PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI
LOCUS OF CONTROL
DAN MASA KERJA
Survei Pada Guru-Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Akuntansi
Oleh:
Maria Kurniawati
NIM: 031334021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI
LOCUS OF CONTROL
DAN MASA KERJA
Survei Pada Guru-Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Akuntansi
Oleh:
Maria Kurniawati
NIM: 031334021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Karya ini untuk:
•
Yesus Kristus Juru Selamatku
•
Bunda Maria Pelindungku
•
Kedua orang tuaku: Bapak Agustinus Sukardi
& Ibu Yohana Elisabeth Srimulyani
•
Adik-Adikku : Irine Kurniastuti, Yulius Ardi
Nugraha, Yashinta Kurnia Brilyanti
•
Mas Yohanes Didik Dwi Hantoro
•
Alamamater & Semua pihak yang telah
membantu terselesainya skripsi ini
MOTTO
Kemalasan tidak merampas hari esok tetapi mengambil kesempatan hari ini
Kemandirian Sejati terbentuk jika kita melakukan sesuatu yang bermasalah/beresiko, tetapi hasilnya dapat mengurangi masalah/resiko orang lain, bukan menambah masalah baru bagi orang lain
Hidup ini mengagumkan, khususnya bila Anda berjalan bersama Tuhan. Ingatlah bahwa Ia dengan setia selalu bersama Anda, dan mengharapkan Anda menggunakan waktu dengan bijaksana (Solly Ozrovech)
Tuhan tidak akan memberi pencobaan yang melebihi kekuatan kita.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus & Bunda Maria atas kasih karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul : “PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI LOCUS OF CONTROL
DAN MASA KERJA”. Skripsi ini ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Akuntansi. Penulis menyadari bahwa selama proses penyusunan skripsi ini mendapatkan banyak masukan, kritik, saran dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Y. Harsoyo, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. Selaku dosen pembimbing, yang dengan sabar membimbing penulis menyusun skripsi, memberikan kritik dan saran, masukan, semangat, serta bersedia meluangkan waktu untuk bimbingan. Trima kasih banyak Pak Sapto.
5. Bapak Drs. Bambang Purnomo, SE, M.Si. Selaku dosen tamu 1, yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan dalam penulisan skripsi ini 6. Ibu Cornelio Purwantini, S.Pd., M.SA. Selaku dosen tamu 2, yang telah
memberikan masukan dan menyumbangkan pemikiran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Para dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Akuntasi dan Pendidikan Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah banyak memberikan bantuan dan bekal ilmu kepada penulis selama kuliah.
3 Cawas, SMP Pangudi Luhur Cawas, SMP Muhammadiyah 3 Cawas, dan segenap guru serta karyawan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan telah banyak membantu dalam melaksanakan penelitian ini serta memberikan masukan serta pengalaman yang berharga bagi penulis.
9. Kedua orang tuaku: Bapak Sukardi Agustinus dan Ibu Yohana Elisabeth Sri Mulyani yang telah memberikan doa restu, kasih sayang, segala dukungan baik moril maupun materiil, serta semangatnya kepada penulis selama ini. Matur Sembah Nuwun Pak, Buk selama kuliah aku tak kekurangan suatu apapun, aku bisa seperti ini karena kalian berdua.
10.Adik-adikku : Irine Kurniastuti, Yulius Ardi Nugraha, Yashinta Kurnia Brilyanti yang telah memberikan dukungan doa, kasih sayang dan semangatnya, Maaf bila selama ini aku tidak bisa menjadi kakak yang baik bagi kalian.
11.Mas Yohanes Didik Dwi Hantoro tercinta dan keluarga, trimakasih banyak untuk segala cinta, doa, bantuan, perhatian, semangat, dan saran-saran bijaknya. Terimakasih juga mau mendengarkan segala keluh kesahku. 12.Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde&Budhe, Om&Bulik, Mas&mbakyu,
serta semua saudara dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis selama kuliah dan penulisan skripsi ini, juga kepada Om Dadik, Mas Wiwid & Mas Nug untuk bantuannnya selama di Jogya.
13.Buat Sobat karibku Titis, Merli, Nungki(trimakasih ya buk untuk kebersamaan & dukungannya, semoga persahabatan kita yang indah ini langgeng selamanya), Romo Hiro (makasih ya Mo, atas bantuan, doa, dan nasehat-nasehatnya selama ini, makasih juga untuk pinjaman2 bukunya, maafin nia sering ngrepotin romo, Ari Prast (kuliah yang rajin ya...), Agus Wiratmoko(ak salut ma jiwa wirausahamu, sukses ya....), Koko, Agus Depok, Yudo (tetap kompak dan semangat)
Yayik, Amel, Agnes Puri, Agnes Kurnia, Yayik, Lusi, Aci, Venny, Deni, Ari cahya, Ari Ndut, Mira, Krisna terimakasih atas kebersamaan dan pertemanannya selama ini, Yenny, Tiara (makasih atas kerjasamanya), rekan-rekan PAK B senasib dan seperjuangan di PAK, mas Banu untuk semangat dan saran2nya (aku salut dengan dirimu, sukses untuk kuliah dan kerjamu), mas Ari “Teklek” makasih untuk bulpen murahnya...., Mas Edi, Mas Sigit, Mb. Sarinah (makasih dah berbagi pengalamannya selama menempuh skripsi), Wahyu “Simbah” yang dah benerin komputerku, sori sering tak repoti.
15.Buat teman-teman Kos Kurnia Jaya, Jl. Panuluh 381 Pringwulung (Anna, Butet, Mb. Hendro, Rere, Evelyn, Kristin, Vita, Irin, Endah, eki untuk kebersamaan, kekonyolan, dan kekompakaannya selama aku menjadi penghuni disana, sukses buat kita semua.
16.Teman2 Mudika dan Teman2 Lektor Gereja St. Maria Assumpta Cawas : Plerik, Gunawan(trimakasih dah ngajari page maker), Pandam, Martinus, Toni, Mbetro, Kristin, Melan, Dewi, Teguh, Evy, Diana, Aditya, Mb. Nita, Tia, Puput, Patria, Agnes, Rina W, Rina S, Manis Manja, Lusi, Arfi, Niken, uuk, Ruri, Wiwid dll (mari kita seia, sekata bekerja di ladang Tuhan)
17.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai saran, kritik dan masukan sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak yang berkepentingan.
Penulis
ABSTRAK
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
PROFESIONALISME GURU DITINJAU DARI LOCUS OF CONTROL
DAN MASA KERJA
Survei pada Guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten
Maria Kurniawati Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari locus of control; (2) ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari masa kerja.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2007, di SMP Negeri dan Swasta yang ada di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru SMP negeri dan swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten yang berjumlah 171 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh negatif dan signifikan kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari
locus of control (ρ =0,023<α =0,050); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau dari masa kerja
) 050 , 0 041
, 0
(ρ = <α = .
