• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Tinjauan Pustaka"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

12

Bagian ini berisi kajian yang menjadi landasan pelaksanaan tesis atau state of the art. Kajian yang terkait antara lain konsep dasar kolaborasi, konsep ensiklopedia dalam rekayasa informasi, dan konsep pemodelan sistem yaitu ontologi dan deduction rules. I.1. Konsep Dasar Kolaborasi

Konsep dasar kolaborasi meliputi definisi umum dan prasyarat (requirement) kolaborasi. Konsep dasar kolaborasi disusun berdasarkan Collaborative Network Reference Modelling dalam (Matos, 2008).

I.1.1. Definisi

Terdapat sejumlah gagasan dalam istilah kolaborasi. Istilah ini juga seringkali disama-artikan dengan kooperasi. Walaupun pembedaan kedua istilah tersebut telah didefinisikan, terdapat berbagai penggunaan istilah kolaborasi dalam literatur yang ada. Ambiguitas mencapai tingkat yang lebih tinggi ketika dihadirkan istilah lain yang berkaitan seperti networking, komunikasi, dan koordinasi. Walaupun masing-masing konsep tersebut merupakan komponen yang penting dalam kolaborasi, konsep tersebut tidak memiliki nilai yang sama dan tidak sepadan dengan konsep kolaborasi. Untuk mengklarifikasi penggunaan konsep tersebut dikemukakan working definition sebagai berikut :

Definisi 1. Networking : meliputi komunikasi dan pertukaran informasi yang saling menguntungkan. Istilah ini digunakan dalam berbagai konteks dan seringkali memiliki arti yang berlainan. Misalnya ketika orang berbicara berkenaan dengan “enterprise network” atau “enterprise networking” maka arti yang diharapkan adalah “collaborative network of enterprises”. Contoh sederhana dari networking adalah ketika sekelompok entitas berbagi informasi mengenai pengalamannya menggunakan suatu perangkat. Mereka dapat memperoleh manfaat dari informasi yang tersedia,

(2)

tanpa perlu memiliki tujuan bersama atau struktur yang mempengaruhi bentuk dan waktu kontribusi individu.

Definisi 2. Coordinated Networking : meliputi komunikasi dan pertukaran informasi, dan juga adanya keselarasan aktivitas sehingga dicapai hasil yang lebih efektif. Koordinasi yang merupakan tindakan bekerja bersama-sama secara harmonis, adalah hal utama dari Coordinated Networking. Contoh sederhana dari aktivitas Coordinated Networking terjadi ketika sejumlah entitas heterogen berbagi informasi dan menetapkan kerangka waktu, misalnya aktifitas lobi pada subyek baru untuk memaksimalkan pengaruh. Namun demikian masing-masih entitas dapat memiliki tujuan yang berbeda, serta menggunakan sumberdaya dan metode sendiri dalam menciptakan pengaruh.

Definisi 3. Kooperasi : tidak hanya melibatkan pertukaran informasi dan pengaturan aktivitas, melainkan juga berbagi sumberdaya untuk mencapai tujuan yang sesuai. Kooperasi dicapai dengan melakukan pembagian pekerjaan antara partisipan. Contoh proses kooperasi, sebuai rantai pasok (supply chain) tradisional berdasarkan hubungan client-supplier dan peran-peran yang telah didefinisikan dalam value chain. Setiap partisipan melakukan bagian pekerjaannya, seolah-olah melakukan hal yang independen. Tetapi bagaimanapun terdapat perencanaan bersama, yang dalam banyak kejadian tidak didefinisikan bersama melainkan oleh masing-masing entitas, dan membutuhkan suatu kerjasama low-level setidaknya pada titik dimana hasil dari suatu entitas disampaikan pada entitas berikutnya. Dengan demikian tujuan mereka sesuai, dalam hal ini bahwa hasil yang diperoleh dapat ditambahkan atau tersusun dalam suatu value chain menuju produk akhir atau layanan.

