DAN ESTETIKA SEMIOTIS)
Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
diajukan oleh Deni Junaedi 10/306637/PMU/06659
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
PRAKATA
internasional, saya ingin bersentuhan dengan organisasi militan HT yang juga punya jejaring internasional.
Selain itu, hal-hal yang kontroversial memang menantang bagi seorang wartawan (profesi kedua saya selain dosen seni rupa ISI Yogyakarta). Tantangan semakin menarik ketika penelitian seni rupa ini justru berada di lingkungan yang tidak pernah bersinggungan dengan seni rupa. Bahkan, artefak yang diteliti jarang disadari sebagai karya seni rupa, maka tidak aneh jika
beberapa orang menyatakan, “Apa hubungannya dengan seni
rupa?”
Untuk itu, sesuatu yang menantang dibutuhkan bimbingan seseorang yang suka tantangan, pintar, dan cerdas. Keberuntungan besar ketika saya menemukaannya. “Ini orang
yang tepat!” batin saya ketika mengenal Dr. G.R. Lono Lastoro S., M.A., seorang dosen yang awalnya mengaku tidak memahami dunia seni ternyata mahir menganalisanya dengan pendekatan antropologi maupun semiotika. Maka, tidak salah jika dia ada di deretan pertama ucapan terima kasih dalam penelitian ini.
hingga para mahasiswa berani berkarya. Maka, pantaslah jabatan Kaprodi tersemat di pundaknya.
Yang tidak dapat terlupakan adalah ucapan terima kasih buat Prof. Dr. R. M. Soedarsono. Meskipun awalnya ragu-ragu, dialah yang pertama kali mengijinkan saya mengangkat tema ini. Setelah dosen karismatik yang di masa mudanya sangat energetik
ini mengatakan, “Silakan,” keberanian saya muncul.
Selanjutnya, dosen yang oleh banyak mahasiswa dianggap
“merepotkan” namun tidak habis-habis saya haturkan rasa terima
kasih adalah Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. Dialah yang menyadarkan saya untuk terus belajar menulis, bahkan kembali mempelajari subjek dan predikat. Dia juga yang memberi pemahaman pada saya tentang struktur berfikir dalam kajian ilmiah. Saya akui, kelasnya adalah kelas paling dinamis.
Kemudian, karena saya menggandrungi estetika, ucapan terima kasih untuk Dr. St. Sunardi tidak akan terlupa. Ketika buku teori estetika tampak gelap gulita, kehadirannya membuat bidang ini terang benderang; meskipun bukan berarti tidak ada mahasiswa yang kehilangan senyum segar ketika keluar dari kelasnya. Bagaimanapun estetika memang penuh rahasia.
bicara HTI; Ir. HM. Rosyid Supriyadi, M.Si., Ketua DPD I HTI DIY; Andika Dwijatmiko, S.Sn., desainer logo HTI; mas Muhammad Nazir, koordinator publikasi Konjab 1432 H; mas Eko, mbak Nunuk, maupun pak Indarjo yang biasa memproduksi liwa dan rayah. Narusumber spesial adalah Aruman, S.Sn., M.A., kaligrafer yang piawai merancang liwa dan rayah; berbagai pustaka kaligrafi yang ada di rak buku saya berasal darinya. Dosen Seni Kriya ISI Yogyakarta itu menjadi motivator ideal untuk penelitian ini.
Ucapan terima kasih yang penuh keriangan adalah untuk teman-teman sekelas. Suasana diskusi yang tidak hanya pedas namun juga membawa solusi menjadikan kelas terasa berseri-seri. Tentu saja prakata ini akan menjadi daftar presensi jika semua dituliskan. Berikut ini adalah sebagian dari mereka: Agus Sutejo, Nano Warsono, I Gede Arya Sucitra, Mikke Susanto, Sumarno, Eli, Ayu, mbak Vivi, Novi, juga mas Kris dan istrinya yang sama-sama mendapat beasiswa.
dipersembahkan buat guru ngaji saya yang dapat dihubungi sewaktu-waktu, ustad Titok Priastomo.
Demikian pula, teman-teman ngaji yang dengan rendah hati mau berdiskusi tidak dapat terlewatkan dari ucapan terima kasih. Mereka adalah Teguh Wiyatno yang lukisannya diburu kolektor, Paikun yang juga seorang pematung lulusan ISI Yogyakarta, Bagus Triyono yang goresan pensil warnanya mempesonakan, dan mas Bambang yang juga dosen UPN.
DAFTAR ISI
2. Pustaka terkait Hizbut Tahrir ……….. 10
3. Pustaka terkait Kaligrafi ………. 12
E. Landasan dan Pendekatan Teori ………. 14
1. Veksillologi ……….. 14
b. Estesis dalam Model Semiosis Peircean 31 i. Objek Estetis ………. 32
ii. Nilai Estetis ……… 33
iii. Pengalaman Estetis ………. 34
F. Metode Penelitian ……… 38
1. Batasan Penelitian ………... 38
BAB II. LIWA DAN RAYAH DALAM KONTEKS SEJARAH …… 49
C. Periode Khulafaur Rasyidin ……….. 65
D. Periode Umawiyah hingga Usmaniyah ………….. 67
1. Ground Bendera Periode Umawiyah hingga Usmaniyah ……….. 70
E. Periode Setelah Keruntuhan Khilafah …………... 110
1. Bendera Negara di Negeri Muslim ………….. 112
a. Pengaruh Barat pada Bendera Negara di Negeri Muslim ……… 112
b. Kontinuitas dan Perubahan Bendera Negara di Negeri Muslim ………. 120
i. Kontinuitas dan Perubahan Ground Bendera Negara ………. 120
ii. Kontinuitas dan Perubahan Charge Bendera Negara ………. 124
2. Bendera Organisasi Islam ……….. 127
a. Organisasi Islam tanpa Liwa dan Rayah 127 b. Organisasi Islam dengan Liwa dan Rayah ………. 137
ii. Liwa dan Rayah di Hizbut Tahrir …. 148
F. Ringkasan ……… 160
BAB III. LIWA DAN RAYAH DALAM KONTEKS BUDAYA HIZBUT TAHRIR INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ………. 164
A. Sistem Budaya HTI DIY terkait Liwa dan Rayah 164 1. Keimanan sebagai Konsep Dasar …………... 167
2. Islam sebagai Ideologi ………. 170
BAB IV. ESTETIKA SEMIOTIS LIWA DAN RAYAH DI HIZBUT TAHRIR INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ………. 213
2. Efek Energetis sebagai Penyerta
Pengalaman Estetis ………..… 253
3. Efek Logikal sebagai Pendorong Pengalaman Estetis ………..… 255
D. Ringkasan ……… 256
BAB V. KESIMPULAN ……….. 260
KEPUSTAKAAN ……….. 266
DAFTAR ISTILAH ……….. 277
DAFTAR GAMBAR
BAB I.
