• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yuridista Putri Pratiwi, Milla Herdayati, S.KM, M.Si. Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Universitas Indonesia, Depok, 16425

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Yuridista Putri Pratiwi, Milla Herdayati, S.KM, M.Si. Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Universitas Indonesia, Depok, 16425"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH UMUR KAWIN PERTAMA TERHADAP TINGKAT FERTILITAS WANITA USIA SUBUR

DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2012

(ANALISIS LANJUT SURVEI DEMOGRAFI KESEHATAN INDONESIA 2012)

Yuridista Putri Pratiwi, Milla Herdayati, S.KM, M.Si

Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Universitas Indonesia, Depok, 16425

Email: yuridista@gmail.com

Abstrak

Tingkat fertilitas merupakan salah satu indikator yang menjadi prioritas utama pencapaian MDGs Indonesia. Tingkat fertilitas di Jawa Barat merupakan yang tertinggi di Indonesia. Tingkat fertilitas di dalam data survei dapat diukur dengan menggunakan jumlah anak lahir hidup (ALH). Umur kawin pertama merupakan salah satu faktor terpenting yang dapat mempengaruhi tingkat fertilitas.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh umur kawin pertama terhadap tingkat fertilitas wanita usia subur di Provinsi Jawa Barat. Penelitian menggunakan desain studi cross sectional dengan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Penelitian menggunakan kriteria inklusi wanita usia subur usia 15-49 tahun yang pernah menikah di Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan pada wanita yang pernah penikah di Provinsi Jawa Barat, mereka yang menikah di usia ≤ 18 tahun memiliki risiko 2,5 kali lebih tinggi untuk memiliki tingkat fertilitas tinggi dibandingkan yang menikah di usia > 18 tahun setelah variabel lain dikendalikan. Variabel lain yang turut berperan dalam tingkat fertilitas wanita usia subur yaitu umur, tempat tinggal, tingkat pendidikan istri, status pekerjaan istri, norma tentang besarnya keluarga, dan penggunaan alat kontrasepsi saat ini. Oleh karena itu, kegiatan KIE terkait program KB dan pendewasaan usia perkawinan, pemberdayaan wanita, serta pembukaan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan status ekonomi diperlukan sebagai upaya mencegah dan mengatasi permasalahan terkait fertilitas di kalangan wanita usia subur di Provinsi Jawa Barat.

Kata Kunci: Fertilitas, anak lahir hidup, wanita usia subur, Jawa Barat, pengaruh, umur kawin

pertama

The Effect of Age At First Marriage on Women’s At Childbearing Ages Fertility Rate in West Java 2012

(An Advance Analysis of Indonesia Demographic Health Survey 2012)

Abstract

Fertility rate is one of indicator that include in the top priority of Indonesia’s MDGs achievement.

West Java has the highest fertility rate in Indonesia. The fertility rate in survey data can be measured by using the number of children ever born (CEB). Age at first marriage is one of the most important factors that can affect the fertility rate. The study was conducted to determine the effect of age at first marriage to the fertility rate of women in their childbearing ages in West Java.

The study uses a cross-sectional study design with SDKI 2012. The inclusion criteria of this study is women aged 15-49 years who were married in West Java. The results showed that in women who were married in West Java province, those who were married at age ≤ 18 years had a 2.5 times higher risk to have high fertility rates than those married at age > 18 years after other variables are controlled. Other variables played a role in the fertility rate of women in childbearing ages are age, place of residence, wife’s education level, wife's employment status, norms about family size, and current contraceptive use. Therefore, IEC activities related to family planning programs and increasing age at first marriage, women's empowerment, and the opening of

(2)

employment opportunities that important to improve the economic status are necessary of to prevent and resolve problems related to fertility among women of childbearing ages in their childbearing ages in West Java.

Keywords: Fertility, children ever born, women in childbearing ages, West Java, influence, age at first marriage

Pendahuluan

Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000, Indonesia telah berikrar untuk ikut berupaya dalam usaha menyejahterahterakan masyarakatnya. Dalam upaya tersebut, Indonesia menetapkan indikator-indikator utama untuk menilai pencapaian tujuan MDGs yang telah disepakati bersama. Di antara banyak indikator yang telah ditetapkan, lima indikator utama yang menjadi prioritas adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), tingkat fertilitas, akses masyarakat miskin terhadap layanan kebutuhan dasar, dan annual parasite index untuk penyakit malaria (BKKBN, 2013). Meskipun begitu, Indonesia dinilai masih sulit untuk mencapai target keberhasilan dari kelima indikator tersebut.

