• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab terakhir ini berisi catatan-catatan penting dari bab-bab sebelumnya sekaligus refleksi teoretik. Hal pokok yang ingin disajikan terkait dengan cara pandang dualistik yang tidak lagi bisa dipertahankan dalam melihat intelektual. Ketika intelektual menengok ke “barat” tidak selalu berarti mereka menggabungkan diri sebagai “barat”, namun ketika mereka masih merasa sebagai “timur” bukan berarti mereka tidak menyerap ideologi “barat” secara habis-habisan. Satu hal yang tak bisa terabaikan, filantropi akademik sebagai sebuah proyek politik berhasil menciptakan intelektual-intelektual mesin fotocopy “barat” bagi dunia “timur”. Namun, seberapapun canggih proyek politik selalu tak akan mampu menghasilkan hegemoni mutlak, selalu ada yang luput dan menghasilkan intelektual-intelektual yang kritis terhadap penindasan gaya baru.

BAB II

BEASISWA DARI AMERIKA, INTELEKTUAL DAN

FORMASI NEGARA OTORITARIAN

Melanjutkan bab Pendahuluan yang memberi pengantar mengenai kepentingan ideologis Amerika untuk membendung pengaruh komunisme dalam masa Perang dingin melalui pemberian beasiswa bagi intelektual negara-negara yang dianggap strategis untuk membentengi laju komunisme. Pada bab ini akan diuraikan lebih detil lagi bagaimana beasiswa dapat digunakan sebagai senjata hegemoni. Bagian ini meliputi penggunaan yayasan sebagai alat menggerakkan hegemoni Amerika, bagaimana bantuan pendidikan keluar negeri dan pengembangan ilmu sosial dari Amerika bersejalan dengan kepentingan Orde Baru untuk memapankan stabilitas rezim-nya. Bab ini tentu saja juga akan mengurai relasi mutualis Orde Baru dengan teknokrat yang merupakan buah pendidikan Amerika melalui proyek pembangunan nasional-nya. Persoalan yang ingin diungkap adalah bagaimana intelektual yang pernah mendapatkan beasiswa dari Amerika terperangkap hegemoni Orde Baru dan Amerika, untuk tidak mengatakan mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak Amerika dan Orde Baru. Selain relasi mutualis, bab ini juga akan memuat relasi yang antagonis antara Suharto dengan intelektual publik. Paparan tersebut akan menutup bab ini dengan kritik intelektual terhadap proyek pembangunan nasional Suharto.

25

yang sarat otoritarianisme beserta peristiwa represif dan kooptasi Orde Baru terhadap mereka yang terjadi pada tahun 1970-1980.

Secara keseluruhan, bab ini bertujuan untuk memberi konteks sejarah bahwa kepentingan Amerika untuk “menguasai” Indonesia dilakukan dengan kekuatan yang halus dengan jalan mempengaruhi intelektual yang berada di sekitar Suharto. Beasiswa merupakan langkah sistematis untuk mempengaruhi intelektual Indonesia dnegan gagasan-gagasan khas Amerika seperti demokrasi, pro pasar. Kajian dalam bab ini menguraikan sejarah intelektual, yakni sejarah intelektual yang terbentuk melalui persentuhannya dengan pengetahuan, gagasan dan kepentingan-kepentingan.

A. Beasiswa: Sebuah Senjata Hegemonik Perang Dingin?

Sebagaimana diuraikan dalam bab pendahuluan, beasiswa dari Amerika, bukanlah sekadar misi filantropis belaka. Namun sebuah misi politis ideologis yang diwarnai oleh konteks perang dingin. Pemberian beasiswa bagi sejumlah Intelektual di Asia, khususnya Indonesia oleh Amerika tak lepas dari perebutan pengaruh dua blok ideologis yang masing-masing dipimpin oleh Amerika dan Uni Soviet.1

1

Amerika serikat sebagai superpower politik, militer dan ekonomi mempunyai arti penting bagi Indonesia. Amerika merupakan partner dagang terbesar untuk eksport minyak dan bahan mentah Indonesia. “Bantuan ekonomi” dan “asistensi” Amerika melalui sejumlah badan seperti IGGI, CGI, IMF, dan G7 terasa sangat berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. (Tamara, 4-5).

