• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek hegemonik beasiswa fulbright di kaji ulang : studi kasus beasiswa fulbright bagi tiga doktor ilmu sosial Indonesia 1970-1990 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Efek hegemonik beasiswa fulbright di kaji ulang : studi kasus beasiswa fulbright bagi tiga doktor ilmu sosial Indonesia 1970-1990 - USD Repository"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK HEGEMONIK BEASISWA FULBRIGHT,

DIKAJI ULANG

STUDI KASUS BEASISWA FULBRIGHT BAGI TIGA DOKTOR

ILMU SOSIAL INDONESIA TAHUN 1970-1990

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

NIM: 066322010

RETNO AGUSTIN

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

EFEK HEGEMONIK BEASISWA

FULBRIGHT, DIKAJI ULANG

STUDI KASUS BEASISWA FULBRIGHT BAGI TIGA DOKTOR

ILMU SOSIAL INDONESIA TAHUN 1970-1990

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

NIM: 066322010

RETNO AGUSTIN

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vi

MOTTO

Dalam dunia intelektual, pikiran saya serasa terjebak dalam belantara tanpa jalan keluar, dari sanalah saya belajar berfikir dan menemukan jalan

keluar.

(8)

vii

PERSEMBAHAN

Untuk Alfa dan Beta saya.

Kado pensiun Bapakku Triyatno, laki-laki tertabah itu. Bagi Ibuku Priyastuti. Menjawab pertanyaannya “Kenapa sekolah terus?”

Semoga menjadi peta jalan bagi adekku: Aris Kurniawan dan Aditia Tri Fujji Rahmawan.

Untuk Momo, anak kucing tersayang. Terimakasih telah menemani 3 tahun proses pencarian intelektual melalui penulisan tesis ini. Damai disurga ya nak.

Kepada teman-teman yang mengkontribusikan semangat, waktu dan budi baik bagi penyelesaian tesis ini. Mereka adalah kawan yang menjadi contoh dari tindakan, yang tak pernah mencela kebodohan dan menghakimi kesalahan saya, yang mengawani disaat gemilang maupun kalah: Johanes Arus, Mas Wid dan Kang Ali, Abang Ode, Vicky Djalong, Vicky Wijaya dan keluarga, Anne Vira, Mbak Ilma, Ariel Elfata, Rinto, Mbak Melati, Monica Laksono, Pandu dan Wikan, Mbak Iim, Bang Hasbi dan Bang Hendri, Bu Nahiyah dan Mbak Renny, Kang Sulz, Mbak Nehi, Kang Wahyu Basyir, Non Irma, Mbak Anna. Teman-teman baru: Nanda-Risa-Iyum-Oki-Nanda. Terimakasih.

Untuk organisasi yang saya cintai Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi serta seluruh perempuan akar rumput juga pengurus nasional yang tulus mendukung saya: Mbak Dian dan Mbak Damai. Serta kawan-kawan di Aekretariat Nasional.

Bagi keempat intelektual publik yang bersedia saya wawancarai: Pak Arief Budiman, Ibu Melani Budianta, Pak Amien Rais dan Pak Aristides Katoppo. Keramahan, kerendahatian beliau-beliau dalam membantu penelitian mengajarkan pada saya bahwa hal yang paling luar biasa dari intelektual publik adalah sikap personal dan praksis keseharian yang tidak congkak.

(9)

viii

KATA PENGANTAR

Tesis ini bermula dari hasrat saya mempertanyakan alasan yang mendorong beratus anak muda menjejali ruang seminar sosialisasi beasiswa pendidikan asing, juga berlomba memenuhi prasyarat teknis-administratif beragam beasiswa. Dalam sebuah percakapan dengan Pak Budiawan, beliau menunjukkan sebuah artikel David Ransom mengenai strategi penciptaan elite intelektual Indonesia pada masa akhir demokrasi terpimpin melalui beasiswa Ford Foundation. Sebuah catatan sejarah yang menarik tentang intelektual. Kelompok ini selalu menarik dalam setiap tahapan sejarah, sebagai kelas menengah intelektual kerap dituduh sebagai aktor oportunis penuh kepentingan sekaligus dalam diri mereka disandangkan harapan besar perubahan sosial. Ketertarikan saya juga dipicu keinginan memeriksa diri saya sendiri berikut hasrat menjadi “scholar”. Begitu mula si(n)tesis ini.

Awalnya tak ada kehendak menjadikan karya ini sebagai uji coba intelektual. Saya menginginkan karya yang gemilang namun pada saat yang sama saya merasa merunduk tak mampu. Sebagai sebuah minat ilmu bagi mahasiswa pascasarjana mungkin pilihan tema tesis ini kurang strategis dan rasional, karena saya tidak memperhitungkan lama waktu yang dibutuhkan untuk penelitian dan penulisan. Ada banyak minat dan latar belakang pribasi yang bisa dibaca dengan kajian budaya dan tentu saja bisa dikelola dengan lebih cepat, misal tentang migrasi, kajian feminist yang saya tekuni wacana maupun realitas empiriknya sekian tahun ini. Sedangkan dalam tesis ini saya digerakkan oleh gairah untuk menakhlukan sesuatu di luar diri saya, sesuatu yang nampak tak teraih dan menjatuhkan, membuat gelisah-kalah dan kehendak untuk bangkit melawan. Bagi saya, tesis ini subversi.

(10)

ix

tersebut menuntut saya untuk cermat membagi waktu, perhatian dan ketekunan. Sayang saya tak sepenuhnya begitu, bahkan jauh dari itu. Saya memang mencintai aktivitas saya sebagai aktivis gerakan sekaligus pekerja lsm, namun dalam tahun terakhir penyusunan tesis ini kadang saya merasa ruang aktivisme saya menyerupai tempat persembunyian, merasa aman sekaligus tercekam pada saat bersamaan. Ketika saya merasa tidak sanggup lagi menahan detakan jantung dan nafas memberat setiap kali sedang bekerja dan teringat kuliah yang terabaikan. Pada lima bulan terakhir saya menemukan keberanian untuk berjarak dari semua aktivisme untuk kemudian bersembunyi di gua kecil saya, membaca dan menulis, itu saja.

Sebuah pembelajaran kehidupan yang sangat besar empat tahun kuliah yang diawali dengan modal kenekadan. Yang saya inginkan adalah sekolah yang tinggi, soal biaya studi ketika itu saya yakin akan saya temukan pemecahannya sambil menjalani. Namun ternyata dampaknya tidak ringan. Dan itu juga buah ketidakberhitungan saya dalam waktu yang berdekatan membuat beberapa komitmen besar dan berjangka panjang: menjadi pengurus ormas perempuan di tingkat propinsi, kuliah dan juga ikatan kerja. Bisa jadi saya serakah dalam hidup, tapi ketika itu saya merasa modal saya hanyalah idealisme dan kenekadan. Hingga saya bukan hanya menambal sulam hidup, namun harus akrobat dan kerap kelelahan menawar hidup. Tidak mampu lagi saya bekerja untuk dapat kuliah dan untuk dapat bekerja harus membolos kuliah. Di awal tahun ini dua komitmen lainnya saya pungkaskan karena tesis ini ternyata tak bisa disanding mendua atau men-tiga.

(11)

x

berdiri sendiri, selalu butuh kebanggaan yang membuat kita tegak berdiri menghadapi gelombang intelektual yang tak jarang keras menghempas.

Terimakasih yang tiada terkira untuk Bapak Budiawan, guru saya yang terbaik dengan segenap kesabaran, ketelatenan dan kecerdasan intelektual. Saya mohon maaf yang sebesarnya pada Pak Nardi, teriring terimakasih yang dalam karena menerima saya sebagai mahasiswa bimbingan. Setelah beberapa kali berdialog, saya menemukan keluarbiasaan intelektual tersaji melalui cara-cara yang ramah dan sederhana, tak se ‘angker’ yang saya sangka. Romo Banar, ketua jurusan yang dengan segenap kebijaksanaannya membuka peluang kehidupan lebih baik bagi saya dengan mengijinkan saya mempertanggungjawabkan tesis ini di detik-detik terakhir studi. Saya ingat betul, keberadaan saya di IRB diawali dengan budi baik dan kebijaksanaan Romo Banar memberi saya keringanan pembayaran uang kuliah pada semester awal. Terimakasih Romo. Untuk Romo Bask dan Pak George, dari interaksi non akademik dan buku-buku kedua guru saya tersebut, saya belajar bahwa gagasan kritis serta subversif harus dihidupi secara emansipatoris dengan menimbang konteks ruang dan waktu. Mbak Katrin yang sederhana dan baik hati, keringanannya menjadi teman bicara merupakan katub yang meringankan beban pikiran dan kegelisahan intelektual. Apresiasi yang tak kalah banyaknya bagi Mbak Devi, keseluruhan kepribadian baik dan hangat, sapaannya membuat mahasiswa pembolos seperti saya berani untuk menjejakkan kaki ke kampus. Dan tak lupa peran-peran baik sahabat saya di kampus dalam membantu terselesaikannya tesis ini: Mas Tri Subagya, Monica Laksono, Anastasia Melati, Risma Sinaga, Anastasia Yunita.

(12)

xi

Tesis saya ini mungkin bukan apa-apa, mungkin hanya jadi besi tua dan bukan cemerlang mutiara. Namun bagi saya punya makna besar sebagai penutup agar umur saya tidak busuk dalam ketakutan. Tesis ini adalah komitmen yang lambat, namun sebagaimana janji dengan segala catatannya, dia telah terpenuhi sebagai bentuk pertanggungjawaban pada mula.

