• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADAAN ANAK DI DUNIA 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEADAAN ANAK DI DUNIA 2013"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Anak Penyandang

Disabilitas

KEADAAN ANAK DI DUNIA 2013

(2)

ANAK PENYANDANG DISABILITAS

RANGKUMAN EKSEKUTIF

KEADAAN ANAK DI DUNIA

2013

Rekomendasi Utama

Komitmen internasional untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif telah menghasilkan peningkatan situasi anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka, tapi banyak dari mereka yang masih terus

menghadapi rintangan untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah sipil, sosial dan budaya di masyarakat mereka. Untuk mewujudkan janji kesetaraan melalui inklusi memerlukan aksi untuk:

1

Meratifikasi – dan mengimplementasikan – Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan Konvensi Hak Anak.

2

Memerangi diskriminasi dan meningkatkan kesadaran akan disabilitas di kalangan masyarakat umum, para pembuat keputusan, dan mereka yang memberikan pelayanan penting bagi anak dan remaja dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan.

3

Menghilangkan rintangan-rintangan terhadap inklusi sehingga seluruh lingkungan anak – sekolah, fasilitas kesehatan, transportasi publik, dan lain-lain – bisa memfasilitasi akses dan mendorong partisipasi anak penyandang disabilitas bersama dengan rekan-rekan mereka.

4

Mengakhiri institusionalisasi anak penyandang disabilitas, mulai dari moratorium untuk memasukkan anak-anak ke institusi. Ini harus diikuti dengan promosi dan peningkatan dukungan pengasuhan berbasis keluarga dan rehabilitasi berbasis masyarakat.

5

Mendukung keluarga sehingga mereka bisa memenuhi biaya hidup yang tinggi dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang terkait dengan pengasuhan anak penyandang disabilitas.

6

Bergerak melewati standar minimum dengan melihatkan anak-anak dan remaja penyandang disabilitas dan keluarga mereka dalam mengevaluasi dukungan dan pelayanan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

7

Mengoordinasikan pelayanan di seluruh sektor guna menangani sejumlah tantangan yang dihadapi anak dan remaja penyandang disabilitas dan keluarga mereka.

8

Melibatkan anak dan remaja penyandang disabilitas dalam membuat keputusan-keputusan yang memberikan pengaruh pada mereka – tidak hanya sebagai penerima manfaat tapi sebagai agen perubahan.

9

Mempromosikan agenda riset global bersama dengan disabilitas untuk menghasilkan data yang andal dan bisa diperbandingkan yang diperlukan untuk menuntut perencanaan dan alokasi sumber daya, dan untuk menempatkan anak-anak penyandang disabilitas secara lebih jelas dalam agenda pembangunan.

(3)

Victor, anak usia 13 tahun yang menderita cerebralpalsy sedang bermain air di Brazil ©AndreCastro/2012

PENDAHULUAN

Laporan semacam ini biasanya diawali dengan sebuah statistik yang menggambarkan sebuah persoalan. Anak-anak laki-laki dan perempuan untuk siapa edisi Keadaan

Anak-anak di Dunia ini dipersembahkan bukan

merupa-kan masalah. Masing-masing mereka malah merupamerupa-kan saudara atau teman yang memiliki makanan, nyanyian, atau permainan yang sama; anak-anak yang memiliki mimpi dan keinginan yang akan dipenuhi; anak penyan-dang disabilitas yang memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya.

Dengan diberikan kesempatan yang sama untuk berkem-bang sebagaimana anak-anak lainnya, anak-anak penyan-dang disabilitas berpotensi untuk menjalani kehidupan secara penuh dan berkontribusi pada vitalitas sosial, budaya, dan ekonomi dari masyarakat mereka. Namun untuk tumbuh dan berkembang bisa jadi sulit bagi anak-anak penyandang disabilitas. Mereka menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi miskin dengan diban-dingkan dengan rekan-rekan mereka yang tanpa disabili-tas. Bahkan bila anak-anak memiliki ketidakberuntungan yang sama, anak-anak penyandang disabilitas mengha-dapi tantangan-tantangan lain akibat ketidakmampuan mereka dan berbagai rintangan yang dihadirkan oleh masyarakat mereka sendiri. Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan adalah mereka yang paling kecil kemung-kinannya untuk memperoleh manfaat dari pendidikan dan pelayanan kesehatan, misalnya, tapi anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan memiliki disabilitas lebih kecil lagi kemungkinannya untuk bisa bersekolah atau pergi ke klinik.

Di banyak negara, respons terhadap situasi anak penyan-dang disabilitas umumnya terbatas pada institusionali-sasi, ditinggalkan atau ditelantarkan. Respons –respons semacam ini merupakan masalah, dan itu sudah menga-kar dalam asumsi-asumsi negatif atau paternalistik ten-tang ketidakmampuan, ketergantungan dan perbedaan yang muncul karena ketidaktahuan. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen terhadap hak-hak anak ini dan masa depan mereka, dengan memprioritaskan anak yang paling tidak beruntung – sebagai masalah kesetaraan dan manfaat bagi semua.

Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam berbagai tingkatan tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, di mana mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Gender juga merupakan sebuah faktor penting. Anak-anak perempuan penyandang disa-bilitas juga kecil kemungkinan untuk mendapatkan pen-didikan, mendapatkan pelatihan kerja atau mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan anak laki-laki dengan disabilitas atau anak perempuan tanpa disabilitas.

(4)

Mengenai angka-angka

Menurut sebuah perkiraan yang banyak digunakan, sekitar 93 juta anak – atau 1 dari 20 anak usia 14 tahun atau kurang

– hidup dalam semacam disabilitas yang sedang atau parah.

Estimasi global semacam itu sangat bersifat spekulatif. Estimasi itu – yang ini telah beredar sejak tahun 204 – berasal

dari data yang kualitasnya sangat bervariasi dan metodenya sangat tidak konsisten dan tidak bisa diandalkan. Guna

memberikan sebuah konteks dan ilustrasi isu-isu yang dibicarakan, buku Keadaan Anak-anak di Dunia 2013 ini

mengetengahkan hasil survei nasional dan kajian-kajian independen, tapi ini masih harus diinterpretasikan dengan

hati-hati dan tidak boleh dibandingkan satu sama lain. Ini karena definisi dari disabilitas itu berbeda menurut tempat

dan waktu, sebagaimana juga halnya rancangan, metodologi dan analisisnya.

dari pelayanan publik yang sebenarnya mereka ber-hak untuk mendapatkannya. Pembatasan ini bisa memiliki efek yang panjang – yang membatasi akses mereka ada pekerjaan atau partisipasi mereka dalam masalah-masalah kemasyarakatan di kemudian hari, misalnya. Tapi akses pada pelayanan dan teknologi bisa memosisikan anak penyandang disabilitas untuk mengambil tempat di dalam masyarakat dan mem-berikan kontribusinya.

Masa depan sama sekali tidak suram. Dengan adanya komitmen untuk menegakkan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (KHPD), pemerintah di seluruh dunia telah mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh anak, baik itu penyandang disabilitas atau bukan, bisa menikmati hak-hak mereka tanpa diskriminasi apa pun. Kedua konvensi itu menjadi saksi atas mening-katnya pergerakan global yang didedikasikan untuk inklusi anak penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat. Kedua konvensi itu menyatakan bahwa anak penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya.

Inklusi lebih dari sekedar integrasi. Sebagai bisa dicon-tohkan dari bidang pendidikan, integrasi bisa dicoba hanya dengan merancang dan melaksanakan bahwa seluruh anak bisa belajar dan bermain bersama. Ini berarti memberikan akomodasi yang diperlukan untuk mengakses Braille, bahasa isyarat dan kurikulum yang diadaptasi.

Inklusi akan menguntungkan semua orang. Masih mengambil contoh dari bidang pendidikan, landaian

(ramp) dan pintu masuk yang lebar dapat meningkat-kan akses dan keselamatan bagi seluruh anak, guru, orang tua dan pengunjung, bukan hanya mereka yang menggunakan kursi roda.

Dalam usaha untuk mempromosikan inklusi dan keadilan, anak penyandang disabilitas harus bisa mendapatkan dukungan dari keluarga mereka, organisasi penyandang cacat, asosiasi orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat. Mereka harus bisa mengandalkan persekutuan lebih jauh lagi. Pemerintah bisa membantu dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan dan program-program mereka dengan KHPD dan KHA. Para mitra internasional bisa memberikan bantuan yang sesuai dengan Konvensi tersebut. Korporasi dan entitas sektor swasta bisa memajukan inklusi – dan menarik bakat terbaik, de-ngan merangkul keragaman dalam mempekerjakan orang.

(5)

Nemanja (paling kiri) usia 6 tahun duduk bersama teman sekelas di Novi Sad, Sekolah dasar adalah yang pertama mengintegrasikan anak penyandang catat menurut undang-undang yang ditujukan untuk mengurangi institusionalisasi ©UNICEF/HQ2011-1156/Holt

DASAR-DASAR INKLUSI

KHA dan KHPD menantang pendekatan-pendekatan yang menganggap anak-anak penyandang disabilitas sebagai penerima pengasuhan dan perlindungan yang pasif. Alih-alih, kedua konvensi tersebut menuntut pengakuan atas setiap anak sebagai anggota penuh dari keluarga dan masyarakatnya. Ini berarti bahwa fokusnya bukan pada pengertian tradisional “menyela-matkan” anak, tapi pada investasi dalam menghilang-kan hambatan-hambatan fisik, budaya, ekonomi, komunikasi, mobilitas dan sikap yang menghalangi realisasi dari hak-hak anak – termasuk hak untuk ter-libat aktif dalam membuat keputusan yang memberi-kan pengaruh pada kehidupan keseharian anak.

Meremehkan kemampuan penyandang disabilitas merupakan hambatan utama untuk inklusi mereka dan untuk memberikan kesempatan yang setara. Sikap yang meremehkan ada di masyarakat – mulai dari para profesional, politisi dan pembuat keputusan lainnya terhadap keluarga dan teman-teman serta para penyandang disabilitas itu sen-diri, yang karena tidak adanya bukti bahwa mereka itu berharga dan didukung seringkali meremehkan kemampuan me-reka sendiri.

