• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Modul 1. Pengertian - Cahyani Suheristyaningrum Bab II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Modul 1. Pengertian - Cahyani Suheristyaningrum Bab II"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Modul

1. Pengertian

Menurut Nasution (2010) modul adalah suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas. Menurut Russel (1974) dalam (Wena, 2011) modul adalah suatu paket pembelajaran yang berisi satu unit konsep tunggal. Menurut Houston dan Howson (1992) dalam (Wena, 2011) modul pembelajaran meliputi seperangkat aktivitas yang bertujuan mempermudah siswa untuk mencapai seperangkat tujuan pembelajaran.

Menurut Suryosubroto (1983) modul adalah satu unit program belajar mengajar terkecil, yang secara rinci menggariskan :

a. Tujuan instruksional yang akan dicapai

b. Topik yang akan dijadikan pangkal proses belajar mengajar c. Pokok – pokok yang akan dipelajari

d. Kedudukan dan fungsi modul dalam kesatuan program yang lebih luas

(2)

g. Kegiatan belajar yang harus dilakukan dan dihayati siswa secara berurutan

h. Lembaran kerja yang harus diisi oleh siswa i. Program evaluasi yang akan dilaksanakan

Dari beberapa pendapat para ahli di atas mengenai pengertian modul, maka dapat disimpulkan secara umum pengertian modul adalah bahan ajar yang disusun secara tertulis, sistematis, dan menarik yang berisi materi, metode, batasan – batasan dan evalusi yang digunakan secara mandiri serta dibuat dalam bahasa yang sederhana sesuai dengan level berpikir anak – anak untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya.

2. Karakteristik Modul

Menurut Vembriarto (1981) ada lima karakteristik modul, yaitu : a. Modul merupakan unit (paket) pengajaran terkecil dan lengkap b. Modul memuat rangkaian kegiatan belajar yang direncanakan dan

sistematis

c. Modul memuat tujuan belajar (pengajaran) yang dirumuskan secara eksplisit dan spesifik

d. Modul memungkinkan siswa belajar sendiri (independent), karena modul memuat bahan yang bersifat self-instructional

(3)

3. Unsur – unsur Modul

Unsur – unsur modul menurut Vembriarto (1981) meliputi :

a. Rumusan tujuan pengajaran yang eksplisit dan spesifik. Tujuan pengajaran atau tujuan belajar tercantum dalam : (a) lembaran kegiatan siswa, untuk memberitahukan kepada mereka tingkah laku mana yang diharapkan dari mereka setelah mereka berhasil menyelesaikan modul itu, dan (b) petunjuk guru, untuk memberitahukan kepadanya tingkah laku atau pengetahuan siswa yang mana yang seharusnya telah dimiliki oleh siswa setelah mereka menyelesaikan modul yang bersangkutan.

b. Petunjuk untuk guru. Petunjuk untuk guru ini memuat penjelasan tentang bagaimana pengajaran itu dapat diselenggarakan secara efisien. Petunjuk guru juga memuat penjelasan tentang macam – macam kegiatan yang harus dilakukan dalam kelas, waktu yang disediakan untuk menyelesaikan modul yang bersangkutan, alat – alat pelajaran dan sumber yang harus dipergunakan, prosedur evaluasi dan jenis alat evaluasi yang dipergunakan.

(4)

d. Lembaran kerja bagi siswa. Materi pelajaran dalam lembaran kegiatan itu disusun sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar. Dalam lembaran kegiatan itu tercantum pertanyaan – pertanyaan dan masalah – masalah yang harus dijawab dan dipecahkan oleh siswa.

e. Kunci lembaran kerja. Materi pada modul itu tidak saja disusun agar siswa senantiasa aktif memecahkan masalah – masalah, melainkan juga dibuat agar siswa dapat mengevaluasi hasil belajarnya sendiri. Sebab itu pada tiap – tiap modul selalu disertakan kunci lembaran kerja.

f. Lembaran evaluasi. Tiap – tiap modul disertai lembaran evaluasi yang berupa test dan rating scale. Evaluasi guru terhadap tercapai atau tidaknya tujuan yang dirumuskan pada modul oleh siswa, ditentukan oleh hasil test akhir yang terdapat pada lembaran evaluasi itu, dan bukannya oleh jawaban – jawaban siswa yang terdapat pada lembaran kerja.