(13)

xii

ABSTRAK

Tesis ini memahami pembentukan intelektual publik dan hegemoni beasiswa Fulbright di Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa jalan yakni: pertama, melacak sejarah beasiswa pendidikan dari Amerika untuk intelektual Indonesia dalam konteks perang dingin; kedua, melacak pengalaman pribadi intelektual sebelum memperoleh beasiswa; ketiga, melihat pengalaman baik akademik maupun pengalaman keseharian selama besekolah di Amerika; dan keempat, melihat peran-peran intelektualisme publik yang mereka mainkan setelah kembali ke Indonesia.

Penelitian ini ingin menilik kesadaran kritis intelektual atas proses hegemoni yang dijalani melalui pemberian beasiswa. Untuk menilai kekritisan tersebut dapat dilakukan dengan melihat gagasan, sikap dan tindakan mereka untuk mengembangkan hegemoni tandingan selama masa “Orde Baru”. Intelektual publik merupakan kategori yang dapat membantu melihat pengaruh serta perlawanan yang mereka bawa dalam wacana publik, karena intelektual publik memiliki perpaduan karakter akademik dan citra intelektual sebagai aktivis kritis. Ketiga intelektual publik yang dipilih sebagai subyek tesis ini memiliki latar belakang akademisi sekaligus aktivis. Kampus, gerakan dan media merupakan medan perlawanan ideologis. Arief Budiman memiliki kekuatan dalam mengembangkan tradisi hegemoni tandingan tersebut dalam ranah akademik serta media. Namun berbeda dengan kedua intelektual publik lainnya yakni Amien Rais dan Melani Budianta yang mencapai puncak ketokohan intelektualitas publik dalam masa Reformasi, sebelum tumbangnya Suharto, Arief Budiman harus meninggalkan Indonesia setelah konflik berkepanjangan di Universitas. Melani Budianta besar dengan membawa dan terlibat dalam wacana gerakan sosial baru yang dikembangkan gerakan perempuan dalam masa reformasi. Sedangkan Amien Rais yang memiliki kedekatan dengan ranah kekuasaan dan dunia politik mengalami masa berjaya sebagai intelektual publik dengan membawa wacana “anti Amerika” dan “suksesi” kepemimpinan nasional.

Walaupun tesis ini membatasi kajiannya hingga masa reformasi yang ditandai tumbangnya Suharto, namun dalam rentang dua dekade semenjak keberangkatan bersekolah hingga masa reformasi telah dapat dilihat corak pembentukan intelektual dan upaya mereka membangun hegemoni tandingan. Dengan demikian intelektual adalah kategori diskursif dimana peran-peran mereka akan terus berkembang dan mengkerut seiring keberanian, momentum dan dinamika wacana yang mereka bawa. Intelektual bukanlah kategori yang mudah dihegemoni, selama dalam dirinya melekat sikap kritis dan tindakan yang emansipatoris.

(14)

xiii Abstract

This thesis aims at understanding the making of public intellectual and hegemony of Fulbright Scholarship in Indonesia. It is conducted in several ways: First, tracking the history of education scholarship from the U.S. for Indonesian intellectuals in the context of the cold war. Second, tracking personal experiences of the intellectuals before gaining the scholarship. Third, observing experiences both academic and personal during the study in the U.S. Fourth, observing roles of public intellectualism they have managed after going back to Indonesia.

This research also aims to have a deep look at critical awareness of intellectuals on hegemony process through the granting of scholarship. To evaluate their being critical, it is conducted by observing their ideas, attitudes, actions to develop counter-hegemony during ‘New Order’. Public intellectuals constitute a category which helps to see the influence and resentment which they bring in public discourse. It is due to the combination of academic characters and intellectual image as critical activists which attach to public intellectuals.

Three public intellectuals chosen as thesis subjects have specific background on academic and activist. Campus, movement, and media constitute areas of ideology struggles. Arief Budiman is a public intellectual who has strength in developing a tradition of counter-hegemony in academic and media fields. When Amien Rais and Melanie Budianta achieved the peak of reformation figures, Arief Budiman before the falling of Soeharto, had left because of the lengthy conflicts in a university. Melanie Budianta has been known as a prominent figure who is deeply involved in the discourse of new social movements through the developing of woman movements during reformation period. Different from Melani Budianta, Amien Rais is close to power and politics areas. He had achieved the peak as a public intellectual who brought discourses of ‘Anti-America’ and ‘Suksesi’ of national leadership.

Although this thesis limit its analysis up to reformation era which is marked by the falling of Soeharto, within only two decades since leaving for school to reformation era, it can be clearly seen the pattern of shaping intellectuals and their efforts to build counter-hegemony. Therefore, intellectual is a discourse category in which their roles will raise and reduce as long as there are courage, moments, and the dynamics which they bring. Intellectual is not an easy category to be controlled or dominated as long as they have critical attitudes and emancipatory actions.

Key words: public intellectuals, counter-hegemony, Fulbright scholarship

(15)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT………xiii

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Kerangka Konseptual ... 11

1. Intelektual dan Intelektual Publik ... 11

2. Hegemoni ... 15

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II BEASISWA DARI AM ERIKA, INTELEKTUAL DAN FORMASI NEGARA OTORITARIAN A. Beasiswa: Sebuah Senjata Hegemonik Perang Dingin? ... 25

(16)

xv

2. Ilmu Sosial Indonesia dalam Pengaruh Yayasan Ford ... 31

3. Fulbright dan Intelektual Ilmu Sosial Indonesia ... 34

B. Pembangunan Nasional Sebagai “Area pertempuran Ideologi” ... 37

C. Intelektual Publik dan Pembangunanisme ... 41

BAB III INTELEKTUAL INDONESIA DI TANAH ASING ... 49

A. “Fulbrighter” ... 53

1. Beasiswa Fulbright sebagai Bunker bagi Intelektual Aktivis ... 53

2. Beasiswa Fulbright dan Proyek Ilmu Sosial bagi Akademisi ... 59

B. Belajar Amerika ... 65

1. Tradisi Intelektual Kampus ... 65

2. Miskin di Tanah Asing ... 73

3. Aktivisme “Fulbrighter”... 80

C. Catatan Penutup ... 86

BAB IV JEJAK PERLAWANAN INTELEKTUAL PUBLIK ... 90

A. Keberhasilan dan Kegagalan Pelembagaan Wacana ... 93

B. Intelektual Publik dan Perjuangan Demokratik Baru ... 115

BAB V KESIMPULAN ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 136

LAMPIRAN 1. Transkrip Wawancara 1 (Melani Budianta) ... 141

2. Transkrip Wawancara 2 (Piet Hendrarjo) ... 152

3. Transkrip Wawancara 3 (Aristides Katoppo) ... 163

4. Transkrip Wawancara 4 (Arief Budiman) ... 171

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

That miracle took a decade to perform, and it came outside the maneuvers of diplomacy, the play of party politics, even the invasion of American troops. Those methods, in Indonesia and elsewhere, had failed. The miracle came instead through the hallowed halls of academe, guided by the noble hand of philanthropy.

(David

Ransom)

Perang dingin membawa sebuah narasi baru bahwa kekuatan terbesar

untuk memenangkan peperangan jangka panjang tidaklah berada di ujung laras

senjata, maupun bom atom melainkan dari sebuah kekuatan akademik berbungkus

filantropi. David Ransom dalam artikelnya Ford Country: Building an Elite for

Indonesia memberi penjelasan sejarah bagaimana intelektual Orde Baru

diproduksi oleh kepentingan ideologi politik agen-agen dana bantuan (filantropi)

internasional, yaitu Ford Foundation dan Rockefeller Foundation.1

1

Pada dekade 1950-1960 keduanya membidik para mahasiswa cerdas Indonesia untuk disekolahkan ke University of California, Berkeley. Besarnya peran agen dana bantuan internasional dalam pembentukan elite intelektual di Indonesia dimulai dari masa-masa akhir “era pemerintahan Sukarno”, yang juga turut berperan dalam kejatuhan orde lama. Dalam masa awal Orde Baru, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa “barat” mempunyai relasi yang sangat dekat dengan Indonesia. Selain melakukan intervensi pada pembangunan Indonesia melalui penawaran hutang, bantuan teknis, negara-negara ini juga menawarkan beasiswa kepada sejumlah birokrat, akademisi maupun mahasiswa cerdas untuk bersekolah di negerinya.

Filantropi

menjadi alat manifestasi perang dingin antara blok “barat” dan “timur” dalam

berebut pengaruh. Amerika Serikat berkepentingan besar untuk mengganjal laju

komunisme dan paham ekonominya di Indonesia. Sehingga kemunculan sejumlah

(18)

2

pendidikan Amerika Serikat yang membawa paradigma ekonomi pasar bebas

dalam kebijakan pembangunan Indonesia dicurigai sebagai aliansi Amerika

Serikat di Indonesia (Ransom, 1974:95).1

Keberhasilan filantropi akademik sebagai strategi perebutan pengaruh blok

besar dunia mendorong lahirnya skema-skema filantropi akademik lain paska

perang dunia II. Selain beasiswaYayasan Ford yang diberikan oleh yayasan

pembangunan swasta Amerika, Pemerintah Amerika Serikat juga menawarkan

skema beasiswa Fulbright. Beasiswa ini diprakarsai oleh senator J. William

Fullbright tahun 1946 sebagai sebuah strategi membangun pengertian antara

Amerika dengan bangsa-bangsa lain paska perang dunia II.