Perubahan Sikap

Tidak akan banyak perubahan dalam kehidupan anak penyandang disabilitas kalau tidak ada perubahan sikap. Ketidaktahuan tentang sifat dan penyebab pelemahan, invisibilitas anak itu sendiri, peremehan yang serius tentang potensi dan kapasitas mereka, dan rintangan lainnya terhadap kesempatan dan perlakukan yang sama semuanya menyatu untuk membuat anak penyandang disabilitas tetap diam dan terpinggirkan. Tapi membawa disabilitas ke dalam wacana politik dan sosial akan memungkin-kan untuk membuat pembuat keputusan dan penye-dia pelayanan menjadi sensitif serta bisa menunjuk-kan pada masyarakat luas bahwa disabilitas meru-pakan bagian dari kondisi kemanusiaan.

Pentingnya melibatkan anak penyandang disabilitas

tidak perlu dilebih-lebihkan. Prasangka bisa dikurangi melalui interaksi, sebagaimana ditunjuk-kan oleh kegiatan-kegiatan yang menggabungditunjuk-kan anak penyandang disabilitas dengan yang bukan penyandang disabilitas. Integrasi sosial akan meng-untungkan semua orang, dan anak-anak yang telah mengalami inklusi – dalam pendidikan, misalnya – bisa menjadi guru masyarakat terbaik dalam mengurangi ketidakseimbangan dan membangun sebuah masyarakat yang inklusif.

Media inklusif juga memainkan peranan penting. Dengan memasukkan penggambaran anak dan orang dewasa penyandang disabilitas, media bisa mengirimkan pesan-pesan positif bahwa mereka adalah anggota keluarga dan tetangga dan juga bisa melawan mis-representasi dan stereotip yang mem-perkuat prasangka-prasangka sosial.

(6)

berpartisipasi akan bisa memberikan inspirasi dan bisa meningkatkan penghormatan – meskipun kita perlu juga berhati-hati agar anak penyandang disa-bilitas yang tidak melakukan kegiatan fisik yang demikian tidak merasa rendah diri.

Olahraga juga telah membantu dalam kampanye-kampanye untuk mengurangi stigma, dan para atlet penyandang disabilitas seringkali menjadi orang yang paling dikenal di kalangan penyandang disabili-tas. Pengalaman di beberapa negara telah menunjuk-kan bahwa akses pada olahraga dan rekreasi bumenunjuk-kan- bukan-lah satu-satunya manfaat langsung yang dirasakan oleh anak penyandang disabilitas, tapi juga memban-tu unmemban-tuk meningkatkan gengsi mereka di masyarakat karena mereka terlihat berpartisipasi bersama anak-anak lain dalam kegiatan-kegiatan yang dinilai oleh masyarakat.

Karena KHPD mengakui keluarga sebagai satuan masyarakat yang alamiah dan menempatkan Negara dalam peranan untuk mendukungnya, proses untuk memenuhi hak-hak anak penyandang disabilitas dimu-lai dengan mendukung keluarga mereka dan mem-bangun rumah yang kondusif untuk intervensi awal.

Mendukung anak dan keluarga

Menurut KHPD, anak-anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka punya hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang memadai dan juga berhak untuk mendapatkan pelayanan dukungan yang disubsidi atau gratis dan akses pada bantuan kelompok. Perlindungan sosial untuk anak penyan-dang disabilitas dan keluarga mereka sangatlah penting karena keluarga ini seringkali menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemasukan. Perkiraan biaya tambahan untuk disabilitas yang ditanggung keluarga berkisar antara 9 persen dari pemasukan di Vietnam sampai 11-69 persen di Inggris. Di samping biaya medis, rehabilitasi dan biaya langsung lainnya, keluarga juga menghadapi biaya kesempatan, karena orang tua dan anggota keluarga seringkali harus berhenti bekerja atau mengurangi jam kerjanya untuk merawat anak penyandang disabilitas.

Sebuah review tentang 14 negara berkembang me-nemukan bahwa para penyandang disabilitas lebih besar kemungkinannya untuk mengalami kemiskinan dibandingkan mereka yang tidak mengalami disabili-tas. Penyandang disabilitas cenderung untuk kurang begitu baik dalam hal pendidikan, pekerjaan, kondisi hidup, konsumsi, dan kesehatan. Biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga lain yang tidak memiliki anggota penyandang disabilitas selanjutnya bisa mengurangi standar kehidupan.

Negara bisa menangani peningkatan risiko anak menjadi miskin dengan inisiatif-inisiatif perlindungan sosial seperti program bantuan tunai, yang telah ter-bukti bermanfaat bagi anak. Semakin banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang memba-ngun berdasarkan hasil-hasil yang menjanjikan dari usaha-usaha yang lebih luas dan telah meluncurkan inisiatif perlindungan sosial yang ditargetkan yang meliputi bantuan tunai terutama untuk anak-anak penyandang disabilitas. Monitoring dan evaluasi rutin tentang efek dari bantuan tunai itu pada kesehatan, pendidikan dan rekreasi anak penyandang disabilitas akan penting untuk memastikan program-program ini bisa mencapai tujuannya.

Perangkat lain yang bisa dipakai oleh Pemerintah adalah penganggaran khusus disabilitas, dimana pemerintah menetapkan tujuan-tujuan khusus untuk anak penyandang disabilitas dalam sebuah inisia-tif yang lebih luas dan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang ada yang memadai untuk tujuan tersebut. Akses yang efektif pada pelayanan termasuk pendidikan, pelayahan kesehatan, rehabilitasi, dan rekreasi harus diberikan secara cuma-cuma dan de-ngan cara yang dapat meningkatkan integrasi sosial secara penuh dan perkembangan individu anak.

Rehabilitasi berbasis masyarakat

(7)

setempat – dengan partisipasi aktif dari anak dan orang dewasa penyandang disabilitas.

RBM bisa efektif dalam menangani berbagai masalah perampasan, seperti yang dihadapi oleh anak-anak penyandang disabilitas yang tinggal di pedesaan dan masyarakat suku asli. Dalam sebuah inisiatif pendampingan untuk anak-anak suku asli di Oaxaca, di Meksiko, misalnya, tim RBM dari Centre for Research and Post-Secondary Studies in Social Anthropology, bekerja sama dengan UNICEF, mem-promosikan pembentukan jejaring dukungan lokal di kalangan keluarga anak-anak penyandang disabilitas. Selama tiga tahun (2007-2010), inisiatif itu melihat adanya peningkatan penerimaan anak penyandang disabilitas oleh keluarga mereka, masyarakat, pe-ningkatan pemberian pelayanan sosial, pembuatan akses kursi roda di tempat-tempat umum, penga-turan pelayanan gratis dari negara dan rumah sakit federal, dan 32 pendaftaran anak penyandang disa-bilitas di sekolah-sekolah utama.

Pendekatan inklusif dibangun berdasarkan aksesibili-tas, dengan tujuan untuk membuat arus utama bisa berlaku untuk semua orang bukannya menciptakan sistem yang paralel. Sebuah lingkungan yang bisa diakses adalah penting jika anak-anak penyandang disabilitas akan menikmati hak-hak mereka untuk berpartisipasi di masyarakat dan untuk mendapatkan kesempatan mewujudkan seluruh potensi mereka. Jadi, misalnya, anak penyandang disabilitas perlu akses pada seluruh sekolah untuk mendapatkan manfaat maksimum dari pendidikan. Anak-anak yang mendapatkan pendidikan bersama dengan rekan-rekan mereka punya kesempatan lebih banyak untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan menjadi terintegrasi dalam kehidupan masyarakat mereka.

Tergantung dari jenis disabilitas, seorang anak mung-kin membutuhkan alat bantu (misalnya, prosthesis) atau pelayanan (seperti penerjemah bahasa tanda) untuk bisa berfungsi secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan. Namun menurut WHO, di negara-negara berpenghasilan rendah hanya 5-15% orang yang memerlukan teknologi alat bantu yang bisa mendapatkannya. Biaya dari teknologi yang seperti

itu bisa menjadi penghalang, terutama untuk anak-anak, yang harus mengganti atau menyesuaikan per-alatan mereka setelah mereka tumbuh dewasa. Akses pada teknologi alat bantu itu dan dukungan khusus lainnya yang diperlukan anak untuk memudahkan interaksi dan partisipasi mereka haruslah gratis dan tersedia untuk semuanya.

Rancangan universal adalah sebuah pendekatan untuk aksesibilitas yang mencoba untuk menciptakan produk, struktur, dan lingkungan yang bisa dipakai oleh semua orang – terlepas berapa usianya, kemam-puan atau situasinya, sampai sejauh mungkin, tanpa perlu adaptasi atau rancangan khusus. Penerapan dunia nyata mencakup curb cut, buku audio, velcro fastening dan bus berlantai rendah.

Biaya untuk mengintegrasikan aksesibilitas ke dalam bangunan dan infrastruktur baru bisa kelihatan sepele, yang terhitung kurang dari 1 persen dari biaya pembangunan utama. Sebaliknya, adaptasi bangunan yang telah siap bisa mencapai 20 persen dari biaya awal. Oleh sebab itu, cukup masuk akal untuk mengintegrasikan pertimbangan aksesibili-tas ke dalam proyek-proyek pada tahap awal dari proses perencanaan, Aksesibilitas juga harus men-jadi pertimbangan ketika mendanai proyek-proyek pembangunan.

(8)

Seorang guru tunarungu mengajar anak-anak tunarungu di Gulu, Uganda. .

©UNICEF/UGDA2012-00108/Sibiloni

FONDASI YANG KUAT

Pelayanan kesehatan dan pendidikan inklusif memi-liki peranan penting dalam membangun fondasi yang kuat di atas mana anak penyandang disabilitas bisa membangun kehidupannya

Kesehatan inklusif

Menurut KHA dan KHPD, seluruh anak punya hak untuk mendapatkan standar kesehatan yang tinggi. Dengan demikian, anak penyandang disabilitas sama-sama berhak untuk mendapatkan perawatan secara penuh – mulai dari imunisasi sewaktu bayi sampai pada gizi yang baik dan pengobatan untuk penyakit akan, sampai pada informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual yang rahasia sela-ma sela-masa resela-maja dan saat menginjak dewasa. Sasela-ma pentingnya adalah pelayanan dasar seperti air bersih, sanitasi dan kebersihan (WASH). Ini hanya masalah keadilan sosial dan masalah menghargai martabak seluruh umat manusia, serta investasi untuk masa depan – karena anak yang sehat akan tumbuh men-jadi penghasil dan orang tua yang lebih efektif.