Di bidang demografi, fertilitas secara umum diartikan sebagai hasil reproduksi nyata (anak lahir hidup) dari seorang atau sekelompok wanita (Widhaningrat, 2009). Untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat fertilitas penduduk di suatu negara, terdapat dua jenis ukuran yang dapat digunakan, yakni ukuran cross- sectional (diukur dalam jangka waktu tertentu) dan ukuran longitudinal (diukur berdasarkan riwayat kelahiran atau riwayat reproduksi seorang wanita). TFR merupakan salah satu ukuran fertilitas cross-sectional yang bersifat cohort fertility, yaitu ukuran yang mencerminkan banyaknya kelahiran selama masa reproduksi (Mantra, 1985 dalam Soegiyanto, 2005). TFR dapat digunakan untuk membantu para perencana program pembangunan dalam meningkatkan rata-rata usia kawin, meningkatkan program pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan ibu hamil dan perawatan anak, serta untuk mengembangkan program penurunan tingkat kelahiran (Data Statistik Indonesia, 2014). TFR termasuk di dalam indikator pencapaian MDGs karena ukuran tersebut terkait dengan tujuan MDGs poin 4 yakni meningkatkan kesehatan anak dan MDGs poin 5 yakni

(3)

meningkatkan kesehatan ibu. Selain itu, pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2013, sasaran pembangunan sosial budaya dan kehidupan beragama antara lain adalah menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk dan TFR (BKKBN, 2013). Evaluasi paruh waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menyebutkan bahwa TFR di Indonesia adalah sebesar 2,6, yang artinya satu orang wanita rata-rata melahirkan 2,6 anak selama masa reproduksinya dalam kurun waktu 2009-2012 (Bappenas, 2013). Hal tersebut menunjukkan tidak adanya peningkatan sejak tahun 2002, di mana pada SDKI 2002-2003 dan SDKI 2007, TFR tetap tidak beranjak dari angka 2,6. Padahal, sesuai dengan visi BKKBN yaitu “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015”, target yang harus dicapai oleh Indonesia adalah menurunkan angka TFR menjadi 2,1 pada tahun 2015 (BKKBN, 2011).

Angka fertilitas yang tinggi di dalam suatu negara akan menimbulkan banyak dampak bersifat negatif, salah satunya adalah terjadinya ledakan penduduk. Sejak tahun 1967, pemerintah Indonesia sebenarnya telah berkomitmen untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia di tahun yang sama. Di dalam deklarasi tersebut ditegaskan betapa pentingnya menentukan atau merencanakan jumlah anak, dan menjarangkan kelahiran dalam keluarga sebagai wujud pemenuhan hak asasi manusia. Selain itu, dinyatakan pula bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memicu terjadinya ledakan penduduk yang mengecilkan arti pembangunan dalam bidang ekonomi (BKKBN, 2011). Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia sendiri menunjukkan penurunan dalam jumlah yang cukup signifikan sejak tahun 1990. Menurut hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh BPS, angka kelahiran kasar (Crude Birth Rate/CBR) pada tahun 1990 adalah sebesar 28 per 1.000 penduduk, kemudian menurun pada tahun 2000 menjadi sebesar 23 per 1.000 penduduk. Namun, faktanya angka tersebut menjadi stagnan pada Sensus Penduduk 2010, yakni tetap sebesar 23 per 1.000 penduduk (BPS, 2010). Dari segi ekonomi, jumlah penduduk yang besar akan menyebabkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan apabila tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai. Selain itu, penduduk yang banyak

(4)

berpotensi meningkatkan angka kriminalitas dan perusakan lingkungan (Biro Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2013).

Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah populasi penduduk terbesar keempat di dunia, juga mencatatkan angka TFR yang cukup tinggi. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, TFR tertinggi di Indonesia sebesar 3,816 anak per wanita, sedangkan provinsi dengan TFR terendah sebesar 1,818 per wanita. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia juga terkait dengan persebaran penduduk yang tidak merata antar pulau dan provinsi. Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari luas keseluruhan Indonesia namun dihuni oleh 58%

dari seluruh penduduk di Indonesia menjadikannya sebagai wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi, yaitu 1.055 orang per kilometer persegi. Di antara provinsi-provinsi yang terdapat di Pulau Jawa, Jawa Barat menjadi provinsi penyumbang penduduk terbanyak dengan TFR sebesar 2,4, paling tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya (SP, 2010). Selain diukur dengan TFR, tingginya tingkat fertilitas di Jawa Barat juga dapat diukur dengan ukuran fertilitas yang bersifat longitudinal, yakni berdasarkan jumlah anak lahir hidup (ALH). Ukuran ini biasa digunakan untuk mengetahui tingkat fertilitas dari data survei, termasuk SDKI. Pada tahun 2012, jumlah anak lahir hidup di Provinsi Jawa Barat tercatat ada sebanyak 932 bayi (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012). Fakta tersebut juga terkait dengan jumlah wanita usia subur di Jawa Barat yang berdasarkan Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2012 merupakan jumlah tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 12.672.776 jiwa (BKKBN, 2012).