2

Selagi Senator J. William Fulbright membangun mimpinya atas sebuah dunia

yang lebih baik, potret “Mafia Berkeley” sebagai produk “Amerikanisasi”

intelektual Indonesia pada periode awal Orde Baru terus terpajang di etalase

pembangunan Indonesia. Intelektual yang berprofesi sebagai akademisi maupun

jurnalis menjadi sasaran dari beasiswa Fulbright. Meski tidak melegenda seperti

pendahulunya, beberapa alumnus Fulbright (Fulbrighter) yang umumnya berasal

1

Dikemudian hari, teknokrat hasil pendidikan Amerika tersebut oleh Majalah Rolling Stones dijuluki sebagai “Berkeley Mafia” atau Mafia Berkeley.

2

(19)

3

dari kalangan akademisi kampus memiliki peran penting sebagai arsitek kebijakan

politik dalam dan luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru.3

Pada periode 1970,

Berhasilnya filantropi akademik Amerika disokong oleh Orde Baru yang

memberlakukan sistem politik tertutup dan sarat kolusi-nepotisme. Ideologi dan

preferensi politik menjadi media saring untuk bisa mendapat akses sebagai elite

intelektual, elite militer maupun elite di pemerintahan. Beasiswa sebagai jalan

mendapat status intelektual pun didesain dengan skema tertutup dan untuk

kalangan terbatas. Ideologi dan preferensi politik di hadapan rezim Orde Baru

juga menjadi media saring untuk mengecap pendidikan gratis. Implikasinya,

kalangan yang mendapat kesempatan bersekolah gratis di luar negeri pun sangat

terbatas, yakni militer, birokrat dan akademisi.

4

ditengah menguatnya gerakan perlawanan massa,

diam-diam akses langsung ke pemberi beasiswa maupun universitas di luar negeri mulai

diterobos oleh sejumlah aktifis gerakan sosial dan politik.5

3

Salah satu alumnus Fulbright yang memiliki peran penting dalam pembuatan kebijakan politik dalam dan luar negeri adalah Juwono Sudarsono. Hingga pada era sesudah Suharto, peran-perannya masih menonjol karena dalam beberapa kepala negara sesudah Suharto Ia masih dipercaya sebagai Menteri.

4

Pada awal tahun 1970 kritik dan perlawanan dari gerakan massa terhadap Orde Baru menguat. Sejumlah demonstrasi menolak pendirian TMII sebagai megaproyek Orde Baru, demonstrasi tersebut berbuah penangkapan sejumah aktivis sosial politik.

5

Perkembangan cepat teknologi informasi pada akhir abad 20 mendemokratisasi proses dan akses, semisal milis beasiswa, penyediakan kanal informasi beasiswa. Selain itu akses langsung kepada agen-agen dana bantuan internasional melalui situs jaringan juga membuka ruang kontestasi seluas-luasnya baik dari kalangan pemerintahan, akademisi, politisi maupun Ornop.

Misalnya, Arief

Budiman yang mendapat beasiswa Fulbright untuk bersekolah di Harvard serta

Aristides Katoppo yang mendapatkan beasiswa sekolah jurnalistik di Universitas

Stanford. Masuknya para aktivis gerakan sosial politik ke dalam skema beasiswa

(20)

4

terhadap pandangan beasiswa Fulbright sebagai beasiswa bagi elite maupun calon

elite intelektual.

Penelitian ini berangkat dari pembelajaran atas peristiwa sejarah bahwa

pemberian beasiswa punya kepentingan ideologi politiknya sendiri yang kerap

menentukan sejarah perjalanan suatu bangsa.6

6

L ihat A. Sudiarja dalam BASIS, nomor 07-08, tahun ke 51, juli-agustus 2002, halaman 5. Pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda mencanangkan apa yang disebut sebagai politik etis van Deventer untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi. Di satu pihak, politik ini bermaksud membalas budi kepada kaum pribumi yang telah banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda, dari lain pihak pendidikan ini diperlukan juga oleh pemerintah kolonial untuk menutupi kebutuhan tenaga yang baik dan kompeten untuk perusahaan-perusahaan mereka di Indonesia, maupun untuk mengisi kekurangan jabatan-jabatan “pangreh praja” yang berpendidikan. Dengan kata lain, disamping maksud baik untuk balas budi, masih juga terselip kepentingan untuk diri mereka sendiri.

Peristiwa sejarah itu bahkan telah

menjadi common sense di kalangan awam bahwa setiap pemberi beasiswa pasti

punya kepentingan atas setiap sen mata uang yang dikeluarkannya. Di mana

kepercayaan terhadap common sense yang direproduksi dalam cerita-cerita

keseharian kerap menjadi dalih untuk tidak secara kritis melihat fenomena yang

lebih dalam. Studi ini berangkat dari kajian Ransom yang mempertegas common

sense bahwa beasiswa adalah alat untuk menciptakan aliansi negara-negara

“barat” di Negara dunia ketiga. Dalam common sense tersebut terkandung

pemaknaan Intelektual sebagai agen ideologi “barat”. Meskipun demikian, studi

ini bermaksud bergerak melampaui common sense tersebut tanpa terjebak pada

obsesi untuk membuktikan apakah beasiswa resmi dari Pemerintah Amerika

Serikat yakni beasiswa Fulbright maupun beasiswa dari yayasan pembangunan

swasta Amerika hegemonik ataupun dalam kadar tertentu hegemonik. Penelitian

(21)

5

utama ataupun mensubversi kemapanan sejarah besar tentang persekutuan

intelektual dan kekuasaan ataupun persekutuan Orde Baru dan Amerika Serikat.

Meminjam pandangan Hadiz dan Dhakidae (2005: 3), dalam relasi kuasa

dalam kondisi tertentu selalu menghasilkan perlawanan. Penelitian ini

dimaksudkan untuk mendokumentasikan catatan-catatan kecil perlawanan

tersebut.7 Dari penggalan-penggalan pengalaman intelektual, diharapkan tergambar peta yang lebih utuh di mana selalu ada celah bagi lahirnya pejalan

kaki yang keluar dari “jalan utama” melalui sebuah resistensi sejarah ataupun

dengan mengembangkan hegemoni tandingan. Lebih khusus penelitian ini

bermaksud melihat lagi bagaimana beasiswa dari Fulbright melatarbelakangi

terbentuknya kesadaran ideologis sejumlah intelektual yang menjadi “anak

haram” sistem pendidikan “barat”, seperti pengalaman beberapa Intelektual

Publik di Indonesia yang merupakan alumnus beasiswa Fulbright. Salah satunya

adalah Arief Budiman yang sekembalinya ke Indonesia justru mengembangkan ide-ide sosialisme yang berlawanan dengan ide liberalisme ekonomi yang

berkembang di Amerika Serikat.

A.Rumusan dan Batasan Masalah

Berangkat dari pertanyaan topik mengenai kesadaran ideologis intelektual

alumnus Fulbright, maka diturunkan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai

berikut.

7 Relasi kuasa daam bentuk dominasi dan hegemoni dalam istilah Marxian merupakan tesa yang

(22)

6

1. Bagaimana para alumnus penerima beasiswa memahami

kepentingan ideologi dari Program Fulbright? Apakah mereka

memahami Program Fulbright semata-mata sebagai kepanjangan

tangan kebijakan luar negeri pemerintah AS ataukah lebih dari

itu? Apa yang membentuk pemahaman semacam itu? Mengapa

pemahaman tersebut bisa terbentuk?

2. Bagaimana gerak para penerima beasiswa yang berasal dari lokus

yang sama maupun berbeda setelah mereka kembali ke tanah air?

Apakah mereka terserap semata-mata ke dalam birokrasi

pemerintahan dan menjadi apparatus ideologis rezim Orde Baru?

Ataukah mereka justru bergerak dalam ranah non pemerintahan?

Lalu apakah alasan yang mendasari pilihan tersebut?

3. Bagaimana wacana yang dibangun dan dikontestasikan oleh

alumnus penerima beasiswa Program Fulbright? Apakah mereka

membangun wacana-wacana besar yang diusung Amerika seperti

neoliberalisme, demokrasi liberal atau malah sebaliknya?

Mengapa memilih mengembangkan wacana-wacana tertentu?

C.Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian ini mengkaji relasi antara pembentukan intelektual dengan

program beasiswa. Tujuan penelitian ini selain untuk menunjukkan keragaman

ideologis dan lokus para intelektual alumnus penerima beasiswa Fulbright yang

(23)

7

mereka sebagai intelektual. Ditengah harapan yang sangat tinggi terhadap peran

dan kontribusi kaum intelektual dalam pembangunan bangsa, penelitian ini ingin

menengok kembali integritas moral kaum intelektual melalui usaha melihat lebih

dalam sebuah filantropi akademik. Diharapkan penelitian ini mampu

menunjukkan posisi intelektual dalam konteks dunia mutakhir -yang antara lain

ditandai dengan semakin kuatnya peran masyarakat madani, baik dalam skala

lokal maupun internasional- sehingga dimungkinkan melihat peran yang mereka

mainkan dan kontribusi yang mereka berikan dengan lebih jernih.