Ketika itu Indonesia berada di bawah Sukarno telah bergelayut mesra dalam poros Jakarta-Hanoi-Peking. Untuk membendung menguatnya pengaruh komunisme di Indonesia, Amerika merasa penting untuk membentuk aliansi di “timur” sebagai sekutunya. Pertama-tama Amerika memainkan strategi diplomasi

26

dan intelijen.2 Namun perebutan pengaruh itu akan lebih mudah apabila Amerika memiliki sekutu di Indonesia yang mendukung kebijakan politik luar negeri mereka. Untuk menjalankan tujuan tersebut, pendidikan dipilih sebagai sarana jitu untuk menciptakan sekutu-sekutu mereka di Indonesia (Ransom, 1974:95).3

Beasiswa pendidikan digunakan sebagai kendaraan untuk “mencuci otak”, membentuk opinin atau gagasan intelektual Indonesia agar sejalan dengan kebijakan ekonomi Amerika yang mempromosikan pasar bebas. David Ransom menganalisa hubungan beasiswa tersebut terkait dengan program politik Amerika Serikat untuk menyingkirkan Soekarno dan menghancurkan PKI melalui penciptaan ”Mafia Berkeley.” Pandangan yang berbeda dengan Ransom menganggap ”Affiliation Program University of Indonesia with University of California Berkeley, USA” hanya sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga pengajar di FEUI. Artinya program tersebut bukan merupakan sebuah upaya terencana untuk menciptakan sekelompok ekonom pro-Amerika yang membawa Indonesia ke dalam pengaruh kapitalisme setelah jatuhnya Soekarno (Irwan dalam Hadiz dan dakidae, 2005: 42)

4

2

Lebih jauh mengenai strategi diplomasi dan intelijen yang diterapkan Amerika terhadap Indonesia, baca buku “Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963” Baskara T Wardaya, 2008, Yogyakarta: Galang Press.

3

Semenjak tahun 1951, Presiden Truman menyediakan fasilitas dan bantuan untuk pengembangan pendidikan Indonesia. Di Pacific tahun 1952, Dean Rusk menyatakan bahwa pendidikan telah lama menjadi senjata bagi negarawan. Dia juga menyatakan bahwa agresi “Komunis” di Asia membutuhkan orang-orang Amerika untuk memerangi secara langsung, melainkan “Kita harus membuka fasilitas training untuk meningkatkan jumlah teman kita di seberang Pasifik

4

Semua lulusan FEUI yang kemudian menjadi teknokrat yang terkenal julukan Mafia Berkeley, yaitu Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Johannes B. Sumarlin, Emil Salim dan Mohammad Sadli dikirim ke UC Berkeley pada akhir dekade 1950-an dan awal 1960-an dengan menggunakan dana Ford Fundation . Sampai tahun 1965 ada 47 lulusan FEUI yang dikirim belajar ke AS dan hampir-hampir semuanya memang dikirim ke UC Berkeley. Meskipun ada pula beberapa yang dikirim ke Chicago, yang merupakan kandang pendekatan ekonomi pasar bebas (Dye, 1965: Appendix III)

. Pandangan yang kedua mengikuti argumen pluralis yang cenderung longgar menilai kekuatan filantropis

27

dapat digunakan untuk hal baik ataupun buruk. Argumen kedua menurut penulis cenderung mengabaikan konteks perang dingin di mana dua blok besar dunia saling berebut pengaruh, termasuk di dalamnya menggunakan “filantropi akademik” sebagai senjata menyebarkan pengaruh dan ideologi.5