Gambar 1.1 : Liwa berwarna dasar putih dengan kalimat
sahadat berwarna hitam ……… 4
Gambar 1.2 : Rayah berwarna dasar hitam dengan kalimat sahadat berwarna putih ………. 4
Gambar 1.3 : Bagian bendera ………. 16
Gambar 1.4 : Bentuk (shape) bendera ………. 17
Gambar 1.5 : Tipe bendera ……….. 18
Gambar 1.6 : Ejaan laa illaaha illaa Allah, Muhammad Rasul Allah, huruf tebal menunjukkan kata yang dibaca ………. 20
Gambar 1.7 : Berbagai gaya khat ……….. 24
Gambar 1.8 : Surat Nabi Muhammad untuk Raja Bizantium ……… 25
Gambar 1.9 : Skema teori ………. 37
Gambar 1.10 : Posisi DIY di kepulauan Indonesia …………. 40
Gambar 1.11 : Alur Pikir ………. 48 menggunakan khat sulus cukup sempurna 64 Gambar 2.3 : Ragam bendera Khilafah Usmaniyah ……… 69
Gambar 2.4 : Prajurit Usmaniyah membawa bendera berbentuk pennon ……… 70
Gambar 2.5 : Bendera Usmaniyah saat pertempuran Lepanto, berbentuk pennant ……… 70
Gambar 2.6 : Bendera Kesultanan Cirebon, seperti kombinasi warna liwa ………. 72
Gambar 2.7 : Bendera Kesultanan Cirebon, seperti kombinasi warna rayah ………. 72
Gambar 2.9 : Bendera Pasukan Aceh dengan ground keputih-putihan dan charge hitam ………… 73 Gambar 2.10 : Panji hitam pada arak-arakan prajurit di
Baghdad, dilukis oleh al-Wasithi tahun
1237 ……….. 75
Gambar 2.11 : Bendera hitam terkait di tombak, interpretasi G.A. Embleton atas Mamluk
saat memimpin Perang Salib ……..…………. 75
Gambar 2.12 : Warna hitam pada bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung dari Kesultanan
Yogyakarta ……….. 77
Gambar 2.13 : Jolly Roger, bendera bajak laut yang ditengarai sebagai olok-olok terhadap
rayah ………. 78
Gambar 2.14 : Ragam bendera Khilafah Usmaniyah,
banyak menggunakan warna merah ………. 80
Gambar 2.15 : Bendera berwarna merah digunakan pasukan Muhammad al-Fatih saat
penahlukan Konstantinopel tahun 1453 …. 81
Gambar 2.16 : Ground merah pada bendera perang pasukan Aceh dalam pertempuran di
Jambo Anyer tahun 1902 … 83
Gambar 2.17 : Warna merah yang telah pudar pada bendera Aceh di perang Barus 1540,
terlihat bagian muka dan belakang ……….. 83
Gambar 2.18 : Ground merah pada bendera Si Singamangaraja XII ……….… 83 Gambar 2.19 : Bendera merah milik pemerintahan Islam
di Sudan yang ditemukan tentara Inggris
pada tahun 1885 ……….. 86
Gambar 2.20 : Kalimat sahadat di bendera pasukan Aceh,
kini tersimpan di Museum Negeri Aceh …… 86
Gambar 2.21 : Bendera Khilafah Usmaniyah tahun 1682 .. 86 Gambar 2.22 : Simbol bulan sabit dan bintang, di tengah
atas, digunakan di Assiria tahun 1900-612 SM, bulan sabit sebagai representasi Dewa
Sin atau Dewa Bulan ……….. 88
Gambar 2.23 : Simbol bulan sabit dan bintang di keempat
Gambar 2.24 : Bendera bergambar bulan sabit dan bintang digunkan Khilafah Ummayah saat
komando jihad tahun 1914 ……….. 92
Gambar 2.25 : Charge bulan sabit dan bintang, bendera Khilafah Usmaniyah, digunakan ulama
India di Delhi tahun 1920 ………. 93 Usmaniyah akhir abad ke-15 ……….. 94 Gambar 2.29 : Heksagram di endera Usmaniyah 1571 …… 96 Gambar 2.30 : Heksagram pada bendera Israel ………. 96 Gambar 2.31 : Bulan sabit dan bintang di bendera Aceh
yang dipakai 1850 hingga 1900 ……….. 97
Gambar 2.32 : Bulan sabit dan bintang di bendera
Kesultanan Pontianak ………. 97
Gambar 2.33 : Bendera Usmaniyah tahun 1512,
bergamabr pedang Zulfikar ……….. 98
Gambar 2.34 : Bendera Usmaniyah saat pertempuran
Slankamen, 1691 ………. 99
Gambar 2.35 : Charge pedang Zulfikar di Bendera Si
Singamangaraja XII ………. 101
Gambar 2.36 : Surat Nabi Muhammad untuk al-Mundhir 102 Gambar 2.37 : Charge lingkaran di ground hitam dalam
Cerita Menak ………. 103
Gambar 2.38 : Bendera dengan charge lingkaran di ground hitam dibawa prajurit Kraton Yogyakarta … 104 Gambar 2.39 : Buraq di bendera Kesultanan Bugis ……….. 106
Usmaniyah di pertempuran Varna tahun
Gambar 2.44 : Pola bicolor pada bendera Polandia ………… 115
Gambar 2.50 : Bendera Bahamas berpola triagle ... 116
Gambar 2.51 : Bendera Sudan berpola triagle ……… 116
Gambar 2.52 : Coat of arms di bendera Mesir ………. 118
Gambar 2.53 : Tughra Sultan Mahmud II, tahun 1808-1839 ……….. 119
Gambar 2.54 : Hitam, putih, hijau, dan merah di bendera Yordania; representasi Pan-Arab ……… 121
Gambar 2.56 : Merah pada bendera Maroko, konon merepresentasikan warna bendera Nabi Muhammad ……… 121 perkembangan, hukum, dan kesamaan … 126 Gambar 2.62 : Bendera Hamas dengan ground hijau dan charge kalilat sahadat dengan lafaz Allah terletak menonjol di bagian tengah atas … 130 Gambar 2.63 : Versi lain bendera Hamas, ground hijau dan charge kalimat sahadat dalam komposisi lingkaran ……… 130
Gambar 2.64 : Ground hijau dan charge pedang di bendera Ikhwanul Muslimin Mesir ………. 130
Gambar 2.65 : Warna hijau pada bendera dan bangunan NU ……….. 130
bergerigi di ground hijau bendera Muhammadiyah ………
Gambar 2.68 : Matahari bergerigi lambang Persis …………. 131 Gambar 2.69 : Matahari bergerigi lambang Majapahit ……. 131 Gambar 2.70 : Kalimat sahadat pada umbul-umbul di
Kadipiro Yogyakarta untuk menyambut
Ramadhan 1433 H ………..… 133
Gambar 2.71 : Kalimat sahadat di gerbang Sekaten tahun
2010 ……….. 133
Gambar 2.72 : Kalimat sahadat di Masjid ISI Yogyakarta .. 133 Gambar 2.73 : Kalimat sahadat di selubung keranda …….. 133 Gambar 2.74 : Bulan sabit dan bintang di bendera Laskar
Hizbullah ………. 135
Gambar 2.75 : Bulan sabit dan bintang di bendera NII,
Kartosuwiryo berpose di depannya ………… 135
Gambar 2.76 : Bulan sabit dan empat bintang di bendera
DI/TII Aceh pimpinan Daud Beureueh ……. 135
Gambar 2.77 : Bulan sabit dan bintang berpadu dengan matahari pada daidanki, bendera PETA ….. 136 Gambar 2.78 : Bulan sabit dan bintang di bendera PSII
dan Masjumi, saat Pemilu 1955 ………. 136
Gambar 2.88 : Rayah dengan lingkaran putih di pelaku
bom Cirebon … 142
Gambar 2.89 : Liwa dengan tambahan tulisan nama
organisasi ……… 144
Gambar 2.90 : Podium berselubung bendera dengan kalimat sahadat di Masjid Kwitang Jakarta,
24 April 1943 … 145
Gambar 2.91 : Emblem rayah dari Mujahidin, dengan
gambar pedang ……….. 146
Gambar 2.92 : Emblem rayah dari Mujahidin, dengan
gambar AK47 ………. 146
Gambar 2.93 : Derivasi rayah pada topi Panglima Khathab 146 Gambar 2.94 : Derivasi liwa dalam bentuk stiker di helm
seorang wanita tanpa kerudung ………. 147
Gambar 2.108 : Liwa dan rayah di HTI Jabar, saat Konjab memperlihatkan skrin sablon untuk pembuatanliwa atau rayah ……….. 182 Gambar 3.2 : Rayah di etalase Solfi ………. 182 Gambar 3.3 : Rayah dijual di acara Konjab 1432 H
tanggal 19 Juni 2011 ……….. 182
Gambar 3.4 : Liwa dan rayah pernah digunakan HTI DIY hingga menyentuh tanah, saat Konjab 1432 H tanggal 19 Juni 2011, dalam gambar hanya terlihat rayah ……… 186 Gambar 3.5 : Bendera Gula Kelapa dibawa prajurit
Keraton Yogyakarta hingga menyentuh
tanah ………. 186
Gambar 3.6 : Anak-anak mendapat bendera, saat pawai menjelang Ramadhan tanggal 29 Juni 2011 187 Gambar 3.7 : Wisatawan macanegara mendapat bendera,
saat pawai menjelang Ramadhan tanggal
29 Juni 2011 ………. 187
Gambar 3.9 : Liwa dan rayah dalam aksi menolak liberalisasi migas tanggal 21 Januari 2011
di perempatan Kantor Pos ……….… 189 Gambar 3.10 : Liwa dan rayah disamping balon berwarna
