• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
280
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN

KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN

EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh :

Petrus Sigit Jinianto NIM : 021334103

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Kita sering berkata

: “Hal itu tidak mungkin bisa aku lakukan”.

Tetapi Tuhan menjawab : “Semua hal Mungkin”.

Kita sering kesal dan berkata : “Saya tidak mampu menyelesaikannya”.

Tetapi Tuhan bersabda

: “Aku akan membimbing langkah- langkahmu”.

Kita sering tidak tahan dan berkata : “Saya tidak dapat melanjutkan lagi”.

Tetapi Tuhan meyakinkan

: “Aku sabar menantimu bangun lagi”.

dan...

Kita suatu saat berkata : “Saya lelah dan letih sekali”.

Tuhan- pun menghibur : “Aku akan mengijinkanmu istirahat”.

Ku p e rs e m ba h ka n u n tu k:

Tu h a n Ye s u s Kris tu s a ta s s e ga la be rka t-N ya Bu n d a Ma ria a ta s bim bin ga n d a n tu n tu n a n -N ya Ba p a k d a n Ibu s e rta Ad ik te rcin ta

Te m a n -te m a n ya n g s e la lu m e n d u ku n gku Alm a m a te rku

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : PETRUS SIGIT JINIANTO Nomor Mahasiswa : 021334103

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : PENGARUH

LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR

SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupaun memberikan royalty kepada saya selamA tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyatan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 29 Februari 2008

(6)
(7)

ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN

EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA Survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Petrus Sigit Jinianto Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif

locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari s/d Mei. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP yang ada di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sampel penelitian sejumlah 378 siswa. Teknik pegambilan sampel yang digunakan adalah propotional sampling dan purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data adalah model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (koefisien regresi sebesar 0,039 dan signifikansi koefisien regresi =ρ = 0,000 < α= 0,05); (2) ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa (koefisien regresi sebesar 0,016 dan signifikansi koefisien regresi =ρ = 0,032 < α = 0,05); (3) ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa ( koefisien regresi sebesar 0,017 dan signifikansi koefisien regresi =ρ = 0,026 < α= 0,05).

(8)

ABSTRACT

THE EFFECT OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY

CULTURE, AND SCHOOL CULTURE TOWARDS THE

RELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGECE AND

THE STUDENT’S LEARNING ACHIEVEMENT

A Survey on the year students of State and Private Junior High School in Kabupaten Bantul, Regency Yogyakarta

rd

3

Petrus Sigit Jinianto Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

The research aims to find out whether: (1) there is a positive effect of locus of control towards the relation between emotional intelligence and the student’s learning achievement; (2) there is a positive effect of family culture towards the relation between emotional intelligence and the student’s learning achievement; (3) there is a positive effect of school culture towards the relation between emotional intelligence and the student’s learning achievement.

The research conducted from February to May 2007. The subject of the study was the year students of all junior high schools in Bantul, Regency Yogyakarta. The samples of the research were 378 students. The techniques applied to gather the samples were propotional sampling and purposive sampling. The techniques of gathering the data were questionnaire and documentation. The data analysis technique was Chow’s regression equivalent model.

rd

3

The result of the research shows that : (1) there is a positive effect of locus of control towards the relation between emotional intelligence and the student’s learning achievement (regression coefficient = 0.039 and the significance of regression coefficient = ρ = 0.000 < α= 0.05); (2) there is a positive effect of family culture towards the relation between emotional intelligence and the student’s learning achievement (regression coefficient = 0.016 and the significance of regression coefficient = ρ = 0.032 < α= 0.05); (3) there is a positive effect of school culture towards the relation between emotional intelligence and the student’s learning achievement(regression coefficient = 0.017 and the significance of regression coefficient =ρ = 0.026 < α= 0.05).

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan atas berkat,

rahmat dan penyertaan-Nya selama dalam proses pengerjaan skripsi sehingga

penulis dapat menyelesaikannya. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Locus of Control, Kultur Keluarga dan Kultur sekolah pada Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa” ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi

Pendidikan Akuntansi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Sanata Dharma.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan,

dukungan, bimbingan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Bersamaan

dengan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak L. Saptono, S. Pd., M. Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Akuntansi, Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak L. Saptono, S. Pd., M. Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberi masukan, saran, semangat dan sabar mau membimbing dalam

menyelesaikan skripsi. Nuwun ngih Pak...matur nuwun sanget.

5. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M. Si, yang telah memberi masukan,

sumbangan pemikiran dan saran dalam penulisan skripsi.

6. Ibu Natalina Premastuti Brataningrum, S.Pd, yang telah menguji dan

memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini.

7. Para dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi, Universitas Sanata Dharma

yang telah memberi bekal ilmu selama penulis belajar dan kuliah di kelas.

Mohon maaf jika banyak kesalahan selama penulis mengikuti kegiatan

perkuliahan.

(10)

8. Para karyawan sekretariat Pendidikan Akuntansi, Universitas Sanata Dharma

yang telah banyak membantu dalam menyampaikan dan memberikan

informasi kepada penulis.

9. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Pandak, SMP Muhammadiyah Piyungan,

SMP Bopkri Bantul, SMP Nasional Bantul, SMP Pangudi Luhur Sedayu,

SMP Negeri 4 Sewon dan segenap guru dan karyawan yang telah memberi

kesempatan penulis melakukan penelitian serta membantu penulis dalam

melengkapi segala kebutuhan yang diperlukan dari sekolah.