Beasiswa dari Amerika diberikan melalui dua cara. Pertama diberikan secara resmi oleh pemerintah Amerika melalui keputusan konggres. Kedua beasiswa diberikan melalui yayasan pembangunan swasta Amerika yang memiliki banyak kantor cabang atau “Country Representatif” di sejumlah negara. Meskipun beasiswa kategori yang pertama diberikan secara resmi oleh pemerintah Amerika, namun pengelolaannya dilakukan dengan kerjasama antara Amerika, pemerintah negara lain serta pihak ketiga yang biasanya merupakan yayasan atau lembaga Namun menurut hemat penulis, pandangan Ransom berbau ketergesaan khas teori konspirasi sehingga mengabaikan dialektika antara aktor dan penguasa Indonesia serta mengabaikan pertimbangan nilai, moral dan integritas yang sering melandasi pilihan tindakan intelektual. Argumen yang mengkritisi pandangan Ransom beserta paparan sejarahnya akan disajikan lebih lanjut di bagian akhir bab II. Bagian ini akan menuntaskan lebih dulu paparan mengenai bagaimana Amerika menggerakkan hegemoni-nya melalui pemberian beasiswa.

1. Yayasan sebagai Alat Hegemoni

5

Melalui filantropi akademik yang diberikan oleh Yayasan Ford inilah dilahirkan sekelompok teknokrat yang nantinya disebut sebagai “Mafia Berkeley,” lima orang teknokrat-ekonom dari FEUI tersebut bahkan hingga saat ini masih dipercaya oleh sejumlah pihak sebagai bagian dari strategi Amerika untuk melahirkan aliansi di Negara dunia ketiga yang mampu menjadi mitra dalam membendung pengaruh komunisme. (menarik untuk mencari acuan yang menceritakan mengenai ribuan orang Indonesia yang dikirim ke negara-negara sosialis dalam rangka menunjang gagasan Sukarno untuk masa depan Indonesia).sudah cerita counter-nya Juga perlu menceritakan paa yang di counter??

28

pengelola beasiswa. Contoh beasiswa kategoro yang pertama adalah beasiswa Fulbright. Sedangkan beasiswa kategori yang kedua meskipun tidak secara langsung dinerikan oleh pemerintah Amerika, melainkan melalui tangan yayasan pembangunan swasta, namun bukan berarti tidak mengandung misi politik ideologis Amerika. Contoh beasiswa kategori yang kedua adalah beasiswa dari Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller.

Joan Roellofs dalam bukunya Foundation and Public Policy: the Mask of Pluralism, menjelaskan bahwa yayasan merupakan pembangun utama hegemoni. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa yayasan dari Negara “dunia pertama” khususnya Amerika memiliki daya tarik besar bagi intektual di “dunia ketiga” karena yayasan menyediakan gengsi dan kekuasaan serta akses. Intelektual-intelektual tersebut sejak dini direkrut melalui beasiswa pendidikan di negara asal yayasan. Setelah selesai sekolah mereka dipekerjakan dalam proyek-proyek yayasan ataupun menjadi aliansi yang mendukung kepentingan negara asal yayasan (Roellofs: 2003: 198).

Dalam konteks Indonesia, pandangan Roellofs tersebut menemukan bukti sejarah. Pada akhir kepemimpinan Sukarno dan tahun-tahun awal Orde Baru, Yayasan Ford memberikan beasiswa bagi sejumlah intelektual Indonesia untuk bersekolah di Amerika (Roellofs, 2003: 25). Di tahun 1950-1960 kedua yayasan tersebut mengirimkan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas California, Berkeley. Sekembalinya dari bersekolah di Amerika, para intelektual tersebut berubah menjadi teknokrat yang secara gigih menyebarkan gagasan-gagasan liberalisasi ekonomi. Kebijakan yang diambil para teknokrat mengenai

29

pasar bebas bersejalan dengan kepentingan Amerika untuk memastikan Indonesia berada dalam jalur yang sama dengan Amerika. Salah satu kebijakan yang diambil oleh para teknokrat alumnus Universitas California, Berkeley adalah tentang penanaman modal asing (UU PMA) yang memudahkan investasi Amerika masuk ke Indonesia. Kebijakan tersebut merupakan pintu pertama yang memudahkan ekspansi modal Amerika ke Indonesia.

