanegara di indonesia.17
Berdasarkan kajian diatas jelas membedakan dengan penelitian yang
penulis buat. Hal ini tampak jelas dari permasalahan yang diangkat peneliti
dalam tulisan ini mengangkat tentang hak imunitas anggota DPR dalam
kajian hukum positif dan Islam. sehingga penelitian tentang hak imunitas
anggota DPR dalam kajian fiqh siyasah dan UU No. 17 Tahun 2014
diharapkan dapat menambah wawasan ilmu terutama di bidang ilmu hukum
pada umumnya.
16 Suparlan. Moh Rifa’i, “ Tugas Serta Wewenang MPR dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi: Studi Perbandingan” (Skripsi—Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 1992).
17 Ibrahim. Sakinah Binti, “ Kedudukan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi Dalam Ketatanegaraan Islam “
11
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Hak Imunitas yang dimiliki oleh Anggota DPR.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengaktualisasikan hak imunitas
tersebut ke dalam perspektif hukum Islam.
F. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan penelitian ini, peneliti berharap semoga penelitian ini
dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun secara teoritis, sebagai
berikut:
a) Praktis
Kegunaan penulisan skripsi ini selain untuk meningkatkan pengetahuan
dan memperluas wawasan masyarakat dan penulis sendiri, serta
diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
penegak hukum mengenai Hak Imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR
menurut pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
b) Teoritis
Hasil dari penelitian skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dalam pengkajian ilmu hukum sumber inspirasi dalam rangka memberikan
kontribusi ilmiah, khususnya mengenai hak imunitas anggota DPR sejalan
12
pengetahuan khususnya mengenai masalah aktualisasi hak imunitas
anggota DPR bagi masyarakat yang telah diatur dalam UU No. 17 Tahun
2014.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari berbagai interpretasi yang beranekaragam dalam
memahami penelitian ini, maka peneliti menganggap perlu untuk menjelaskan
beberapa istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Dari terminology hukum kata Imunitas dalam bahasa inggris “immunity“
berarti kekebalan, kata lainnya “Imunis” yang menyatakan “tidak dapat
diganggu gugat” terkait dengan tindakan seseorang dalam lingkup tertentu
seperti korps diplomatik atau anggota legislatif Hak Imunitas adalah hak
yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan, dan pendapat yang disampaikan baik secara lisan maupun
tertulis dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR dengan pemerintah dan
rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dan anggota DPR terkait hak imunitasnya tidak dapat dituntut di muka
pengadilan karena sikap, tindakan dan kegiatan di dalam rapat DPR
maupun luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan
konstitusional DPR atau anggota DPR.
2. Ahlul Halli Wal ‘Aqdi adalah lembaga perwakilan yang menampung dan
menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota Ahlul Halli Wal
13
profesi, merekalah yang bertugas menetapkan dan mengangkat kepala
Negara sebagai pemimpin pemerintahan.18
3. DPR/Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga utama yang menjalankan
fungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Lembaga ini
mempunyai fungsi legislasi, pengawasan (controlling), dan penganggaran
(budgeting). Dalam UUD 1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi
legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah Dewan Perwakilan
Rakyat (selanjutnya disebut dengan DPR)19. Sebelum perubahan UUD
1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara tertinggi. Di bawahnya mendapat
lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi termasuk
DPR. Dalam kedudukannya senbagai lembaga tertinggi negara, MPR
pemegang kekuasaan negara tertinggi karena lembaga ini merupakan
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu DPR yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa
dapat mengawasi tindakan-tindakan Presiden. Setelah amandemen, DPR
mengalami perubahan fungsi legislasi yang sebelumnya berada ditangan
Presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah
ketangan DPR20.
18
Iqbal Muhammad , Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), 138.
19
Jimly Assiddique, Pokok-pokok Hukum Tatanegara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : BIP, 2007), 186.
20
14
4. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang suatu kejadian atau
peristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau peristiwa
tersebut.21
5. Fiqih Siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas
tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya
dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, pengaturan, dan
kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan
ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan
menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum
normatif yang dimana menekankan tentang materi hukum yaitu UUD 1945
dan Undang-undang MD3. Serta didukung dengan literatur yang ada
mengenai pokok masalah yang dibahas. adalah suatu cara atau jalan yang
ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam
suatu penelitian untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap
21
15
permasalahan.22 Untuk memperoleh dan membahas data dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif disebut
penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu dengan jalan melakukan
penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, kembali lagi pada fungsi
penelitian yaitu mencari kebenaran korespondensi, sesuai atau tidak
hipotesis dengan fakta yang berupa data. Library Research menurut
Bambang Waluyo adalah metode penelitian ini penelitian hukum
normatif.23 dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis
seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu suatu metode
penelitian dengan mengumpulkan data-data yang tertuju pada masa
sekarang, disusun, dijelaskan, dianalisa dan diinterpretasikan dan kemudian
disimpulkan.24
2. Sumber Data
Sumber-sumber penelitian terdiri dari dua sumber diantaranya adalah
sumber primer dan sumber sekunder. Bahan hukum primer merupakan
22
Subagyo Joko, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994), 2.
