• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis BENDERA DI HIZBUT TAHRIR INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tesis BENDERA DI HIZBUT TAHRIR INDONESIA"

Copied!
310
0
0

Teks penuh

(1)

DAN ESTETIKA SEMIOTIS)

Tesis

untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

diajukan oleh Deni Junaedi 10/306637/PMU/06659

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)
(3)
(4)

PRAKATA

(5)

internasional, saya ingin bersentuhan dengan organisasi militan HT yang juga punya jejaring internasional.

Selain itu, hal-hal yang kontroversial memang menantang bagi seorang wartawan (profesi kedua saya selain dosen seni rupa ISI Yogyakarta). Tantangan semakin menarik ketika penelitian seni rupa ini justru berada di lingkungan yang tidak pernah bersinggungan dengan seni rupa. Bahkan, artefak yang diteliti jarang disadari sebagai karya seni rupa, maka tidak aneh jika

beberapa orang menyatakan, “Apa hubungannya dengan seni

rupa?”

Untuk itu, sesuatu yang menantang dibutuhkan bimbingan seseorang yang suka tantangan, pintar, dan cerdas. Keberuntungan besar ketika saya menemukaannya. “Ini orang

yang tepat!” batin saya ketika mengenal Dr. G.R. Lono Lastoro S., M.A., seorang dosen yang awalnya mengaku tidak memahami dunia seni ternyata mahir menganalisanya dengan pendekatan antropologi maupun semiotika. Maka, tidak salah jika dia ada di deretan pertama ucapan terima kasih dalam penelitian ini.

(6)

hingga para mahasiswa berani berkarya. Maka, pantaslah jabatan Kaprodi tersemat di pundaknya.

Yang tidak dapat terlupakan adalah ucapan terima kasih buat Prof. Dr. R. M. Soedarsono. Meskipun awalnya ragu-ragu, dialah yang pertama kali mengijinkan saya mengangkat tema ini. Setelah dosen karismatik yang di masa mudanya sangat energetik

ini mengatakan, “Silakan,” keberanian saya muncul.

Selanjutnya, dosen yang oleh banyak mahasiswa dianggap

“merepotkan” namun tidak habis-habis saya haturkan rasa terima

kasih adalah Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. Dialah yang menyadarkan saya untuk terus belajar menulis, bahkan kembali mempelajari subjek dan predikat. Dia juga yang memberi pemahaman pada saya tentang struktur berfikir dalam kajian ilmiah. Saya akui, kelasnya adalah kelas paling dinamis.

Kemudian, karena saya menggandrungi estetika, ucapan terima kasih untuk Dr. St. Sunardi tidak akan terlupa. Ketika buku teori estetika tampak gelap gulita, kehadirannya membuat bidang ini terang benderang; meskipun bukan berarti tidak ada mahasiswa yang kehilangan senyum segar ketika keluar dari kelasnya. Bagaimanapun estetika memang penuh rahasia.

(7)

bicara HTI; Ir. HM. Rosyid Supriyadi, M.Si., Ketua DPD I HTI DIY; Andika Dwijatmiko, S.Sn., desainer logo HTI; mas Muhammad Nazir, koordinator publikasi Konjab 1432 H; mas Eko, mbak Nunuk, maupun pak Indarjo yang biasa memproduksi liwa dan rayah. Narusumber spesial adalah Aruman, S.Sn., M.A., kaligrafer yang piawai merancang liwa dan rayah; berbagai pustaka kaligrafi yang ada di rak buku saya berasal darinya. Dosen Seni Kriya ISI Yogyakarta itu menjadi motivator ideal untuk penelitian ini.

Ucapan terima kasih yang penuh keriangan adalah untuk teman-teman sekelas. Suasana diskusi yang tidak hanya pedas namun juga membawa solusi menjadikan kelas terasa berseri-seri. Tentu saja prakata ini akan menjadi daftar presensi jika semua dituliskan. Berikut ini adalah sebagian dari mereka: Agus Sutejo, Nano Warsono, I Gede Arya Sucitra, Mikke Susanto, Sumarno, Eli, Ayu, mbak Vivi, Novi, juga mas Kris dan istrinya yang sama-sama mendapat beasiswa.

(8)

dipersembahkan buat guru ngaji saya yang dapat dihubungi sewaktu-waktu, ustad Titok Priastomo.

Demikian pula, teman-teman ngaji yang dengan rendah hati mau berdiskusi tidak dapat terlewatkan dari ucapan terima kasih. Mereka adalah Teguh Wiyatno yang lukisannya diburu kolektor, Paikun yang juga seorang pematung lulusan ISI Yogyakarta, Bagus Triyono yang goresan pensil warnanya mempesonakan, dan mas Bambang yang juga dosen UPN.

(9)

DAFTAR ISI

2. Pustaka terkait Hizbut Tahrir ……….. 10

3. Pustaka terkait Kaligrafi ………. 12

E. Landasan dan Pendekatan Teori ………. 14

1. Veksillologi ……….. 14

b. Estesis dalam Model Semiosis Peircean 31 i. Objek Estetis ………. 32

ii. Nilai Estetis ……… 33

iii. Pengalaman Estetis ………. 34

F. Metode Penelitian ……… 38

1. Batasan Penelitian ………... 38

(10)

BAB II. LIWA DAN RAYAH DALAM KONTEKS SEJARAH …… 49

C. Periode Khulafaur Rasyidin ……….. 65

D. Periode Umawiyah hingga Usmaniyah ………….. 67

1. Ground Bendera Periode Umawiyah hingga Usmaniyah ……….. 70

E. Periode Setelah Keruntuhan Khilafah …………... 110

1. Bendera Negara di Negeri Muslim ………….. 112

a. Pengaruh Barat pada Bendera Negara di Negeri Muslim ……… 112

b. Kontinuitas dan Perubahan Bendera Negara di Negeri Muslim ………. 120

i. Kontinuitas dan Perubahan Ground Bendera Negara ………. 120

ii. Kontinuitas dan Perubahan Charge Bendera Negara ………. 124

2. Bendera Organisasi Islam ……….. 127

a. Organisasi Islam tanpa Liwa dan Rayah 127 b. Organisasi Islam dengan Liwa dan Rayah ………. 137

(11)

ii. Liwa dan Rayah di Hizbut Tahrir …. 148

F. Ringkasan ……… 160

BAB III. LIWA DAN RAYAH DALAM KONTEKS BUDAYA HIZBUT TAHRIR INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ………. 164

A. Sistem Budaya HTI DIY terkait Liwa dan Rayah 164 1. Keimanan sebagai Konsep Dasar …………... 167

2. Islam sebagai Ideologi ………. 170

BAB IV. ESTETIKA SEMIOTIS LIWA DAN RAYAH DI HIZBUT TAHRIR INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ………. 213

(12)

2. Efek Energetis sebagai Penyerta

Pengalaman Estetis ………..… 253

3. Efek Logikal sebagai Pendorong Pengalaman Estetis ………..… 255

D. Ringkasan ……… 256

BAB V. KESIMPULAN ……….. 260

KEPUSTAKAAN ……….. 266

DAFTAR ISTILAH ……….. 277

(13)

DAFTAR GAMBAR

BAB I.

Gambar 1.1 : Liwa berwarna dasar putih dengan kalimat

sahadat berwarna hitam ……… 4

Gambar 1.2 : Rayah berwarna dasar hitam dengan kalimat sahadat berwarna putih ………. 4

Gambar 1.3 : Bagian bendera ………. 16

Gambar 1.4 : Bentuk (shape) bendera ………. 17

Gambar 1.5 : Tipe bendera ……….. 18

Gambar 1.6 : Ejaan laa illaaha illaa Allah, Muhammad Rasul Allah, huruf tebal menunjukkan kata yang dibaca ………. 20

Gambar 1.7 : Berbagai gaya khat ……….. 24

Gambar 1.8 : Surat Nabi Muhammad untuk Raja Bizantium ……… 25

Gambar 1.9 : Skema teori ………. 37

Gambar 1.10 : Posisi DIY di kepulauan Indonesia …………. 40

Gambar 1.11 : Alur Pikir ………. 48 menggunakan khat sulus cukup sempurna 64 Gambar 2.3 : Ragam bendera Khilafah Usmaniyah ……… 69

Gambar 2.4 : Prajurit Usmaniyah membawa bendera berbentuk pennon ……… 70

Gambar 2.5 : Bendera Usmaniyah saat pertempuran Lepanto, berbentuk pennant ……… 70