Tokoh terkemuka dibalik relasi yang penuh keberhasilan dengan Indonesia adalah Sumitro Djojohadikusumo dan Sudjatmoko. Mereka berdualah yang menangani manuver diplomatik dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1949, Sumitro bahkan sempat menjanjikan kepada audiens Sekolah “Advanced International Studies” di Washington-yang dibiayai oleh Yayasan Ford. Investasi korporasi asing akan mendapatkan akses bebas ("free access") kapada sumber daya alam Indonesia dan insentif yang memadai.

Keberadaan teknokrat yang secara tidak langsung membuka ruang bagi pengaruh Amerika di Indonesia dan secara langsung membuka katub bagi ekspansi investasi perusahaan-perusahaan Amerika, oleh John Bresnan, Kepala Perwakilan Yayasan Ford di Indonesia tahun 1965-1973, disebut sebagai ”kondisi yang saling menguntungkan”.

“Saya sangat menikmati kepercayaan yang saling menguntungkan di mana saya dan staff menikmati berelasi dengan lingkaran yang sangat bermanfaat yang memungkinkan kami untuk berdiskusi secara terbuka mengenai sejumlah masalah dan solusi yang mungkin dalam sebuah rasa percaya diri bahwa apa yang kami diskusikan bersama dengan orang-orang bertalenta itu akan tetap berhasil” (Bresnan, 2006:93-94).

30

Relasi yang erat antara Yayasan Ford dengan ekonom Orde Baru memberi Yayasan Ford profil yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Relasi yang erat antara Amerika beserta yayasan-yayasan-nya dengan teknokrat ekonom Orde Baru alumnus Universitas California, Berkeley mengakibatkan kelompok ini dikemudian hari dijuluki “Mafia Berkeley” (Ransom, 1975: 93).

Pada sisi yang lain, “Mafia Berkeley” juga mendapat sejumlah keuntungan dari yayasan-yayasan asing tersebut. Keuntungan pertama adalah dibiayai pendidikan di Amerika. Bantuan pendidikan dalam jumlah besar yang diberikan oleh badan-badan pemerintah Amerika termasuk di dalamnya yayasan-yayasan besar seperti Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller,6

Hal ini menjelaskan apa yang dideskripsikan David Ransom sebagai “Mafia Berkeley” sebagai bagian plot yang lebih rumit yang didesain oleh Yayasan Ford, Dewan Hubungan Internasional, Rand Corporation, MIT, Cornell, Harvard, dan menurut Nasir Tamara (1997) menjadi satu dari tujuh alasan intelektual Indonesia memilih belajar di Amerika. Keuntungan selanjutnya yang diperoleh ”Mafia berkeley” adalah dipercaya oleh Amerika bekerjasama dan bekerja untuk yayasan-yayasan tersebut sepulang mereka ke Indonesia.

6

Enam alasan lainnya mengapa intelektual Indonesia memilih untuk belajar di Amerika: (1). Kemudahan bahasa karena bahasa Inggris diajarkan sejak SLTP, (2). Mayoritas studi-studi tentang Indonesia setelah kemerdekaan adalah tulisan ahli-ahli Amerika, (3). Amerika merupakan negara superpower –militer, ekonomi dan politik – dan karenanya diperkirakan merupakan tempat pendidikan terbaik didunia di mana dapat ditimba ilmu pengetahuan, dipelajari berbagai teori dan metodologi riset yang baik. (4). Setelah kemerdekaan hampir sebagian besar tokoh-tokoh dari lingkungan universitas, lembaga penelitian serta dari militer pernah mengenyam pendidikan di Amerika, (5). Perkiraan besarnya jumlah beasiswa di Amerika akan lebih besar daripada negara-negara lainnya dan system pendidikan Amerika menuntun mahasiswa di mana mahasiswa tidak membiarkan mencari sendiri seperti yang terjadi di Eropa “barat”, (6). Pengalaman sejumlah teknokrat lulusan pendidikan Amerika yang mendapat prestise selama Orde Baru besar pengaruhnya bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan di Amerika