warni, dalam pawai menjelang Ramadhan
tanggal 29 Juni 2011 ……….. 189
Gambar 3.17 : Usai sholad Idul Adha, siswa BPTT berpose di depan rayah ……….. 193 Gambar 3.18 : Liwa dan rayah tidak digunakan di Diskusi
Meja Forum Intelektual Muslim 15 Januari 2011, dalam gambar tampak pembicara Revrison Baswir, bukan anggota HT … 195 Gambar 3.19 : Liwa dan rayah tidak digunakan di
Training Pemuda 19 Desember 2010 … 195
Gambar 3.25 : Derivasi rayah untuk topi dan ikat kepala . 199
Gambar 3.26 : Derivasi liwa untuk ikat kepala ……….. 199
Gambar 3.27 : Derivasi rayah untuk jaket ……… 200
Gambar 3.28 : Kaos bergambar rayah tanpa sahadat, terdapat juga tulisan Khilafah ………. 200
Gambar 3.29 : Kaos gerakan Anarchist, juga bergambar
Gambar 3.40 : Baju lurik pengibar rayah di pawai tanggal 29 Juni 2011 ………. 207
Gambar 3.41 : Bulan sabit maupun liwa dan rayah di logo HTI Press ………. 208
Gambar 4.5 : Sisi belakang rayah dengan sablon negatif, sebagaimana ditulis di dua sisi, tapi
kalimat sahadat terbalik ……… 217
Gambar 4.6 : Rayah 3 x 4 m dengan kain dril dan teknik stensil ……… 218 Gambar 4.7 : Liwa kecil terbuat dari kertas dengan
teknik fotokopi ………..… 218 Gambar 4.8 : Rayah berbahan vinil dengan teknik print
digital, terlalu memantulkan cahaya ………. 218
Gambar 4.9 : Ground liwa adalah putih, ground rayah ialah hitam ……….… 220 Gambar 4.10 : Fotokopi gambar rayah … 221 Gambar 4.11 : Ground hitam pada rayah hasil fotokopi … 221 Gambar 4.12 : Komposisi khat paling mirip dengan yang
Gambar 4.24 : Kadang liwa dan rayah dikibarkan pada
menjelang Konjab 1432 H 19 Juni 2011 … 231
Gambar 4.27 : Rayah berukuran besar dipasang sebagai backdrop, saat Liqo Syawal di Masjid Agung
Bantul 2010 ……… 232 saat Seminar Rajab 1431 H tanggal 10 Juli
Gambar 4.37 : Liwa dan rayah di jalan lingkar Yogyakarta, menandakan kegiatan Konjab 1432 H
tanggal 19 Juni 2011……… 247
Gambar 4.38 : Liwa di depan Masjid Agung Bantul bulan September 2010, merujuk pada kegiatan Liqa Syawal HTI DIY Bantul ………. 247 Gambar 4.39 : Liwa di meja dalam sekelompok wanita
berkerudung di Masjid UMY tanggal 30 September 2011 kemungkinan besar mengindikasikan kegiatan tersebut
diselenggarakan Muslimah HTI DIY ……….. 247
Gambar 4.40 : Efek energetik berupa kepalan tangan dan pekikan takbir, dalam Konjab 1432 H tanggal 19 Juni 2011 ……….. 254 Gambar 4.41 : Skema estetika semiotis liwa dan rayah di
DAFTAR SINGKATAN
BPPT : Balai Pelatihan Teknik Traksi DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
HSM : Harakah ash-Shabab al-Mujahidin HT : Hizbut Tahrir
HTI DIY : Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta HTI : Hizbut Tahrir Indonesia
IAIN : Institut Agama Islam Negeri
IKIP : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan ISI : Institut Seni Indonesia
JEC : Jogja Expo Center
KKI : Konferensi Khilafah Internasional Konjab : Konferensi Rajab
MMI : Majelis Mujahidin Indonesia NU : Nahdhotul Ulama UNY : Universitas Negeri Yogyakarta UPN : Universitas Pembangunan Nasional UU : Undang-Undang
INTISARI
Penelitian ini mengkaji bendera yang digunakan Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY). Partai politik yang tidak masuk parlemen ini menggunakan dua jenis bendera, liwa dan rayah. Liwa berwarna putih dan rayah berwarna hitam, keduanya bertuliskan kaligrafi Arab berlafaz kalimat sahadat.
Bendera itu dikaji dari konteks sejarah, konteks budaya, dan estetika semiotis. Data penelitian kualitatif ini diperoleh melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan kajian pustaka.
Melalui konteks sejarah terlihat, liwa dan rayah pernah digunakan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya, berbagai jenis bendera bermunculan pada periode Khilafah Umawiyah hingga Usmaniyah. Setelah keruntuhan Khilafah, beberapa organisasi Islam, termasuk Hizbut Tahrir (HT), kembali mengibarkannya.
Dalam konteks budaya terungkap, liwa dan rayah disiapkan sebagai bendera negara Khilafah yang dicita-citakan HT. HTI DIY menegaskan bahwa bendera itu bukan benderanya tapi bendera Islam, namun hampir semua kegiatannya yang bersifat terbuka menggunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa bendera tersebut menjadi artefak penting baginya.
Analisis estetika semiotis menunjukkan, sebagai objek estetis, bentuk liwa dan rayah di HTI DIY memperlihatkan keragaman, namun tetap sesuai dengan acuan yang tertulis di buku resmi HT. Bendera itu mengandung nilai estetis yang berupa: nilai simbolis, yaitu mengacu pada Islam dan Khilafah; nilai ikonis, yakni peniruan terhadap bendera Nabi Muhammad; dan nilai indeksikal, menunjukkan keberadaan HTI DIY. Pengalaman estetis yang dialami aktifis HTI DIY, ketika melihat penggunaan bendera itu, berupa efek emosional yang berujud rasa haru atau sublim. Pengalaman itu terjadi bersamaan dengan efek energetis yang berupa acungan kepalan tangan; maupun efek logikal tentang penegakan Khilafah.
ABSTRACT
This study examines the flag used by Hizb ut-Tahrir Indonesia Yogyakarta (HTI DIY). There are two kinds of flags, liwa and rayah. Liwa’s ground is white and Rayah’s color is black, both charged the profession of faith (shahada) in Arabic Calligraphy.
Those flags are analyzed from a historical context, cultural context, and semiotic aesthetics. This qualitative research data obtained through observations, interviews, documentation studies, and literature review.
In the historical context, liwa and rayah have been used by the Prophet Muhammad and the first four caliphs. Furthermore, different types of flags were popped up in the period of Umayyad until Ottoman Caliphate. After the collapse of the Caliphate, the Islamic organizations, including Hizb ut-Tahrir (HT), re-raise it.
In cultural contex, liwa and rayah will be flags of a new Caliphate aspired by HT. HTI DIY confirms that both were not flags of HT but flags of Islam. However, almost all of its external activities exploit them. This indicates that the flags has become an important artifact for it. experience experienced by HTI DIY activists when looking at the use of the flags is depicting the emotional effects, as tumult or sublime. This experience occurs simultaneously with energetical efect, that is a fist raising; and logical efect, that is reviving of Caliphate.
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Beberapa bendera yang tengah digunakan Hizbut Tahrir
Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY) dicabut oleh
orang tidak dikenal. Bendera yang dipasang di jalan lingkar
Yogyakarta itu merupakan bagian dari acara Konferensi Rajab
1432 H tanggal 19 Juni 2011; konferensi ini digelar untuk
retrospeksi dan introsepsi keruntuhan Khilafah. Sepuluh hari
kemudian, peristiwa serupa juga terjadi di seputar Gelora Delta
Sidoarjo Jawa Timur.1
Masalah itu dapat dimaknai secara berbeda, yaitu kesukaan
atau ketidaksukaan terhadap HTI DIY maupun bendera yang
digunakan olehnya. Kesukaan terlihat ketika bendera yang dilepas
ternyata dipasang lagi di sebuah warung bubur kacang hijau.2
Ketidaksukaan dimungkinkan karena keberadaan HTI DIY, atau
HT pada umumnya, menimbulkan kontroversi.