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF EMOTIONAL INTELLIGENCE TOWARD THE
PROFESSIONALISM OF TEACHER BASED ON THE LOCUS OF
CONTROL AND TEACHER’S WORKING PERIOD
A Survey on Teachers of State and Private Junior High Schools in Cawas District, Klaten Regency
Maria Kurniawati Sanata Dharma University
Yogyakarta 2008
This aim of this research is to find out whether emotional intelligence influences the professionalism of the teachers perceived from (1) locus of control
and (2) teacher’s working period.
This research was carried out in State and private Junior High Schools in Cawas District, Klaten Regency. The populations of the research were 171 teachers of State and Private Junior High Schools in Cawas District, Klaten Regency. The technique of gathering the data was questionnaire. The technique of analyzing the data was regression equal model developed by Chow.
The results of this research shows that emotional intelligence perceived from (1) locus of control influences professionalism of teachers negatively but significantly (ρ =0,023<α =0,050); (2) teacher’s working period influences professionalism of teachers positively and significantly (ρ =0,041<α =0,050).
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
ABSTRACT... xi
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Manfaat Penelitian... 9
BAB II KAJIAN TEORI... 10
A. Profesionalisme Guru ... 10
1. Pengertian profesionalisme guru ... 10
3. Syarat-syarat menjadi guru profesional ... 13
4. Faktor-faktor penyebab rendahnya profesionalisme guru ... 13
5. Upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru ... 15
B. Kecerdasan Emosional... 16
1. Pengertian kecerdasan emosional ... 16
2. Faktor-faktor terbentuknya kecerdasan emosional ... 17
3. Ciri-ciri orang dengan kecerdasan emosional tinggi dan rendah.. 18
4. Dimensi kecerdasan emosional... 19
C. Locus of Control... 22
1. Pengertian locus of control... 22
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control... 26
3. Aspek-aspek yang dipengaruhi locus of control... 29
D. Masa Kerja ... 33
E. Kerangka Teoretik ... 34
F. Hipotesis ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Tempat dan Waktu Penelitian... 38
C. Subyek dan Penelitian... 39
D. Populasi... 39
E. Operasionalisasi Variabel ... 40
1. Profesionalisme Guru ... 40
3. Locus of Control... 43
4. Masa kerja... 45
F. Teknik Pengumpulan Data... 45
G. Pengujian Instrumen Penelitian ... 46
1. Pengujian Validitas ... 46
2. Pengujian Reliabilitas ... 51
H. Teknik Analisis Data ... 53
1. Analisis Deskriptif ... 53
2. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 53
a. Uji Normalitas... 53
b. Uji Linieritas ... 54
3. Pengujian Hipotesis ... 55
a. Pengujian Hipotesis I ... 55
b. Pengujian Hipotesis II... 57
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 59
A. Deskripsi Data... 59
1. Deskripsi Responden Penelitian ... 59
2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 60
B. Analisis Data ... 64
1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 64
a. Uji Normalitas... 64
b. Uji Linieritas ... 65
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 71
1. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Profesionalisme Guru Ditinjau dari Locus of Control ... 71
2. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Profesionalisme Guru Ditinjau dari Masa Kerja ... 76
BAB V KESIMPULAN, SARAN, KETERBATASAN PENELITIAN... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Keterbatasan Penelitian... 80
C. Saran-Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA... 84
LAMPIRAN-LAMPIRAN... 87
3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel Profesionalisme Guru ... 40
3.2 Tabel Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional... 42
3.3 Tabel Operasionalisasi Variabel Locus of Control... 44
3.4 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Profesionalisme Guru... 47
3.5 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kecerdasan Emosional... 48
3.6 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Locus of Control... 49
3.7 Rangkuman Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 52
4.1 Sebaran Responden Penelitian ... 59
4.2 Jenis Kelamin Responden penelitian ... 60
4.3 Deskripsi Variabel Locus of Control... 60
4.4 Deskripsi Variabel Masa Kerja ... 61
4.5 Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional... 62
4.6 Deskripsi Variabel Profesionalisme Guru... 63
4.7 Rangkuman Hasil Uji Normalitas ... 65
4.8 Rangkuman Hasil Uji Linieritas ... 66
1. Kuesioner Penelitian ... 87
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 92
3. Data Induk Penelitian... 101
4. Data Induk Regresi... 113
5. Deskripsi Frekuensi dan Variabel Penelitian ... 117
6. Perhitungan PAP tipe II ... 122
7. Uji Normalitas dan Linieritas... 124
8. Tabel F Cara Interpolasi... 125
9. Uji Regresi ... 126
10.Uji Koefisien Determinasi... 128
11.Surat Ijin dan Keterangan Penelitian ... 135
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan umum pembangunan bangsa Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan ini, pemerintah
melakukan berbagai perbaikan di bidang pendidikan. Pendidikan adalah
serangkaian suatu proses berkelanjutan yang mengarahkan anak dengan
metode-metode tertentu sehingga anak memperoleh pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, sikap, dan nilai yang kesemuanya menunjang
perkembangan anak (Winkel, 2004:29). Hal tersebut sejalan dengan
Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Guru memiliki andil yang besar pada berhasil dan tidaknya suatu
pendidikan. Guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan
berada di titik sentral dalam setiap usaha reformasi pendidikan ke arah
perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif. Setiap upaya peningkatan
penyediaan fasilitas pendidikan, dan hal-hal yang sejenisnya hanya akan
berarti jika melalui pelibatan guru (Haryono dalam Supriyadi, 2001:178).
Menurut Nasanius (http://www.suarapembaharuan.com/news/1998/08/
230898.), kemerosotan pendidikan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini
bukan sepenuhnya diakibatkan oleh kurikulum, tetapi oleh kurangnya
profesionalisme para guru dan keengganan belajar para siswa.
Profesionalisme guru yang dimaksud adalah kemampuan guru dalam
menguasai ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi
penerapannya. Maister (1997) dalam http://artikel.us/amhasan.html
mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi
dan manajemen, tetapi juga mencakup aspek sikap. Karenanya,
pengembangan profesionalisme seharusnya tidak hanya pada keterampilan
yang tinggi, tetapi juga pada suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Secara kuantitatif jumlah guru di Indonesia sudah cukup banyak, tetapi
mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Dalam Jurnal
Educational Leadership, 1993 (Supriadi, 1998:98) dijelaskan bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) guru menguasai
secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa, (3) guru bertanggung jawab memantau hasil
belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) guru mampu berpikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5)
lingkungan profesinya. Apabila syarat-syarat profesionalisme guru ini
dipenuhi, maka akan mengubah guru yang tadinya pasif menjadi guru yang
kreatif dan dinamis.
