• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOCUS OF CONTROL DAN MASA KERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LOCUS OF CONTROL DAN MASA KERJA"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP

PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI

LOCUS OF CONTROL

DAN MASA KERJA

Survei Pada Guru-Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh:

Maria Kurniawati

NIM: 031334021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP

PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI

LOCUS OF CONTROL

DAN MASA KERJA

Survei Pada Guru-Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh:

Maria Kurniawati

NIM: 031334021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Karya ini untuk:

Yesus Kristus Juru Selamatku

Bunda Maria Pelindungku

Kedua orang tuaku: Bapak Agustinus Sukardi

& Ibu Yohana Elisabeth Srimulyani

Adik-Adikku : Irine Kurniastuti, Yulius Ardi

Nugraha, Yashinta Kurnia Brilyanti

Mas Yohanes Didik Dwi Hantoro

Alamamater & Semua pihak yang telah

membantu terselesainya skripsi ini

(6)

MOTTO

” Kemalasan tidak merampas hari esok tetapi mengambil kesempatan hari ini

” Kemandirian Sejati terbentuk jika kita melakukan sesuatu yang bermasalah/beresiko, tetapi hasilnya dapat mengurangi masalah/resiko orang lain, bukan menambah masalah baru bagi orang lain

” Hidup ini mengagumkan, khususnya bila Anda berjalan bersama Tuhan. Ingatlah bahwa Ia dengan setia selalu bersama Anda, dan mengharapkan Anda menggunakan waktu dengan bijaksana (Solly Ozrovech)

” Tuhan tidak akan memberi pencobaan yang melebihi kekuatan kita.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus & Bunda Maria atas kasih karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul : “PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP

PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI LOCUS OF CONTROL

DAN MASA KERJA”. Skripsi ini ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Akuntansi. Penulis menyadari bahwa selama proses penyusunan skripsi ini mendapatkan banyak masukan, kritik, saran dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Y. Harsoyo, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. Selaku dosen pembimbing, yang dengan sabar membimbing penulis menyusun skripsi, memberikan kritik dan saran, masukan, semangat, serta bersedia meluangkan waktu untuk bimbingan. Trima kasih banyak Pak Sapto.

5. Bapak Drs. Bambang Purnomo, SE, M.Si. Selaku dosen tamu 1, yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan dalam penulisan skripsi ini 6. Ibu Cornelio Purwantini, S.Pd., M.SA. Selaku dosen tamu 2, yang telah

memberikan masukan dan menyumbangkan pemikiran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Para dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Akuntasi dan Pendidikan Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah banyak memberikan bantuan dan bekal ilmu kepada penulis selama kuliah.

(9)

3 Cawas, SMP Pangudi Luhur Cawas, SMP Muhammadiyah 3 Cawas, dan segenap guru serta karyawan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan telah banyak membantu dalam melaksanakan penelitian ini serta memberikan masukan serta pengalaman yang berharga bagi penulis.

9. Kedua orang tuaku: Bapak Sukardi Agustinus dan Ibu Yohana Elisabeth Sri Mulyani yang telah memberikan doa restu, kasih sayang, segala dukungan baik moril maupun materiil, serta semangatnya kepada penulis selama ini. Matur Sembah Nuwun Pak, Buk selama kuliah aku tak kekurangan suatu apapun, aku bisa seperti ini karena kalian berdua.

10.Adik-adikku : Irine Kurniastuti, Yulius Ardi Nugraha, Yashinta Kurnia Brilyanti yang telah memberikan dukungan doa, kasih sayang dan semangatnya, Maaf bila selama ini aku tidak bisa menjadi kakak yang baik bagi kalian.

11.Mas Yohanes Didik Dwi Hantoro tercinta dan keluarga, trimakasih banyak untuk segala cinta, doa, bantuan, perhatian, semangat, dan saran-saran bijaknya. Terimakasih juga mau mendengarkan segala keluh kesahku. 12.Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde&Budhe, Om&Bulik, Mas&mbakyu,

serta semua saudara dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis selama kuliah dan penulisan skripsi ini, juga kepada Om Dadik, Mas Wiwid & Mas Nug untuk bantuannnya selama di Jogya.

13.Buat Sobat karibku Titis, Merli, Nungki(trimakasih ya buk untuk kebersamaan & dukungannya, semoga persahabatan kita yang indah ini langgeng selamanya), Romo Hiro (makasih ya Mo, atas bantuan, doa, dan nasehat-nasehatnya selama ini, makasih juga untuk pinjaman2 bukunya, maafin nia sering ngrepotin romo, Ari Prast (kuliah yang rajin ya...), Agus Wiratmoko(ak salut ma jiwa wirausahamu, sukses ya....), Koko, Agus Depok, Yudo (tetap kompak dan semangat)

(10)

Yayik, Amel, Agnes Puri, Agnes Kurnia, Yayik, Lusi, Aci, Venny, Deni, Ari cahya, Ari Ndut, Mira, Krisna terimakasih atas kebersamaan dan pertemanannya selama ini, Yenny, Tiara (makasih atas kerjasamanya), rekan-rekan PAK B senasib dan seperjuangan di PAK, mas Banu untuk semangat dan saran2nya (aku salut dengan dirimu, sukses untuk kuliah dan kerjamu), mas Ari “Teklek” makasih untuk bulpen murahnya...., Mas Edi, Mas Sigit, Mb. Sarinah (makasih dah berbagi pengalamannya selama menempuh skripsi), Wahyu “Simbah” yang dah benerin komputerku, sori sering tak repoti.

15.Buat teman-teman Kos Kurnia Jaya, Jl. Panuluh 381 Pringwulung (Anna, Butet, Mb. Hendro, Rere, Evelyn, Kristin, Vita, Irin, Endah, eki untuk kebersamaan, kekonyolan, dan kekompakaannya selama aku menjadi penghuni disana, sukses buat kita semua.

16.Teman2 Mudika dan Teman2 Lektor Gereja St. Maria Assumpta Cawas : Plerik, Gunawan(trimakasih dah ngajari page maker), Pandam, Martinus, Toni, Mbetro, Kristin, Melan, Dewi, Teguh, Evy, Diana, Aditya, Mb. Nita, Tia, Puput, Patria, Agnes, Rina W, Rina S, Manis Manja, Lusi, Arfi, Niken, uuk, Ruri, Wiwid dll (mari kita seia, sekata bekerja di ladang Tuhan)

17.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai saran, kritik dan masukan sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak yang berkepentingan.

Penulis

(11)

ABSTRAK

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP

PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI LOCUS OF CONTROL

DAN MASA KERJA

Survei pada Guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten

Maria Kurniawati Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari locus of control; (2) ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari masa kerja.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2007, di SMP Negeri dan Swasta yang ada di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru SMP negeri dan swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten yang berjumlah 171 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh negatif dan signifikan kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari

locus of control (ρ =0,023<α =0,050); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari masa kerja

) 050 , 0 041

, 0

(ρ = <α = .

