• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar : survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan swasta di Kota Madya Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar : survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan swasta di Kota Madya Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
318
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH

LOCUS OF CONTROL

, KULTUR KELUARGA,

DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR

Survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya, Yogyakarta

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh:

Ima Rachmaningsih 021334123

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Desember 2008

Penulis

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Ima Rachmaningsih

Nomor Mahasiswa : 021334123

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR

SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR

Survei pada siswa -siswi kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya, Yogyakarta

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempub likasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 19 Februari 2009

Yang menyatakan

(6)

v ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, KULTUR

SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei Pada Siswa-Siswi kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya Yogyakarta

Ima Rachmaningsih Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh

locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh kultur keluarga pada hubungan antar kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Penelitian ini dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kota Madya Yogyakarta. Populasi penelitian ini sebanyak 8177 siswa. Sampel penelitian ini 400 siswa. Teknik pengambilan sample adalah proportional

sampling dan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.

(7)

vi ABSTRACT

THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE AND

SCHOOL CULTURE TOWARDS THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING

ACHIEVEMENT

A Survey at 3rd Grade Students State and Private of Junior High Schools in Yogyakarta

Ima Rachmaningsih Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

This research aims to identify whether: (1) there is influence of locus of control towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (2) there is influence of family culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (3) there is influence of school culture towards the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.

This research was carried out at private and state Junior High Schools in Yogyakarta. The research population were 8177 students. The samples of the research were 400 students. The techniques of taking the sample were proportional sampling and purposive sampling. The data collecting methods were questionnaire and documentation. The data analysis technique was regression model developed by Chow.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas berkat, rahmat dan hadayah-Nya selama dalam proses pengerjaan

skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikannya. Skripsi yang berjudul

Pengaruh Locus of control, Kultur Sekolah, dan Kultur Keluarga terhadap

Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar“ ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sanata Dharma.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan,

dukungan, bimbingan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Bersamaan

dengan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak L. Saptono, S. Pd., M. Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Akuntansi, Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak L. Saptono, S. Pd., M. Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberi masukan, saran, semangat dan sabar mau membimbing dalam

menyelesaikan skripsi. Terima kasih banget………ya pak.

5. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S. Pd., M. Si, yang telah menguji dan

(9)

viii

6. Bapak Drs. Bambang Purnomo, SE., M. Si, yang telah menguji dan memberi

masukan, sumbangan pemikiran dan saran dalam penulisan skripsi.

7. Para dosen Program Studi Akuntansi, Universitas Sanata Dharma yang telah

memberi bekal ilmu selama penulis belajar dan kuliah di kelas. Mohom maaf

jika penulis banyak kesalahan selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan.

8. Para karyawan sekretariat Pendidikan akuntansi, Universitas Sanata Dharma

yang telah banyak membantu dalam menyampaikan dan memberikan

informasi kepada penulis.

9. Kepala Sekolah SMP Negeri 6 Yogyakarta, SMP Muhammadiyah 5, SMP

Bopkri 3, SMP Pangudiluhur 2, SMP Perintis dan segenap guru dan karyawan

yang telah memberi kesempatan penulis melakukan penelitian serta membantu

penulis dalam melengkapi segala kebutuhan yang diperlukan dari sekolah.

10.Bapak, Ibu (terma kasih semangat dan doanya selalu) dan adik-adikku atas

segala dukungan baik secara moril maupun materiil selama proses pengerjaan

dan penyelesaian skripsi

11.Om, tante, widi dan shinta yang telah banyak membantu dengan menyediakan

sarana dan prasarana serta bimbingan, dukungan dan doanya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi. Terima kasih dan mohon maaf kalau selama ini

penulis banyak kesalahan

12.untuk de Erma makasih sarana dan prasarananya saat aku pendadaran, selalu

jadi teman becanda, curhatku. Pokoknya is the best………

13.Untuk orang yang masih aku sayangi, favfva makasih ya atas doanya selama

(10)

ix

14.Teman-temanku sigit, tante, esti, risa, spt, dhita, dewi makasih banget ya doa

dan dukungannya.

15.Semua teman-teman PAK’02, khususnya PAK C makasih semua…..semoga

kalian sukses.

16.Teman-teman baruku astri, agnes, cheche yang memberi semangat dan

kerjasama dalam berjuang…. Cayo kita bisa.

17.Semua phak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulis skripsi

ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu untuk menyempurnakan skripsi ini

dimohon untuk memberikan masukan, saran dan kritikan yang membangun.

Sekiranya apa yang telah penulis buat ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca

dan semua pihak yang berhubungan dengan pendidikan.

(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... iv

ABSTRAK……….. v

ABSTRACT………... vi

KATA PENGANTAR………... vii

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiii

BAB I PENDAHULUAN

D. Kecerdasan Emosional……….. 25

E. Prestasi Belajar……….. 28

F. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan………... 34

G. Kerangka Berpikir………. 35

H. Rumusan Hipotesis……… 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian……….. 42

B. Tempat dan waktu penelitian……… 42

C. Subjek dan Objek Penelitian……….. 42

D. Variabel Penelitian dan Pengukurannya………... 43

E. Populasi dan Sampel 1. Populasi……… 52

2. Sampel……….. 52

3. Teknik Pengambilan Sampel………... 52

F. Tehnik Pengumpulan Data………. 53

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas………. 54

2. Uji Reliabilitas………. 58

H. Tehnik Analisis Data 1. Deskripsi data………... 59

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a. Uji Normalitas……… 59

(12)

xi

3. Pengujian Hipotesis Penelitian……… 61

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data………... 64

1. Deskripsi Responden Penelitian………... 64

2. Deskripsi Variabel Penelitian………... 66

a. Locus of control……….. 66

b. Kultur Keluarga……….. 67

c. Kultur Sekolah……… 73

d. Kecerdasan Emosional………... 78

e. Prestasi Belajar………... 79

B. Analisa Data……….. 81

1. Pengujian Prasyarat Analisa Data……… 81

2. Pengujian Hipotesis……….. 83

C. Pembahasan Hasil Penelitian………. 98

1. Pengaruh Locus of control pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa……... 98

2. Pengaruh Kultur Keluarga pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa……... 101

3. Pengaruh Kultur Sekolah pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa……….. 103

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………... 105

B. Keterbatasan Penelitian……… 107

C. Saran……….. 107

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Operasional Variabel Locus of Control………. 43