Gambar 2.6 : Bendera Kesultanan Cirebon, seperti kombinasi warna liwa ………. 72

Gambar 2.7 : Bendera Kesultanan Cirebon, seperti kombinasi warna rayah ………. 72

(14)

Gambar 2.9 : Bendera Pasukan Aceh dengan ground keputih-putihan dan charge hitam ………… 73 Gambar 2.10 : Panji hitam pada arak-arakan prajurit di

Baghdad, dilukis oleh al-Wasithi tahun

1237 ……….. 75

Gambar 2.11 : Bendera hitam terkait di tombak, interpretasi G.A. Embleton atas Mamluk

saat memimpin Perang Salib ……..…………. 75

Gambar 2.12 : Warna hitam pada bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung dari Kesultanan

Yogyakarta ……….. 77

Gambar 2.13 : Jolly Roger, bendera bajak laut yang ditengarai sebagai olok-olok terhadap

rayah ………. 78

Gambar 2.14 : Ragam bendera Khilafah Usmaniyah,

banyak menggunakan warna merah ………. 80

Gambar 2.15 : Bendera berwarna merah digunakan pasukan Muhammad al-Fatih saat

penahlukan Konstantinopel tahun 1453 …. 81

Gambar 2.16 : Ground merah pada bendera perang pasukan Aceh dalam pertempuran di

Jambo Anyer tahun 1902 … 83

Gambar 2.17 : Warna merah yang telah pudar pada bendera Aceh di perang Barus 1540,

terlihat bagian muka dan belakang ……….. 83

Gambar 2.18 : Ground merah pada bendera Si Singamangaraja XII ……….… 83 Gambar 2.19 : Bendera merah milik pemerintahan Islam

di Sudan yang ditemukan tentara Inggris

pada tahun 1885 ……….. 86

Gambar 2.20 : Kalimat sahadat di bendera pasukan Aceh,

kini tersimpan di Museum Negeri Aceh …… 86

Gambar 2.21 : Bendera Khilafah Usmaniyah tahun 1682 .. 86 Gambar 2.22 : Simbol bulan sabit dan bintang, di tengah

atas, digunakan di Assiria tahun 1900-612 SM, bulan sabit sebagai representasi Dewa

Sin atau Dewa Bulan ……….. 88

Gambar 2.23 : Simbol bulan sabit dan bintang di keempat

(15)

Gambar 2.24 : Bendera bergambar bulan sabit dan bintang digunkan Khilafah Ummayah saat

komando jihad tahun 1914 ……….. 92

Gambar 2.25 : Charge bulan sabit dan bintang, bendera Khilafah Usmaniyah, digunakan ulama

India di Delhi tahun 1920 ………. 93 Usmaniyah akhir abad ke-15 ……….. 94 Gambar 2.29 : Heksagram di endera Usmaniyah 1571 …… 96 Gambar 2.30 : Heksagram pada bendera Israel ………. 96 Gambar 2.31 : Bulan sabit dan bintang di bendera Aceh

yang dipakai 1850 hingga 1900 ……….. 97

Gambar 2.32 : Bulan sabit dan bintang di bendera

Kesultanan Pontianak ………. 97

Gambar 2.33 : Bendera Usmaniyah tahun 1512,

bergamabr pedang Zulfikar ……….. 98

Gambar 2.34 : Bendera Usmaniyah saat pertempuran

Slankamen, 1691 ………. 99

Gambar 2.35 : Charge pedang Zulfikar di Bendera Si

Singamangaraja XII ………. 101

Gambar 2.36 : Surat Nabi Muhammad untuk al-Mundhir 102 Gambar 2.37 : Charge lingkaran di ground hitam dalam

Cerita Menak ………. 103

Gambar 2.38 : Bendera dengan charge lingkaran di ground hitam dibawa prajurit Kraton Yogyakarta … 104 Gambar 2.39 : Buraq di bendera Kesultanan Bugis ……….. 106

Usmaniyah di pertempuran Varna tahun

(16)

Gambar 2.44 : Pola bicolor pada bendera Polandia ………… 115

Gambar 2.50 : Bendera Bahamas berpola triagle ... 116

Gambar 2.51 : Bendera Sudan berpola triagle ……… 116

Gambar 2.52 : Coat of arms di bendera Mesir ………. 118

Gambar 2.53 : Tughra Sultan Mahmud II, tahun 1808-1839 ……….. 119

Gambar 2.54 : Hitam, putih, hijau, dan merah di bendera Yordania; representasi Pan-Arab ……… 121

Gambar 2.56 : Merah pada bendera Maroko, konon merepresentasikan warna bendera Nabi Muhammad ……… 121 perkembangan, hukum, dan kesamaan … 126 Gambar 2.62 : Bendera Hamas dengan ground hijau dan charge kalilat sahadat dengan lafaz Allah terletak menonjol di bagian tengah atas … 130 Gambar 2.63 : Versi lain bendera Hamas, ground hijau dan charge kalimat sahadat dalam komposisi lingkaran ……… 130

Gambar 2.64 : Ground hijau dan charge pedang di bendera Ikhwanul Muslimin Mesir ………. 130

Gambar 2.65 : Warna hijau pada bendera dan bangunan NU ……….. 130

(17)

bergerigi di ground hijau bendera Muhammadiyah ………

Gambar 2.68 : Matahari bergerigi lambang Persis …………. 131 Gambar 2.69 : Matahari bergerigi lambang Majapahit ……. 131 Gambar 2.70 : Kalimat sahadat pada umbul-umbul di

Kadipiro Yogyakarta untuk menyambut

Ramadhan 1433 H ………..… 133

Gambar 2.71 : Kalimat sahadat di gerbang Sekaten tahun

2010 ……….. 133

Gambar 2.72 : Kalimat sahadat di Masjid ISI Yogyakarta .. 133 Gambar 2.73 : Kalimat sahadat di selubung keranda …….. 133 Gambar 2.74 : Bulan sabit dan bintang di bendera Laskar

Hizbullah ………. 135

Gambar 2.75 : Bulan sabit dan bintang di bendera NII,

Kartosuwiryo berpose di depannya ………… 135

Gambar 2.76 : Bulan sabit dan empat bintang di bendera

DI/TII Aceh pimpinan Daud Beureueh ……. 135

Gambar 2.77 : Bulan sabit dan bintang berpadu dengan matahari pada daidanki, bendera PETA ….. 136 Gambar 2.78 : Bulan sabit dan bintang di bendera PSII

dan Masjumi, saat Pemilu 1955 ………. 136

(18)

Gambar 2.88 : Rayah dengan lingkaran putih di pelaku

bom Cirebon … 142

Gambar 2.89 : Liwa dengan tambahan tulisan nama

organisasi ……… 144

Gambar 2.90 : Podium berselubung bendera dengan kalimat sahadat di Masjid Kwitang Jakarta,

24 April 1943 … 145

Gambar 2.91 : Emblem rayah dari Mujahidin, dengan

gambar pedang ……….. 146

Gambar 2.92 : Emblem rayah dari Mujahidin, dengan

gambar AK47 ………. 146

Gambar 2.93 : Derivasi rayah pada topi Panglima Khathab 146 Gambar 2.94 : Derivasi liwa dalam bentuk stiker di helm

seorang wanita tanpa kerudung ………. 147

(19)

Gambar 2.108 : Liwa dan rayah di HTI Jabar, saat Konjab memperlihatkan skrin sablon untuk pembuatanliwa atau rayah ……….. 182 Gambar 3.2 : Rayah di etalase Solfi ………. 182 Gambar 3.3 : Rayah dijual di acara Konjab 1432 H

tanggal 19 Juni 2011 ……….. 182

Gambar 3.4 : Liwa dan rayah pernah digunakan HTI DIY hingga menyentuh tanah, saat Konjab 1432 H tanggal 19 Juni 2011, dalam gambar hanya terlihat rayah ……… 186 Gambar 3.5 : Bendera Gula Kelapa dibawa prajurit

Keraton Yogyakarta hingga menyentuh

tanah ………. 186

Gambar 3.6 : Anak-anak mendapat bendera, saat pawai menjelang Ramadhan tanggal 29 Juni 2011 187 Gambar 3.7 : Wisatawan macanegara mendapat bendera,

saat pawai menjelang Ramadhan tanggal

29 Juni 2011 ………. 187

(20)