1 Peristiwa tersebut telah dikonfirmasi dalam wawancara dengan Dhuha Ghufron, Penanggungjawab (Mas‟ul) HTI DIY, tanggal 29 Juli 2011.
Kontroversi terhadap HT terlihat pada fenomena
peningkatan dukungan padanya di satu sisi, dan penolakan
terhadapnya di sisi lain. Salah satu penolakan disodorkan lewat
buku Ilusi Negara Islam, yang antara lain menyebutkan bahwa HT
adalah gerakan politik berbahaya bagi bangsa.3 Perlawanan
terhadap kelompok Islam ideologis itu juga dilakukan Ed Husain
lewat memoar Matinya Semangat Jihad. Dalam buku yang awalnya
terbit di Inggris dengan judul The Islamist itu dinyatakan bahwa
HT berbahaya bagi Inggris.4 Selain itu, acapkali HT diberi julukan
bernada negatif, fundamentalis.5 Demikian pula, seorang mantan
aktifis HTI yang juga dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Ampel Surabaya, Ainur Rofiq al-Amin, pada buku yang diadaptasi
dari disertasinya tahun 2011, Membongkar Proyek Khilafah ala
Hizbut Tahrir di Indonesia, menyatakan bahwa HTI pantas
mendapat piala sebagai penghayal terbesar karena proyek
3 Abdurrahman Wahid, ed., Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institut, Maarif Institut, 2009), passim. Untuk menjawab hal itu, HTI menerbitkan buku Ilusi Negara Demokrasi yang antara lain memaparkan usaha Barat dalam memperalat demokrasi sebagai alat untuk menindas Dunia Ketiga; Arief B. Islandar, ed., Ilusi Negara Demokrasi (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), passim.
4 Ed Husain, Matinya Semangat Jihad Catatan Perjalanan Seorang Islamis, terj. Abdul Malik (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2008), passim.
penegakan Negara Islam di Indonesia.6 Terkadang, HT juga
dipandang sebagai gerakan terselubung dan misterius.7
Penelitian ini berusaha masuk ke dalam partai “terselubung
dan misterius” itu, khususnya yang berada di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), dengan konsentrasi pada bendera yang
digunakan olehnya. Penelitian ini merupakan upaya pemahaman
(verstehen) terhadap budaya visual yang digunakan HTI DIY.
Saat mengadakan kegiatan yang melibatkan masyarakat
luas, HTI DIY hampir selalu mengibarkan dua jenis bendera, yaitu
liwa dan rayah. Liwa adalah bendera berwarna dasar putih dan
bertuliskan kalimat sahadat berwarna hitam (gb. 1.1). Kalimat
tersebut menggunakan bahasa dan kaligrafi Arab. Lafaz sahadat
berbunyi laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah yang berarti
„tidak ada sesembahan selain Allah, Muhammad rasul Allah‟.
Kebalikannya, rayah memiliki warna dasar hitam dengan kalimat
sahadat berwarna putih (gb. 2.2).
6 Ainur Rofiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2012), sampul depan. Pernyataan al-Amin dijawab Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto, yaitu al-Amin disebut telmi (telat mikir) karena lembaga di luar Islam pun, misalnya National Intellegence Council (NIC) yang ada di Amerika Serikat, beberapa tahun sebelumnya telah memprediksi kemungkinan kemunculan Khilafah; Ismail Yusanto, ”Telmi”, majalah Al-Wa‟ie (No. 141, Tahun XII, 1-31 Mei 2012), 40-41.
HTI DIY adalah bagian dari Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan
oleh Taqiyuddin an-Nabhani di Yerusalem Palestina pada tahun
1953.8 HT berkembang di lebih dari 70 negara,9 antara lain:
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Yaman, Tunisia, Malaysia, dan
Indonesia.10 Parpol yang tidak terlibat di parlemen itu sampai ke Islamic World, volume 2 (New York: Oxford University Press, 2001), 125.
9 Illya Muhsin, “Gerakan Penegakan Syariah Islam: Studi tentang Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indoensia di DIY” (Tesis Program Studi Sosiologi Sekolah Pascasarjana UGM, 2007), 123.
10 Fahmi Amhar, “Peta Global Perjuangan Menegakkan Khilafah”, dalam majalah Al-Wa‟ie (No. 119, Tahun X,1-31 Juli 2010), 9-11.
11 Muhsin, 2007,117-123. Gambar 1.1
Liwa berwarna dasar putih dengan kalimat sahadat
berwarna hitam (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Gambar 1.2
Rayah berwarna dasar hitam dengan kalimat sahadat
Secara harfiah, Hizbut Tahrir bermakna „partai
pembebasan‟. Dalam bahasa Arab, hizb berarti „partai‟ dan
at-tahrir berarti „pembebasan‟. HT dideklarasikan sebagai partai
politik yang berlandaskan ideologi Islam.12 Tujuannya adalah
mengembalikan kejayaan Islam melalui penegakan Khilafah atau
Negara Islam yang menyatukan seluruh dunia.13 Kendati
bertujuan mendirikan negara, HT melarang penggunaan senjata
atau perlawanan fisik dalam perjuangannya.14
Dalam penelitian ini, bendera yang digunakan HTI DIY
dicermati dari ranah objek estetis, nilai estetis, dan pengalaman
estetis, yang terjalin dalam proses estetis atau estesis. Estesis
dipandang sebagai teks dan diletakkan dalam konteks sejarah dan
konteks budaya. Pendekatan estetika semiotis dengan
memperhatikan konteks waktu maupun ruang diharapkan dapat
menjadi pisau bedah fenomena pengibaran liwa dan rayah oleh
HTI DIY, sebagai bagian fenomena Internasional.
12 Esposito, 2001, 125-126.
13 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Afif dan Nur Khalish (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, cetakan ketiga 2009), 3.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, mengapa liwa dan rayah digunakan oleh HTI DIY?;
kedua, bagaimana konteks sejarah bendera tersebut?; ketiga,
bagaimana keberadaan bendera itu dalam konteks budaya HTI
DIY?; dan keempat, bagaimana estetika semiotis bendera tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan memahami fenomena pengibaran
liwa dan rayah di HTI DIY. Analisis yang digunakan adalah
estetika semiotis, yaitu analisis dalam kerangka estesis yang
meliputi pembahasan objek estetis, nilai estetis, dan pengalaman
estetis. Estesis atau proses estetis tersebut ditempatkan dalam
konteks sejarah dan konteks budaya agar diperoleh pemahaman
yang tepat.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pengkayaan
konsep estetika. Kajian terhadap budaya visual atau karya seni
rupa yang digunakan oleh institusi politis berbasis ideologi agama,
sebagaimana HTI DIY, juga bermanfaat bagi beragam institusi,
misalnya, institusi pendidikan, agama, politik, atau bahkan
negara. Secara umum, penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat
seni rupa atau masyarakat luas untuk menumbuhkan kesadaran
Penelitian ini juga bermanfaat bagi penulis untuk pengkayaan
pengamatan terhadap budaya seni rupa dengan pendekatan
multidisiplin, yaitu estetika, sejarah, dan budaya.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum penelitian ini dilakukan, telah ada beberapa
pustaka terkait dengan liwa dan rayah, kaligrafi, atau HTI DIY.
Namun demikian, belum ada yang secara khusus meneliti tentang
liwa dan rayah yang digunakan oleh HTI DIY.
1. Pustaka terkait Liwa dan Rayah
Bentuk maupun penggunaan liwa dan rayah telah diteliti
oleh Abdullah bin Muhammad bin Sa‟d Al-Hujaili dalam Al-„Alamu
Nabawiy as-Syarif.15 Dosen Jurusan Pengadilan dan Politik
Pemerintahan di Universitas Islamiyah Madinah Munawarah itu
menggunakan pendekatan historis dalam penelitiannya. Sumber
data yang digunakan adalah hadis Nabi dan catatan sejarah.