Tabel 3.2 Operasional Variabel Kultur Keluarga……….. 46

Tabel 3.3 Operasional Variabel Kultur Sekolah ……….. 48

Tabel 3.4 Operasional Variabel Kecerdasan Emosional ……….. 50

Tabel 3.5 Nama-nama Sekolah di Kodya ………. 52

Tabel 3.6 Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control………... 55

Tabel 3.7 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ………... 55

Tabel 3.8 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Sekolah ………. 56

Tabel 3.9 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional ……… 57

Tabel 4.1 Jenis Kelamin Responden ……… 64

Tabel 4.2 Jenis Pekerjaan Orang Tua (Ayah) ……….. 65

Tabel 4.3 Jenis Pekerjaan Orang Tua (Ibu) ……….. 65

Tabel 4.4 Asal Sekolah Siswa ……….. 66

Tabel 4.5 Locus of Control Siswa ……… 66

Tabel 4.6 Kultur Keluarga pada Dimensi Power Distance ……….. 67

Tabel 4.7 Kultur Keluarga pada Dimensi Collectivism vs Individualism …… 68

Tabel 4.8 Kultur Keluarga pada Dimensi Femininity vs Masculinity ……….. 70

Tabel 4.9 Kultur Keluarga pada Dimensi Uncertainty Avoidance …………... 71

Tabel 4.10 Deskripsi Kultur Keluarga ………... 72

Tabel 4.11 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Power Distance ………. 73

Tabel 4.12 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Collectivism vs Individualism 74

Tabel 4.13 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Femininity vs Masculinity …. 75 Tabel 4.14 Kultur Sekolah Siswa pada Dimensi Uncertainty Avoidance …….. 76

Tabel 4.15 Deskripsi Kultur Sekolah ………. 78

Tabel 4.16 Kecerdasan Emosional ………. 78

Tabel 4.17 Prestasi Belajar ………. 79

Tabel 4.18 Hasil Pengujian Normalitas ……….. 81

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ……… 113

Lampiran 2 Validitas dan Reliabilitas ……… 122

Lampiran 3 Data Variabel Penelitian ………. 126

Lampiran 4 Distribusi Frekuensi ……… 165

Lampiran 5 Normalitas dan Linieritas ………... 208

Lampiran 6 Regresi ……… 209

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan siswa dalam belajar (prestasi belajar siswa) biasanya

tampak dari hasil evaluasi belajar yang dilaksanakan oleh seorang guru.

Evaluasi belajar umumnya dijalankan secara periodik oleh guru untuk

mengetahui apakah siswa mampu mencapai target yang telah ditetapkan dalam

suatu program pendidikan (Muhibbin Syah, 2001:85). Dengan demikian

evaluasi belajar bermanfaat untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan

siswa dalam belajar.

Namun dewasa ini telah timbul kesadaran baru bahwa keberhasilan

seorang siswa tidak semata- mata diukur dari prestasi saja, tetapi juga

dipengaruhi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan

mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan

memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada

diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 1999:512).

Dengan demikian ada dugaan kuat bahwa semakin tinggi kecerdasan

emosional siswa maka akan semakin tinggi prestasi belajarnya.

Kuat atau lemahnya derajat hubungan kecerdasan emosional dan

prestasi belajar siswa diduga dipengaruhi oleh locus of control, kultur

keluarga, dan kultur sekolah. Locus of control adalah suatu konsep yang

memberi gambaran akan keyakinan diri seseorang mengenai sumber penentu

(16)

status (penghargaan status), dominance (dominasi), independence

(ketergantungan), protection dependensi (perlindungan ketergantungan), love

and affection (cinta dan kasih sayang), dan physical commfot (kenyamanan

fisik). Ada dugaan bahwa siswa yang memiliki locus of control internal

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih

tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal.

Hal ini disebabkan pada siswa yang memiliki locus of control internal

bercirikan bahwa individu akan merasakan adanya hubungan antara usaha

yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya. Sebaliknya pada

siswa dengan locus of control eksternal akan bercirikan bahwa individu akan

merasa apa yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari

campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu

kesempatan.

Sebagian besar waktu siswa ada dalam lingkungan keluarga dan

lingkungan sekolah. Masing- masing lingkungan tersebut memiliki

kebiasaan-kebiasaan atau kultur yang akan membedakan siswa satu dengan yang lainnya.

