• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Lanun di Pulau Kangean Madura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aktivitas Lanun di Pulau Kangean Madura"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan

Sebagai suatu kesatuan administratif, Pulau Kangean adalah bagian dari wilayah Sumenep, Madura, Jawa Timur, tepatnya terletak di timur Pulau Madura. Pulau itu merupakan pulau terbesar dari sekitar 50 pulau lainnya di wilayah Kepulauan Kangean.1 Secara geografis Pulau Kangean berhadapan dengan Laut Bali

serta Selat Madura di selatan dan Laut Jawa di barat, utara, dan timur. Menurut cerita setempat, nama Kangean berasal dari kata kaaengan (bahasa Madura), yang berarti terendam air.2 Nama itu merupakan gambaran dari keadaan Pulau Kangean yang bila

pasang tidak akan tampak dari kejauhan, namun bila surut, pulau itu tampak seperti muncul ke permukaan. Bangawi Kuni Ggaliyao mwang i (ing) Salaya Sumba Solot muar”

Kata Ggaliyo diterjemahkan sebagai Pulau Kangean. Prapanca, penulis

Kakawin Nagara Kratagama, membagi wilayah Nusantara dalam delapan daerah. Daerah satu antara lain adalah Jawa, Madura, dan Ggaliyao (Kangean). Di tiap delapan wilayah itu ditempatkan perwakilan sebagai raja, sehingga diperkirakan ada pula raja di Pulau Kangean, seperti di Jawa dan Madura. Meskipun sementara di Sumenep juga terdapat kekuasaan di bawah pimpinan keturunan Aria Wiraraja, tokoh yang membantu pendirian Kerajaan Majapahit.3

Dengan demikian, Pulau Kangean diperkirakan adalah suatu wilayah yang juga memainkan peran cukup signifikan pada masa kekuasaan Kerajaan Majapahit,

1 Fernao Mendes Pinto, The Travels of Mendes Pinto, Chicago: The University of Chicago Press, hal 614.

2 Zainal Fatah, Sedjarah Tjaranya Pemerintah di Daerah-Daerah Kepulauan Madura dengan Hubungannja, Pamekasan: The Paragon Press, hal. 25

(2)

sehingga secara klasifikasi termasuk ke dalam daerah satu Majapahit. Begitu pula pada perkembangannya, di daerah Pulau Kangean dan laut sekitarnya sempat menjadi wilayah pertempuran antara armada Belanda, Inggris, Amerika, dan Australia (sekutu) dengan Jepang.4

Dalam pandangan orang Madura, penduduk di Pulau Kangean disebut oreng pulo atau orang pulau. Hal ini merupakan dikotomi pandangan orang Madura dalam melihat alamnya, yaitu daratan (dereden) dan kepulauan (polo). Pembagian wilayah ini berhubungan konstruksi orang dari kedua wilayah itu, yaitu orang daratan (oreng dereden) dan orang pulau (oreng polo). Konstruksi menentukan hubungan antarkedua wilayah tersebut. Orang daratan memandang lebih tinggi (derajat) dari orang kepulauan, sedangkan orang kepulauan menyebut orang daratan dengan orang negara yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku (oreng nagera).5

Bahkan saat berbicara mengenai Madura, apa yang menjadi pembahasan adalah wilayah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (daerah daratan). Untuk wilayah Sumenep yang dimaksud pun adalah daerah Sumenep yang berada di Pulau Madura. Padahal apa yang dimaksud Madura itu lebih luas, yaitu (selain 4 pulau tadi) gugusan pulau di sebelah timur Pulau Madura, termasuk di dalamnya Pulau Kangean.

B. Keberagaman Masyarakat Pulau Kangean

Lokasi geografis Pulau Kangean yang berada di timur Pulau Madura dan dikelilingi laut yang terbuka membuat masyarakat yang hidup di dalamnya beragam. Meskipun dapat terbilang kecil, Pulau Kangean memiliki masyarakat yang heterogen. Untuk itu budaya yang berkembang juga beragam, misalnya bahasa. Bahasa yang digunakan oleh Pulau Kangean kebanyakan bukanlah bahasa Madura yang dipakai masyarakat di Pulau Madura.

4 Nugroho Notosusasnto, dkk, Sejarah Nasional Indonesia Zaman Jepang dan Zaman Republik , Jakarta: Balai Pustaka, hal. 5.