D.Tinjauan Pustaka

Kajian yang mengaitkan pembentukan intelektual dengan program

beasiswa masih jarang dilakukan meskipun kajian mengenai intelektual telah

banyak ditulis oleh sarjana Indonesia maupun asing. Pada umumnya kajian

mengenai intelektual hanya dihubungkan dengan peran-perannya dalam

pembangunan. Salah satunya adalah Selo Soemardjan (dalam jurnal Prisma,

1976), kaum intelektual sebagai bagian dari golongan pribumi yang mendapat

pendidikan “barat” diharapkan untuk memainkan peran demokrasi dalam

masyarakat yang berubah. Sayangnya, intelektual hanya dilihat sebagai produk

pendidikan formal sekuler, dalam hubungannya dengan kapasitas untuk berfikir

secara rasional. Syed Hussein Alatas (1988) melihat kaum intelektual bukan

hanya produk universitas namun juga merupakan produk media massa, rumah

tangga dan masyarakat. Kapasitas berfikir rasional menurutnya lebih menentukan

(24)

8

Kajian yang dilakukan Daniel Dhakidae (2003) lebih luas dibanding Selo

Soemardjan serta Syed Hussein Alatas. Dia bukan hanya mengupas intelektual

sebagai produk jadi lembaga pendidikan, namun juga fokus untuk mengupas

wacana yang diproduksi kaum intelektual. Bagaimana intelektual memproduksi

wacana dilihat sebagai bentuk pergulatan dengan kekuasaan, modal dan

kebudayaan. Menurutnya, terdapat hubungan resiprokal antara intelektualitas dan

kekuasaan. Hasilnya adalah dua wajah kekuasaan yang destruktif dan produktif.

Dhakidae merunut politik etis yang dijalankan oleh Belanda pada awal abad 20

merupakan contoh keberhasilan mengawinkan kekuasaan dengan terbentuknya

intelektual yang berlatar belakang “barat” di Indonesia. Dengan seluruh paradoks

politik etis dan politik asosiasi, usaha para pelopor Boedi Oetomo untuk

mengangkat dan mendapatkan eksistensi dalam diskursus etis berupa peningkatan

peran Boemiputra tidak pernah lebih besar dari keuntungan yang diperoleh

Belanda dengan tersedianya tenaga kerja administratur dari golongan pribumi

yang terampil berbahasa Belanda.

Pelacakan Dhakidae mengenai politik etis sebagai akar historis kemunculan

intelektual Indonesia, dilihat sebagai miskonsepsi oleh Yudi latif (2005). Latif

melihat introduksi pendidikan “barat” sebenarnya telah berakar pada kebijakan

liberal Belanda pada paruh akhir abad 19. Menurutnya, miskonsepsi ini

merupakan ketidak tepatan pembacaan genealogi secara umum. Selain itu, ketika

berbicara mengenai Orde Baru, Dhakidae juga tidak menyentuh mengenai

karakteristik dan perkembangan pendidikan sebagai basis kultural kehadiran

(25)

9

dalam melihat proses transmisi dan transformasi dari ingatan dan tradisi kolektif

intelektual antar generasi, Dhakidae secara sangat sadar melihat pentingnya

struktur praktik diskursif sebagai sebuah faktor konstruktif dalam gerak

perkembangan maupun konstruksi intelektual.

Sebagaimana Dhakidae, Latif juga melihat bagaimana struktur praktik

diskursif penting dalam pembentukan intelektual. Struktur praktik diskursif ini

diletakkan dalam latar politik dan periode historis tertentu, bagaimana intelektual

bereaksi atasnya serta posisi struktural intelektual sebagai determinan yang

mempengaruhi ekspresi dan strategi intelektual. Dengan menggunakan

pendekatan yang begitu kaya, Latif secara khusus ingin memotret gerak

perkembangan intelektual (inteligensia) khususnya inteligensia muslim. System

pendidikan “barat” yang menjadi basis inteligensia muslim dikaji secara

ekonomi-politik dengan perspektif poskolonial sehingga dapat dilihat bahwa dalam wacana

yang dikembangkan oleh inteligensa muslim tersisa ingatan hierarki pengetahuan

dan kekuasaan yang bersifat kolonial. Studi yang dikembangkan Latif cenderung

melihat “barat” sebagai sesuatu yang general. Sehingga kepentingan ideologi

politik yang beragam tidak mampu disajikan secara mendalam

David Ransom (1975), sependek pengetahuan saya merupakan penulis yang

secara khusus mengaitkan intelektual, kekuasaan dengan kajian ekonomi politik

dalam pemberian beasiswa. Dia melacak peran sejumlah elite intelektual pada

masa awal Orde Baru yang merupakan alumnus universitas di Amerika Serikat.

Mereka adalah para ekonom yang bersekolah dengan menggunakan beasiswa dari

(26)

10

sistematis untuk mendesakkan kepentingan ekonomi politik internasional terhadap

negara berkembang. Sehingga para alumnus beasiswa dipandang sebagai

pelaksana strategi pembangunan di Indonesia yang telah ditentukan oleh

konspirasi internasional. Kajian Ransom bias cara pandang peneliti “barat” yang

cenderung melihat supremasi kepentingan “barat” sebagai determinan. Ia

menempatkan elite intelektual di Indonesia sekadar sebagai produk pasif dari

pendidikan yang sarat kepentingan “barat”. Ransom abai pada bagaimana

intelektual penerima beasiswa tersebut berproses dengan ilmu pengetahuan serta

bagaimana mereka mereproduksi wacana serta kebudayaan Amerika sebagai

entitas yang tidak tunggal. Ransom sangat baik dalam mengekplorasi ideologi

ekonomi politik dalam pemberian beasiswa, namun dia lemah dalam melihat

kemungkinan hegemoni tandingan terhadap setiap hegemoni yang sekuat apapun.

Terdapat satu kajian yang memaparkan pengaruh Amerika terhadap

intelektual Indonesia yang ditulis oleh Nasir Tamara (1998). Nasir Tamara

memang tidak secara khusus mengulas tentang motif ideologi dalam beasiswa

Fulbright, melainkan dia mengulas tentang kepentingan Amerika yang terbungkus

dalam bahasa diplomasi dan filantropi. Kajian tersebut memberi konteks historis

relasi Indonesia-Amerika yang timpang, Indonesia sebagai Negara mutlak

dibawah penguasaan hegemoni Amerika bahkan semenjak Indonesia menyusun

kemerdekaannya. Menariknya Nasir Tamara tak luput mencuplikkan narasi

segelintir mahasiswa Indonesia di Amerika yang kelak menjadi elite intelektual

(27)

11

Kajian saya ini pada hakikatnya tidak berbicara secara langsung mengenai

peran dan kontribusi intelektual dalam pembangunan. Pembicaraan mengenai

peran dan kontribusi intelektual memang masih relevan, namun bila tak

berhati-hati hanya akan tergiring untuk mengekor sejumlah kajian lama yang cenderung

melekatkan intelektual dengan kewajiban-kewajiban dalam pembangunan. Kajian

yang membahas mengenai pengaruh beasiswa dari Amerika dengan terbentuknya

Intelektual Indonesia juga masih terbatas pada tulisan David Ransom yang

mengambil konteks perang dingin dan tulisan Nasir Tamara yang dalam hemat

saya masih perlu dilengkapi dengan sejarah subtil intelektual di Indonesia dalam

relasinya dengan ideologi besar Amerika serta relasinya dengan rezim Orde Baru

untuk menjelaskan pengaruh beasiswa pendidikan sebagai alat hegemoni Amerika

terhadap pembentukan karakter moral intelektual.

E.Kerangka Konseptual

1. Intelektual dan Intelektual Publik

Perspektif Marxis mengenai intelektual terkait dengan kesadaran seseorang

terhadap eksistensi materialnya. Berbeda dengan pandangan pemikir non Marxist

yang mempunyai gagasan bahwa intelektual adalah makhuk “suci”, sebab mereka

tidak memiliki kepentingan praktis maupun kepentingan material. Hingga Julien

Benda berbicara mengenai penghianatan kaum intelektual di awal abad 20 saat

para intelektual bercampur dengan politik. Senada dengan Karl Manheim yang

menyatakan bahwa intelektual sebagai kelompok sosial yang mengambang bebas

(28)

12

keinginan besar intelektual untuk mengabdi pada kebenaran, dan hal tersebut

memang tepat untuk pendeta yang secara tradisional memainkan peran sebagai

intelektual (Budiman, 1978: 615-624).

Memahami intelektual sulit dipisahkan dengan pemahaman tentang kelas

berkuasa serta pemimpin. Rumusan ini datang dari Antonio Gramsci, seorang

Marxis pendiri partai Komunis Italia. Kepemimpinan yang dimunculkan

berbentuk “kepemimpinan intelektual dan moral”, sebuah tangapan atas gaya

kepemimpinan yang sarat pengabaian aspek intelektual dan moral (Sunardi,

2004:22). Ide Antonio Gramsci mengenai intelektual berasal dari perspektif

Marxist. Konsepnya mengenai intelektual organik merupakan usaha yang luar

biasa untuk menjembatani strategi dasar marxisme antara ide ultra demokratik

mengenai emansipasi proletariat dan garda depan. Intelektual tradisional adalah

seseorang yang cakap menggali visi yang lebih luas dari keteraturan sosial yang

mana dapat membentuk dasar ambisi hegemoni (Desai,1994: 2-3).