Kultur keluarga adalah suatu nilai- nilai yang dimiliki suatu

masyarakat/keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang

berlangsung turun temurun. Kondisi demikian menyebabkan derajat hubungan

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat berbeda pada

kultur keluarga yang berbeda. Dimensi kultur keluarga meliputi: power

distance, collectivism vs individualism, femininity vs masculinity dan

(17)

kecil derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga lebih tinggi

dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance

besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan

power distance kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga,

menghormati orang tua, orang tua punya otoritas, dan punya ketergantungan

orang tua, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa

yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar, maka

kecerdasan emosionalnya akan rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan

kecerdasan emosional sis wa diduga lebih tinggi dibandingkan siswa yang

berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan

siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism yang tampak

dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok, mampu

mengelola keuangan untuk keluarga, merasa bersalah jika melanggar

peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota keluarga maka

kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal

dari kultur keluarga yang bercirikan individualism maka kecerdasan

emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan

kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang

berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan

siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity yang tampak dari

(18)

peran wanita lebih rendah dari orang tua, dan belajar bersama menjadi rendah

hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang

berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan

emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah,

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga

lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang

bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal

dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari

adanya inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti, keluarga menjadi tempat

untuk belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan emosionalnya lebih

tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang

bercirikan uncertainty avoidance kuat maka kecerdasan emosionalnya lebih

rendah.

Kultur sekolah adalah sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah

yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.

Dimensi kultur sekolah meliputi : power distance,. collectivism vs

individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance. Pada

kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan

kecerdasan emosional siswa diduga akan lebih tinggi dibandingkan dengan

siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar. Hal ini

disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil yang

(19)

bebas berpendapat, ada komunikasi dua arah, orang tua mempunyai peran,

pengembangan kemampuan dan bakat, dan aturan serta norma di sekolah

maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya siswa yang berasal

dari kultur sekolah dengan power distance besar, maka kecerdasan

emosionalnya lebih rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan

kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang

berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan

siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism yang tampak

dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas, tingkat

penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap positif dalam mengerjakan

tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka kecerdasan emosionalnya

lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang

bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan

kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang

berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan

siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity yang tampak dari

adanya kompetensi di dalam kelas, siswa berorientasi pada prestasi, dan

kompetensi guru maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya

pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, maka

(20)

Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah

derajat hubungan kecerdasan emosiona l dengan prestasi belajar siswa diduga

lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang

bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal

dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari

adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan hubungan antara guru,

siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru

maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang

berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance, kuat maka

kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengidentifikasi apakah ada

pengaruh locus of control, kultur keluarga dan kultur sekolah pada hubungan

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Penelitian ini selanjutnya

dituangkan dalam judul “Pengaruh Locus of control, Kultur Sekolah, dan

Kultur Keluarga terhadap Hubungan antara Kecerdasan Emosional

dengan Prestasi Belajar“. Penelitian ini merupakan survei pada siswa kelas 3

SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya Yogyakarta.

B. Batasan Masalah

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi

belajar, diantaranya: locus of control, motivasi belajar, sarana dan prasarana,

kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur sekolah dan

(21)

luasnya ruang lingkup maka penulis hanya membatasi dan memfokuskan

penelitian pada pengaruh locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah,

pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Apakah ada pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar ?

2. Apakah ada pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar ?

3. Apakah ada pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dirumuskan tujuan penilitian sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh locus of control pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

2. Untuk mengetahui pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

3. Untuk mengetahui penaruh kultur sekolah pada hubungan antara

(22)

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi sekolah

mengenai pengaruh locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah dan

kecerdasan emosional terhadap pencapaian prestasi belajar pada siswa.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penilitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian

(23)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Locus of Control

1. Pengertian locus of control

Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter,

adalah suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan

seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Jung, 1978:107). Ia

mengelompokkan locus of control ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of

control internal dan locus of control eksternal. Individu yang yang

mempunyai locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang

terjadi pada dirinya adalah pengaruh dari dirinya. Dari apa yang ia

lakukan, ia mampu mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya

sendiri.

Jika individu percaya bahwa mereka hanya mempunyai sedikit

kendali atas apa yang terjadi, maka mereka termasuk dalam golongan

locus of control eksternal. Demikian juga dengan individu yang percaya

bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari takdir,

kesempatan, keberuntungan dan nasib dikelompokkan sebagai individu

dengan locus of control eksternal. Keberhasilan atau kegagalan dalam

hidupnya dipandang sebagai nasib, faktor keberuntungan, kesempatan,

karena kekuasaan orang lain atau karena kondisi-kondisi yang tidak dapat

dikuasainya. Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori

(24)

Rotter yaitu: potensi perilaku (behaviour potential), harapan (expectancy),

dan nilai penguatan (reinforcement value). Mc Millan (Jung 1978:107)

menjelaskan hubungan dari tiga istilah tersebut, yaitu perilaku individu

tergantung pada harapan- harapan dalam suatu tingkah laku tertentu akan

memberikan penguatan, dan nilai penguatan tersebut dapat memuaskan

kebutuhan individu. Jika individu berhasil memperoleh penguatan yang

diharapkan, maka selanjutnya individu tersebut akan cenderung meyakini

bahwa penguatan tersebut diperoleh bukan dari dirinya sendiri.

Gibson Ivancevich Donelly (1997:113) menyebutkan letak

kendali (locus of control) individu mencerminkan tingkat dimana mereka

percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri

mereka. Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir

mereka sendiri. Tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka

sebagai korban dari takdir, mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada

diri mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan (Robbins,

1999:42).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan locus of

control adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya

baik perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang

dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control

internal akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

(25)

dengan locus of control eksternal keberhasilan dirinya tergantung dari luar

dirinya.

2. Penggolongan locus of control

Locus of control adalah suatu keyakinan individu mengenai

sumber penentu perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Secara garis besar terdiri dari: 1) kecenderungan internal, yaitu individu

merasa bahwa segala peristiwa hidupnya terjadi karena dikendalikan dari

dirinya sendiri; 2) kecenderungan eksternal chance, yaitu individu merasa

kejadian dalam hidupnya dikendalikan dari luar dirinya seperti

keberuntungan, nasib, peluang dsb; 3) kecenderungan eksternal powerfull

others, yaitu individu merasa peristiwa dalam hidupnya dikendalikan

kekuasaan orang lain (www.ballarat.edu.au/bssh/psych/rot.htm - 8k).