Dalam buku itu disebutkan, sebelum kedatangan Islam,
masyarakat Arab telah menggunakan bendera untuk berbagai
kepentingan, seperti: peperangan, mainan anak, penjual arak,
penyair wanita, maupun dipajang di tempat pelacuran. Setelah
pemerintahan Islam terbentuk di Madinah pada tahun 622, liwa
dan rayah digunakan Nabi Muhammad dalam peperangan. Setelah
Nabi Muhammad wafat, pemerintahan Khulafaur Rasidin tetap
menggunakan bendera tersebut. Selanjutnya, Khilafah Bani
Umawiyah yang memimpin pada tahun 661 hingga 749 mengubah
bendera negara menjadi berwana hijau, juga memakai baju resmi
kenegaraan berwana hijau; warna tersebut menjadi simbol
pemerintahan. Lalu, Bani Abbasiyah yang berkuasa sejak 749
hingga 1200 kembali menggunakan bendera hitam meskipun
dengan penambahan materi tulisan; pakaian para pemimpin pun
berwarna hitam.16
Pustaka lain yang menyinggung liwa adalah karya Gabriella
Elgenius pada salah satu subbab “The Origin of European National
Flags” dalam buku Flag, Nation, Symbolism in Europe and
America.17 Peneliti dari University of Oxford itu menggunakan
pendekatan sosiologis untuk melihat bendera sebagai identitas
yang membedakan antara “kita” dan “yang lain” (the other).
Elgenius menyatakan bahwa bendera berwarna hitam dan
putih telah digunakan pada awal abad ketujuh sebelum kelahiran
Islam. Selanjutnya, Muhammad menggunakan sebuah bendera
berwarna hitam dan sebuah bendera berwarna putih. Elgenius
16 Al-Hujaili, 2002, passim.
tidak mencantumkan sumber data untuk informasi ini.
Pernyataannya bahwa Muhammad menggunakan satu bendera
berwarna hitam berbeda dengan pendapat al-Hujaili, yang
menggunakan hadis sebagai sumber data, bahwa rayah, atau
panji hitam, berjumlah banyak.18
Selanjutnya Elgenius menyatakan, pemerintahan awal
setelah kematian Muhammad menggunakan warna bendera yang
diasosiasikan dengan Muhammad sebagai seorang nabi.
Kemudian, para pemimpin Arab mengembangkan warna dan
tulisan tersendiri, pergantian dinasti diikuti dengan perubahan
warna bendera. Pilihan warna dan inskripsi oleh pemerintah
berkuasa merupakan bentuk identitas politik yang kelak menjadi
basis untuk seluruh bendera modern. Berbeda dengan bangsa
Cina yang mengidentifikasi setiap warna bendera dengan konsep
filsafat atau agama, bangsa Arab menghubungakan warna bendera
dengan kepemimpinan seseorang atau dinasti.19
Kedua kepustakaan terkait dengan liwa dan rayah tersebut
tidak menyinggung penggunaannya oleh HT, apalagi HTI DIY.
Dengan demikian, tulisan Al-Hujaili maupun Elgenius berbeda
dengan penelitian ini.
2. Pustaka terkait Hizbut Tahrir
Penelitian tentang HTI DIY dikerjakan oleh Illya Muhsin
dalam tesis “Gerakan Penegakan Syariah Islam: Studi tentang
Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indonesia di DIY”.20 Penelitiannya
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografis.
Muhsin menggunakan teori gerakan sosial yang, antara lain,
dikembangkan oleh Dough McAdam. Ia menyatakan bahwa
kemunculan HT, termasuk HTI, atau khususnya HTI DIY, dapat
dilihat dalam tiga aspek, yaitu: normatif, historis, dan sosiologis.
Secara normatif, HT muncul karena terdapat kewajiban penegakan
syariah Islam dalam sistem negara Khilafah. Secara historis,
kemunculan HT terkait dengan fakta bahwa Khilafah Islam pernah
tegak dan membawa umat Islam pada pencapaian peradapan
gemilang selama 13 abad. Secara sosiologis, hal tersebut muncul
karena krisis multi dimensional di berbagai belahan dunia.
Pada penelitian lain, untuk mengetahui faktor yang
mendukung proses internasionalisasi gerakan HT, Dian Nur Ainy
mengerjakan tesis berjudul “Gerakan Organisasi Internasional
Islam Hizbut Tahrir”.21 Penelitian ini menggunakan teori politik,
khususnya terkait dengan gerakan Islam politis yang diungkapkan
oleh Joel Beinin dan Guilain Denoeux. Penelitian kualitatif ini
20 Muhsin, 2007, passim.
mengambil subjek HT yang ada di Inggris, Jerman, Uzbekistan,
Turki, serta Indonesia. Ainy menyatakan bahwa gerak penyebaran
HT ke dunia Internasional didukung oleh berbagai faktor. Pertama,
metodologi pergerakannya berpedoman pada tahapan yang
dicontohkan Nabi Muhammad. Kedua, struktur partai
menggunakan sistem sel. Ketiga, pergerakan memanfaatkan
teknologi informasi modern. Keempat, rasa ketidakpuasan umat
Muslim terhadap pemerintah yang tengah berkuasa. Di sisi lain,
keadaan demokratis atau tidaknya suatu negara bukan menjadi
faktor utama bagi perkembangan HT.
Selain itu, Iskandar Zulkarnain menulis tesis “Arena
Kekuasaan Simbolik Hizbut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pasca Orde Baru”.22 Ia
menerapkan teori Pierre Bourdieu, memetakan HTI dan MMI
berdasarkan konsep habitus, camp, dan capital. Habitus terlihat
pada reproduksi dakwah dengan mengubah dan menciptakan
kebudayaan dengan implementasi syariat Islam dalam arena
perjuangan yang berbasis institusi, komunitas, maupun lembaga
pemerintah daerah. Champ (arena perjuangan) meliputi modal
ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolis. Modal
ekonomi diperoleh dari hasil iuran anggota setiap bulan dan
penjualan produksi cetakan. Modal budaya merupakan akumulasi
kekuatan intelektual berbasis akademisi, cendekiawan Muslim,
dan ulama. Modal sosial mengarah pada penguasaan dan
kepemilikan jaringan sosial dalam relasinya dengan pihak lain
yang mempuanyai kuasa. Modal simbolis adalah rekonstruksi
paradigma lewat wacana, pemikiran, dan argumentasi; merupakan
akumalasi modal ekonomi, budaya, dan sosial, yang menjadi
capital utama dalam perjuangan HTI dan MMI untuk mencapai
kekuasaan simbolik. Arena kekuasaan simbolik HTI yang paling
dominan terdapat di masjid, kampus, dan lembaga pemerintah
daerah.
Pustaka terkait HT, HTI, atu HTI DIY di atas tidak
menyinggung penggunaan liwa dan rayah. Dengan demikian,
penelitian ini berbeda dengannya.
3. Pustaka terkait Kaligrafi
Pustaka terkait kaligrafi sebagai simbol dalam Islam perlu
dibahas karena bendera yang digunakan HTI DIY mencantumkan
kaligrafi Arab. Berikut ini, dari berbagai pustaka mengenai
kaligrafi yang cenderung mudah didapat, terdapat empat pustaka
yang terbagi dalam dua kecenderungan. Satu sisi memandang
kaligrafi sebagai lambang keillahian, sisi lain tidak menerima
Islah Gusmian lewat “Kaligrafi Islam: dari Nalar Seni hingga
Simbolisme Spiritual”23 yang dimuat dalam jurnal Al-Jami‟ah,
menyatakan bahwa setiap kaligrafi Arab mempunyai kepribadian
tersendiri untuk melambangkan bentuk visual Tuhan dan
sifatNya. Selain itu juga melambangkan gerak hati kehambaan.
Setiap karakter huruf menjadi tafsir atas kesadaran spiritual.
Sebelumnya, Seyyed Hossein Nasr telah membicarakan hal serupa
dalam Spiritualias dan Seni Islam.24 Menurutnya, titik di bawah
huruf ba melambangkan Pusat Teragung atau Esensi Tuhan.