Antonio Gramsci sebagaimana dikutip dalam Simon (1999: 141) menolak

pandangan tradisional dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli

sastra, filosof dan seniman. Bagi Antonio Gramsci intelektual bukan dicirikan

oleh aktifitas berfikir yang secara instrinksik dimiliki oleh semua orang, namun

dicirikan melalui peran yang mereka lakukan.. Aktifitas berfikir instrinsik sebagai

parameter untuk mendefiniskan intelektual tidak lagi memadai. Karena parameter

yang sangat abstrak tersebut hanya menunjuk pada semua orang sebagai

(29)

13

Selain menekankan pada struktur dan fungsi sosial tertentu, Antonio

Gramsci juga menekankan pentingnya kesadaran kelas. Dengan membuat

perbedaan antara intelektual ‘organik’ dan ‘tradisional’, Gramsci menekankan

bahwa intelektual bukanlah kelas sosial tersendiri melainkan setiap kelas

mempunyai intelektualnya sendiri. Menurut penilaiannya intelektual tradisional

mewakili kelanjutan sejarah dan cenderung menempatkan mereka di garis depan

sebagai kelas berkuasa, otonom dan independent. Yudi latif (2005)

menambahkan, Gramsci melihat sikap kritis intelektual tradisional terhadap status

quo pun pada dasarnya akan berujung pada pembiaran sistem nilai yang dominan

menentukan kerangka perdebatan mereka. Sementara intelektual organik

menunjuk pada fungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan

kelas, terutama dikaitkan dengan kepentingan kelas yang sedang tumbuh.

Intelektual memainkan peran yang penting dalam pembangkitan,

pengorganisasian, dan persebaran ideologi hegemonik (Desai, 1994: 14).

Sedangkan menurut Moufee (via Hong Wong, 2002: 22-24), seorang

Intelektual harus secara aktif mempromosikan ideologi tertentu yang membawa

cara pandang dunia kalangan awam menuju konformitas dengan aspirasi dari

kelas dominan. Kelompok berkuasa harus terlibat usaha untuk membangun

hegemoni atau untuk memenangkan legitimasi atas diri mereka di hadapan

masyarakat madani. Konfrontasi ideologis melibatkan disartikulasi dan

reartikulasi dari elemen ideologis yang terberi dengan jalan mentarungkan

(30)

14

Penjelasan yang merangkum diskusi tentang pengertian intelektual dan lebih

sesuai untuk menjelaskan intelektual di Indonesia diberikan oleh Ariel Heryanto.

Menurutnya, istilah intelektual kerap dicampuradukkan dengan kelas menengah.

Penjelasan mengenai intelektual bergerak di antara mitos popular tentang kelas

menengah sebagai sosok-sosok baik, pejuang kebenaran dan demokrasi, dan di

sisi yang lain kajian akademis (terutama pandangan sarjana asing) tentang kelas

menengah Indonesia sebagai sosok yang oportunis, pendukung rezim dan egois.

Pandangan yang kedua memiliki sejumlah kelemahan karena hanya menggunakan

kategori ekonomi namun mengabaikan kelas menengah yang disusun dari

kategori-kategori yang lebih politis seperti: aktivis gerakan mahasiswa, dosen

serta intelektual publik yang dari segi jumlah memang tidak besar (Heryanto,

2004: 52-54). Saya sependapat dengan argumen, Heryanto yang meletakkan

kategori “intelektual” maupun “kelas menengah” sebagai kategori yang lebih baik

dimengerti sebagai konsep-konsep yang diskursif ideologis dan mitis, ketimbang

sebagai dekripsi yang murni empiris dari sejumlah individu yang secara biologis

ada dengan nama, profesi, pola-pola konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang

spesifik (Heryanto, 2004: 55-56).

Basis otoritas kaum intelektual beragam mulai dari jurnalisme, akademik,

seni maupun agama (Heryanto, 2004: 56). Namun tidak semua pekerja media,

akademisi, seniman serta agamawan mendapatkan pengakuan publik sebagai

intelektual. Heryanto menengarai terdapat tuntutan maupun mitos yang kuat

tentang aktivisme intelektual di Indonesia. Aktivisme ini didukung oleh citra

(31)

15

dalam penampilan public dengan kelompok yang paling berkuasa. Meskipun

menurut Heryanto, sesungguhnya jarak antara Intelektual dengan kelompok yang

paling berkuasa secara ekonomi dan politik tidak pernah total atau ekstrem,

karena secara langsung maupun tidak langsung berupa perlindungan maupun

keuntungan dari ketimpangan tata sosial. Kedua, meskipun mereka tidak selalu

enggan menerima harta dan kuasa, namun intelektual publik perlu membangun

klaim dan pengakuan publik bahwa mereka mengabdi pada upaya pencarian

kebenaran, keadilan dan etika lebih daripada yang lainnya serta mampu bermain

peran menyangkal status diistimewakan, berpamrih, keinginan dipuji dan gairah

terhadap kekayaan dan kekuasaan. Ketiga, intelektual umumnya menjadi pekerja

kerah putih yang tidak perlu menjual tenaga kasar dan berkotor-kotor untuk

bertahan hidup. Beberapa dari mereka yang bersedia bekerja sebagaimana pekerja

kerah biru –yang beresiko tinggi, sulit dan berbahaya- sebagai relawan. Pilihan ini

menjadi pesona di hadapan publik. Kondisi ini bukan berarti intelektual selalu

bekerja dengan pamrih pribadi, melainkan untuk dapat bekerja secara efektif

aktivis kelas menengah harus bersedia bekerja secara publik atau bekerja bersama

kelas sosial yang “lebih rendah”. Konteks aktivisme inilah yang memungkinkan

munculnya julukan “intelektual publik” (Heryanto, 2004: 57-59)

2. Hegemoni

Dalam pemikiran Gramsci “hegemoni” adalah konsep sentral untuk

memahami pemikiran Gramsci lainnya. Hegemoni ialah situasi di mana ”blok

(32)

16

subordinat melalui komninasi antara kekuatan dan persetujuan (Barker, 62-63).

Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan,

melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan

ideologis. Konsep hegemoni Gramscian lebih luas dari hegemoni ala Lenin yang

menjelaskan hegemoni sebagai strategi revolusi. Konsep ini berkaitan dengan

peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara

maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh.

Sehingga dalam masyarakat plural dan luas, politik sangat esensial untuk

memperjuangan hegemoni. Hegemoni terlihat dalam beragam sebagai ‘politik,

intelektual dan kepemimpinan moral di antara kelompok aliansi’ ataupun

kompleksitas antara praksis dan aktifitas teoretis di mana kelas berkuasa bukan

hanya mendapat pembenaran untuk melanggengkan dominasinya tapi juga

memenangkan kepatuhan dari yang dikuasainya’.

Institusi hegemonik mendapatkan kepatuhan dengan jalan memproduksi

dan mengembangkan ideologi yang nampak sebagai kebenaran yang masuk akal

di hadapan publik (common sense). Menurut Raymond William, control hegemoni

sangat halus dan tak teraba sebab merupakan proses yang dinamik, bertumbuh

dengan terus menyesuaikan diri dengan perkembangan terkini. Institusi-institusi

ini berusaha untuk menarik intelektual dengan menawarkan gengsi, kekuasaan,

mobilitas sosial ke atas, akses pada sumber daya untuk kepentingan pribadi

mereka dan tentu saja legitimasi (Roelofs, 2003: 1-3).

Untuk menilai hegemoni dalam konteks antar negara bangsa pada tahun

(33)

17

yang berkuasa yakni Amerika Serikat dan Unisoviet. Seiring berakhirnya

peperangan bersenjata, pertarungan dilanjutkan dengan cara penebaran pengaruh

dengan penggunaan alat-alat ideologis seperti institusi pendidikan, yayasan dan

ilmu pengetahuan. Alat-alat ideologis tersebut bekerja secara terpisah maupun

bersama-sama dengan elemen kapitalisme mutakhir untuk mendapatkan

kekuasaan yang lebih besar. Dalam pegalaman Indonesia, bagaimana intelektual

dipengaruhi dengan jalan diberi beasiswa untuk bersekolah dan menimba ilmu

pengetahuan khas Amerika dan kemudian setelah pulang menjadi bagian yang

lekat dengan proyek-proyek pembangunan Amerika. Upaya mengontrol

intelektual dilakukan semenjak keberangkatan, saat mereka bersekolah hingga

mereka kembalui ke negaranya, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah proses

hegemoni Amerika pada dekade awal Orde Baru menuai keberhasilan.

Untuk dapat mengatasi peperangan hegemonik ini, ideologi intelektual

harus dikembangkan dalam arus yang tak bersejalan dengan arus utama.

Hegemoni tandingan dapat dikembangkan dengan jalan tidak mengkompromikan

nilai ideologi dominan. Hegemoni tandingan harus dikembangakn dalam artian

emansipatoris, artinya ketika memberi kritik, intelektual harus menjaga praksisnya

agar tidak tunduk. Hegemoni merupakan sebuah proses yang lebih ramah

daripada opresi, ketika mengembangkan hegemoni tandingan intelektual dapat

tetap berada di antara para hegemonnnya dan membangun strategi bertahannya

(34)

18 F.Metode Penelitian

Teknik mengumpulkan data antara lain: wawancara, survei dokumen dan

database. Kesemua teknik pengumpulan data tersebut berperan saling mendukung.

Wawancara dimaksudkan untuk menggali informasi dari narasumber kunci yakni

alumnus Fulbright yang bersekolah dan lulus pada masa Orde Baru, juga

mewawancarai pihak Fulbright-Aminef. Pertanyaan yang digali dari alumnus

beasiswa Fulbright antara lain mengenai pengalaman-pengalaman baik akademik,

epistemik maupun aktivisme selama belajar di Amerika, mengenai gerak paska

kembali ke Indonesia, pandangan para alumnus Fulbright mengenai

ideologi-hegemoni Amerika terhadap Indonesia, pandangan mengenai integritas moral

intelektual. Selain itu wawancara juga dimaksudkan untuk menggali biografi elite

intelektual tertentu, serta peristiwa sosial politik tertentu yang melibatkan para

alumnus penerima beasiswa Fulbright.