Gambar 3.9 : Liwa dan rayah dalam aksi menolak liberalisasi migas tanggal 21 Januari 2011

di perempatan Kantor Pos ……….… 189 Gambar 3.10 : Liwa dan rayah disamping balon berwarna

warni, dalam pawai menjelang Ramadhan

tanggal 29 Juni 2011 ……….. 189

Gambar 3.17 : Usai sholad Idul Adha, siswa BPTT berpose di depan rayah ……….. 193 Gambar 3.18 : Liwa dan rayah tidak digunakan di Diskusi

Meja Forum Intelektual Muslim 15 Januari 2011, dalam gambar tampak pembicara Revrison Baswir, bukan anggota HT … 195 Gambar 3.19 : Liwa dan rayah tidak digunakan di

Training Pemuda 19 Desember 2010 … 195

(21)

Gambar 3.25 : Derivasi rayah untuk topi dan ikat kepala . 199

Gambar 3.26 : Derivasi liwa untuk ikat kepala ……….. 199

Gambar 3.27 : Derivasi rayah untuk jaket ……… 200

Gambar 3.28 : Kaos bergambar rayah tanpa sahadat, terdapat juga tulisan Khilafah ………. 200

Gambar 3.29 : Kaos gerakan Anarchist, juga bergambar

Gambar 3.40 : Baju lurik pengibar rayah di pawai tanggal 29 Juni 2011 ………. 207

Gambar 3.41 : Bulan sabit maupun liwa dan rayah di logo HTI Press ………. 208

(22)

Gambar 4.5 : Sisi belakang rayah dengan sablon negatif, sebagaimana ditulis di dua sisi, tapi

kalimat sahadat terbalik ……… 217

Gambar 4.6 : Rayah 3 x 4 m dengan kain dril dan teknik stensil ……… 218 Gambar 4.7 : Liwa kecil terbuat dari kertas dengan

teknik fotokopi ………..… 218 Gambar 4.8 : Rayah berbahan vinil dengan teknik print

digital, terlalu memantulkan cahaya ………. 218

Gambar 4.9 : Ground liwa adalah putih, ground rayah ialah hitam ……….… 220 Gambar 4.10 : Fotokopi gambar rayah … 221 Gambar 4.11 : Ground hitam pada rayah hasil fotokopi … 221 Gambar 4.12 : Komposisi khat paling mirip dengan yang

(23)

Gambar 4.24 : Kadang liwa dan rayah dikibarkan pada

menjelang Konjab 1432 H 19 Juni 2011 … 231

Gambar 4.27 : Rayah berukuran besar dipasang sebagai backdrop, saat Liqo Syawal di Masjid Agung

Bantul 2010 ……… 232 saat Seminar Rajab 1431 H tanggal 10 Juli

(24)

Gambar 4.37 : Liwa dan rayah di jalan lingkar Yogyakarta, menandakan kegiatan Konjab 1432 H

tanggal 19 Juni 2011……… 247

Gambar 4.38 : Liwa di depan Masjid Agung Bantul bulan September 2010, merujuk pada kegiatan Liqa Syawal HTI DIY Bantul ………. 247 Gambar 4.39 : Liwa di meja dalam sekelompok wanita

berkerudung di Masjid UMY tanggal 30 September 2011 kemungkinan besar mengindikasikan kegiatan tersebut

diselenggarakan Muslimah HTI DIY ……….. 247

Gambar 4.40 : Efek energetik berupa kepalan tangan dan pekikan takbir, dalam Konjab 1432 H tanggal 19 Juni 2011 ……….. 254 Gambar 4.41 : Skema estetika semiotis liwa dan rayah di

(25)

DAFTAR SINGKATAN

BPPT : Balai Pelatihan Teknik Traksi DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

HSM : Harakah ash-Shabab al-Mujahidin HT : Hizbut Tahrir

HTI DIY : Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta HTI : Hizbut Tahrir Indonesia

IAIN : Institut Agama Islam Negeri

IKIP : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan ISI : Institut Seni Indonesia

JEC : Jogja Expo Center

KKI : Konferensi Khilafah Internasional Konjab : Konferensi Rajab

MMI : Majelis Mujahidin Indonesia NU : Nahdhotul Ulama UNY : Universitas Negeri Yogyakarta UPN : Universitas Pembangunan Nasional UU : Undang-Undang

(26)

INTISARI

Penelitian ini mengkaji bendera yang digunakan Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY). Partai politik yang tidak masuk parlemen ini menggunakan dua jenis bendera, liwa dan rayah. Liwa berwarna putih dan rayah berwarna hitam, keduanya bertuliskan kaligrafi Arab berlafaz kalimat sahadat.

Bendera itu dikaji dari konteks sejarah, konteks budaya, dan estetika semiotis. Data penelitian kualitatif ini diperoleh melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan kajian pustaka.

Melalui konteks sejarah terlihat, liwa dan rayah pernah digunakan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya, berbagai jenis bendera bermunculan pada periode Khilafah Umawiyah hingga Usmaniyah. Setelah keruntuhan Khilafah, beberapa organisasi Islam, termasuk Hizbut Tahrir (HT), kembali mengibarkannya.

Dalam konteks budaya terungkap, liwa dan rayah disiapkan sebagai bendera negara Khilafah yang dicita-citakan HT. HTI DIY menegaskan bahwa bendera itu bukan benderanya tapi bendera Islam, namun hampir semua kegiatannya yang bersifat terbuka menggunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa bendera tersebut menjadi artefak penting baginya.

Analisis estetika semiotis menunjukkan, sebagai objek estetis, bentuk liwa dan rayah di HTI DIY memperlihatkan keragaman, namun tetap sesuai dengan acuan yang tertulis di buku resmi HT. Bendera itu mengandung nilai estetis yang berupa: nilai simbolis, yaitu mengacu pada Islam dan Khilafah; nilai ikonis, yakni peniruan terhadap bendera Nabi Muhammad; dan nilai indeksikal, menunjukkan keberadaan HTI DIY. Pengalaman estetis yang dialami aktifis HTI DIY, ketika melihat penggunaan bendera itu, berupa efek emosional yang berujud rasa haru atau sublim. Pengalaman itu terjadi bersamaan dengan efek energetis yang berupa acungan kepalan tangan; maupun efek logikal tentang penegakan Khilafah.

(27)

ABSTRACT

This study examines the flag used by Hizb ut-Tahrir Indonesia Yogyakarta (HTI DIY). There are two kinds of flags, liwa and rayah. Liwa’s ground is white and Rayah’s color is black, both charged the profession of faith (shahada) in Arabic Calligraphy.

Those flags are analyzed from a historical context, cultural context, and semiotic aesthetics. This qualitative research data obtained through observations, interviews, documentation studies, and literature review.

In the historical context, liwa and rayah have been used by the Prophet Muhammad and the first four caliphs. Furthermore, different types of flags were popped up in the period of Umayyad until Ottoman Caliphate. After the collapse of the Caliphate, the Islamic organizations, including Hizb ut-Tahrir (HT), re-raise it.

In cultural contex, liwa and rayah will be flags of a new Caliphate aspired by HT. HTI DIY confirms that both were not flags of HT but flags of Islam. However, almost all of its external activities exploit them. This indicates that the flags has become an important artifact for it. experience experienced by HTI DIY activists when looking at the use of the flags is depicting the emotional effects, as tumult or sublime. This experience occurs simultaneously with energetical efect, that is a fist raising; and logical efect, that is reviving of Caliphate.

(28)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Beberapa bendera yang tengah digunakan Hizbut Tahrir

Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY) dicabut oleh

orang tidak dikenal. Bendera yang dipasang di jalan lingkar

Yogyakarta itu merupakan bagian dari acara Konferensi Rajab

1432 H tanggal 19 Juni 2011; konferensi ini digelar untuk

retrospeksi dan introsepsi keruntuhan Khilafah. Sepuluh hari

kemudian, peristiwa serupa juga terjadi di seputar Gelora Delta

Sidoarjo Jawa Timur.1

Masalah itu dapat dimaknai secara berbeda, yaitu kesukaan

atau ketidaksukaan terhadap HTI DIY maupun bendera yang

digunakan olehnya. Kesukaan terlihat ketika bendera yang dilepas

ternyata dipasang lagi di sebuah warung bubur kacang hijau.2

Ketidaksukaan dimungkinkan karena keberadaan HTI DIY, atau

HT pada umumnya, menimbulkan kontroversi.

1 Peristiwa tersebut telah dikonfirmasi dalam wawancara dengan Dhuha Ghufron, Penanggungjawab (Mas‟ul) HTI DIY, tanggal 29 Juli 2011.