Tingkat fertilitas seorang wanita dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, termasuk tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, persepsi nilai anak, kematian bayi/balita, unmeet need, dan umur kawin pertama (Yuniarti, dkk, 2013). Sebuah studi mengenai dampak karakter sosioekonomi terhadap usia menikah dan fertilitas total di Nepal menyebutkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seorang wanita yang telah menikah, semakin tinggi tingkat fertilitas totalnya.

Sebagai perbandingan, wanita yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan tingkat fertilitas totalnya adalah sebesar 3,06 sementara wanita yang telah mengenyam pendidikan lebih dari 10 tahun tingkat fertilitas totalnya sebesar 1,75 (Maitra, 2004). Selain itu, sebuah studi mengenai prevalensi pernikahan usia dini

(5)

dan efeknya terhadap fertilitas dan fertilitas kontrol pada wanita muda di India juga menyebutkan bahwa wanita yang umur kawin pertamanya < 18 tahun cenderung memiliki tingkat fertilitas yang tinggi dibandingkan wanita yang menikah di usia dewasa (27,1% dibanding 3,5%), di mana dalam studi tersebut fertilitas didefinisikan sebagai kelahiran tiga atau lebih anak dari seorang wanita.

Menurut studi yang sama, 20,4% wanita yang menikah di umur < 18 tahun telah memiliki anak di tahun pertama pernikahan sementara wanita yang menikah di umur dewasa dan memiliki anak di tahun pertama pernikahan sebesar 19,1% (Raj dkk, 2009).

Pada tingkat provinsi, Kalimantan Selatan menduduki peringkat pertama yang persentase pernikahan usia dininya (<15 tahun) tinggi, yaitu sebesar 9%, disusul Jawa Barat sebesar 7,5%, serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dengan persentase masing-masing 7% dan 6,5%. Untuk kategori persentase pernikahan usia dini kelompok umur 15-19 tahun, provinsi yang menduduki posisi pertama adalah Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2%), Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka Belitung (47,9%), dan Sulawesi Tengah (46,3%) (BKKBN, 2012). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa Jawa Barat menjadi satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang termasuk di dalam lima besar provinsi dengan angka kejadian pernikahan usia dini tertinggi di Indonesia.

Laporan Pendahuluan SDKI 2012 juga menunjukkan bahwa angka median umur kawin pertama di Jawa Barat merupakan yang paling rendah di Indonesia, yaitu 18,7 tahun (BKKBN, 2013).

Berdasarkan Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2012, kebanyakan wanita usia subur di Jawa Barat menikah pertama kali di usia 19-24 tahun (6.774.705 jiwa) dan 17-18 tahun (4.455.773 jiwa) (BPS Jawa Barat, 2012). Menurut BKKBN, secara kultural nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat Jawa Barat memang kurang mendukung bagi pelaksanaan program PUP. Ungkapan populer “banyak anak banyak rejeki” membuat banyak remaja di Jawa Barat yang memutuskan menikah begitu lulus atau bahkan mengenyam bangku SMA (BKKBN Jawa Barat, 2013). Tradisi turun-temurun di Jawa Barat untuk menikahkan anak di usia muda juga terkait dengan alasan orangtua yang ingin

(6)

mengurus anak-anaknya yang lebih kecil, sehingga anak yang lebih besar harus segera dinikahkan meskipun usianya belum mencukupi.

Secara garis besar, umur kawin pertama memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap tingkat fertilitas seorang wanita di berbagai penjuru dunia, terutama di negara-negara berkembang. Indonesia, sebagai salah satu negara yang termasuk di dalam kelompok negara berkembang, juga mencatatkan fenomena rendahnya rata-rata umur kawin pertama dan tingginya tingkat fertilitas. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi pencapaian pemerintah dalam mewujudkan target pembangunan yang tercantum di dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 (Fadlyana dan Larasaty, 2009). Di antara provinsi yang mencatatkan angka kejadian pernikahan dini dan tingkat fertilitas tertinggi di Indonesia yang disebabkan oleh rendahnya rata-rata umur kawin pertama, Jawa Barat menjadi provinsi yang perlu mendapat perhatian lebih mengingat lokasinya yang berada di kawasan terpadat di Indonesia. Selain itu, jumlah WUS di Jawa Barat merupakan yang terbanyak di Indonesia, sehingga peluang untuk memicu terjadinya ledakan penduduk menjadi lebih besar. Oleh karena itu, berdasarkan data dan fakta tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh umur kawin pertama terhadap tingkat fertilitas wanita usia subur di Provinsi Jawa Barat (Analisis Lanjut SDKI 2012).