Definisi 4. Kolaborasi : merupakan sebuah proses dimana sejumlah entitas berbagi informasi, sumberdaya, dan tanggung jawab untuk bersama-sama merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program, untuk mencapai tujuan bersama. Konsep ini diturunkan dari bahasa Latin ‘collaborare’ yang berarti ‘bekerja bersama’, dan dapat dilihat sebagai sebuah proses penciptaan bersama; dengan demikian sebuah

(3)

proses dapat dilalui apabila sekelompok entitas meningkatkan kapabilitas satu sama lain. Hal tersebut termasuk berbagi resiko, sumberdaya, tanggung jawab, dan penghargaan. Kolaborasi melibatkan perjanjian antar partisipan yang saling menguntungkan untuk menyelesaikan suatu persoalan bersama-sama, termasuk saling mempercayai kemudian meluangkan waktu, upaya, dan dedikasi.

Contoh dari proses kolaborasi terjadi dalam concurrent engineering, yaitu ketika sekelompok tim ahli bersama-sama mengembangkan suatu produk baru. Dalam hal ini meskipun sejumlah koordinasi dibutuhkan, terjadi proses pencarian yang divergen dan spontan, dan bukan suatu harmoni yang terstruktur.

Keempat definisi tersebut membangun sebuah building block untuk definisi selanjutnya, yaitu koordinasi merupakan perluasan dari networking, kooperasi merupakan perluasan dari koordinasi, dan kolaborasi merupakan perluasan dari kooperasi. Berbagai tingkat interaksi tersebut dapat dipandang sebagai Collaborative Maturity Level. Dengan kata lain building block ini dapat dijadikan basis dalam menilai sejauh mana kematangan proses kolaborasi dalam suatu organisasi. Ilustrasi building block dapat dilihat pada Gambar II.1.

(4)

II.1.1 Prasyarat Kolaborasi (Requirements for Collaboration)

Kolaborasi merupakan proses yang sulit, sehingga peluang kesuksesannya bergantung pada pemenuhan prasyarat sebagai berikut:

a. Kolaborasi harus memiliki maksud. Biasanya diwujudkan dalam suatu tujuan bersama atau persoalan yang harus diselesaikan bersama. Tidaklah cukup apabila pihak terkait memiliki tujuannya masing-masing.

b. Prasyarat dasar atau prekondisi dari kolaborasi meliputi :

a. Masing-masing pihak yang terlibat sepakat untuk berkolaborasi. b. Masing-masing pihak mengetahui kapabilitas satu sama lain.

c. Masing-masing pihak berbagi suatu tujuan dan menjaga visi bersama selama proses kolaborasi menuju tercapainya tujuan bersama.

d. Masing-masing pihak memelihara pemahaman bersama atas suatu persoalan yang dihadapi. Hal ini berarti harus terjadi diskusi mengenai posisi kemajuan masing-masing (harus ada kepedulian (awareness) satu sama lain).

Proses sharing (berbagi) meliputi tanggung jawab bersama dalam partisipasi dan pengambilan keputusan, sumberdaya bersama, dan akuntabilitas bersama atas hasil baik berupa penghargaan atau kekurangan, percaya satu sama lain. Sharing tidak berarti persamaan. Pihak yang berbeda mungkin memiliki porsi keterlibatan yang berbeda, sesuai dengan peran dan komitmennya.

c. Sebagai sebuah proses, kolaborasi membutuhkan pengaturan atas sejumlah langkah dasar yaitu:

a. Identifikasi pihak-pihak yang terkait dan libatkan mereka bersama. b. Definisi dari ruang lingkup kolaborasi dam hasil yang diharapkan c. Definisi struktur kolaborasi, meliputi kepemimpinan, peran, tanggung

jawab, kepemilikan dari aset yang dihasilkan.

d. Identifikasi resiko dan pengukuran atas rencana kontigensi . e. Membangun komitmen untuk berkolaborasi.

(5)

d. Kolaborasi membutuhkan “ruang kolaborasi” yaitu sebuah lingkungan yang mendukung dan memfasilitasi proses kolaborasi. Karakteristik dan sifat dasar dari ruang ini bergantung dari bentuk kolaborasi. Kolaborasi dapat berlangsung dalam waktu yang bersamaan (synchronous collaboration) atau dalam waktu yang berbeda (asynchronous collaboration). Kolaborasi juga dapat terjadi dalam waktu yang sama (collocated collaboration), atau dalam tempat berbeda (remote atau virtual collaboration). Remote Collaboration merupakan kejadian yang paling relevan dalam collaborative network, yang dapat terjadi dalam interaksi synchronous maupun asynchronous.