(29)

Kontroversi terhadap HT terlihat pada fenomena

peningkatan dukungan padanya di satu sisi, dan penolakan

terhadapnya di sisi lain. Salah satu penolakan disodorkan lewat

buku Ilusi Negara Islam, yang antara lain menyebutkan bahwa HT

adalah gerakan politik berbahaya bagi bangsa.3 Perlawanan

terhadap kelompok Islam ideologis itu juga dilakukan Ed Husain

lewat memoar Matinya Semangat Jihad. Dalam buku yang awalnya

terbit di Inggris dengan judul The Islamist itu dinyatakan bahwa

HT berbahaya bagi Inggris.4 Selain itu, acapkali HT diberi julukan

bernada negatif, fundamentalis.5 Demikian pula, seorang mantan

aktifis HTI yang juga dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan

Ampel Surabaya, Ainur Rofiq al-Amin, pada buku yang diadaptasi

dari disertasinya tahun 2011, Membongkar Proyek Khilafah ala

Hizbut Tahrir di Indonesia, menyatakan bahwa HTI pantas

mendapat piala sebagai penghayal terbesar karena proyek

3 Abdurrahman Wahid, ed., Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institut, Maarif Institut, 2009), passim. Untuk menjawab hal itu, HTI menerbitkan buku Ilusi Negara Demokrasi yang antara lain memaparkan usaha Barat dalam memperalat demokrasi sebagai alat untuk menindas Dunia Ketiga; Arief B. Islandar, ed., Ilusi Negara Demokrasi (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), passim.

4 Ed Husain, Matinya Semangat Jihad Catatan Perjalanan Seorang Islamis, terj. Abdul Malik (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2008), passim.

(30)

penegakan Negara Islam di Indonesia.6 Terkadang, HT juga

dipandang sebagai gerakan terselubung dan misterius.7

Penelitian ini berusaha masuk ke dalam partai “terselubung

dan misterius” itu, khususnya yang berada di Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY), dengan konsentrasi pada bendera yang

digunakan olehnya. Penelitian ini merupakan upaya pemahaman

(verstehen) terhadap budaya visual yang digunakan HTI DIY.

Saat mengadakan kegiatan yang melibatkan masyarakat

luas, HTI DIY hampir selalu mengibarkan dua jenis bendera, yaitu

liwa dan rayah. Liwa adalah bendera berwarna dasar putih dan

bertuliskan kalimat sahadat berwarna hitam (gb. 1.1). Kalimat

tersebut menggunakan bahasa dan kaligrafi Arab. Lafaz sahadat

berbunyi laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah yang berarti

„tidak ada sesembahan selain Allah, Muhammad rasul Allah‟.

Kebalikannya, rayah memiliki warna dasar hitam dengan kalimat

sahadat berwarna putih (gb. 2.2).

6 Ainur Rofiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2012), sampul depan. Pernyataan al-Amin dijawab Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto, yaitu al-Amin disebut telmi (telat mikir) karena lembaga di luar Islam pun, misalnya National Intellegence Council (NIC) yang ada di Amerika Serikat, beberapa tahun sebelumnya telah memprediksi kemungkinan kemunculan Khilafah; Ismail Yusanto, ”Telmi”, majalah Al-Wa‟ie (No. 141, Tahun XII, 1-31 Mei 2012), 40-41.

(31)

HTI DIY adalah bagian dari Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan

oleh Taqiyuddin an-Nabhani di Yerusalem Palestina pada tahun

1953.8 HT berkembang di lebih dari 70 negara,9 antara lain:

Amerika Serikat, Inggris, Australia, Yaman, Tunisia, Malaysia, dan

Indonesia.10 Parpol yang tidak terlibat di parlemen itu sampai ke Islamic World, volume 2 (New York: Oxford University Press, 2001), 125.

9 Illya Muhsin, “Gerakan Penegakan Syariah Islam: Studi tentang Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indoensia di DIY” (Tesis Program Studi Sosiologi Sekolah Pascasarjana UGM, 2007), 123.

10 Fahmi Amhar, “Peta Global Perjuangan Menegakkan Khilafah”, dalam majalah Al-Wa‟ie (No. 119, Tahun X,1-31 Juli 2010), 9-11.

11 Muhsin, 2007,117-123. Gambar 1.1

Liwa berwarna dasar putih dengan kalimat sahadat

berwarna hitam (Foto: Deni Junaedi, 2011)

Gambar 1.2

Rayah berwarna dasar hitam dengan kalimat sahadat

(32)

Secara harfiah, Hizbut Tahrir bermakna „partai

pembebasan‟. Dalam bahasa Arab, hizb berarti „partai‟ dan

at-tahrir berarti „pembebasan‟. HT dideklarasikan sebagai partai

politik yang berlandaskan ideologi Islam.12 Tujuannya adalah

mengembalikan kejayaan Islam melalui penegakan Khilafah atau

Negara Islam yang menyatukan seluruh dunia.13 Kendati

bertujuan mendirikan negara, HT melarang penggunaan senjata

atau perlawanan fisik dalam perjuangannya.14

Dalam penelitian ini, bendera yang digunakan HTI DIY

dicermati dari ranah objek estetis, nilai estetis, dan pengalaman

estetis, yang terjalin dalam proses estetis atau estesis. Estesis

dipandang sebagai teks dan diletakkan dalam konteks sejarah dan

konteks budaya. Pendekatan estetika semiotis dengan

memperhatikan konteks waktu maupun ruang diharapkan dapat

menjadi pisau bedah fenomena pengibaran liwa dan rayah oleh

HTI DIY, sebagai bagian fenomena Internasional.

12 Esposito, 2001, 125-126.

13 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Afif dan Nur Khalish (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, cetakan ketiga 2009), 3.

(33)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, mengapa liwa dan rayah digunakan oleh HTI DIY?;

kedua, bagaimana konteks sejarah bendera tersebut?; ketiga,

bagaimana keberadaan bendera itu dalam konteks budaya HTI

DIY?; dan keempat, bagaimana estetika semiotis bendera tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan memahami fenomena pengibaran

liwa dan rayah di HTI DIY. Analisis yang digunakan adalah

estetika semiotis, yaitu analisis dalam kerangka estesis yang

meliputi pembahasan objek estetis, nilai estetis, dan pengalaman

estetis. Estesis atau proses estetis tersebut ditempatkan dalam

konteks sejarah dan konteks budaya agar diperoleh pemahaman

yang tepat.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pengkayaan

konsep estetika. Kajian terhadap budaya visual atau karya seni

rupa yang digunakan oleh institusi politis berbasis ideologi agama,

sebagaimana HTI DIY, juga bermanfaat bagi beragam institusi,

misalnya, institusi pendidikan, agama, politik, atau bahkan

negara. Secara umum, penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat

seni rupa atau masyarakat luas untuk menumbuhkan kesadaran

(34)

Penelitian ini juga bermanfaat bagi penulis untuk pengkayaan

pengamatan terhadap budaya seni rupa dengan pendekatan

multidisiplin, yaitu estetika, sejarah, dan budaya.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum penelitian ini dilakukan, telah ada beberapa

pustaka terkait dengan liwa dan rayah, kaligrafi, atau HTI DIY.

Namun demikian, belum ada yang secara khusus meneliti tentang

liwa dan rayah yang digunakan oleh HTI DIY.

1. Pustaka terkait Liwa dan Rayah

Bentuk maupun penggunaan liwa dan rayah telah diteliti

oleh Abdullah bin Muhammad bin Sa‟d Al-Hujaili dalam Al-„Alamu

Nabawiy as-Syarif.15 Dosen Jurusan Pengadilan dan Politik

Pemerintahan di Universitas Islamiyah Madinah Munawarah itu

menggunakan pendekatan historis dalam penelitiannya. Sumber

data yang digunakan adalah hadis Nabi dan catatan sejarah.

