• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Intelektual Publik dan Pembangunanisme

2. Beasiswa Fulbright dan Proyek Ilmu Sosial bagi Akademisi

Melani Budianta termasuk golongan intelektual publik yang cukup beruntung. Tidak banyak intelektual saat itu yang bisa mendapat beasiswa Fullbright dari sejak S2 hingga S3. Ia mendapatkan pendidikan Strata 1 (satu) dari Fakultas Sastra, jurusan Sastra Inggris, Universitas Indonesia. Ia diterima di Universitas Indonesia tahun 1973 dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1979. Setelah enam tahun menyelesaikan kuliah, dia kemudian melanjutkan karirnya sebagai asisten dosen di tempat yang sama.

Pada tahun pertama bekerja sebagai asisten dosen di Fakultas Sastra, jurusan Sastra Inggris, Universitas Indonesia, Melani Budianta memperoleh informasi mengenai beasiswa Fulbright dari tiga dosennya, yakni Tuti Alisyahbana, Tuti Indramalaon, dan Chris Silalahi. Ketiganya perempuan. Menurut Melani Budianta, ketiga perempuan tersebut memiliki relasi yang dekat dengan pihak Fulbright. Saat itu memang terdapat rintisan kerjasama kelembagaan antara Fakultas Sastra, Universitas Indonesia dengan pihak Fulbright.

60

Relasi kelembagaan antara Fulbright dengan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia tergambar dalam relasi mutualis. Dosen tamu dari Amerika yang difasilitasi Fulbright diberi kesempatan untuk mengajar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia sebagai dosen tamu selama dua minggu hingga satu semester. Selain mengajar, mereka juga berperan sebagai pembina program paska sarjana American Studies yang akan didirikan di UI. Melalui para dosen tamu tersebut, akademisi muda dari UI dibukakan peluang untuk mengenal dan mencoba tawaran beasiswa dari Fulbright. Begitupun yang terjadi pada Melani Budianta, dosen-dosen Amerika yang dikirim oleh Fulbright tersebut sangat membantunya untuk mengetahui minat pendidikan lanjutnya, menunjukkan jalan mendapatkan beasiswa, memberi rekomendasi serta menjadi pewawancara dalam seleksi beasiswa.

Pada tahun 1979, Melani Budianta mendapat beasiswa belajar program master dari Fulbright. Namun karena mengalami masalah status kewarganegaraan dan status kepegawaian, keberangkatannya ke Amerika harus ditunda hingga satu tahun. Melani Budianta adalah perempuan “keturunan” etnis Cina. Sebelum mendapatkan surat ijin belajar, Melani Budianta harus lebih dulu berbelit dengan pengurusan dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).11

11

Dokumen SBKRI merupakan salah satu kebijakan kewarganegaraan Orde Baru yang diskriminatif bagi etnis cina.

Saat itu Orde Baru memberlakukan kebijakan kewarganegaraan yang diskriminatif bagi etnis Cina, salah satunya adalah dokumen SBKRI tersebut. Hingga usia yang terbilang dewasa, bahkan telah menikah dan memiliki anak, Melani Budianta belum memiliki SBKRI dengan alasan ia sudah merasa

61

berkewarganegaraan Indonesia. Namun karena dokumen SBKRI tersebut adalah prasyarat yang harus dipenuhinya agar dapat memperoleh paspor dan mengurus surat ijin belajar, maka dengan memakan waktu yang lama akhirnya ia mengurus dokumen tersebut.12

Melani Budianta mengerti bahwa pemilihan jurusan yang tepat sangat mempengaruhi penilaian atas lamaran bersekolah di Amerika karena pihak Fulbright yang akan mengirimkan aplikasinya ke Universitas yang dianggap tepat. Ia menghitung akan lebih kecil peluang bagi seorang sarjana sastra Inggris lulusan universitas di Indonesia untuk dapat diterima dalam program master sastra Inggris di universitas yang baik di Amerika. Sementara untuk masuk langsung ke sastra Inggris, dia harus mampu meyakinkan bahwa lulusan sastra Inggris dari

