• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Belajar Amerika

1. Tradisi Intelektual Kampus

Kampus-kampus besar di Amerika dikenal sebagai kampus di mana gagasan liberalisme ekonomi dan politik diproduksi dan di reproduksi. Kampus-kampus tersebut bahkan memiliki lembaga think-tank yang secara khusus berfokus pada pembangunan di dunia ketiga, khususnya kawasan Asia Tenggara. Sebagai contoh, keberadaan Harvard Advisory Group yang kemudian berubah menjadi Harvard Institute for International Development (HIID), dalam masa Orde Baru HIID memiliki peran besar dalam merancang pembangunan Indonesia. Hal tersebut menyebabkan kampus di Amerika dicurigai sebagai kepanjangan tangan pemerintah federal dan CIA untuk membangun hegemoni di Negara berkembang. Kenyataan tersebut paradoks dengan keberadaan kampus di Amerika sebagai

66

penjaga tradisi moral dan keilmuan yang demokratis di mana tersedia akses bebas atas pengetahuan. Kondisi ini mendorong kampus menjadi lahan subur bagi intelektualisme di mana gagasan-gagasan yang beragam mendinamikakan pemikiran intelektual kampus. Dengan tradisi moral dan tradisi keilmuan yang demokratis, kampus di Amerika juga dipercaya mampu menjaga dirinya dari kooptasi negara yang terlalu besar. Gambaran tersebut menjadi konteks paradoks eksistensi akademik intelektual Indonesia yang belajar di Amerika dengan dukungan beasiswa Fulbright.

Menurut Arief Budiman, kampus di Amerika relatif demokratis dibandingkan kampus lain di luar Amerika, termasuk dibandingkan dengan kampus di Indonesia yang pada Orde Baru rentan dengan kooptasi negara yang sangat besar. Ia menggambarkan pengalamannya belajar di Amerika seperti merasa bekerja sendiri tanpa asistensi yang ketat dari professor maupun pembimbing akademik.15

15

Selama bersekolah sebagai special student di Harvard, Arief Budiman hanya mendapatkan beasiswa dari Fulbright Hays Grant. Memasuki program PhD, beasiswa dari Fulbright Hays yang hanya mencukupi untuk 1 orang dirasa tidak cukup untuk 1 keluarga dengan 2 anak yang turut serta ke Amerika. Karenanya Arief mengontak Sudjatmoko, Selo Soemardjan dan Widjojo Nitisastro, untuk mendapatkan tambahan beasiswa dari TheYayasan Ford. Beasiswa itu kemudian disalurkan melalui Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial yang dipimpin oleh Selo Soemardjan. Pada Juni 1977, memasuki tahun ke 4 beasiswa dari theYayasan Ford tersebut diputus. Alasan informal yang disampaikan Sudjatmoko dan Selo Soemardjan adalah karena Arief Budiman terlalu lambat dama menyelesaikan studi.

Pengalamannya sebagai special student serta mahasiswa program doktoral di Harvard menunjukkan bahwa peran seorang professor dalam studi di Amerika sangatlah kecil. Tugas profesor adalah memberi nilai pada makalah ataupun ujian akhir, selain juga memberikan penugasan untuk membaca buku-buku penting sesuai topik yang dikaji.

67

Pengalaman Arief Budiman tersebut merupakan pengalaman yang terasa lain dibandingkan pengalaman sejumlah intelektual Indonesia lainnya. Sebut saja kedekatan “Mafia Berkeley” dengan para gurunya seperti Prof. Nathan Kafetz dan Prof. Gustav Papanek membawa pengaruh pada para ekonom Indonesia tersebut, terutama pada peran-peran mereka sebagai pewaris gagasan liberalisme Ekonomi Amerika.16

Daripada melihat pengalaman Budiman ini sekadar sebagai deviasi, hemat penulis, lebih bermanfaat untuk meletakkan pengalaman Budiman sebagai sebuah runtuhan artefak yang memberi petunjuk untuk mencari pola sebaran artefak pengalaman intelektual yang memiliki kecenderungan otonom. Pola relasi professor dan mahasiswa di Harvard sebagaimana dialami Arief Budiman memang memberi kecenderungan otonom bagi mahasiswa. Namun bukan berarti tanpa perbedaan pendapat yang tak tajam antara dosen dan mahasiswa. Kondisi tersebut ia alami saat mengikuti mata kuliah sosiologi pembangunan.