Dalam buku itu disebutkan, sebelum kedatangan Islam,

masyarakat Arab telah menggunakan bendera untuk berbagai

kepentingan, seperti: peperangan, mainan anak, penjual arak,

penyair wanita, maupun dipajang di tempat pelacuran. Setelah

(35)

pemerintahan Islam terbentuk di Madinah pada tahun 622, liwa

dan rayah digunakan Nabi Muhammad dalam peperangan. Setelah

Nabi Muhammad wafat, pemerintahan Khulafaur Rasidin tetap

menggunakan bendera tersebut. Selanjutnya, Khilafah Bani

Umawiyah yang memimpin pada tahun 661 hingga 749 mengubah

bendera negara menjadi berwana hijau, juga memakai baju resmi

kenegaraan berwana hijau; warna tersebut menjadi simbol

pemerintahan. Lalu, Bani Abbasiyah yang berkuasa sejak 749

hingga 1200 kembali menggunakan bendera hitam meskipun

dengan penambahan materi tulisan; pakaian para pemimpin pun

berwarna hitam.16

Pustaka lain yang menyinggung liwa adalah karya Gabriella

Elgenius pada salah satu subbab “The Origin of European National

Flags” dalam buku Flag, Nation, Symbolism in Europe and

America.17 Peneliti dari University of Oxford itu menggunakan

pendekatan sosiologis untuk melihat bendera sebagai identitas

yang membedakan antara “kita” dan “yang lain” (the other).

Elgenius menyatakan bahwa bendera berwarna hitam dan

putih telah digunakan pada awal abad ketujuh sebelum kelahiran

Islam. Selanjutnya, Muhammad menggunakan sebuah bendera

berwarna hitam dan sebuah bendera berwarna putih. Elgenius

16 Al-Hujaili, 2002, passim.

(36)

tidak mencantumkan sumber data untuk informasi ini.

Pernyataannya bahwa Muhammad menggunakan satu bendera

berwarna hitam berbeda dengan pendapat al-Hujaili, yang

menggunakan hadis sebagai sumber data, bahwa rayah, atau

panji hitam, berjumlah banyak.18

Selanjutnya Elgenius menyatakan, pemerintahan awal

setelah kematian Muhammad menggunakan warna bendera yang

diasosiasikan dengan Muhammad sebagai seorang nabi.

Kemudian, para pemimpin Arab mengembangkan warna dan

tulisan tersendiri, pergantian dinasti diikuti dengan perubahan

warna bendera. Pilihan warna dan inskripsi oleh pemerintah

berkuasa merupakan bentuk identitas politik yang kelak menjadi

basis untuk seluruh bendera modern. Berbeda dengan bangsa

Cina yang mengidentifikasi setiap warna bendera dengan konsep

filsafat atau agama, bangsa Arab menghubungakan warna bendera

dengan kepemimpinan seseorang atau dinasti.19

Kedua kepustakaan terkait dengan liwa dan rayah tersebut

tidak menyinggung penggunaannya oleh HT, apalagi HTI DIY.

Dengan demikian, tulisan Al-Hujaili maupun Elgenius berbeda

dengan penelitian ini.

(37)

2. Pustaka terkait Hizbut Tahrir

Penelitian tentang HTI DIY dikerjakan oleh Illya Muhsin

dalam tesis “Gerakan Penegakan Syariah Islam: Studi tentang

Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indonesia di DIY”.20 Penelitiannya

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografis.

Muhsin menggunakan teori gerakan sosial yang, antara lain,

dikembangkan oleh Dough McAdam. Ia menyatakan bahwa

kemunculan HT, termasuk HTI, atau khususnya HTI DIY, dapat

dilihat dalam tiga aspek, yaitu: normatif, historis, dan sosiologis.

Secara normatif, HT muncul karena terdapat kewajiban penegakan

syariah Islam dalam sistem negara Khilafah. Secara historis,

kemunculan HT terkait dengan fakta bahwa Khilafah Islam pernah

tegak dan membawa umat Islam pada pencapaian peradapan

gemilang selama 13 abad. Secara sosiologis, hal tersebut muncul

karena krisis multi dimensional di berbagai belahan dunia.

Pada penelitian lain, untuk mengetahui faktor yang

mendukung proses internasionalisasi gerakan HT, Dian Nur Ainy

mengerjakan tesis berjudul “Gerakan Organisasi Internasional

Islam Hizbut Tahrir”.21 Penelitian ini menggunakan teori politik,

khususnya terkait dengan gerakan Islam politis yang diungkapkan

oleh Joel Beinin dan Guilain Denoeux. Penelitian kualitatif ini

20 Muhsin, 2007, passim.

(38)

mengambil subjek HT yang ada di Inggris, Jerman, Uzbekistan,

Turki, serta Indonesia. Ainy menyatakan bahwa gerak penyebaran

HT ke dunia Internasional didukung oleh berbagai faktor. Pertama,

metodologi pergerakannya berpedoman pada tahapan yang

dicontohkan Nabi Muhammad. Kedua, struktur partai

menggunakan sistem sel. Ketiga, pergerakan memanfaatkan

teknologi informasi modern. Keempat, rasa ketidakpuasan umat

Muslim terhadap pemerintah yang tengah berkuasa. Di sisi lain,

keadaan demokratis atau tidaknya suatu negara bukan menjadi

faktor utama bagi perkembangan HT.

Selain itu, Iskandar Zulkarnain menulis tesis “Arena

Kekuasaan Simbolik Hizbut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pasca Orde Baru”.22 Ia

menerapkan teori Pierre Bourdieu, memetakan HTI dan MMI

berdasarkan konsep habitus, camp, dan capital. Habitus terlihat

pada reproduksi dakwah dengan mengubah dan menciptakan

kebudayaan dengan implementasi syariat Islam dalam arena

perjuangan yang berbasis institusi, komunitas, maupun lembaga

pemerintah daerah. Champ (arena perjuangan) meliputi modal

ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolis. Modal

ekonomi diperoleh dari hasil iuran anggota setiap bulan dan

(39)

penjualan produksi cetakan. Modal budaya merupakan akumulasi

kekuatan intelektual berbasis akademisi, cendekiawan Muslim,

dan ulama. Modal sosial mengarah pada penguasaan dan

kepemilikan jaringan sosial dalam relasinya dengan pihak lain

yang mempuanyai kuasa. Modal simbolis adalah rekonstruksi

paradigma lewat wacana, pemikiran, dan argumentasi; merupakan

akumalasi modal ekonomi, budaya, dan sosial, yang menjadi

capital utama dalam perjuangan HTI dan MMI untuk mencapai

kekuasaan simbolik. Arena kekuasaan simbolik HTI yang paling

dominan terdapat di masjid, kampus, dan lembaga pemerintah

daerah.

Pustaka terkait HT, HTI, atu HTI DIY di atas tidak

menyinggung penggunaan liwa dan rayah. Dengan demikian,

penelitian ini berbeda dengannya.

3. Pustaka terkait Kaligrafi

Pustaka terkait kaligrafi sebagai simbol dalam Islam perlu

dibahas karena bendera yang digunakan HTI DIY mencantumkan

kaligrafi Arab. Berikut ini, dari berbagai pustaka mengenai

kaligrafi yang cenderung mudah didapat, terdapat empat pustaka

yang terbagi dalam dua kecenderungan. Satu sisi memandang

kaligrafi sebagai lambang keillahian, sisi lain tidak menerima

(40)

Islah Gusmian lewat “Kaligrafi Islam: dari Nalar Seni hingga

Simbolisme Spiritual”23 yang dimuat dalam jurnal Al-Jami‟ah,

menyatakan bahwa setiap kaligrafi Arab mempunyai kepribadian

tersendiri untuk melambangkan bentuk visual Tuhan dan

sifatNya. Selain itu juga melambangkan gerak hati kehambaan.

Setiap karakter huruf menjadi tafsir atas kesadaran spiritual.

Sebelumnya, Seyyed Hossein Nasr telah membicarakan hal serupa

dalam Spiritualias dan Seni Islam.24 Menurutnya, titik di bawah

huruf ba melambangkan Pusat Teragung atau Esensi Tuhan.

Oliver Leaman dalam Estetika Islam Menafsirkan Seni dan

Keindahan25 menyatakan bahwa simbolisme dalam huruf Arab

merupakan kesalahan dalam memandang seni Islam. Peneliti lain

yang tidak menerima gagasan simbolisme huruf Arab adalah

Isma‟il R. al-Faruqi dan Louis Lamnya al-Faruqi. Dalam buku

mereka, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban

Cemerlang26 dinyatakan bahwa kaligrafi simbolis yang memakai

bentuk huruf untuk makna tertentu tidak dapat diterapkan dalam

seni Islam.

23 Islah Gusmian, “Kaligrafi Islam: dari Nalar Seni hingga Simbolisme Spiritual” dalam jurnal Al-Jami‟ah (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, Volume 41, No. 1, 2003), 107-132.

24 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualias dan Seni Islam, terj. Sutejo (Bandung: Mizan, 1993), 46.

25 Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2005), 29-42.