Di antara intervensi kesehatan publik yang efektif dan sukses, imunisasi merupakan komponen utama dari usaha global untuk mengurangi penyakit dan kema-tian anak. Semakin banyak anak-anak dibandingkan sebelumnya yang bisa dijangkau, tapi anak-anak penyandang disabilitas masih belum memperoleh manfaat dari peningkatan cakupan. Termasuk anak-anak dalam usaha imunisasi tidak hanya etis tapi juga wajib untuk kesehatan publik dan kesetaraan; cakupan universal tidak bisa dicapai jika mereka tetap dikucilkan.

Meskipun imunisasi bisa mencegah beberapa penya-kit yang bisa mengarah kepada disabilitas, tapi ini tidak kalah pentingnya untuk melakukan imunisasi kepada anak yang sudah terlanjur mengalami disa-bilitas. Bila tidak diberikan imunisasi, anak-anak penyandang disabilitas berisiko mengalami ham-batan perkembangan, kondisi sekunder yang bisa dihindari dan kematian yang bisa dicegah.

Memasukkan anak penyandang disabilitas dalam usaha untuk mempromosikan imunisasi – misalnya, meningkatkan kesadaran dengan memperlihatkan mereka bersama yang lainnya poster dan materi pro-mosi lainnya, dan menjangkau orang tua dan organi-sasi orang catat – akan membantu meningkatkan cakupan imunisasi di antara mereka.

Gizi juga merupakan hal penting. Makanan yang tidak mencukupi atau diet kekurangan vitamin atau mineral tertentu bisa menyebabkan bayi rentan ter-hadap kondisi-kondisi tertentu dan infeksi yang bisa menyebabkan disabilitas fisik, indra dan intelektual. Misalnya, antara 250.000 sampai 500.000 anak diang-gap berisiko untuk menjadi buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A. Sindrom ini bisa dengan mudah dicegah dengan suplementasi oral yang ber-harga hanya beberapa sen saja per anak. Di samping itu, langkah-langkah yang berbiaya rendah tersedia untuk mencegah disabilitas muncul dari kekurangan nutrisi lainnya.

(9)

selanjutnya bisa menimbulkan kinerja kognitif dan pendidikan yang buruk yang akan memiliki kon-sekuensi selama hidup. Gizi buruk pada ibu bisa berkontribusi pada sejumlah disabilitas anak yang bisa dicegah. Salah penyebab yang menonjol dari disabilitas di dunia adalah anemia, yang mempenga-ruhi sekitar 42 persen perempuan hamil di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (lebih dari separonya menderita anemia kekurangan zat besi); ini juga mempengaruhi lebih dari separuh anak usia prasekolah di negara-negara berkembang.

Meskipun gizi buruk bisa menjadi penyebab disabili-tas, hal ini juga bisa menjadi akibat. Sesungguhnya, anak-anak penyandang disabilitas lebih berisiko untuk menderita gizi buruk. Rintangan fisik yang terkait dengan kondisi-kondisi seperti sumbing atau lumpuh otak (cerebral palsy 0 dapat mengganggu mekanisme konsumsi makanan; kondisi-kondisi tertentu seperti fibrosis sistik (cystic fibrosis), dapat mengganggu asupan gizi; dan beberapa bayi dan anak penyandang disabilitas mungkin memerlukan diet khusus atau asupan kalori untuk mempertahan-kan berat badan yang sehat.

Namun anak penyandang disabilitas bisa saja disem-bunyikan dari penapisan masyarakat dan inisiatif pemberian makan. Anak-anak yang tidak bersekolah tidak mendapatkan program pemberian makan di sekolah. Di samping faktor-faktor fisik, sikap juga bisa sangat berpengaruh pada nutrisi anak. Di beberapa masyarakat, para ibu mungkin tidak didorong untuk memberikan ASI pada bayi penyandang disabilitas, anak penyandang disabilitas mungkin diberi makan sedikit, atau tidak diberi makan atau diberikan makanan yang kurang bergizi daripada saudaranya yang tidak penyandang disabilitas. Ada kemungkin-an bahwa dalam beberapa hal apa ykemungkin-ang dikemungkin-anggap sebagai penyakit yang terkait dengan disabilitas mungkin sesungguhnya berkaitan dengan masalah pemberian makan.

Di hampir semua negara berkembang, para penyan-dang disabilitas secara rutin menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu dalam mengakses air minum yang aman dan sanitasi dasar. Fasilitas seringkali tidak bisa diakses secara fisik, dan di beberapa tempat,

fasilitas yang baru masih dirancang dan dibangun tanpa perhatian yang memadai untuk anak-anak penyandang disabilitas. Meskipun intervensi rendah biaya dan rendah teknologi seperti kakus jongkok semakin banyak tersedia, informasi tentang hal itu masih harus disebarluaskan dan dimasukkan dalam kebijakan dan praktek WASH.

Rintangan-rintangan sosial juga menghambat akses. Anak-anak dengan disabilitas seringkali menghadapi stigma dan diskriminasi sewaktu menggunakan fasilitas rumah dan fasilitas umum, misalnya, karena adanya ketakutan yang tidak beralasan bahwa mere-ka yang mencemarinya. Apabila anak-anak penyan-dang disabilitas, terutama anak perempuan, dipaksa untuk menggunakan fasilitas terpisah, mereka berisiko mengalami kecelakaan atau serangan fisik, termasuk perkosaan.

Anak-anak penyandang disabilitas mungkin tidak anak bersekolah karena menginginkan toilet yang bisa mereka akses; mereka seringkali menyatakan terpaksa mengurangi makan dan minum agar tidak terlalu sering ke toilet – yang dengan sendirinya akan membahayakan status gizi mereka.

Anak-anak dan remaja penyandang disabilitas ham-pir seluruhnya diabaikan dalam program kesehatan reproduksi dan seksual dan program HIV/AIDS, karena mereka seringkali dianggap tidak aktif secara seksual, kecil kemungkinan untuk menggunakan zat dan kurang berisiko terhadap kekerasan diban-dingkan dengan teman-teman mereka yang tidak mengalami disabilitas. Banyak remaja penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan bahkan informasi dasar tentang bagaimana tubuh mereka berkembang dan berubah, dan karena mereka sering diajarkan untuk diam dan patuh, mereka sangat berisiko untuk disalahgunakan. Akibatnya, mereka berisiko untuk terinfeksi HIV.

(10)

42

%

Perkiraan angka lulus

sekolah dasar

Sumber: World Health Organization, Berdasarkan survei di 51 negara.

petugas pelayanan kesehatan tidak punya pelatihan khusus disabilitas.

Karena anak berkembang sangat cepat selama tiga tahun pertama, deteksi awal dan intervensi sangat-lah penting bagi anak-anak penyandang disabilitas. Penapisan perkembangan merupakan sebuah sarana yang efektif untuk mendeteksi disabilitas pada anak dan merujuk mereka ke penilaian dan intervensi selanjutnya – misalnya untuk mengobati kekurang-an zat besi, memberikkekurang-an obat kekurang-anti epilepsi atau memberikan rehabilitasi berbasis masyarakat – serta memberikan informasi penting bagi anggota keluar-ga. Intervensi-intervensi yang demikian sudah sema-kin tersedia di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Deteksi dan pengobatan kecacatan bukanlah pakan bidang pengobatan yang terpisah tapi meru-pakan aspek integral dari kesehatan publik. Ketika pembuat kebijakan dan peneliti menggolongkan langkah-langkah ini bersaing untuk mendapat-kan sumber daya dengan langkah-langkah untuk mempromosikan kesehatan para penyandang disabilitas, mereka menimbulkan diskriminasi dan ketidaksetaraan.

Pelayanan kesehatan yang ada untuk anak penyan-dang disabilitas mungkin buruk kualitasnya. Petugas kesehatan dan para profesional lainnya memperoleh manfaat dari pendidikan tentang perkembangan anak dan disabilitas dan dilatih untuk memberikan pela-yanan terpadu, dengan partisipasi keluarga besar anak bila mungkin. Di samping itu, umpan balik dari anak penyandang disabilitas harus didapatkan sehingga fasilitas dan pelayanan bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik.

Pendidikan inklusif

Anak-anak penyandang disabilitas secara tidak proporsional sering diabaikan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, yang mengurangi kemam-puan mereka untuk menikmati hak-hak kewarganega-raan mereka, mendapatkan pekerjaan dan mengam-bil peranan yang bernilai di masyarakat. Data survei rumah tangga dari 13 negara berpenghasilan rentan dan menengah menunjukkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas usia antara 6 – 17 tahun secara signifikan berkemungkinan kecil akan dima-sukkan ke sekolah dibandingkan rekan-rekan mereka yang tidak penyandang disabilitas.

Selagi anak-anak penyandang disabilitas tidak diberi-kan akses yang sama untuk masuk sekolah, peme-rintah tidak akan bisa mencapai pendidikan dasar universal (Tujuan Pembangunan Milenium 2), dan negara-negara anggota KHPD tidak bisa memenuhi tanggung jawab mereka menurut Pasal 24.

Daripada memisahkan anak-anak penyandang disa-bilitas di sekolah-sekolah khusus, pendidikan inklu-sif berarti memberikan kesempatan pembelajaran yang bermakna kepada semua anak dalam sistem sekolah reguler. Idealnya, hal ini memungkinkan anak-anak penyandang disabilitas atau yang bukan untuk mengikuti kelas yang sama di sekolah setem-pat, dengan dukungan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini me-nuntut akomodasi fisik serta kurikulum yang berpusat pada anak yang meliputi representasi dari spektrum penuh dari orang yang ditemukan di masyarakat dan meng-gambarkan kebutuhan seluruh anak.

