• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Fulbright memiliki daya tarik yang berbeda dengan program beasiswa Yayasan Ford. Sebagian besar penerima beasiswa Fulbright memiliki latar belakang akademisi di lingkungan ilmu sosial dan politik. Walaupun ada beberapa di antaranya yang memegang peranan besar sebagai pejabat dalam pemerintahan, namun sebagian lainnya mempunyai peran sebagai ”tukang kritik” proyek pembangunanisme Orde Baru. Paparan lebih lanjut mengenai program beasiswa Fulbright Indonesia dan intelektual yang memperoleh beasiswanya akan dipaparkan di bab III.

Setelah tertumbangkannya kepemimpinan Sukarno, relasi Indonesia dan Amerika menghangat dibandingkan sebelumnya. Keberhasilan program anti Komunis oleh Orde Baru dan eksploitasi alam yang amat luas oleh korporasi Amerika memberi Indonesia bobot yang luar biasa di mata Amerika.

Naiknya Mafia Berkeley sebagai perumus kebijakan ekonomi ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dimulai dengan penjalinan hubungan kelembagaan dengan kalangan militer Seskoad (Sekolah staff Komando Angkatan darat) Bandung. Di tempat inilah Suharto mengenal para teknokrat alumnus UC

12

Iklan yang terdapat dalam website IIEF meneguhkan proses produksi dan reproduksi gagasan mengenai program beasiswa Fulbright sebagai program bagi intelektual terpilih.

38 Berkeley.13

Pembangunan nasional merupakan representasi dari keseluruhan tujuan utama politik Orde Baru sekaligus fondasi politik yang paling mendasar ( Kleden, 1995:11). Pembangunan nasional yang dibangun oleh Orde Baru menunjuk ekonomi sebagai panglima, sehingga dalam masa Orde Baru ekonom mendapat tempat istimewa dibandingkan dengan intelektual dengan basis ilmu sosial non ekonomi. Kleden menyebutkan pemosisian ekonom secara istimewa mengakibatkan pembagian kerja diam-diam antara ekonom dan ilmuwan sosial lainnya, ekonom bertugas menyelesaikan masalah ekonomi dengan pendekatan teknis, sedangkan masalah politik, sosial, dan budaya diselesaikan oleh ilmuwan sosial non ekonom (Kleden, 1995:12-14).

Terpesona pada pendekatan ekonomi politik mereka dan kemudian meminta mereka menjadi arsitek ekonominya ketika dia berhasil merebut tahta dari Sukarno (Irwan, 2006, 43-44, Malaranggeng, 2008: 44-46) .

14

Peran kelompok teknokrat pimpinan Profesor Widjojo Nitisastro sangat vital sebagai penjaga gawang atau bahkan wasit kebijakan ekonomi Suharto. Gagasan Penguasaan aspek teknis dalam permasalahan ekonomi ini menjadikan para ekonom diseputar Suharto lazim disebut teknokrat.

13

Peran alumnus Amerika dalam pembangunan nasional sangat besar, baik militer Indonesia yang merupakan alumnus Forth Leavenworth maupun bersama-sama dengan teknokrat alumnus Universitas California, Berkeley, memainkan peran penting dalam mendesain kebijakan ekonomi Suharto. Aliansi militer dan teknokrat merupakan pendukung terkuat rezim Suharto.

14

Pembagian peran ini tidak serta merta membentuk ilmuwan sosial non ekonom sebagai Intelektual publik. Beberapa rintangan yang diciptakan rezim Orde Baru membatasi peran mereka tak lebih sebagai pendukung rekayasa sosial untuk memastikan legitimasi Orde Baru dalam wujud pertumbuhan ekonomi dapat mencapai stabilitas. Walaupun demikian, terselip usaha untuk menerobos kooptasi negara yang dilakukan imuwan sosial non ekonom, meskipun apabila diukur dari kerja perbaikan sosial terkait penyadaran rakyat atas hak-haknya, masih menurut Kleden, peran mereka tak lebih berpengaruh dibandingkan peran aktivis dan pekerja sosial.