(12)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF EMOTIONAL INTELLIGENCE TOWARD THE

PROFESSIONALISM OF TEACHER BASED ON THE LOCUS OF

CONTROL AND TEACHER’S WORKING PERIOD

A Survey on Teachers of State and Private Junior High Schools in Cawas District, Klaten Regency

Maria Kurniawati Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

This aim of this research is to find out whether emotional intelligence influences the professionalism of the teachers perceived from (1) locus of control

and (2) teacher’s working period.

This research was carried out in State and private Junior High Schools in Cawas District, Klaten Regency. The populations of the research were 171 teachers of State and Private Junior High Schools in Cawas District, Klaten Regency. The technique of gathering the data was questionnaire. The technique of analyzing the data was regression equal model developed by Chow.

The results of this research shows that emotional intelligence perceived from (1) locus of control influences professionalism of teachers negatively but significantly (ρ =0,023<α =0,050); (2) teacher’s working period influences professionalism of teachers positively and significantly (ρ =0,041<α =0,050).

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian... 9

BAB II KAJIAN TEORI... 10

A. Profesionalisme Guru ... 10

1. Pengertian profesionalisme guru ... 10

(14)

3. Syarat-syarat menjadi guru profesional ... 13

4. Faktor-faktor penyebab rendahnya profesionalisme guru ... 13

5. Upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru ... 15

B. Kecerdasan Emosional... 16

1. Pengertian kecerdasan emosional ... 16

2. Faktor-faktor terbentuknya kecerdasan emosional ... 17

3. Ciri-ciri orang dengan kecerdasan emosional tinggi dan rendah.. 18

4. Dimensi kecerdasan emosional... 19

C. Locus of Control... 22

1. Pengertian locus of control... 22

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control... 26

3. Aspek-aspek yang dipengaruhi locus of control... 29

D. Masa Kerja ... 33

E. Kerangka Teoretik ... 34

F. Hipotesis ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B. Tempat dan Waktu Penelitian... 38

C. Subyek dan Penelitian... 39

D. Populasi... 39

E. Operasionalisasi Variabel ... 40

1. Profesionalisme Guru ... 40

(15)

3. Locus of Control... 43

4. Masa kerja... 45

F. Teknik Pengumpulan Data... 45

G. Pengujian Instrumen Penelitian ... 46

1. Pengujian Validitas ... 46

2. Pengujian Reliabilitas ... 51

H. Teknik Analisis Data ... 53

1. Analisis Deskriptif ... 53

2. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 53

a. Uji Normalitas... 53

b. Uji Linieritas ... 54

3. Pengujian Hipotesis ... 55

a. Pengujian Hipotesis I ... 55

b. Pengujian Hipotesis II... 57

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 59

A. Deskripsi Data... 59

1. Deskripsi Responden Penelitian ... 59

2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 60

B. Analisis Data ... 64

1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 64

a. Uji Normalitas... 64

b. Uji Linieritas ... 65

(16)

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 71

1. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Profesionalisme Guru Ditinjau dari Locus of Control ... 71

2. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Profesionalisme Guru Ditinjau dari Masa Kerja ... 76

BAB V KESIMPULAN, SARAN, KETERBATASAN PENELITIAN... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Keterbatasan Penelitian... 80

C. Saran-Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA... 84

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 87

(17)

3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel Profesionalisme Guru ... 40

3.2 Tabel Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional... 42

3.3 Tabel Operasionalisasi Variabel Locus of Control... 44

3.4 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Profesionalisme Guru... 47

3.5 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kecerdasan Emosional... 48

3.6 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Locus of Control... 49

3.7 Rangkuman Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 52

4.1 Sebaran Responden Penelitian ... 59

4.2 Jenis Kelamin Responden penelitian ... 60

4.3 Deskripsi Variabel Locus of Control... 60

4.4 Deskripsi Variabel Masa Kerja ... 61

4.5 Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional... 62

4.6 Deskripsi Variabel Profesionalisme Guru... 63

4.7 Rangkuman Hasil Uji Normalitas ... 65

4.8 Rangkuman Hasil Uji Linieritas ... 66

(18)

1. Kuesioner Penelitian ... 87

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 92

3. Data Induk Penelitian... 101

4. Data Induk Regresi... 113

5. Deskripsi Frekuensi dan Variabel Penelitian ... 117

6. Perhitungan PAP tipe II ... 122

7. Uji Normalitas dan Linieritas... 124

8. Tabel F Cara Interpolasi... 125

9. Uji Regresi ... 126

10.Uji Koefisien Determinasi... 128

11.Surat Ijin dan Keterangan Penelitian ... 135

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan umum pembangunan bangsa Indonesia adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan ini, pemerintah

melakukan berbagai perbaikan di bidang pendidikan. Pendidikan adalah

serangkaian suatu proses berkelanjutan yang mengarahkan anak dengan

metode-metode tertentu sehingga anak memperoleh pengetahuan,

pemahaman, keterampilan, sikap, dan nilai yang kesemuanya menunjang

perkembangan anak (Winkel, 2004:29). Hal tersebut sejalan dengan

Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.

Guru memiliki andil yang besar pada berhasil dan tidaknya suatu

pendidikan. Guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan

berada di titik sentral dalam setiap usaha reformasi pendidikan ke arah

perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif. Setiap upaya peningkatan

(20)

penyediaan fasilitas pendidikan, dan hal-hal yang sejenisnya hanya akan

berarti jika melalui pelibatan guru (Haryono dalam Supriyadi, 2001:178).

Menurut Nasanius (http://www.suarapembaharuan.com/news/1998/08/

230898.), kemerosotan pendidikan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini

bukan sepenuhnya diakibatkan oleh kurikulum, tetapi oleh kurangnya

profesionalisme para guru dan keengganan belajar para siswa.

Profesionalisme guru yang dimaksud adalah kemampuan guru dalam

menguasai ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi

penerapannya. Maister (1997) dalam http://artikel.us/amhasan.html

mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi

dan manajemen, tetapi juga mencakup aspek sikap. Karenanya,

pengembangan profesionalisme seharusnya tidak hanya pada keterampilan

yang tinggi, tetapi juga pada suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Secara kuantitatif jumlah guru di Indonesia sudah cukup banyak, tetapi

mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Dalam Jurnal

Educational Leadership, 1993 (Supriadi, 1998:98) dijelaskan bahwa untuk

menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) guru

mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) guru menguasai

secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara

mengajarnya kepada siswa, (3) guru bertanggung jawab memantau hasil

belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) guru mampu berpikir

sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5)

(21)

lingkungan profesinya. Apabila syarat-syarat profesionalisme guru ini

dipenuhi, maka akan mengubah guru yang tadinya pasif menjadi guru yang

kreatif dan dinamis.

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global.

Hal ini disebabkan guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan

informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga

membentuk sikap dan jiwa peserta didik agar mampu bertahan dalam era

kompetisi. Tugas utama seorang guru adalah membantu peserta didik agar

mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta

desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini

meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial,

emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena guru

bukan saja mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan,

melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu

maupun sebagai profesional. Untuk melaksanakan tugas tersebut secara

bertanggung jawab, seorang guru wajib memiliki berbagai kemampuan dasar

atau kompetensi keguruan. Kompetensi keguruan yang dimaksud meliputi

kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan

kompetensi profesional.