(11)

Berbagai kajian di banyak negara menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kemiskinan dan disabilitas, yang selanjutnya terkait dengan isu-isu gender, kesehatan, dan lapangan kerja. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali terpe-rangkap dalam siklus kemiskinan dan pengucilan. Anak perempuan terpaksa menjadi pengasuh adik-adiknya, bukannya pergi ke sekolah, misalnya, atau seluruh keluarga mengalami stigmatisasi, sehingga enggan untuk melaporkan bahwa ada anak yang penyandang disabilitas atau enggan membawanya ke publik. Namun pendidikan dari orang-orang yang dikucilkan atau dipinggirkan itu menimbulkan pe-ngurangan kemiskinan.

Langkah pertama untuk inklusi dilakukan di rumah pada tahun-tahun pertama. Tanpa kasih sayang, stimulasi indrawi, perawatan kesehatan dan inklusi sosial yang menjadi hak mereka, anak-anak bisa kehilangan momen perkembangan penting dan potensi mereka mungkin akan jadi dibatasi, yang menimbulkan implikasi-implikasi sosial dan eko-nomi bagi mereka sendiri, keluarga mereka dan masyarakat.

Seorang anak yang disabilitas atau keterlambatan perkembangannya teridentifikasi pada tahap awal akan punya kesempatan yang lebih baik untuk bisa mencapai kapasitasnya secara penuh. Pendidikan usia dini adalah penting karena 80% dari kapasitas otak berkembang sebelum usia 3 tahun; masa sebelum masa sekolah dasar memberikan kesempatan untuk menyesuaikan pendidikan perkembangan dengan kebutuhan individu anak. Berbagai kajian menyatakan bahwa anak-anak yang paling tidak beruntung paling berpeluang untuk mendapatkan manfaat. Dengan dukungan keluarga dan masyarakat pada tahap-tahap awal kehidupan mereka, anak-anak penyandang disabilitas berpeluang untuk memanfaatkan tahun-tahun mereka di sekolah untuk menyiapkan diri mereka untuk masa depan.

Di sekolah, menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif bagi anak-anak penyandang disabilitas sangat tergantung dari guru yang memiliki

pemahaman yang jelas tentang pendidikan inklusif

dan komitmen untuk mengajar seluruh anak. Seringkali, guru tidak punya persiapan dan dukungan yang cukup untuk mengajar anak penyandang disabilitas di kelas reguler, dan ini menimbulkan keengganan mereka di banyak negara untuk mendukung inklusi anak penyandang disabilitas di kelas mereka.

Sumber daya untuk anak penyandang disabilitas cenderung dialokasikan ke sekolah terpisah bukan-nya ke sistem pendidikan arus utama yang inklusif. Ini bukan saja tidak tepat, tapi juga bisa menjadi mahal. Di Bulgaria misalnya, anggaran per anak yang dididik di sekolah khusus bisa tiga kali lipat dari anggaran untuk anak yang sama di sekolah reguler.

Bila guru-guru dan petugas dilatih untuk mem-pertimbangkan isu-isu terkait disabilitas, mereka melihat inklusi anak-anak penyandang disabilitas secara lebih positif. Sikap yang paling positif terlihat di kalangan guru-guru yang memiliki pengalaman aktual dengan inklusi. Terlihat bahwa sikap positif di kalangan guru-guru menjelma menjadi penempat-an penempat-anak penypenempat-andpenempat-ang disabilitas ypenempat-ang tidak begitu mengekang.

Namun pelatihan pra-jabatan jarang sekali yang mempersiapkan guru untuk mengajar secara inklu-sif, dan pelatihan yang ada memiliki kualitas yang bervariasi. Tidak adanya orang penyandang disabili-tas di antara para guru menghadirkan tantangan lain untuk pendidikan inklusif; penyandang disabili-tas seringkali menghadapi rintangan yang cukup besar untuk bisa menjadi guru. Di Kamboja misal-nya, guru menurut undang-undang harus “bebas dari disabilitas”.

(12)

Pendidikan inklusif memerlukan pendekatan yang fleksibel terhadap organisasi sekolah, pengem-bangan kurikulum, dan penilaian murid. Fleksibilitas semacam itu memungkinkan untuk mengembang-kan pedagogi yang lebih inklusif, yang mengge-ser fokus dari gaya pembelajaran yang terpusat pada guru ke gaya pembelajaran yang berpusat pada anak untuk bisa merangkul berbagai gaya pembelajaran.

Guru seringkali tidak mendapatkan dukungan yang memadai di kelas, dan mereka harus bisa meminta pertolongan spesialis – misalnya, untuk Braille atau instruksi berbasis komputer – apabila kebutuhan siswa penyandang disabilitas berada di luar keah-lian mereka. Spesialis yang demikian tidak banyak tersedia, terutama di wilayah berpenghasilan ren-dah seperti Sub-Sahara Afrika. Ini membuka kesem-patan bagi dukungan yang tepat dari penyedia ban-tuan finansial dan teknis dari tingkat internasional sampai tingkat lokal.

Pendidikan inklusif juga perlu memanfaatkan sum-ber daya dari luar kelas. Orang tua punya potensi untuk memberikan kontribusinya dalam berbagai cara, mulai dari memberikan transportasi yang bisa diakses sampai pada peningkatan kesadaran untuk berhubungan dengan sektor-sektor kesehatan dan sosial untuk mendapatkan peralatan, dukungan, dan hibah.

Sumber daya yang paling banyak tidak dimanfaat-kan di sekolah dan masyarakat di seluruh dunia adalah anak-anak itu sendiri. Meskipun pentingnya perwakilan anak dan partisipasi anak sudah didokumentasikan, namun mereka hanya ada begitu saja dalam struktur dan sistem pendidikan yang ada. Melibatkan anak penyandang disabili-tas dalam membuat keputusan bisa memberikan tantangan tersendiri, bukan karena pemikiran dan perilaku yang melihat mereka sebagai korban yang pasif.

Dalam penelitian partisipatif, anak-anak seringkali menonjolkan pentingnya lingkungan yang bersih dan toilet yang higenis; untuk anak-anak penyan-dang disabilitas privasi dan aksesibilitas adalah

sangat penting. Anak-anak penyandang disabilitas bisa dan mesti menuntun dan mengevaluasi usaha-usaha untuk memajukan aksesibilitas dan inklusi. Bagaimana pun, siapa yang lebih bisa memahami arti dan dampak dari inklusi?

Aspirasi untuk pendidikan inklusi besar kemung-kinan akan diwujudkan jika pemerintah dan para mitranya jelas tentang siapa mengerjakan apa dan bagaimana, kepada siapa mereka diminta untuk melaporkannya. Jika kebijakan gagal untuk diimple-mentasikan, masalahnya mungkin adalah mandat yang tidak jelas. Di Bangladesh misalnya, umumnya aspek pendidikan anak penyandang disabilitas dike-lola oleh Kementerian Kesejahteraan Sosial bukan-nya Kementerian Pendidikan. Untuk mewujudkan pendidikan inklusif, Kementerian Pendidikan harus didorong untuk mengambil tanggung jawab bagi semua anak usia sekolah. Koordinasi dengan para mitra dan pemangku kepentingan bisa memainkan peranan penting dalam proses ini.

Eksklusi tidak memberikan manfaat pendidikan seumur hidup kepada anak-anak penyandang disabilitas: pekerjaan yang lebih baik, jaminan sosial dan ekonomi, dan kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh di masyarakat. Sebaliknya, investasi di bidang pendidikan anak-anak penyandang disabilitas bisa berkontribusi pada efektivitas masa depan mereka sebagai ang-gota angkatan kerja. Sesungguhnya, penghasilan seseorang bisa meningkat 10 persen setiap kali mereka menambah pendidikan selama satu tahun.

Selanjutnya, ketrampilan dasar membaca dan menulis juga meningkatkan kesehatan. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang bisa membaca 50% lebih besar kemungkinannya untuk tetap hidup mele-wati usia 5 tahun, dan pendidikan ibu yang rendah telah dikaitkan dengan tingginya angka kekerdilan di kalangan anak di pemukiman kumuh di Kenya, pemukiman Roma di Serbia, dan di Kamboja.

(13)

Seorang anak penderita albinisme membaca Braille di sekolah di kota Moshi, Tanzania.© UNICEF/HQ2008-1786/ Pirozzi

ESENSI DARI PERLINDUNGAN

Anak-anak penyandang disabilitas adalah anggota masyarakat yang paling rentang. Mereka berpeluang untuk memperoleh manfaat dari langkah-langkah untuk memperhitungkan mereka, melindungi mereka dari penyalahgunaan dan menjamin mereka akses pada keadilan.

Dalam masyarakat di mana mereka distigmatisasi dan keluarga mereka terpapar dalam eksklusif sosial atau ekonomi, banyak anak penyandang disabilitas bahkan tidak bisa mendapatkan dokumen identitas mereka. Ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi anak dan merupakan rintangan mendasar untuk parti-sipasi mereka di masyarakat. Ini bisa menutup invisi-bilitas mereka dan meningkatkan kerentanan mereka terhadap berbagai bentuk eksploitasi sebagai akibat mereka tidak bisa mendapatkan identitas resmi.

Negara-negara anggota KHPD punya kewajiban yang jelas untuk menjamin perlindungan hukum yang efektif untuk anak penyandang disabilitas. Untuk mengganti norma-norma sosial yang diskriminatif, Negara perlu memastikan agar undang-undang yang ada ditegakkan dan bahwa anak penyandang disabili-tas diberi tahu tentang hak mereka adisabili-tas perlindung-an dari diskriminasi, dperlindung-an bagaimperlindung-ana menjalperlindung-ankperlindung-an hak tersebut. Prinsip ‘akomodasi yang masuk akal’ menyatakan bahwa adaptasi yang perlu dan tepat perlu dibuat sehingga anak penyandang disabilitas bisa menikmati hak-hak mereka sama seperti anak-anak yang lain. Memasukkan mereka ke sistem yang terpisah tidak akan tepat; kesetaraan melalui inklusi adalah tujuan.