(5)

4. Penyusunan Modul

Pendekatan sistematik dalam penyusunan design, pengembangan dan validasi modul terdiri atas enam langkah yang saling berkaitan, yaitu: a. Perumusan tujuan

Tujuan pada modul merupakan spesifikasi kualifikasi yang seharusnya telah dimiliki oleh siswa setelah dia berhasil menyelesaikan modul tersebut. Tujuan yang tercantum dalam modul itu disebut tujuan instruksional khusus. Secara teknik kualifikasi tingkah laku siswa yang telah dimiliki sebagai hasil mempelajari suatu modul itu disebut terminal behavior. Apabila siswa tidak berhasil memiliki kualifikasi tingkah laku seperti tujuan itu, maka tujuan – tujuan dalam modul itu harus diubah atau pendekatan pengajarannya yang diubah. Hanya apabila terminal behavior itu diidentifikasi dengan tepat, dapatlah ditentukan dengan tepat pula apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan pengajaran itu. Penyesuaian pendekatan sistematik memungkinkan untuk memastikan, bahwa tujuan – tujuan pengajaran (terminal behavior) akan dapat dicapai oleh sebagian besar siswa.

b. Penyusunan criterion items

(6)

dicapai oleh siswa. Criterion test atau post test berfungsi ganda, yaitu dalam penyusunan design modul untuk mengetahui bagian mana dari modul yang lemah dan harus diperbaiki sehingga dapat dihasilkan modul yang benar – banar baik. Selain itu fungsi kedua dari criterion test sebagai evaluasi saat modul digunakan.

c. Analisa sifat – sifat siswa dan spesifikasi entry behavior

Untuk mengetahui ketrampilan dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelum mempelajari suatu modul digunakan entry behavior. Entry behavior pada masing – masing siswa berbeda, siswa yang tidak mampu mencapai persyaratan minimum akan mengalami kegagalan dalam mempelajari modul yang baru. Sebab itu entry test perlu dilakukan untuk memperkecil kesulitan – kesullitan dalam proses belajar.

d. Urutan pengajaran dan pemilihan media

Urutan pengajaran dan pemilihan media sangat penting untuk menyusun dan menyajikan bahan serta sumber belajar. Fungsi media tersebut untuk membantu mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam modul. Karena itu sangat dianjurkan bagi penyusun modul untuk mengadakan konsultasi dengan ahli – ahli bidang studi dan teori belajar.

e. Try out modul oleh siswa

(7)

dalam modul. Pada saat try out siswa mempelajari modul dan memberikan feedback. Modul akan direvisi setelah try out siswa jika masih banyak siswa mengalami kesulitan mencapai tujuan yang tercantum dalam modul. Siklus revisi ini dilakukan terus menerus hingga siswa dapat mencapai tujuan – tujuan yang dirumuskan dalam modul tersebut.

f. Evaluasi modul

Suatu modul dapat dievaluasi dari sumber – sumber yang diperlukan. Jika ditinjau dari aspek ekonomik semua pengajaran mempunyai sasaran tercapainya tujuan secara optimal dengan pengorbanan yang sekecil – kecilnya, baik dalam arti tenaga, waktu dan sumber yang dipergunakan. Dalam penyusunan atau pengembangan modul harus tetap memonitor hasil belajar siswa karena setiap tahunnya modul akan terus direvisi sesuai kurikulum dan tujuan pembelajaran yang terus berkembang.

B. Materi Relasi Fungsi

Materi relasi fungsi yang ada saat ini sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) meliputi :

Standar Kompetensi : Memahami bentuk aljabar, relasi, fungsi, dan persamaan garis lurus.

