• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Intelektual Publik dan Pembangunanisme

1. Beasiswa Fulbright sebagai Bunker bagi Intelektual Aktivis

Arief Budiman merupakan salah satu intelektual publik Indonesia yang terkemuka dengan gagasannya tentang sosialisme. Ia dikenal sebagai aktivis mahasiswa, aktivis kebudayaan, penulis opini. Sebagai aktivis mahasiswa, ia adalah salah satu tokoh aktivis mahasiswa yang secara gigih melakukan protes-protes terhadap demokrasi terpimpin Sukarno. Sebagai mahasiswa yang mempercayai gagasan Marxis, pada tahun-tahun di mana ia gigih melakukan unjuk rasa menentang Sukarno memberinya pemahaman lain bahwa jalan sosialis haruslah diisi dengan ruh yang demokratis agar tidak terjebak pada otoritarianisme. Pada titik itulah ia mulai mempercayai demokrasi sebagai gagasan yang melengkapi ideologi

54

sosialisme-nya. Diam-diam, ia pun mulai mengagumi Amerika sebagai negara asal gagasan demokrasi.2

Bagi Arief Budiman, harapan untuk bisa belajar demokrasi di Amerika bukan hal yang mudah untuk diperoleh. ia mulai mengusahakan mendapatkan beasiswa pada tahun 1968 setelah mendapatkan gelar sarjana Psikologi dari Universitas Indonesia. Namun, sebagai aktivis muda yang peran-perannya mendapat sorotan rezim Orde Baru

3

Aktivisme Arief menentang Orde Baru mengakibatkan dia sangat rentan menjadi incaran polisi, ABRI dan Kopkamtib. Berhadapan dengan kekuasaan negara Orde Baru yang otoritarian militeristik menyadarkan Arief betapa ia tidak berdaya berhadapan dengan Negara. Kehidupan privatnya pun kerap tidak tenang, karena sewaktu-waktu kekuasaan Negara dapat mencabut kebebasannya

, kegiatan Arief dalam aktivisme mengakibatkan ia tidak memiliki cukup waktu dan perhatian untuk secara aktif mengusahakan kemungkinan melanjutkan belajar ke luar negeri.

4

Dalam suasana ditekan rezim dan kesempitan waktu untuk memperjuangkan kelanjutan belajar, Pada tahun 1971, Arief Budiman ditawari oleh Harsya

.

2

Wawancara dengan Arief Budiman, Salatiga 28 Juli 2010.

3

Pada tahun 1968 kegiatan Arief beragam, antara lain: menjadi wakil ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Badan Sensor Film, Redaktur Majalah Sastra Horizon, Direktur Yayasan Indonesia. Selain itu dia masih terlibat dalam kegiatan mahasiswa, termasuk masih aktif berdemonstrasi untuk sejumlah isu penting (Mahasiswa Menggugat, Komite Anti Korupsi, Gerakan Anti Taman Mini Indonesia Indah, Golongan Putih, dan lain sebagainya)

4

“Diambil” oleh Kopkamtib, ditahan hingga beberapa minggu, atas perintah Kopkamtib dikeluarkan dari Badan Sensor Film hingga telpon teguran kepada pemimpin-pemimpin redaksi yang memuat tulisan Arief merupakan contoh kekuasaan Negara yang mengancamnya.

55

Bachtiar, seorang sosiolog yang menjadi pengorganisir beasiswa Fulbright-Hays Grant untuk mencoba mendapatkan beasiswa Fulbright5

Arief Budiman meninggalkan Indonesia tahun 1973, tahun di mana gerakan mahasiswa dan rakyat yang kritis terhadap Suharto menguat. Harvard menjanjikan

.

Tekanan demi tekanan dari rezim, semakin membesarkan semangatnya untuk belajar di Luar Negeri. Setelah mampu melewati ujian TOEFL dengan nilai “lumayan”, atas saran dari Clifford Geertz, Arief memilih untuk mendaftar di 3 universitas besar di Amerika: Berkeley, Harvard dan Chicago. Namun, harapan Arief Budiman untuk bersekolah di luar negeri terganjal oleh penolakan tiga universitas hebat tersebut.