Tinjauan Teoritis

Fertilitas merupakan hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita semasa hidupnya (Muder, 2010). Menurut pengertian demografi, fertilitas lebih dikaitkan dengan banyaknya anak lahir hidup. Selain itu, istilah fertilitas juga dapat diartikan sebagai kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan menunjukkan tanda-tanda kehidupan, misalnya berteriak, bernafas, jantung berdenyut, dan sebagainya (Mantra dalam Wahyuni, dkk, 2013). Sejalan dengan itu, Barclay juga mendefinisikan fertilitas sebagai tingkat daya guna nyata dari seluruh penduduk tertentu yang didasarkan atas jumlah kelahiran hidup (Barclay dalam Purwanti, 2003). Berikut merupakan teori-teori fertilitas menurut bidang ilmu sosiologi:

(7)

1. Davis dan Blake: Variabel Antara

Kingsley Davis dan Judith Blake dalam tulisannya yang berjudul The Social Structure and Fertility: An Analytic Framework yang dipublikasikan pada tahun 1956 melakukan analisis sosiologis tentang fertilitas. Di dalam tulisan tersebut, Davis and Blake mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas, di mana faktor-faktor tersebut mereka rangkum sebagai variabel antara atau intermediate variables. Terdapat 11 variabel antara yang menurut Davis dan Blake mempengaruhi fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan ke dalam tiga tahap proses reproduksi, yakni sebagai berikut:

1) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse variables):

a. Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:

1. Umur mulai hubungan kelamin 2. Selibat permanen

3. Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubungan kelamin

b. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin 4. Abstinensi sukarela

5. Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)

6. Frekuensi hubungan seksual

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables):

7. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja

8. Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:

9. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat- obatan dan sebagainya)

(8)

3) Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation variables)

10. Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja

11. Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja

2. Ronald Freedman: Variabel Antara dan

Norma Sosial

Menurut Freedman, variabel antara yang berpengaruh langsung terhadap fertilitas pada dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di suatu masyarakat. Pada akhirnya, perilaku fertilitas seseorang dipengaruhi norma-norma yang ada, yaitu norma tentang besarnya keluarga dan norma tentang variabel antara itu sendiri. Selanjutnya, norma-norma tentang besarnya keluarga dan variabel antara dipengaruhi oleh tingkat mortalitas dan struktur sosial ekonomi yang ada di masyarakat.

3. John Bongaarts: Teori Proximate Variables

Bongaarts (1978) dalam artikel yang dipublikasikan dengan judul A Framework for Analyzing the Proximate Determinants of Fertility adalah yang pertama kali mengemukakan model multiplikatif komprehensif di mana semua variabel antara fertilitas dianggap mempengaruhi fertilitas secara simultan.

Metodologi Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian cross sectional atau potong lintang dan bertujuan untuk mengetahui pengaruh pernikahan usia dini terhadap tingkat fertilitas wanita usia subur di Provinsi Jawa Barat tahun 2012 dengan mengontrol variabel lain, yaitu umur, tingkat pendidikan istri, tingkat pendidikan suami, status pekerjaan istri, status pekerjaan suami, status ekonomi, tempat tinggal, pengetahuan tentang kontrasepsi, norma tentang besarnya keluarga, penggunaan kontrasepsi, dan keterpajanan media massa. Penelitian ini merupakan analisis lanjut menggunakan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 kuesioner wanita usia subur (WUS) dan dilakukan selama bulan Februari 2014 – Juli 2014. Populasi

(9)

penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur umur 15-49 tahun di provinsi Jawa Barat, sedangkan sampel yang digunakan adalah seluruh wanita usia subur umur 15-49 tahun di provinsi Jawa Barat yang menjadi responden SDKI. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu wanita usia subur umur 15-49 tahun yang telah menikah di Provinsi Jawa Barat. Untuk menghitung besarnya jumlah sampel minimum yang dibutuhkan dalam penelitian, peneliti menggunakan cara perhitungan besar sampel untuk uji hipotesis beda proporsi (Ariawan, 1998):