10. Bapak, Ibu (terima kasih atas doanya) dan adik atas segala dukungan baik

secara moril maupun materiil selama proses pengerjaan dan penyelesaian

skripsi.

11. Keluarga Bapak Ruslan yang telah banyak membantu dengan menyediakan

sarana dan prasarananya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

Matur nuwun sanget sampun dipun biantu...nyuwun ngapunten amargi

sampun ngrepoti.

12. Teman seperjuangan Tadeus, Edi dan Ima terima kasih atas segala bantuan

dan pengalamannya semoga perjuangan kita dulu membuat persaudaraan kita

semakin dekat...ocre!!!! Ima...tetap semangat ya kami tetap memberi

semangat untuk perjuanganmu.

13. Untuk Toro (nuwun yo wis entuk ngrepoti), Tomas, Banu, Cipluk, Nina,

MM, Cat, Uci, Sari (trims bukunya), Astuti, Sastro, Gabuk, Andre, Valent,

Boim, Bowo terima kasih atas bantuan dan dukungan semangatnya.

14. Untuk teman-teman PAK’02 lainnya khususnya PAK C’02 terima kasih

semua...jangan lelah belajar dan tetap semangat.

15. Mbak Manis dan Mbak Asih yang sudah mau sedikit direpotkan sehingga

persiapan untuk presentasi dapat terselesaikan.

16. Temen-temen Persekutuan Doa Malam Minggu yang telah memberikan

banyak pelajaran untuk menjalani segala sesuatu dengan penuh syukur dan

suka cita...maaf kalau beberapa bulan ini aku tidak datang untuk

kumpul bareng dengan teman-teman, doakan supaya aku tetap semangat

dalam menjalani hidup.

(11)

17. Temen-temen Mudika St. Eduardus dan St. Vincentius terima kasih atas

segala pengalaman yang berguna bagiku, dengan berkumpul bersama

menjadikan aku tahu bahwa Tuhan selalu menyertaiku.

18. Teman-teman Jubilate Deo ...(mbak Vista, mas Narno, bung Didit,

bung Indra, mas lucky, Bowo, Tyas, mas Heru, mas Paul, Rian, Thokrik,

Angki, mbak Lucy, Tesi, Nia, Momon, Epi, Nora...dan teman-teman lain)

yang telah menjadi teman belajar dalam berbagi pengalaman, tempat ber sing

and song bareng.

19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi

ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu untuk menyempurnakan skripsi ini

dimohon untuk memberikan masukan, saran dan kritikan yang membangun.

Sekiranya apa yang telah penulis buat ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca

dan semua pihak yang berhubungan dengan pendidikan

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………. Iii MOTTO……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. v

ABSTRAK……… vi

ABSTRACT……….. vii

KATA PENGANTAR……….. viii

DAFTAR ISI………. xi

DAFTAR TABEL……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN……… xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………..

B. Batasan Masalah………..

C. Rumusan Masalah………

D. Tujuan Penelitian……….

E. Manfaat Penelitian………...

1

7

7

7

8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Locus of Control…..………. 1. Pengertian locus of control………... 2. Penggolongan locus of control………. 3. Perbedan orientasi locus of control internal dan

eksternal………

4. Faktor pembentuk locus of control………... B. Kultur Keluarga……….

1. Pengertian kultur keluarga………

2. Dimensi kultur keluarga………...

9

9

11

12

13

16

16

17

(13)

C. Kultur Sekolah..………

1. Pengertian kultur sekolah……….

2. Dimensi kultur sekolah……….

D. Kecerdasan Emosional………..

1. Definisi kecerdasan emosional……….

2. Ciri-ciri kecerdasan emosional……….

3. Perbedaan kecerdasan emosional dan kecakapan

emosional……….

E. Prestasi Belajar……….

1. Pengertian prestasi belajar………

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar..

F. Kerangka Teoretik dan Hipotesis………. 19 19 21 22 22 23 25 25 25 27 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian………..

B. Tempat dan Waktu Penelitian………...

C. Subjek dan Objek Penelitian……….

D. Variabel Penelitian dan Pengukuran……….

E. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel…….

F. Teknik Pengumpulan Data...……….

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ………

1. Pengujian Validitas………

2. Pengujian Reliabilitas………

H. Teknik Analisa Data….………. 38 38 38 39 46 47 48 48 52 53

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data………... 58

1. Deskripsi Data Responden Penelitian………

2. Deskripsi Variabel Penelitian………. 58

61

B. Analisis Data……….

1. Uji Normalitas………

2. Uji Linearitas………. 74

74

75

(14)

C. Pengujian Hipotesis………..

1. Hipotesis I………..

2. Hipotesis II……….

3. Hipotesis III………

D. Pembahasan Hasil Penelitian………. 75

75

77

82

88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………... 98

B. Keterbatasan Penelitian………

C. Saran Penelitian………

100

100

DAFTAR PUSTAKA

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Tabel Operasional Variabel Locus of Control... Tabel 3.2 : Tabel Operasional Variabel Kultur Keluarga...

Tabel 3.3 : Tabel Operasional Variabel Kultur Sekolah...

Tabel 3.4 : Tabel Operasional Variabel Kecerdasan Emosional...

Tabel 3.5 : Asal Sekolah dan Jumlah Sampel...

Tabel 3.6 : Tabel Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control. Tabel 3.7 : Tabel Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga..

Tabel 3.8 : Tabel Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Sekolah....

Tabel 3.9 : Tabel Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan

Emosional...