Setelah mendapatkan SBKRI, Melani Budianta masih harus mengurus surat ijin beajar ke luar negeri dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Saat itu program beasiswa Fulbright dikhususkan bagi akademisi yang telah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan sewaktu mendaftar beasiswa Fulbright, Melani Budianta masih berstatus calon pegawai. Karena itu ia sulit memperoleh surat ijin belajar ke luar negeri dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proses yang berbelit-belit dalam mengurus surat ijin belajar itu dilaluinya dengan bantuan penuh dari Chris Silalahi, dosennya yang memiliki jalur perkenalan yang luas baik dengan birokrat di departemen P dan K serta Fulbright. Maka pada tahun pada tahun 1980 surat ijin belajar ke luar negeri diperoleh Melani Budianta. Pada tahun yang sama ia berangkat bersekolah di University State of California.

12

62

universitas di Indonesia memiliki tingkat kecanggihan bahasa yang tinggi sekali. Sedangkan institusi yang mengampu sastra Inggris di Amerika terbilang “sangat mapan” sebagai bidang ilmu. Salah satu motif memilih jurusan American Studies sebagai minat studi lanjut dengan pertimbangan kebutuhan lembaga asal yang merintis program pasca sarja Kajian Wilayah Amerika,

Kendati demikian, program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika juga tidak lepas dari minat besar Amerika semenjak tahun 1970 terhadap kajian-kajian yang memungkinkan Intelektual dunia ke tiga, khususnya Indonesia mengenal lebih jauh mengenai Amerika dari beragam tinjauan, bukan hanya bahasa namun juga sosial, politik dan kebudayaan.13

13

Kutipan wawancara dengan Melani Budianta, Desember 2010, “Karena UI sudah dianggap cukup kuat, mereka terus agak tidak membantu UI lagi. Mereka membantu cuma (orang-orang) daerah. UI dianggap sudah mulai tidak dikirim lagi. Dulu di setiap tahun, selalu ada yang dikirim satu. Yang terakhir itu kalau tidak salah sekitar tahun 1998. Tahun 1998/1999 itu yang terakhir sepertinya. Menjelang tahun 2000 tidak ada lagi. Karena dianggap UI sudah cukup kuat, tidak perlu dibantu lagi. Mereka membantu yang di luar. Dulu di setiap tahunnya ada dosen yang mendapat beasiswa.”

Dengan mengenal Amerika lebih dalam, nampaknya Amerika berharap dapat lahir orang-orang Indonesia yang menjadi sekutunya dan menjadi jembatan yang memperlancar relasi kedua negara. Dengan kepentingan yang besar pada program Pascasarjana yang didirikan tahun 1980 tersebut, Amerika bersedia menanggung setengah dari biaya pengadaan program, yakni 50 juta dalam bentuk uang dan 30 juta dalam bentuk pengadaan buku-buku serta tentu saja akademisi yang dikirim langsung dari Amerika melalui program Fulbright (Tamara, 1997:68).

Mengenai pandangannya terhadap keberadaan Kajian Wilayah Amerika, Melani Budianta menyatakan sebagai berikut:

63

“Ini kan juga proyek.. hmm bukan proyek Amerika, tapi ini kan diprioritaskan waktu itu. Masih diprioritaskan. Sekarang tidak lagi. Jamannya sudah beda, bukan Cold War lagi. Kalau dulu kan masih masa Cold War, jadi American Studies kita tahu adalah satu proyek yang juga untuk membangun pemahaman Amerika di luar Amerika. Bagaimanapun ini political project. Artinya saya sadar itu, tapi mengapa tidak. Artinya, meskipun itu punya kepentingan politik Amerika, kepentingan luar negeri Amerika, atau apa, kita sadar akan hal itu. Karena yang kita pelajari memang macam-macam gitu yah. Kita tidak harus terhegemoni oleh political project American Studies itu. Walaupun American Studies Indonesia akhirnya, memang harus bernegosiasi dengan seperti itu. Kalau kita mendirikan program kajian Amerika bukan berarti menjadi anthek amerika kan dengan kata lain, ya kan. Tidak bisa dalam arti bahwa ketika teman-teman itu mendirikan program American Studies itu, ya kita terus menerus berupaya untuk membangun (kesadaran) itu bahwa kita adalah orang-orang yang mengkaji Amerika dari perspektif Indonesia”.