(3)

Bahasa Kangean mempunyai tingkatan bahasa ako-kao, nira-nae, dan kaule-panjennengngan. Konstruksi akokao, eson-sede, eson-kakeh merupakan komunikasi yang dipergunakan oleh seseorang yang sederajat dan teman akrab. Konstruksi nira-nae, die-dika digunakan oleh mertua kepada menantu dengan tujuan penghormatan sedangkan kaule-panjennengngan ditujukan kepada seseorang yang lebih tua dan tidak sederajat sebagai penghormatan. Konstruksi yang terakhir ini disebut besa alos

(bahasa tinggi) dan didominasi oleh bahasa Madura.6

Selain karena faktor lokasi geografis, keberagaman budaya di Pulau Kangean juga disebabkan oleh kekayaan alam yang dimilikinya, antara lain adalah hutan. Dalam Verslag van het Dienst van Boschwezen in Nederlandsch-Indie over het Jaar 1930 saja dilaporkan seperti di bawah ini:

“Hutan di Pulau Kangean seluas 20.807 hektar terdiri dari 7.233 hektar hutan jati dan 13.574 hektar hutan belantara. Hutan juga digunakan untuk menggembala lembu dan kerbau dengan dilepas begitu saja selama musim kemarau”.7

Gambar 1: Peta Pulau Kangean dan sekitarnya

6Ibid.

(4)

Sumber: www.kangean.net, diunduh pada 16 Desember 2015

Selain kekayaan hutan, laut di sekitarnya juga menghasilkan kekayaan alam yang melimpah, antara lain adalah penyu, ikan laut, akar bahan, dan bebatuan laut. Bahkan yang terbaru juga ditemukan minyak di dasar laut Pulau Kangean.8 Berdasar pada

laporan Rinkes bahwa, di perairan Madura, dari tahun ke tahun ikan layang merupakan ikan yang banyak ditangkap.9

Berbagai kekayaan alam itu kiranya menjadi salah satu faktor para pendatang dari berbagai wilayah singgah dan kemudian menetap di Pulau Kangean. Selain, orang Madura dari dereden dan pulo, Pulau Kangean juga disinggahi oleh orang-orang keturunan Cina, Arab, Bugis, Mandar, Bajo, Bali, Jawa, dan Makassar. Para pendatang itu, sadar atau tidak, memberikan pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat di Pulau Kangean.

Kedatangan para pendatang di Pulau Kangean itu diawali dengan berbagai alasan, misalnya kedatangan orang Cina yang disebabkan oleh situasi tidak menentu di Pulau Jawa, sehingga memutuskan untuk keluar dari sana, dan salah satu tujuannya adalah Pulau Kangean. Sementara orang Arab, salah satu tujuannya adalah berdagang sekaligus menyebarkan agama, dan orang-orang Jawa didatangkan oleh kolonial karena untuk kepentingan perdagangan kolonial untuk menanam jati.10 Sementara

suku-suku lainnya, seperti Bugis, Makassar, Mandar, dan lainnya tidak menutup kemungkinan datang disebabkan oleh jiwa pelaut mereka, sehingga sengaja ataupun tidak, singgah dan kemudian juga menetap di Pulau Kangean. Ada sebutan menarik bagi keturunan Cina dan Arab di Pulau Kangean terkait faktor dari keberagaman budaya. Keturunan Cina laki-laki disebut ‘encek’ dan yang perempuan disebut

8Op.Cit., Sahwanoedin Djojoprajitno, hal. 8-10.

9 Sutejo Kuwat Widodo, “Dinamika Kebijakan Tehadap Nelayan Tinjauan Historis Pada Nelayan Pantai Utara Jawa, 1900-2000”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 13.

(5)

‘ennya’, sedangkan yang keturunan Arab yang laki-laki disebut ‘iyye’ dan perempuan ‘saripah’.

Setelah kedatangan kolonial ke Nusantara, Pulau Kangean juga disinggahi oleh orang-orang Eropa, Kedatangan orang Eropa berhubungan dengan pemantapan kolonialisme dan penyebaran agama Kristen Protestan. Di Pulau Kangean terdapat Kampong Pandita yang lengkap dengan bangunan berarsitektur Eropa sebagai bukti adanya kegiatan misi Kristen. Dari penjelasan itu jelas tergambar bagaimana pulau yang terletak di timur Pulau Madura itu memiliki keberagaman budaya, yang tentunya merupakan akibat dari pengalaman sejarah yang berkembangan seiring dengan zamannya.