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global.
Hal ini disebabkan guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan
informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga
membentuk sikap dan jiwa peserta didik agar mampu bertahan dalam era
kompetisi. Tugas utama seorang guru adalah membantu peserta didik agar
mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta
desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini
meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial,
emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena guru
bukan saja mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan,
melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu
maupun sebagai profesional. Untuk melaksanakan tugas tersebut secara
bertanggung jawab, seorang guru wajib memiliki berbagai kemampuan dasar
atau kompetensi keguruan. Kompetensi keguruan yang dimaksud meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.
Profesionalisme guru dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal
guru. Salah satu faktor internal yang menarik dikaji adalah tingkat kecerdasan
emosional guru. Banyak orang beranggapan bahwa kecerdasan akademis
IQ dipercaya menjamin seseorang akan dapat dengan mudah mencapai
impian atau cita-citanya. Tetapi, dalam banyak kasus justru ditemukan bahwa
kecerdasan emosional lebih dominan dalam menentukan kesuksesan
seseorang.
Goleman (2005:44) memperlihatkan bahwa ada faktor-faktor yang
menyebabkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ
sedang-sedang saja justru menjadi sangat sukses. Faktor-faktor yang
dimaksud Goleman tersebut mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi
cerdas yang secara populer disebut dengan istilah kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati,
ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial. Para ahli
psikologi menyepakati bahwa IQ hanya menyumbang sekitar 20% dalam
menentukan suatu keberhasilan sedangkan sisanya sebanyak 80% berasal dari
faktor lain, termasuk apa yang dinamakan kecerdasan emosional. Hal ini
terbukti dari data penelitian terhadap 95 mahasiswa Harvard University dari
angkatan tahun 1940-an, suatu masa ketika rentang IQ mahasiswa-mahasiswa
Ivy League (perguruan-perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat)
dilacak sampai mereka berusia setengah baya. Mereka yang perolehan tesnya
paling tinggi di perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan
rekan-rekannya yang IQ-nya lebih rendah bila diukur menurut gaji,
produktivitas, atau status di bidang pekerjaan mereka. Mereka juga bukan
yang paling banyak mendapatkan kesuksesan hidup, dan juga bukan yang
(Goleman, 2005:46). Hal ini menjelaskan bahwa kecerdasan emosional
memegang peranan penting dalam kesuksesan hidup seseorang.
Pengamatan peneliti pada guru-guru Sekolah Menengah Pertama di
Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa ditemukan tidak
sedikit guru pada saat mengajar kurang menguasai materi yang ia ajarkan,
menyampaikan materi yang keliru, tidak mengikuti perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak mempunyai
keterampilan-keterampilan, bersifat pasif dan tidak kreatif, tidak menguasai metode-metode
mengajar, tidak bisa mengelola emosinya, seringkali guru membawa masalah
pribadinya saat mengajar sehingga kondisi kelas tidak nyaman dan
merugikan siswa. Ada sebagian guru yang kurang menghargai siswa dalam
menyampaikan pendapat saat kegiatan belajar mengajar, sehingga membuat
hubungan antara guru dan siswa menjadi kurang harmonis. Fakta seperti ini
juga disebabkan oleh rendahnya kerjasama antara guru dengan teman sejawat
antar sekolah dan dengan komunitas lingkungan kerjanya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa orang yang cerdas secara
akademis belum tentu memperoleh hasil yang maksimal dalam setiap
kegiatannya. Hal demikian disebabkan orang yang cerdas secara akademis
belum tentu cerdas secara emosinya. Menurut Goleman (2005:156-169) orang
yang memiliki kecerdasan emosional tinggi merupakan orang yang matang
dalam hal pengaturan kondisi diri dan emosinya. Tingginya kecerdasan
emosional (EQ) dapat membuat seseorang bersemangat tinggi dalam belajar,
memasuki dunia kerja atau di dalam keluarga. Dengan kata lain, meskipun
seseorang luar biasa pintar, kreatif dan terampil, namun kalau dia tidak
memiliki pengetahuan bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, tidak
bisa mengelola emosinya dengan baik, maka tidak seorang pun yang akan
betah untuk bersama dia.
Derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru
tersebut di atas diduga berbeda pada guru dengan locus of control dan
memiliki masa kerja yang berbeda. Locus of control adalah cara pandang
seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat
mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya. Locus of control
seseorang pada dasarnya memiliki dua dimensi, yakni locus of control
internal dan locus of control eksternal. Locus of control internal adalah cara
pandang individu terhadap suatu peristiwa sebagai hasil dari perilakunya, atau
bagian dari karakteristiknya yang bersifat relatif permanen. Locus of control
eksternal adalah cara pandang individu terhadap suatu peristiwa sebagai hasil
dari keberuntungan, kebetulan, takdir, suatu yang dikendalikan oleh
kekuasaan atau kekuatan yang berasal dari luar dirinya (Rotter, 1966,
http//www.balllarat.edu.ac.au/ard/bssh/pycoh/rot/htm). Karenanya dalam
penelitian dikembangkan dugaan bahwa pada guru yang memiliki locus of
control internal, derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap
profesionalisme guru diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan pada guru
Masa kerja adalah lamanya waktu seseorang bekerja, masa kerja pada
umumnya diukur dengan bulan atau tahun. Guru yang sudah lama mengajar
pada umumnya mempunyai pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan-keterampilan mengajar yang lebih banyak dalam menjalankan profesinya
sebagai pendidik dan pengajar. Hal tersebut tentunya berhubungan dengan
tingkat kecerdasan emosional seorang guru dan juga kemampuan
profesionalnya. Diduga bahwa pada guru dengan masa kerja lebih banyak
maka derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru
akan lebih tinggi dibandingkan pada guru dengan masa kerja yang lebih
sedikit.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk
menguji derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme
guru pada guru dengan locus of control dan masa kerja yang berbeda.
Penelitian ini selanjutnya mengambil judul “Pengaruh Kecerdasan Emosional
Terhadap Profesionalisme Guru Ditinjau dari Locus of Control dan Masa
Kerja”. Penelitian ini merupakan survei pada guru-guru Sekolah Menengah
B. Identifikasi Masalah
Ada berbagai faktor yang diduga mempengaruhi tinggi/rendahnya
profesionalisme guru. Faktor-faktor tersebut adalah kecerdasan emosional,
locus of control, masa kerja. Secara lebih spesifik penelitian ini dimaksudkan
untuk menguji apakah tinggi/rendahnya derajat pengaruh kecerdasan
emosional terhadap profesionalisme guru berbeda pada guru yang mempunyai
locus of control dan masa kerja yang berbeda.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme
guru ditinjau dari locus of control?
2. Apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme
guru ditinjau dari masa kerja?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap
profesionalisme guru ditinjau dari locus of control.
2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Untuk menyelidiki pengaruh kecerdasan emosional terhadap
profesionalisme guru ditinjau dari locus of control dan masa kerja yang
berbeda.
2. Bagi guru-guru Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Cawas,
Kabupaten Klaten.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan pengetahuan bagi para guru bahwa kecerdasan emosional
berpengaruh pada profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas
profesionalnya.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Profesionalisme Guru
1. Pengertian Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan pada aspek
penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta
strategi penerapannya. Maister (1997) dalam
http://artikel.us/amhasan.html mengemukakan bahwa profesionalisme
bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen, tetapi juga
mencakup aspek sikap. Karenanya, pengembangan profesionalisme
seharusnya tidak hanya pada keterampilan yang tinggi, tetapi juga pada
suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Hal tersebut sejalan dengan Syah
(1995:230) yang menyatakan profesionalisme sebagai kualitas dan
tindak-tanduk khusus yang merupakan ciri orang profesional.
Profesionalisme guru merupakan pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu, merupakan suatu sikap atau tingkah
laku serta memerlukan pendidikan profesi agar memuaskan anak didiknya
(Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005, No 14. BAB I, pasal 1).
yang memungkinkan siswa untuk belajar tentang sesuatu, melakukan
sesuatu, menjadikan dirinya, dan hidup bersama orang lain secara aktif,
kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Hanya guru yang menguasai
kompetensi keguruan (pedagogik, kepribadian, sosial, profesional) yang
mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif bagi
perkembangan potensi siswa secara maksimal.
2. Macam-macam kompetensi guru
Dalam rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang
guru BAB II, pasal 4 tahun 2005, guru wajib memiliki empat kompetensi
dasar keguruan :
a. Kompetensi pedagogik, merupakan kemampuan guru dalam
pengelolaan pembelajaran peserta didik, meliputi :
1) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
2) Pemahaman terhadap peserta didik
3) Pengembangan kurikulum atau silabus
4) Perancangan pembelajaran
5) Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
6) Pemanfaatan teknologi pembelajaran
7) Evaluasi hasil belajar
8) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
b. Kompetensi kepribadian, merupakan kompetensi yang berkaitan
dengan kepribadian seorang guru dalam bersikap atau bertindak,
meliputi :
1) Mantap
2) Stabil
3) Dewasa
4) Arif dan bijaksana
5) Berwibawa
6) Berakhlak mulia
7) Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat
8) Secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri
9) Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan
c. Kompetensi sosial, merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari
masyarakat, meliputi :
1) Berkomunikasi lisan, tulisan, dan isyarat
2) Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara
fungsional
3) Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik
4) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar
d. Kompetensi profesional, merupakan kemampuan penguasaan materi
3. Syarat-syarat menjadi guru profesional.
Dalam Jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi
1998:98) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional, seorang guru
dituntut untuk memiliki lima hal yaitu :
a. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang
diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa.
c. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui
berbagai cara evaluasi.
d. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan
belajar dari pengalamannya.
e. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya
paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional,
yaitu : (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, (2)
penguasaan ilmu yang kuat, (3) keterampilan untuk membangkitkan
peserta didik kepada sains dan teknologi, dan (4) pengembangan profesi
secara berkesinambungan.
4. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru :
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Akadum (1999:1-2) dalam
diungkap-kan bahwa ada beberapa faktor penyebab rendahnya profesionalisme guru
antara lain :
a. Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan, karena rendahnya
gaji. Rendahnya gaji ini berimplikasi pada kinerja guru yang rendah
b. Banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini
disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga waktu untuk
membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada.
c. Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di
negara-negara maju.
d. Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta
sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa
memperhitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga
menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi
keguruan.
e. Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena
guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan
pada dosen.
f. Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah
hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak yang terlibat. Hal
ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak
g. Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang
berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme
anggotanya.
5. Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru :
Pemerintah terus berupaya meningkatkan profesionalisme guru
diantaranya melalui program pendidikan dalam jabatan atau in-service
training, program ini mencakup (Supriadi, 1998:99):
a. pendidikan penyetaraan untuk peningkatan kualifikasi dan
persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga
pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi.
Program penyetaraan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III
bagi guru-guru SLTP dan Strata 1 untuk guru-guru SLTA.
b. Program sertifikasi, yaitu proses pemberian sertifikat kompetensi
yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi
yang mengacu kepada standar kompetensi nasional.
c. Penataran atau pendidikan dan pelatihan kemampuan/ketrampilan.
d. Penyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru atau
peningkatan kesejahteraan guru.
e. Pembinaan/pengembangan kemampuan profesional melalui wadah
PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (kelompok Kerja Guru untuk
guru SD), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran untuk guru
SLTP dan SLTA), dan K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) yang
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan
mengajarnya (Supriadi, 1998:99).
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional atau emotional intelligence, yang lebih
dikenal dengan istilah EQ (Emotional Quetient) adalah kemampuan lebih
yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa (Goleman, 1999:45). Dengan kecerdasan
emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Hal tersebut
sejalan dengan pemikiran Howes dan Herald (1999) dalam
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/12/5/kel3.html, yang
menyatakan kecerdasan emosional sebagai komponen yang membuat
seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosional
menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang
diri sendiri dan orang lain.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998:XV) menyatakan kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,
koneksi, dan pengaruh manusiawi. Kecerdasan emosional menuntut
orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif
energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kecerdasan
emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai
perasaan diri sendiri dan orang lain serta untuk menanggapinya dengan
tepat dan menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosional
Faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional dalam
diri seseorang ada 2, yaitu :
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu
untuk menanggapi lingkungan sekitar. Menurut Goleman
(2005:12-16), faktor yang berasal dari dalam individu tersebut dipengaruhi
oleh otak emosional, sebagai pemberi pusat-pusat emosi kekuatan
luar biasa untuk mempengaruhi berfungsinya bagian lain otak,
termasuk pusat-pusat untuk pikiran.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu dan
mempengaruhi individu untuk mengubah hidup. Pengaruh luar yang
bersifat langsung dapat terjadi secara perorangan, kelompok, antara
individu dengan kelompok atau sebaliknya. Sementara faktor luar
massa. Faktor luar lain dapat melalui lingkungan fisik dan
lingkungan sosial tempat individu berada, berinteraksi dan
berhubungan dengan orang lain (Goleman, 2005:156-169)
3. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi dan
Kecerdasan Emosional Rendah.
a. Individu dengan Kecerdasan Emosional Tinggi
Menurut Goleman (2005:60-61) individu yang mempunyai
kecerdasan emosional tinggi mempunyai ciri-ciri, antara lain:
1) Kemampuan sosialnya mantap, mudah bergaul, ramah, jenaka,
tidak mudah takut atau gelisah, dan mudah menerima
orang-orang baru disekitarnya.
2) Berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang
atau permasalahan.
3) Berani memikul tanggung jawab
4) Mempunyai pandangan moral, simpatik, dan hangat dalam
hubungan-hubungan mereka.
5) Merasa nyaman dengan dirinya sendiri, orang lain, dan
lingkungan pergaulannya.
6) Cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka
secara langsung.
7) Memandang dirinya sendiri secara positif, kehidupan memberi
makna bagi dirinya.
b. Individu dengan Kecerdasan Emosional Rendah
Sementara itu, menurut Goleman (2005:327-337) individu dengan
kecerdasan emosional rendah, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial: suka menyendiri,
kurang bersemangat, merasa tidak bahagia, bersikap
sembunyi-sembunyi, dan terlampau bergantung.
2) Cemas dan depresi: sering takut, menyendiri, merasa kuatir,
gugup, sedih, dan berpikiran negatif.
3) Memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir: tidak
mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang, melamun,
bertindak tanpa berpikir, bersikap terlalu tegang untuk
berkonsentrasi, tidak mampu membuat pikiran menjadi tenang.
4) Nakal atau agresif : bergaul dengan anak-anak yang bermasalah,
bersikap kasar terhadap orang lain, menuntut perhatian, merusak
milik orang lain, membandel, keras kepala, dan suasana hatinya
sering berubah-ubah.
4. Dimensi Kecerdasan Emosional
Salovey (Goleman, 2005;57-59) merumuskan ada lima wilayah
atau dimensi kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi
individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
a. Mengenali emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini
diperlukan pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul
wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan
untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada
di bawah kekuasaan perasaan.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang
bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola
apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat
melepas kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan bangkit
kembali dengan cepat dari semuanya itu.
c. Memotivasi diri
Motivasi diri adalah kemampuan menguasai diri untuk
mengendalikan dorongan atau hasrat terhadap suatu tujuan.
Kemampuan ini akan memandu seseorang mengambil inisiatif untuk
bertindak efektif dan mampu bertahan dalam menghadapi kegagalan
dan frustasi. Kemampuan ini akan membuat orang lebih produktif
d. Mengenali emosi orang lain (empati)
Mengenali emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran
diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat
dipastikan ia akan terampil membaca perasaan orang lain.
Sebaliknya, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati
perasaan orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan
keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan
dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang akan
mengalami kesulitan pergaulan dengan orang lain.
Sejalan dengan pemikiran Goleman, Cooper dan Sawaf
(1998:x1ii-x1iii) merumuskan kecerdasan emosional sebagai sebuah “Model Empat
Batu Penjuru” yang akan memindahkan kecerdasan emosional dari dunia
analisis psikologis dan teori-teori filosofis ke dalam dunia yang nyata dan
praktis. Model ini lebih ditujukan pada EQ eksekutif dalam penggunaan
kecerdasan emosional di tempat kerja. Model empat batu penjuru ini
meliputi (Cooper dan Sawaf , 1998:x1ii-x1iii):
a. Kesadaran emosi (emotional literacy), bertujuan untuk membangun
tempat kedudukan bagi kepiawaian dan rasa percaya diri pribadi
melalui kejujuran emosi, energi emosi, umpan balik emosi, intuisi,
b. Kebugaran emosi (emotional fitness), bertujuan mempertegas
kesejatian, sifat dapat dipercaya, dan keuletan, memperluas lingkaran
kepercayaan dan kemampuan untuk mendengarkan, mengelola
konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara paling konstruktif.
c. Kedalaman emosi (emotional depth), bertujuan untuk mengeksplorasi
cara-cara menyelaraskan hidup dan kerja sesuai bakat unik individu,
mendukungnya dengan ketulusan, kesetiaan pada janji, dan rasa
tanggung jawab, yang pada gilirannya, memperbesar pengaruh
individu tanpa mengobral kewenangan.
d. Alkimia emosi (emotional alchemy), merupakan tempat bagi individu
dapat memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk mengalir
bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan, dan bersaing demi
masa depan dengan membangun keterampilan untuk lebih peka akan
adanya kemungkinan-kemungkinan solusi yang masih tersembunyi
dan peluang yang masih terbuka.
C. Locus of Control
1. Pengertian Locus of Control
Rotter (Prasetyo, 2002:122) mengungkapkan locus of control adalah
cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau
tidak dapat mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya. Hal
tersebut sejalan dengan dengan pendapat Suhartanto (1996:6) yang
individu akan sumber-sumber penentu dari segala pengalaman hidupnya.
Locus of control terbagi menjadi dua dimensi, yaitu: locus of control
internal dan locus of control eksternal.
Individu dengan locus of control internal merasa yakin bahwa
penyebab pengalaman, kegagalan maupun keberhasilannya bersumber
dari dirinya sendiri. Individu tersebut akan selalu mengambil peran dan
tanggung jawab dalam penentuan benar atau salah. Dengan kata lain,
internal control mengacu pada persepsi terhadap kejadian baik positif
maupun negatif sebagai konsekuensi dari tindakan/perbuatan diri sendiri
dan berada dibawah pengendalian dirinya. Sebaliknya individu dengan
locus of control eksternal menyakini bahwa pengalaman-pengalaman
hidupnya adalah hasil dari pengaruh atau penyebab orang lain, nasib,
keberuntungan, atau kekuatan di luar dirinya. Dengan kata lain, eksternal
control mengacu pada keyakinan bahwa suatu kejadian tidak memiliki
hubungan langsung dengan tindakan yang telah dilakukan oleh diri
sendiri dan berada di luar control dirinya.
Locus of control pada individu sebenarnya bukanlah suatu konsep
yang tipologik, melainkan suatu konsep yang kontinum (London dan
Exner dalam Suhartanto, 1996:6). Artinya locus of control individu
bergerak dari ekstrim eksternal dan ekstrim internal. Oleh karena itu
setiap orang memiliki sekaligus faktor internal dan eksternal dalam
Perkembangan orientasi individu ke arah internal atau eksternal
didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa lalu akan
mempengaruhi perkembangan orientasi ini akan turut mempengaruhi
penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi yang sedang
dihadapi (Parkes, 1984 dalam Suhartanto, 1996:6). Individu yang
berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai sesuatu yang
dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan akibat
yang diterima, baik positif maupun negatif, lebih perseptif dan siap
belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap
pengaruh orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan
tindakan karena merasa mampu mengontrol lingkungannya (Engler, 1985
dalam Suhartanto, 1996:6).