23
Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), 50.
24
16
bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi tau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan. Sedangkan bahan-bahan sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi.publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.25
a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute approach)26
Pendekatan perundang-undangan adalah adanya peraturan
perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut.
Perundang-undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa legislation
maupun regulation. Oleh karena itulah untuk memecahkan suatu isu
hukum, mungkin harus menelusuri sekian banyak berbagai produk
peraturan perundang-undangan.
b. Pendekatan Historis
Pendekatan Historis yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum
seperti peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum dari
waktu ke waktu.dan bahan bahan yang dikumpulkan harus mempunyai
relevansi dengan isu yang akan dipecahkan.
25
Subagyo Joko, Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek...,141.
26
17
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dapat
mengumpulkan aturan perundang-undangan atau putusan-putusan
pengadilan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Akan tetapi yang lebih
esensial adalah penelusuran buku-buku hukum (treatises). Karena di dalam
buku itulah banyak terkandung konsep-konsep hukum.
4. Analisis Data
Adapun untuk menganalisis data, penulis menggunakan deskriptif
analisis, karena sebagian sumber data dari penelitian ini berupa informasi
dan berup teks dokumen. Maka penulis dalam menganalisis menggunakan
teknik analisi dokumen yang sering disebut content analisys. Disamping itu
data yang dipakai adalah data yang bersifat deskriptif, yang
mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian dan analisis data yang
dipergunakan dengan pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data
sekunder.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam memahami hasil penelitian ini, maka
penulis mensistematisasikan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
18
BAB I : Pendahuluan, dalam bab ini peneliti memaparkan seluruh
isi penelitian secara umum yang terdiri dari : 1. Latar
belakang, 2. Identifikasi dan batasan masalah, 3. Rumusan
masalah, 4. Kajian pustaka, 5. Tujuan penelitian, 6.
Kegunaan hasil penelitian, 7. Definisi Operasional, 8.
Metode Penelitian, 9. Sistematika pembahasan.
BAB II : Dalam bab ini penulis akan membahas tentang Ahlul Halli
Wal Aqdi dalam Fiqh Siyasah.
BAB III : Dalam bab tiga ini peneliti membahas tentang konsep Hak
imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR dalam
Undang-undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD.
BAB IV : Dalam bab empat ini diuraikan analisis tentang aktualisasi
Hak imunitas anggota DPR menurut UU No. 17 Tahun
2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dalam Kajian
Hukum Islam.
BAB II
AHLUL HALLI WAL ‘AQDI DALAM FIQH SIYASAH
A. Konsep Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
1. Pengertian ahlul halli wal ‘aqdi
Secara bahasa Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi terdiri dari tiga kata; Ahlul,
yang berarti orang yang berhak (yang memiliki). Halli, yang berarti
melepaskan, menyesuaikan, memecahkan. ‘Aqdi, yang berarti mengikat,
mengadakan transaksi, membentuk. Para ahli fiqh siyasah merusmuskan
Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk
memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat. Dengan kata lain,
Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi adalah lembaga perwakilan yang menampung dan
menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.
Al-Mawardi menyebut Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdidengan Ahl
al-ikhtiyar1, karena merekalah yang berhak memilih khalifah. Sedangkan Ibnu
Taimiyah menyebutkan Ahl Al- Syaukah, sebagian lagi menyebutkan
dengan ahl al-Syura atau ahl al-Ijma’. Sementara al- Baghdadi menamakan
mereka dengan ahl al-Ijtihad. Istilah yang lebih populer dipakai pada awal
pemerintahan Islam tentang hal ini adalah ahl al-Syura. Pada masa khalifah
empat khususnya pada masa ‘Umar istilah ini mengacu kepada pengertian
1
20
beberapa sahabat senior yang melakukan musyawarah untuk menentukan
kebijaksanaan negara dan memilih pengganti kepala negara. Mereka adalah
enam orang sahabat senior yang ditunjuk ‘Umar untuk melakukan
musyawarah menentukan siapa yang akan menggantikannya setelah
meninggal.