e. Poin utama kesulitan dalam kolaborasi meliputi :

a. Sumberdaya. Kepemilikan dan sharing sumberdaya merupakan kesulitan yang umum. Baik sumberdaya yang dibawa oleh anggota, maupun sumberdaya yang diperoleh dari koalisi ketika menjalankan suatu task.

b. Penghargaan. Menemukan cara yang adil dalam menentukan kontribusi individual dalam penciptaan suatu kekayaan intelektual merupakan persoalan yang lebih harus diperhitungkan. Penciptaan kekayaan intelektual tidak secara linear berkaitan dengan proporsi investasi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Hal yang mendasar dalam persoalan ini adalah kebutuhan dalam mencapai persepsi bersama atas nilai yang ditukarkan, yang membutuhkan definisi dari model manfaat dan sistem insentif, berdasarkan sistem nilai yang disepakati.

c. Komitmen. Ketika ada hambatan yang menghadang kolaborasi setiap pihak harus menanggapi dengan sungguh-sungguh, menghadapi konsekuensinya bersama.

d. Tanggung jawab. Fenomena umum dalam usaha yang dilakukan secara kolektif adalah ketidakjelasan tanggungjawab. Keberhasilan kolaborasi bergantung pada pembagian tanggung jawab, baik selama

(6)

proses pencapaian tujuan, maupun pertanggung jawaban setelah kolaborasi berakhir.

Keseluruhan persoalan tersebut harus diposisikan melalui sekumpulan pekerjaan bersama dan kesamaan prinsip. Terlepas dari berbagai kesulitan yang telah didefinisikan sebelumnya, faktor yang memotifasi adalah harapan untuk dapat mencapai hasil yang tidak dapat dicapai jika dilakukan sendiri.

II.2 Lingkungan Kolaborasi

Lingkungan kolaborasi adalah sistem yang mendukung user dalam melaksanakan tasks secara kolaboratif (DARPA, 1999). Karakteristik dan sifat lingkungan ini bergantung dari bentuk kolaborasi yang dijalankan. Kolaborasi dapat berlangsung dalam waktu yang sama (synchronous collaboration), atau dalam waktu yang berbeda (asynchronous collaboration). Kolaborasi juga dapat berlangsung pada tempat yang sama (collocated collaboration) atau pada tempat yang berbeda (remote atau virtual collaboration) (Winkler, 2002 dalam (Matos, 2008)). Remote Collaboration adalah keadaan yang paling relevan dalam collaborative network, yang melibatkan baik interaksi synchronous maupun interaksi asynchronous. (Matos, 2008)

Dalam tesis ini lingkungan kolaborasi dibangun berdasarkan framework kolaborasi dari The Defense Advanced Research Project Agency (DARPA) Intelligent Collaboration and Visualization (IC&V) Program. DARPA IC&V memiliki tujuan untuk membangun generation-after-next collaboration middleware dan perangkat yang memungkinkan komponen militer dan kelompok yang bekerja sama untuk meningkatkan efektivitas kolaborasi dengan cara:

a. Mengumpulkan kolaborator bersama-sama, lintas ruang dan waktu, dengan respon yang cepat dalam situasi waktu yang kritis.

b. Memberikan sumberdaya informasi yang tepat, lintas ruang dan waktu, sesuai dengan konteks pekerjaanya (task).

(7)

Sebuah framework kemudian dibangun dalam rangka menstrukturkan way of thinking dalam collaborative system dan evaluasi dari sistem tersebut. Framework ini dapat membantu para peneliti dalam membuat suatu penilaian pendahuluan atas suatu sistem atau kegunaannya dalam mendukung pekerjaan suatu grup. Framework ini dibangun oleh Pinsonneault dan Kraemer (1989) untuk menganalisa pengaruh teknologi dalam suatu proses grup ketika mengendalikan pengaruh variabel kontekstual lain (DARPA, 1999). Framework dari collaborative system dapat dilihat pada Gambar II.2.

Gambar II.2 Collaborative Framework (DARPA, 1999)

Level Requirement

Level requirement dari collaborative framework terdiri atas requirements yang dihasilkan dari task yang dilaksanakan oleh grup dan dukungan yang diperlukan dari karakteristik grup. Requirements yang mendukung sejumlah tipe grup meliputi

(8)

dukungan terhadap interaksi sosial atas grup. Level requirements meliputi work tasks dan transition tasks.