Sebaliknya yang berorientasi pada eksternal, memandang dunia
sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar
dalam mengendalikan akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan
maupun dalam melakukan penghindaran terhadap situasi yang tidak
menyenangkan, lebih cemas dan depresif serta kurang baik dalam
melakukan aktivitas bermasyarakat dan lebih mempunyai kemungkinan
besar untuk menampakkan perilaku yang negatif seperti: pasivitas,
penarikan diri dan konformitas tinggi (Rothbaum et al., 1882 dalam
Suhartanto, 1996:6)
Untuk dapat menentukan apakah seseorang memiliki locus of
mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan psikologis yang membawa
kepuasan diri. Rotter mendiskripsikan kebutuhan psikologis seseorang
menjadi 6 kategori umum (Rotter dalam Phares dan Morristown,
1976:365) yaitu:
a. Recognition-Status, yaitu kebutuhan untuk menjadi yang terbaik
seperti: dipandang sebagai seseorang yang berkompeten, paling baik
dibandingkan dengan yang lain dalam hal pendidikan, pekerjaan,
olahraga, derajat sosial, paling menarik, dan sebagainya.
b. Dominance, yaitu kebutuhan untuk dapat mengontrol orang lain
seperti: kekuatan untuk melatih dan mempengaruhi orang lain.
c. Independence, yaitu kebutuhan untuk membuat keputusan sendiri,
percaya pada diri sendiri, mencapai tujuan tanpa bantuan orang lain.
d. Protection-Dependency, yaitu kebutuhan untuk dapat mencegah
timbulnya perselisihan, menyediakan perlindungan dan keamanan,
dan membantu orang lain mencapai tujuan.
e. Love and Affection, yaitu kebutuhan untuk bisa diterima dan disukai
orang lain serta adanya penghargaan dari orang lain.
f. Physical Comfort, yaitu kebutuhan untuk menikmati kepuasan yang
bersifat lahiriah berkenaan dengan keamanan, menjauhkan diri dari
sesuatu yang menyakitkan, merasa baik, pengalaman yang
menyenangkan, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa locus of control
kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol (locus of control internal)
dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control eksternal), atau
merupakan suatu kontinum persepsi individu akan kendali peristiwa
dalam hidupnya, dengan kepercayaan akan kendali internal pada suatu
kutub dan kepercayaan akan kendali eksternal pada kutub yang lain.
2. Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan dan perkembangan
locus of control
Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa
kontinum dari internal menuju eksternal. Oleh karenanya tidak satupun
individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal.
Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu hanya saja ada
kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control
tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat statis tapi juga
dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat
berubah menjadi individu yang berorientasi external locus of control dan
begitu sebaliknya. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan
dan perkembangan locus of contol tersebut antara lain (Phares dalam
London & Exner, 1978:291-294):
a. Usia
Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih
efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya
mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam
kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan
pertambahan usia.
b. Pengalaman akan suatu perubahan
Penelitian Kiehlbauch (Phares dalam London & Exner, 1978:292)
menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan
locus of control yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah
yang telah lebih lama bersama. Locus of control teman serumah yang
akan berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan
yang cenderung labil dan tak pasti selama masa-masa transisi
mendorong locus of control individu ke arah eksternal.
c. Generalitas dan stabilitas perubahan
Peristiwa-peristiwa yang membawa perubahan seperti perang,
skandal politik, bom nuklir dan eksperimen ternyata dapat
berpengaruh pada locus of control. Kecenderungan ke arah locus of
control eksternal meningkat sejalan dengan pengalaman perubahan
peristiwa spesifik dan insidental seperti kekecewaan pada
keputusan-keputusan politik pemerintah, menang lotere, dan eksperimen.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi diluar prediksi dan rutinitas
individu sehingga ia merasa kehilangan kemampuan untuk
menganalisa dan mempersiapkan diri terhadap jalannya
d. Pelatihan dan pengalaman
Seperti halnya kapasitas-kapasitas kognitif lain, locus of control
dapat dilatih untuk didorong ke arah salah satu kecenderungan
tertentu. De Charms (Phares dalam London & Exner, 1978:293)
berhasil membuktikan efektifitas program pelatihan untuk
meningkatkan locus of control internal. Selain itu, penelitian
Nowicki dan Bames (Phares dalam London & Exner, 1978:293)
menemukan bahwa pengalaman berkemah yang terstruktur ketat
dapat meningkatkan locus of control internal remaja. Demikian pula
halnya dengan penelitian Levens serta Gottesfeld dan Dozier (Phares
dalam London & Exner, 1978:293) mengenai pengalaman
berorganisasi dalam masyarakat. Penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena
pengalaman-pengalaman yang meningkatkan kemandirian, tanggung
jawab pribadi, dan kemampuan untuk menguasai keadaan.
e. Efek terapi
Beberapa penelitian Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith (Phares,
1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi berpengaruh secara
positif pada kecenderungan akan locus of control internal.
Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu untuk
dapat berfungsi secara efektif dalam mengatasi masalah-masalahnya.
Tujuan ini meningkatkan kecenderungan individu untuk lebih merasa
Kleinke (1978:134-138) menekankan faktor pelatihan dan
pengalaman dalam perubahan arah locus of control. Pada dasarnya,
faktor pengalaman akan suatu perubahan serta generalitas dan stabilitas
perubahan dapat dikelompokkan ke dalam faktor pengalaman. Sementara
itu, efek dari terapi dapat dikategorikan ke dalam faktor pelatihan.
Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat mengubah arah locus of
control adalah faktor usia, pelatihan, dan pengalaman. Menurut Kleinke
(1978:138-139) untuk mendorong kecenderungan locus of control ke
arah internal, individu harus mengalami situasi dimana tindakan-tindakan
yang ia ambil menghasilkan konsekuensi seperti yang ia harapkan.
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pelatihan dan pengalaman
yang dapat mendorong locus of control individu ke arah internal adalah
pelatihan dan pengalaman yang memberikan reinforcement atas
tindakan-tindakan individu dan menanamkan kepercayaan pada diri
individu bahwa reinforcement tersebut adalah hasil dari
tindakan-tindakan individu sendiri.