C. Aktivitas Lanun di Wilayah Pulau Kangean

Pengalaman sejarah yang tidak dapat dilepaskan dari Pulau Kangean adalah mengenai aktivitas lanun atau bajak laut. Seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya, masyarakat di Pulau Kangean terbagi atas dua pemukiman, yaitu bukit (dera) dan pesisir (paseser). Keduanya memiliki cerita, yakni orang yang tinggal di pemukiman di atas bukit muncul untuk menghindari serangan lanun, sedangkan di pesisir merupakan pemukiman para lanun. Pada perkembangan selanjutnya mulai terbentuk pemukiman di antara kedua wilayah itu, yaitu lembah (lembe). Di wilayah itu terjadi akulturasi kebudayaan antar masyarakat Pulau Kangean.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perubahan sosial di Pulau Kangean salah satu faktor pendorongnya adalah lanun. Untuk itu studi mengenai lanun di Pulau Kangean sebagai suatu sejarah kawasan sekaligus sejarah kemaritimian di wilayah Nusantara patut mendapatkan perhatian. Fenomena lanun di Pulau Kangean merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya mereka.

(6)

sebagai tempat berusaha yang bebas, seperti halnya daerah hutan bagi masyarakat darat yang mengembara di hutan untuk mengumpulkan makanan.

Informasi tentang aktifitas lanun di Pulau Kangean bukan hanya dinyatakan dalam cerita lisan atau sebagian lisan melainkan juga dibuktikan dari catatan pelaut dan musafir asing (Cortesao 1944; Lapian 1987; 1999: 89-92; Lombard 1996, Jilid 2: 77 ) serta arsip-arsip kolonial Belanda (Koloniaal Verslag 1850: 18; Hoëvell 1851: 158-165; Hageman 1858: 321-352; Waal 1879:17-108; Meyier 1905:1-90; Roon 1917:264-273; Graaf 1940: 56-58).11

Aktivitas bajak laut di Pulau Kangean merupakan hal yang sangat berkaitan erat dengan kondisi geografis dan aktivitas mayoritas penduduk Pulau Kangean yang menggantungkan kehidupannya ke laut. Berkaitan dengan itu, Kwee Hui Khan memaparkan kondisi sosial di Pulau Kangean sebagai berikut:

“The population of Kangean Island are fisher men, and could bring these products (sea cucumber, seaweed, etc.) to the Chinese instead of Makassar. But the fisher men were discouraged by the extraordinary acts of Sumenep mantris, who had authority over these islands, who created problems either by getting the products at a very low price or some other things. Such that less and less fishermen came. I dare not vouch that these islands are free from smuggling.The Sumenep regent had promised to keep a closer eye on this after the Semarang governor threatened to take this islands away from him if smuggling continues. But I don’t think he would really do it because he is very lazy and we could not do very much as well since the islands are quite far away”.12

Keberagaman yang sudah dibahas di atas juga tentu merupakan akibat dari aktivitas kelautan yang dilakukan oleh masyarakat di Pulau Kangean. Mulai dari Arab, Cina, Bugis, Makassar, Bajo, Eropa, Mandar, Jawa, dan Bali. Kehadiran dari suatu kelompok penduduk asing yang demikian besarnya, menandakan adanya perdagangan yang ramai di masa yang lampau. Huub de Jonge menulis, bukankah

11Ibid., hal 4.

12 R. F. van dar Niepoort’s to A. Barkey, 9 Juli 1784, Opkomst 12: 51-52 dalam Kwee Hui Kian, “’Indolent Regents’ versus “Diligent Chinese”: Embedding the Idiom of Regents and Chinese on the Java’s Northeast Coast in the VOC Documents, 1760-1790”, diunduh dari

(7)

orang-orang Cina, Melayu, dan Bugis secara langsung tidak boleh ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pertanian. Orang-orang Cina sering terpaksa, karena peraturan pemerintah tidak memberikan peluang untuk memilih tanah. Mereka menguasai perdagangan kecil di pulau itu dan yang kuat modalnya di kalangan mereka, tampil sebagai peminjam uang dan bertindak sebagai penyewa hak atas tanah, hak pajak tanah, pasar, dan pelabuhan. Menurut Raffles, mereka itu lebih cerdas dan rajin daripada orang-orang pribumi dan merupakan the life and soul of the commerce of the country (nyawa dan jiwa dari perdagangan negara).