Profesionalisme guru dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal

guru. Salah satu faktor internal yang menarik dikaji adalah tingkat kecerdasan

emosional guru. Banyak orang beranggapan bahwa kecerdasan akademis

(22)

IQ dipercaya menjamin seseorang akan dapat dengan mudah mencapai

impian atau cita-citanya. Tetapi, dalam banyak kasus justru ditemukan bahwa

kecerdasan emosional lebih dominan dalam menentukan kesuksesan

seseorang.

Goleman (2005:44) memperlihatkan bahwa ada faktor-faktor yang

menyebabkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ

sedang-sedang saja justru menjadi sangat sukses. Faktor-faktor yang

dimaksud Goleman tersebut mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi

cerdas yang secara populer disebut dengan istilah kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati,

ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial. Para ahli

psikologi menyepakati bahwa IQ hanya menyumbang sekitar 20% dalam

menentukan suatu keberhasilan sedangkan sisanya sebanyak 80% berasal dari

faktor lain, termasuk apa yang dinamakan kecerdasan emosional. Hal ini

terbukti dari data penelitian terhadap 95 mahasiswa Harvard University dari

angkatan tahun 1940-an, suatu masa ketika rentang IQ mahasiswa-mahasiswa

Ivy League (perguruan-perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat)

dilacak sampai mereka berusia setengah baya. Mereka yang perolehan tesnya

paling tinggi di perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan

rekan-rekannya yang IQ-nya lebih rendah bila diukur menurut gaji,

produktivitas, atau status di bidang pekerjaan mereka. Mereka juga bukan

yang paling banyak mendapatkan kesuksesan hidup, dan juga bukan yang

(23)

(Goleman, 2005:46). Hal ini menjelaskan bahwa kecerdasan emosional

memegang peranan penting dalam kesuksesan hidup seseorang.

Pengamatan peneliti pada guru-guru Sekolah Menengah Pertama di

Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa ditemukan tidak

sedikit guru pada saat mengajar kurang menguasai materi yang ia ajarkan,

menyampaikan materi yang keliru, tidak mengikuti perkembangan dan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak mempunyai

keterampilan-keterampilan, bersifat pasif dan tidak kreatif, tidak menguasai metode-metode

mengajar, tidak bisa mengelola emosinya, seringkali guru membawa masalah

pribadinya saat mengajar sehingga kondisi kelas tidak nyaman dan

merugikan siswa. Ada sebagian guru yang kurang menghargai siswa dalam

menyampaikan pendapat saat kegiatan belajar mengajar, sehingga membuat

hubungan antara guru dan siswa menjadi kurang harmonis. Fakta seperti ini

juga disebabkan oleh rendahnya kerjasama antara guru dengan teman sejawat

antar sekolah dan dengan komunitas lingkungan kerjanya.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa orang yang cerdas secara

akademis belum tentu memperoleh hasil yang maksimal dalam setiap

kegiatannya. Hal demikian disebabkan orang yang cerdas secara akademis

belum tentu cerdas secara emosinya. Menurut Goleman (2005:156-169) orang

yang memiliki kecerdasan emosional tinggi merupakan orang yang matang

dalam hal pengaturan kondisi diri dan emosinya. Tingginya kecerdasan

emosional (EQ) dapat membuat seseorang bersemangat tinggi dalam belajar,

(24)

memasuki dunia kerja atau di dalam keluarga. Dengan kata lain, meskipun

seseorang luar biasa pintar, kreatif dan terampil, namun kalau dia tidak

memiliki pengetahuan bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, tidak

bisa mengelola emosinya dengan baik, maka tidak seorang pun yang akan

betah untuk bersama dia.

Derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru

tersebut di atas diduga berbeda pada guru dengan locus of control dan

memiliki masa kerja yang berbeda. Locus of control adalah cara pandang

seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat

mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya. Locus of control

seseorang pada dasarnya memiliki dua dimensi, yakni locus of control

internal dan locus of control eksternal. Locus of control internal adalah cara

pandang individu terhadap suatu peristiwa sebagai hasil dari perilakunya, atau

bagian dari karakteristiknya yang bersifat relatif permanen. Locus of control

eksternal adalah cara pandang individu terhadap suatu peristiwa sebagai hasil

dari keberuntungan, kebetulan, takdir, suatu yang dikendalikan oleh

kekuasaan atau kekuatan yang berasal dari luar dirinya (Rotter, 1966,

http//www.balllarat.edu.ac.au/ard/bssh/pycoh/rot/htm). Karenanya dalam

penelitian dikembangkan dugaan bahwa pada guru yang memiliki locus of

control internal, derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap

profesionalisme guru diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan pada guru

(25)

Masa kerja adalah lamanya waktu seseorang bekerja, masa kerja pada

umumnya diukur dengan bulan atau tahun. Guru yang sudah lama mengajar

pada umumnya mempunyai pengalaman, pengetahuan, dan

keterampilan-keterampilan mengajar yang lebih banyak dalam menjalankan profesinya

sebagai pendidik dan pengajar. Hal tersebut tentunya berhubungan dengan

tingkat kecerdasan emosional seorang guru dan juga kemampuan

profesionalnya. Diduga bahwa pada guru dengan masa kerja lebih banyak

maka derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru

akan lebih tinggi dibandingkan pada guru dengan masa kerja yang lebih

sedikit.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk

menguji derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme

guru pada guru dengan locus of control dan masa kerja yang berbeda.

Penelitian ini selanjutnya mengambil judul “Pengaruh Kecerdasan Emosional

Terhadap Profesionalisme Guru Ditinjau dari Locus of Control dan Masa

Kerja”. Penelitian ini merupakan survei pada guru-guru Sekolah Menengah

(26)

B. Identifikasi Masalah

Ada berbagai faktor yang diduga mempengaruhi tinggi/rendahnya

profesionalisme guru. Faktor-faktor tersebut adalah kecerdasan emosional,

locus of control, masa kerja. Secara lebih spesifik penelitian ini dimaksudkan

untuk menguji apakah tinggi/rendahnya derajat pengaruh kecerdasan

emosional terhadap profesionalisme guru berbeda pada guru yang mempunyai

locus of control dan masa kerja yang berbeda.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme

guru ditinjau dari locus of control?

2. Apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme

guru ditinjau dari masa kerja?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap

profesionalisme guru ditinjau dari locus of control.

2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap

(27)

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Untuk menyelidiki pengaruh kecerdasan emosional terhadap

profesionalisme guru ditinjau dari locus of control dan masa kerja yang

berbeda.