17

Dalam penulisan paper mengenai teori peran wanita dalam pembangunan, ia mengalami perbedaan pandangan yang cukup prinsipil dengan dua orang professor yakni: Nathan Keyfitz dan Gustav Papanek.18

16

Sebagai akademisi, Harsja Bachtiar (via Tamara, 1997:28) mencatat afiliasi dengan Universitas di Amerika setidaknya berkontribusi pada usaha restrukturisasi kurikulum, metode pengajaran dan pengorganisasian fakultas.

17

Sebagai tugas akhir mata kuliah tersebut, Arief Budiman diwajibkan menuliskan paper setebal 10 halaman. Untuk paper ini Arief menuliskan teori peran wanita dalam pembangunan di mana dia harus mengetahui lebih dari 100 bahan bacaan serta di uji tiga professor. Proses penulisan paper ini memakan waktu yang lama karena selain Arief harus membaca atau paling tidak mengetahui isi dari 100 bahan bacaan tersebut.

18

Kedua Profesor tersebut adalah juga guru dari “Mafia Berkeley” yang kemudian pindah mengajar dari University California at Berkeley ke Harvard University. Gustav Papanek adalah juga konsultan untuk pembangunan di Indonesia yang tergabung dalam HIID.

Begitupun dalam disertasinya tentang persoalan ketergantungan dari Negara-negara berkembang, dengan study kasus

68

Chile, ia mengalami kritik yang tajam dari Thelda Schokpol, seorang ahli Marxist yang disebut Arief Budiman sebagai “agak kiri-kiri Amerika”.

Keberanian mengemukakan pendapat pribadi berdasar pengalaman Arief Budiman merupakan kunci untuk tumbuh menjadi intelektual yang otonom. Perbedaan pendapat dalam tradisi intelektual merupakan keniscayaan yang sangat dihormati. Meringkas pengalamannnya belajar di Harvard, Arief (1982:49) mendefinisikan sebagai “Saya merasa seperti dilempar ke sebuah toko serba ada, diberi uang dan dibiarkan saya belanja sendiri. Tidak ada yang membatasi saya mau masak makanan apa. Sayalah yang harus aktif berfikir, masakan apa yang mau saya buat untuk diri saya”.

Aristides Katoppo juga mengalami proses yang sangat longgar ketika menuntut ilmu sebagai fellow dalam bidang Jurnalisme Profesional di Universitas Stanford.19

19

biasanya setelah bekerja 10 tahun atau 5 tahun supaya meningkatkan / mengedukasi diri melalui sabatikal entah 6 bulan, entah 3 bulan, ada yang sampai 1 tahun, akademisi yang sudah memiliki profesi biasanya 1 tahun itu.

Statusnya sebagai fellow memang memberinya kemudahan akses sebagaimana dosen, ia bebas memasuki ruang koleksi buku. Berbeda dengan mahasiswa kebanyakan, sebagai fellow yang termasuk dalam program kursus non degree, ia tidak harus menulis karya akademik. Status sebagai fellow itu justru memberinya keistimewaan, missalkan ia boleh mengikuti program degree sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Kewajiban yang ia miliki adalah mengikuti seminar yang diorganisir bersama-sama oleh para fellow dan sesekali menjadi mentor atau mengisi ceramah bagi mahasiswa. Program beasiswa

69

Jurnalisme Profesional tersebut diakui Aristides Katoppo sebagai program yang sangat bebas, bahkan setiap fellow berhak menentukan program mereka sendiri.20

Sebagai wartawan senior ia memiliki keahlian dalam mencari informasi serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Oleh karena itu, tak jarang profesor yang awalnya hanya memberi waktu lima belas hingga tiga puluh menit kemudian menjanjikan waktu lanjutan untuk berdiskusi karena terprovokasi oleh

Sebagai seorang wartawan yang dicerabut dari aktivitas kesehariannya, Aristides Katoppo memanfaatkan kelonggaran program beasiswa tersebut untuk melakukan wawancara-wawancara dengan profesor-profesor terpandang yang ada di Amerika, terutama di Kalifornia. Sebagian besar waktunya digunakan untuk wawancara dan berdiskusi dengan profesor-profesor yang memiliki keahlian yang beragam. Hasil diskusi dengan satu professor menjadi bahan berpendapat dan mengajukan pertanyaan pada professor yang lain. Bagi Aristides Katoppo mewancarai professor-profesor yang berbeda pandangan memberi pengayaan yang tidak didapatkan di kelas. Kelemahan dalam metode ceramah di kelas tidak memberi intensitas waktu belajar yang memadai antara profesor dengan mahasiswa. Alasan lain yang ia kemukakan adalah dengan tidak mengikuti kelas ia tidak harus mengumpulkan paper dan membaca bacaan wajib yang sangat tebal.