Survei dokumen dilakukan untuk menemukan autobiografi elite intelektual

tertentu, terbitan-terbitan serta pemikiran dan perdebatan yang dibangun elite

intelektual dari periode sejarah tertentu. Selain itu juga dimaksudkan untuk

mendapatkan dokumen program dan kebijakan yang dihasilkan oleh elite

intelektual tertentu.

Kajian ini mengambil konteks waktu awal kekuasaan Orde Baru hingga

kejatuhannya. Intelektual yang dipilih sebagai informan penelitian adalah

intelektual yang pada rentang 1970 hingga awal 1990-an mendapatkan beasiswa

Fulbright sebagai beasiswa pertama untuk bersekolah di Amerika serikat. Batasan

(35)

19

(1) Pada periode tersebut perang bersenjata antara blok “barat” dan “timur” “telah

berakhir”, begitupun manifestasi perang dingin di Indonesia seolah-olah telah

berhenti dengan jatuhnya Indonesia ke dalam kekuasaan Suharto yang membawa

Indonesia lebih dekat dengan Amerika. (2). Tahun 1970-an merupakan tahun di

mana terjadi kebangkitan gerakan rakyat yang kritis terhadap pembangunan

nasional Orde Baru. Dalam setiap gerakan rakyat yang kritis, intelektual publik

tumbuh subur sebagai kekuatan moral penyeimbang otoritarianisme Suharto. (3).

Intelektual yang berangkat bersekolah dengan beasiswa Fulbright pada tahun

1970 hingga 1990-an beberapa di antaranya adalah intelektual publik yang

memiliki pengalaman melawan dan direpresi oleh Suharto. (4). Intelektual yang

berangkat pada tahun 1970 hingga awal 1990 sepulang mereka dari studi di

Amerika memiliki waktu yang cukup untuk tumbuh menjadi intelektual publik

terkemuka. Gagasan, sikap dan tindakan intelektual publik tersebut memiliki

kontribusi penting dalam mensubversi hingga menginspirasi publik untuk

menantang kekuasaan Suharto hingga berakhirnya kekuasaan formal Suharto pada

tahun 1998.

Pilihan obyek kajian dijatuhkan kepada beasiswa Fulbright dengan

pertimbangan utama bahwa pertimbangan beasiswa ini merupakan beasiswa resmi

dari pemerintah Amerika. Beasiswa ini menekankan pada pemberian beasiswa

pada ilmu sosial, di luar ilmu ekonomi dan hukum yang menjadi sasaran dari

beasiswa dari yayasan pembangunan swasta. Berbeda dengan beasiswa lainnya,

beasiswa ini secara seolah-olah ekslusif karena khusus menyasar akademisi

(36)

20

menghasilkan intelektual dengan cita rasa akademik yang kuat, dengan kapasitas

membangun opini sehingga pandangan-pandangannya mempengaruhi wacana

publik. Subyek penelitian ini adalah intelektual yang pernah memperoleh

beasiswa bersekolah di Amerika untuk pertama kali dari program beasiswa

Fulbright pada tahun 1970 sampai dengan 1990-an. Namun peneliti menyadari

bahwa tidak mudah untuk mendapatkan intelektual publik yang selama bersekolah

di Amerika hanya mendapatkan beasiswa Fulbright saja.8

G.Sistematika Penulisan

Peneliti memandang

keragaman beasiswa yang diperoleh intelektual publik tertentu menjadi temuan

yang dapat menunjukkan kekhasan yang membedakan pengaruh beasiswa

Fulbright dibandingkan beasiswa lainnya dalam pembentukan karakter intelektual

Indonesia.

Tesis ini direncanakan akan terdiri dari 5 bab. Bab 1 merupakan bagian

pendahuluan tesis ini. Sebagai sebuah penunjuk arah untuk memasuki kajian ini

dengan lebih dalam, bagian ini disusun dengan menyajikan latar belakang

masalah, rumusan masalah, tinjauan kepustakaan untuk menentukan posisi kajian

ini dibandingkan kajian serupa, kerangka pemikiran serta metode penelitian.

8

(37)

21

Bab II. Beasiswa dari Amerika, Intelektual dan Formasi Negara Otoritarian

a. Sejarah P embentukan I ntelektual D an E lite I ndonesia Melalui B easiswa

Pendidikan Asing

Bagian ini secara umum akan mengulas sejarah pembentukan intelektual melalui

beasiswa pendidikan asing. Bab 2 diarahkan untuk memberi konteks sejarah

bahwa terdapat relasi yang erat antara pendidikan di luar negeri melalui program

beasiswa dengan terbentuknya karakter intelektual. Diawali dari konteks pra

kemerdekaan hingga kelahiran para “Mafia Berkeley” yang dibidani oleh the Ford

Foundation. Di akhir bagian ini secara khusus juga akan diulas beasiswa

Fulbright, baik sejarah kelahirannya maupun implikasinya bagi pembentukan elite

intelektual di sejumlah Negara.

b. Intelektual Indonesia di Bawah Opresi Rezim Orde Baru.

Bagian ini akan menghamparkan kebijakan Orde Baru yang memasung kebebasan

intelektual dan mimbar akademik, mulai dari kebijakan terhadap intelektual di

dalam kampus hingga kontrol ketat terhadap organisasi kaum intelektual. Secara

khusus juga akan diulas pola karakter intelektual yang tumbuh subur dalam rezim

otoriter suharto. Bagian ini juga akan menyajikan tantangan dan ancaman yang

dihadapi oleh kaum intelektual yang tak hendak tunduk pada kekuasaan Suharto

berikut strategi integritas intelektual yang mereka pertahankan.

Bab III Intelektual Indonesia di Amerika.

Bagian ini diawali dengan narasi mengenai proses para intelektual Indonesia

(38)

22

dari kalangan mana sajakah para penerima beasiswa tersebut. Bagian ini

memaparkan bagaimana para intelektual penerima beasiswa Fulbright

(Fulbrighter) dalam berdinamika dengan kehidupan akademik, sosial dan politik

di Amerika. Yang dimaksud dengan kehidupan akademik termasuk di dalamnya

adalah karakter pendidikan ala Amerika, tradisi keilmuan yang berkembang di

beberapa kampus besar serta tradisi “pemuridan” yang dibangun oleh sejumlah

“mahaguru”. Berbanding lurus dengan kehidupan politik Amerika yang menuntut

mereka untuk mengambil sikap untuk tunduk, apatis ataupun melakukan

perlawanan melalui keterlibatan dengan gerakan sosial.

Bab IV Jejak Perlawanan Intelektual Publik

Ini merupakan bagian kunci dari keseluruhan kajian ini. Bagian ini menelusuri

bidang gerak sekaligus mengupas diskursus yang dikembangkan oleh sejumlah

intelektual sekembalinya mereka dari belajar di Amerika, serta bagaimana latar

belakang pendidikan mereka di Amerika mempengaruhi pilihan bidang gerak dan

diskursus. Upaya ini dilakukan dengan berpegang pada analisis buah pemikiran

sejumlah intelektual publik terkemuka, baik berupa buku, otobiografi maupun

tulisan akademis. Peta yang dihasilkan akan menunjukkan hulu ke hilir aliran

intelektual baik yang mendukung semakin berjingkrangnya Orde Baru hingga

intelektual yang murtad terhadap kuasa Suharto. Pembacaan yang lebih konkret

mengenai intelektual alumnus Fulbright disajikan melalui pemotretan lebih dekat

sejumlah intelektual yang mengembangkan pemikiran yang berada di luar arus

(39)

23

Amerika. Pembacaan ini berikut juga melihat peran sejumlah intelektual alumnus

Fulbright dalam mengawal reformasi, ide-ide yang muncul serta kontestasi ide

antar intelektual dalam mengisi ruang kekosongan ideologi yang ditinggalkan

oleh rezim Suharto.

Bab V Kesimpulan.

Bab terakhir ini berisi catatan-catatan penting dari bab-bab sebelumnya sekaligus

refleksi teoretik. Hal pokok yang ingin disajikan terkait dengan cara pandang

dualistik yang tidak lagi bisa dipertahankan dalam melihat intelektual. Ketika

intelektual menengok ke “barat” tidak selalu berarti mereka menggabungkan diri

sebagai “barat”, namun ketika mereka masih merasa sebagai “timur” bukan

berarti mereka tidak menyerap ideologi “barat” secara habis-habisan. Satu hal

yang tak bisa terabaikan, filantropi akademik sebagai sebuah proyek politik

berhasil menciptakan intelektual-intelektual mesin fotocopy “barat” bagi dunia “timur”. Namun, seberapapun canggih proyek politik selalu tak akan mampu

menghasilkan hegemoni mutlak, selalu ada yang luput dan menghasilkan

(40)

BAB II

BEASISWA DARI AMERIKA, INTELEKTUAL DAN

FORMASI NEGARA OTORITARIAN

Melanjutkan bab Pendahuluan yang memberi pengantar mengenai

kepentingan ideologis Amerika untuk membendung pengaruh komunisme dalam

masa Perang dingin melalui pemberian beasiswa bagi intelektual negara-negara

yang dianggap strategis untuk membentengi laju komunisme. Pada bab ini akan

diuraikan lebih detil lagi bagaimana beasiswa dapat digunakan sebagai senjata

hegemoni. Bagian ini meliputi penggunaan yayasan sebagai alat menggerakkan

hegemoni Amerika, bagaimana bantuan pendidikan keluar negeri dan

pengembangan ilmu sosial dari Amerika bersejalan dengan kepentingan Orde

Baru untuk memapankan stabilitas rezim-nya. Bab ini tentu saja juga akan

mengurai relasi mutualis Orde Baru dengan teknokrat yang merupakan buah

pendidikan Amerika melalui proyek pembangunan nasional-nya. Persoalan yang

ingin diungkap adalah bagaimana intelektual yang pernah mendapatkan beasiswa

dari Amerika terperangkap hegemoni Orde Baru dan Amerika, untuk tidak

mengatakan mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak Amerika dan Orde Baru.