Tabel 3.10 : Tabel Hasil Pengujian Reliabilitas Variabel Penelitian...

Tabel 4.1 : Jenis Kelamin Responden...

Tabel 4.2 : Jenis Pekerjaan Orang Tua (Ayah)...

Tabel 4.3 : Jenis Pekerjaan Orang Tua (Ibu)...

Tabel 4.4 : Asal Sekolah Siswa………..

Tabel 4.5 : Locus of Control………

Tabel 4.6 : Deskripsi Kultur Keluarga pada Dimensi Power Distance... Tabel 4.7 : Deskripsi Kultur Keluarga pada Dimensi Collectivism vs

Individualism……….

Tabel 4.8 : Deskripsi Kultur Keluarga pada Dimensi Masculinity vs

Femininity……….

Tabel 4.9 : Deskripsi Kultur Keluarga pada Dimensi Uncertainty

Avoidance……….

Tabel 4.10 : Deskripsi Kultur Keluarga………

Tabel 4.11 : Deskripsi Kultur Sekolah pada Dimensi Power Distance....

Tabel 4.12 : Deskripsi Kultur Sekolah pada Dimensi Collectivism vs Individualism...

39

41

42

44

46

49

49

50

51

52

58

59

59

60

61

62

63

64

65

66

67

68

(16)

Tabel 4.13 : Deskripsi Kultur Sekolah pada Dimensi Masculinity vs Femininity... Tabel 4.14 : Deskripsi Kultur Sekolah pada Dimensi Uncertainty

Avoidance... Tabel 4.15 : Deskripsi Kultur Sekolah...

Tabel 4.16 : Deskripsi Kecerdasan Emosional...

Tabel 4.17 : Deskripsi Prestasi Belajar...

Tabel 4.18 : Hasil Pengujian Normalitas...

Tabel 4.19 : Hasil Pengujian Linieritas... 69

70

71

72

73

74

75

(17)

xvi

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuesioner... Lampiran 2 : Validitas dan Reliabilitas... Lampiran 3 : Data Induk Penelitian... Lampiran 4 : Data Korelasi... Lampiran 5 : Tabel Frekuensi... Lampiran 6 : Distribusi Frekuensi... Lampiran 7 : PAP Tipe II... Lampiran 8 : Kuder Richardson. 20... Lampiran 9 : Normalitas dan Linearitas... Lampiran 10 : Regresi dan Korelasi... Lampiran 11 : Penilaian Koefisien Korelasi... Lampiran 12 : Surat Ijin...

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kemajuan

pada berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut menuntut setiap orang untuk bisa

mengikuti perkembangan agar tidak ketinggalan jaman. Sejalan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu ada usaha peningkatan

kualitas sumber daya manusia. Seseorang perlu belajar agar terus dapat

mengembangkan potensi dan daya yang mereka miliki. Dengan kata lain perlu

ada kegiatan pendidikan bagi individu-individu menjadi orang yang

berkemampuan.

Sekolah telah menjadi tempat bagi orang-orang menimba ilmu

pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang. Di

sekolah, kemampuan individu (siswa) sebagai orang yang mencari ilmu akan

dikembangkan. Perkembangan kemampuan siswa tersebut ditunjukkan dari

capaian prestasi belajar. Tentu saja prestasi yang dicapai siswa dalam belajar

di sekolah ini tidak hanya dari apa yang telah diberikan dan dipelajari di

sekolah, tetapi juga dari pengalaman belajar serta dorongan baik dari dalam

dan luar diri siswa (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/16/1104

.htm).

Tinggi rendahnya prestasi belajar siswa diduga kuat berhubungan

dengan tingkat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah

(19)

2

kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,

kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi

dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain

(Goleman, 1999:512). Siswa yang bisa memotivasi diri untuk belajar dan

dapat mengolah emosi untuk mendorong diri sendiri dalam hal membangun

sikap positif menanggapi masalah, maka akan mudah meraih prestasi

belajarnya. Sebaliknya pada siswa yang tidak dapat memotivasi diri dan

mengolah, maka akan menghambat mereka dalam mencapai prestasi

belajarnya.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa

diduga kuat dipengaruhi oleh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah. Locus of control merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya. Ada individu yang memiliki kepercayaan diri

tinggi, namun ada individu yang hidupnya ditentukan dari luar dirinya.

Dengan demikian derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat berbeda pada locus of control yang berbeda. Pada

locus of control internal, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang

memiliki locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh dirinya sendiri

sehingga berdasarkan kesadaran itu siswa akan belajar giat untuk mencapai

(20)

Kultur keluarga adalah suatu nilai-nilai yang dimiliki suatu

masyarakat/keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang

berlangsung turun temurun. Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar siswa diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda.