Seseorang kemungkinan memiliki faktor internal lebih besar dari

pada faktor eksternal, demikian juga sebaliknya. Keyakinan seseorang

akan locus of control ada pada sepanjang kontinum tersebut, semakin

dominan locus of control internal seseorang akan semakin lemah locus of

control eksternalnya, dan sebaliknya (London dan Exner, 1978:264).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

individu dengan locus of control internal adalah individu yang merasakan

adanya hubungan antara usaha yang dilakukannya dengan akibat-akibat

yang diterimanya. Sedangkan individu dengan locus of control eksternal

(26)

berasal dari campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga

karena suatu kesempatan.

3. Perbedaan orientasi locus of control internal dan eksternal

Dengan adanya perbedaan individu dengan locus of control

internal dan individu dengan locus of control eksternal ternyata

berdampak pada adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara

hidupnya. Dalam hubungan dengan orang lain, individu dengan locus of

control internal cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai

rasa percaya diri yang tinggi, mempunyai motif berprestasi yang tinggi.

Orang yang mempunyai locus of control internal kurang konformis karena

rasa percaya diri yang dimilikinya begitu tinggi dan dapat melakukan

kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengutamakan kemampuan dan

keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang dilakukannya.

Seseorang dengan locus of control eksternal cenderung menarik

diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap otoritas

(Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu dengan

locus of control eksternal cenderung conform terhadap

pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi

disebabkan oleh faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung

mempunyai sikap menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan

(27)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu

mempunyai kecenderungan locus of control internal apabila individu

merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan

akibat-akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of

control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah

berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain dan

keberuntungan.

4. Faktor-faktor pembentuk locus of control

Locus of control dikembangkan dari teori belajar sosial (social

learning theory), berarti bahwa locus of control berhubungan dengan

lingkungan sekitarnya. Lingkunga n sekitar mempunyai pengaruh yang

dominan dalam pembentukan pribadi menjadi individu dengan locus of

control internal atau menjadi individu dengan locus of control eksternal.

Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam

diri individu yang bersifat bawaan namun terbentuk dan berkembang

dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus

of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan

kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan

mengembangkan locus of control sebagai berikut (London dan Exner,

(28)

Faktor- faktor yang mempengaruhinya adalah:

a. Faktor usia

Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih

efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya

mampu mengendalikan bermacam- macam hal dan kejadian dalam

hidunya. Dengan kata lain, locus of control bergerak dari

kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan

bertambahnya usia.

b. Pengalaman akan suatu perubahan

Penelitian Kiehlbauch (1967) dalam London dan Exner (1978:292)

menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan

locus of control yang relatif lebih eksternal dari pada teman serumah

yang telah lama bersama. Locus of control teman serumah yang akan

berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang

cenderung labil dan tak pasti selama masa transisi mendorong locus

of control individu ke arah eksternal.

c. Generalitas dan stabilitas perubahan

Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan

mempengaruhi locus of control, misalnya adanya bom nuklir,

perang, skandal politik. Pengalaman dari perubahan peristiwa

tersebut menyebabkan kecenderungan ke arah locus of control

eksternal. Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman

(29)

dan mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup

mereka.

d. Pelatihan dan pengalaman

De Charms dalam London dan Exner 1978:293 berhasil

membuktikan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan

locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes (dalam

London dan Exner, 1978:293) menemukan bahwa pengalaman

berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control

internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld

dan Dozier (dalam London dan Exner, 1978:293) mengenai

pengalaman berorganisasi dalam masyarakat. Penelitian-penelitian

tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena

pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri,

keberanian dan kemandirian pribadi.

e. Efek terapi

Beberapa peneliti (Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith dalam

dalam London dan Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa

psikoterapi berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control

internal. Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu

(30)

5. Aspek-aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh locus of control

Perbedaan kecenderungan arah locus of control ternyata

membawa akibat dalam berbagai aspek kehidupan

(Lefcourt,1982:115-117) yaitu:

a. Sikap terhadap lingkungan

Individu dengan locus of control internal menganalisa situasi dengan

sikap yang lebih terarah dan waspada daripada individu dengan locus

of control internal juga lebih aktif dalam mencari, memperoleh,

menggunakan, dan mengolah informasi yang relevan dalam rangka

memanipulasi dan mengendalikan lingkungan. Di samping itu,

individu yang mepunyai locus of control internal terbukti lebih

berorientasi pada posisi dengan kekuasaan besar, sedangkan

individu yang memilki locus of control eksternal lebih cenderung

menyukai posisi dengan kekuasaan kecil (Hrycenko & Milton dalam

Lefcourt,1982:115).

b. Pengaruh konformitas dan perubahan sikap

Beberapa penelitian (Crowne dkk dalam Lefcourt 1982:226)

menujukkan bahwa individu dengaan kecenderungan internal lebih

mampu bertahan terhadap pengaruh dan tekanan lingkungan.

Sebaliknya individu dengan kecenderungan eksternal lebih siap

untuk menerima pengaruh, mengikuti lingkungan sosial dan

menerima informasi dari orang lain.