Oliver Leaman dalam Estetika Islam Menafsirkan Seni dan
Keindahan25 menyatakan bahwa simbolisme dalam huruf Arab
merupakan kesalahan dalam memandang seni Islam. Peneliti lain
yang tidak menerima gagasan simbolisme huruf Arab adalah
Isma‟il R. al-Faruqi dan Louis Lamnya al-Faruqi. Dalam buku
mereka, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban
Cemerlang26 dinyatakan bahwa kaligrafi simbolis yang memakai
bentuk huruf untuk makna tertentu tidak dapat diterapkan dalam
seni Islam.
23 Islah Gusmian, “Kaligrafi Islam: dari Nalar Seni hingga Simbolisme Spiritual” dalam jurnal Al-Jami‟ah (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, Volume 41, No. 1, 2003), 107-132.
24 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualias dan Seni Islam, terj. Sutejo (Bandung: Mizan, 1993), 46.
25 Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2005), 29-42.
Dalam penelitian ini tidak menggunakan pengertian simbol
atau simbolisme untuk kaligrafi Arab sebagaimana pemahaman
Nasr atau Gusmian. Istilah simbol yang digunakan di sini berada
dalam konsep semiotika Peircean.
E. Landasan dan Pendekatan Teori
Landasan teori bersifat ensiklopedis atau definisi suatu
konsep. Pendekatan teori merupakan sudut pandang yang
digunakan dalam penelitian. Keduanya disatukan karena
pembahasan tentang pendekatan teori tidak terlepas dari
landasannya. Landasan dan pendekatan teori dalam penelitian ini
meliputi veksillologi, liwa dan rayah, kaligrafi, konteks yang
meliputi konteks sejarah maupun konteks budaya, dan estetika
semiotis untuk analisis bendera di HTI DIY sebagai teks.
1. Veksillologi
Bendera adalah selembar kain, biasanya berwujud persegi,
dibentuk dengan warna atau pola tertentu, umumnya dipasang
agar tertiup angin, dan menyampaikan makna tertentu.27 Studi
tentang bendera disebut veksillologi (vexillology).28 Bidang ini
27 Lewis Mulford Adams, ed., New Master Pictorial Encyclopedia (New York: Book Inc., tanpa tahun), 495.
merupakan bagian heraldri (heraldry), yaitu studi tentang lambang
pasukan atau pemerintahan (coat of arms).29
Istilah veksillologi digunakan pertama kali oleh Whitney
Smith pada tahun 1957. Kata itu berasal dari bahasa Latin
vexillum, yaitu bendera Romawi kuno yang dikaitkan melintang di
ujung tombak.30
Dalam veksillologi, warna dasar bendera disebut ground.31
Konfigurasi gambar atau tulisan adalah charge. Bagian paling
dekat dengan tiang pengibaran dinamai hoist. Bidang yang
berkibar atau jauh dari tiang disebut fly.32 Material tambahan
yang digunakan untuk mendekorasi bendera ialah bunting.33
29 Stephen Slater, The History and Meaning of Heraldry (London: Southwater, 2004), 28.
30 Fault, 2007, 1-3.
31 Whitney Smith, The Encyclopedia Americana International Edition, Volume 11 (Connecticut: Grolier Incorporated, 1984), 348.
32 David Roberts, Complete Flags of the World (London, New York, Melbourne, Munich, dan Delhi: DK, cetakan ke-7, 2008), 7.
Smith memperhatikan shape dalam pengamatan terhadap
bendera.34 Shape, oleh Feldmand, diartikan sebagai batas terluar
suatu objek.35 Dengan demikian, shape adalah bagian dari form
(bentuk) atau wujud yang tampak. Dalam penelitian ini,
sebagaimana pemahaman dalam bahasa Indonesia, istilah bentuk
digunakan secara bergantian dalam pengertian form maupun
shape, hal itu tergantung pada konteksnya.
Dalam veksillologi terdapat istilah khusus untuk berbagai
macam bentuk (shape) bendera. Berikut ini adalah bentuk yang
terkait dengan penelitian ini. Canton adalah bendera berbentuk
segi empat; seringkali istilah ini juga mengacu pada seperempat
34 Smith, 1984, 349. 35 Feldman, 1967, 233.
bagian bendera yang ada di bagian atas dekat dengan tiang;36
dalam penelitian ini, arti yang pertama yang digunakan. Pennant
(atau pendant dalam ejaan British) adalah bendera berbentuk
segitiga atau bendera yang kecil memanjang.37 Pennon adalah
bendera yang pada bagian fly seakan terpotong oleh bentuk
segitiga, bendera ini memiliki lima sisi.38
Tipe bendera juga dapat dilihat dari komposisinya.
Komposisi itu, antara lain, adalah bicolor, tricolor, tribar, triangle,
dan serration. Bicolor adalah pola bendera dua warna baik
terkomposisi secara vertikal maupun horisontal. Tricolor terdiri
36 Roberts, 2008, 7. 37 Smith, 1984, 349.
38 William Crampton, Flag (London: A Dorling Kindersley, 1989), 6. Gambar 1.4
dari tiga warna yang berderet vertikal. Tribar terkomposisi dari tiga
warna yang berjajar secara horisontal. Komposisi triangle terdiri
dari bentuk segitiga pada bagian hoist. Serration merupakan
komposisi dua warna yang berjajar secara vertikal, batasnya
berupa garis zig-zag.39
Istilah lain dalam veksillologi yang terkait dengan penelitian
ini adalah gonfanon dan ratio. Gonfanon atau gonfalon adalah
39 Roberts, 2008, 6.
Gambar 1.5 Tipe bendera
bendera yang dipasang dengan cara dikaitkan pada kayu palang
yang berada di ujung tiang. 40 Ratio adalah perbandingan proporsi
antara sisi tinggi dibanding sisi panjang.41
2. Liwa dan Rayah
Secara literal dalam bahasa Arab, tidak ada perbedaan arti
antara liwa dan rayah, keduanya tergolong sebagai alam atau „bendera‟ (kata alam yang berarti bendera juga digunakan di Aceh).
Kata alam berasal dari kata alama yang berarti „memberi tanda‟
(kata ini juga membentuk kata alamat, yang telah diserap dalam
bahasa Indonesia, yang juga mengandung pengertian „tanda‟).
Dengan demikian, terdapat kedekatan antara bendera dengan
tanda.42 Sementara itu, tanda menjadi jantung semiotika.
Liwa dan rayah terbedakan pada makna istilah. Liwa adalah
bendera dengan field berwarna putih dan charge berupa kaligrafi
Arab yang berbunyi laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah
dengan warna hitam. Rayah adalah bendera dengan field berwarna
hitam dan menggunakan charge yang juga berupa kalimat sahadat
40 Smith, 1984, 349. 41 Roberts, 2008, 7.
namun berwarna putih.43 Cara membaca lafaz sahadat pada liwa
atau rayah dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 1.6
Ejaan laa illaaha illaa Allah, Muhammad Rasul Allah, huruf tebal menunjukkan kata yang dibaca
(Digambar oleh: Deni Junaedi, 2012; dimodifikasi dari desain liwa oleh Aruman)
Istilah liwa yang berarti bendera juga ditemui dalam bahasa
Indonesia. Hal ini tercantum di Kamus Umum Bahasa Indonesia
karya W.J.S. Poerwadarminta. Di sana disebutkan, liwa berarti „bendera atau panji‟. Namun demikian, kata tersebut diberi tanda
salib (†) yang berarti, antara lain, telah usang atau tidak
digunakan lagi.44 Hal serupa dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional.45
Dalam buku resmi HT berbahasa Indonesia, liwa
dipadankan dengan bendera, dan rayah searti dengan panji.
Dalam bahasa Indonesia tidak ada perbedaan arti yang mendasar
antara bendera dengan panji. Terkadang, panji dikaitkan dengan
bendera yang berbentuk segitiga, namun hal itu bukan suatu
keharusan. Demikian pula dengan bendera, selain berbentuk
segiempat, juga dapat berbentuk segitiga.46 Perbedaan antara
bendera dan panji dapat dilihat dari penggunanya. Panji
umumnya digunakan oleh kesatuan atau organisasi tertentu,
44 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), 604.