(41)

Dalam penelitian ini tidak menggunakan pengertian simbol

atau simbolisme untuk kaligrafi Arab sebagaimana pemahaman

Nasr atau Gusmian. Istilah simbol yang digunakan di sini berada

dalam konsep semiotika Peircean.

E. Landasan dan Pendekatan Teori

Landasan teori bersifat ensiklopedis atau definisi suatu

konsep. Pendekatan teori merupakan sudut pandang yang

digunakan dalam penelitian. Keduanya disatukan karena

pembahasan tentang pendekatan teori tidak terlepas dari

landasannya. Landasan dan pendekatan teori dalam penelitian ini

meliputi veksillologi, liwa dan rayah, kaligrafi, konteks yang

meliputi konteks sejarah maupun konteks budaya, dan estetika

semiotis untuk analisis bendera di HTI DIY sebagai teks.

1. Veksillologi

Bendera adalah selembar kain, biasanya berwujud persegi,

dibentuk dengan warna atau pola tertentu, umumnya dipasang

agar tertiup angin, dan menyampaikan makna tertentu.27 Studi

tentang bendera disebut veksillologi (vexillology).28 Bidang ini

27 Lewis Mulford Adams, ed., New Master Pictorial Encyclopedia (New York: Book Inc., tanpa tahun), 495.

(42)

merupakan bagian heraldri (heraldry), yaitu studi tentang lambang

pasukan atau pemerintahan (coat of arms).29

Istilah veksillologi digunakan pertama kali oleh Whitney

Smith pada tahun 1957. Kata itu berasal dari bahasa Latin

vexillum, yaitu bendera Romawi kuno yang dikaitkan melintang di

ujung tombak.30

Dalam veksillologi, warna dasar bendera disebut ground.31

Konfigurasi gambar atau tulisan adalah charge. Bagian paling

dekat dengan tiang pengibaran dinamai hoist. Bidang yang

berkibar atau jauh dari tiang disebut fly.32 Material tambahan

yang digunakan untuk mendekorasi bendera ialah bunting.33

29 Stephen Slater, The History and Meaning of Heraldry (London: Southwater, 2004), 28.

30 Fault, 2007, 1-3.

31 Whitney Smith, The Encyclopedia Americana International Edition, Volume 11 (Connecticut: Grolier Incorporated, 1984), 348.

32 David Roberts, Complete Flags of the World (London, New York, Melbourne, Munich, dan Delhi: DK, cetakan ke-7, 2008), 7.

(43)

Smith memperhatikan shape dalam pengamatan terhadap

bendera.34 Shape, oleh Feldmand, diartikan sebagai batas terluar

suatu objek.35 Dengan demikian, shape adalah bagian dari form

(bentuk) atau wujud yang tampak. Dalam penelitian ini,

sebagaimana pemahaman dalam bahasa Indonesia, istilah bentuk

digunakan secara bergantian dalam pengertian form maupun

shape, hal itu tergantung pada konteksnya.

Dalam veksillologi terdapat istilah khusus untuk berbagai

macam bentuk (shape) bendera. Berikut ini adalah bentuk yang

terkait dengan penelitian ini. Canton adalah bendera berbentuk

segi empat; seringkali istilah ini juga mengacu pada seperempat

34 Smith, 1984, 349. 35 Feldman, 1967, 233.

(44)

bagian bendera yang ada di bagian atas dekat dengan tiang;36

dalam penelitian ini, arti yang pertama yang digunakan. Pennant

(atau pendant dalam ejaan British) adalah bendera berbentuk

segitiga atau bendera yang kecil memanjang.37 Pennon adalah

bendera yang pada bagian fly seakan terpotong oleh bentuk

segitiga, bendera ini memiliki lima sisi.38

Tipe bendera juga dapat dilihat dari komposisinya.

Komposisi itu, antara lain, adalah bicolor, tricolor, tribar, triangle,

dan serration. Bicolor adalah pola bendera dua warna baik

terkomposisi secara vertikal maupun horisontal. Tricolor terdiri

36 Roberts, 2008, 7. 37 Smith, 1984, 349.

38 William Crampton, Flag (London: A Dorling Kindersley, 1989), 6. Gambar 1.4

(45)

dari tiga warna yang berderet vertikal. Tribar terkomposisi dari tiga

warna yang berjajar secara horisontal. Komposisi triangle terdiri

dari bentuk segitiga pada bagian hoist. Serration merupakan

komposisi dua warna yang berjajar secara vertikal, batasnya

berupa garis zig-zag.39

Istilah lain dalam veksillologi yang terkait dengan penelitian

ini adalah gonfanon dan ratio. Gonfanon atau gonfalon adalah

39 Roberts, 2008, 6.

Gambar 1.5 Tipe bendera

(46)

bendera yang dipasang dengan cara dikaitkan pada kayu palang

yang berada di ujung tiang. 40 Ratio adalah perbandingan proporsi

antara sisi tinggi dibanding sisi panjang.41

2. Liwa dan Rayah

Secara literal dalam bahasa Arab, tidak ada perbedaan arti

antara liwa dan rayah, keduanya tergolong sebagai alam atau „bendera‟ (kata alam yang berarti bendera juga digunakan di Aceh).

Kata alam berasal dari kata alama yang berarti „memberi tanda‟

(kata ini juga membentuk kata alamat, yang telah diserap dalam

bahasa Indonesia, yang juga mengandung pengertian „tanda‟).

Dengan demikian, terdapat kedekatan antara bendera dengan

tanda.42 Sementara itu, tanda menjadi jantung semiotika.

Liwa dan rayah terbedakan pada makna istilah. Liwa adalah

bendera dengan field berwarna putih dan charge berupa kaligrafi

Arab yang berbunyi laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah

dengan warna hitam. Rayah adalah bendera dengan field berwarna

hitam dan menggunakan charge yang juga berupa kalimat sahadat

40 Smith, 1984, 349. 41 Roberts, 2008, 7.

(47)

namun berwarna putih.43 Cara membaca lafaz sahadat pada liwa

atau rayah dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1.6

Ejaan laa illaaha illaa Allah, Muhammad Rasul Allah, huruf tebal menunjukkan kata yang dibaca

(Digambar oleh: Deni Junaedi, 2012; dimodifikasi dari desain liwa oleh Aruman)

(48)

Istilah liwa yang berarti bendera juga ditemui dalam bahasa

Indonesia. Hal ini tercantum di Kamus Umum Bahasa Indonesia

karya W.J.S. Poerwadarminta. Di sana disebutkan, liwa berarti „bendera atau panji‟. Namun demikian, kata tersebut diberi tanda

salib (†) yang berarti, antara lain, telah usang atau tidak

digunakan lagi.44 Hal serupa dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional.45

Dalam buku resmi HT berbahasa Indonesia, liwa

dipadankan dengan bendera, dan rayah searti dengan panji.

Dalam bahasa Indonesia tidak ada perbedaan arti yang mendasar

antara bendera dengan panji. Terkadang, panji dikaitkan dengan

bendera yang berbentuk segitiga, namun hal itu bukan suatu

keharusan. Demikian pula dengan bendera, selain berbentuk

segiempat, juga dapat berbentuk segitiga.46 Perbedaan antara

bendera dan panji dapat dilihat dari penggunanya. Panji

umumnya digunakan oleh kesatuan atau organisasi tertentu,

44 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), 604.

45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, edisi ke-4, 2008), 836.

(49)

misalnya militer atau kepanduan; sedangkan bendera digunakan

untuk negara.47

Perbedaan antara liwa atau bendera dengan rayah atau

panji dalam referensi HTI terletak pada penggunaannya dalam

peperangan semasa Nabi. Liwa atau bendera berada di dekat

pemimpin tertinggi atau wakilnya dalam peperangan. Rayah atau

panji berada di samping komandan bagian. Dengan demikian,

dalam sebuah peperangan hanya terdapat sebuah liwa, dan

dimungkinkan ada beberapa rayah.48 Bentuk jamak rayah adalah

raayaah atau panji-panji.

Dalam buku resmi terbitan HTI, kadang tertulis al-liwâ‟ dan

ar-râyah,49 kadang pula tertulis liwa dan rayah.50 Penelitian ini

memilih ejaan liwa dan rayah, dengan pertimbangan ejaan liwa

terdapat dalam kamus bahasa Indonesia. Adapun penulisan

rayah, tanpa mencantumkan kata ar di depannya, menyesuaikan

dengan ejaan liwa yang tidak mencantumkan kata al di depannya.

Kata al, yang dapat berubah bunyi menjadi ar, dalam bahasa Arab

menunjukkan kata yang telah pasti; hal ini seperti kata the dalam

bahasa Inggris.