3. Aspek-aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh Locus of control
Perbedaan kecenderungan arah locus of control ternyata membawa
akibat dalam berbagai aspek hidup, yaitu (Phares dalam London &
Exner, 1978:276-285):
a. Sikap terhadap lingkungan
Individu dengan locus of control internal menganalisa situasi dengan
locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal
juga lebih aktif dalam mencari, memperoleh, menggunakan dan
mengolah informasi yang relevan dalam rangka memanipulasi dan
mengendalikan lingkungan. Di samping itu, individu yang
mempunyai locus of control internal terbukti lebih berorientasi pada
posisi dengan kekuasaan besar, sedangkan individu yang memiliki
locus of control eksternal lebih cenderung menyukai posisi dengan
kekuasaan kecil (Hrycenko dan Minton dalam Phares, 1978:279).
b. Pengaruh konformitas dan perubahan sikap
Beberapa penelitian Crowne, dkk dalam London & Exner
(1978:279) menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan
internal lebih mampu bertahan terhadap pengaruh dan tekanan dari
lingkungan. Sebaliknya individu dengan kecenderungan eksternal
lebih siap sedia untuk menerima pengaruh, mengikuti lingkungan
sosial dan menerima informasi dari orang lain. Individu dengan
kecenderungan eksternal juga lebih menunjukkan konformitas dan
kemudahan dalam mengubah sikap. Hal ini berkaitan langsung
dengan kepercayaan akan pemegang kendali dalam hidupnya,
(Kleinke, 1978:131-132). Individu dengan locus of control internal
lebih mempercayai diri sendiri dan cenderung mengabaikan
kekuatan-kekuatan dari luar yang mencoba mengambil alih kendali
hidupnya. Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal
dirinyalah yang mengendalikan hidupnya, sehingga ia mudah
menerima pengaruh dan kendali dari luar tersebut.
c. Perilaku menolong dan atribusi tanggung jawab
Individu dengan kecenderungan internal lebih sering menunjukkan
perilaku menolong dari pada individu dengan kecenderungan
eksternal (Midlarsky, 1971; Midlarsky & Midlarsky, 1973 dalam
Phares, 1978:282). Individu yang memiliki locus of control internal
juga cenderung memberi atribusi tanggung jawab internal terhadap
orang lain. Kedua pernyataan tersebut tampaknya saling
bertentangan. Individu yang merasa bahwa tiap-tiap orang
bertanggung jawab atas dirinya sendiri umumnya tidak begitu
terdorong untuk melibatkan diri dalam kesulitan-kesulitan yang
dialami orang lain. Fenomena ini merupakan bukti bahwa perilaku
menolong lebih didorong oleh kepercayaan individu bahwa ia
mampu memberikan pertolongan, daripada kepedulian terhadap
orang lain.
d. Pencapaian prestasi
Pelajar dengan locus of control internal menunjukkan prestasi
akademis yang lebih tinggi daripada pelajar dengan locus of control
eksternal. Dalam hal ini, need for achievement tidak dapat
digunakan untuk menjelaskan fenomena ini karena terdapat
hubungan yang rendah antara need for achievement dan locus of
Kleinke (1978:132-133) berpendapat bahwa tingginya prestasi yang
dicapai oleh individu dengan locus of control internal merupakan
hasil dari kemampuannya untuk menunda menikmati penghargaan
atas hasil-hasil usahanya, serta mengurangi reaksi-reaksi negatif
yang cenderung muncul pada saat individu mengalami kegagalan.
e. Penyesuaian diri, kecemasan, dan psikopatologi
Individu dengan kecenderungan internal lebih mampu untuk
menyesuaikan diri daripada individu dengan kecenderungan
eksternal. Individu dengan locus of control internal lebih
mengandalkan diri sendiri, aktif dan memiliki kecenderungan tinggi
untuk berjuang. Hal-hal tersebut menggiringnya pada
keberhasilan-keberhasilan dalam penyesuaian diri. Kesederhanaan kepercayaan
kendali yang ada dalam diri sendiri juga mendorong individu dengan
locus of control internal pada penyesuaian diri dengan sedikit
kecemasan (Phares, 1978:284-285). Di lain pihak, individu dengan
kecenderungan eksternal cenderung mengalami lebih kecemasan
daripada individu dengan kecenderungan internal. Individu dengan
locus of control eksternal memandang penolakan-penolakan dan
kecemasan akan kegagalan sebagai akibat dari kurangnya
kemampuan dan kesempatan yang mereka miliki untuk
mengendalikan situasi. la juga memiliki konsep yang rumit
mengenai pengendali peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sehingga
eksternal sering menerima secara pasrah ancaman-ancaman dan
informasi-informasi negatif tentang diri mereka.
D. Masa Kerja
Moh. As’ad dalam Kuncoro (2003:5) mengartikan masa kerja sebagai
lamanya waktu seseorang bekerja dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Pada umumnya masa kerja diukur dengan ukuran tahun atau bulan. Masa
kerja berhubungan dengan waktu kerja seseorang, yaitu segi kualitas
seseorang di dalam menjalani pekerjaannya. Siagian (1984:174)
mengungkapkan seorang tenaga kerja yang memiliki masa kerja lama akan
mempunyai :
1. Cakrawala pandangan yang makin luas yang memungkinkan seseorang
untuk lebih mampu memahami dan mengantisipasi perubahan dan
perkembangan yang pasti akan terjadi.
2. Peningkatan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan
penghasilan seseorang sekaligus menambah kepuasan batin yang semakin
besar.
3. Kemungkinkan promosi yang lebih besar bagi karyawan yang
bersangkutan.
Di dalam usaha menunjang keberhasilan seseorang dalam melaksanakan
pekerjaannya, masa kerja seorang tenaga kerja memegang peranan yang amat
penting, karena hal ini berhubungan dengan kualitas kerjanya. Sebuah
memiliki masa kerja yang lama karena tenaga kerja yang masa kerjanya lama
dipandang lebih memiliki banyak pengalaman, pengetahuan, keterampilan,
dan lebih mampu menjalankan pekerjaannya. Apabila tenaga kerja dapat
bekerja dengan baik, maka kinerja yang dihasilkan secara keseluruhan akan
optimal.
E. Kerangka Teoretik
1. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau
dari locus of contol
Profesionalisme guru merupakan pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan seorang guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya
yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi
agar memuaskan pemakai jasa yang dihasilkan. Tinggi rendahnya
profesionalisme seorang guru diduga kuat dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya kecerdasan emosional seorang guru tersebut. Seorang guru
yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dituntut untuk belajar
mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain,
menanggapinya dengan tepat, dan menerapkan dengan efektif energi
emosi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi diduga memiliki tingkat profesionalisme
yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang memiliki kecerdasan
Derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme
tersebut diduga berbeda pada guru dengan locus of control yang berbeda.