Pada kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan

siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance

kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga, menghormati orang tua,

orang tua punya otoritas, dan punya ketergantungan orang tua maka

kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal

dari kultur keluarga dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan

siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism

yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok,

mampu mengelola keuangan untuk keluarga, merasa bersalah jika melanggar

peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota keluarga maka

kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal

dari kultur keluarga yang bercirikan individualism, maka kecerdasan

(21)

4

Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih rendah dibandingkan

siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity yang tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua, perbedaan peran

orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan belajar bersama menjadi

rendah hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada

siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih

tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti, keluarga menjadi tempat untuk

belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang

mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga

kuat berbeda pada kultur sekolah yang berbeda. Pada kultur sekolah yang

(22)

akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah

dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada siswa, kesempatan bertanya, bebas berpendapat, ada komunikasi

dua arah, orang tua mempunyai peran, pengembangan kemampuan dan bakat,

dan aturan serta norma di sekolah maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Sebaliknya siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance

besar, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih rendah dibandingkan

siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism

yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian

tugas, tingkat penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap positif dalam

mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka kecerdasan

emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur

sekolah yang bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah. Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih rendah dibandingkan

siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity yang tampak dari kurang adanya kompetensi di dalam kelas, siswa tidak

(23)

6

emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur

sekolah yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih

tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan hubungan antara guru, siswa

dan orang tua, dan tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru maka

kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal

dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengidentifikasi apakah locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda berpengaruh pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa yang

berbeda pula. Penelitian ini selanjutnya dituangkan dalam judul “Pengaruh

Locus of Control, Kultur Keluarga, dan Kultur Sekolah pada Hubungan

Antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa”. Penelitian

ini merupakan survei pada siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten

(24)

B. Batasan Masalah

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi belajar

anak di sekolah, diantaranya: locus of control, motivasi belajar, sarana dan prasarana, kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur

sekolah dan sebagainya. Secara khusus penulis dalam penelitian ini

bermaksud untuk menyelidiki secara lebih spesifik bagaimana pengaruh locus of control, kultur keluarga dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa ?

2. Apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa ?

3. Apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

(25)

8

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak

sekolah untuk menentukan perlakuan yang tepat kepada siswa bahwa sifat,

sikap dan perilaku siswa berbeda, maka pihak sekolah harus memberikan

perlakuan yang berbeda dalam rangka pencapaian prestasi siswa.

2. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian

yang bisa memajukan pendidikan di Indonesia dan mutu pendidikan bisa

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Locus of Control

1. Pengertian locus of control

Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter adalah suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan

seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Jung, 1978:107). Ia

mengelompokkan locus of control ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu yang mempunyai

locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah pengaruh dari dirinya. Dari apa yang ia lakukan, ia mampu

mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri.

Jika individu percaya bahwa mereka hanya mempunyai sedikit

kendali atas apa yang terjadi, maka mereka termasuk dalam golongan

locus of control eksternal. Demikian juga dengan individu yang percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari takdir,

kesempatan, keberuntungan dan nasib dikelompokkan sebagai individu

dengan locus of control eksternal. Keberhasilan atau kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib, faktor keberuntungan, kesempatan,

karena kekuasaan orang lain atau karena kondisi-kondisi yang tidak dapat

dikuasainya. Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori belajar sosial (social learning theory). Tiga istilah utama yang digunakan

(27)

10

Rotter, yaitu: potensi perilaku (behaviour potential), harapan (expectancy), dan nilai penguatan (reinforcement value). Mc Millan (Jung 1978:107) menjelaskan hubungan dari tiga istilah tersebut, yaitu perilaku individu

tergantung pada harapan-harapan dalam suatu tingkah laku tertentu akan

memberikan penguatan, dan nilai penguatan tersebut dapat memuaskan

kebutuhan individu. Jika individu berhasil memperoleh penguatan yang

diharapkan, maka selanjutnya individu tersebut akan cenderung meyakini

bahwa penguatan tersebut diperoleh bukan dari dirinya sendiri.

Gibson Ivancevich Donelly (1997:113) menyebutkan letak

kendali (locus of control) individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri

mereka. Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir

mereka sendiri. Tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka

sebagai korban dari takdir, mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada

diri mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan (Robbinson,

2002:42).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan locus of control adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya baik perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang

dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control

internal akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

Keberhasilan dirinya tergantung dari diri sendiri. Sedangkan individu

(28)

dengan locus of control eksternal keberhasilan dirinya tergantung dari luar dirinya.

2. Penggolongan locus of control

Locus of control adalah suatu keyakinan individu mengenai sumber penentu perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Secara garis besar terdiri dari: 1) kecenderungan internal, yaitu individu

merasa bahwa segala peristiwa hidupnya terjadi karena dikendalikan dari

dirinya sendiri; 2) kecenderungan eksternal chance, yaitu individu merasa kejadian dalam hidupnya dikendalikan dari luar dirinya seperti

keberuntungan, nasib, peluang dsb; 3) kecenderungan eksternal powerfull others, yaitu individu merasa peristiwa dalam hidupnya dikendalikan kekuasaan orang lain (www.ballarat.edu.au/bssh/psych/rot.htm - 8k).

Seseorang kemungkinan memiliki faktor internal lebih besar dari

pada faktor eksternal, demikian juga sebaliknya. Keyakinan seseorang

akan locus of control ada pada sepanjang kontinum tersebut, semakin dominan locus of control internal seseorang akan semakin lemah locus of control eksternalnya, dan sebaliknya (London dan Exner, 1978:264).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

individu dengan locus of control internal adalah individu yang merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukannya dengan akibat-akibat

yang diterimanya. Sedangkan individu dengan locus of control eksternal merasa bahwa akibat yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang

(29)

12

berasal dari campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga

karena suatu kesempatan.

3. Perbedaan orientasi locus of control internal dan eksternal

Dengan adanya perbedaan individu dengan locus of control

internal dan individu dengan locus of control eksternal ternyata berdampak pada adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara

hidupnya. Dalam hubungan dengan orang lain, individu dengan locus of control internal cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, mempunyai motif berprestasi yang tinggi.