39

kelompok ini berputar pada upaya untuk mengurangi intervensi negara dalam pembangunan ekonomi, dengan penekanan pikirannya pada pertumbuhan pendapatan per kapita melalui perluasan peran swasta (domestik maupun asing) dalam perekonomian nasional. Berdasar gagasan tersebut, peran pemerintah adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik. Pandangan para teknokrat tersebut mengalami transformasi dari pandangan yang memiliki kecenderungan nasionalis menjadi pandangan yang mempercayai liberalisme pasar.

Para teknokrat tersebut dengan cepat menjadi ahli ekonomi yang dipercaya Suharto dan mendapatkan peluang-peluang emas untuk berbicara dalam forum-forum dan lembaga Internasional. Gagasan mereka berkisar pada upaya untuk meyakinkan lembaga keuangan internasional yakni IMF dan Bank Dunia bahwa Indonesia telah siap untuk membangun ”kerjasama yang saling menguntungkan” dengan lembaga keuangan internasional maupun investor asing. Melalui diplomasi kelompok teknokrat inilah ”bantuan” keuangan bagi Indonesia mengalir serta dilakukannya penjadwalan kembali pembayaran hutang bagi Indonesia. Kelompok ini juga mendorong munculnya peraturan yang mengurangi proteksi ekspor-impor dan Undang-undang penanaman modal asing (UU PMA No. 1/1967).

Gagasan liberalisasi pasar mereka impor dari kampus di Amerika di mana mereka belajar di bawah bimbingan ekonom penganut paham pasar bebas. Kelompok ini disatukan melalui kelompok diskusi di mana mereka saling bertukar pikiran mengenai keadaan Indonesia dan bagaimana seharusnya Indonesia

40

dibangun. Sebelum pada akhirnya menjadi pendukung utama rezim Suharto, mereka adalah intelektual yang secara aktif berpolitik dan mengkritik kebijakan ekonomi Sukarno yang dianggap terlalu dikendalikan oleh pertimbangan politik. Bersama dengan kelompok mahasiswa dan kalangan akademik yang lain, mereka membangun aliansi anti Sukarno.

Transformasi yang cepat kelompok teknokrat pimpinan Widjojo dari cita rasa nasionalis menjadi orang-orang di belakang Suharto yang membumbui pembangunan dengan resep-resep pasar bebas menyulut kritik yang tajam dari kelompok yang dulunya adalah kawan-kawan mereka: intelektual dan gerakan mahasiswa. Salah satu intelektual yang kritis mengkritik kelompok Widjojo adalah Sudjatmoko. Baginya strategi pembangunan kaum teknokrat tidak lebih daripada jiplakan strategi yang dijalankan kaum kapitalis di dunia “barat” di awal proses pembangunan mereka (Malaranggeng, 2008: 66). Kritik ini menandaskan tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepada kelompok Widjojo sebagai komprador ideologi “barat”, dan pendidikan asing yang ditempuh di Amerika merupakan mesin yang mengisi mereka dengan ideologi tersebut.

Selain kelompok mahasiswa dan intelektual di luar kekuasaan juga terdapat sekelompok intelektual yang turut mengkritik kelompok Widjojo dengan kritik yang lebih ringan. Mereka bekerja di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think-tank yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardhani-dua orang jenderal yang sangat dekat dan merupakan orang kepercayaan Soeharto. Dua orang ahli ekonomi CSIS yakni Daud Joesoef dan Jusuf Panglaykim mengkritik pendekatan kelompok Widjojo yang tidak

41

mengambil peran kepemimpinan di bidang ekonomi. Bagi kelompok ini, negara seharusnya mengambil peran sentral dalam jaringan organisasi yang terdiri dari pemerintah, birokrat dan teknokrat serta sektor bisnis. Gagasan ini kemudian lebih dikenal sebagai Indonesia. Inc (Indonesia Incorporated). Meskipun cukup rajin mengutarakan pendapatnya dalam forum-forum maupun tulisan akademis, namun kritik kelompok ini tidak terlampau diperhitungkan oleh intelektual-intelektual dari kelompok yang lain karena kedekatan mereka dengan lingkaran kekuasaan baik Soeharto, Golkar, birokrat, maupun militer.