Diskriminasi Eksklusi anak penyandang disabilitas membuat mereka rentan terhadap kekerasan, pene-lantaran, dan penyalahgunaan. Beberapa bentuk kekerasan cukup spesifik untuk anak penyandang disabilitas. It bisa saja dilakukan demi pengobatan untuk modifikasi perilaku, misalnya, menggunakan kejutan elektrik atau narkoba. Anak perempuan penyandang disabilitas di banyak negara bisa menjadi subyek sterilisasi paksaan atau aborsi.

Di banyak negara, anak penyandang disabilitas terus ditempatkan di institusi-institusi. Jarang sekali fasilitas semacam ini memberikan perhatian individual yang dibutuhkan anak untuk sepenuhnya mengembangkan kapasitas mereka. Pengasuhan pendidikan, medis, dan rehabilitatif yang mereka terima di tempat semacam itu seringkali tidak memadai, karena monitoring yang berstandar rendah atau tidak memadai.

Memisahkan anak penyandang disabilitas dari kelu-arga mereka merupakan sebuah pelanggaran atas hak mereka untuk diasuh oleh orang tuanya kecuali hal itu dipandang oleh otoritas yang berkompeten sebagai hal yang menguntungkan bagi kepentingan terbaik anak. Jika keluarga dekat tidak bisa mengasuh anak, KHPD mewajibkan Negara-negara anggota untuk memberikan pengasuhan alternatif dalam keluarga luas atau masyarakat, misalnya keluarga asuh.

Bilamana negara telah mencoba untuk mengemba-likan anak yang ditempatkan di institusi kepada kelu-arga mereka, anak penyandang disabilitas umumnya adalah yang terakhir yang dibebaskan. Itu adalah kasus, misalnya di Serbia, meskipun realisasi bahwa reformasi telah dilewati oleh anwak penyandang disa-bilitas dalam dekade sebelumnya telah memperkuat usaha yang demikian (lihat bagan, hal. 12)

(14)

Kekerasan terhadap anak dengan disabilitas

Anak-anak penyandang disabilitas tiga sampai empat kali lebih besar kemungkinannya untuk menjadi korban

kekerasan. Tim peneliti di John Moores University Liverpool dan World Organization Organization telah melakukan

sebuah tinjauan yang sistematis dan meta-analisis dari kajian-kajian yang ada mengenai kekerasan terhadap anak

penyandang disabilitas. Tinjauan itu membicarakan 17 kajian dari negara-negara berpenghasilan rendah, karena tidak

ada kajian berkualitas tinggi dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah

Perkiraan risiko menunjukkan bahwa anak penyandang disabilitas secara signifikan berisiko lebih tinggi untuk

mengalami kekerasan dibandingkan dengan rekan-rekan mereka tanpa disabilitas: 3,7 kali lebih besar untuk berbagai

macam bentuk kekerasan, 3,6 kali lebih besar untuk kekerasan fisik, dan 2.9 kali lebih besar untuk kekerasan seksual.

Anak-anak dengan disabilitas mental atau intelektual ditemukan 4,6 kali lebih besar kemungkinannya untuk menjadi

korban kekerasan seksual dibandingkan rekan-rekan mereka tanpa disabilitas

Mengapa anak penyandang disabilitas lebih berisiko terhadap kekerasan? Beberapa penjelasan telah dicoba untuk

dikemukakan: Pertama, mengasuh anak penyandang disabilitas memberikan tekanan tambahan bagi pengasuh,

sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan. Kedua, sejumlah anak penyandang disabilitas masih ditempatkan di

pengasuhan rumah, yang merupakan faktor risiko utama untuk penyalahgunaan seksual dan fisik. Terakhir, kecacatan

yang mempengaruhi komunikasi membuat beberapa anak jadi sangat rentan, karena mereka mungkin tidak akan bisa

mengungkapkan tentang pengalaman yang abusif.

Seluruh anak penyandang disabilitas harus dipandang sebagai kelompok yang berisiko tinggi di mana penting sekali

untuk bisa mengidentifikasi kekerasan. Mereka bisa memperoleh manfaat dari berbagai macam intervensi – seperti

kunjungan ke rumah dan pelatihan dalam pengasuhan – yang telah terbukti efektif dalam mencegah kekerasan atau

mengurangi konsekuensinya di kalangan anak penyandang disabilitas.

Menurut reformasi kesejahteraan Serbia, jumlah

anak-anak penyandang disabilitas dikeluarkan dari

institusi lebih rendah dari anak tanpa disabilitas.

Anak dan pemuda (0-26 tahun) penyandang disabilitas di institusi

Anak dan pemuda (0-26 tahun) penyandang disabilitas di institusi

100% 100%

91%

79%

63%

83%

49%

37%

2000 2005 2008 2011 2000 2005 2008 2011 37%

menurun

63% menurun

Sumber: Republican Institute for Social Protection, Serbia.

Ukuran sampel: Anak dan kaum muda (0-26 tahun) penyandang disabilitas: 2.020 di tahun 2000, 1.280 di tahun 2011. Anak-anak dan pemuda (0-26 tahun) tanpa disabilitas: 1.534 di tahun 2000, 574 di tahun 2011.

Yang terakhir yang menerima manfaat

berhadapan dengan hukum – baik sebagai korban,

saksi, atau terduga pelaku. Beberapa langkah spesifik bisa membantu: Anak-anak bisa diwawancarai dengan bahasa tanda atau bahasa lisan; seluruh profesional yang terlibat dalam pelaksanaan peradilan, dari petu-gas penegak hukum sampai hakim, bisa dilatih untuk bekerja dengan anak yang memiliki disabilitas; dan regulasi dan protokol bisa dibentuk untuk memasti-kan perlakuan yang sama terhadap anak penyandang disabilitas.

(15)

Vijay, 12, selamat dari ledakan ranjau darat dan menjadi pendidik risiko ranjau di Sri Lanka.

© UNICEF/Sri Lanka/2012/Tuladar

TANGGAP KEMANUSIAAN

Krisis kemanusiaan, seperti krisis yang terjadi karena perang atau bencana alam, merupakan risiko tersendi-ri bagi anak penyandang disabilitas. Respons kemanu-siaan inklusif sangat diperlukan – dan bisa dilakukan.

Konflik bersenjata adalah penyebab utama disabilitas di kalangan anak-anak, yang terkena pengaruhnya secara langsung dan tidak langsung. Anak-anak men-derita cedera fisik dari serangan, serbuan artileri, dan ledakan ranjau darat – termasuk setelah konflik berakhir; mereka juga menderita efek-efek psikologis dari cedera itu atau dari menyaksikan peristiwa-peris-tiwa yang traumatis. Efek-efek tidak langsung meli-puti penyakit yang tidak bisa diobati ketiak pelayanan kesehatan rusak dan malnutrisi berkembang ketika persediaan makanan menjadi langka. Anak-anak juga terpisah dari keluarganya, rumahnya, dan sekolah-nya, kadang-kadang sampai bertahun-tahun.

Kerusakan yang sama bisa juga terjadi karena ben-cana alam, yang – terutama terkait dengan pening-katan perubahan iklim yang parah dan sering – di-perkirakan akan mempengaruhi sejumlah besar anak dan orang dewasa di masa-masa mendatang.

Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi tan-tangan tertentu dalam masa-masa darurat. Mereka bisa saja terkucilkan atau tidak bisa mengakses pelayanan dukungan utama dan program ban-tuan, seperti pelayanan kesehatan atau pembagian makanan, karena rintangan fisik yang disebabkan oleh bangunan yang tidak bisa mereka akses atau sikap-sikap yang negatif. Mereka bisa saja dilupakan dalam pendirian pelayanan dan tidak dianggap dalam sistem peringatan dini, yang seringkali tidak mempertimbangkan komunikasi dan mobilitas dari mereka yang menjadi penyandang disabilitas.

Aksi kemanusiaan disabilitas inklusif berakar pada:

• Pendekatan berbasis hak. Pasal 11 KHPD secara khusus meminta penanggung jawab untuk meng-ambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi orang-orang penyandang disabilitas

dalam situasi darurat.

• Sebuah pendekatan inklusif yang mengakui bahwa di samping kebutuhan mereka yang terkait de-ngan disabilitas, anak-anak penyandang disabilitas memiliki kebutuhan yang sama dengan anak-anak lain, dan juga bahwa menangani rintangan, fisik atau lainnya, yang menghalangi partisipasi mereka dalam program-program reguler.

• Memastikan aksesibilitas dan rancangan universal mengenai infrastruktur dan informasi.

• Mempromosikan kehidupan yang independen dan partisipasi dalam seluruh aspek kehidupan bagi anak penyandang disabilitas.

• Mengintegrasikan usia, gender, dan keragaman kesadaran, dengan perhatian khusus pada diskri-minasi yang dihadapi oleh anak perempuan dan perempuan penyandang disabilitas.

Pendekatan ini meminta program yang holistik dan inklusif, bukannya proyek-proyek yang terpisah dan kebijakan-kebijakan yang menargetkan disabilitas. Intervensi utamanya meliputi:

• Meningkatkan data dan penilaian untuk mendapat-kan dasar pembuktian bagi kebutuhan yang nyata dan prioritas anak-anak penyandang disabilitas.

(16)

Risiko, Kegigihan, dan aksi kemanusiaan inklusif

Anak-anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka menghadapi tantangan-tantangan tertentu dalam situasi darurat.

Mereka mungkin harus bisa menerima hambatan-hambatan lingkungan yang baru seperti rusaknya landaian, rusak atau

hilangnya peralatan pembantu, dan kehilangan layanan seperti penerjemah bahasa tanda atau perawatan yang biasa

datang berkunjung.

Jika ada anggota keluarga yang meninggal, mungkin tidak ada lagi orang yang tahu bagaimana mengasuh anak yang

memiliki disabilitas fisik atau yang bisa berkomunikasi dengan anak yang memiliki halangan indrawi. Keluarga yang

melarikan diri bisa saja meninggalkan anak yang tidak bisa berjalan atau yang kesehatannya rapuh – atau mereka bisa

meninggalkan anak karena takut tidak akan diberikan suaka di luar negeri yang tidak menerima penyandang disabilitas.