Keterangan:

n = besar sampel

Z1-α=nilai z pada derajat kepercayaan tertentu (1.96 untuk derajat kepercayaan 95%)

Z1-β = nilai z pada kekuatan uji (power) bernilai 0.84 jika uji kekuatan uji 80%

P1 = proporsi pada kelompok 1 P2= proporsi pada kelompok 2

P= Hasil penjumlahan P1 dan P2 kemudian dibagi 2

deff= efek desain (SDKI 2012 menggunakan efek desain sebesar 2)

Jumlah sampel penelitian yang didapatkan berdasarkan kesesuain dengan kriteria inklusi berjumlah 1.794 orang, sedangkan jumlah sampel minimum yang dibutuhkan dalam penelitian yaitu 1.109 orang. Oleh karena itu, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian telah memenuhi jumlah sampel minimum yang diperoleh dari hasil perhitungan.

Dalam penelitian ini, analisis yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis yang dilakukan juga memperhatikan pengaruh teknik sampling SDKI 2012 (bukan Simple Random Sampling/SRS), yakni teknik sampling 3 tahap. Oleh karena itu, peneliti juga mempertimbangkan bobot, primary sampling unit (PSU), dan klaster atau strata dalam proses analisis data.

Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran atau distribusi suatu data. Analisis univariat dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis variabel dependen, yaitu tingkat fertilitas serta variabel independen, yaitu pernikahan usia dini. Selain itu, peneliti juga melakukan analisis univariat

(10)

terhadap variabel tingkat pendidikan istri, tingkat pendidikan suami, status ekonomi, tempat tinggal, norma tentang kontrasepsi, norma tentang besarnya keluarga, penggunaan kontrasepsi, dan keterpaparan media massa. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel dengan variabel lain Dalam penelitian ini, analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-square atau kai kuadrat pada tingkat kepercayaan 95%

((α=0,05). Pada tingkat keyakinan 95%, keputusan yang diambil dari uji analisis ini memperhatikan nilai p-value dan nilai odds ratio (OR) dari hubungan antar variabelnya. Odds ratio adalah ukuran asosiasi paparan (faktor risiko) dengan kejadian penyakit, dihitung dari angka kejadian penyakit pada kelompok berisiko (terpapar faktor risiko) dibanding angka kejadian penyakit pada kelompok yang tidak berisiko (tidak terpapar faktor risiko).

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui hubungan dari beberapa variabel dengan satu variabel yang dilakukan secara bersamaan dengan mengontrol atau memperhatikan pengaruh dari variabel confounder atau kovariat.

Dalam penelitian ini, analisis multivariat yang digunakan adalah dilakukan analisis regresi logistik model faktor risiko.

Hasil Penelitian

Hasil analisis multivariat membuktikan bahwa ada hubungan antara umur kawin pertama dengan tingkat fertilitas wanita usia subur di Jawa Barat tahun 2012. Wanita yang menikah pertama kali di usia ≤ 18 tahun memiliki risiko 2,4 kali lebih tinggi untuk melahirkan anak > 2 orang daripada wanita yang menikah pertama kali di usia > 18 tahun setelah variabel lain dikendalikan.

Tabel 5.13

Permodelan Akhir Tingkat Fertilitas Wanita Usia Subur di Jawa Barat Tahun 2012

Tingkat fertilitas > 2 anak

Variabel P-value OR 95% CI

Umur Kawin Pertama ≤ 18 tahun <0,0001 2,4 1,8-3,3 Umur Responden

31-35 tahun 36-40 tahun

<0,0001

7,1 17,7

4,5-11,2 11,6-26,9

(11)

41-45 tahun 46-49 tahun

31,6 49,6

19,8-50,4 29,7-82,9 Tempat Tinggal Pedesaan 0,003 0,6 0,4-0,8 Tingkat Pendidikan Istri Rendah 0,011 1,5 1,1-2,1 Istri Tidak Bekerja 0,013 1,4 1,1-1,7 Besarnya Keluarga > 2 anak <0,0001 2,9 2,2-3,8

Tidak Menggunakan Alat Kontrasepsi

<0,0001 0,6 0,4-0,8

Pembahasan

Pada umumnya, fertilitas didefinisikan sebagai kemampuan menghasilkan keturunan yang dikaitkan dengan kesuburan wanita (Yuniarti, dkk, 2013).

Pengertian lain dari fertilitas adalah kemampuan seorang isteri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya (Budiharto, 2010). Kedua definisi tersebut menekankan pada lahirnya keturunan atau anak hidup yang sesuai dengan pengertian fertilitas menurut Mantra.