Level Capability

Level capability dari framework mendeskripsikan fungsionalitas yang dibutuhkan untuk mendukung requirements yang berbeda. Fungsionalitas yang dideskripsikan dalam capability dapat dipenuhi oleh layanan yang berbeda. Misalnya kebutuhan untuk melakukan komunikasi secara sinkron antar partisipan dapat dipenuhi oleh layanan text chat atau telepon.

Level Service (layanan)

Level layanan mendeskripsikan layanan seperti email, audio, video, sharing aplikasi, dan layanan jaringan, yang dapat digunakan untuk memenuhi suatu capability yang diperlukan dalam sistem CSCW (Computer Supported Collaborative Work). Layanan yang berbeda dapat mendukung suatu capability yang sama, yang mendukung suatu requirements.

Level Technology

Level technology mendeskripsikan implementasi dari layanan. Level ini dapat dipandang sebagai kumpulan komponen yang mungkin dibutuhkan untuk membangun suatu sistem CSCW, juga integrasi dan antarmukanya. Implementasi yang spesifik dapat dibandingkan performansi, biaya, fungsionalitas, dan usability. Keempat komponen tersebut dapat digabungkan dalam sebuah contoh berikut: Untuk memenuhi kebutuhan (requirement) berbagi informasi dengan rekan kerja, sebuah kelompok dapat menggunakan kapabilitas (capability) kolaborasi yaitu komunikasi synchronous. Salah satu service yang mungkin digunakan untuk mencapai maksud tersebut adalah audio conferencing. Salah satu teknologi yang mendukung audio conferencing adalah Lawrence Berkeley Laboratory’s Visual Audio Tool (DARPA, 1999).

(9)

Menilai requirement dan capability yang didukung oleh lingkungan kolaborasi, dan service dan teknologi khusus yang digunakan, merupakan salah satu cara untuk membentuk kategorisasi fungsional dari lingkungan kolaborasi. Kategorisasi ini dapat digunakan untuk membentuk dan menentukan jenis sistem kolaborasi yang sesuai bagi aktivitas yang akan dilakukan (DARPA, 1999).

II.3 Information Engineering

Information Engineering (IE) menurut James Martin didefinisikan sebagai metode formal untuk perencanaan, analisis, perancangan, dan konstruksi sistem informasi pada sebuah enterprise-wide meliputi sektor-sektor utama pada enterprise tersebut (Martin, 1989). IE juga seringkali didefinisikan sebagai “an organization-wide set of automated disciplines for getting the right information for to the right people at the right time”.

Beberapa karakteristik dari IE adalah sebagai berikut:

1. IE mengaplikasikan teknik terstruktur berbasis pada enterprise-wide atau sektor yang lebih besar dalam sebuah enterprise, tidak hanya berbasis pada suatu projek tertentu saja (project-wide basis).

2. IE dibentuk secara top-down dengan tahapan sebagai berikut: a. Perencanaan enterprise strategic system

b. Perencanaan enterprise information c. Business area analysis

d. System design e. Construction f. Cutover

3. Selama proses pelaksanaan tahapan tersebut, IE membangun sebuah repository pengetahuan yang terus berkembang mengenai enterprise, model data, model proses, dan system design yang dimilikinya..

4. IE menciptakan framework untuk membangun enterprise terkomputerisasi. 5. Pembangunan sistem harus sesuai dengan framework yang telah dirancang.

(10)

6. Dengan menggunakan framework, sistem dapat dibangun dan dimodifikasi dengan cepat menggunakan perangkat terotomasi (automated tools).

7. Pendekatan enterprise-wide memungkinkan koordinasi dari sejumlah sistem berbeda, dan memfasilitasi penggunaan ulang desain (reusable design) dan kode (reusable code).

8. IE melibatkan end user dalam setiap tahapan. 9. IE memfasilitasi evaluasi sistem jangka panjang.

10.IE mengidentifikasi bagaimana proses komputerisasi dapat membantu pencapaian tujuan strategis perusahaan secara optimal.

Framework IE diilustrasikan dalam Gambar II.3. Framework terluar berhubungan dengan perencanaan strategis, berfokus pada bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan competitive advantage dan mencapai tujuannya dengan lebih baik. Framework yang berada di dalam, berlabel data administration, data models, dan process models. Data models dan process models dari suatu area bisnis diciptakan secara independen dari aplikasi spesifik. Sejumlah aplikasi komputer akan dirancang dan dibangun dan hal ini akan dilakukan dengan perangkat terkomputerisasi yang akan selalu sesuai dengan framework. Kelompok berbeda di tempat berbeda pada waktu yang berbeda akan membangun sistem yang berhubungan dengan framework yang terkomputerisasi.