Lembaga-lembaga dan sekolah bisa tutup atau ditinggalkan oleh staf, sehingga anak ditinggal saja tanpa ada pengasuhan.

Dalam konflik bersenjata, anak-anak penyandang disabilitas, terutama mereka yang memiliki disabilitas belajar, bisa jadi

dipaksa untuk menjalani tugas sebagai pejuang, tukang masak, atau pengangkut barang, karena mereka dianggap tidak

begitu berguna dan kecil kemungkinan untuk melawan dibandingkan anak-anak tanpa disabilitas. Program-program

yang ditujukan untuk reintegrasi anak mantan pejuang mungkin tidak bisa memenuhi kebutuhan anak-anak penyandang

disabilitas, yang oleh sebab itu tetap saja dipinggirkan dan dikucilkan, yang seringkali terpaksa harus mengemis,

sebagaimana kasus yang terjadi di Liberia dan Sierra Leone.

Anak-anak penyandang disabilitas harus diberikan kesempatan untuk ambil bagian dalam perencanaan dan implementasi

pengurangan risiko bencana dan strategi pembangunan perdamaian serta dalam tanggap bencana dan proses pemulihan.

Ini telah mulai terjadi seperti yang dilakukan di Pakistan dan Haiti.

Disabilitas sedang diarusutamakan dalam panduan keadaan darurat seperti Sphere Project’s Humanitarian Charter and

Minimum Standards in Humanitarian Response. Kemajuan seperti itu harus diteruskan ke bidang-bidang seperti gizi anak

dan perlindungan, dan sejauh mana anak penyandang disabilitas dimasukkan dalam tanggap kemanusiaan harus diaudit

untuk memonitor dan meningkatkan hasil.

melibatkan mereka dalam perencanaan dan rancangan.

• Merancang pelayanan-pelayanan khusus bagi anak penyandang disabilitas dan memastikan bahwa proses pemulihan dan reintegrasi bisa mening-katkan kesejahteraan, kesehatan, harga diri dan martabat.

• Mengambil langkah-langkah untuk mencegah cedera dan penyalahgunaan dan meningkatkan aksesibilitas.

• Bermitra dengan masyarakat, aktor-aktor regional dan nasional, termasuk organisasi orang cacat, untjuk menantang sikap-sikap diskriminatif dan persepsi dan meningkatkan kesetaraan.

• Meningkatkan partisipasi anak penyandang

disabilitas dengan memberikan konsultasi pada mereka dan menciptakan kesempatan agar suara mereka bisa didengar

(17)

Bahan peledak sisa perang (ERW)

Bahan peledak sisa perang dan ranjau anti personil merupakan faktor yang banyak berkontribusi pada

disabilitas anak. Instrumen-instrumen seperti Mine Ban Treaty 1997 telah banyak membantu mengurangi jumlah orang yang terbunuh atau terluka oleh senjata semacam ini, tapi persentase anak di kalangan korban secara menyeluruh cenderung meningkat.

Setiap tahun sejak tahun 2005, anak-anak yang menjadi korban berjumlah sekitar 20-30 persen dari jumlah korban, dan paling kurang ada sekitar 1000 anak menjadi korban setiap tahun sejak monitoring dilakukan di tahun 1999. Di tahun 2010, anak-anak yang meninggal berjumlah 55 persen dari seluruh penduduk sipil yang meninggal, menjadikan mereka kelompok sipil bagi siapa ranjau dan sisa eksplosif itu sangat berbahaya. Di beberapa negara yang paling banyak terkena dampak ranjau, seperti Afghanistan dan Kamboja, persentase korban yang dialami oleh anak bahkan lebih tinggi lagi. (lihat bagan)

Sejak tahun 2008, anak laki-laki merupakan kelompok korban terbesar, yang merupakan hampir separuh dari korban sipil; tahun itu, mereka berjumlah 73 persen dari anak-anak yang menjadi korban. Di banyak negara yang terkontaminasi, anak laki-laki lebih besar kemungkinannya daripada anak perempuan untuk bertemu dengan ranjau atau sisa eksplosif karena mereka lebih banyak terlibat dalam aktivitas di luar rumah seperti menggembala ternak, mencari kayu api, mengumpulkan besi bekas. Mereka juga lebih besar kemungkinannya dibandingkan anak perempuan untuk bermain-main dengan barang-barang yang mereka temukan.

0% 20% 40% 60% 80% 100%

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Afghanistan

Kamboja

Kolumbia

90%

70%

50%

30%

10%

Korban anak di negara-negara yang paling terkena dampak *

Persentase anak di kalangan korban sipil (1999–2011)

* Tiga negara pihak dalam Mine Ban Treaty dengan tingkat korban yang paling tinggi setiap tahun Sumber: Landmine and Cluster Munition Monitor.

(18)

Anak-anak secara umum berkemungkinan besar akan secara sengaja bermain-main dengan barang-barang eksplosif dibandingkan orang dewasa, seringkali karena tidak tahu, atau rasa ingin tahu, atau karena menganggap itu mainan. Oleh sebab itu, pendidikan risiko yang baik sangatlah penting bagi anak-anak.

Lebih dari seperti tiga penyintas ledakan harus diamputasi; persentase itu bisa lebih tinggi lagi untuk anak-anak, karena jumlahnya yang lebih kecil. Rehabilitasi fisik anak lebih kompleks dibandingkan orang dewasa. Karena tulang mereka tumbuh lebih cepat dari pada selaput lunak mereka, mereka mungkin memerlukan beberapa re-amputasi. Prostesis harus disesuaikan atau diganti begitu mereka tumbuh.

Konsekuensi psikologis dari sisa eksplosif perang atau ledakan ranjau darat seringkali sangat merusak perkembangan anak. Konsekuensi tersebut dapat berupa perasaan bersalah, kehilangan harga diri, fobia dan ketakutan, kesulitan tidur, dan tidak bisa bicara. Jika dibiarkan tidak diobati, anak-anak bisa mengalami gangguan mental jangka panjang.

Kebutuhan reintegrasi sosial dan ekonomi anak penyintas juga sangat bervariasi dari kebutuhan orang dewasa. Di banyak negara, penyintas anak terpaksa menghentikan pendidikan mereka karena waktu yang mereka butuhkan untuk pemulihan atau beban finansial bagi keluarga mereka karena rehabilitasi itu. Mereka secara fisik mungkin tidak bisa berjalan ke sekolah dan tidak punya transportasi alternatif; kelas mungkin tidak bisa diakses, dan guru-guru mungkin tidak terlatih untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akses untuk pendidikan gratis bagi anak penyandang disabilitas sebagai akibat dari kecelakaan ranjau atau sisa eksplosif adalah penting untuk meningkatkan perasaan normal dalam kehidupan mereka dan untuk mengintegrasikan mereka dengan kelompok sebaya dan membolehkan mereka berpartisipasi secara penuh di masyarakat.

Tidak banyak program bantuan korban yang menangani masalah yang terkait dengan usia dan gender. Dalam sebuah survei tahun 2009 mengenai lebih dari 1.600 penyintas dari 25 negara yang terkena dampak yang dilakukan oleh Handicap Internasional, hampir dua pertiga responden menyatakan bahwa pelayanan untuk anak-anak ‘tidak pernah’ atau ‘hampir tidak pernah’ disesuaikan dengan kebutuhan khusus atau usia anak.

Karena anak merupakan persentase yang terus meningkat dari total korban sipil dari sisa eksplosif dan ranjau darat, maka penting sekali untuk menerapkan kebijakan khusus dan rekomendasi programatik yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Ini bisa meliputi langkah-langkah untuk memilah data tentang korban menurut usia dan gender; untuk melatih profesional kesehatan dan pendidikan untuk mempertimbangkan kebutuhan penyintas anak; dan untuk meningkatkan bantuan korban, sebagai pilar utama dari respons terhadap dampak dari sisa eksplosif, dengan panduan yang secara khusus berlaku untuk anak-anak

(sambungan dari halaman 15)

(19)

Seorang petugas kesehatan memeriksa seorang anak laki-laki di Atfaluna Society for Deaf Children, Palestina. Organisasi ini memberikan pendidikan dan pelatihan kejuruan, kesehatan gratis, perawatan layanan psikososial dan penempatan kerja. © UNICEF/HQ2008-0159/Davey

MENGUKUR DISABILITAS ANAK

Sebuah masyarakat tidak akan bisa adil apabila anak-anak tidak dilibatkan, dan anak penyandang disabilitas tidak bisa diikutkan kalau tidak ada pengumpulan data dan analisis yang menyebabkan mereka bisa terlihat.

Mengukur disabilitas anak menghadirkan perang-kat tantangan yang unik. Karena anak berkembang dan belajar untuk melakukan tugas-tugas mendasar dengan kecepatan yang berbeda, maka sulit untuk menilai fungsi dan membedakan keterbatasan dari berbagai perkembangan yang normal. Berbagai sifat dan keparahan dari disabilitas, bersama dengan kebutuhan untuk menerapkan definisi dan langkah-langkah yang spesifik usia, selanjutnya membuat usaha pengumpulan jadi lebih rumit.

Di samping itu, kualitas data yang buruk tentang disabilitas anak, dalam beberapa hal, berasal dari terbatasnya pemahaman tentang apa itu disabilitas anak, dan dalam hal lain, dari stigma atau investasi yang tidak memadai dalam meningkatkan pengu-kuran. Kurangnya bukti yang berasal dari kesulitan semacam itu menghambat pengembangan kebi-jakan-kebijakan yang baik dan pemberian pelayan-an-pelayanan penting.

Meskipun ada kesepakatan umum bahwa definisi tentang disabilitas harus mencakup penentu medis dan sosial, namun pengukuran disabilitas terutama masih bersifat medis, dengan fokus pada kecacatan fisik dan mental.