Orang yang mempunyai locus of control internal kurang konformis karena rasa percaya diri yang dimilikinya begitu tinggi dan dapat

melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan

kemampuan dan keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang

dilakukannya.

Seseorang dengan locus of control eksternal cenderung menarik diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap otoritas

(Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu dengan

locus of control eksternal cenderung conform terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi

disebabkan oleh faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung

mempunyai sikap menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan

(30)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu

mempunyai kecenderungan locus of control internal apabila individu merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan

akibat-akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain dan

keberuntungan.

4. Faktor-faktor pembentuk locus of control

Locus of control dikembangkan dari teori belajar sosial (social learning theory), berarti bahwa locus of control berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang

dominan dalam pembentukan pribadi menjadi individu dengan locus of control internal atau menjadi individu dengan locus of control eksternal.

Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam diri individu yang bersifat bawaan namun terbentuk dan berkembang

dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan

(31)

14

Faktor- faktor yang mempengaruhinya adalah:

a. Faktor usia

Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih

efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya

mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam

hidunya. Dengan kata lain, locus of control bergerak dari kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan

bertambahnya usia.

b. Pengalaman akan suatu perubahan

Penelitian Kiehlbauch (1967) dalam London dan Exner (1978:292)

menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan

locus of control yang relatif lebih eksternal dari pada teman serumah yang telah lama bersama. Locus of control teman serumah yang akan berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang

cenderung labil dan tak pasti selama masa transisi mendorong locus of control individu ke arah eksternal.

c. Generalitas dan stabilitas perubahan

Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan

mempengaruhi locus of control, misalnya adanya bom nuklir, perang, skandal politik. Pengalaman dari perubahan peristiwa

tersebut menyebabkan kecenderungan ke arah locus of control

eksternal. Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman

(32)

dan mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup

mereka.

d. Pelatihan dan pengalaman

De Charms dalam London dan Exner 1978:293 berhasil

membuktikan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan

locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes (dalam London dan Exner, 1978:293) menemukan bahwa pengalaman

berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control

internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld

dan Dozier (dalam London dan Exner, 1978:293) mengenai

pengalaman berorganisasi dalam masyarakat. Penelitian-penelitian

tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri,

keberanian dan kemandirian pribadi.

e. Efek terapi

Beberapa peneliti (Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith dalam

London dan Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi

berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control internal. Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam

(33)

16

B. Kultur Keluarga

1. Pengertian kultur keluarga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1992:473), kultur merujuk

pada istilah kebudayaan yang berarti keseluruhan cara hidup, cara berpikir,

dan pandangan hidup masyarakat di suatu tempat. Dalam ilmu antropologi

istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1) keunikan sekelompok

masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya; (2) mengapa

perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi ke

generasi lainnya (Kotter dan Heskett, 1992:3-4).

Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus

dan peneliti. Schien (1985:9) mendefinisakan kultur sebagai:

“a pattern of basic assumption invented, or developed by a group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration that has worked well enough to be considered valid and therefore to be taught to new members as the correct way to perceived, think, and feel in relation to those problems”.

Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan

dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti benar

saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kelompok,

maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara

pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di

masa mendatang.

Hofstede (1991:5) mengartikan kultur sebagai:

(34)

Hofstede (1991:4) menyebut kultur sebagai : “software of the mind”. Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada

nilai-nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur

cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu yang

lama dan perlahan-lahan.

2. Dimensi kultur keluarga

Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk berubah,

jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan secara

bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke dalam

lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan (1995:7)

menyebut bahwa lembaga yang dimaksud antara lain: struktur keluarga,

struktur pendidikan, organisasi keagamaan, asosiasi-asosiasi, bentuk

pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum, kepustakaan, pola tata

ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-teori ilmiah.

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or coporate level (Hofstede, 1991:10). Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang

mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance (from weak to strong).

(35)

18

Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok di mana individu sejak lahir diintegrasikan secara

kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinity

menunjukkan suatu kelompok dimana peran sosial gender terdapat

perbedaan yang jelas. Dimensi femininity menunjukkan masyarakat dimana individu akan merasa terancam dalam suatu ketidakpastian. Dimensi

uncertainty avoidance menunjukkan suatu perasaan cemas masyarakat dan adanya ketidakpastian serta situasi dualisme serta usaha untuk

menghindarinya.

Dimensi power distance mencakup indikator: aturan dan norma dalam keluarga, menghormati orang tua dan orang yang lebih tua, orang tua

mempunyai otoritas, dan ketergantungan. Indikator dari collectivism vs individualism, mencakup: demokrasi dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama, mampu mengelola keuangan,

upacara keagamaan tidak boleh dilupakan, merasa bersalah jika melanggar

peraturan, dan keluarga menjadi tempat bersatunya keluarga. Indikator dari

femininity vs masculinity, mencakup: relasi antara orang tua dan anak ada jarak, perbedaan peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan

belajar bersama menjadi rendah hati. Indikator dari uncertainty avoidance

mencakup: toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan mempunyai

(36)

C. Kultur Sekolah

1. Pengertian kultur sekolah

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh

suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap,

nilai yang tercermin baik dalam bentuk fisik maupun abstrak. Kultur ini

juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara

hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus

cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu,

suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada

generasi berikutnya.

Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk

memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.