Selain relasi mutualis, bab ini juga akan memuat relasi yang antagonis antara

Suharto dengan intelektual publik. Paparan tersebut akan menutup bab ini dengan

(41)

25

yang sarat otoritarianisme beserta peristiwa represif dan kooptasi Orde Baru

terhadap mereka yang terjadi pada tahun 1970-1980.

Secara keseluruhan, bab ini bertujuan untuk memberi konteks sejarah bahwa

kepentingan Amerika untuk “menguasai” Indonesia dilakukan dengan kekuatan

yang halus dengan jalan mempengaruhi intelektual yang berada di sekitar Suharto.

Beasiswa merupakan langkah sistematis untuk mempengaruhi intelektual

Indonesia dnegan gagasan-gagasan khas Amerika seperti demokrasi, pro pasar.

Kajian dalam bab ini menguraikan sejarah intelektual, yakni sejarah intelektual

yang terbentuk melalui persentuhannya dengan pengetahuan, gagasan dan

kepentingan-kepentingan.

A. Beasiswa: Sebuah Senjata Hegemonik Perang Dingin?

Sebagaimana diuraikan dalam bab pendahuluan, beasiswa dari Amerika,

bukanlah sekadar misi filantropis belaka. Namun sebuah misi politis ideologis

yang diwarnai oleh konteks perang dingin. Pemberian beasiswa bagi sejumlah

Intelektual di Asia, khususnya Indonesia oleh Amerika tak lepas dari perebutan

pengaruh dua blok ideologis yang masing-masing dipimpin oleh Amerika dan Uni

Soviet.1

1

Amerika serikat sebagai superpower politik, militer dan ekonomi mempunyai arti penting bagi Indonesia. Amerika merupakan partner dagang terbesar untuk eksport minyak dan bahan mentah Indonesia. “Bantuan ekonomi” dan “asistensi” Amerika melalui sejumlah badan seperti IGGI, CGI, IMF, dan G7 terasa sangat berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. (Tamara, 4-5).

Ketika itu Indonesia berada di bawah Sukarno telah bergelayut mesra

dalam poros Jakarta-Hanoi-Peking. Untuk membendung menguatnya pengaruh

komunisme di Indonesia, Amerika merasa penting untuk membentuk aliansi di

(42)

26

dan intelijen.2 Namun perebutan pengaruh itu akan lebih mudah apabila Amerika

memiliki sekutu di Indonesia yang mendukung kebijakan politik luar negeri

mereka. Untuk menjalankan tujuan tersebut, pendidikan dipilih sebagai sarana jitu

untuk menciptakan sekutu-sekutu mereka di Indonesia (Ransom, 1974:95).3

Beasiswa pendidikan digunakan sebagai kendaraan untuk “mencuci otak”,

membentuk opinin atau gagasan intelektual Indonesia agar sejalan dengan

kebijakan ekonomi Amerika yang mempromosikan pasar bebas. David Ransom

menganalisa hubungan beasiswa tersebut terkait dengan program politik Amerika

Serikat untuk menyingkirkan Soekarno dan menghancurkan PKI melalui

penciptaan ”Mafia Berkeley.” Pandangan yang berbeda dengan Ransom

menganggap ”Affiliation Program University of Indonesia with University of

California Berkeley, USA” hanya sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah dan

kualitas tenaga pengajar di FEUI. Artinya program tersebut bukan merupakan

sebuah upaya terencana untuk menciptakan sekelompok ekonom pro-Amerika

yang membawa Indonesia ke dalam pengaruh kapitalisme setelah jatuhnya

Soekarno (Irwan dalam Hadiz dan dakidae, 2005: 42)

4

2

Lebih jauh mengenai strategi diplomasi dan intelijen yang diterapkan Amerika terhadap Indonesia, baca buku “Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963” Baskara T Wardaya, 2008, Yogyakarta: Galang Press.

3

Semenjak tahun 1951, Presiden Truman menyediakan fasilitas dan bantuan untuk pengembangan pendidikan Indonesia. Di Pacific tahun 1952, Dean Rusk menyatakan bahwa pendidikan telah lama menjadi senjata bagi negarawan. Dia juga menyatakan bahwa agresi “Komunis” di Asia membutuhkan orang-orang Amerika untuk memerangi secara langsung, melainkan “Kita harus membuka fasilitas training untuk meningkatkan jumlah teman kita di seberang Pasifik

4

Semua lulusan FEUI yang kemudian menjadi teknokrat yang terkenal julukan Mafia Berkeley, yaitu Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Johannes B. Sumarlin, Emil Salim dan Mohammad Sadli dikirim ke UC Berkeley pada akhir dekade 1950-an dan awal 1960-an dengan menggunakan dana Ford Fundation . Sampai tahun 1965 ada 47 lulusan FEUI yang dikirim belajar ke AS dan hampir-hampir semuanya memang dikirim ke UC Berkeley. Meskipun ada pula beberapa yang dikirim ke Chicago, yang merupakan kandang pendekatan ekonomi pasar bebas (Dye, 1965: Appendix III)

. Pandangan yang kedua

(43)

27

dapat digunakan untuk hal baik ataupun buruk. Argumen kedua menurut penulis

cenderung mengabaikan konteks perang dingin di mana dua blok besar dunia

saling berebut pengaruh, termasuk di dalamnya menggunakan “filantropi

akademik” sebagai senjata menyebarkan pengaruh dan ideologi.5

Beasiswa dari Amerika diberikan melalui dua cara. Pertama diberikan secara

resmi oleh pemerintah Amerika melalui keputusan konggres. Kedua beasiswa

diberikan melalui yayasan pembangunan swasta Amerika yang memiliki banyak

kantor cabang atau “Country Representatif” di sejumlah negara. Meskipun

beasiswa kategori yang pertama diberikan secara resmi oleh pemerintah Amerika,

namun pengelolaannya dilakukan dengan kerjasama antara Amerika, pemerintah

negara lain serta pihak ketiga yang biasanya merupakan yayasan atau lembaga Namun menurut

hemat penulis, pandangan Ransom berbau ketergesaan khas teori konspirasi

sehingga mengabaikan dialektika antara aktor dan penguasa Indonesia serta

mengabaikan pertimbangan nilai, moral dan integritas yang sering melandasi

pilihan tindakan intelektual. Argumen yang mengkritisi pandangan Ransom

beserta paparan sejarahnya akan disajikan lebih lanjut di bagian akhir bab II.

Bagian ini akan menuntaskan lebih dulu paparan mengenai bagaimana Amerika

menggerakkan hegemoni-nya melalui pemberian beasiswa. 1. Yayasan sebagai Alat Hegemoni

5

(44)

28

pengelola beasiswa. Contoh beasiswa kategoro yang pertama adalah beasiswa

Fulbright. Sedangkan beasiswa kategori yang kedua meskipun tidak secara

langsung dinerikan oleh pemerintah Amerika, melainkan melalui tangan yayasan

pembangunan swasta, namun bukan berarti tidak mengandung misi politik

ideologis Amerika. Contoh beasiswa kategori yang kedua adalah beasiswa dari

Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller.

Joan Roellofs dalam bukunya Foundation and Public Policy: the Mask of

Pluralism, menjelaskan bahwa yayasan merupakan pembangun utama hegemoni.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa yayasan dari Negara “dunia pertama”

khususnya Amerika memiliki daya tarik besar bagi intektual di “dunia ketiga”

karena yayasan menyediakan gengsi dan kekuasaan serta akses.

Intelektual-intelektual tersebut sejak dini direkrut melalui beasiswa pendidikan di negara asal

yayasan. Setelah selesai sekolah mereka dipekerjakan dalam proyek-proyek

yayasan ataupun menjadi aliansi yang mendukung kepentingan negara asal

yayasan (Roellofs: 2003: 198).

Dalam konteks Indonesia, pandangan Roellofs tersebut menemukan bukti

sejarah. Pada akhir kepemimpinan Sukarno dan tahun-tahun awal Orde Baru,

Yayasan Ford memberikan beasiswa bagi sejumlah intelektual Indonesia untuk

bersekolah di Amerika (Roellofs, 2003: 25). Di tahun 1950-1960 kedua yayasan

tersebut mengirimkan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas

California, Berkeley. Sekembalinya dari bersekolah di Amerika, para intelektual

tersebut berubah menjadi teknokrat yang secara gigih menyebarkan

(45)

29

pasar bebas bersejalan dengan kepentingan Amerika untuk memastikan Indonesia

berada dalam jalur yang sama dengan Amerika. Salah satu kebijakan yang diambil

oleh para teknokrat alumnus Universitas California, Berkeley adalah tentang

penanaman modal asing (UU PMA) yang memudahkan investasi Amerika masuk

ke Indonesia. Kebijakan tersebut merupakan pintu pertama yang memudahkan

ekspansi modal Amerika ke Indonesia.