Salah satu kerangka untuk mempertimbangkan kesehatan dan disabilitas dalam konteks yang lebih luas dari rintangan sosial adalah International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF), yang dikembangkan oleh World Health

Organization. Klasifikasi ini melihat disabilitas dalam dua cara utama: sebagai sebuah masalah struktur dan fungsi tubuh, dan dalam hal aktivitas orang dan partisipasinya. Disabilitas, sebagaimana didefinisi-kan oleh ICF, merupadidefinisi-kan sebuah bagian yang

biasa saja dari keberadaan manusia – setiap orang bisa mengalami beberapa tingkatan daripadanya. Definisi ICF juga mengakui bahwa berfungsi dan disabilitas terjadi dalam konteks, dan oleh sebab itu ada baiknya untuk menilai tidak saja faktor-faktor tubuh tapi juga faktor sosial dan lingkungan.

Berangkat dari ICF, International Classification of Functioning, Disability and Health for Children and Youth (ICF-CY) mengambil sebuah langkah ke arah penggabungan dimensi sosial dengan menangkap tidak saja kecacatan, tapi juga efeknya pada fungsi dan partisipasi anak dalam lingkungannya. Ini men-cakup empat bidang utama: struktur tubuh (misal-nya, organ, tubuh), fungsi tubuh (misalnya men-dengar, mengingat), pembatasan aktivitas (misalnya berjalan, berpakaian), dan pembatasan partisipasi (misalnya, bermain dengan anak lain, melakukan tugas-tugas sederhana).

(20)

Pelajaran yang dipetik

Sejak tahun 1995, UNICEF telah mendukung lebih dari 100 negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam melakukan Multiple Indicator Cluster Surveys (MICS) untuk melacak kemajuan dalam kesejahteraan anak dan perempuan. Sejak tahun 2000-2001, beberapa dari survei ini telah memasukkan sebuah modul yang dirancang untuk menapis disabilitas anak, dan informasi ini sekarang sedang dibangun untuk merancang perangkat pengukuran yang lebih baik.

Modul disabilitas standar yang digunakan dalam MICS antara tahun 2000 sampai 2010 adalah Ten Questions Screen (TQ), yang dikembangkan di tahun 1984 dan menggambarkan bagaimana disabilitas dipahami pada masa itu. Prosesnya dimulai dengan meminta pengasuh utama anak usia antara 209 tahun untuk melakukan penilaian pribadi tentang perkembangan fisik dan mental dan fungsi anak dalam perawatan mereka; jawabannya bisa positif atau negatif.

Validitas dari pendekatan TQ telah banyak diuji, tapi hasilnya harus diinterpretasikan dengan hati-hati. TQ adalah perangkat penapisan dan memerlukan tindak lanjut penilaian medis dan perkembangan untuk menghasilkan perkiraan yang bisa diandalkan tentang jumlah anak dalam sebuah populasi yang memiliki disabilitas. Tidak banyak negara yang memiliki anggaran atau kapasitas untuk melakukan penilaian klinis tahap kedua untuk memvalidasi hasil, dan mereka selanjutnya terhalang oleh kurangnya metodologi standar untuk melakukan penilaian itu.

Penerapan TQ selama MICS tahun 2005-2006 menghasilkan sejumlah hasil di semua negara peserta. Persentase anak yang positif untuk disabilitas berkisar antara 3 persen di Uzbekistan sampai 48 persen di Republik Afrika Tengah. Tidak jelas apakah varian ini menggambarkan perbedaan yang sesungguhnya di kalangan populasi yang menjadi sampel atau faktor tambahan. Misalnya, rendahnya angka yang dilaporkan di Uzbekistan mungkin menggambarkan populasi besar anak penyandang disabilitas yang tinggal di institusi, yang tidak menjadi subyek dari survei rumah tangga.

penyintasan yang rendah untuk anak-anak penyan-dang disabilitas – atau itu mungkin menggambarkan kegagalan untuk menghitung anak yang hidup di institusi-institusi, disembunyikan oleh keluarga, atau tinggal dan bekerja di jalanan.

Budaya juga memainkan peranan yang penting. Penafsiran tentang apa yang dianggap fungsi ‘nor-mal’ bervariasi antara konteks dan mempengaruhi hasil pengukuran. Pencapaian patokan tertentu tidak saja bervariasi di antara anak, tapi juga berbeda menurut budaya, karena anak mungkin saja dido-rong untuk bereksperimen dan aktivitas-aktivitas baru pada berbagai tahapan perkembangannya. Oleh sebab itu, nilai-nilai rujukan harus ditetap-kan dengan mempertimbangditetap-kan kondisi lokal dan pemahaman.

Untuk alasan ini, perangkat penilaian yang dikem-bangkan di negara-negara berpenghasilan tinggi, seperti Wchsler Intelligence Scale for Children,

tidak bisa dipakai di negara atau masyarakat lain. Kerangka rujukan bisa juga bervariasi, dan perangka survei tidak bisa menangkap adat istiadat lokal, pemahaman budaya, bahasa dan ungkapan.

Selanjutnya, tujuan-tujuan khusus dari pengumpulan data berkemungkinan akan mempengaruhi definisi dari apa yang merupakan ‘disabilitas’, pertanyaan yang diajukan dan angka yang dihasilkan. Misalnya, kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan kepa-tutan untuk manfaat disabilitas berkemungkinan akan lebih terbatas dibandingkan dengan kriteria untuk survei yang dilakukan untuk mengidentifikasi semua orang yang memiliki keterbatasan fungsional, yang menghasilkan berbagai angka.

(21)

Dari penapisan ke penilaian

Para pakar pengukuran disabilitas anak sepakat bahwa usaha-usaha penapisan harus diikuti oleh penilaian mendalam. Pengalaman di Bhutan, Kamboja, dan Makedonia memberikan pelajaran penting untuk pengukuran disabilitas anak dan adaptasi metodologi ke dalam konteks lokal. Mereka juga menyatakan menunjukkan kekuatan transformatif dari pengumpulan data.

Komposisi tim penilai inti dan jenis perangkat yang dipakai disesuaikan dengan kapasitas lokal. Pada saat kajian itu dilakukan, baik Bhutan maupun Kamboja menghadapi kekurangan penilaian yang berkualitas. Di Kamboja, tim penilai keliling dipekerjakan dan seorang spesialis mendengar dibawa dari luar negeri, sementara di Bhutan penekanannya adalah pada pelatihan profesional tingkat menengah.

Penilaian itu menunjukkan bahwa perangkat-perangkat seperti kuesioner dan tes harus divalidasi secara lokal dan harus sesuai secara budaya. Bahasa harus mendapatkan perhatian yang serius – misalnya, dalam mencari padanan bahasa yang tepat untuk konsep-konsep seperti ‘kecacatan’ dan ‘disabilitas’.

Dengan adanya penilaian, muncul pula potensi untuk intervensi segera. Di Kamboja, misalnya, beberapa anak yang dinyatakan positif mengalami kesulitan mendengar ditemukan mengalami infeksi telinga atau kotoran telinga yang menggumpal. Begitu telah diidentifikasi, kondisi seperti ini dengan mudah bisa diobati dan infeksi sekunder yang lebih serius dan kerusakan jangka panjang bisa dicegah.

Penilaian juga bisa membantu peningkatan kesadaran dan memicu perubahan bahkan sewaktu proses

pengumpulan dan analisis data tengah berlangsung. Bila penilaian di Bhutan memperlihatkan tingginya kejadian disabilitas kognitif sedang di kalangan anak-anak dari keluarga miskin dan ibu yang kurang terdidik, pemerintah memutuskan untuk fokus pada perkembangan dini dan pelayanan pengasuhan di wilayah pedesaan, di mana tingkat penghasilan dan pendidikan lebih rendah.

Strategi untuk intervensi atas nama anak yang diidentifikasi memiliki disabilitas harus dimasukkan dalam

penilaian sejak tahap awal perencanaan. Strategi yang demikian harus mencakup pemetaan pelayanan yang ada, pengembangan protokol rujukan dan persiapan materi informasi untuk keluarga tentang bagaimana menyesuaikan lingkungan anak untuk meningkatkan fungsi dan partisipasi di rumah dan di masyarakat.

atau mencatat kehadiran anak-anak penyandang disabilitas. Kurangnya informasi tentang anak-anak penyandang disabilitas di negara-negara berpeng-hasilan rendah telah menimbulkan miskonsepsi bahwa disabilitas tidak perlu mendapatkan prioritas global.

Instrumen pengumpulan data umum – seperti sensus atau survei rumah tangga – berkemungkin-an akberkemungkin-an meremehkberkemungkin-an jumlah berkemungkin-anak penyberkemungkin-andberkemungkin-ang disabilitas, terutama apabila survei tersebut tidak secara khusus menanyakan soal itu. Survei rumah tangga yang melakukan itu telah menghasilkan hasil yang lebih akurat dibandingkan yang menanyakan

tentang disabilitas secara umum, tanpa rujukan pada anak. Pertanyaan yang lebih beragam dan rinci tentang subyek tersebut cenderung menghasilkan angka prevalensi yang lebih tinggi.

(22)

Banyak instrumen pengumpulan data didasarkan hanya pada respons orang tua, yang mungkin saja tidak memiliki pengetahuan tentang ukuran spesi-fik yang digunakan untuk mengevaluasi anak pada setiap tahap perkembangannya. Orang tua bisa menyatakan kesulitan berdasarkan kondisi tem-porer seperti infeksi telinga, dan mereka bisa juga mengabaikan tanda-tanda tertentu, atau ragu untuk melaporkannya karena itu kurang bisa diterima atau stigma yang melingkupi disabilitas dalam budaya mereka.

Usaha-usaha untuk mengukur disabilitas anak menghadirkan sebuah kesempatan untuk mengait-kan penilaian dengan strategi intervensi. Meskipun intervensi awal itu penting sekali, namun kapasitas dan sumber daya untuk menindaklanjuti penilaian dan dukungan untuk anak yang ditapis positif untuk disabilitas seringkali langka.

Data yang memuat jenis dan keparahan disabilitas anak serta rintangan bagi anak untuk berfungsi dan berpartisipasi di masyarakat, bila digabungkan de-ngan indikator sosio-ekonomi yang relevan, dapat

Sebuah langkah ke depan

UNICEF, bekerja sama dengan Washington Group on Disability Statistics dan sejumlah pemangku kepentingan, mengadakan konsultasi untuk meningkatkan metodologi yang digunakan untuk mengukur disabilitas anak dalam Multiple Indicator Cluster Surveys dan usaha pengumpulan data lainnya, guna menghasilkan angka-angka yang bisa diperbandingkan secara nasional dan meningkatkan harmonisasi data tentang fungsi anak dan disabilitas secara internasional.