Kompetensi Dasar :

(8)

a. Menjelaskan dengan kata-kata dan menyatakan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan relasi dan fungsi.

b. Menyatakan suatu fungsi dengan notasi. 2. Menentukan nilai fungsi

Indikator :

a. Menghitung nilai fungsi.

b. Menentukan bentuk fungsi jika nilai dan data fungsi diketahui. 3. Membuat sketsa grafik fungsi aljabar sederhana pada sistem koordinat

Cartesius

a. Membuat tabel pasangan antara nilai peubah dengan nilai fungsi. b. Menggambar grafik fungsi aljabar dengan cara menentukan

koordinat titik – titik pada sistem koordinat Cartesius. C. Pendekatan Kontekstual

1. Pengertian

Pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari. (Komalasari, 2010)

2. Komponen pendekatan kontekstual

(9)

a. Konstruktivisme (constructivism)

Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong – konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta – fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Dalam modul komponen konstruktivisme akan tersaji dalam ilustrasi di setiap sub bab. Pada ilustrasi modul akan ditunjukan hal – hal yang bisa ditemukan oleh siswa di kehidupan nyata yang berhubungan dengan materi sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan yang sedang dipelajarinya melalui dunia nyata yang ada di sekitarnya.

b. Menemukan (inquiry)

Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta – fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus : (1) observasi (observation), (2) bertanya (questioning), (3) mengajukan dugaan (hiphotesis), (4) pengumpuan data (data gathering) dan penyimpulan (conclussion).

(10)

c. Bertanya (questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bagi guru bertanya dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa bertanya merupakan bagian penting dalam inquiry, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

Komponen questioning dalam modul akan disajikan setelah bagian ilustrasi. Di setiap akhir ilustrasi akan ada beberapa pertanyaan yang akan membimbing siswa memahami hal – hal dasar yang berkaitan dengan materi relasi fungsi.

d. Masyarakat belajar (learning community)

Hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama orang lain. Guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok – kelompok belajar. Komponen learning community dalam modul tersaji bersama komponen questioning, yaitu pada akhir ilustrasi di setiap sub bab. Pada akhir ilustrasi akan ada kotak diskusi yang berisi beberapa pertanyaan yang jawabannya bisa didiskusikan bersama oleh siswa.

e. Pemodelan (modeling)

(11)

satunya model, artinya model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, misalnya siswa ditunjuk untuk memberi contoh pada temannya, atau mendatangkan seseorang di luar sekolah, misalnya veteran kemerdekaan ke kelas.

Komponen modeling dalam modul terdapat pada bagian ilustrasi. Uraian dan masalah yang terdapat pada ilustrasi yang ada menggambarkan model – model matematika tentang materi relasi fungsi yang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari – hari siswa. f. Refleksi (reflection)

Cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa – apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima.

Komponen reflection pada modul disajikan dalam rangkuman materi. Rangkuman materi berisi tentang ringkasan – ringkasan materi yang terdapat pada uraian materi. Ringkasan tersebut akan mengingatkan siswa tentang materi yang telah dipelajarinya.

g. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)

(12)

(performance based assessment), penugasan (project) atau portofolio

(portfolio)

Komponen penilaian yang sebenarnya pada modul akan terdapat di akhir latihan soal. Karena pada modul terdapat juga kunci jawaban dari latihan soal maka siswa dapat melihat sejauh mana penguasaan terhadap materi relasi fungsi. Siswa juga dapat menghitung nilai yang diperoleh setelah mengerjakan seluruh soal – soal yang terdapat dalam modul.

D. Karakter Religius

Menurut Imam Ghazali (Muslich, 2011) karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.

Menurut Megawangi (2004) dalam (Kesuma dkk, 2012) pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak – anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari – hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.

(13)

dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Dari pengertian karakter religius tersebut, maka dapat diturunkan menjadi indikator – indikator karakter religius yang meliputi :

1. Kepatuhan terhadap perintah dan menjauhi segala larangan Tuhan 2. Memiliki sikap toleran dalam beragama

3. Hidup rukun dengan pemeluk agama lain

Dalam pengembangan modul ini, indikator – indikator karakter religius akan termuat dan diaplikasikan dalam bentuk ilustrasi maupun latihan soal yang memuat materi atau kalimat yang mencerminkan keteladanan sikap religius sehingga diharapkan siswa dapat memperoleh pengetahuan matematika khususnya pada materi relasi fungsi dan juga memperoleh pengetahuan karakter religius serta dapat menerapkan keteladanan sikap religius tersebut dalam kehidupan sehari – hari.