2. Bagi guru-guru Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Cawas,

Kabupaten Klaten.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan pengetahuan bagi para guru bahwa kecerdasan emosional

berpengaruh pada profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas

profesionalnya.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian

(28)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Profesionalisme Guru

1. Pengertian Profesionalisme Guru

Menurut para ahli, profesionalisme menekankan pada aspek

penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta

strategi penerapannya. Maister (1997) dalam

http://artikel.us/amhasan.html mengemukakan bahwa profesionalisme

bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen, tetapi juga

mencakup aspek sikap. Karenanya, pengembangan profesionalisme

seharusnya tidak hanya pada keterampilan yang tinggi, tetapi juga pada

suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Hal tersebut sejalan dengan Syah

(1995:230) yang menyatakan profesionalisme sebagai kualitas dan

tindak-tanduk khusus yang merupakan ciri orang profesional.

Profesionalisme guru merupakan pekerjaan atau kegiatan yang

dilakukan guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya yang

memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi

standar mutu atau norma tertentu, merupakan suatu sikap atau tingkah

laku serta memerlukan pendidikan profesi agar memuaskan anak didiknya

(Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005, No 14. BAB I, pasal 1).

(29)

yang memungkinkan siswa untuk belajar tentang sesuatu, melakukan

sesuatu, menjadikan dirinya, dan hidup bersama orang lain secara aktif,

kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Hanya guru yang menguasai

kompetensi keguruan (pedagogik, kepribadian, sosial, profesional) yang

mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif bagi

perkembangan potensi siswa secara maksimal.

2. Macam-macam kompetensi guru

Dalam rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang

guru BAB II, pasal 4 tahun 2005, guru wajib memiliki empat kompetensi

dasar keguruan :

a. Kompetensi pedagogik, merupakan kemampuan guru dalam

pengelolaan pembelajaran peserta didik, meliputi :

1) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan

2) Pemahaman terhadap peserta didik

3) Pengembangan kurikulum atau silabus

4) Perancangan pembelajaran

5) Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis

6) Pemanfaatan teknologi pembelajaran

7) Evaluasi hasil belajar

8) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai

(30)

b. Kompetensi kepribadian, merupakan kompetensi yang berkaitan

dengan kepribadian seorang guru dalam bersikap atau bertindak,

meliputi :

1) Mantap

2) Stabil

3) Dewasa

4) Arif dan bijaksana

5) Berwibawa

6) Berakhlak mulia

7) Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat

8) Secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri

9) Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan

c. Kompetensi sosial, merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari

masyarakat, meliputi :

1) Berkomunikasi lisan, tulisan, dan isyarat

2) Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara

fungsional

3) Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,

tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik

4) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar

d. Kompetensi profesional, merupakan kemampuan penguasaan materi

(31)

3. Syarat-syarat menjadi guru profesional.

Dalam Jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi

1998:98) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional, seorang guru

dituntut untuk memiliki lima hal yaitu :

a. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.

b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang

diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa.

c. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui

berbagai cara evaluasi.

d. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan

belajar dari pengalamannya.

e. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam

lingkungan profesinya.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya

paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional,

yaitu : (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, (2)

penguasaan ilmu yang kuat, (3) keterampilan untuk membangkitkan

peserta didik kepada sains dan teknologi, dan (4) pengembangan profesi

secara berkesinambungan.

4. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru :

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Akadum (1999:1-2) dalam

(32)

diungkap-kan bahwa ada beberapa faktor penyebab rendahnya profesionalisme guru

antara lain :

a. Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan, karena rendahnya

gaji. Rendahnya gaji ini berimplikasi pada kinerja guru yang rendah

b. Banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini

disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga waktu untuk

membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada.

c. Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di

negara-negara maju.

d. Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta

sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa

memperhitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga

menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi

keguruan.

e. Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena

guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan

pada dosen.

f. Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah

hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak yang terlibat. Hal

ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak

(33)

g. Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang

berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme

anggotanya.

5. Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru :

Pemerintah terus berupaya meningkatkan profesionalisme guru

diantaranya melalui program pendidikan dalam jabatan atau in-service

training, program ini mencakup (Supriadi, 1998:99):

a. pendidikan penyetaraan untuk peningkatan kualifikasi dan

persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga

pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi.

Program penyetaraan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III

bagi guru-guru SLTP dan Strata 1 untuk guru-guru SLTA.

b. Program sertifikasi, yaitu proses pemberian sertifikat kompetensi

yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi

yang mengacu kepada standar kompetensi nasional.

c. Penataran atau pendidikan dan pelatihan kemampuan/ketrampilan.

d. Penyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru atau

peningkatan kesejahteraan guru.

e. Pembinaan/pengembangan kemampuan profesional melalui wadah

PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (kelompok Kerja Guru untuk

guru SD), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran untuk guru

SLTP dan SLTA), dan K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) yang

(34)

memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan

mengajarnya (Supriadi, 1998:99).

B. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence, yang lebih

dikenal dengan istilah EQ (Emotional Quetient) adalah kemampuan lebih

yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam

menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,

serta mengatur keadaan jiwa (Goleman, 1999:45). Dengan kecerdasan

emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi

yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Hal tersebut

sejalan dengan pemikiran Howes dan Herald (1999) dalam

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/12/5/kel3.html, yang

menyatakan kecerdasan emosional sebagai komponen yang membuat

seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosional

menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang

diri sendiri dan orang lain.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998:XV) menyatakan kecerdasan

emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif

menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,

koneksi, dan pengaruh manusiawi. Kecerdasan emosional menuntut

(35)

orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif

energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kecerdasan

emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai

perasaan diri sendiri dan orang lain serta untuk menanggapinya dengan

tepat dan menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan

pekerjaan sehari-hari.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosional

Faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional dalam

diri seseorang ada 2, yaitu :

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu

untuk menanggapi lingkungan sekitar. Menurut Goleman

(2005:12-16), faktor yang berasal dari dalam individu tersebut dipengaruhi

oleh otak emosional, sebagai pemberi pusat-pusat emosi kekuatan

luar biasa untuk mempengaruhi berfungsinya bagian lain otak,

termasuk pusat-pusat untuk pikiran.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu dan

mempengaruhi individu untuk mengubah hidup. Pengaruh luar yang

bersifat langsung dapat terjadi secara perorangan, kelompok, antara

individu dengan kelompok atau sebaliknya. Sementara faktor luar

(36)

massa. Faktor luar lain dapat melalui lingkungan fisik dan

lingkungan sosial tempat individu berada, berinteraksi dan

berhubungan dengan orang lain (Goleman, 2005:156-169)

3. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi dan

Kecerdasan Emosional Rendah.

a. Individu dengan Kecerdasan Emosional Tinggi

Menurut Goleman (2005:60-61) individu yang mempunyai

kecerdasan emosional tinggi mempunyai ciri-ciri, antara lain:

1) Kemampuan sosialnya mantap, mudah bergaul, ramah, jenaka,

tidak mudah takut atau gelisah, dan mudah menerima

orang-orang baru disekitarnya.

2) Berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang

atau permasalahan.