Strategic Planning; Enterprise Models

Data Administration, Data Models, Process Models

System Planning Analysis Design Code Generation Database Generation Maintenance

(11)

Untuk merepresentasikan aktivitas sistem informasi perusahaan dapat digambarkan sebuah piramida seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.4. Dari dalam gambar dapat dilihat bahwa terdapat empat tahap dalam IE, yaitu sebagai berikut:

Tahap 1 : Information Strategy Planning

Fokus pada tujuan top management dan critical success factors (CSF). Dalam tahap ini dirumuskan bagaimana teknologi digunakan untuk menciptakan peluang baru atau competitive advantages. Disusun pula high-level overview mengenai enterprise, fungsi-fungsinya, data, dan kebutuhan informasi.

Tahap 2 : Business Area Analysis

Fokus pada proses yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu business area, keterkaitan antar proses, dan data yang dibutuhkan.

Tahap 3 : System Design

Fokus pada implementasi proses pada suatu business area ke dalam suatu prosedur dan cara kerja dari prosedur tersebut. Dalam merancang prosedur dibutuhkan keterlibatan user secara langsung.

Tahap 4 : Construction

Implementasi prosedur yang digunakan menggunakan code generator, fourth-generation languages, dan end-user tools. Design dihubungkan dengan construction untuk melakukan proses prototyping.

Tahap 1 dan 2 merupakan proses yang tidak bergantung pada faktor teknologi (independent of technology), sedangkan tahap 3 dan 4 bergantung pada lingkungan implementasi (Dependent on the Target Environment).

(12)

Gambar II.4 Empat Tahapan IE

II.4 Ensiklopedia

Secara umum ensiklopedia merupakan ikhtisar tertulis yang komprehensif, yang memuat informasi dari seluruh cabang ilmu pengetahuan atau cabang tertentu dari pengetahuan. Maksud pembuatan sebuah ensiklopedia adalah untuk mengumpulkan pengetahuan yang tersebar, kemudian menyusunnya dalam suatu sistem dan menyampaikannya pada generasi selanjutnya. Dengan demikian kerja manusia dari abad ke abad tidak akan percuma, sehingga diharapkan generasi selanjutnya akan menjadi lebih baik, dan manusia tidak boleh mati tanpa kontribusi bagi masa yang akan datang (Diderot, 2007).

Istilah ensiklopedia kemudian digunakan James Martin dalam konteks Rekayasa Informasi. Ensiklopedia adalah inti dari rekayasa informasi, merupakan tempat penyimpanan terkomputerisasi yang mengakumulasi informasi yang berkaitan dengan proses perencanaan, analisis, desain, konstruksi, dan pemeliharaan sistem. Ensiklopedia memuat informasi kamus (yang berisi nama dan deskripsi item data,

(13)

proses, variabel, dan sebagainya) dan representasi lengkap dari rencana, model, dan desain, yang memiliki kemampuan untuk melakukan cross-checking, analisis keterhubungan, dan validasi. Ensiklopedia memuat banyak rules yang berkaitan dengan pengetahuan yang disimpannya, kemudian melakukan pemrosesan terhadap rules, teknik artificial-intelligence (kecerdasan buatan), untuk mendukung pencapaian keakuratan, integritas, dan kelengkapan dari rencana, model, dan perancangan. Ensiklopedia merupakan knowledge base yang tidak hanya menyimpan informasi mengenai pengembangan sistem, melainkan juga membantu mengontrol keakuratan dan validitasnya (Martin, 1989). Ilustrasi pengetahuan yang dikelola oleh ensiklopedia dapat dilihat pada Gambar II.5.

Gambar II.5 Ensiklopedia

Dalam pengembangannya, ensiklopedi tersusun atas empat layer sebagaimana dapat dilihat pada Tabel II.1.