Antropolog Clifford Geertz (dalam Sumarni, 2005) mendefinisikan kultur

sebagai pola nilai, norma, sikap hidup, ritual, dan kebiasaan yang baik

dalam lingkungan sekolah, sekaligus cara memandang persoalan dan

memecahkannya. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2002)

kultur adalah kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan

atau norma, tata kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu

tumbuh dan berkembang sesuai nilai-nilai dan spirit atau keyakinan yang

dianut oleh organisasi. Kultur dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan

lahiriah. Dari sisi batiniah berupa nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang

dianut oleh organisasi. Pada sisi lahiriah berupa aturan atau prosedur yang

(37)

20

informal, prosedur kerja yang harus diikuti anggota organisasi, kebiasaan

kerja yang dimiliki keseluruhan anggota kelompok.

Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai

organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang

bersifat unik pula (Vembrianto, 1993:81-82). Tiap-tiap sekolah

mempunyai kultur yang bersifat unik. Tiap-tiap sekolah mempunyai

aturan, kebiasaan, serta lambang-lambang yang memberikan corak khas

kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur mempunyai pengaruh

mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa. Apa yang dihayati siswa

berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan dan juga sikap

terhadap nilai-nilai bukan berasal dari kurikulum sekolah yang bersifat

formal melainkan berasal dari kultur sekolah.

Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah

sekolah yang tumbuh dan berkembangan berdasarkan nilai atau spirit yang

dianut sekolah tersebut. Kualitas ini mewujudkan pada keseluruhan

anggota sekolah (Depdiknas, 2002). Jadi, sesuai dengan hal yang terkait

dengan kultur, maka kultur sekolah bisa diartikan sebagai suatu nilai yang

dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya

kualitas kehidupan sekolah.

Menurut Dapiyanta (1995:93), kultur sekolah merupakan

perilaku lahir batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan

sekolah yang berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti

(38)

positif dapat menghasilkan produk kultur yang baik seperti: peningkatan

kinerja individu dan kelompok, peningkatan kinerja sekolah dan institusi,

terjamin hubungan yang sinergi antara warga sekolah, timbul iklim

akademik yang baik serta interaksi yang menyenangkan.

Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah

dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual,

mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang

sekolah.

2. Dimensi kultur sekolah

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organizational or corporate level (Hofstede, 1991:10). Pada tingkat nasional kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi

yang mencakup: power distance, collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance (from weak to strong).

Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara

berbeda. Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism

menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana individu sejak lahir

diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi

(39)

22

masyarakat dimana individu akan merasa terancam dalam suatu

ketidakpastian. Dimensi uncertainty avoidance menunjukkan suatu perasaan cemas masyarakat dan adanya ketidakpastian serta situasi

dualisme serta usaha untuk menghindarinya.

Dimensi power distance mencakup indikator: perlakuan guru terhadap proses pembelajaran, proses pembelajaran terpusat pada siswa,

kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua

arah (di kelas), peran orang tua di sekolah, aturan dan norma di sekolah,

pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan dengan

proses pembelajaran sekolah. Indikator dari collectivism vs individualism,

mencakup: kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari

guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam

mengerjakan tugas, dan tujuan berprestasi. Indikator dari femininity vs masculinity, mencakup: suasana kompetisi kelas, berorientasi pada prestasi, dan kompetesi guru. Indikator dari uncertainty avoidance,

mencakup: tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan

guru dalam menerangkan, dan kedekatan hubungan antara guru, siswa dan

orang tua.

D. Kecerdasan Emosional

1. Definisi kecerdasan emosional

(40)

kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi

dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain

(Goleman, 1999:512). Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang

berbeda-beda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik

(academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.

Definisi lain diberikan oleh ahli yang menciptakan istilah

kecerdasan emosional, yakni John Mayer dan Peter Salovey (dalam

Goleman, 1999:513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai

kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang

lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran

dan tindakan.

Dua macam kecerdasan yang berbeda ini, intelektual dan

emosional mengungkapkan aktivitas bagian-bagian yang berbeda dalam

otak. Kecerdasan intelektual terutama didasarkan pada kerja neokorteks,

lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas otak.

Sedangkan pusat-pusat emosi berada di bagian otak yang lebih dalam,

dalam subkorteks yang secara evolusi lebih kuno. Kecerdasan emosional

dipengaruhi oleh kerja pusat-pusat emosi ini, tetapi dalam keselarasan

dengan pusat-pusat intelektual.

2. Ciri-ciri kecerdasan emosional

Salovey dan Mayer (Goleman, 1999:513) mendefinisikan

(41)

24

perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu

untuk memandu pikiran dan tindakan. Dasar-dasar kecakapan emosional

dan sosial menurut Goleman adalah:

a. Kesadaran diri; mengetahui apa yang kita rasakan pada saat, dan

menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri;

memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan

kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri; menangani emosi kita sedemikian sehingga

berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati

dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran;

mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi; menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk

menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita

mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan

menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Empati; merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami

perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan

menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.

e. Ketrampilan sosial; menangani emosi dengan baik ketika berhubungan

dengan orang lain, dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan

sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan

keterampilan-keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah

(42)

dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja

dalam tim.

3. Perbedaan kecerdasan emosional dan kecakapan emosional

Goleman (1999:39) membedakan antara kecerdasan emosional

dan kecakapan emosi. Goleman berpendapat bahwa kecakapan emosi

adalah kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan

emosional. Inti kecakapan emosi adalah dua kemampuan: empati, yang

melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan keterampilan

sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.