Tokoh terkemuka dibalik relasi yang penuh keberhasilan dengan Indonesia

adalah Sumitro Djojohadikusumo dan Sudjatmoko. Mereka berdualah yang

menangani manuver diplomatik dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1949,

Sumitro bahkan sempat menjanjikan kepada audiens Sekolah “Advanced

International Studies” di Washington-yang dibiayai oleh Yayasan Ford. Investasi

korporasi asing akan mendapatkan akses bebas ("free access") kapada sumber

daya alam Indonesia dan insentif yang memadai.

Keberadaan teknokrat yang secara tidak langsung membuka ruang bagi

pengaruh Amerika di Indonesia dan secara langsung membuka katub bagi

ekspansi investasi perusahaan-perusahaan Amerika, oleh John Bresnan, Kepala

Perwakilan Yayasan Ford di Indonesia tahun 1965-1973, disebut sebagai ”kondisi

yang saling menguntungkan”.

(46)

30

Relasi yang erat antara Yayasan Ford dengan ekonom Orde Baru memberi

Yayasan Ford profil yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Relasi yang erat antara Amerika beserta yayasan-yayasan-nya dengan teknokrat

ekonom Orde Baru alumnus Universitas California, Berkeley mengakibatkan

kelompok ini dikemudian hari dijuluki “Mafia Berkeley” (Ransom, 1975: 93).

Pada sisi yang lain, “Mafia Berkeley” juga mendapat sejumlah keuntungan

dari yayasan-yayasan asing tersebut. Keuntungan pertama adalah dibiayai

pendidikan di Amerika. Bantuan pendidikan dalam jumlah besar yang diberikan

oleh badan-badan pemerintah Amerika termasuk di dalamnya yayasan-yayasan

besar seperti Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller,6

Hal ini menjelaskan apa yang dideskripsikan David Ransom sebagai “Mafia

Berkeley” sebagai bagian plot yang lebih rumit yang didesain oleh Yayasan Ford,

Dewan Hubungan Internasional, Rand Corporation, MIT, Cornell, Harvard, dan menurut Nasir Tamara

(1997) menjadi satu dari tujuh alasan intelektual Indonesia memilih belajar di

Amerika. Keuntungan selanjutnya yang diperoleh ”Mafia berkeley” adalah

dipercaya oleh Amerika bekerjasama dan bekerja untuk yayasan-yayasan tersebut

sepulang mereka ke Indonesia.

6

(47)

31

C.I.A (Ransom, 1970:27-28, 40-49; Bresnan, 94-96). Ekonom Orde Baru yang

merupakan alumnus pendidikan Amerika tidak dilepaskan begitu saja dari kontrol

ideologi agen pembiayaan seperti Yayasan Ford (Ford Foundation) dan Yayasan

Rockefeller (Rockefeller Foundation).

Keberadaan sekutu Amerika di Indonesia tersebut menjadi catatan serius

bahwa dalam banyak atau sedikit, arah dan perkembangan pembangunan yang

dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidak lepas dari campur tangan yayasan

pembangunan dan lembaga pendidikan Amerika. Pengaruh tersebut selain

diciptakan melalui beasiswa pendidikan dan pelatihan bagi para perwira ABRI,

serta memberi beasiswa pada para intelektual-teknokrat. Persekutun antara militer

dan teknokrat ini merupakan pendukung utama Orde Baru. Selain itu pengaruh

yang dibangun Amerika juga dilakukan melalui pemberian dana bagi ilmuwan

sosial agar mengembangkan kajian dan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia

sebagaimana tempat mereka belajar di Amerika. (Tamara, 1997 ). 2. Ilmu Sosial Indonesia dalam Pengaruh Yayasan Ford

Selain menyebarkan pengaruh melalui penciptaan intelektual yang dapat dijadikan

sekutu, Yayasan Ford juga menggunakan ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu

sosial sebagai alat untuk memenangkan pertarungan ideologi. Yayasan Ford

sebagai salah satu yayasan filantropi terkaya setelah perang dunia kedua memiliki

kantor di sejumlah negara di Asia Tenggara. Salah satunya di Jakarta, Indonesia.

Dalam pengantar buku “Social Science and Power in Indonesia” Hans Antlov

(2005: xix), menjelaskan bahwa salah satu mandat Yayasan Ford kantor Jakarta

(48)

32

kapasitas penelitian dalam sejumlah disiplin ilmu, yakni ekonomi, administrasi

publik, sosiology dan antropologi. Penjelasan Antlov ini sejalan dengan kebijakan

Yayasan Ford Amerika untuk mengalokasikan dana guna membiayai

pengembangan ilmu sosial, salah satu area aktivitas utama adalah penguatan

demokrasi. Hal tersebut merupakan bagian dari usaha Yayasan Ford untuk

mengorganisir kembali studi politik, untuk kembali menaikkan pamor demokrasi

klasik Amerika yang dibayang-bayangi krisis legitimasi dengan jalan merevisi

teori demokrasi yang lebih realistis (Berndston, 2007:581-582).7

Meskipun proyek behavioralism-nya terhenti semenjak tahun 1957, namun

konsentrasi Yayasan Ford untuk mendukung pengembangan ilmu sosial di

Indonesia terus berlanjut.

8

Menggunakan anggaran yang luar biasa besar untuk pengembangan

pendidikan dan penelitian ilmu sosial di Indonesia, Yayasan Ford menyisipkan Setidaknya semenjak 1955 hingga 1980, Yayasan Ford

kantor Jakarta telah membantu sekitar 10 juta dolar untuk universitas dan pusat

penelitan di seluruh Indonesia. Dua di antara universitas yang menerima bantuan

Yayasan Ford merupakan universitas terbesar di Indonesia yakni: Universitas

Gadjah Mada dan Universitas Indonesia yang cukup serius dan massif

mengembangkan ilmu sosial.

7

Program ini kemudian dilabeli sebagai studi politik behavioral (behavioralism). Teori demokrasi yang dilahirkan adalah teori demokrasi pluralis, yang popular pada masa 1950-1960. Karena dianggap tidak menunjukkan hasil yang diharapkan maka divisi ilmu behavioral di Yayasan Ford kemudian dihentikan pada tahun 1957. Robert Arnove menjelaskan lebih lanjut bahwa pada akhir 1960 paradigma penelitian yang dikembangkan Yayasan Ford terbukti tidak memadai untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa di dunia ketiga maupun di Amerika. (lebih lanjut lihat Seybold dalam Arnove, hal 296 dan Arnove hal 13-14)

8

(49)

33

pengaruh langsung dan tidak langsung kepada dosen dan mahasiswa melalui

skema bantuan penelitian, internships, fellowship, scholarships dan dukungan lain

bagi organisasi professional. Melalui kerjasama dengan universitas, Yayasan Ford

tidak perlu mengontrol, mereka hanya perlu mengusulkan petunjuk praktis

mengenai gagasan mereka kepada seluruh universitas di dunia, dan gagasan itu

dengan cepat menjadi penunjuk arah bagi Intelektual di negara dunia ketiga (Laski

via Roelofs, 2007:27). Peran Yayasan dari Amerika dalam mendorong universitas

terlihat jelas dari perkembangan yang luar biasa dari Universitas Indonesia dan

Universitas Gadjah Mada.9

Pada saat Yayasan Ford menaruh perhatian yang sangat tinggi pada

pengembangan ilmu sosial di Indonesia, pendidikan tinggi di Indonesia, terutama

ilmu sosialnya telah cukup lama mengalami kooptasi dari negara terkait

bagaimana negara mengontrol dan memanfaatkan ilmu sosial untuk memperkuat

rezim Suharto. Ilmuwan sosial diarahkan untuk mengembangkan bidang ilmu

yang dapat mendukung pembangunan dan ideologi negara (Pancasila). Betapapun

kooptasi Orde Baru atas intelektual, namun tak bisa disanggah bahwa hanya

dalam masa Orde Baru inilah pengembangan dan penggalakan ilmu sosial secara

terencana dan sistematis, digerakkan atas kolaborasi yang manis antara negara dan

Yayasan Ford. Terdapat tiga bidang pokok yang menjadi indikator dari keseriusan

Orde Baru dalam menggarap Ilmu Sosial, yakni: pertama, dibukanya program

Ph.D. ilmu sosial (termasuk kesempatan belajar di luar negeri); kedua,

9

Referensi

Dokumen terkait

Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum , selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada

Tidak terdapat atau tidak pernah terjadi penyimpangan / kecurangan Internal BPR yang dilakukan oleh para pegawai Bank, baik yang berkaitan dengan simpanan dana

 terdapat peta kerja yang menggambarkan areal yang boleh ditebang dan areal yang ditetapkan kawasan lindung tetapi tidak sesuai dengan peta RKUPHHK-HA yang

Hal ini mengisyaratkan kalau sebenarnya datang dengan membawa beban ghulul itu bukan dalam bentuk yang sebenarnya akan tetapi apapun yang seseorang gelapkan dari

1 Mulai Januari 2021, kebijakan pembelajaran tatap muka dimulai dari pemberian izin oleh pemerintah daerah/kanwil/kantor Kemenag, dan tetap dilanjutkan dengan izin berjenjang

Interview ini bertujuan sebagai salah satu sumber data untuk skripsi dengan judul “Analisis Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Bahan Baku Untuk Pembuatan Komponen

Dengan menggunakan tingkat keyakinan 95% (α =0,05) dan derajat kebebasan (n-k) atau (df = 28) diperoleh t tabel sebesar 2,0484 sedangkan hasil perhitungan yang dilakukan menghasilkan

Dalam penelitin ini agar permasalahan tidak melebar, maka perlu adanya pembatasan permasalahan yaitu. 1) Pembahasan hanya untuk melakukan proses enkripsi pada file