(14)

Tabel II.1 Layer dalam Ensiklopedi (Martin, 1989)

Layer Komponen

Business Strategy Planning Strategic opportunities Critical Success Factors Enterprise Model Hierarchy of goals Function decomposition Information planning Business Area Analysis Detailed data model

Detailed process model Design of system Data flow diagrams

Program structures Screen design Dialog design Report design Database design

Construction Input to a Code generator

II.5 Pemodelan Sistem

Model merupakan representasi abstrak dari suatu lingkungan (environment), sistem, atau entitas dalam dunia nyata, sosial, atau logis. Umumnya model digunakan untuk sejumlah aspek pada fenomena yang dimodelkan. Dua model dari fenomena yang sama dapat sangat berbeda. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan requirement, perbedaan pendekatan konseptual, preferensi estetika, dan juga pengalaman yang berbeda. Untuk itu pengguna model harus memahami tujuan dari suatu model beserta asumsi atau batas validitasnya. Pemodelan dapat dilakukan pada berbagai tingkat abstraksi, dari pengembangan teoritis yang sangat abstrak, hingga representasi detail yang mendekatai entitas atau implementasi yang dimodelkan (Matos, 2008).

II.5.1 Reference Model

Reference model merupakan framework umum yang digunakan dalam memahami konsep, entitas, dan relasi dari suatu domain, dan merupakan pondasi dari area yang ditelaah. Reference model merepresentasikan konsep dari suatu area manifestasi, dan

(15)

diharapkan dapat memberikan inspirasi terhadap suatu area, melalui analogi terhadap domain dari collaborative network (Matos, 2008).

Reference model dibentuk atas dua faktor utama, yaitu reusability dan authority. Reusability dari elemen dalam suatu reference model terdiri atas beberapa faktor yaitu generality suatu model, ruang lingkup dan cakupan sudut pandang, tingkat abstraksi dan kesederhanaan (simplicity), bentuk ketersediaan/kemudahan untuk mengakses informasi, adanya panduan penggunaan dan contoh aplikasi pada suatu kondisi. Faktor authorship (kepengarangan) meliputi reputasi dari kontributor yang terlibat, basis yang diadopsi dan sumber referensi, daftar pengguna, kualitas proses pengujian, saluran penyebaran, lembaga profesional, dan proyek yang terlibat dalam penyebarannya.

Kedua faktor tersebut secara umum diilustrasikan dalam Gambar II.6.

Gambar II.6 Dasar Pembentukan Reference Model (Matos, 2008)

Terdapat sejumlah besar elemen yang dapat dipertimbangkan sebagai reference model. Elemen tersebut secara umum terbagi atas dua kelompok, yaitu logistik dari reference model dan dimensi dari reference model. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar II.7.

(16)

Logistik dari reference model mencakup tujuan (istilah dan entitas, perilaku, siklus hidup, dan keterhubungan), dan perangkat/bahasa pemodelan.

Kelompok kedua terdiri atas empat dimensi pemodelan yaitu:

1. Dimensi struktural : mengakomodasi elemen struktur dari collaborative network seperti aktor/partisipan dan peran, dan keterhubungannya.

2. Dimensi komponen : mencakup sumberdaya (resource), ontologi, dan data dan pengetahuan yang representatif.

3. Dimensi fungsional : meliputi fungsi, proses, prosedur dan metodologi. 4. Dimensi perilaku (behavioral) : meliputi sejumlah elemen dari perilaku serta

batasan terhadap perilaku tersebut. (misalnya kebijakan, kontrak, perjanjian)

Gambar II.7 Peta Pengembangan Model (Matos, 2008)

II.5.2 Ontologi

Pengertian ontologi sangat beragam dan berubah sesuai dengan perjalanan waktu. Beberapa paragraf berikut menguraikan berbagai definisi dengan mengacu kepada Benjamins dalam (Wicaksono, 2004).

(17)

Salah satu definisi awal dari Neches dan rekan mengatakan “Sebuah Ontologi merupakan definisi dari pengertian dasar dan relasi vocabulary dari sebuah area sebagaimana aturan dari kombinasi istilah dan relasi untuk mendefinisikan vocabulary”.

Beberapa tahun kemudian Gruber memberikan definisi yang banyak diacu oleh beberapa paper. Definisi tersebut adalah “Ontologi merupakan sebuah spesifikasi eksplisit dari konseptualisme”. Berdasarkan definisi Gruber banyak definisi yang coba diusulkan. Guarino dan Giaretta pada 1995 mengumpulkan hingga tujuh definisi yang berkoresponden dengan syntactic dan semantic interpretasi. Pada 1997, Borst melakukan modifikasi dari definisi Gruber dengan mengatakan “Sebuah ontologi adalah spesifikasi formal dari sebuah konseptual yang diterima (share)”.