3) Berani memikul tanggung jawab

4) Mempunyai pandangan moral, simpatik, dan hangat dalam

hubungan-hubungan mereka.

5) Merasa nyaman dengan dirinya sendiri, orang lain, dan

lingkungan pergaulannya.

6) Cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka

secara langsung.

7) Memandang dirinya sendiri secara positif, kehidupan memberi

makna bagi dirinya.

(37)

b. Individu dengan Kecerdasan Emosional Rendah

Sementara itu, menurut Goleman (2005:327-337) individu dengan

kecerdasan emosional rendah, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial: suka menyendiri,

kurang bersemangat, merasa tidak bahagia, bersikap

sembunyi-sembunyi, dan terlampau bergantung.

2) Cemas dan depresi: sering takut, menyendiri, merasa kuatir,

gugup, sedih, dan berpikiran negatif.

3) Memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir: tidak

mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang, melamun,

bertindak tanpa berpikir, bersikap terlalu tegang untuk

berkonsentrasi, tidak mampu membuat pikiran menjadi tenang.

4) Nakal atau agresif : bergaul dengan anak-anak yang bermasalah,

bersikap kasar terhadap orang lain, menuntut perhatian, merusak

milik orang lain, membandel, keras kepala, dan suasana hatinya

sering berubah-ubah.

4. Dimensi Kecerdasan Emosional

Salovey (Goleman, 2005;57-59) merumuskan ada lima wilayah

atau dimensi kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi

individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu

(38)

a. Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu

terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini

diperlukan pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul

wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan

untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada

di bawah kekuasaan perasaan.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat

terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang

bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola

apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat

melepas kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan bangkit

kembali dengan cepat dari semuanya itu.

c. Memotivasi diri

Motivasi diri adalah kemampuan menguasai diri untuk

mengendalikan dorongan atau hasrat terhadap suatu tujuan.

Kemampuan ini akan memandu seseorang mengambil inisiatif untuk

bertindak efektif dan mampu bertahan dalam menghadapi kegagalan

dan frustasi. Kemampuan ini akan membuat orang lebih produktif

(39)

d. Mengenali emosi orang lain (empati)

Mengenali emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran

diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat

dipastikan ia akan terampil membaca perasaan orang lain.

Sebaliknya, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan

emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati

perasaan orang lain.

e. Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan

keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan

dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang akan

mengalami kesulitan pergaulan dengan orang lain.

Sejalan dengan pemikiran Goleman, Cooper dan Sawaf

(1998:x1ii-x1iii) merumuskan kecerdasan emosional sebagai sebuah “Model Empat

Batu Penjuru” yang akan memindahkan kecerdasan emosional dari dunia

analisis psikologis dan teori-teori filosofis ke dalam dunia yang nyata dan

praktis. Model ini lebih ditujukan pada EQ eksekutif dalam penggunaan

kecerdasan emosional di tempat kerja. Model empat batu penjuru ini

meliputi (Cooper dan Sawaf , 1998:x1ii-x1iii):

a. Kesadaran emosi (emotional literacy), bertujuan untuk membangun

tempat kedudukan bagi kepiawaian dan rasa percaya diri pribadi

melalui kejujuran emosi, energi emosi, umpan balik emosi, intuisi,

(40)

b. Kebugaran emosi (emotional fitness), bertujuan mempertegas

kesejatian, sifat dapat dipercaya, dan keuletan, memperluas lingkaran

kepercayaan dan kemampuan untuk mendengarkan, mengelola

konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara paling konstruktif.

c. Kedalaman emosi (emotional depth), bertujuan untuk mengeksplorasi

cara-cara menyelaraskan hidup dan kerja sesuai bakat unik individu,

mendukungnya dengan ketulusan, kesetiaan pada janji, dan rasa

tanggung jawab, yang pada gilirannya, memperbesar pengaruh

individu tanpa mengobral kewenangan.

d. Alkimia emosi (emotional alchemy), merupakan tempat bagi individu

dapat memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk mengalir

bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan, dan bersaing demi

masa depan dengan membangun keterampilan untuk lebih peka akan

adanya kemungkinan-kemungkinan solusi yang masih tersembunyi

dan peluang yang masih terbuka.

C. Locus of Control

1. Pengertian Locus of Control

Rotter (Prasetyo, 2002:122) mengungkapkan locus of control adalah

cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau

tidak dapat mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya. Hal

tersebut sejalan dengan dengan pendapat Suhartanto (1996:6) yang

(41)

individu akan sumber-sumber penentu dari segala pengalaman hidupnya.

Locus of control terbagi menjadi dua dimensi, yaitu: locus of control

internal dan locus of control eksternal.

Individu dengan locus of control internal merasa yakin bahwa

penyebab pengalaman, kegagalan maupun keberhasilannya bersumber

dari dirinya sendiri. Individu tersebut akan selalu mengambil peran dan

tanggung jawab dalam penentuan benar atau salah. Dengan kata lain,

internal control mengacu pada persepsi terhadap kejadian baik positif

maupun negatif sebagai konsekuensi dari tindakan/perbuatan diri sendiri

dan berada dibawah pengendalian dirinya. Sebaliknya individu dengan

locus of control eksternal menyakini bahwa pengalaman-pengalaman

hidupnya adalah hasil dari pengaruh atau penyebab orang lain, nasib,

keberuntungan, atau kekuatan di luar dirinya. Dengan kata lain, eksternal

control mengacu pada keyakinan bahwa suatu kejadian tidak memiliki

hubungan langsung dengan tindakan yang telah dilakukan oleh diri

sendiri dan berada di luar control dirinya.

Locus of control pada individu sebenarnya bukanlah suatu konsep

yang tipologik, melainkan suatu konsep yang kontinum (London dan

Exner dalam Suhartanto, 1996:6). Artinya locus of control individu

bergerak dari ekstrim eksternal dan ekstrim internal. Oleh karena itu

setiap orang memiliki sekaligus faktor internal dan eksternal dalam

(42)

Perkembangan orientasi individu ke arah internal atau eksternal

didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa lalu akan

mempengaruhi perkembangan orientasi ini akan turut mempengaruhi

penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi yang sedang

dihadapi (Parkes, 1984 dalam Suhartanto, 1996:6). Individu yang

berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai sesuatu yang

dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan akibat

yang diterima, baik positif maupun negatif, lebih perseptif dan siap

belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap

pengaruh orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan

tindakan karena merasa mampu mengontrol lingkungannya (Engler, 1985

dalam Suhartanto, 1996:6).