Sedangkan kecerdasan emosional menentukan potensi kita untuk

mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima

unsurnya: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan

dalam membina hubungan dengan sesama.

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan kecerdasan

emosional adalah kemampuan individu untuk menyadari perasaan diri

pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan

mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Kelima aspek tersebut

akan mendasari penelitian ini.

E. Prestasi Belajar

1. Pengertian prestasi belajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:700), prestasi

(43)

26

dsb), sedangkan prestasi belajar adalah penguasaaan pengetahuan atau

ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditujukan

dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Menurut Arifin

(1990:3) prestasi yang dimaksud tidak lain adalah kemampuan,

keterampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal.

Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung

dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan

perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan sikap (W.S

Winkel, 2004:59). Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku

seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh

pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan

tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon

pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (Hilgard

dan Bower dalam Ngalim Purwanto, 1990:84). Belajar merupakan suatu

proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata; proses itu terjadi di dalam

diri seseorang yang sedang mengalami belajar.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar

adalah penguasaan pengetahuan dan ketrampilan yang dikembangkan oleh

mata pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai/angka hasil tes yang

diberikan oleh guru. Keberhasilan dalam kegiatan yang disebut belajar

akan nampak dalam prestasi belajar yang diraihnya. Prestasi belajar dapat

diketahui dari hasil evaluasi belajarnya. Evaluasi merupakan pemberian

(44)

gagasan, cara kerja, pemecahan metode materiil, dsb (Nana Sudjana,

1992:28). Usaha untuk mengevaluasi hasil belajar, biasanya dilakukan

dengan mengadakan pengukuran dalam bentuk tertulis, lisan maupun

praktek yang kemudian diberi skor yang biasanya berwujud angka. Hasil

dari pengukuran ini merupakan informasi-informasi atau data yang

diwujudkan dalam bentuk angka-angka yang disebut prestasi belajar.

Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata

pelajaran. Lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka yang diberikan

guru. Kegiatan penilaian, yaitu suatu tindakan untuk melihat sejauh mana

tujuan instrusional telah dapat dicapai oleh siswa-siswi dalam hasil belajar.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu (Dimyati dan Mujiono, 1999;235-253):

a. Faktor internal :

1) Sikap terhadap belajar

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang

sesuatu yang membawa diri sesuai dengan penilaian tentang

sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak,

atau mengabaikan kesempatan belajar.

2) Motivasi belajar

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong

(45)

28

Lemahnya motivasi, atau tiada motivasi belajar akan

melemahkan kegiatan belajar yang selanjutnya mutu hasil belajar

akan menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri

sendiri (siswa) perlu diperkuat terus menerus agar siswanya

memiliki hasil belajar yang baik hingga pada akhirnya nanti

semakin meningkatkan motivasi berprestasi.

3) Konsentrasi belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan

perhatian pada pelajaran yang tertuju pada isi bahan belajar

maupun proses memperolehnnya. Untuk memperkuat perhatian

pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam

strategi belajar mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar

serta selingan istirahat.

4) Mengolah bahan belajar

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk

menerima isi dan cara memperoleh ajaran yang dikembangkan di

berbagai mata pelajaran sehingga lebih bermakna bagi siswa. Isi

bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama,

kesenian, serta ketrampilan mental dan jasmani. Cara

memperoleh ajaran berupa bagaimana menggunakan kamus,

(46)

5) Menyimpan perolehan hasil belajar

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan

menyimpan isi pesan dan cara peroleh pesan. Kemampuan

menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu yang

pendek (hasil belajar cepat dilupakan) dan waktu yang lama

(hasil belajar tetap dimiliki siswa). Proses belajar terdiri dari

proses penerimaan, pengolahan, dan pengaktifan yang berupa

penguatan serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan.

Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti semua proses tersebut

berjalan lancar, akibatnya proses penggunaan hasil belajar

terganggu.

6) Kemampuan berprestasi

Kemampuan berprestasi merupakan suatu puncak proses belajar

yang membuktikan keberhasilan belajar dalam memecahkan

tugas-tugas belajar atau mentrasfer hasil belajar. Kemampuan

berprestasi terpengaruh oleh proses penerimaan, pengaktifan,

pra-pengolahan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan

dan pengalaman.

7) Cita-cita siswa

Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu didikan yang harus

dimulai sejak sekolah dasar. Cita-cita merupakan wujud

(47)

30

b. Faktor eksternal :

1) Guru sebagai pembina siswa belajar

Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia mengajar bidang studi

yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik

generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia memusatkan

perhatian kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan

kebangkitan belajar yang merupakan wujud emansipasi diri

siswa. Sebagai pengajar, guru bertugas mengelola kegiatan

belajar siswa di sekolah. Adapun tugas pengelolaan pembelajaran

siswa meliputi: membangun hubungan baik dengan siswa,

menggairahkan minat, perhatian dan memperkuat motivasi

belajar untuk berprestasi, mengorganisasi belajar, melaksanakan

pendekatan pembelajaran secara tepat, mengevaluasi hasil belajar

secara jujur dan obyektif, melaporkan hasil belajar kepada orang

tua/wali siswa.

2) Prasarana dan sarana pembelajaran

Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan

kondisi pembelajaran yang baik. Hal ini tidak berarti lengkapnya

prasarana dan sarana menetukan jaminan terselenggaranya proses

(48)

3) Faktor keluarga

Hubungan yang baik antar anggota keluarga dapat membantu

dalam kegiatan belajar anak, sehingga dimungkinkan prestasi

belajar menjadi baik.