Pandangan Melani Budianta tersebut menunjukkan ia memiliki kesadaran atas konteks sejarah dan kepentingan yang melatarbelakangi bantuan Amerika dalam dunia akademik tidak terlepas dengan kepentingan Amerika dalam perang dingin. Dengan lebih banyak memperoleh intelektual yang belajar mengenai Amerika dalam berbagai bidang kehidupan, Amerika berkemungkinan mendapatkan lebih banyak lagi intelektual yang memahami Amerika dan bersedia menjadi sekutunya. Berbagai bantuan pendidikan berupa asistensi untuk mengambangkan kajian kawasan Amerika maupun beasiswa pendidikan di Amerika juga tidak lepas dari proyek politis Amerika untuk membangun lebih banyak lagi sekutunya dari negara yang strategis. Melani Budianta bergerak di antara kepentingannya sebagai intelektual yang terus ingin belajar dan kepentingan politik Amerika tersebut. Baginya, proyek politik sekuat apapun selalu bisa ditawar, walaupun ia sendiri mengakui pengaruhnya tidak bisa ditolak sama sekali.

64

Berhadapan dengan pandangan orientalis terhadap kapasitas intelektual dunia ketiga, Melani Budianta memilih Jurusan American Studies sebagai cara berstrategi.14

Peran besar dosen tamu yang dikirim Fulbright untuk mengajar American Studies di Program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika terus berlanjut hingga Melani Budianta hendak melanjutkan studi S3. Sebagai alumnus Amerika, Melani biasanya mendapat tugas menjadi mitra dan asisten bagi dosen tamu dari Amerika, terlebih saat ia menjadi ketua jurusan pada program tersebut. Pada tahun 1985 hingga 1986, Fulbright mengirimkan seorang dosen dari Universitas Cornel bernama Chandra Viske saya. Dari intensitas bekerja bersama terjadi dialog dengan mereka. Chandra Viske menawarkan pada Melani Budianta untuk melanjutkan kuliah doktoral di Cornel, universitas yang paling diidam-idamkannya. Setelah sempat hampir kehilangan peluang bersekolah di Universitas Cornel karena pihak Fulbright tidak sempat mengirimkan proposalnya, Chandra Viske meminta Melani mengirimkan sendiri proposalnya ke Universitas Cornel. Satu sisi mensiasati kelemahannya sebagai sarjana sastra Inggris dari dunia ketiga, di sisi yang lain memanfaatkan kepentingan Amerika pada pengembangan kajian Amerika bagi intelektual dunia ketiga. Menegosiasikan kepentingan sebagai intelektual dengan peluang yang tersedia, dengan tetap kritis dan memiliki perspektif yang kuat sebagai orang Indonesia yang belajar tentang Amerika dan belajar di Amerika baginya merupakan salah satu cara untuk keluar dari hegemoni utuh proyek politik Amerika.

14

Program master di bidang American Studies yang akan dimasukinya juga memberinya peluang untuk tetap belajar mengenai sastra, namun dengan perluasan kajian ke dalam bidang lain seperti politik dan sejarah. Dengan masuk ke dalam program American Studies, Melani Budianta merasa mendapat keuntungan dapat mempelajari konteks yang multi disiplin atas kajian sastra Inggris yang selama ini Ia pelajari.

65

Akhirnya pada tahun 1988 Melani Budianta dapat bersekolah di Amerika kembali, masih dengan beasiswa Fulbright.