• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Hipotesis pertama menunjukkan bahwa ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Hal ini didukung oleh hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,039 dan nilai signifikansi koefisien regresi menunjukkan lebih tinggi dari nilai alpha yang digunakan dalam penelitian ini (ρ= 0,000 < α = 0,05). Artinya semakin locus of control siswa cenderung internal, maka semakin menguatkan hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajarnya. Koefisien korelasi kecerdasan emosional dan prestasi belajar tidak memasukkan variabel moderating locus of control adalah 0,254. Nilai koefisien korelasi tersebut terkategorikan lemah. Sedangkan koefisien korelasi kecerdasan emosional dan prestasi belajar setelah memasukkan variabel moderating locus of control

adalah 0,331. Nilai koefisien korelasi tersebut terkategorikan lemah.

Deskripsi tingkat kecerdasan emosional menunjukkan bahwa sebagian besar siswa termasuk dalam kategori sangat tinggi sebanyak 364 siswa atau 96,30%. Hal ini tampak dalam kemampuan mengenali perasaan sendiri dan

perasaan orang lain, kemampuan mengelola emosi dengan baik untuk menjalin hubungan dengan orang lain, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri meraih prestasi yang baik. Deskripsi prestasi belajar menunjukkan bahwa sebagian besar siswa termasuk dalam kategori baik (261 siswa atau 69,05%). Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat diketahui tingkat peguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diberikan guru.

Hasil penelitian pada prestasi belajar menunjukkan bahwa sebagian siswa termasuk dalam kategori baik dan tingkat kecerdasan emosionalnya menunjukkan bahwa sebagian besar siswa termasuk dalam kategori tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Jika kecerdasan emosional individu atau anak berkembang dengan baik, maka akan mempengaruhi hasil belajarnya yang mengarah pada kemampuan untuk berprestasi.

Deskripsi locus of control menunjukkan bahwa sebagian besar siswa termasuk dalam kategori internal (357 siswa atau 94,44%). Beberapa faktor yang mempengaruhi locus of control siswa diantaranya adalah usia, pengalaman akan suatu perubahan, pelatihan dan pengalaman. Sejalan dengan bertambahnya usia locus of control cenderung mengarah dari eksternal menjadi internal, jika seseorang bisa menyikapi suatu perubahan dengan menerima keadaan mendorong locus of control individu ke arah internal, dan

90

pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri, keberanian dan kemandirian pribadi setiap individu.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh positif locus of control

pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Locus of control adalah suatu keyakinan individu mengenai sumber penentu perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Locus of control

digolongkan menjadi dua, yaitu locus of control internal dan locus of control

eksternal. Individu dengan locus of control internal adalah individu yang merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya sedangkan individu dengan locus of control eksternal merasa bahwa akibat yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu kesempatan. Secara singkat individu dengan locus of control internal keberhasilan dirinya tergantung dari dirinya sendiri dan individu dengan locus of control eksternal keberhasilan dirinya tergantung dari luar dirinya. Siswa dengan locus of control internal mempunyai kemampuan untuk dapat meraih prestasi lebih baik karena ia bisa memotivasi dirinya sendiri dan kemauannya untuk belajar tanpa tergantung pada hal- hal yang ada di luar dirinya. Ia lebih bisa membangun semangat untuk memperoleh prestasi melalui dirinya sendiri. Staub (1978) berpendapat bahwa mereka yang memiliki locus of control internal merasa mampu mengontrol lingkungan sehingga mudah

mengambil keputusan dan tegas mengambil suatu tindakan serta tidak mudah menyerah.

2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Hipotesis kedua menunjukkan bahwa ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Hal ini didukung oleh hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,016 dan nilai signifikansi koefisien regresi menunjukkan lebih tinggi dari nilai alpha yang digunakan dalam penelitian ini (ρ= 0,032 < α = 0,05). Artinya ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Koefisien korelasi kecerdasan emosional dan prestasi belajar tidak memasukkan variabel moderating kultur keluarga adalah 0,254. Nilai koefisien korelasi tersebut terkategorikan lemah. Sedangkan koefisien korelasi kecerdasan emosional dan prestasi belajar setelah memasukkan variabel moderating kultur keluarga adalah 0,278. Nilai koefisien korelasi tersebut terkategorikan lemah.