Perangkat penapisan yang sedang dikembangkan mencakup anak usia antara 2-17 tahun dan menggunakan skala pemeringkatan untuk menilai ucapan dan bahasa, pendengaran, penglihatan, pembelajaran (perkembangan kognisi dan intelektual), mobilitas dan ketrampilan motoris, emosi, dan perilaku; ini juga mencakup aspek-aspek kemampuan anak untuk berpartisipasi dalam sejumlah aktivitas dan interaksi sosial. Juga sedang dikembangkan sebuah metodologi menyeluruh yang standar untuk penilaian yang lebih mendalam tentang disabilitas pada anak, dengan protokol pengumpulan data, perangkat penilaian dan sebuah kerangka analisis.

Mengingat bahwa spesialis mungkin tidak banyak di beberapa daerah, sebuah toolkit sedang dirancang untuk memungkinkan guru, pekerja masyarakat dan profesional terlatih lainnya untuk melaksanakan metodologi baru. Ini akan memperkuat kapasitas lokal untuk mengidentifikasi dan menilai anak penyandang disabilitas yang berisiko terhadap pengucilan sosial dan berkurangnya partisipasi.

membantu memberitahukan keputusan-keputusan tentang bagaimana mengalokasikan sumber daya, menghilangkan rintangan, merancang dan memberi-kan pelayanan, dan mengevaluasi intervensi-inter-vensi yang demikian. Misalnya, data bisa digunakan untuk memetakan apakah penghasilan, gender atau status minoritas mempengaruhi akses pada

pendidikan atau imunisasi untuk anak penyandang disabilitas. Monitoring reguler memungkinkan untuk menilai apakah inisiatif yang dirancang untuk ber-manfaat bagi anak bisa memenuhi tujuan mereka.

(23)

Karena negara-negara di dunia berulang kali mene-gaskan komitmen mereka untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif, situasi kebanyakan anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka telah meningkat. Tapi kemajuan itu bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya, dan banyak anak penyandang disabilitas terus menghadapi rintangan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sipil, sosial dan budaya di masyarakatnya. Mewujudkan janji kesetaraan melalui inklusi memerlukan aksi di berbagai wilayah dan oleh banyak pelaku.

Meratifikasi dan melaksanakan

Konvensi-konvensi

Sebagaimana telah dimulai tahun 2003, sebanyak 127 negara dan Uni Eropa telah meratifikasi KHPD dan 193 negara telah meratifikasi KHA, yang memperlihatkan komitmen kepada seluruh warga negara.

Ratifikasi itu sendiri tidak akan mencukupi; mengingat komitmen dalam prakteknya akan memerlukan tidak hanya penegakan yang rajin tapi juga monitoring yang ketat, akuntabilitas dan adaptasi. Prosesnya akan memerlukan usaha di pihak pemerintah pusat, otoritas lokal, pegawai, organisasi orang cacat dan asosiasi orang tua. Organisasi internasional dan donor bisa menyelaraskan bantuan mereka dengan instrumen-instrumen internasional ini.

Memerangi diskriminasi

Diskriminasi merupakan akar dari banyak tantangan yang dihadapi anak penyandang disabilitas dan kelu-arga mereka. Penegasan kesamaan hak dan Non-diskriminasi dalam undang-undang dan kebijakan perlu dilengkapi dengan usaha-usaha untuk mening-katkan kesadaran tentang disabilitas di kalangan masyarakat umum, mulai dari mereka yang memberi-kan pelayanan penting kepada anak di bidang kese-hatan, pendidikan, dan perlindungan.

Negara-negara anggota KHPD dan PBB dan badan-badannya telah menyatakan komitmen mereka untuk melakukan kampanye peningkatan kesadaran,

dan mereka juga diminta untuk memberikan infor-masi kepada anak dan keluarga mereka tentang bagaimana mencegah dan melaporkan eksploitasi, kekerasan, dan penyalahgunaan.

Badan-badan internasional dan pemerintah mereka dan mitra masyarakat bisa membantu mengatasi prasangka dengan memberikan pejabat dan pega-wai pemerintah pemahaman yang lebih mendalam tentang hak, kapasitas dan tantangan yang dihadapi oleh anak penyandang disabilitas. Organisasi orang tua bisa memainkan peranan penting dan harus diperkuat sehingga anak penyandang disabilitas dihargai, dipuja, dan didukung oleh keluarga me-reka dan masyarakat.

Diskriminasi atas dasar disabilitas adalah sebuah bentuk penindasan. Membangun kekuatan untuk perlindungan dari diskriminasi merupakan hal pen-ting dalam mengurangi kerentanan anak penyan-dang disabilitas. Sementara legislasi yang melarang diskriminasi tidak ada, organisasi orang cacat dan masyarakat sipil secara keseluruhan akan terus memiliki peranan penting dalam menekan dilahir-kannya undang-undang yang semacam itu.

Nguyen, yang mengalami autisme, mengikuti kelas yang sengaja dirancang sesuai kebutuhannya di Da Nang Inclusive Education Resource Centre di Viet Nam.

Pusat-pusat semacam itu dibangun untuk membantu anak mempersiapkan diri untuk masuk dalam sekolah arus utama inklusif. © UNICEF/Viet Nam/2012/Bisin

(24)

Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan

Protokol Pilihan: Tanda tangan dan ratifikasi

155

Mengatasi rintangan terhadap

inklusi

Seluruh lingkungan anak – sekolah, fasilitas kesehat-an, transportasi umum dan sebagainya – bisa diba-ngun untuk memudahkan akses dan mendorong par-tisipasi anak penyandang disabilitas bersama dengan rekan-rekannya. Bilamana anak berinteraksi dan sa-ling memahami di semua tingkat kemampuan, me-reka semua akan memperoleh manfaat. Rancangan universal – yang mempromosikan kebergunaan oleh semua orang sampai sejauh yang mungkin dilakukan – harus dipakai untuk membangun semua infrastruk-tur publik dan swasta, serta untuk pengembangan

kurikulum sekolah yang inklusif, program pelatihan vokasi, dan undang perlindungan anak, kebijakan dan pelayanan.

Pemerintah memiliki peranan yang menentukan dalam memperkenalkan dan melaksanakan langkah-langkah legislatif, administratif, dan pendidikan yang diperlukan untuk melindungi anak penyandang disa-bilitas dari segala bentuk eksploitasi, kekerasan, dan penyalahgunaan. Tidaklah tepat untuk menciptakan sistem yang terpisah untuk anak penyandang disa-bilitas – tujuannya adalah mekanisme perlindungan yang inklusif dan bermutu yang sesuai dan bisa diak-ses oleh semua anak.

*Termasuk Uni Eropa

Sumber: UN Enable; United Nations Treaty Collection. Untuk catatan tentang penggunaan istilah, periksa hal. 25

(25)

Meratifikasi Konvensi

Menandatangani Konvensi Menandatangani Protokol Meratifikasi Protokol Tidak menandatangani

Salah satu mekanisme itu adalah pencatatan kela-hiran, sebuah elemen penting dari perlindungan. Usaha-usaha untuk mencatatkan anak penyandang disabilitas – dan oleh sebeb itu membuat mereka jadi perhatian – patut dijadikan prioritas.

Mengakhiri institusionalisasi

Institusi adalah pengganti yang buruk untuk

mengembangkan kehidupan rumah, meskipun mere-ka dijalanmere-kan dan dimonitor dengan baik. Langmere-kah- Langkah-langkah langsung untuk mengurangi ketergantungan pada institusi bisa meliputi moratorium penerimaan anak di institusi. Ini harus disertai dengan promosi dan peningkatan dukungan untuk pengasuhan

berbasis keluarga dan rehabilitasi berbasis masyara-kat. Membuat pelayanan publik, sekolah dan sistem kesehatan bisa diakses dan tanggap terhadap kebu-tuhan anak penyandang disabilitas dan keluarga me-reka akan mengurangi tekanan untuk mengirim anak ke institusi.

Mendukung keluarga

Disabilitas dalam keluarga seringkali dikaitkan de-ngan biaya hidup yang semakin tinggi dan kehilang-an kesempatkehilang-an untuk mendapatkkehilang-an penghasilkehilang-an, dan dengan demikian dapat meningkat resiko men-jadi miskin atau tetap miskin. Kemiskinan membuat anak sulit mendapatkan pelayanan yang mereka

Indonesia

Iran (Islamic Republic of) Iraq

Saint Kitts and Nevis Saint Lucia Saint Vincent dan Granada Samoa San Marino

Sao Tome and Principe Saudi Arabia

The former Yugoslav Republic of Macedonia

United Republic of Tanzania United States

Uruguay Uzbekistan Vanuatu

Venezuela (Bolivarian Republic of)

Referensi

Dokumen terkait

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah mewajibkan

Dengan didasari hal tersebut terbentuklah tujuan untuk membuat aplikasi kamus portable bahasa Indonesia – Inggris – Jawa, yang dapat digunakan di perangkat mobile.. Agar user

Berdasarkan pengamatan masalah diatas didukung pula dengan hasil wawancara dari executive housekeeper bahwa roomboy tidak memperhatikan tugas dan tanggung jawab

Secara umum studi tentang Rekrutmen Bakal Calon Walikota Oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Indonesia Perjuangan Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 merupakan

Assissing menopausal symptoms among healthy middle aged women with the Menopause Rating Scale.. Statistik untuk Kedokteran

Perlakuan yang adil yang dikembangkan sebagai nilai budaya dalam SOHO Global Health adalah memperlakukan karyawan/pelanggan sesuai dengan ketentuan, prosedur,

Penulis bermaksud memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami dan mendalami tentang sebuah karya fiksi dan unsur-unsur didalamnya, seperti alur, tokoh dan penokohan yang

Jaya Abadi Manado masih terdapat kesalahan pencatatan dimana biaya pemeliharaan kendaraan seharusnya perusahaan memasukan biaya ini kedalam kategori biaya yang