Penolakan ketiga universitas tersebut tidak memberinya pilihan untuk keluar dari kondisi yang semakin terancam di negara sendiri. Beruntung dia memperoleh tawaran bekerja selama satu tahun di Prancis. Selama masa satu tahun tersebut, Arief Budiman terus aktif berkontak dengan Institute of Internasional Education

serta temannya yang bekerja di Yayasan Ford. Berkat ketekunannya membangun komunikasi dengan lembaga pengelola beasiswa tersebut, serta saran dari Harsya Bachtiar untuk mencoba bersekolah di Amerika melalui jalur “special student”. Harsya Bachtiar juga yang menyarankannya mengontak Profesor Seymour Martin Lipset agar bersedia menjadi sponsor lamarannya sebagai “special student” di Universitas Harvard. Beruntung Profesor Lipset bersedia menjadi sponsor baginya.

5

Sepengetahuan Arief, beasiswa Fulbright hanya diberikan untuk dosen yang mengajar di universitas, khususnya universitas negeri. Namun karena jatah pengiriman keluar negeri sering tidak terpenuhi karena banyak mahasiswa yang tidak lulus dalam test TOEFL, Harsya Bachtiar berhasi meyakinkannya untuk mencoba mendapatkan beasiswa Fulbright-Hays Grant.

56

kehidupan yang sama sekali baru bagi seorang Arief Budiman: sebuah kehidupan intelektual kampus, berjarak dari keterlibatan dengan aktivitas sosial politik di Indonesia serta tentu saja jauh dari kawan-kawan aktivis gerakan yang selama ini berjuang bersamanya.6

Awal tahun 1973, Sinar Harapan mengalami ancaman prembedelan oleh Departemen Penerangan. Ketika itu, Sinar Harapan memberitakan tentang peran DPR yang terbatas, yakni sebagai tukang stempel Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disiapkan oleh beberapa menteri dan teknokrat.

Bagi seorang Arief Budiman, perjalanannya bersekolah di Amerika selain karena ketekunannya juga didukung oleh keberuntungan yang luar biasa. Saat itu, beasiswa Fulbright dikhususkan bagi dosen ataupun akademisi. Bagi seorang aktivis gerakan sosial politik sepertinya, berhasil menembus beasiswa Fulbright memberinya makna tambahan. Untuk sementara waktu, Arief Budiman terlepas dari ketercekaman dan ancaman represi Orde Baru

Beasiswa sebagai jalan untuk sementara terbebas dari kungkungan rezim Orde Baru juga dialami oleh Aristides Katoppo, ia adalah seorang jurnalis senior yang secara konsisten menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Suharto. Karir jurnalistiknya diawali tahun 1958 dengan menjadi wartawan di Harian Sinar Harapan yang dikenal sangat kritis. Tulisan-tulisannya tajam dengan kritik terhadap kaum teknokrat yang berperan besar bagi masuknya system ekonomi pasar bebas. Tak jarang, kritiknya membuat telinga penguasa memerah.

6

Dua sahabat Arief yang bersekolah di Harvard, Harsya Bachtiar dan Sulaiman Sumardi telah lulus dan meninggalkan Amerika. Di sana dia memiliki beberapa kawan baik, yakni: Jujun Suriasumantri, yang berperan sebagai “lurah” kota Cambridge, Oey Mailing, Nono Anwar Makarim yang memiliki peran penting dalam proses belajar Arief di Amerika

57

Sinar Harapan menilai APBN tersebut tidak memihak kepentingan rakyat banyak karena lebih memprioritaskan untuk memenuhi tuntutan dan prasyarat dari lembaga moneter internasional yang tergabung dalam IGGI.7

7

Lembaga moneter internasional tersebut yakni: Bank Dunia, IMF dan ADB serta beberapa lembaga moneter dan lembaga pembangunan internasiona yang lain. Prasyarat kredit yang diajukan oleh lembaga moneter internasional tersebut antara lain adanya proses transfer skill dan knowledge dalam pembangunan. Akibatnya Indonesia harus mengimpor alat-alat berat dari Amerika dan mendatangkan tenaga ahli/konsultan pembangunan dari Amerika, salah satunya dari Harvard. Anggaran yang digunakan untuk membeli peralatan dan membayar gaji tenaga ahli dan konsultan memakan dana pinjaman dalam jumlah yang besar. Kemanfaatan anggaran sebagian besar justru kembali ke Amerika.