Deskripsi kultur keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar siswa berasal dari keluarga dengan power distance sangat kecil sebanyak 374 siswa atau 98,94%, sangat kolektif sebanyak 359 siswa atau 94,97%, sangat maskulin sebanyak 334 siswa atau 88,36%, dan uncertainty avoidance sangat lemah sebanyak 354 siswa atau 93,65%. Siswa yang berasal dari keluarga

92

dengan power distance sangat kecil mempunyai ketaatan pada norma keluarga, menghormati orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, dan tidak tergantung pada orang tua. Siswa yang berasal dari keluarga dengan ciri sangat collectivism mempunyai demokrasi dalam keluarga, kemampuan dalam mengelola keuangan, kebutuhan berkomunikasi, keluarga menjadi tempat bersatunya keluarga, dan merasa bersalah jika melanggar peraturan. Siswa yang berasal dari keluarga dengan ciri sangat masculinity mempunyai keinginan untuk hidup lebih baik, ada pembagian peran orang tua, dan perhatian pada seluruh anggota keluarga. Siswa yang berasal dari keluarga dengan ciri uncertainty avoidance sangat lemah mampu menyikapi situasi yang tidak pasti, mempunyai inisiatif, tidak cemas dalam menghadapi persoalan, dan mempunyai sikap yang fleksibel dalam penetapan aturan.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Kultur keluarga dengan power distance kecil, collectivism, masculinity, dan

uncertainty avoidance- nya lemah mempunyai kecerdasan emosional lebih tinggi dari kultur keluarga dengan power distance besar, individualism,

femininity, dan uncertainty avoidance- nya kuat. Power distance merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara berbeda. Dalam keluarga jika power distance- nya kecil, maka tidak ada orang yang mempunyai kekuasaan lebih karena semua anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan perannya dalam keluarga. Individualism

menggambarkan suatu masyarakat di mana pertalian antar individu cenderung memudar dan collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok di mana individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Collectivism dalam keluarga mengarah pada sikap demokrasi, kebutuhan saling berkomunikasi, dan tempat berkumpulnya anggota keluarga. Kemampuan mengelola keuangan keluarga dan merasa bersalah jika melanggar peraturan merupakan sikap collectivism karena sikap itu tidak lepas dari adanya rasa kebersamaan. Femininity menunjukkan masyarakat di mana individu akan merasa terancam dalam suatu ketidakpastian sedangkan

masculinity menunjukkan suatu kelompok di mana peran sosial gender terdapat perbedaan yang jelas. Masculinity pada keluarga mengarah pada adanya keinginan dari setiap anggota keluarga hidup lebih baik, dan saling perhatian satu sama lain. Hal itu tidak lepas dari peran orang tua sebagai motivator utama keluarga dalam membentuk keluarga untuk hidup lebih baik yang bisa mendorong anggota keluarga lain ingin bersikap sama dengan yang dilakukan oleh orang tuanya. Uncertainty avoidance menunjukkan suatu perasan cemas masyarakat dan adanya ketidakpastian situasi dualisme serta usaha untuk menghindarinya. Jika uncertainty avoidance keluarga itu lemah, maka anggota keluarga mempunyai inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti, mudah menghadapi persoalan dalam keluarga, dan mempunyai sikap fleksibel dalam perubahan aturan. Keterlibatan orang tua member pengaruh terhadap prestasi anak. Clark Dalam Raymond J dan Judith H (2004:28) menyatakan

94

bahwa orang-orang yang meraih prestasi belajar tinggi berasal dari keluarga yang efektif. Untuk membentuk kultur keluarga yang kondusif, maka perlu peran dari orang tua diawali dengan menciptakan keluarga yang efektif.

3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Hasil ketiga menunjukkan bahwa ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Hal ini didukung oleh hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,017 dan nilai signifikansi koefisien regresi menunjukkan lebih tinggi dari nilai alpha yang digunakan dalam penelitian ini (ρ= 0,026 < α= 0,05). Artinya ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Koefisien korelasi kecerdasan emosional dan prestasi belajar tidak memasukkan variabel moderating kultur sekolah adalah 0,254. Nilai koefisien korelasi tersebut terkategorikan lemah. Sedangkan koefisien korelasi kecerdasan emosional dan prestasi belajar setelah memasukkan variabel moderating kultur sekolah adalah 0,291. Nilai koefisien korelasi tersebut terkategorikan lemah.