Fertilitas, menurut Mantra dalam Rahmadini (2013), adalah kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan menunjukkan tanda-tanda kehidupan, misalnya berteriak, bernafas, jantung berdenyut, dan sebagainya, sehingga bayi yang ketika lahir tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan tidak bisa dimasukkan ke dalam peristiwa kelahiran. Selain itu, di bidang demografi yang berkaitan erat dengan jumlah penduduk, fertilitas juga ditekankan pada jumlah bayi yang dilahirkan hidup (Muder, 2010). Jumlah anak lahir hidup merupakan ukuran fertilitas yang bersifat longitudinal, yaitu ukuran yang menjelaskan tingkat fertilitas seorang wanita dari mulai masa suburnya hingga pada saat data dikumpulkan. Ukuran ini biasa digunakan untuk menentukan tingkat fertilitas dari data survei, termasuk SDKI. Tingkat fertilitas seorang wanita dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, termasuk tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, persepsi nilai anak, kematian bayi/balita, unmeet need, dan umur kawin pertama (Yuniarti, dkk, 2013). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa umur kawin pertama memang memiliki hubungan dengan tingkat fertilitas pada wanita usia subur yang pernah menikah di Jawa Barat, di mana umur kawin pertama dikategorikan berdasarkan median umur kawin

(12)

pertama di Jawa Barat. Wanita usia subur yang menikah pertama kali di usia ≤ 18 tahun lebih banyak melahirkan anak > 2 orang (46,8%), sementara hanya ada sebanyak 26% wanita usia subur yang menikah pertama kali di usia > 18 melahirkan anak > 2 orang. Wanita yang menikah pertama kali di usia ≤ 18 tahun risikonya cenderung 2,503 kali lebih tinggi untuk melahirkan anak > 2 dibandingkan yang menikah pertama kali di usia > 18 tahun.

Pengaruh umur kawin pertama telah dijelaskan melalui berbagai macam teori fertilitas, di antaranya teori milik Davis dan Blake, teori milik Ronald Freedman, teori milik Bongaarts, dan teori milik Moni Nag. Di dalam empat teori tersebut, umur kawin pertama menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi tingkat fertilitas. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa umur kawin pertama yang muda akan memperpanjang kesempatan reproduksi, sehingga dapat dinyatakan bahwa hubungan antara umur kawin pertama dengan tingkat fertilitas adalah negatif, yang berarti semakin tinggi umur kawin pertama seseorang, semakin kecil tingkat fertilitasnya (Bondan dalam Purwanti, 2003).

Hasil dalam penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sidodadi, Kabupaten Kendal yang dilaksanakan pada tahun 1964. Hasil penelitian di Desa Sidodadi tersebut menyatakan bahwa seorang wanita yang usia kawin pertamanya 17 tahun, dapat menghasilkan rata-rata 7,6 anak selama perkawinannya. Apabila usia kawin pertamanya meningkat menjadi 27 tahun jumlah anaknya rata-rata menjadi 4,8 anak (Purwanti, 2003). Hasil penelitian lain di India juga menyebutkan bahwa wanita yang menikah pertama kali di usia 17 tahun paling tidak melahirkan ≥ 3 anak dan berisiko melahirkan kembali kurang dari 24 bulan jika dibandingkan dengan wanita yang menikah pertama kali di usia yang lebih tua (Raj, dkk, 2009).

Hasil analisis multivariat pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa umur kawin pertama berpengaruh terhadap tingkat fertilitas wanita usia subur di Jawa Barat. Wanita usia subur yang menikah di usia ≤ 18 tahun memiliki risiko 2,4 kali lebih tinggi untuk melahirkan anak > 2 orang dibandingkan wanita usia subur yang menikah di usia > 18 tahun setelah variabel lain dikontrol. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada wanita muda di India. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa wanita yang menikah di usia ≤ 17 tahun

(13)

memiliki risiko 10,2 kali lebih tinggi untuk melahirkan tiga anak atau lebih dibandingkan wanita yang menikah di usia > 17 tahun (Raj, dkk, 2009). Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2001, dijelaskan bahwa wanita yang menikah pertama kali di usia ≤ 19 tahun lebih banyak melahirkan anak > 2 dibandingkan dengan wanita yang menikah pertama kali di usia ≥ 20 tahun. Sebanyak 31,7% wanita yang menikah di rentang usia 16-19 tahun melahirkan anak > 2, sementara hanya ada sebanyak 27,5% wanita yang menikah di rentang usia 20-24 tahun yang melahirkan anak dengan jumlah sama besarnya (Al-Saawi, 2001).