Orang Melayu dan Bugis sejak dulu adalah pelaut. Saham mereka sangat penting dalam pelayaran niaga antarpulau. Di Pulau Kangean, mereka juga menekuni usaha pembajakan laut dan perdagangan gelap. Pulau Kangean dapat dikatakan cukup sulit diawasi kala itu. Mereka adalah “…. Maritime and commercial, devoted to speculations of gain, animated by spirit of adventure, and accustomed to distant and hazardous enterprises” (maritime dan komersial, tekun dalam spekulasi keuntungan, digerakkan oleh semangat petualangan, dan terbiasa pada usaha yang jauh dan berbahaya.13

Sedangkan menurut Harian Locomotief, 17 Oktober 1904 menyatakan adanya pergeseran kegiatan bajak laut dari laut Jawa ke Selat Madura dan pelakunya sebagian besar orang Madura Aktifitas bajak laut di kawasan Pulau Kangean dan Selat Madura itu berkaitan dengan perjuangan Trunojoyo. Trunojoyo bekerja sama dengan bajak laut Makassar untuk melawan hegemoni Mataram yang didukung oleh Belanda.14

Pendapat lain mengatakan bahwa aktivitas lanun di Pulau Kangean berawal dari pertarungan bajak laut Tobelo dalam serangan ke Bawean dekat Pulau Kangean melalui Manggarai, dalam bulan Oktober 1850. Pada waktu itu 15 perahu bajak laut berukuran besar mendarat di pantai barat laut pulau itu, ketika sebagian besar dari penduduk persis sedang berlayar ke luar pulau untuk berdagang. Pada kesempatan itu bajak laut berhasil menangkap sejumlah besar dari penduduk beberapa kampung

13 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam Suatu StudiAntropologi Ekonomi, Jakarta: PT Gramedia, hal. 27.

(8)

Bawean yang kemudian dijadikan budak. Sementara Javasche courant (l844) menginformasikan bajak laut Mangindanao menyerang Pulau Bawean, kemudian sebagian ke Pulau Kangean.15 Berdasarkan data itu, dapat diambil sebuah benang

merah bahwa operasi bajak laut atau lanun di wilayah Pulau Kangean dilakukan oleh lebih dari satu oknum (suku).

Apa yang terjadi di Pulau Kangean terkait lanun dalam ranah budaya masuk pula ke dalam folklore kawasan. Bila dikaitkan dengan teori analisis wacana Teun van Dijk, yaitu yaitu konteks sosial. Teks adalah bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat atas suatu masalah, seperti teks yang memarginalkan perempuan, maka teks itu hadir dari representasi yang menggambarkan masyarakat yang patriarkal. Begitu pula cerita rakyat tentang lanun di Pulau Kangean adalah bentuk dari bangunan wacana yang diambil dari realitas sosial, dalam hal ini aktivitas lanun

Pulau Kangean.

Cerita lanun yang tersebar di Pulau Kangean menjelaskan tentang sejarah pemukiman penduduk, dan relasi kekuasaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan kebudayaan orang Pulau Kangean dengan masyarakat dari berbagai kawasan. Di sisi lain, berbagai kekuatan itu menjelaskan terjadinya proses integrasi di kawasan Pulau Kangean. Seperti dijelaskan di awal bahwa terdapat pemisahan pemukiman di Pulau Kangean, yaitu bukit (dera) dan pesisir (paseser). Dera adalah pemukiman untuk menghindari serangan lanun atau bajak laut, sedangkan di passer adalah pemukiman untuk para bajak laut. Pada perkembangan selanjutnya mulai terbentuk pemukiman di antara kedua wilayah itu, yaitu lembah (lembe).

Pergeseran pemukiman di Pulau Kangean itu sejatinya merupakan wujud dari interaksi antara penduduk, baik antar penduduk asli (lahir dan besar di sana) ataupun antara pendatang—termasuk bajak laut—dengan penduduk setempat, sehingga secara perlahan membentuk nucleus lembe, yang berarti terdapat akulturasi di dalamnya. Dalam hal ini, bajak laut juga melakukan interaksi dengan penduduk setempat, dan dengan proses yang sedemikian rupa mereka dapat menerimanya.

(9)

Posisi Pulau Kangean yang berada di tengah persimpangan, langsung ataupun tidak, telah memunculkan aktivitas lanun yang cukup intens. Kemudian berimplikasi pada pemukiman penduduk yang dijelaskan di atas tadi. Lanun bermukim di wilayah pesisir agar dapat mudah untuk mengisi bahan bakar perahu, bahan makanan dan penyimpanan hasil bajakan lanun. Sementara penduduk setempat di bukit untuk menghindari perampokan para lanun.