47 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), 22.

48 Al-Hujaili, 2002, 32-36 49 Hizbut Tahrir, 2009, 283.

(50)

3. Kaligrafi

Charge bendera yang digunakan HTI DIY berupa kaligrafi

Arab. Kaligrafi adalah „tulisan indah‟ atau „tulisan tangan yang elegan‟. Kata yang berasal dari bahasa Latin calligrapia ini

dibentuk dari kata Yunani kallos yang berarti „indah‟ dan graphein

yang berarti „tulisan‟.51 Dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut khat.

Kata yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia itu secara harfiah berarti „garis‟ atau „tulisan‟ dan secara istilah berarti

„tulisan yang indah‟.52 Tulisan Arab dibaca dari arah kanan ke kiri,

sebagaimana keluarga tulisan Aramea yang lain, seperti Siria dan

Ibrani.53

Di antara berbagai khat Arab, terdapat beberapa gaya yang

paling menonjol, yaitu: naskhi, sulus, diwani, diwani jali, farisi,

riqah, dan kufi.54 Khat tersebut telah menjadi pakem di dalam

kaligrafi Arab tradisional; setiap gaya memiliki varian. Ketujuh

bentuknya dapat dilihat pada contoh berikut (semua lafaznya

51 David Diringer, “Calligraphy and Epigraphy”, dalam Encyclopedia of World Art (London: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1960), 2.

52 D. Sirojuddin AR., “Kaligrafi” dalam Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 45.

53 Donal M. Anderson, The Art of Writen Forms The Theory ang Practice of Calligraphy (New York, atau al.: Holt, Rinehart and Winston, 1969). 296.

54 Nina M. Armando, ed., et al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, tanpa tahun), 45-48; D. Sirojuddin AR., Koleksi Karya Master Kaligrafi Islam (Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi,

(51)

berbunyi bismillahirrohmanirrohim yang berarti „dengan nama

Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyasang‟).

Saat nabi Muhammad masih hidup, langgam khat tersebut

belum dikenal meskipun cikal bakalnya telah tampak. Ketika itu,

bentuk tulisan masih sederhana, salah satunya digunakan dalam Gambar 1.7

(52)

surat Nabi Muhammad untuk Raja Bizantium (gb. 1.8).55 Waktu

itu tulisan Arab dapat dikategorikan menjadi muqawar dan

mabsut. Muqawar berbentuk kursif atau lengkung, mabsut berpola

garis lurus dan bersudut-sudut. Nama khat yang diberikan terkait

dengan nama kota, yaitu maliki dari Makah dan madani dari

Madinah. Namun demikian, perbedaan nama itu tidak untuk

membedakan ciri tulisan.56

55 M. M. Al-Azami, Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin, et al. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 138.

56 Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, terj. Abdul Hadi W.M. (Jakarta: Pantja Simpati, 1986), 5.

Gambar 1.8

(53)

4. Konteks

Konteks adalah situasi keberadaan teks.57 Kadang juga

ditulis koteks (cotext), yaitu gabungan dari kata co dan text yang secara harfiah berarti „bersama teks‟.58 Konteks perlu diperhatikan

karena mempengaruhi teks, teks yang sama memiliki makna yang

berbeda pada konteks yang berlainan.59 Dalam penelitian ini,

estesis liwa dan rayah di HTI DIY menempati posisi sebagai teks;

teks adalah tanda itu sendiri. Konteks yang diperhatikan adalah

konteks sejarah dan konteks budaya,60 dengan kata lain konteks

waktu dan konteks ruang.

a. Konteks Sejarah

Helius Sjamsuddin menyatakan, sejarah adalah kajian

tentang kegiatan manusia pada masa lalu yang merupakan

manifestasi pikiran, perasaaan, dan perbuatan.61 Kuntowijoyo

57 Henddy Shri Ahimsa-Putra, “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, dan Post-Modernistis” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Printika, 2000), 399-421.

58 Mulyana, Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 10.

59 Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana Teori dan Metode, terj. Imam Suyitno, et al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 21.

60 Thomas P. Hébert dan Teresa M. Beardsley, “Jermaine: A Critical Case Study of a Gifted Black Child Living in Rural Poverty”, dalam Sharan B. Merriam, et al., Qualitative Research in Practise Examples for Discussion and Analysis (San Francisco: Jossey-Bass, 2002), 209.

(54)

mencatat, terdapat dua model dalam kajian sejarah, yaitu model

diakronis dan model sinkronis. Model diakronis lebih

mengutamakan penggambaran berdimensi waktu, model ini yang

banyak digunakan dalam ilmu sejarah. Model sinkronis lebih

mengutamakan deskripsi yang meluas dalam ruang tanpa terlalu

banyak menyinggung dimensi waktu, model ini banyak dipakai

ilmu sosial.62 Adapun penyajian sejarah dapat berbentuk

deskriptif-naratif atau analisis-kritis. Deskriptif-naratif

menyandarkan pada narasi peristiwa. Analisis-kritis lebih

memperhatikan problem dan struktur.63 Penelitian ini cenderung

bersifat analisis-kritis dan menggunakan model sinkronis.

b. Konteks Budaya

Menurut Paul B. Harton dan Chaster L. Hunt, budaya

adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara

sosial oleh para anggota suatu masyarakat.64 Sesuai dengan

Koentjaraningrat, tidak ada perbedaan pada istilah budaya dan

kebudayaan, budaya hanyalah kependekan dari kata

kebudayaan.65

62 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, cetakan ke-2, 2003), 43.

63 Sjamsuddin, 2007, 237-238.

64 Paul B. Harton dan Chaster L. Hunt, Sosiologi, jilid 1, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari (Jakarta: Erlangga,1987), 58.

(55)

J.J. Honingman mengelompokkan unsur budaya menjadi

tiga, yaitu sistem budaya, aktivitas, dan artefak. Sistem budaya

terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma,

pandangan, atau sejenisnya yang bersifat abstrak; aktivitas

merupakan tingkah laku berpola para pelaku budaya; dan artefak

berupa karya manusia.66

5. Estetika Semiotis

Katya Mandoki mendefinisikan estetika sebagai “kajian

tentang proses estetis”.67 Kendati secara linguistik batasan ini

tidak tepat karena mengandung unsur kata yang didefinisikan,68

definisi tersebut tidak mereduksi kajian estetika. Definisi yang

termuat dalam buku Everyday Aesthetics itu lebih komprehensif

jika, misalnya, dibandingkan dengan definisi Bosanquet tahun

1892, yang hingga kini versinya masih diulang-ulang dalam berbagai referensi, yaitu “estetika sebagai filsafat keindahan”.69

Proses estetis dalam definisi tersebut juga disebut estesis.

Istilah ini berkorelasi dengan kata semiosis dalam terminologi

66 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX), (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), 40-41.

67 Katya Mandoki, Everyday Aesthetics: Prosaics, the Play of Culture and Social Identities (Hampshire: Ashgate, 2007), xi.

68 Gorys Keraf, Komposisi (Flores: Nusa Indah, cetakan ke-6, 1980), 53.

(56)

semiotika.70 Semiotika adalah studi tentang tanda dan cara kerja

tanda.71 Semiosis merupakan proses penandaan atau proses

penerimaan suatu tanda oleh interpreter.72

Analisis estetika melalui metodologi semiotika, oleh

Mandoki, disebut semio-aesthetics.73 Untuk hal yang sama,

Winfried Nöth menggunakan istilah semiotic aesthetics.74

Berdasarkan frasa tersebut, penelitian ini menggunakan istilah

estetika semiotis.

Mandoki memanfaatkan model semiosis Ferdinand de

Saussure. Ia menolak semiosis Charles Sander Peirce yang

dipandang berbahaya jika diterapkan di selain ranah semiotika.75

Sebaliknya, penelitian ini menggunakan model semiosis

Peircean untuk diterapkan dalam estesis. Pemanfaatannya

dilakukan dengan cara penyederhanaan dan pengeliminasian

beberapa konsep Peirce. Cara yang hampir sama pernah dilakukan

oleh Michael Newall.76

70 Mandoki, 2007, 109.

71 John Fiske, Cultural and Communication Studies, terj. Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 60.

72 Winfried Nöth, Handbook of Semiotics (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 42.

73 Mandoki, 2007, 101-102. 74 Nöth, 1990, 421.

75 Mandoki, 2007, 109-113

(57)

a. Semiosis Peircean

Semiosis Peirce bersifat triadik. Sudut segitiganya terdiri

dari representamen, object, dan interpertant. Representamen, atau

kadang disebut tanda (sign), adalah sesuatu yang berada bagi

seseorang untuk sesuatu yang lain dalam berbagai cara atau

kapasitas. Representamen merupakan aspek material suatu tanda.