31

C.I.A (Ransom, 1970:27-28, 40-49; Bresnan, 94-96). Ekonom Orde Baru yang merupakan alumnus pendidikan Amerika tidak dilepaskan begitu saja dari kontrol ideologi agen pembiayaan seperti Yayasan Ford (Ford Foundation) dan Yayasan Rockefeller (Rockefeller Foundation).

Keberadaan sekutu Amerika di Indonesia tersebut menjadi catatan serius bahwa dalam banyak atau sedikit, arah dan perkembangan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidak lepas dari campur tangan yayasan pembangunan dan lembaga pendidikan Amerika. Pengaruh tersebut selain diciptakan melalui beasiswa pendidikan dan pelatihan bagi para perwira ABRI, serta memberi beasiswa pada para intelektual-teknokrat. Persekutun antara militer dan teknokrat ini merupakan pendukung utama Orde Baru. Selain itu pengaruh yang dibangun Amerika juga dilakukan melalui pemberian dana bagi ilmuwan sosial agar mengembangkan kajian dan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia sebagaimana tempat mereka belajar di Amerika. (Tamara, 1997 ).

2. Ilmu Sosial Indonesia dalam Pengaruh Yayasan Ford

Selain menyebarkan pengaruh melalui penciptaan intelektual yang dapat dijadikan sekutu, Yayasan Ford juga menggunakan ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu sosial sebagai alat untuk memenangkan pertarungan ideologi. Yayasan Ford sebagai salah satu yayasan filantropi terkaya setelah perang dunia kedua memiliki kantor di sejumlah negara di Asia Tenggara. Salah satunya di Jakarta, Indonesia. Dalam pengantar buku “Social Science and Power in Indonesia” Hans Antlov (2005: xix), menjelaskan bahwa salah satu mandat Yayasan Ford kantor Jakarta adalah membangun sektor pendidikan tinggi dan mendukung perkembangan

32

kapasitas penelitian dalam sejumlah disiplin ilmu, yakni ekonomi, administrasi publik, sosiology dan antropologi. Penjelasan Antlov ini sejalan dengan kebijakan Yayasan Ford Amerika untuk mengalokasikan dana guna membiayai pengembangan ilmu sosial, salah satu area aktivitas utama adalah penguatan demokrasi. Hal tersebut merupakan bagian dari usaha Yayasan Ford untuk mengorganisir kembali studi politik, untuk kembali menaikkan pamor demokrasi klasik Amerika yang dibayang-bayangi krisis legitimasi dengan jalan merevisi teori demokrasi yang lebih realistis (Berndston, 2007:581-582).7

Meskipun proyek behavioralism-nya terhenti semenjak tahun 1957, namun konsentrasi Yayasan Ford untuk mendukung pengembangan ilmu sosial di Indonesia terus berlanjut.

8

Menggunakan anggaran yang luar biasa besar untuk pengembangan pendidikan dan penelitian ilmu sosial di Indonesia, Yayasan Ford menyisipkan

Setidaknya semenjak 1955 hingga 1980, Yayasan Ford kantor Jakarta telah membantu sekitar 10 juta dolar untuk universitas dan pusat penelitan di seluruh Indonesia. Dua di antara universitas yang menerima bantuan Yayasan Ford merupakan universitas terbesar di Indonesia yakni: Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia yang cukup serius dan massif mengembangkan ilmu sosial.