Berbagai pengertian yang dikemukakan mengenai Ahlu-Halli Wa
al-‘Aqdioleh pakar muslim secara tersirat menguraikan kategori
orang-orang yang representatif dari berbagai kelompok sosial, memiliki profesi
dan keahlian berbeda baik dari birokrat pemerintahan maupun lainnya.
Walaupun tidak ada kejelasan apakah dipilih oleh rakyat atau langsung
ditunjuk oleh kepala pemerintahan. Dengan kata lain anggota-anggotanya
harus terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang diakui tingkat keilmuan
mereka, sementara cara pemilihan adalah suatu hal yang bersifat relatif,
berarti banyak bergantung pada situasi dan kondisi zaman.2
Ada pendapat beberapa ahli mengenai Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi, yaitu:
a. An-Nawawi dalam Al-Minhaj Ahl Halli waal ‘Aqdi adalah para ulama,
para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat
yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.3
b. Muhammad Abduh menyamakan ahl al-hall wa al’aqdi dengan ulil amri
yang disebut dalam Alquran surat An-Nisa ayat 59. Ia menafsirkan Ulil
2
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, (Jakarta: Granit, 2004), hal. 74.
3
21
Amri atau Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi sebagai kumpulan orang dari
berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat. Abduh
menyatakan yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Golongan
Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi dari kalangan orang-orang muslim. Mereka itu adalah
para amir, para hakim, para ulama, para militer, dan semua penguasa dan
pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan
dan kemaslahatan publik4 lebih lanjut ia menjelaskan apabila mereka
sepakat atas suatu urusan atau hukum maka umat wajib mentaatinya
dengan syarat mereka itu adalah orang-orang muslim dan tidak
melanggar perintah Allah dan Sunnah Rasul yang mutawatir.
c. Rasyid Ridha juga berpendapat Ulil Amri adalah Ahlu-Halli Wa
al-‘Aqdi. Ia menyatakan kumpulan ulil amri dan mereka yang disebut
Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari
umat yang terdiri dari berbagai ulama, para pemimpin militer, para
pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang,
petani, para pemimpin perusahaan, para pemimpin partai politik dan
para tokoh wartawan.5
d. Al-Razi juga menyamakan pengertian antara Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdidan
ulil amri yaitu para pemimpin dan penguasa.6
4
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, hal. 181.
5
Muhammad, Dhiya al-Din al-Rayis, hal. 167-168.
6
22
e. Al-Maraghi rumusannya sama seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.7
f. Al-Mawardi merumuskan beberapa syarat, yaitu berlaku adil dalam
segala sikap dan tindakan, berilmu pengetahuan dan memiliki wawasan
dan kearifan.8
2. Dasar hukum ahlul halli wal ‘aqdi
Menurut Muhammad Abduh Ulil Amri adalah Ahlu-Halli Wa
al-‘Aqdiyaitu kumpulan orang-orang profesional dalam bermacam keahlian
ditengah masyarakat, mereka adalah orang-orang yang mempunyai
kapabilitas yang telah teruji. Mereka adalah para amir, hakim, ulama’,
pemimpin militer dan semua pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat
islam dalam berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan
publik.9Adapun yang disebutkan dengan adanya dasar Ahlu al- Halli Wa al-
‘Aqdidalam kitab Allah, yakni ulil amri legislatif dan pengawas atas
kewenangan eksekutif, terutama pimpinan tertinggi negara, ia hanya
disebutkan dengan lafal Al-Ummah, dan tugasnya hanya terbatas oleh dua
hal. Pertama, mengajak pada kebaikan, termasuk di dalamnya segala
perkara umum yang diantaranya menetapkan hukum atau peraturan untuk
rakyat yang dibuat lewat musyawarah. Kedua, menindak para penguasa
7
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid V, Marhaba at Mshthafa al-Bat al-Halabi, Mishr 1389/1979, hal. 72-73
8
Imam Al-Mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah; Hukum-hukum penyelenggaraan negara dalam syariat Islam, hal. 6
9
23
yang zalim, yakni yang melakukan penyimpangan dalam pemerintahan.10
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan rakyat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.
Dari pengertian secara bahasa di atas, dapat kita simpulkan
pengertian Ahlu al- Halli Wa al- ‘Aqdisecara istilah yaitu orang-orang yang
berhak membentuk suatu sistem di dalam sebuah negara dan
membubarkannya kembali jika dipandang perlu. Bila Alquran dan sunnah
sebagai dua sumber perundang-undangan Islam tidak menyebutkan Ahlu al-
Halli Wa al- ‘Aqdiatau Dewan Perwakilan Rakyat, namun sebutan itu
hanya ada dalam turats fikih kita di bidang politik keagamaan dan
pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar menyeluruh, maka dasar
sebutan ini di dalam Alquran disebut dengan Ulil Amri.