Pada guru dengan locus of control internal, derajat pengaruh kecerdasan
emosional terhadap profesionalisme akan lebih tinggi dibandingkan
dengan seseorang dengan locus of control eksternal. Seorang guru yang
memiliki locus of control internal memiliki ciri-ciri: suka bekerja keras,
memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menentukan
pemecahan masalah, selalu berpikir seefektif mungkin, selalu mempunyai
persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil sehingga
memiliki kecenderungan untuk memberikan profesionalisme yang baik
dibandingkan dengan guru yang memiliki kecenderungan locus of control
eksternal. Sedangkan guru yang memiliki kecenderungan locus of control
eksternal memiliki ciri-ciri: kurang memiliki inisiatif, mempunyai harapan
bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan, kurang suka
berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol,
kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu,
guru yang memiliki kecenderungan locus of control eksternal apabila
mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar
2. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru ditinjau
dari masa kerja.
Profesionalisme guru merupakan pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan seorang guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya
yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi
agar memuaskan pemakai jasa yang dihasilkan. Tinggi rendahnya
profesionalisme seorang guru diduga kuat dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya kecerdasan emosional seorang guru tersebut. Seorang guru
yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dituntut untuk belajar
mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain,
menanggapinya dengan tepat, dan menerapkan dengan efektif energi
emosi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi diduga memiliki tingkat profesionalisme
yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang memiliki kecerdasan
emosional yang rendah.
Derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme
guru diduga berbeda pada guru dengan masa kerja yang berbeda. Masa
kerja adalah lamanya waktu seseorang bekerja. Masa kerja diukur dengan
ukuran tahun atau bulan. Guru yang masa kerjanya lebih banyak diduga
mempunyai profesionalisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru
yang masa kerjanya lebih sedikit. Hal ini disebabkan guru yang masa
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan mengajar yang lebih banyak
dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik dan pengajar
dibandingkan dengan guru yang masa kerjanya lebih sedikit. Guru yang
memiliki masa kerja lebih banyak dituntut untuk lebih terampil, ahli,
berpengalaman, aktif, kreatif, inisiatif, professional, dan memiliki
cakrawala yang luas dalam hal mengajar. Oleh karena itu, guru yang masa
kerjanya lebih banyak diduga memiliki tingkat profesionalisme lebih
tinggi dibandingkan dengan guru yang masa kerjanya lebih sedikit.
Berdasarkan kerangka teoretik di atas, paradigma penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Kecerdasan Emosional
Profesionalisme Guru
Locus of Control Masa Kerja
F. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teoretik yang disampaikan di atas, maka dirumuskan
hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1. Ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru
ditinjau dari locus of control.
2. Ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap profesionalisme guru
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei. Menurut Hasan (2002:13) survei
merupakan penelitian yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari
gejala-gejala yang ada, mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik
tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun
suatu daerah. Melalui penelitian survei ini ditemukan kejadian-kejadian
relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel (Kerlinger dalam
Sugiyono, 1999:7). Survei dilakukan pada guru-guru Sekolah Menengah
Pertama Negeri dan Swasta di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan
Cawas, Kabupaten Klaten, yaitu: SMPN 1 Cawas, SMPN 2 Cawas,
SMPN 3 Cawas, SMP Pangudi Luhur Cawas, SMP Muhamadiyah 3
Cawas.
2. Waktu penelitian
C. Subyek dan Obyek Penelitian
1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Menengah Pertama di
Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, yaitu: SMPN 1 Cawas, SMPN 2
Cawas, SMPN 3 Cawas, SMP Pangudi Luhur Cawas, SMP
Muhamadiyah 3 Cawas.
2. Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah profesionalisme guru, kecerdasan
emosional, locus of control, masa kerja.
D. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh guru-guru SMP di Kecamatan Cawas,
Kabupaten Klaten. Jumlah populasi penelitian adalah 188 orang, dengan
perincian sebagai berikut:
a. SMPN 1 Cawas 48 orang
b. SMPN 2 Cawas 53 orang
c. SMPN 3 Cawas 43 orang
d. SMP Pangudi Luhur Cawas 18 orang
E. Operasionalisasi Variabel
1. Profesionalisme guru
Profesionalisme guru adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu, merupakan suatu sikap atau tingkah
laku serta memerlukan pendidikan profesi agar memuaskan anak
didiknya. Dimensi profesionalisme guru mencakup empat kompetensi
keguruan: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Berikut ini
disajikan tabel operasionalisasi variabel profesionalisme guru:
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel Profesionalisme Guru
Dimensi Indikator No. Pertanyaan
Kompetensi pedagogik
1.pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
2.pemahaman terhadap peserta didik
3.pengembangan kurikulum atau silabus
4.perancangan pembelajaran
5.pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
6.pemanfaatan teknologi
pembelajaran
7.evaluasi hasil belajar
4.arif dan bijaksana 5.berwibawa 6.berakhlak mulia
7.menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat
8.secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri
9.mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan
13 14 15 16 17 18 Kompetensi sosial
1.berkomunikasi lisan, tulisan dan isyarat
2.menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional
3.bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orangtua/wali
4.bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar 19 20 21 22 Kompetensi profesional
1.penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam
23,24
Pengukuran variabel profesionalisme guru didasarkan pada
indikator-indikatornya. Masing-masing indikator dijabarkan dalam
bentuk pernyataan dan dinyatakan dalam lima skala sikap. Untuk
pernyataan positif yaitu: sangat setuju (SS) = 5; setuju (S) = 4; ragu-ragu
(R) = 3; tidak setuju (TS) = 2; sangat tidak setuju (STS) = 1. Sedangkan
untuk pernyataan negatif yaitu: sangat setuju (SS) = 1; setuju (S) = 2;
ragu-ragu (R) = 3; tidak setuju (TS) = 4; sangat tidak setuju (STS) = 5.
2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan
diri sendiri, mengelola, dan mengekpresikannya dengan tepat, termasuk
dengan baik dalam membina hubungan dengan orang lain. Dimensi
kecerdasan emosional mencakup: mengenali emosi, mengelola emosi,
memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan
dengan orang lain (Goleman, 2005:57-59). Berikut ini disajikan tabel
operasionalisasi variabel kecerdasan emosional:
Tabel 3.2
Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional
Dimensi Indikator No. Pertanyaan
Mengenali emosi
1.mengenali emosi diri 2.mengetahui kekuatan diri 3.mengetahui keterbatasan diri
4.memiliki keyakinan akan kemampuan sendiri 1 2 3 4 Mengelola emosi
1.mampu menahan emosi dan dorongan negatif
2.menjunjung tinggi norma-norm