Dua definisi dari Gruber dan Borst kemudian dijelaskan oleh Studer dengan pengertian sebagai berikut : “Konseptualisasi mengacu kepada sebuah model abstrak dari beberapa fenomena di dunia dengan memiliki identifikasi konsep yang relevan dari fenomena tersebut. Eksplisit dimaksud adalah tipe dari konsep yang digunakan, dan batasan dari eksplisit yang digunakan. Shared adalah merefleksikan sebuah ontologi mencoba menangkap pengetahuan secara konsesus yang tidak merupakan hal yang hanya terkait pada individu tetapi diterima oleh sebuha group / domain.” Ada juga definisi yang diberikan berdasarkan proses pengembangan dari ontologi, hal ini seperti yang dilakukan oleh Bernaras pada KACTUS proyek. Definisi yang diberikan adalah “Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base”. SENSUS proyek juga memberikan definisi : “Sebuah ontologi adalah sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”.

Dalam konsep formal semantic, sebuah ontologi mungkin dapat dalam berbagai bentuk, tetapi yang penting ini akan meliputi kumpulan istilah dan beberapa spesifikasi dari arti yang bersangkutan. Ini akan meliputi definisi dan sebuah indikasi

(18)

dari bagaimana konsep hubungan dari kumpulan sebuah struktur pada sebuah domaind an batasan yang mungkin dalam interpretasi istilah.

Dari berbagai definisi ontologi, perbedaan ini adalah sebagai pelengkap dari berbagai sudut pandang untuk hal yang sama. Sehingga perbedaan tersebut akan semakin memperkaya pengertian untuk ontologi bukan merupakan pengotakan dari ontologi tersebut.

Deskripsi ontologi secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran A. II.5.3 Deduction Rules

Rules merefleksikan dugaan konsekuensi dan mendefinisikan langkah pemikiran. Rules direpresentasikan dengan ekspresi ”if-then”. Representasi ini beroperasi pada fakta dan sesuai untuk pemikiran mengenai instance data yang konkrit. Rules dapat digunakan dalam problem solving dan dynamic behaviours dari knowledge-based system dengan melakukan deductive reasoning dari pengetahuan baru atau fakta baru. Rules banyak digunakan dalam aplikasi bisnis seperti computer-aided training, diagnostic fact finding, compliance monitoring, dan process control. Selain itu, rules dapat digunakan untuk sejumlah tujuan tidak hanya untuk reasoning instances, tetapi juga querying, sebagaimana menghubungkan rules untuk reasoning across domains.

Gambar

Gambar II.1 Collaborative Maturity Level (Matos, 2008)
Gambar II.2 Collaborative Framework (DARPA, 1999)
Gambar II.3 Framework IE (Martin, 1989)
Gambar II.4 Empat Tahapan IE
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya penelitian yang di keluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Bantul yang telah melakukan pendampingan dan

Pada kasus SC, teknik anestesi lokal biasanya tidak dilakukan kecuali apabila dengan permintaan pasien karena pengaruh toksik obat yang lebih besar.. Teknik anestesi regional yaitu

Salah satu pelaksanaan yang dilakukan pada awal mula masuk sekolah yaitu adanya Masa Orientasi Siswa yang pada hari terakhir guru tiap agama mengajak peserta didik sesuai

Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Giemsa dan toluidin blue menunjukkan bula subepidermal dengan peningkatan infiltrat sel mast di dermis yang mengarah pada diagnosis MKD

Produksi pe- ngetahuan kepemudaan yang berkelanjutan diperlukan tidak hanya dalam bentuk pe- ngetahuan murni namun juga diharapkan relevan untuk tujuan praktis

Dimana setiap karakter yang ditransmisikan atau frame berisi informasi tambahan (redundant) sehingga bila penerima tidak hanya dapat mendeteksi dimana error terjadi,

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki percaya diri tinggi memperoleh keterampilan proses sains biologi siswa lebih baik dengan skor 118,3

Salatiga adalah kota yang unik, kas dan menyenangkan bagi sebagian besar orang. Orang datang ke Salatiga bukan karena ada “gula-gula” atau sumber ekonomi yang melimpah, namun