Ulil amri adalah istilah syar’i yang terdapat didalam Al-quran. Ulil
amri dalam konteks semacam ini lebih terkesan sebuah sosok dan tokoh,
atau sekumpulan sosok dan tokoh yang harus ditaati perintah-perintahnya
selama itu sesuai dengan syara’. Oleh karena itu cara mengembalikan
10
24
permasalahan politik kepada ulil Amri lebih banyak menggunakan istilah
Ahlu al- Halli Wa al- ‘Aqdi.
Adanya dasar Ahlu al- Halli Wa al- ‘Aqdidalam kitab Allah, yakni
ulil amri legislatif dan pengawas atas kewenangan eksekutif, terutama
pimpinan tertinggi negara. Hanya disebutkan dengan lafal Al-Ummah dan
tugasnya hanya terbatas pada dua hal. Pertama, mengajak kepada kebaikan
termasuk di dalamnya segala perkara umum yang diantaranya menetapkan
hukum atau peraturan untuk rakyat yang dibuat lewat musyawarah.Kedua,
menindak para penguasa yang zalim, yakni yang melakukan penyimpangan
dalam pemerintahan.
Apabila Ulil Amri telah bermufakat menetukan suatu peraturan,
rakyat wajib mentaatinya, dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan
tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul. Sesungguhnya Ulil
Amri adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah
dan dalam menentukan kesepakatan mereka.11 Berbagai pengertian yang
dikemukakan mengenai Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdioleh pakar muslim secara
tersirat menguraikan kategori orang-orang yang representatif dari berbagai
kelompok sosial, memiliki profesi dan keahlian berbeda baik dari birokrat
pemerintahan maupun lainnya.
Walaupun tidak ada kejelasan apakah dipilih oleh rakyat atau
langsung ditunjuk oleh kepala pemerintahan. Dengan kata lain
11
25
anggotanya harus terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang diakui tingkat
keilmuan mereka, sementara cara pemilihan adalah suatu hal yang bersifat
relatif, berarti banyak bergantung pada situasi dan kondisi zaman.12
3. Tugas dan wewenang ahlul halli wal ‘aqdi
Ada sepuluh tugas yang harus dilakukan seorang imam (khalifah);
1) Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang establish, dan ijma’ generasi salaf. Jika muncul pembuat bid’ah, atau
orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan.
2) Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara, dan mengehentikan perseteruan diantara dua pihak yang berselisih, agar keadilan menyebar secara merata, kemudian orang tiranik tidak sewenang-wenang, dan orang teraniaya tidak merasa lemah.
3) Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci, agar manusia dapat leluasa bekerja, dan berpergian ketempat manapun dengan aman dari gangguan terhadap jiwa dan harta.
4) Menegakkan supremasi hukum (hudud) untuk melindungi larangan-larangan Allah Ta’ala dari upaya pelanggaran terhadapnya, dan melindungi hak-hak hamba-hamba-Nya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya.
5) Melindungi daerah-daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh, dan kekuatan yang tangguh hingga musuh tidak mampu mendapatkan celah untuk menerobos masuk guna merusak kehormatan, atau menumpahkan darah orang muslim, atau orang yang berdamai dengan orang muslim (Mu’ahid).
6) Memerangi orang yang menentang Islam setelah sebelumnya ia didakwahi hingga ia masuk Islam, atau masuk dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu dzimmah), agar hak Allah Ta’ala terealisir yaitu
kemenangan-Nya atas seluruh agama.
7) Mengambil Fai (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa
pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan Syari’at
secara tekstual atau ijtihad tanpa rasa takut dan paksa.
12
26
8) Menentukan gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam Baitul Mal (kas negara) tanpa berlebih-lebihan, kemudian mengeluarkannya tepat pada waktunya, tidak mempercepata atau menunda pengeluarannya.
9) Mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi masalah keuangan, agar tugas-tugas ini dikerjakan oleh orang-orang yang ahli, dan keuangan dipegang oleh orang-orang yang jujur.
10)Terjun langsung menangani persoalan segala persoalan, dan menginspeksi keadaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama.