7

Program ini kemudian dilabeli sebagai studi politik behavioral (behavioralism). Teori demokrasi yang dilahirkan adalah teori demokrasi pluralis, yang popular pada masa 1950-1960. Karena dianggap tidak menunjukkan hasil yang diharapkan maka divisi ilmu behavioral di Yayasan Ford kemudian dihentikan pada tahun 1957. Robert Arnove menjelaskan lebih lanjut bahwa pada akhir 1960 paradigma penelitian yang dikembangkan Yayasan Ford terbukti tidak memadai untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa di dunia ketiga maupun di Amerika. (lebih lanjut lihat Seybold dalam Arnove, hal 296 dan Arnove hal 13-14)

8

Belajar dari kegagalan proyek behavioralism, Yayasan Ford terdorong untuk membiayai intelektual Marxist untuk melakukan riset yang kritis terhadap Amerika, terutama untuk memahami mengapa reformasi berbasis ideologi liberal tidak berjalan sebagaimana mestinya (Arnove 317-318 dan 321).

33

pengaruh langsung dan tidak langsung kepada dosen dan mahasiswa melalui skema bantuan penelitian, internships, fellowship, scholarships dan dukungan lain bagi organisasi professional. Melalui kerjasama dengan universitas, Yayasan Ford tidak perlu mengontrol, mereka hanya perlu mengusulkan petunjuk praktis mengenai gagasan mereka kepada seluruh universitas di dunia, dan gagasan itu dengan cepat menjadi penunjuk arah bagi Intelektual di negara dunia ketiga (Laski via Roelofs, 2007:27). Peran Yayasan dari Amerika dalam mendorong universitas terlihat jelas dari perkembangan yang luar biasa dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.9

Pada saat Yayasan Ford menaruh perhatian yang sangat tinggi pada pengembangan ilmu sosial di Indonesia, pendidikan tinggi di Indonesia, terutama ilmu sosialnya telah cukup lama mengalami kooptasi dari negara terkait bagaimana negara mengontrol dan memanfaatkan ilmu sosial untuk memperkuat rezim Suharto. Ilmuwan sosial diarahkan untuk mengembangkan bidang ilmu yang dapat mendukung pembangunan dan ideologi negara (Pancasila). Betapapun kooptasi Orde Baru atas intelektual, namun tak bisa disanggah bahwa hanya dalam masa Orde Baru inilah pengembangan dan penggalakan ilmu sosial secara terencana dan sistematis, digerakkan atas kolaborasi yang manis antara negara dan Yayasan Ford. Terdapat tiga bidang pokok yang menjadi indikator dari keseriusan Orde Baru dalam menggarap Ilmu Sosial, yakni: pertama, dibukanya program Ph.D. ilmu sosial (termasuk kesempatan belajar di luar negeri); kedua,

9

Universitas di Amerika membangun kerjasama dengan dua universitas terbesar di Indonesia, yakni. System universitas di Amerika yang memberlakukan system kredit serta jangka waktu pendidikan undergraduate selama 4 tahun (gelar BA) dan graduate selama 2 tahun lagi (gelar MA) agaknya menjadi contoh dan ditiru dalam berlakunya system pendidikan tinggi bagi S1 dan S2 di Indonesia sesuai surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No: 124/U/1979

34

dimasukkannya metode dan teknik dari karya-karya empiris di universitas-universitas, demikian juga dibukanya pusat-pusat latihan ilmu sosial oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial; ketiga, penerjemahan buku-buku untuk ilmu sosial ke dalam bahasa Indonesia, termasuk penerbitan hasil penelitian ilmu sosial ke dalam bentuk buku atau artikel serta jurnal nasional maupun internasional (Kleden, 1995: 21-22).