Object, berbeda dengan pengertian sehari-hari, adalah sesuatu

yang diacu oleh representament. Interpretant merupakan hal yang

muncul pada benak seseorang karena dibangkitkan oleh

representament.77

Peirce membagi tipologi tanda dalam tiga trikotomi. Salah

satunya, yang paling terkenal, adalah trikotomi berdasarkan

hubungan antara representamen dengan object. Dalam hal ini

tanda dibagi menjadi tiga, yaitu ikon (icon), indeks (index), dan

simbol (symbol). Ikon adalah tanda atau representamen yang

karakternya memiliki kesamaan dengan object, baik object tersebut

eksis terindera maupun tidak. Indeks merupakan tanda atau

representamen yang keberadaannya disebabkan oleh efek

keberadaan object. Simbol adalah tanda atau representamen yang

kaitannya dengan object berdasarkan konvensi atau hukum,

(58)

biasanya berupa ide umum.78 Sebuah tanda dapat tergolong dalam

ikon, indeks, dan simbol sekaligus.79

Makna suatu tanda merupakan hal yang dicari dalam kajian

semiotika.80 Peirce melihat makna secara pragmatis, yaitu efek

penandaan yang terjadi pada aktivitas mental seseorang.81

Aktivitas mental seperti ini tidak bisa lepas dari ide atau gagasan

yang telah ada pada orang tersebut.82 Efek semiosis dapat berupa

efek emosional, efek energetis, maupun efek logikal. Efek

emosional adalah efek berupa perasaan; efek energetis berupa

reaksi fisik; efek logikal berupa konsep pemikiran.83

b. Estesis dalam Model Semiosis Peircean

Dalam penelitian ini, segitiga semiosis Peircean diadopsi

menjadi segitiga estesis. Sudut representamen ditempati “objek estetis”; object diubah menjadi “nilai estetis”, dan interpretant

diganti dengan “pengalaman estetis”. Objek estetis, nilai estetis,

78 Peirce, 1955, 102.

79 Paul Cobley dan Litza Jansz, Mengenal Semiotika for Biginners, terj. Ciptadi Sukono (Bandung: Mizan, 2002), 33.

80 Marcel Danesi, Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory, 3rd Edition (Toronto: Canadian Scholars‟ Press, 2004), 3.

81 Thomas Turino, “Signs of Imagination, Identity, and Experience: A Piercian Semiotic Theory for Music”, dalam jurnal Ethnomusicology (Vol. 43, No. 2, Sping-Summer, 1999), 224.

82 Charles Sander Peirce, “The Law of Mine”, dalam Nathan Houser, et al., ed., Writing of Charles S. Peirce a Chronological Edition Volume 8 1890-1892 (Blomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 2010), 136.

(59)

maupun pengalaman estetis merupakan ranah pembahasan

estetika yang penting.84 Nilai estetis menempati puncak segitiga,

hal ini untuk menunjukkan bahwa nilai bersifat objektif dan

subjektif sekaligus. Sebagaimana dikatakan M. M. Syarif, nilai

muncul dari perpaduan atau konstruksi antara objek tertentu

dengan subjek dalam keadaan tertentu pula.85

i. Objek Estetis

Menurut Thomas Munro, objek estetis adalah apapun yang

dapat merangsang kemunculan pengalaman estetis.86 Objek

estetis dapat berupa karya seni, objek non-seni, maupun alam.87

Dalam dimensi estetika, menurut Noël Carroll, karya seni adalah

objek yang dibuat untuk membawa, menimbulkan, atau

setidaknya mendukung pengalaman estetis.88 Kajian tentang objek

estetis meliputi beberapa hal berikut.

84 Marcia Muelder Eaton, Persoalan-persoalan Dasar Estetika, terj. Embun Kenyowati Ekosiwi (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), xiii.

85 M.M. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984), 106-107.

86 Thomas Munro, Form and Style in the Arts: an Introduction to Aesthetic Morpology (Cleveland: The Press of Case Western University, 1970), 22.

87 Ted Honderich, The Oxford Companion to Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1995), 7; Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-14, 2002), 13-14.

(60)

Pertama material dan teknik, menurut Edmund Burke

Feldman, material adalah elemen fisik pembentuk karya seni;89

Gene Mittler dan Rosalind Ragans mencatat, teknik merupakan

metode penciptaan karya seni.90 Kedua bentuk (form), Marcia

Muelder Eaton menyatakan, bentuk karya seni adalah hal yang

ditampilkan secara langsung dan dipersepsi.91 Dalam veksillologi,

bentuk meliputi ground, charge, ukuran maupun rasio, dan

bunting. Adapun persoalan kaligrafi terangkum dalam charge

karena konfigurasi yang terdapat dalam liwa dan rayah adalah

kaligrafi. Ketiga displai (display), dalam konteks veksillologi,

displai merupakan cara pemasangan bendera.92 Keempat, untuk

memperjelas kategori, objek estetis juga memperbincangkan

masalah status objek tersebut dalam seni; hal seperti ini

sebagaimana dilakukan oleh Eaton.93

ii. Nilai Estetis

Menurut Eaton, nilai estetis adalah nilai yang dimiliki objek

terkait dengan kapasitasnya untuk membangkitkan kesenangan,

yang muncul dari ciri objek yang secara tradisional dianggap

89 Edmund Burke Feldman, Art as Image and Idea (New Jersey: Prentice-Hall, 1967), 306.

90 Gene Mittler dan Rosalind Ragans, Understanding Art (Woodland Hills: Glencoe/McGraw-Hill, 2005), 30-38.

(61)

berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan.94 Terkait batasan

tersebut, ketiga jenis tanda dalam trikotomi Peirce dianggap

sebagai nilai estetik, yaitu: nilai simbolis, nilai ikonis, dan nilai

indeksikal.

Pertama, nilai simbolis adalah kapisitas karya seni untuk

dikaitkan dengan konvensi atau ide tertentu. Kedua, nilai ikonis

merupakan nilai yang dimiliki karya seni berdasarkan kesamaan

dengan acuannya, baik acuan tersebut dapat dijumpai di alam

maupun hanya berada dalam pemikiran. Ketiga, nilai indeksikal

merupakan nilai karya seni yang menunjukkan hubungan

koeksistensi dengan sesuatu yang lain.

iii.Pengalaman Estetis

Eaton menyatakan, pengalaman estetis adalah pengalaman

tentang tanda intrinsik sesuatu yang secara tradisional dianggap

berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan. Untuk mengetahui

pengalaman itu dibutuhkan pemahaman tentang budaya

masyarakat bersangkutan.95 Hal ini sejalan dengan Pierre

Bourdieu yang menyatakan bahwa karya seni memiliki makna dan

Gambar

Gambar 4.37
Gambar 1.5 Tipe bendera
Gambar 1.6 laa illaaha illaa Allah, Muhammad Rasul Allah,
Gambar 1.7  Berbagai gaya khat (AR., 2007, passim)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pedoman perilaku penyiaran adalah ketentuan-ketentuan bagilembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesiauntuk menyelenggarakan dan mengawasi sistem

Pada proses pemecahan masalahnya siswa diberi kesempatan untuk menciptakan pemikiran- pemikiran atau ide-ide baru dalam memandang sesuatu dari sudut manapun, proses

[r]

Bila dikonversikan dengan kebutuhan ternak domba/ kambing dengan bobot badan rata-rata 30 kg dengan penggunaan lumpur sawit dan bungkil inti sawit masing-masing sekitar 30–40%

Metode yang digunakan dalam paparan ini adalah metode observasi berupa pencarian sumber-sumber informasi kepustakaan yang dapat berupa pendapat para ahli di bidang

Investasi pada produk unit link mengandung risiko, termasuk namun tidak terbatas pada risiko politik, risiko perubahan peraturan pemerintah atau perundang-undangan lainnya,

Risiko kepatuhan dijabarkan menggunakan 10 parameter/indikator yang dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran I.1.h dari SE BI No.13/24/DPNP, dapat dilihat bahwa

Bakteri Azotobacter maupun bakteri endofitik penambat N 2 diduga mempunyai karakteristik pertumbuhan yang berbeda walaupun kedua bakteri tersebut mempunyai fungsi yang