45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, edisi ke-4, 2008), 836.
misalnya militer atau kepanduan; sedangkan bendera digunakan
untuk negara.47
Perbedaan antara liwa atau bendera dengan rayah atau
panji dalam referensi HTI terletak pada penggunaannya dalam
peperangan semasa Nabi. Liwa atau bendera berada di dekat
pemimpin tertinggi atau wakilnya dalam peperangan. Rayah atau
panji berada di samping komandan bagian. Dengan demikian,
dalam sebuah peperangan hanya terdapat sebuah liwa, dan
dimungkinkan ada beberapa rayah.48 Bentuk jamak rayah adalah
raayaah atau panji-panji.
Dalam buku resmi terbitan HTI, kadang tertulis al-liwâ‟ dan
ar-râyah,49 kadang pula tertulis liwa dan rayah.50 Penelitian ini
memilih ejaan liwa dan rayah, dengan pertimbangan ejaan liwa
terdapat dalam kamus bahasa Indonesia. Adapun penulisan
rayah, tanpa mencantumkan kata ar di depannya, menyesuaikan
dengan ejaan liwa yang tidak mencantumkan kata al di depannya.
Kata al, yang dapat berubah bunyi menjadi ar, dalam bahasa Arab
menunjukkan kata yang telah pasti; hal ini seperti kata the dalam
bahasa Inggris.
47 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), 22.
48 Al-Hujaili, 2002, 32-36 49 Hizbut Tahrir, 2009, 283.
3. Kaligrafi
Charge bendera yang digunakan HTI DIY berupa kaligrafi
Arab. Kaligrafi adalah „tulisan indah‟ atau „tulisan tangan yang elegan‟. Kata yang berasal dari bahasa Latin calligrapia ini
dibentuk dari kata Yunani kallos yang berarti „indah‟ dan graphein
yang berarti „tulisan‟.51 Dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut khat.
Kata yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia itu secara harfiah berarti „garis‟ atau „tulisan‟ dan secara istilah berarti
„tulisan yang indah‟.52 Tulisan Arab dibaca dari arah kanan ke kiri,
sebagaimana keluarga tulisan Aramea yang lain, seperti Siria dan
Ibrani.53
Di antara berbagai khat Arab, terdapat beberapa gaya yang
paling menonjol, yaitu: naskhi, sulus, diwani, diwani jali, farisi,
riqah, dan kufi.54 Khat tersebut telah menjadi pakem di dalam
kaligrafi Arab tradisional; setiap gaya memiliki varian. Ketujuh
bentuknya dapat dilihat pada contoh berikut (semua lafaznya
51 David Diringer, “Calligraphy and Epigraphy”, dalam Encyclopedia of World Art (London: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1960), 2.
52 D. Sirojuddin AR., “Kaligrafi” dalam Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 45.
53 Donal M. Anderson, The Art of Writen Forms The Theory ang Practice of Calligraphy (New York, atau al.: Holt, Rinehart and Winston, 1969). 296.
54 Nina M. Armando, ed., et al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, tanpa tahun), 45-48; D. Sirojuddin AR., Koleksi Karya Master Kaligrafi Islam (Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi,
berbunyi bismillahirrohmanirrohim yang berarti „dengan nama
Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyasang‟).
Saat nabi Muhammad masih hidup, langgam khat tersebut
belum dikenal meskipun cikal bakalnya telah tampak. Ketika itu,
bentuk tulisan masih sederhana, salah satunya digunakan dalam Gambar 1.7
surat Nabi Muhammad untuk Raja Bizantium (gb. 1.8).55 Waktu
itu tulisan Arab dapat dikategorikan menjadi muqawar dan
mabsut. Muqawar berbentuk kursif atau lengkung, mabsut berpola
garis lurus dan bersudut-sudut. Nama khat yang diberikan terkait
dengan nama kota, yaitu maliki dari Makah dan madani dari
Madinah. Namun demikian, perbedaan nama itu tidak untuk
membedakan ciri tulisan.56
55 M. M. Al-Azami, Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin, et al. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 138.
56 Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, terj. Abdul Hadi W.M. (Jakarta: Pantja Simpati, 1986), 5.
Gambar 1.8
4. Konteks
Konteks adalah situasi keberadaan teks.57 Kadang juga
ditulis koteks (cotext), yaitu gabungan dari kata co dan text yang secara harfiah berarti „bersama teks‟.58 Konteks perlu diperhatikan
karena mempengaruhi teks, teks yang sama memiliki makna yang
berbeda pada konteks yang berlainan.59 Dalam penelitian ini,
estesis liwa dan rayah di HTI DIY menempati posisi sebagai teks;
teks adalah tanda itu sendiri. Konteks yang diperhatikan adalah
konteks sejarah dan konteks budaya,60 dengan kata lain konteks
waktu dan konteks ruang.
a. Konteks Sejarah
Helius Sjamsuddin menyatakan, sejarah adalah kajian
tentang kegiatan manusia pada masa lalu yang merupakan
manifestasi pikiran, perasaaan, dan perbuatan.61 Kuntowijoyo
57 Henddy Shri Ahimsa-Putra, “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, dan Post-Modernistis” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Printika, 2000), 399-421.
58 Mulyana, Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 10.
59 Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana Teori dan Metode, terj. Imam Suyitno, et al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 21.
60 Thomas P. Hébert dan Teresa M. Beardsley, “Jermaine: A Critical Case Study of a Gifted Black Child Living in Rural Poverty”, dalam Sharan B. Merriam, et al., Qualitative Research in Practise Examples for Discussion and Analysis (San Francisco: Jossey-Bass, 2002), 209.
mencatat, terdapat dua model dalam kajian sejarah, yaitu model
diakronis dan model sinkronis. Model diakronis lebih
mengutamakan penggambaran berdimensi waktu, model ini yang
banyak digunakan dalam ilmu sejarah. Model sinkronis lebih
mengutamakan deskripsi yang meluas dalam ruang tanpa terlalu
banyak menyinggung dimensi waktu, model ini banyak dipakai
ilmu sosial.62 Adapun penyajian sejarah dapat berbentuk
deskriptif-naratif atau analisis-kritis. Deskriptif-naratif
menyandarkan pada narasi peristiwa. Analisis-kritis lebih
memperhatikan problem dan struktur.63 Penelitian ini cenderung
bersifat analisis-kritis dan menggunakan model sinkronis.
b. Konteks Budaya
Menurut Paul B. Harton dan Chaster L. Hunt, budaya
adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara
sosial oleh para anggota suatu masyarakat.64 Sesuai dengan
Koentjaraningrat, tidak ada perbedaan pada istilah budaya dan
kebudayaan, budaya hanyalah kependekan dari kata
kebudayaan.65
62 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, cetakan ke-2, 2003), 43.
63 Sjamsuddin, 2007, 237-238.
64 Paul B. Harton dan Chaster L. Hunt, Sosiologi, jilid 1, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari (Jakarta: Erlangga,1987), 58.
J.J. Honingman mengelompokkan unsur budaya menjadi
tiga, yaitu sistem budaya, aktivitas, dan artefak. Sistem budaya
terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma,
pandangan, atau sejenisnya yang bersifat abstrak; aktivitas
merupakan tingkah laku berpola para pelaku budaya; dan artefak
berupa karya manusia.66
5. Estetika Semiotis
Katya Mandoki mendefinisikan estetika sebagai “kajian
tentang proses estetis”.67 Kendati secara linguistik batasan ini
tidak tepat karena mengandung unsur kata yang didefinisikan,68
definisi tersebut tidak mereduksi kajian estetika. Definisi yang
termuat dalam buku Everyday Aesthetics itu lebih komprehensif
jika, misalnya, dibandingkan dengan definisi Bosanquet tahun
1892, yang hingga kini versinya masih diulang-ulang dalam berbagai referensi, yaitu “estetika sebagai filsafat keindahan”.69
Proses estetis dalam definisi tersebut juga disebut estesis.
Istilah ini berkorelasi dengan kata semiosis dalam terminologi
66 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX), (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), 40-41.
67 Katya Mandoki, Everyday Aesthetics: Prosaics, the Play of Culture and Social Identities (Hampshire: Ashgate, 2007), xi.