Sebaliknya yang berorientasi pada eksternal, memandang dunia

sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar

dalam mengendalikan akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan

maupun dalam melakukan penghindaran terhadap situasi yang tidak

menyenangkan, lebih cemas dan depresif serta kurang baik dalam

melakukan aktivitas bermasyarakat dan lebih mempunyai kemungkinan

besar untuk menampakkan perilaku yang negatif seperti: pasivitas,

penarikan diri dan konformitas tinggi (Rothbaum et al., 1882 dalam

Suhartanto, 1996:6)

Untuk dapat menentukan apakah seseorang memiliki locus of

(43)

mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan psikologis yang membawa

kepuasan diri. Rotter mendiskripsikan kebutuhan psikologis seseorang

menjadi 6 kategori umum (Rotter dalam Phares dan Morristown,

1976:365) yaitu:

a. Recognition-Status, yaitu kebutuhan untuk menjadi yang terbaik

seperti: dipandang sebagai seseorang yang berkompeten, paling baik

dibandingkan dengan yang lain dalam hal pendidikan, pekerjaan,

olahraga, derajat sosial, paling menarik, dan sebagainya.

b. Dominance, yaitu kebutuhan untuk dapat mengontrol orang lain

seperti: kekuatan untuk melatih dan mempengaruhi orang lain.

c. Independence, yaitu kebutuhan untuk membuat keputusan sendiri,

percaya pada diri sendiri, mencapai tujuan tanpa bantuan orang lain.

d. Protection-Dependency, yaitu kebutuhan untuk dapat mencegah

timbulnya perselisihan, menyediakan perlindungan dan keamanan,

dan membantu orang lain mencapai tujuan.

e. Love and Affection, yaitu kebutuhan untuk bisa diterima dan disukai

orang lain serta adanya penghargaan dari orang lain.

f. Physical Comfort, yaitu kebutuhan untuk menikmati kepuasan yang

bersifat lahiriah berkenaan dengan keamanan, menjauhkan diri dari

sesuatu yang menyakitkan, merasa baik, pengalaman yang

menyenangkan, dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa locus of control

(44)

kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol (locus of control internal)

dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control eksternal), atau

merupakan suatu kontinum persepsi individu akan kendali peristiwa

dalam hidupnya, dengan kepercayaan akan kendali internal pada suatu

kutub dan kepercayaan akan kendali eksternal pada kutub yang lain.

2. Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan dan perkembangan

locus of control

Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa

kontinum dari internal menuju eksternal. Oleh karenanya tidak satupun

individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal.

Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu hanya saja ada

kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control

tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat statis tapi juga

dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat

berubah menjadi individu yang berorientasi external locus of control dan

begitu sebaliknya. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan

dan perkembangan locus of contol tersebut antara lain (Phares dalam

London & Exner, 1978:291-294):

a. Usia

Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih

efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya

mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam

(45)

kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan

pertambahan usia.

b. Pengalaman akan suatu perubahan

Penelitian Kiehlbauch (Phares dalam London & Exner, 1978:292)

menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan

locus of control yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah

yang telah lebih lama bersama. Locus of control teman serumah yang

akan berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan

yang cenderung labil dan tak pasti selama masa-masa transisi

mendorong locus of control individu ke arah eksternal.

c. Generalitas dan stabilitas perubahan

Peristiwa-peristiwa yang membawa perubahan seperti perang,

skandal politik, bom nuklir dan eksperimen ternyata dapat

berpengaruh pada locus of control. Kecenderungan ke arah locus of

control eksternal meningkat sejalan dengan pengalaman perubahan

peristiwa spesifik dan insidental seperti kekecewaan pada

keputusan-keputusan politik pemerintah, menang lotere, dan eksperimen.

Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi diluar prediksi dan rutinitas

individu sehingga ia merasa kehilangan kemampuan untuk

menganalisa dan mempersiapkan diri terhadap jalannya

(46)

d. Pelatihan dan pengalaman

Seperti halnya kapasitas-kapasitas kognitif lain, locus of control

dapat dilatih untuk didorong ke arah salah satu kecenderungan

tertentu. De Charms (Phares dalam London & Exner, 1978:293)

berhasil membuktikan efektifitas program pelatihan untuk

meningkatkan locus of control internal. Selain itu, penelitian

Nowicki dan Bames (Phares dalam London & Exner, 1978:293)

menemukan bahwa pengalaman berkemah yang terstruktur ketat

dapat meningkatkan locus of control internal remaja. Demikian pula

halnya dengan penelitian Levens serta Gottesfeld dan Dozier (Phares

dalam London & Exner, 1978:293) mengenai pengalaman

berorganisasi dalam masyarakat. Penelitian-penelitian tersebut

menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena

pengalaman-pengalaman yang meningkatkan kemandirian, tanggung

jawab pribadi, dan kemampuan untuk menguasai keadaan.

e. Efek terapi

Beberapa penelitian Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith (Phares,

1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi berpengaruh secara

positif pada kecenderungan akan locus of control internal.

Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu untuk

dapat berfungsi secara efektif dalam mengatasi masalah-masalahnya.

Tujuan ini meningkatkan kecenderungan individu untuk lebih merasa

(47)

Kleinke (1978:134-138) menekankan faktor pelatihan dan

pengalaman dalam perubahan arah locus of control. Pada dasarnya,

faktor pengalaman akan suatu perubahan serta generalitas dan stabilitas

perubahan dapat dikelompokkan ke dalam faktor pengalaman. Sementara

itu, efek dari terapi dapat dikategorikan ke dalam faktor pelatihan.

Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat mengubah arah locus of

control adalah faktor usia, pelatihan, dan pengalaman. Menurut Kleinke

(1978:138-139) untuk mendorong kecenderungan locus of control ke

arah internal, individu harus mengalami situasi dimana tindakan-tindakan

yang ia ambil menghasilkan konsekuensi seperti yang ia harapkan.

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pelatihan dan pengalaman

yang dapat mendorong locus of control individu ke arah internal adalah

pelatihan dan pengalaman yang memberikan reinforcement atas

tindakan-tindakan individu dan menanamkan kepercayaan pada diri

individu bahwa reinforcement tersebut adalah hasil dari

tindakan-tindakan individu sendiri.

3. Aspek-aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh Locus of control

Perbedaan kecenderungan arah locus of control ternyata membawa

akibat dalam berbagai aspek hidup, yaitu (Phares dalam London &

Exner, 1978:276-285):

a. Sikap terhadap lingkungan

Individu dengan locus of control internal menganalisa situasi dengan

(48)

locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal

juga lebih aktif dalam mencari, memperoleh, menggunakan dan

mengolah informasi yang relevan dalam rangka memanipulasi dan

mengendalikan lingkungan. Di samping itu, individu yang

mempunyai locus of control internal terbukti lebih berorientasi pada

posisi dengan kekuasaan besar, sedangkan individu yang memiliki

locus of control eksternal lebih cenderung menyukai posisi dengan

kekuasaan kecil (Hrycenko dan Minton dalam Phares, 1978:279).