Meskipun pemerintah menetapkan batas minimal usia menikah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, namun sejak tahun 2010 BKKBN telah menjalankan sebuah program dalam rangka meningkatkan rata-rata umur kawin pertama penduduk Indonesia yang dinamakan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Program tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan umur pada perkawinan pertama, sehingga pada saat perkawinan umur yang dicapai adalah 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki (BKKBN, 2011). Oleh karena itu, wanita usia subur yang umur kawin pertamanya ≤ 18 tahun di dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa umur kawinnya tidak ideal.

Masih tidak idealnya median umur kawin pertama dan tingginya tingkat fertilitas di Jawa Barat sangat berpotensi memicu terjadinya ledakan penduduk, mengingat banyak jumlah wanita usia subur di provinsi tersebut dan letaknya yang berada di pulau terpadat di Indonesia, yaitu Pulau Jawa. Ledakan penduduk akan menimbulkan banyak dampak negatif, khususnya di bidang pembangunan.

Dari segi ekonomi, jumlah penduduk yang banyak namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai akan menimbulkan fenomena pengangguran di berbagai wilayah yang akan berujung pada kemiskinan (Informasi Kependudukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2013). Selain itu, semakin banyak jumlah penduduk maka akan semakin banyak pula jumlah penduduk usia sekolah. Jika itu terjadi, akan semakin banyak pula sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan. Di bidang kesehatan, jumlah penduduk yang banyak akan menyebabkan semakin tingginya permintaan akan layanan

(14)

kesehatan. Jika hal tersebut tidak tercukupi, maka kualitas penduduk akan menjadi rendah (Djaenudin, 2013). Di wilayah yang sudah padat seperti Jawa Barat, pertumbuhan jumlah penduduk yang besar juga akan mengakibatkan terjadinya hal-hal seperti tumbuhnya kawasan kumuh yang memperburuk lingkungan, meningkatnya kebutuhan perumahan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan, serta meningkatnya fenomena kemacetan lalu lintas (Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, 2013). Pada akhirnya pertambahan penduduk dalam jumlah besar akan memicu terjadinya ledakan penduduk yang mengecilkan arti pembangunan.

Kesimpulan

1. Wanita usia subur di Jawa Barat yang umur kawin pertamanya ≤ 18 tahun memiliki risiko 2,4 kali untuk melahirkan anak > 2 orang setelah variabel lain dikendalikan.

Saran

1. Kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) mengenai program PUP (Pendewasaan Usia Perkawinan) dapat lebih digencarkan terutama melalui kader-kader lapangan

2. Bagi masyarakat yang ingin menikah di usia muda karena dalam UU Perkawinan pemerintah masih melegalkan usia pernikahan di umur 16 dan 19 tahun, pihak KUA dapat melakukan konseling atau penyuluhan bagi pasangan muda terkait keluarga berencana dan tingkat fertilitas

3. Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat serta pemuka agama dalam penyuluhan terkait pendewasaan usia perkawinan dan isu-isu fertilitas dapat ditingkatkan, dalam rangka membantu mengubah pola pikir masyarakat Jawa Barat yang masih menganut budaya “banyak anak banyak rejeki”.

4. Program dan kebijakan terkait fertilitas dan pendewasaan usia perkawinan dapat dititikberatkan kepada remaja sebagai subjek yang kelak akan membentuk keluarga baru.

5. Pelayanan Program Keluarga Berencana melalui kader-kadernya dapat mengintensifkan program penyuluhan terkait alat dan kontrasepsi, serta

(15)

mengadakan sistem pelayanan “jemput bola” dengan mendatangi rumah- rumah penduduk, terutama di wilayah perkotaan.

Referensi

Al-Saawi, Mohammad. 2001. Women’s Status, Fertility, and Family Planning in Two Islamic Countries: A Comparative Study of The Republic of Yemen and Indonesia. Manhattan: Kansas State University.

Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan.

Universitas Indonesia: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Fertilitas Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010.

(http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/fertilitas%20penduduk%20indonesia/index.ht ml) Diakses pada 21 April 2014 Pukul 20.21 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. 2012. Jawa Barat dalam Angka 2012. (http://www.jabarprov.go.id/root/dalamangka/dda2012.pdf) Diakses pada 23 Juni 2014 Pukul 14.31 WIB

Bappenas. 2013. Evaluasi Paruh Waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

(http://www.bappenas.go.id/files/1613/7890/3140/Buku-Evaluasi-Paruh-Waktu- RPJMN_Bappenas.pdf) Diakses pada 10 Juni 2014 Pukul 07.18 WIB

Biro Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2013. Pertumbuhan Penduduk yang Tinggi dan Dampaknya.