(31)

Individu dengan kecenderungan internal lebih sering menunjukkan

perilaku menolong dari pada individu dengan kecenderungan

eksternal (Midlasky dalam Lefcourt, 1982:118).

d. Pencapaian prestasi

Menurut Shaver (Lefcourt, 1982:116), tingginya prestasi yang

dicapai oleh individu dengan locus of control internal merupakan

hasil dari kemampuananya untuk menunda menikmati penghargaan

atas hasil- hasil usahanya, serta mengurangi reaksi-reaksi negatif

yang cenderung muncul pada saat individu mengalami kegagalan.

e. Penyesuaian diri, kecemasan dan psikopatologi

Individu dengan kecenderungan internal lebih mampu untuk

menyesuaiakan diri daripada individu dengan kecenderungan

eksternal. Individu dengan locus of control internal lebih

mengandalkan diri sendiri, aktif dan memiliki kecenderungan tinggi

untuk berjuang. Hal- hal tersebut mengiring pada keberhasilan–

keberhasilan dalam penyesuiaan diri. Kesederhanaan kepercayaan

kendali yang ada dalam diri sendiri juga mendorong individu dengan

(32)

B. Kultur Keluarga

1. Pengertian kultur keluarga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1992), yang

dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku. Dalam

ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1) keunikan

sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya; (2)

mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi

ke generasi lainnya (Kotter dan Heskett, 1992:3-4).

Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus

dan peneliti. Schien (1985:9) mendefinisikan kultur sebagai:

“a pattern of basic assumption invented, or developed by a group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration that has worked well enough to be considered valid and therefore to be taught to new members as the correct way to perceived, think, and feel in relation to those problems”.

Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan

dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti benar

saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kelompok,

maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara

pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di

masa mendatang.

Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez dan Early (1993:41),

menyatakan bahwa:

(33)

essential, core of culture consist of traditional (i.e. historically derived and sellected) ideas and especially their attached values”.

Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif.

Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya

dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi kultur

adalah nilai- nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu.

Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing- masing kelompok selama

bertahun-tahun dan diyakini mengandung nilai luhur, sehingga sangat sulit

untuk berubah. Nilai- nilai itu dalam diri masyarakat nampak dalam pola

pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.

Hofstede (1991:5) mengartikan kultur sebagai:

a collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is the collective programming of the mind wich distinguishes the members of one group or category of people from another.

Hofstede (1994:4) menyebut kultur sebagai : “software of the mind”.

Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada

nilai- nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur

cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu yang

lama dan perlahan- lahan.

2. Dimensi kultur keluarga

Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk berubah,

jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan secara

bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke dalam

(34)

menyebut bahwa lembaga yang dimaksud antara lain: struktur keluarga,

struktur pendidikan, organis asi keagamaan, asosiasi-asosiasi, bentuk

pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum, kepustakaan, pola tata

ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-teori ilmiah.

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national

level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class

level, dan an organization or coporate level (Hofstede, 1994:10). Pada

tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang

mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs

individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance (from

weak to strong).

Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam

nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara berbeda.

Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian

antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan

suatu kondisi kelompok dimana individu sejak lahir diintegrasikan secara

kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinism

menunjukkan suatu kelompok dimana peran sosial gender terhadap

perbedaan yang jelas. Dimensi femininity menunjukkan masyarakat dimana

individu akan merasa terancam dalam suatu ketidakpastian.

Dimensi power distance mencakup indikator: aturan dan norma dalam

keluarga, menghormati orang tua dan orang yang lebih tua, orang tua

(35)

individualism, mencakup: demokrasi dalam keluarga, kesetiaan kepada

kelompok adalah sumber daya bersama, mampu mengelo la keuangan,

upacara keagamaan tidak boleh dilupakan, merasa bersalah jika melanggar

peraturan, dan keluarga menjadi tempat bersatunya keluarga. Indikator dari

femininity vs masculinity, mencakup: relasi antara orang tua dan anak ada

jarak, perbedaan peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan

belajar bersama menjadi rendah hati. Indikator dari uncertainty avoidance

mencakup: toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan mempunyai

inisiatif, keluarga menjadi tempat belajar, dan memiliki aturan.

C. Kultur sekolah

1. Pengertian kultur sekolah

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh

suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap,

nilai yang tercermin baik dalam bentuk fisik maupun abstrak. Kultur ini

juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai- nilai, sikap hidup, dan cara

hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus

cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu,

suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada

generasi berikutnya.

Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk

memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.

(36)

pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit

maupun implisit. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2002)

kultur adalah kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan

atau norma, tata kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu

tumbuh dan berkembang sesuai nilai- nilai dan spirit atau keyakinan yang

dianut oleh organisasi. Kultur dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan

lahiriah. Dari sisi batiniah berupa nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang

dianut oleh organisasi. Pada sisi lahiriah berupa aturan atau prosedur yang

mengatur hubungan antar anggota organisasi baik formal maupun

informal, prosedur kerja yang harus diikuti anggota organisasi, kebiasaan

kerja yang dimiliki keseluruhan anggota kelompok.

Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai

organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang

bersifat unik pula. (Vembrianto, 1993:81-82). Tiap-tiap sekolah

mempunyai kultur yang bersifat unik. Tiap-tiap sekolah mempunyai

aturan, kebiasaan, serta lambang- lambang yang memberikan corak khas

kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur mempunyai pengaruh

mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa. Apa yang dihayati siswa

berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan dan juga sikap

terhadap nilai-nilai bukan berasal dari kurikulum sekolah yang bersifat

(37)

Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah

sekolah yang tumbuh dan berkembangan berdasarkan nilai atau spirit yang

dianut sekolah tersebut. Kualitas ini mewujudkan pada keseluruhan

anggota sekolah (Depdiknas, 2002). Jadi, sesuai dengan hal yang terkait

dengan kultur, maka kultur sekolah bisa diartikan sebagai suatu nilai yang

dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya

kulitas kehidupan sekolah.