Tugas-tugas tersebut, tidak boleh ia delegasikan kepada orang lain
dengan alasan sibuk istirahat atau ibadah. Jika tugas-tugas tersebut ia
limpahkan kepada orang lain, sungguh ia berkhianat kepada ummat, dan
menipu penasihat. Allah Ta’ala berfirman;
Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (pemimpin) dimuka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu , karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Shaad:
26).
Pada ayat diatas Allah SWT tidak hanya memerintahkan
pelimpahan tugas, namun lebih dari itu Dia memerintahkan penanganan
langsung. Ia tidak mempunyai alasan untuk mengikuti hawa nafsu. Jika hal
itu ia lakukan, maka ia masuk kategori orang tersesat. Inilah kendati
pelimpahan tugas dibenarkan berdasarkan hukum agama dan tugas
27
B. Hak-hak Ahlul Halli Wal Aqdi
Para ulama ushul fiqh menjelaskan bahwa di dalam Islam, kekuasaan
(kedaulatan) ada ditangan umat, yang diselenggarakan oleh Ahlul Halli Wal
Aqdi. Kelompok ini mempunyai wewenang untuk mengangkat khalifah dan
para Imam, juga untuk memecatnya jika musyawarah sudah terpenuhi demi
kepentingan umat. Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam
perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan
dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan salah satu dari dasar-dasar
syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih
pemimpin tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup
melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai
wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan
penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap suatu
hak dari hak-hak Allah.
Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall wal-aqd ini tampak hak-hak
sebagai berikut:
1. Ahl al-hall wal-aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat imam.
2. Ahl al-hall wal-aqdi mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
28
4. Ahl al-hall wal-aqdi tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
5. Ahl al-hall wal-aqdi mengawasi jalannya pemerintahan, wewenang no 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang no 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan wewenang no 4 adalah wewenang DPA di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945.
Menurut Al-Mawardi, imamah dilembagakan untuk menggantikan
kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur
kehidupan dunia. Pelembagaan imamah, menurutnya adalah fardhu kifayah
berdasarkan ijma’ ulama13. Pandangannya didasarkan pula pada realitas
sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik
dari Bani Umayyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan
politik umat Islam. Pandangannya ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang
menyatakan ma la yatimmu al-wajibilla bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban
tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat tu juga
hukumannya wajib).
Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib,
sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka
hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah). Hal ini juga sesuai
dengan kaidah amr bi syay’ amr bi wasa’ilih (perintah untuk mengerjakan
sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan
penghubung-penghubungannya). Negara adalah alat atau penghubung untuk menciptakan
kemaslahatan bagi manusia.
13
29
Al-Mawardi berpendapat bahwa pemilihan kepala negara harus
memenuhi dua unsur, yaitu ahl al-ikhtiyar atau orang yang berwenang untuk
memilih kepala negara, dan ahl al-imamah atau orang yang berhak menduduki
jabatan kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil,
mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang
luas serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik
untuk negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi tujuh
persyaratan yaitu: adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat
panca inderanya, punya kemampuan menjalankan pemerintahan demi
kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan Islam dan berjihad
untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy.14
Ahl al-ikhtiyar inilah yang dalam teori Al-Mawardi disebut
Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi (orang-orang yang dapat melepas dan mengikat). Kepala
negara dipilih berdasarkan kesepakatan mereka. Sayangnya, Al-Mawardi tidak
menjelaskan prosedur pemilihan Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi. Hal ini mungkin
karena dalam praktiknya keanggotaan mereka ditentukan dan diangkat oleh
kepala negara. Karenanya, kedudukan mereka menjadi tidak independen. Ini
mengakibatkan Ahlu-Halli Wa al-‘Aqdi tidak mampu menjalankan fungsinya
sebagai alat kontrol terhadap kepala negara. Apalagi kalau dikaitkan dengan
pendapatnya bahwa kepala negara juga dapat diangkat berdasarkan wasiat
kepala negara sebelumnya.15
14
Ibid,. hal. 6.
15
30
Al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kandidat kepala
negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kepada
kandidat yang paling memenuhi kualifikasi diminta kesediaannya. Dalam hal
ini Al-Mawardi menolak pemaksaan terhadap kandidat kepala negara, sebab
jabatan kepala negara merupakan kontrak yang harus dilakukan kedua belah
pihak atas dasar kerelaan. Kalau kandidat kepala negara bersedia dipilih, maka
telah dimulailah sebuah kontrak sosial antara kepala negara dan masyarakat
yang diwakili oleh Ahl al-ikhtiyar. Mereka melakukan bay’ah terhadap kepala
negara terpilih untuk kemudian diikuti oleh masyarakat islam.
Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara
kepala negara sebagai penerima amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah.16
Menurut Al-Mawardi, secara garis besar ada 10 tugas dan kewajiban kepala
negara terpilih, yaitu:
a) Memelihara Agama
b) Melaksanakan hukum diantara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang
terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan teraniaya
c) Memelihara keamanan dalam negeri agar orang dapat melakukan
aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan aman
d) Menegakkan hudud
e) Membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi negara dari
serangan musuh
16
31
f) Melakukan jihad terhadap orang yang menolak ajaran islam setelah diajak
g) Memungut harta fa’i dan zakat dari orang yang wajib membayarnya
h) Membagi-bagikannya kepada yang berhak
i) Menyampaikan amanah
j) Memperhatikan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik
pemerintahannya terhadap masyarakat dan pemeliharaannya terhadap
agama.17
Dalam kaitannya dengan fungsi keagamaan kepala negara,
Al-Mawardi menyatakan bahwa penguasa adalah pelindung agama. Dialah yang
melindungi agama dari pendapat-pendapat sesat yang merusak kemurnian
agama, mencegah muslim dari kemurtadan dan melindunginya dari
kemungkaran. Bagi Al-Mawardi, karena adanya hubungan timbal balik antara
agama dan penguasa, wajib hukumnya bagi umat islam mengangkat penguasa
yang berwibawa dan tokoh agama sekaligus. Dengan demikian, agama
mendapat perlindungan dari kekuasaan dan kekuasaan kepala negara pun
berjalan diatas rel agama.18
Namun Al-Mawardi juga menegaskan kemungkinan tidak bolehnya
umat taat kepada kepala negara apabila pada dirinya terdapat salah satu dari
tiga hal, yaitu19:
(1) Menyimpang dari keadilan (berbuat fasik)
17
Ibid,. hal. 16.
18
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din,terjemahan Ibrahim Syu’aib, Etika Agama dan Dunia, hal. 100-101.
19
32
(2) Kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya
(3) Dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau ditawan oleh musuh.
Sifat tidak adil kepala negara dapat dilihat dari kecenderungannya
memperturutkan syahwat (nafsu) seperti melakukan perbuatan yang dilarang
agama dan mungkar serta melakukan hal-hal yang syubhat. Perbuatan tersebut
menjatuhkan kredibilitas kepala negara sebagai pemimpin, sehingga ia tidak
pantas memangku jabatannya lagi.
Namun demikian, Al-Mawardi menegaskan bahwa hilangnya fungsi
pancaindra kepala negara tidak serta-merta menyebabkan hilangnya hak
kekhalifahan dan ketaatan rakyak kepadanya. Menurutnya, hilangnya fungsi
akal dan penglihatan menyebabkan hilangnya hak khilafah dan ketaatan,
karena hal ini sangat vital bagi kepala negara dalam melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan. Sementara hilangnya kemampuan merasa atau mencium tidak
mengakibatkan hilangnya hak khilafah dan ketaatan rakyat kepada kepala
negara, karena hal ini tidak berhubungan sama sekali dengan kemampuan akal
dan kesanggupannya untuk melakukan tugas-tugas kenegaraan. Adapun
hilangnya kemampuan mendengar bicara, menurut Al-Mawardi, masih
diperdebatkan para ulama. Ada yang menyatakan hal demikian
33
Menurut Al-Mawardi20, ada dua kemungkinan akibat bila kepala
negara dikuasai oleh orang-orang dekatnya. Kalau orang-orang dekatnya
menguasainya tetapi masih menjalankan kebaikan dan tidak menyusahkan
rakyat, maka kepala negara tetap dibiarkan dalam jabatannya. Tetapi bila
tindakan dan perbuatan orang-orang dekatnya sudah menyimpang dari agama
dan keadilan , maka mereka harus ditindak. Demikian juga kalau kepala
negara ditawan musuh dan tidak dapat melepas diri, maka umat islam harus
segera mencari penggantinya untuk menjalankan roda pemerintahan sehingga
tidak terjadi kevakuman politik.