D. Kesimpulan

Pulau Kangean, pulau yang terletak di timur Pulau Madura, dan kerapkali dinafikan sebagai bagian dari Sumenep ternyata memiliki perkembangan sejarah yang relatif dinamis di dalamnya, khususnya sejarah mengenai lanun atau bajak laut. Dari data yang ditemukan, para lanun datang dari berbagai wilayah, seperti Bugis, Makassar, Melayu, Tobelo, dan Mangindanao. Posisi Pulau Kangean yang berada di persimpangan menyebabkan aktivitas lanun di wilayah itu relatif tinggi. Hal itu dapat ditinjau dari letak pemukiman penduduk di Pulau Kangean. Mereka membagi atas dua wilayah, yaitu daerah pesisir yang didiami para lanun dan bukit yang didiami penduduk setempat untuk menghindari lanun. Pembagian wilayah kependudukan Pulau Kangean itu juga yang selalu diceritakan sebagai tradisi lisan oleh masyarakat di Pulau Kangean mengenai perjalanan wilayahnya.

(10)

Daftar Pustaka

___Bustami, Abdul Latief, “Folklor Kangean:Suatu Kajian Ceritabajak Laut (Lanun) Sebagai Sumber Sejarah Kawasan” dalam jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004.

___Bustami, Abdul Latief, “Islam Kangean” dalam jurnal Antrpologi Indonesia, Malang: Universitas Negeri Malang, 2003.

___de Jonge, Huub, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam Suatu StudiAntropologi Ekonomi, Jakarta: PT Gramedia.

___Djojoprajitno, Sahwanoedin, Kangean Dari Zaman Wilwatikta Sampai Republik Indonesia 1350-1950, Pamekasan: Buletin KNM.

___Fatah, Zainal, Sedjarah Tjaranya Pemerintah di Daerah-Daerah Kepulauan Madura dengan Hubungannja, Pamekasan: The Paragon Press.

___Kian, Kwee Hui, “’Indolent Regents’ versus “Diligent Chinese”: Embedding the Idiom of Regents and Chinese on the Java’s Northeast Coast in the VOC Documents, 1760-1790”.

___Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa.

___Notosusasnto, Nugroho, dkk, Sejarah Nasional Indonesia Zaman Jepang dan Zaman Republik, Jakarta: Balai Pustaka.

___Pinto, Fernao Mendes, The Travels of Mendes Pinto, Chicago: The University of Chicago Press.

(11)

Gambar

Gambar 1: Peta Pulau Kangean dan sekitarnya

Referensi

Dokumen terkait

 Evaluasi PBSD menggunakan analisis MPA dapat memberikan akurasi yang cukup memadai dan masih cukup praktis dilakukan, karena hanya membutuhkan waktu dan tenaga yang

Hasil pengujian data dan hipotesa dengan menggunakan model regresi logistik dengan tingkat signifikan sebesar 5% menunjukan bahwa Return on Asset (ROA) dan Interst Risk Ratio

Secara etimologis, bahasa Inggris novel berasal dari bahasa Italia novella, yang berarti ’sebuah kisah, bagian dari kabar, atau berita-berita’. Definisi novel menurut Wikipedia adalah

(2) Format Naskah Dinas korespondensi ekstern yang berupa surat undangan ekstern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dibuat sesuai dengan contoh yang tercantum

Dapat dinyatakan bahwa penelitian ini telah memperkuat teori yang dikemukakan oleh McClelland dalam Sutrisno (2011:128) bahwa motivasi (kebutuhan akan kekuasaan)

Selain itu dengan adanya sistem yang terkomputerisasi diharapkan adanya unsur obyektifitas pengambil keputusan serta dapat meminimalkan humam error, mempercepat

Namun kurangnya dokter hewan yang tidak selalu ada di tempat sehingga dibutuhkan suatu program sistem pakar berbasis desktop yang mampu memberikan diagnosa akan

Ahmad Anif, S.Pd.I Kamis V Tar/PAI SEJARAH PERADABAN ISLAM/B1-LK 35 2 III B2 Rofiq Faudy Akbar, M.Pd Firda Lailiya Hidayah Kamis V Tar/PAI MATERI & PEMBELAJARAN AKIDAH AKHLAK