(14)

penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari. Karakter religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

Jadi modul materi relasi fungsi berbasis kontekstual bermuatan karakter religius adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dan menarik, dimana penyajian materi disertai contoh – contoh pada kehidupan nyata siswa dan memuat contoh keteladanan indikator karakter religius. Komponen pendekatan kontekstual dan indikator dari karakter religius akan peneliti sajikan dalam ilustrasi dan contoh soal pada setiap sub bab yang terdapat dalam modul.

F. Model Pengembangan 4-D

Model pengembangan perangkat seperti yang disarankan oleh Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974) adalah model pengembangan 4-D. Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan, yaitu Define, Design, Develop dan Desseminate atau diadaptasikan menjadi model 4-P, yaitu Pendefinisian,

(15)

Diagram. 1 Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D menurut Thiagarajan, Semmel dan Semmel, 1974

(16)

1. Tahap Pendefinisian (Define)

Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat – syarat pembelajaran. Dalam menentukan dan menetapkan syarat – syarat pembelajaran diawali dengan analisis tujuan dari batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Tahap ini meliputi 5 langkah pokok, yaitu (1) analisis awal akhir, (2) analisis siswa, (3) analisis tugas, (4) analisis konsep dan (5) spesifikasi tujuan pembelajaran.

2. Tahap Perancangan (Design)

Tujuan tahap ini adalah untuk menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran. tahap ini terdiri dari empat langkah, yaitu : (1) penyusunan tes acuan patokan, merupakan langkah awal yang menghubungkan antara tahap define dan tahap design. Tes disusun berdasarkan hasil perumusan tujuan pembelajaran khusus. Tes ini merupakan suatu alat mengukur terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa setelah kegiatan belajar mengajar; (2) pemilihan media yang sesuai tujuan, untuk menyampaikan materi pelajaran; (3) pemilihan format. Di dalam pemilihan format ini misalnya dapat dilakukan dengan mengkaji format – format perangkat yang sudah ada dan yang sudah dikembangkan di negara – negara lain yang lebih maju; (4) rancangan awal.

3. Tahap Pengembangan (Develop)

(17)

revisi, (2) simulasi, yaitu kegiatan mengoperasionalkan rencana pelajaran, dan (3) uji coba terbatas dengan siswa yang sesungguhnya. Hasil tahap (2) dan (3) digunakan sebagai dasar revisi. Langkah berikutnya adalah uji coba lebih lanjut dengan jumlah siswa yang sesuai dengan kelas sesungguhnya.

4. Tahap Penyebaran (Disseminate)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal

Ties adalah nilai kesamaan pre-test dan post-test, disini menunjukkan nilai 0, yang artinya tidak ada nilai yang sama antara pre-test dan post-test ini menunjukkan ada

Penulis melakukan penelitian di Program Studi MRL yang terletak di Gedung FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia Lt. Alasan penulis melakukan penelitian di Prodi MRL

Untuk memperoleh rancangan Madrasah Ibtidaiyah yang mendukung metode ajar konstruktivisme dengan melakukan pendekatan arsitektur perilaku persepsi dan teritori.. Untuk

Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan penelitian yang dalam pengumpulan data penelitian hingga penafsirannya banyak menggunakan angka, Pengumpulan data dalam

1) Persepsi siswa dalam aspek pembinaan pribadi adalah pengalaman, pandangan dan tanggapan siswa dalam kegiatan pemeliharaan diri dan lingkungan, solidaritas, relasi sosial

Kemampuan siswa melakukan perhitungan matematika dengan tepat ditunjukkan dengan prestasi siswa. Bila prestasi matematika siswa baik maka kemampuan siswa melakukan