4) Faktor lingkungan

Lingkungan di mana siswa tinggal yang dapat berpengaruh

terhadap kehidupan siswa.

5) Kurikulum sekolah

Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu

kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah

kurikulum yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu

kurikulum yang disyahkan oleh suatu yayasan pendidikan dan

disusun berdasarkan kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum

dapat mempengaruhi: tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan,

kegiatan belajar mengajar, evaluasi yang dapat berubah.

Perubahan kurikulum dapat menimbulkan masalah bagi guru,

siswa maupun elemen-elemen dalam sekolah dan juga orang tua

(49)

32

F. Kerangka Teoretik dan Hipotesis

1. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

Locus of control merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya. Dimensi locus of control meliputi

locus of control internal dan locus of control eksternal. Locus of control

internal adalah individu yang merasakan adanya hubungan antara usaha

yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya. Sedangkan

locus of control eksternal adalah individu yang merasa bahwa akibat yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari campur tangan

orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu kesempatan.

Seorang individu dengan demikian dapat diklasifikasikan ke dalam locus of control internal atau locus of control eksternal.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

diduga kuat berbeda pada locus of control yang berbeda. Pada locus of control internal, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki

locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh dirinya

sendiri sehingga berdasarkan kesadaran itu siswa akan belajar giat untuk

mencapai prestasi belajar. Sebaliknya siswa dengan locus of control

(50)

Berdasarkan penjelasan di atas diturunkan hipotesis sebagai berikut:

H 1 : Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar

Kultur keluarga adalah suatu nilai-nilai yang dimiliki suatu

masyarakat/keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang

berlangsung turun temurun. Kultur keluarga dapat diklasifikasikan ke

dalam empat dimensi, meliputi: 1). power distance; 2). collectivism vs individualism; 3). femininity vs masculinity; 4). uncertainty avoidance.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda. Pada kultur

keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal

dari kultur keluarga dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga, menghormati orang tua, orang

tua punya otoritas, dan punya ketergantungan orang tua maka kecerdasan

emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur

keluarga dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

(51)

34

yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism

yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok,

mampu mengelola keuangan untuk keluarga, merasa bersalah jika

melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota

keluarga maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada

siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism,

maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa

yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity

yang tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua, perbedaan

peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan belajar bersama

menjadi rendah hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance

lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga

(52)

menjadi tempat untuk belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan

emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur

keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Berdasarkan penjelasan di atas diturunkan hipotesis sebagai berikut:

H 2 : Ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar.

Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang

mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.

Kultur sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam empat dimensi, meliputi:

1). power distance; 2). collectivism vs individualism; 3). femininity vs masculinity; 4). uncertainty avoidance.

Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa diduga kuat berbeda pada kultur sekolah yang berbeda. Pada kultur

sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada siswa, kesempatan

bertanya, bebas berpendapat, ada komunikasi dua arah, orang tua

(53)

36

norma di sekolah maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya

siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa

yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism

yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat,

penyelesaian tugas, tingkat penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap

positif dalam mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka

kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal

dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.

Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal

dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity yang tampak dari kurang adanya kompetensi di dalam kelas, siswa kurang berorientasi pada

prestasi, dan kurangnya kompetensi guru, maka kecerdasan emosionalnya

lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang

bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance

(54)

siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah

yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan

hubungan antara guru, siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan siswa

dengan kekurangan guru maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.

Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Berdasarkan penjelasan di atas diturunkan hipotesis sebagai berikut:

H 3 : Ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

Berikut ini gambar hubungan antara variabel satu dengan variabel lain:

KECERDASAN

EMOSIONAL

KULTUR

SEKOLAH

LOCUS OF

CONTROL

KULTUR

KELUARGA

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian verificative research dengan metode explanatory survey. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang akan terjadi bila variabel-variabel tertentu dikontrol atau dimanipulasi

secara tertentu (Mardalis, 1990:26). Penelitian ini dimaksudkan untuk

mendapatkan kejelasan atas pengaruh variabel locus of control, kultur keluarga dan kultur sekolah terhadap hubungan antara kecerdasan emosional

terhadap prestasi belajar siswa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP-SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten

Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari- Mei 2007

C. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP Swasta dan SMP Negeri

kelas IX yang ada di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

(56)

2. Objek Penelitian:

Objek penelitian ini adalah locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah, kecerdasan emosional, dan prestasi belajar.

Gambar

Tabel 4.15 : Deskripsi Kultur Sekolah.....................................................
Tabel Operasional Variabel Tabel 3.1 Locus of Control
tabel operasionalnya (lampiran 1):
Tabel 3.3 Tabel Operasional Variabel Kultur Sekolah
+7

Referensi

Dokumen terkait

menjelaskan hubungan tahap implementasi dengan tahapan proses keperawatan

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan

(8) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Menimbang bahwa Pembanding dalam memori bandingnya mengajukan keberatan yang dapat disimpulkan pada pokoknya Pembanding tidak sependapat dengan pertimbangan dan Putusan

A teacher training program, named Model-Supported Scientific Inquiry Training Program (MSSITP) has been successfully developed to improve the inquiry skills of Indonesian

berkaitan dengan perlindungan konsumen baik yang termasuk. kedalam lembaga pemerintahan maupun

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan BarangDasa Pemerintah yang terakhir dirubah dengan Peraturan Presiden No, 70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknisnya, maka dengan ini