Deskripsi kultur sekolah menunjukkan bahwa sebagian besar siswa berasal dari sekolah dengan power distance sangat kecil sebanyak 355 siswa atau 93,92%, sangat kolektif sebanyak 354 siswa atau 93,65%, sangat maskulin sebanyak 374 siswa atau 98,94 %, dan uncertainty avoidance sangat

lemah sebanyak 325 siswa atau 85,98%. Siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance sangat kecil mengalami perlakuan yang sama dengan siswa lain, proses pembelajarannya terpusat pada siswa, mempunyai kesempatan bertanya, bebas menyampaikan kritikan, ada komunikasi dua arah dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, ada aturan sekolah, mampu mengembangkan bakat, serta orang tua merasa diuntungkan dalam pembelajaran di sekolah. Siswa yang berasal dari sekolah dengan ciri sangat

individualism mempunyai kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, mampu menyelesaikan tugas dari guru, merasa diterima oleh orang lain, bersikap positif dalam mengerjakan tugas, mempunyai tujuan berprestasi. Siswa yang berasal dari sekolah dengan ciri sangat maskulin mengalami kompetisi di kelas, dan berorientasi pada prestasi. Siswa yang berasal dari sekolah dengan ciri uncertainty avoidance sangat lemah bisa menerima guru apa adanya, dan ada kedekatan antar guru, siswa, dan orang tua.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Kultur sekolah dengan power distance kecil, individulism, masculinity, dan

uncertainty avoidance- nya lemah mempunyai kecerdasan emosional lebih tinggi dari kultur sekolah dengan power distance besar, collectivism,

femininity, dan uncertainty avoidance- nya kuat. Power distance merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara berbeda. Sekolah dengan power distance kecil pembelajarannya berpusat pada

96

siswa, siswa diberi kesempatan bertanya dan diberi kebebasan untuk berpendapat sehingga ada komunikasi dua arah antara guru dengan siswa, sekolah menjadi tempat mengembangkan kemampuan dan bakat siswa, dan menjalankan aturan dan norma yang ada. Individualism menggambarkan suatu masyarakat di mana pertalian antar individu cenderung memudar dan

collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok di mana individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal.

Individualism dalam sekolah mengarah pada keadaan bahwa siswa merasa ada kebebasan mengungkapkan pendapat, penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap positif dalam mengerjakan tugas dan punya tujuan untuk berprestasi.

Femininity menunjukkan masyarakat di mana individu akan merasa terancam dalam suatu ketidakpastian sedangkan masculinity menunjukkan suatu kelompok di mana peran sosial gender terdapat perbedaan yang jelas.

Masculinity di sekolah mengarah pada keadaan bahwa siswa bisa menciptakan suasana kompetensi di kelas dengan berorientasi pada prestasi. Uncertainty avoidance menunjukkan suatu perasan cemas masyarakat dan adanya ketidakpastian situasi dualisme serta usaha untuk menghindarinya. Jika

uncertainty avoidance sekolah lemah, maka siswa bisa menerima guru apa adanya terkait dengan kejelasan guru dalam menerangkan, dan ada kedekatan antara guru, siswa dan orang tua. Tidak jauh berbeda dengan kultur keluarga, untuk membentuk kultur sekolah yang kondusif perlu dukungan dari pihak sekolah terutama guru sebagai orang yang dekat dengan siswa. Menurut

Raymond J dan Judith H (2004:33) menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi belajar siswa perlu adanya dukungan dari guru yang peduli dengan apa yang mereka ajarkan dan mengkomunikasikannya dengan siswa bahwa apa yang sedang mereka pelajari itu penting.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Hal ini didukung dari hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,039 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih rendah dari nilai alpha (ρ= 0,000 < α = 0,050).

2. Ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Hal ini didukung dari hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,016 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih rendah dari nilai alpha (ρ= 0,032 < α = 0,050). Hasil dari masing-masing dimensi diperoleh:

a. Pada dimensi power distance hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,059 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih rendah dari nilai alpha (ρ= 0,016 < α = 0,050).

b. Pada dimensi collectivisme vs individualisme hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,030 dan nilai signifikansi koefisien regresi sama besar dengan nilai alpha (ρ= 0,050 = α = 0,050).

c. Pada dimensi femininity vs masculinity hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,002 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih besar dengan nilai alpha (ρ= 0,915 > α= 0,050).

d. Pada dimensi uncertainty avoidance hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,055 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih rendah dengan nilai alpha (ρ= 0,047 < α= 0,050).

3. Ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Hal ini didukung dari hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,017 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih rendah dari nilai alpha (ρ= 0,026 < α = 0,050). Hasil dari masing-masing dimensi diperoleh:

a. Pada dimensi power distance hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,031 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih rendah dari nilai alpha (ρ= 0,031 < α = 0,050).

b. Pada dimensi collectivisme vs individualisme hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,027 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih besar dengan nilai alpha (ρ= 0,187 > α= 0,050).

c. Pada dimensi femininity vs masculinity hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,024 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih besar dengan nilai alpha (ρ= 0,396 > α= 0,050).

d. Pada dimensi uncertainty avoidance hasil pengujian koefisien regresi sebesar 0,014 dan nilai signifikansi koefisien regresi lebih besar dengan nilai alpha (ρ= 0,553 > α= 0,050).

100

Dokumen terkait