20

Kutipan wawancara dengan Aristides Katoppo, Juni 2010, “Jadi saya waktu itu pertama ditawarin ada dua. Yang satu sekolah di Harvard, waktu itu namanya Neeman Fellow. Nah Neeman Fellow itu adalah untuk get carrier journalist yang sabatical di sana. Yang bisa semacam recharge diri dengan ya banyak berbagai ilmu yang ada di Harvard University. Jadi saya ditawarin itu. Tapi dikasih pilihan juga, yaitu Stanford University. Di situ yang namanya Professional Journalist itu mirip, sama lah. Nah saya memilih Stanford. Walaupun tawaran pertama adalah Neeman Fellow. Banyak orang Amerika yang geleng-geleng kepala. Kok Loe mau? misalnya begitu. Misalnya di sini, ditawari ke Unair atau ke UGM kok memilih Unpad. Tapi itu kan kebanggaan mereka. Kemudian saya menjawab, lho bukan begitu aku lebih senang di California karena mataharinya lebih.... ha...ha... Orang pada ribut, wong aku tidak peduli kok.”

70

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Aristides Katoppo. Ia merasa bahwa ilmu yang ia peroleh dari diskusi dan wawancara dengan profesor-profesor itu bobotnya melampaui kuliah di kelas.

Strategi Aristides Katoppo memanfaatkan sumber informasi yang luas di Amerika dengan mewawancarai professor-profesor menunjukkan kualitas intelektual Indonesia yang kreatif dan penuh daya komunikasi. Supremasi Amerika sebagai ‘pusat pengetahuan’ tidak dihadapi dengan sikap minder pendatang dari negara “sedang berkembang”, melainkan justru menantang supremasi tersebut dengan kelihaiannya bertanya dan mengemukakan pendapat.

Bagi Aristides Katoppo, proses belajar yang sama-sama di Amerika bisa menghasilkan intelektual dengan corak beragam. Hal yang penting untuk menentukan karakter intelektual adalah titik tolaknya dalam belajar di luar negeri. Keberpihakan sebagai ciri moral intelektual tergambar sebagaimana pernyataan berikut:

“Tapi yang saya belajar di situ bahwa banyak orang banyak sources of information. Dan tentu banyak cara interpretasi dalam hal ini kan. Nah sebenarnya kan tergantung pada titik tolak. Anda mau titik tolaknya dari masyarakat miskin yang tidak punya suara, yang tidak berdaya, dan sebagainya, yang diperlakukan sebagai objek bukan sebagai subyek. Atau sebagai pemilik kekuasaan.”

Sedikit berbeda dengan pengalaman Arief Budiman bersekolah di Harvard dan Aristides Katoppo di Stanford, selama bersekolah untuk program masternya di university State of California Melani Budianta merasakan supervisor cukup berperan dalam mengarahkan studi S2. Supervisor bersama-sama dengan mahasiswa memilihkan mata kuliah yang sesuai dengan minat mahasiswa. Sedangkan untuk studi doktoralnya di Universitas Cornel, ia merasakan

71

adanyanya kekebasan untuk memilih mata kuliah maupun satu tim penguji proposal serta disertasinya yang terdiri dari satu orang promotor dan empat orang co-promotor. Tentu saja peran tim ini sangat penting dalam memberi masukan untuk disertasi, namun mahasiswa memiliki otonomi untuk menentukan topiknya sendiri. Hal yang menguntungkan bagi mahasiswa adalah tim tersebut dipilihnya sendiri, mahasiswa juga yang harus mencari serta menghubungi seluruh anggota tim. Disini mahasiswa dituntut kejelian untuk mencari promotor dan co-promotor yang relevan dengan studinya.