Semenjak berakhirnya masa pemerintahan khulafaurrasyidin
sektarianisme Arab Islam muncul mengatasnamakan Islam sebagai ruh dari
negara dan pemerintahan yang sedang dipegang oleh suatu dinasti yang
sedang berkuasa. Sebagai penguasa dinasti, sang penguasa tentu
mengutamakan pula kepentingan dinastinya. Oleh karena itu penguasa harus
menjaga imagenya sebagai penguasa Islam dan untuk tujuan dimaksud para
ulama tidak boleh diabaikannya sehingga ia senantiasa harus berusaha untuk
menetapkan sebagaian diantaranya sebagai pembantu dalam mengeluarkan
hukum dan undang-undang yang disetujui mereka dan dengan demikian dapat
diakui bernafaskan Islam21. Akan tetapi, kenyataannya, tidak semua ulama
bersedia untuk tugas itu, apalagi apabila telah terbukti bahwa kebenaran dan
keadilan penguasa meyakinkan para ulama bahwa ia lebih patut disebut
20
Muhammad Iqbal, Pemikiran politik islam dari masa klasik hingga indonesia kontemporer, hal. 23.
21
34
sebagai penguasa yang dzalim yang suka bertindak sewenang-wenang dan
seorang yang alim.
Di setiap era, dalam Islam, berulangkali tampil para ulama yang lebih
setia kepada keyakinan dan agamanya daripada terhadap penguasanya, dan
tidak jarang, akibat dari itu, mereka dipenjarakan atau diamankan seperti yang
telah dialamai oleh para Imam besar mazhab fiqh, Abu Hanifah, Malik bin
Anas, al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal yang menjadi penghuni langganan
dalam penjara dan para ulama lain yang mengalami nasib lebih buruk dari
mereka.Meskipun demikian para ulama banyak bergerak dalam lapangan teori
kenegaraan dengan berbagai corak. Kegiatan pemikiran ini diawali oleh
beberapa ulama diantaranya; al-Mawardi, al-Baqillani al-Ghazali, ibn
Qutaibah, ibn Muqaffa’, ibn Taimiyah, ibn Jama’ah, al-Farabi, ibn Sina dan
lain sebagainya. Di masa awal kebangkitan pemikiran kenegaraan itu yang
paling besar dan menonjol teorinya pada masa itu adalah Mawardi dan
al-Farabi. Kemudian diikuti oleh para ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya
seperti ibn Taimiyah, Muhammad ibn Abd Wahab, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, al-Kawakibi, Hasan al-Banna, Abul A’la
Maududi, Khumaini dan lain sebagainya. Selain gerakan pemikiran, para
ulama dan tokoh-tokoh Islam tersebut juga bergerak dalam kegiatan-kegitan
organisasi praktis, yang selanjutnya berkembang menjadi gerakan-gerakan
pembaharuan politik dan kenegaraan.
Secara ideal Al-Mawardi menginginkan kepala negara yang berkuasa
pembantu-35
pembantunya. Namun kenyataannya, khalifah-khalifah Bani Abbas hanya
menjadi kepala negara simbol dan bahkan seperti boneka yang dapat
dikendalikan oleh para pejabat tinggi negara. Itulah sebabnya Al-Mawardi
masih menoleransi orang yang menguasai kepala negara, sejauh tidak
membahayakan negara dan umat islam. Al-Mawardi masih menerima
kenyataan khalifah Bani Abbas yang menjadi boneka dari kepentingan politik
pejabat-pejabat tinggi negara.
Seandainya Al-Mawardi maju sedikit mengembangkan teorinya
tentang mekanisme pemberhentian kepala negara, dapat dipastikan bahwa
kekhalifahan Bani Abbas akan segera berakhir dan digantikan oleh Bani
Buwaihi yang sudah mendominasi politik pemerintahan. Hal ini tentu tidak
diinginkan Al-Mawardi. Apalagi Al-Mawardi penganut doktrin al-A’immah
min Quraisy ( kepala negara harus dari suku quraisy). Pandangan Al-Mawardi
di atas setidaknya dapat mengamankan posisi khalifah Bani Abbas.
Di sisi lain, Al-Mawardi juga berusaha mengembalikan kekuasaan
Bani Abbas dengan menegaskan bahwa hanya ada satu kepala negara untuk
umat Islam dalam satu masa yang sama.22 Pandangan ini merupakan upaya
Al-Mawardi mengantisipasi tuntutan Fathimiyah di Mesir yang ingin membentuk
dinasti sendiri dan terpisah dari Bani Abbas. Pengabsahan tuntutan itu tentu
saja merupakan ancaman serius bagi keutuhan kekuasaan Bani Abbas. Dengan
pandangannya ini, Al-Mawardi berusaha mempertahankan sisa-sisa kekuatan
dinasti Bani Abbas, setidaknya memperlambat kehancurannya.
22
36
Pandangan Al-Mawardi tentang kontrak sosial juga merupakan
pemikiran modern yang sekarang banyak dianut oleh bangsa-bangsa maju.