Begitu pentingnya ilmu sosial dalam mempengaruhi wacana pembangunan menjadikan Yayasan Ford tidak sungkan untuk mengalirkan dana dalam jumlah besar. Melalui ilmu sosial yang diimpor secara langsung dari Amerika inilah, Indonesia mengenal gagasan dan praktik pembangunan. Apabila Yayasan Ford dikenal dengan pemberian beasiswa di bidang ilmu ekonomi –bidang utama penyangga pembangunanisme, maka satu program beasiswa resmi pemerintah Amerika di Indonesia mengkhususkan diri untuk mencetak intelektual di bidang sosial kemanusiaan.

3. Fulbright dan Intelektual Ilmu Sosial Indonesia

Beasiswa Fulbright merupakan beasiswa yang diberikan pemerintah Amerika kepada intelektual dari Amerika untuk bersekolah di luar negeri, maupun intelektual dari negara lain untuk bersekolah di Amerika. Bagi Indonesia dan Amerika, skema ini memberi peluang kerjasama bilateral dua negara. Bagi Amerika, program beasiswa Fulbright memberi peluang bagi pembaratan orientasi intelektual di “negara berkembang”. Program beasiswa ini digagas oleh senator J.

35

William Fulbright.10 Bagi pemerintah Amerika Serikat, program beasiswa ini merupakan usaha luar biasa dari pemerintah AS dalam pendidikan internasional. Di luar motif kebajikan, motif lain program beasiswa ini terkait dengan perhatian senator Fulbright kepada hutang perang. Paska perang dunia II, Amerika Serikat memiliki 4 juta barang yang tertinggal di gudang penyimpanan yang tersebar di seluruh dunia. Barang-barang ini disediakan oleh Amerika Serikat sebagai bagian program peminjaman dan sewa menyewa, negara yang meminjam wajib membayar kepada Amerika Serikat. Usulan senator Fulbright yang tertuang dalam rancangan peraturan menganjurkan setiap negara agar membeli surplus barang-barang, kemudian menggunakan uang tersebut untuk membayar biaya mahasiswa Amerika di negara mereka maupun biaya transportasi mahasiswa muda dari negerinya saat bersekolah di Amerika (Jeffrey, 1987: 36-47).11

Gagasan ini kemudian berkembang menjadi pertukaran mahasiswa terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Ide ini dimaksudkan untuk menyediakan mahasiswa yang berkualitas di dalam Ilmu sosial untuk meperoleh kesempatan belajar di AS. Mereka diharapkan mampu mempengaruhi orang-orang di negaranya melalui efek gelombang. Dengan cara inilah pencampaian maksimal

10

Tahun 1946, melalui Fulbright Act dan Public Law no 584, Kongress mengamandemen Surplus Property Act tahun 1944 untuk menyediakan kementrian dalam negeri porsi mata uang asing yang tak dapat dipertukarkan yang akan digunakan untuk pembiayaan program pertukaran pendidikan internasional. Tahun 1948, uang untuk memperbesar pembiayaan disahkan melalui undang-undang Pertukaran Pendidikan dan Informasi Amerika.

11

Program beasiswa Fulbright bersama dengan yayasan-yayasan liberal seperti Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller, berkontribusi pada proses pem”barat”an intelektual negara berkembang. Elite intelektual di negara berkembang berhutang banyak kepada Amerika untuk perolehan pendidikan mereka. ”dimulai melalui universitas asal yang didukung oleh dana bantuan Amerika, maupun dilanjutkan dengan dukungan Yayasan serta pembiayaan dari program Fulbright untuk bersekolah di Universitas di Amerika. Lebih lanjut lihat

36

program bisa diperoleh, yakni ketika mereka berhasil memasuki posisi strategis di pemerintahan maupun dunia pendidikan di negerinya (Tokorozawa, 1996: 39).

Bersekolah di Amerika secara tipikal menghasilkan pencapaian status di negara asal maupun kunci pencapaian jenjang karir professional (Hess via Friedman and McGarvie: 336-337; Berndston, 2007:583-584). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh tim dari the Middle East Technical University dan