Faktor yang mendukung terbentuknya karakter intelektual adalah luasnya sumber pengetahuan dalam bentuk buku-buku yang melimpah. Berbeda dengan sebagian besar perpustakaan di Indonesia yang memiliki koleksi terbatas dengan ruang pengab dan buku-buku yang tidak dirawat dengan baik, perpustakaan universitas besar di Amerika digambarkan sebagai surga buku. Sebagai salah satu negara pemilik koleksi buku terlengkap di dunia, Amerika Serikat memiliki koleksi buku yang luas dari segala macam aliran pemikiran dari pemikiran kiri hingga kanan.

Di perpustakaan itulah, mereka menemukan berbagai bahan bacaan untuk kuliah maupun mengembangkan pendapat pribadi dan perspektif melampaui mata kuliah yang ditawarkan oleh kampus. Harvard tempat Arief Budiman belajar memiliki koleksi yang sangat lengkap. Di perpustakaan yang selalu dikunjungi setiap hari mulai pagi hingga pukul 9 malam, ia bisa dengan mudah mengakses buku-buku dari aliran kanan hingga kiri. Yang menarik minatnya tentu saja koleksi buku-buku tentang sosialisme, marxisme yang sangat tidak mudah untuk

72

ditemukan apalagi diakses di Indonesia. Buku-buku kiri tersebut menjadi referensinya untuk menulis tugas kuliah maupun tesis. Kekayaan bahan bacaan berupa buku-buku kiri yang bisa diakses Arief Budiman tampak dalam dua tugas kuliahnya yang kemudian dipublikasikan. Yang pertama dalam tugas kuliah mengenai teori peran wanita dalam pembangunan, ia menulis tentang pembagian kerja secara seksual yang dikemudian hari diterbitkan dan mendapat pengakuan sejumlah pihak sebagai buku Indonesia pertama yang secara sederhana, sistematis memaparkan beragam perspektif tentang peran perempuan dalam pembangunan. Tugas yang kedua menuliskan tentang gerakan mahasiswa yang dikemudian hari ditulis ulang dalam jurnal intelektual Prisma.

Berangkat ke Amerika dalam masa di mana perang dingin belum berakhir -walaupun supremasi Amerika atas Indonesia sudah bertahta- Amien Rais memandang Amerika merupakan negara pembela status quo yakni imperialisme lama dan kapitalisme modern. Untuk mengimbangi gagasan-gagasan para pembela status quo, Amien Rais tekun mengembangkan gagasan radikal yang bersumber dari sosiologi Max Weber, Talcot Parsons, Karl Marx serta teologi revolusi. Begitupun Amien Rais yang semenjak di Gadjah Mada memiliki minat besar pada kajian Timur Tengah, selama kuliah MA di Notre Dame University memanfaatkan kekayaan bacaan di perpustakaan untuk membaca kajian-kajian tentang Timur Tengah. Hasil ketekunannya dalam membaca kajian-kajian Marxis dan Timur Tengah tampak dalam minatnya menuliskan tesis tentang politik luar negeri Mesir di bawah Anwar Sadat yang dekat dengan Moskwa (ketika itu Uni Soviet) (Rais, 1998: 16-17).

73

Di Stanford, Aristides Katoppo menikmati keistimewaan menjelajah ruang koleksi perpustakaan universitas sementara mahasiswa umumnya hanya bisa menembus ruang baca. Tentunya sebuah keistimewaan yang hanya bisa dimiliki oleh dosen. Melampaui keistimewaan mendapatkan akses hingga ke ruang koleksi buku, mendapatkan akses ke dalam bacaan yang kaya dan beragam bahkan untuk kajian-kajian tentang Indonesia merupakan sebuah keistimewaan yang tidak dapat dijumpai di Indonesia.

Kekayaan kajian Indonesia melimpah di perpustakaan-perpustakaan di kampus-kampus besar di Amerika. Universitas Cornell merupakan pusat studi Indonesia nomor satu di Amerika pada periode tahun 1970-an, yang dilengkapi koleksi perpustakaan yang paling lengkap tentang Indonesia. Melani Budianta ketika melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Cornell sangat menikmati kehidupan intelektual di dalam perpustakaan. Mulai jam delapan pagi hingga sore dan dilanjutkan pukul 21.00 hingga jam satu atau dua dini hari.