Kontrak sosial ini meniscayakan adanya checksand balance antara pemerintah
dan rakyat. Dengan demikian, pemerintah tidak dapat berbuat
sewenang-wenang, karena ada koridor-koridor yang harus diikutinya.Untuk
melaksanakan pemerintahan Allah telah memberi bimbingan dan petunnjuk
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Namun hal ini tidak
dicontohkan sebagai hal yang baku, karena Allah lebih banyak memberikan
garis-garis besarnya saja melalui Alquran dan Sunnah.
Untuk itu manusia harus dapat melakukan pemahaman kreatif
terhadap garis-garis besar tersebut agar dapat diterapkan dalam masyarakat
islam. Sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang.Al-Mawardi
menjelaskan bahwa Ahlul Halli wal ‘Aqd merupakan lembaga yang tidak
terorganisir, terstuktur dan tidak independen yang berada di bawah kekuasaan
kepala negara. Sehingga ada indikasi bahwa lembaga tersebut hanya sebagai
legitimasi kekuasaan belaka. Disamping itu anggotanya dipilih oleh kepala
negara sehingga tidak representatif bagi kepentingan umat. Dan Mawardi
BAB III
HAK IMUNITAS ANGGOTA DPR DALAM UU NO. 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD
A. Hak Imunitas Anggota DPR
1. Pengertian Hak imunitas anggota DPR
Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang
bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian
rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan
sekecil-kecilnya.Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan
membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang,
dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi
kepentingan di lain pihak1
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut.Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya.Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut sebgaai hak.Dengan demikian setiap
kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya
1
38
kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada
seseorang.
Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang satu mencerminkan adanya yang lain. Cirri-ciri yang melekat pada hak menurut hokum adalah sebgaai berikut (Fitzgerald, 1966 : 221)2 :
1. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif. 3. Hak yang ada ;pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk
melakukan (Commission) atau tidak melakukan (Omission) sesuatu perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.
4. Commission atau Omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak.
5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Pengertian “hak” pada akhirnya juga dipakai dalam arti kekebalan
terhadap kekuasaan hukum orang lain. Sebagaimana halnya kekuasaan itu
adalah kemampuan untuk mengubah hubungan-hubungan hukum,
kekebalan ini merupakan pembebeasan dari adanya suatu hubungan hukum
untuk bisa diubah oleh orang lain. Kekebalan ini mempunyai kedudukan
yang sama dalam hubungan dengan kekuasaan, seperti antara kemerdekaan
dengan hak dalam arti sempit: kekebalan adalah pembebasan dari
kekuasaan orang lain, sedang kemerdekaan merupakan pembebasan dari hak
orang lain.
Lembaga legislatif adalah lembaga yang memegang kekuasaan
membuat undang-undang sebagai sistem lembaga perwakilan rakyat.
2
39
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama
mencerminkan kedaulatan rakyat3. Kegiatan bernegara, pertama-tama
adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan
untuk menetapkan peraturan itu harus diberikan kepada lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif.Oleh karena itu,
fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan
untuk menentukan peraturan yang mengikat dan membatasi. Dengan
demikian, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang
rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum yang
dimaksud sebab cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada
dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat.Dalam pengaturan yang lebih
tegas dapat dilihat dalam pasal 224 undang-undang no. 17 tahun 20144,
yaitu:
1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan / atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan / atau anggota DPR.
3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan / atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah
3
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 299.
4
40
disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis mahkamah kehormatan dewan. 6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan
putusan atas surat permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah diterimanya pemanggilan keterangan tersebut. 7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak
memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/ batal demi hukum.
Dalam kamus hukum, Sudarsono membagi hak imunitas ke dalam 2
(dua) bagian:
1) Hak anggota DPR dan para menteri untuk menyatakan melalui
tulisan atau membicarakan segala hal kepada lembaga tersebut
tanpa dapat dituntut di muka pengadilan.
2) Kekebalan hukum bagi kepala Negara, perwakilan diplomatik
dari hukum pidana, hukum perdata dan hukum tata usaha
negara yang dilalui atau negara tempat mereka ditempatkan
atau bertugas.5
Dalam hukum dikenal 2 (dua) macam hak Imunitas, yaitu: hak
imunitas mutlak, yaitu hak imunitas yang tetap berlaku secara mutlak
dalam arti tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Sedangkan hak imunitas
kualifikasi bersifat relatif, dalam arti hak imunitas ini masih dapat
5
41
dikesampingkan. Manakala penggunaan hak tersebut “dengan sengaja”
dilakukan menghina atau menjatuhkan nama baik dan martabat orang lain.