Menurut Dapiyanta (1995:93), kultur sekolah merupakan

perilaku lahir batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan

sekolah yang berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti

berhenti, melainkan dinamis dan selalu berproses. Kultur sekolah yang

positif dapat menghasilkan produk kultur yang baik seperti: peningkatan

kinerja individu dan kelompok, peningkatan kinerja sekolah dan institusi,

terjamin hubungan yang sinergi antara warga sekolah, timbul iklim

akademik yang baik serta interaksi yang menyenangkan. Kultur sekolah

yang kondusif akan tercermin dalam organisasi sekolah, deskripsi tugas

sekolah, kebijakan, aturan, tata tertib sekolah, kepemimpinan dan

hubungan serta penampilan fisik (Arief Ahmad,

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 1004/II/0310.htm).

Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah

dapat dideskripsikan sebagai pola nilai- nilai, norma-norma, sikap, ritual,

mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang

(38)

kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar

mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang

muncul di sekolah (http://www.geocities.com/pakguruonline

/pradigma_pdd_ms_depan_36.httm)

2. Dimensi kultur sekolah

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a

national level, a regional level etc, a gender level, ageneration level, a

social class level, dan an organizational or corporate level (Hofstede,

1994:10). Pada tingkat nasional kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi

yang mencakup: power distance, collectivism vs individualism, femininity

vs masculinity, dan uncertainty avoidance (from weak to strong).

Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat

dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara

berbeda. Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana

pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism

menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana individu sejak lahir

diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi

masculinity menunjukkan suatu kelompok dimana peran sosial gender

terhadap perbedaan yang jelas. Dimensi femininity menunjukkan

masyarakat dimana individu akan merasa terancam dalam suatu

(39)

Dimensi power distance mencakup indikator: perlakuan guru

terhadap proses pembelajaran, proses pembelajaran terpusat pada siswa,

kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua

arah (di kelas), peran orang tua di sekolah, aturan dan norma di sekolah,

pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan dengan

proses pembelajaran sekolah. Indikator dari collectivism vs individualism,

mencakup: kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari

guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam

mengerjakan tugas, dan tujuan berprestasi. Indikator dari femininity vs

masculinity, mencakup: suasana kompetisi kelas, berorientasi pada

prestasi, dan kompetesi guru. Indikator dari uncertainty avoidance,

mencakup: tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan

guru dalam menerangkan, dan kedekatan hubungan antara guru, siswa dan

orang tua.

D. Kecerdasan Emosional

1. Definisi kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah

kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,

kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi

dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain

(Goleman, 1999:512). Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang

(40)

(academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni

yang diukur dengan IQ.

Definisi lain diberikan oleh ahli yang menciptakan istilah

kecerdasan emosional, yakni John Mayer dan Peter Salovey (dalam

Goleman, 1999:513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai

kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang

lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran

dan tindakan.

Dua macam kecerdasan yang berbeda ini intelektual dan

emosional mengungkapkan aktivitas bagian-bagian yang berbeda dalam

otak. Kecerdasan intelektual terutama didasarkan pada kerja neokorteks,

lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas otak.

Sedangkan pusat-pusat emosi berada di bagian otak yang lebih dalam,

dalam subkorteks yang secara evolusi lebih kuno. Kecerdasan emosional

dipengaruhi oleh kerja pusat-pusat emosi ini, tetapi dalam keselarasan

dengan pusat-pusat intelektual.

2. Ciri-ciri kecerdasan emosional

Salovey dan Mayer (Goleman, 1999:513) mendefinisikan

kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan

menggendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan

perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dasar-dasar

(41)

a. Kesadaran diri; mengetahui apa yang kita rasakan pada saat, dan

menggunakannya untuk memandu pengamb ilan keputusan diri sendiri;

memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan

kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri; menangani emosi kita sedemikian sehingga

berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati

dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran;

mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi; menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk

menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita

mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan

menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Empati; merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami

perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan

menyelaraskan diri dengan bermacam- macam orang.

e. Ketrampilan sosial; menangani emosi dengan baik ketika berhubungan

dengan orang lain, dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan

sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan

keterampilan-keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah

dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja

(42)

3. Perbedaan kecerdasan emosional dan kecakapan emosional

Goleman (1999:39) membedakan antara kecerdasan emosional

dan kecakapan emosi. Goleman berpendapat bahwa kecakapan emosi

adalah kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan

emosional. Inti kecakapan emosi adalah dua kemampuan: empati, yang

melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan keterampilan

sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.

Sedangkan kecerdasan emosional menentukan potensi kita untuk

mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima

unsurnya: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan

dalam membina hubungan dengan sesama.

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan kecerdasan

emosional adalah kemampuan individu untuk menyadari perasaan diri

pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan

mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Kelima aspek tersebut

akan mendasari penelitian ini.

E. Prestasi Belajar

1. Pengertian prestasi belajar

Prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah

dilakukan, dikerjakan, dsb), sedangkan prestasi belajar adalah

penguasaaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata

(43)

diberikan oleh guru (WJS Poerwodarminto, 1978:94). Menurut Arifin

(1990:3) prestasi yang dimaksud tidak lain adalah kemampuan,

keterampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal.

Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung

dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan

perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap (W.S

Winkel, 2004:59). Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku

seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh

pengalamannya yang berulang- ulang dalam situasi itu, dimana perubahan

tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon

pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (Hilgard

dan Bower, 1975). Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat

dilihat dengan nyata; proses itu terjadi didalam diri seseorang yang sedang

mengalami belajar.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar

adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan

oleh mata pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai/angka hasil tes

yang diberikan oleh guru. Keberhasilan dalam kegiatan yang disebut

belajar akan nampak dalam prestasi belajar yang diraihnya. Prestasi belajar

dapat diketahui dari hasil evaluasi belajarnya. Evaluasi merupakan

pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi

tujuan, gagasan, cara kerja, pemecahan metode materiil, dsb (Nana

(44)

dilakukan dengan mengadakan pengukuran dalam bentuk tertulis, lisan

maupun praktek yang kemudian diberi skor yang biasanya berwujud

angka. Hasil dari pengukuran ini merupakan informasi- informasi atau data

yang diwujudkan dalam bentuk angka-angka yang disebut prestasi belajar.

Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata

pelajaran. Lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka yeng diberikan

guru. Kegiatan penilaian yaitu suatu tindakan untuk melihat sejauh mana

tujuan instrusional telah dapat dicapai oleh siswa-siswi dalam hasil belajar.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu (Dimyati dan Mujiono, 1999;235-253):

a. Faktor internal :

1) Sikap terhadap belajar

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang

sesuatu yang membawa diri sesuai dengan penilaian tentang

sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak,

atau mengabaikan kesempatan belajar.

2) Motivasi belajar

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong

terjadinya proses belajar. Motivasi ini dapat menjadi lemah.

Lemahnya motivasi, atau tiada motivasi bela jar akan

(45)

akan menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri

sendiri (siswa) perlu diperkuat terus menerus agar siswanya

memiliki hasil belajar yang baik hingga pada akhirnya nant i

semakin meningkatkan motivasi berprestasi.

3) Konsentrasi belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan

perhatian pada pelajaran yang tertuju pada isi bahan belajar

maupun proses memperolehnnya. Untuk memperkuat perhatian

pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam- macam

strategi belajar mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar

serta selingan istirahat.

4) Mengolah bahan belajar

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk

menerima isi dan cara memperoleh ajaran yang dikembangkan di

berbagai mata pelajaran sehingga lebih bermakna bagi siswa. Isi

bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama,

kesenian, serta ketrampilan mental dan jasmani. Cara

memperoleh ajaran berupa bagaimana menggunakan kamus,

daftar logaritma, atau rumusan matematika.

5) Menyimpan perolehan hasil belajar

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan

menyimpan isi pesan dan cara peroleh pesan. Kemampuan

(46)

pendek (hasil belajar cepat dilupakan) dan waktu yang lama

(hasil belajar tetap dimiliki siswa). Proses belajar terdiri dari

proses penerimaan, pengolahan, dan pengaktifan yang berupa

penguatan serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan.

Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti semua proses tersebut

berjalan lancar, akibatnya proses penggunaan hasil belajar

terganggu.

6) Kemampuan berprestasi

Kemampuan berprestasi merupakan suatu puncak proses belajar

yang membuktikan keberhasilan belajar dalam memecahkan

tugas-tugas belajar atau mentrasfer hasil belajar. Kemampuan

berprestasi terpengaruh oleh proses penerimaan, pengaktifan,

prapengolahan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan

dan pengalaman.

7) Cita-cita siswa

Cita-cita sebagai motivasi intrisik perlu didikan yang harus

dimulai sejak sekolah dasar. Cita-cita merupakan wujud

ekplorasi dan emansipasi siswa.

b. Faktor eksternal :

1) Guru sebagai pembina siswa belajar

Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia mengajar bidang studi

yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik

(47)

perhatian kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan

kebangkitan belajar yang merupakan wujud emansipasi diri

siswa. Sebagai pengajar, guru bertugas mengelola kegiatan

belajar siswa di sekolah. Adapun tugas pengelolaan pembelajaran

siswa meliputi: membangunan hubungan baik dengan siswa,

mengairahkan minat, perhatian dan memperkuat motivasi belajar

untuk berprestasi, mengorganisasi belajar, melaksanakan

pendekatan pembelajaran secara tepat, mengevaluasi hasil belajar

secara jujur dan obyektif, melaporkan hasil belajar kepada orang

tua/wali siswa.

2) Prasarana dan sarana pembelajaran

Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan

kondisi pembelajaran yang baik. Hal ini tidak berarti lengkapnya

prasarana dan sarana menetukan jaminan terselenggaranya proses

belajar dengan baik.

3) Faktor keluarga

Hubungan yang baik antar anggota keluarga dapat membantu

dalam kegiatan belajar anak, sehingga dimungkinkan prestasi

belajar menjadi baik.

4) Faktor lingkungan

Lingk ungan dimana siswa tinggal yang dapat berpengaruh

(48)

5) Kurikulum sekolah

Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu

kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah

kurikulum yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu

kurikulum yang disyahkan oleh suatu yayasan pendidikan dan

disusun berdasarkan kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum

dapat mempengaruhi: tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan,

kegiatan belajar mengajar, evaluasi yang dapat berubah.

Perubahan kurikulum dapat menimbulkan masalah bagi guru,

siswa maupun elemen-elemen dalam sekolah dan juga orang tua

siswa.

F. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Dari penelitian sebelumnya “Hubungan antara Pola Asuh Autoritatif

Orang Tua dan Prestasi Belajar“. Studi kasus pada siswa SD Godean I

Sleman (Lisa Retno Handayani, 2000) bertujuan untuk mengetahui adakah

hubungan antara pola asuh autoritatif dengan prestasi belajar siswa di SD.

Penelitian menyimpulkan semakin tinggi pola asuh autoritatif maka semakin

tinggi pula prestasi belajar pada anak. Menggunakan alat analisis korelasi

parsial

Sedangkan penelitian lain mengenai kecerdasaan emosional

“Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar“. Studi kasus

(49)

bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa

peningkatan kecerdasan emosional mendorong tingginya prestasi belajar.

Penurunan prestasi belajar berarti kecerdasan emosional turun.