(http://infoduk.babelprov.go.id/content/pertumbuhan-penduduk-yang-tinggi-dan- dampaknya) Diakses pada 18 Juni 2014 Pukul 11.14 WIB

BKKBN. 2013. Laporan Pendahuluan SDKI 2012.

(http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusdu/Hasil%20Penelitian/SDKI%202012/Lapor an%20Pendahuluan%20SDKI%202012.pdf) Diakses pada 10 Mei 2014 Pukul 07.10 WIB

BKKBN. 2013. Siaran Pers: Rakernas Pembangunan Kependudukan dan KB Tahun 2013: Momentum Memperbaharui Komitmen Bersama Untuk Mencapai MDGs 2015. (http://www.bkkbn.go.id/ViewSiaranPers.aspx?SiaranPersID=24) Diakses pada 31 Januari 2014 Pukul 20.14 WIB

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012.

(http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/12_Profil _Kes.Prov.JawaBarat_2012.pdf) Diakses pada 23 April 2014 Pukul 10.15 WIB

(16)

Fadlyana, Eddy., Larasaty, Shinta. 2009. Jurnal: Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya (http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-2-11.pdf) Diakses pada 21 Januari 2014 Pukul 09.51 WIB

Humas BKKBN. 2013. Sembilan Indikator Pembangunan Kesehatan Perlu Perhatian Serius. (http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=794) Diakses pada 5 Mei 2014 Pukul 10.20 WIB

Islam, Sabina., Amirul Mohammad, Islam., Padmadas, Sabu S. 2010. High Fertility Regions in Bangladesh: A Marriage Cohort Analysis. Cambridge University Press. (http://journals.cambridge.org/article_S0021932010000428) Diakses pada 8 Maret 2014 Pukul 18.43 WIB

Raj, Anita., Saggurti, Niranjan., Balaiah, Donta., G.Silverman, Jay. 2009.

Prevalence of child marriage and its effect on fertility and fertility-control outcomes of young women in India: a cross-sectional, observational study.

(http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-

6736%2809%2960246-4/fulltext) Diakses pada 5 Maret 2014 Pukul 10.43 Siregar, Sutji Rochani D. 2004. Fertilitas. BPS

(http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/s2ui/Fertilitas_mortalitas_KB/GRRNRR- KB2010-11.ppt) Diakses pada 10 Maret Pukul 13.23 WIB

Population Reference Bureau. 2013. 2013 World Population Data Sheet.

(http://www.prb.org/pdf13/2013-population-data-sheet_eng.pdf) Diakses pada 10 Februari 2014 Pukul 16.27 WIB

Purwanti. 2003. Skripsi: Analisis Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Fertiltas di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

(http://eprints.uns.ac.id/3236/1/65341706200912341.pdf ) Diakses pada 10 Juni 2014 Pukul 14.11 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pengusaha UMKM memang telah menganggap bahwa pembukuan akuntansi dan pelaporan

Dalam struktur perusahaan Hak Pengusahaan Hutan, khususnya di lapangan base camp merupakan pusat kegiatan. Di base camp terdapat kantor, bengkel, kantin, gudang,

Pada kuadran II terdapat sektor pertanian kehutanan dan perikanan, sektor ini juga salah satu sektor basis yang dimiliki kabupaten langkat, sektor yang terdapat pada kuadran

Kepuasan pengguna adalah hal yang penting dalam menilai keberhasilan sebuah sistem informasi. Jika pengguna tidak puas dengan suatu sistem informasi, maka akan

Anamnesis ditekankan pada informasi rinci terkait kegiatan sehari-hari, meliputi: tata cara bekerja, pajanan bahan, penggunaan alat pelindung, peralatan kebersihan yang

Burnout Terhadap Kinerja d an Kepuasan Kerja Auditor” , Skripsi (tidak dipublikasikan), Program Sarjana UNIKA Soegijapranata Semarang... Loebbecke, 1997, Auditing Pendekatan

Dari uraian di atas dapat diambil hipotesis dalam penelitian ini bahwa hubungan kualitas layanan terhadap loyalitas pelanggan adalah kualitas pelayanan mempunyai

Pengembangan keterampilan motorik anak usia dini sering kali terabaikan dan kurang diperhatikan oleh orang tua, Hal ini lebih dikarenakan mereka belum memahami bahwa program