Pembredelan merupakan “hadiah” yang diberikan Orde Baru bagi pers yang dianggap terlalu kritis terhadap penguasa yang saat itu sedang gencar-gencarnya mendorong stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Ancaman “dimatikan” juga menyasar pekerja pers yang berani mengkritik penguasa. Ketika berita pembredelan terhadap Sinar Harapan diterima, Aristides Katoppo berada dalam posisi strategis sebagai pimpinan editor Sinar Harapan. Karena dianggap sebagai motor kritik yang tajam, Suharto memerintahkan anak buahnya untuk “mematikan” Aristides Katoppo.

Perintah yang awalnya berarti “menamatkan riwayat” seorang Aristides Katoppo tersebut justru ditindaklanjuti oleh anak buah Suharto dengan “memindahkan” Aristides Katoppo keluar Indonesia. Menyusul ancaman pembredelan terhadap Sinar Harapan, Aristides Katoppo mendapat rekomendasi bahwa dirinya terpilih sebagai penerima Professional Journalist Scholarship

untuk bersekolah di Universitas Stanford selama satu tahun melalui pembiayaan beasiswa Fulbright.

58

Pemberian beasiswa tersebut mengindikasikan terjadi peristiwa di balik layar: Pertama, tampaknya terjadi pembicaraan rahasia antara Pangkopkamtib dengan lembaga pemberi beasiswa dari Amerika. Kedua, beasiswa dapat digunakan bukan hanya sebagai alat negara pemberi beasiswa, namun dapat digunakan sesuai kebutuhan Orde Baru. Dalam kasus ini, beasiswa dapat digunakan sebagai alat sekaligus langkah strategis dan sistematis Orde Baru untuk menjauhkan Aristides Katoppo dari Sinar Harapan.

Didorong keinginan untuk menyelamatkan Sinar Harapan dari pembredelan, akhirnya Aristides Katoppo menerima tawaran beasiswa tersebut.8

“Awalnya terus terang saja tidak terlalu senang. Saya senangnya menjadi wartawan. Teman saya banyak yang pergi ke luar negeri sebelumnya. Kemudian saya ditawari beasiswa (oleh Gustav Papanek-red)

Pandangannya tentang tawaran beasiswa tersebut sebagai berikut:

9

, saya tidak mau. Tapi ini semacam keterpaksaan, menyangkut diriku dan menyangkut misi dan visi yang ada. Kalau enggak menerima tawaran beasiswa itu, akibatnya, sekian banyak orang kehilangan pekerjaan. Ya buat apa alat/mesinnya. Apakah sudah waktunya untuk mengorbankan seluruh alat perjuangan? Instrumen perjuangan juga kan ini.”10

8

Dalam wawancara Aristides Katoppo menuturkan bahwa sepuluh tahun setelah menerima beasiswa tersebut, Ia bertemu dengan anak buah Suharto tersebut. Keduanya sudah tidak lagi menjabat sebagai Pangkopkamtib dan Menteri Penerangan. Karena sudah tidak lagi berada dalam struktur, mereka terlibat pembicaraan yang akrab dengan Aristides Katoppo. Mereka menceritakan bahwa Suharto sebenarnya memerintahkan mereka untuk menamatkan riwayat Aristides Katoppo. Namun kedua anak buah Suharto tersebut mengusulkan untuk memindahkan Aristides katoppo dengan jalan menyekolahkan ke luar negeri. Usulan tersebut sebenarnya bermaksud untuk menyelamatkan Aristides Katoppo dan Sinar Harapan. Aristides Katoppo dapat menerima penjelasan tersebut bahwa kedua anak buah Suharto tersebut bermaksud baik untuk menyelamatkan dirinya dan Sinar Harapan.

9

Dalam bagian lain wawancara, nama Gustav Papanek disebut oleh Aristides Katoppo pernah menawarkan beasiswa bersekolah, namun ditolaknya dengan alasan Ia masih senang menjadi wartawan. Gustav Papanek adalah salah satu konsultan pembangunan Indonesia yang didatangkan dari Amerika.

10

59

Pengalaman Aristides Katoppo di atas menunjukkan bahwa bersekolah dengan beasiswa ke Amerika tidaklah selalu menjadi pilihan bagi setiap orang. Keberangkatannya ke Amerika merupakan keadaan tanpa pilihan lain. Disatu sisi, hanya Amerika yang bersedia menyediakan dana beasiswa secara cepat pada momen politik yang tepat, di sisi yang lain tekanan otoritarianisme Orde Baru terhadap tradisi kritis pers memang mengharuskan Aristides Katoppo untuk meninggalkan Indonesia sebagai langkah strategis melindungi alat perjuangan serta dirinya.