Menggunakan alat analisis korelasi product moment.

Penelitian lain “Hubungan antara Presepsi Terhadap Dukungan

Keluarga dan Locus of Control Pada Remaja”. Studi kasus pada SMU

SANTO MIKAEL, Warak (Rukmi Cahyaningsih, 2001). Penelitian ini

bertujuan mengungkapkan hubungan antara persepsi terhadap dukungan

keluarga dengan locus of control pada remaja. Penelitian ini menyimpulkan

ada hubungan positif antara persepsi keluarga dan locus of control. Semakin

tinggi dukungan keluarga yang diberikan pada remaja maka semakin tinggi

locus of control yang dimiliki. Menggunakan alat analisis korelasi product

moment.

G. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosi

dengan prestasi belajar.

Locus of control merupakan sua tu keyakinan atau kepercayaan

dari individu atas penentu hidupnya. Dimensi locus of control meliputi

locus of control internal dan locus of control eksternal. Locus of control

internal adalah individu yang merasakan adanya hubungan antara usaha

(50)

locus of control eksternal adalah individu yang merasa bahwa akibat

yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari campur

tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu

kesempatan. Seorang individu dengan demikian dapat diklasifikasikan

ke dalam locus of control internal atau locus of control eksternal.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar diduga kuat berbeda pada locus of control yang berbeda. Pada

locus of control internal, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang

memiliki locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa

memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya disebabkan

oleh dirinya sendiri sehingga berdasarkan kesadaran itu siswa akan

belajar giat untuk mencapai prestasi belajar. Sebaliknya siswa dengan

locus of control eksternal cenderung lebih pasrah dan menerima

nasibnya.

2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosi

dengan prestasi belajar

Kultur keluarga adalah suatu nilai- nilai yang dimiliki suatu

masyarakat/keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang

berlangsung turun temurun. Kultur keluarga dapat diklasifikasikan ke

dalam empat dimensi, meliputi: 1). power distance; 2). collectivism vs

(51)

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda. Pada

kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan

kecerdasan emosional siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang

berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Hal ini

disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power

distance kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga,

menghormati orang tua, orang tua punya otoritas, dan punya

ketergantungan orang tua maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power

distance besar, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat

hubungan kecerdasan emosional siswa lebih tinggi dibandingkan siswa

yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini

disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan

collectivism yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia

pada kelompok, mampu mengelola keuangan untuk keluarga, merasa

bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat

berkumpul anggota keluarga maka kecerdasan emosionalnya lebih

tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang

bercirikan individualism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat

(52)

yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini

disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity

yang tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua,

perbedaan peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan

belajar bersama menjadi rendah hati maka kecerdasan emosionalnya

lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga

yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih

tinggi.

Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance

lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga

yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa

yang berasal dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah

yang tampak dari adanya inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti,

keluarga menjadi tempat untuk belajar, dan memiliki aturan maka

kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang

berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat,

maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. .

3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar.

Kultur sekolah adalah sebagai suatu nilai yang dianut oleh

sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas

(53)

empat dimensi, meliputi: 1). power distance; 2). collectivism vs

individualism; 3). femininity vs masculinity; 4). uncertainty avoidance.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat berbeda pada kultur sekolah yang berbeda.

Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat

hubungan kecerdasan emosional siswa akan lebih tinggi dibandingkan

dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance

besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power

distance kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada

siswa, kesempatan bertanya, bebas berpendapat, ada komunikasi dua

arah, orang tua mempunyai peran, pengembangan kemampuan dan

bakat, dan aturan serta norma di sekolah maka kecerdasan emosionalnya

lebih tinggi. Sebaliknya siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan

power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat

hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa

yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini

disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan

individualism yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan

pendapat, penyelesaian tugas, tingkat penerimaan diri terhadap orang

lain, bersikap positif dalam mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk

(54)

siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism,

maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat

hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa

yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini

disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity

yang tampak dari kurang adanya kompetensi di dalam kelas, siswa

berorientasi pada prestasi, dan kompetensi guru, maka kecerdasan

emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari

kultur sekolah yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan

emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance

lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah

yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa

yang berasal dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah

yang tampak dari adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan

hubungan antara guru, siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan

siswa dengan kekurangan guru maka kecerdasan emosionalnya lebih

tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang

bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya

Gambar

Operasional Variabel Tabel 3.1 Locus of Control
Tabel 3.2 Operasional Variabel Kultur Keluarga
Tabel 3.3 Operasional Variabel Kultur Sekolah
Tabel 3.4 Operasional Variabel Kecerdasan Emosional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai ketentuan yang ber laku, maka Panitia Pengadaan Bar ang/ Jasa Dinas Kesehatan Kabupaten Tapin akan melakukan kegiatan Pembuktian Kualifikasi kepada peser ta lelang

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan

(8) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Menimbang bahwa Pembanding dalam memori bandingnya mengajukan keberatan yang dapat disimpulkan pada pokoknya Pembanding tidak sependapat dengan pertimbangan dan Putusan

(1) Dari persamaan (1) menunjukkan samakin besar luas transfer panasnya (A) maka panas yang dipindahkan akan semakin besar.Seberapa besar manfaat pemasangan sirip ini bisa ditinjau

1) Memastikan/mengecek semua barang inventaris, dalam keadaan lengkap, buku jurnal terisi dengan baik, situasi dalam keadan aman. 2) Memeriksa daftar dan barang infentaris.

AAA mempunyai petani mitra dengan lahan yang menghasilkan sayuran dalam tiap periode tertentu, oleh karena itu masalah yang dihadapi dilapangan adalah bagaimana menyiapkan