b. Pengaruh konformitas dan perubahan sikap

Beberapa penelitian Crowne, dkk dalam London & Exner

(1978:279) menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan

internal lebih mampu bertahan terhadap pengaruh dan tekanan dari

lingkungan. Sebaliknya individu dengan kecenderungan eksternal

lebih siap sedia untuk menerima pengaruh, mengikuti lingkungan

sosial dan menerima informasi dari orang lain. Individu dengan

kecenderungan eksternal juga lebih menunjukkan konformitas dan

kemudahan dalam mengubah sikap. Hal ini berkaitan langsung

dengan kepercayaan akan pemegang kendali dalam hidupnya,

(Kleinke, 1978:131-132). Individu dengan locus of control internal

lebih mempercayai diri sendiri dan cenderung mengabaikan

kekuatan-kekuatan dari luar yang mencoba mengambil alih kendali

hidupnya. Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal

(49)

dirinyalah yang mengendalikan hidupnya, sehingga ia mudah

menerima pengaruh dan kendali dari luar tersebut.

c. Perilaku menolong dan atribusi tanggung jawab

Individu dengan kecenderungan internal lebih sering menunjukkan

perilaku menolong dari pada individu dengan kecenderungan

eksternal (Midlarsky, 1971; Midlarsky & Midlarsky, 1973 dalam

Phares, 1978:282). Individu yang memiliki locus of control internal

juga cenderung memberi atribusi tanggung jawab internal terhadap

orang lain. Kedua pernyataan tersebut tampaknya saling

bertentangan. Individu yang merasa bahwa tiap-tiap orang

bertanggung jawab atas dirinya sendiri umumnya tidak begitu

terdorong untuk melibatkan diri dalam kesulitan-kesulitan yang

dialami orang lain. Fenomena ini merupakan bukti bahwa perilaku

menolong lebih didorong oleh kepercayaan individu bahwa ia

mampu memberikan pertolongan, daripada kepedulian terhadap

orang lain.

d. Pencapaian prestasi

Pelajar dengan locus of control internal menunjukkan prestasi

akademis yang lebih tinggi daripada pelajar dengan locus of control

eksternal. Dalam hal ini, need for achievement tidak dapat

digunakan untuk menjelaskan fenomena ini karena terdapat

hubungan yang rendah antara need for achievement dan locus of

(50)

Kleinke (1978:132-133) berpendapat bahwa tingginya prestasi yang

dicapai oleh individu dengan locus of control internal merupakan

hasil dari kemampuannya untuk menunda menikmati penghargaan

atas hasil-hasil usahanya, serta mengurangi reaksi-reaksi negatif

yang cenderung muncul pada saat individu mengalami kegagalan.

e. Penyesuaian diri, kecemasan, dan psikopatologi

Individu dengan kecenderungan internal lebih mampu untuk

menyesuaikan diri daripada individu dengan kecenderungan

eksternal. Individu dengan locus of control internal lebih

mengandalkan diri sendiri, aktif dan memiliki kecenderungan tinggi

untuk berjuang. Hal-hal tersebut menggiringnya pada

keberhasilan-keberhasilan dalam penyesuaian diri. Kesederhanaan kepercayaan

kendali yang ada dalam diri sendiri juga mendorong individu dengan

locus of control internal pada penyesuaian diri dengan sedikit

kecemasan (Phares, 1978:284-285). Di lain pihak, individu dengan

kecenderungan eksternal cenderung mengalami lebih kecemasan

daripada individu dengan kecenderungan internal. Individu dengan

locus of control eksternal memandang penolakan-penolakan dan

kecemasan akan kegagalan sebagai akibat dari kurangnya

kemampuan dan kesempatan yang mereka miliki untuk

mengendalikan situasi. la juga memiliki konsep yang rumit

mengenai pengendali peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sehingga

(51)

eksternal sering menerima secara pasrah ancaman-ancaman dan

informasi-informasi negatif tentang diri mereka.

D. Masa Kerja

Moh. As’ad dalam Kuncoro (2003:5) mengartikan masa kerja sebagai

lamanya waktu seseorang bekerja dalam suatu organisasi atau perusahaan.

Pada umumnya masa kerja diukur dengan ukuran tahun atau bulan. Masa

kerja berhubungan dengan waktu kerja seseorang, yaitu segi kualitas

seseorang di dalam menjalani pekerjaannya. Siagian (1984:174)

mengungkapkan seorang tenaga kerja yang memiliki masa kerja lama akan

mempunyai :

1. Cakrawala pandangan yang makin luas yang memungkinkan seseorang

untuk lebih mampu memahami dan mengantisipasi perubahan dan

perkembangan yang pasti akan terjadi.

2. Peningkatan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan

penghasilan seseorang sekaligus menambah kepuasan batin yang semakin

besar.

3. Kemungkinkan promosi yang lebih besar bagi karyawan yang

bersangkutan.

Di dalam usaha menunjang keberhasilan seseorang dalam melaksanakan

pekerjaannya, masa kerja seorang tenaga kerja memegang peranan yang amat

penting, karena hal ini berhubungan dengan kualitas kerjanya. Sebuah

(52)

memiliki masa kerja yang lama karena tenaga kerja yang masa kerjanya lama

dipandang lebih memiliki banyak pengalaman, pengetahuan, keterampilan,

dan lebih mampu menjalankan pekerjaannya. Apabila tenaga kerja dapat

bekerja dengan baik, maka kinerja yang dihasilkan secara keseluruhan akan

optimal.

E. Kerangka Teoretik

1. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau

dari locus of contol

Profesionalisme guru merupakan pekerjaan atau kegiatan yang

dilakukan seorang guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya

yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi

standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi

agar memuaskan pemakai jasa yang dihasilkan. Tinggi rendahnya

profesionalisme seorang guru diduga kuat dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya kecerdasan emosional seorang guru tersebut. Seorang guru

yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dituntut untuk belajar

mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain,

menanggapinya dengan tepat, dan menerapkan dengan efektif energi

emosi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru yang memiliki

kecerdasan emosional tinggi diduga memiliki tingkat profesionalisme

yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang memiliki kecerdasan

(53)

Derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme

tersebut diduga berbeda pada guru dengan locus of control yang berbeda.

Pada guru dengan locus of control internal, derajat pengaruh kecerdasan

emosional terhadap profesionalisme akan lebih tinggi dibandingkan

dengan seseorang dengan locus of control eksternal. Seorang guru yang

memiliki locus of control internal memiliki ciri-ciri: suka bekerja keras,

memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menentukan

pemecahan masalah, selalu berpikir seefektif mungkin, selalu mempunyai

persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil sehingga

memiliki kecenderungan untuk memberikan profesionalisme yang baik

dibandingkan dengan guru yang memiliki kecenderungan locus of control

eksternal. Sedangkan guru yang memiliki kecenderungan locus of control

eksternal memiliki ciri-ciri: kurang memiliki inisiatif, mempunyai harapan

bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan, kurang suka

berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol,

kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu,

guru yang memiliki kecenderungan locus of control eksternal apabila

mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar

(54)

2. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau

dari masa kerja.

Profesionalisme guru merupakan pekerjaan atau kegiatan yang

dilakukan seorang guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya

yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi

standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi

agar memuaskan pemakai jasa yang dihasilkan. Tinggi rendahnya

profesionalisme seorang guru diduga kuat dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya kecerdasan emosional seorang guru tersebut. Seorang guru

yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dituntut untuk belajar

mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain,

menanggapinya dengan tepat, dan menerapkan dengan efektif energi

emosi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru yang memiliki

kecerdasan emosional tinggi diduga memiliki tingkat profesionalisme

yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang memiliki kecerdasan

emosional yang rendah.

Derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme

guru diduga berbeda pada guru dengan masa kerja yang berbeda. Masa

kerja adalah lamanya waktu seseorang bekerja. Masa kerja diukur dengan

ukuran tahun atau bulan. Guru yang masa kerjanya lebih banyak diduga

mempunyai profesionalisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru

yang masa kerjanya lebih sedikit. Hal ini disebabkan guru yang masa

(55)

pengetahuan dan keterampilan-keterampilan mengajar yang lebih banyak

dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik dan pengajar

dibandingkan dengan guru yang masa kerjanya lebih sedikit. Guru yang

memiliki masa kerja lebih banyak dituntut untuk lebih terampil, ahli,

berpengalaman, aktif, kreatif, inisiatif, professional, dan memiliki

cakrawala yang luas dalam hal mengajar. Oleh karena itu, guru yang masa

kerjanya lebih banyak diduga memiliki tingkat profesionalisme lebih

tinggi dibandingkan dengan guru yang masa kerjanya lebih sedikit.

Berdasarkan kerangka teoretik di atas, paradigma penelitian ini

dapat digambarkan sebagai berikut:

Kecerdasan Emosional

Profesionalisme Guru

Locus of Control Masa Kerja

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teoretik yang disampaikan di atas, maka dirumuskan

hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1. Ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru

ditinjau dari locus of control.

2. Ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru

(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei. Menurut Hasan (2002:13) survei

merupakan penelitian yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari

gejala-gejala yang ada, mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik

tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun

suatu daerah. Melalui penelitian survei ini ditemukan kejadian-kejadian

relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel (Kerlinger dalam

Sugiyono, 1999:7). Survei dilakukan pada guru-guru Sekolah Menengah

Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan

Cawas, Kabupaten Klaten, yaitu: SMPN 1 Cawas, SMPN 2 Cawas,

SMPN 3 Cawas, SMP Pangudi Luhur Cawas, SMP Muhamadiyah 3

Cawas.

2. Waktu penelitian

(57)

C. Subyek dan Obyek Penelitian

1. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Menengah Pertama di

Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, yaitu: SMPN 1 Cawas, SMPN 2

Cawas, SMPN 3 Cawas, SMP Pangudi Luhur Cawas, SMP

Muhamadiyah 3 Cawas.

2. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah profesionalisme guru, kecerdasan

emosional, locus of control, masa kerja.

D. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh guru-guru SMP di Kecamatan Cawas,

Kabupaten Klaten. Jumlah populasi penelitian adalah 188 orang, dengan

perincian sebagai berikut:

a. SMPN 1 Cawas 48 orang

b. SMPN 2 Cawas 53 orang

c. SMPN 3 Cawas 43 orang

d. SMP Pangudi Luhur Cawas 18 orang

(58)

E. Operasionalisasi Variabel

1. Profesionalisme guru

Profesionalisme guru adalah pekerjaan atau kegiatan yang

dilakukan guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya yang

memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi

standar mutu atau norma tertentu, merupakan suatu sikap atau tingkah

laku serta memerlukan pendidikan profesi agar memuaskan anak

didiknya. Dimensi profesionalisme guru mencakup empat kompetensi

keguruan: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Berikut ini

disajikan tabel operasionalisasi variabel profesionalisme guru:

Tabel 3.1

Operasionalisasi Variabel Profesionalisme Guru

Dimensi Indikator No. Pertanyaan

Kompetensi pedagogik

1.pemahaman wawasan atau landasan kependidikan

2.pemahaman terhadap peserta didik

3.pengembangan kurikulum atau silabus

4.perancangan pembelajaran

5.pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis

6.pemanfaatan teknologi

pembelajaran

7.evaluasi hasil belajar

(59)

4.arif dan bijaksana 5.berwibawa 6.berakhlak mulia

7.menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat

8.secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri

9.mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan

13 14 15 16 17 18 Kompetensi sosial

1.berkomunikasi lisan, tulisan dan isyarat

2.menggunakan teknologi

komunikasi dan informasi secara fungsional

3.bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,

tenaga kependidikan, orangtua/wali

4.bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar 19 20 21 22 Kompetensi profesional

1.penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam

23,24

Pengukuran variabel profesionalisme guru didasarkan pada

indikator-indikatornya. Masing-masing indikator dijabarkan dalam

bentuk pernyataan dan dinyatakan dalam lima skala sikap. Untuk

pernyataan positif yaitu: sangat setuju (SS) = 5; setuju (S) = 4; ragu-ragu

(R) = 3; tidak setuju (TS) = 2; sangat tidak setuju (STS) = 1. Sedangkan

untuk pernyataan negatif yaitu: sangat setuju (SS) = 1; setuju (S) = 2;

ragu-ragu (R) = 3; tidak setuju (TS) = 4; sangat tidak setuju (STS) = 5.

2. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan

diri sendiri, mengelola, dan mengekpresikannya dengan tepat, termasuk

(60)

dengan baik dalam membina hubungan dengan orang lain. Dimensi

kecerdasan emosional mencakup: mengenali emosi, mengelola emosi,

memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan

dengan orang lain (Goleman, 2005:57-59). Berikut ini disajikan tabel

operasionalisasi variabel kecerdasan emosional:

Tabel 3.2

Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional

Dimensi Indikator No. Pertanyaan

Mengenali emosi

1.mengenali emosi diri 2.mengetahui kekuatan diri 3.mengetahui keterbatasan diri

4.memiliki keyakinan akan kemampuan sendiri 1 2 3 4 Mengelola emosi

1.mampu menahan emosi dan dorongan negatif

2.menjunjung tinggi norma-norm

Gambar

Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel Profesionalisme Guru
Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional
Tabel 3.3
Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas Variabel Profesionalisme Guru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian mengenai penggunaan rasio dalam analisa laporan financial untuk menilai likuiditas, aktivitas dan tingkat profitabilitas pada PT GOTALINDO SEMESTA,

Guru diharapkan memiliki keterampilan memilih media pembelajaran elektronik, tetapi juga harus memiliki keterampilan untuk menggunakan media pembelajaran elektronik

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

Rinitis di lingkungan kerja dibagi menjadi (i) rinitis akibat kerja: disebabkan oleh zat alergen atau iritan di lingkungan kerja pada pekerja yang sebelumnya

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan

1) Memastikan/mengecek semua barang inventaris, dalam keadaan lengkap, buku jurnal terisi dengan baik, situasi dalam keadan aman. 2) Memeriksa daftar dan barang infentaris.

Berdasarkan penggunaan beberapa tumbuhan obat ini secara tradisional maka dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas antihiperurisemia dengan pemberian ekstrak

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan PHILLIP MONEY MARKET FUND yang telah dipenuhi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Investasi