68 Gorys Keraf, Komposisi (Flores: Nusa Indah, cetakan ke-6, 1980), 53.
semiotika.70 Semiotika adalah studi tentang tanda dan cara kerja
tanda.71 Semiosis merupakan proses penandaan atau proses
penerimaan suatu tanda oleh interpreter.72
Analisis estetika melalui metodologi semiotika, oleh
Mandoki, disebut semio-aesthetics.73 Untuk hal yang sama,
Winfried Nöth menggunakan istilah semiotic aesthetics.74
Berdasarkan frasa tersebut, penelitian ini menggunakan istilah
estetika semiotis.
Mandoki memanfaatkan model semiosis Ferdinand de
Saussure. Ia menolak semiosis Charles Sander Peirce yang
dipandang berbahaya jika diterapkan di selain ranah semiotika.75
Sebaliknya, penelitian ini menggunakan model semiosis
Peircean untuk diterapkan dalam estesis. Pemanfaatannya
dilakukan dengan cara penyederhanaan dan pengeliminasian
beberapa konsep Peirce. Cara yang hampir sama pernah dilakukan
oleh Michael Newall.76
70 Mandoki, 2007, 109.
71 John Fiske, Cultural and Communication Studies, terj. Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 60.
72 Winfried Nöth, Handbook of Semiotics (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 42.
73 Mandoki, 2007, 101-102. 74 Nöth, 1990, 421.
75 Mandoki, 2007, 109-113
a. Semiosis Peircean
Semiosis Peirce bersifat triadik. Sudut segitiganya terdiri
dari representamen, object, dan interpertant. Representamen, atau
kadang disebut tanda (sign), adalah sesuatu yang berada bagi
seseorang untuk sesuatu yang lain dalam berbagai cara atau
kapasitas. Representamen merupakan aspek material suatu tanda.
Object, berbeda dengan pengertian sehari-hari, adalah sesuatu
yang diacu oleh representament. Interpretant merupakan hal yang
muncul pada benak seseorang karena dibangkitkan oleh
representament.77
Peirce membagi tipologi tanda dalam tiga trikotomi. Salah
satunya, yang paling terkenal, adalah trikotomi berdasarkan
hubungan antara representamen dengan object. Dalam hal ini
tanda dibagi menjadi tiga, yaitu ikon (icon), indeks (index), dan
simbol (symbol). Ikon adalah tanda atau representamen yang
karakternya memiliki kesamaan dengan object, baik object tersebut
eksis terindera maupun tidak. Indeks merupakan tanda atau
representamen yang keberadaannya disebabkan oleh efek
keberadaan object. Simbol adalah tanda atau representamen yang
kaitannya dengan object berdasarkan konvensi atau hukum,
biasanya berupa ide umum.78 Sebuah tanda dapat tergolong dalam
ikon, indeks, dan simbol sekaligus.79
Makna suatu tanda merupakan hal yang dicari dalam kajian
semiotika.80 Peirce melihat makna secara pragmatis, yaitu efek
penandaan yang terjadi pada aktivitas mental seseorang.81
Aktivitas mental seperti ini tidak bisa lepas dari ide atau gagasan
yang telah ada pada orang tersebut.82 Efek semiosis dapat berupa
efek emosional, efek energetis, maupun efek logikal. Efek
emosional adalah efek berupa perasaan; efek energetis berupa
reaksi fisik; efek logikal berupa konsep pemikiran.83
b. Estesis dalam Model Semiosis Peircean
Dalam penelitian ini, segitiga semiosis Peircean diadopsi
menjadi segitiga estesis. Sudut representamen ditempati “objek estetis”; object diubah menjadi “nilai estetis”, dan interpretant
diganti dengan “pengalaman estetis”. Objek estetis, nilai estetis,
78 Peirce, 1955, 102.
79 Paul Cobley dan Litza Jansz, Mengenal Semiotika for Biginners, terj. Ciptadi Sukono (Bandung: Mizan, 2002), 33.
80 Marcel Danesi, Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory, 3rd Edition (Toronto: Canadian Scholars‟ Press, 2004), 3.
81 Thomas Turino, “Signs of Imagination, Identity, and Experience: A Piercian Semiotic Theory for Music”, dalam jurnal Ethnomusicology (Vol. 43, No. 2, Sping-Summer, 1999), 224.
82 Charles Sander Peirce, “The Law of Mine”, dalam Nathan Houser, et al., ed., Writing of Charles S. Peirce a Chronological Edition Volume 8 1890-1892 (Blomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 2010), 136.
maupun pengalaman estetis merupakan ranah pembahasan
estetika yang penting.84 Nilai estetis menempati puncak segitiga,
hal ini untuk menunjukkan bahwa nilai bersifat objektif dan
subjektif sekaligus. Sebagaimana dikatakan M. M. Syarif, nilai
muncul dari perpaduan atau konstruksi antara objek tertentu
dengan subjek dalam keadaan tertentu pula.85
i. Objek Estetis
Menurut Thomas Munro, objek estetis adalah apapun yang
dapat merangsang kemunculan pengalaman estetis.86 Objek
estetis dapat berupa karya seni, objek non-seni, maupun alam.87
Dalam dimensi estetika, menurut Noël Carroll, karya seni adalah
objek yang dibuat untuk membawa, menimbulkan, atau
setidaknya mendukung pengalaman estetis.88 Kajian tentang objek
estetis meliputi beberapa hal berikut.
84 Marcia Muelder Eaton, Persoalan-persoalan Dasar Estetika, terj. Embun Kenyowati Ekosiwi (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), xiii.
85 M.M. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984), 106-107.
86 Thomas Munro, Form and Style in the Arts: an Introduction to Aesthetic Morpology (Cleveland: The Press of Case Western University, 1970), 22.
87 Ted Honderich, The Oxford Companion to Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1995), 7; Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-14, 2002), 13-14.
Pertama material dan teknik, menurut Edmund Burke
Feldman, material adalah elemen fisik pembentuk karya seni;89
Gene Mittler dan Rosalind Ragans mencatat, teknik merupakan
metode penciptaan karya seni.90 Kedua bentuk (form), Marcia
Muelder Eaton menyatakan, bentuk karya seni adalah hal yang
ditampilkan secara langsung dan dipersepsi.91 Dalam veksillologi,
bentuk meliputi ground, charge, ukuran maupun rasio, dan
bunting. Adapun persoalan kaligrafi terangkum dalam charge
karena konfigurasi yang terdapat dalam liwa dan rayah adalah
kaligrafi. Ketiga displai (display), dalam konteks veksillologi,
displai merupakan cara pemasangan bendera.92 Keempat, untuk
memperjelas kategori, objek estetis juga memperbincangkan
masalah status objek tersebut dalam seni; hal seperti ini
sebagaimana dilakukan oleh Eaton.93
ii. Nilai Estetis
Menurut Eaton, nilai estetis adalah nilai yang dimiliki objek
terkait dengan kapasitasnya untuk membangkitkan kesenangan,
yang muncul dari ciri objek yang secara tradisional dianggap
89 Edmund Burke Feldman, Art as Image and Idea (New Jersey: Prentice-Hall, 1967), 306.
90 Gene Mittler dan Rosalind Ragans, Understanding Art (Woodland Hills: Glencoe/McGraw-Hill, 2005), 30-38.
berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan.94 Terkait batasan
tersebut, ketiga jenis tanda dalam trikotomi Peirce dianggap
sebagai nilai estetik, yaitu: nilai simbolis, nilai ikonis, dan nilai
indeksikal.
Pertama, nilai simbolis adalah kapisitas karya seni untuk
dikaitkan dengan konvensi atau ide tertentu. Kedua, nilai ikonis
merupakan nilai yang dimiliki karya seni berdasarkan kesamaan
dengan acuannya, baik acuan tersebut dapat dijumpai di alam
maupun hanya berada dalam pemikiran. Ketiga, nilai indeksikal
merupakan nilai karya seni yang menunjukkan hubungan
koeksistensi dengan sesuatu yang lain.
iii.Pengalaman Estetis
Eaton menyatakan, pengalaman estetis adalah pengalaman
tentang tanda intrinsik sesuatu yang secara tradisional dianggap
berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan. Untuk mengetahui
pengalaman itu dibutuhkan pemahaman tentang budaya
masyarakat bersangkutan.95 Hal ini sejalan dengan Pierre
Bourdieu yang menyatakan bahwa karya seni memiliki makna dan