• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan judul yang sama dengan penelitian penulis dari penelitian terdahulu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan judul yang sama dengan penelitian penulis dari penelitian terdahulu."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Salah satu rujukan penelitian penulis adalah penelitian terdahulu, penulis dapat memperkaya teori yang digunakan untuk menguji penelitian tersebut dari penelitian terdahulu. Penulis tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama dengan penelitian penulis dari penelitian terdahulu.

Dengan demikian, penulis mengajukan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai referensi untuk memperkaya bahan penelitian dalam penelitian.

Berikut beberapa penelitian terdahulu dalam format jurnal yang terkait dengan penelitian penulis.

1. Hasil Penelitian Aria Surya Jaya. (2014)

Penelitian Aria Surya Jaya (2014), berjudul

“Representasi Seksualitas Perempuan dalam Film Suster Keramas”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti berkesimpulan bahwa hasil analisis seksualitas menunjukkan sebuah ruang dimana semua prinsip realitas dan kebenaran modernisme sekarang ditantang bahkan ditolak. Apa yang ditampilkan hanyalah sebuah eksploitasi kapitalisme yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

2. Hasil Penilitian Dwi Wahyu Nugroho. (2014)

(2)

Penelitian Dwi Wahyu Nugroho (2014), berjudul

“Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika pada Film Sang Penari Karya Ifa Isfansyah)”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti berkesimpulan bahwa Hasil Penelitian: Perempuan diartikan sebagai obyek seksualitas, yang beri tandai dengan adanya adegan menceritakan Srinthil sedang bersolek pada sebuah kamar.

Hal ini bisa dijelaskan bahwa keelokan tubuh seorang penari yang berbalut kebaya atau kemben dengan dandanan sedemikian rupa untuk sebuah kecantikan seperti memberikan penawaran tentang seksualitas dari penari tersebut. Setiap gerakan gemulai dari penari juga menambah daya pikat bagi para kaum laki-laki untuk segera mendapatkannya dalam budaya Jawa zaman dahulu, atau bahkan sekarang, perempuan dengan balutan kebaya memberikan daya tarik tersendiri bagi para penikmatnya.

3. Hasil Penilitian Dwi Aprilia Kresnawati. (2011)

Penelitian Dwi Aprilia Kresnawati (2011), berjudul

“REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM SUSTER KERAMAS (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti berkesimpulan bahwa Hasil Penelitian: Hasil penelitian bahwa nilai immoral dalam film suster keramas adalah jumlah anak muda di Indonesia

(3)

saat ini sedang tergerus nilai immoralnya. Ada berbagai tanda bahwa Indonesia saat ini semakin banyak memproduksi tayangan pornografi dan tindakan seksual.

Dengan memperkenalkan artis porno asal Jepang, seharusnya film ini tidak dibuat di Indonesia yang sarat akan adat ketimuran. Sehingga dapat disumpulkan bahwa film ini sarat dengan adegan-adegan yang fulgar.

2.2 Teori Representasi

Dalam hal ini, Stuart Hall juga pernah menyampaikan mengenai konsep teori representasi, bahwa menurut Stuart Hall teori representasi merupakan metode menggunaan bahasa guna menyampaikan hal-hal yang bermakna menghasilkan dan bertukar makna di antara anggota kelompok dalam budaya. Representasi adalah penggunaan bahasa untuk mejelaskan konsep dalam pikiran kita. Stuart Hall secara jelas mengartikan representasi sebagai proses penggunaan bahasa untuk menghasilkan makna. Tanpa adanya konsep yang jelas, kita tidak bisa untuk menjelaskan apapun di dunia ini. Dalam hal tersebut, dapat dikatakan bahwa arti bergantung pada semua peta konseptual yang ada di dalam diri kita, sehingga dapat kita gunakan sebagai proses untuk merepresentasikan dunia dan memungkinkan kita untuk menafsirkan objek-objek di dalam dan di luar pemikiran. Selain itu, bahasa melibatkan semua proses konstruksi arti.9

9 Ibid.,

(4)

Danesi pun juga berpendapat, representasi merupakan proses merekam pikiran atau informasi secara fisik, lebih tepatnya dapat diartikan sebagai penggunaan simbol guna mereproduksi apa yang telah dibayangkan, diserap atau dirasakan dalam bentuk fisik.10

Kemudian Eriyanto juga mengutarakan bahwa Representasi adalah proses mengungkapkan dan merefleksikan konsep ideologi abstrak yang terkandung dalam pemikiran seseorang melalui tingkah laku sebenarnya.

Konsep ideologi abstrak mencerminkan sesuatu, baik itu keadaan, aktivitas atau perilaku. Representasi mengacu pada bagaimana mengekspresikan orang, kelompok, ide atau pendapat tertentu. Artinya ada dua aspek penting, pertama apakah seseorang, kelompok atau ide diungkapkan dengan benar.

Kedua, bagaimana menampilkan representasi melewati media melalui kalimat, foto, dan kata-kata.11

Berdasarkan pernyataan yang ada diatas, dapat kita ketahui bahwa hakikatnya Teori Representasi merupakan suatu upaya untuk mendifinisikan sebuah objek dengan berdasarkan pengalaman yang ada pada diri kita sendiri.

2.3 Gender

Istilah gender menurut Caplan (1987) adalah selain struktur biologis, perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki terutama

10 Danesi, Marcel. Analyzing Cultures an Introduction and Handbook, Indiana University Press, Indiana, 1999, Hal 58.

11 Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta, 2001, hal. 113.

(5)

terbentuk melewati proses budaya dan sosial. Didalam ilmu sosial, gender merupakan model hubungan yang didasarkan pada karakteristik sosial perempuan dan laki-laki. Kemudian pada buku yang sama, Oakley (1972) mengungkapkan jenis kelamin yang bukan biologis atau perbedaan dan bukan kodrat Tuhan.12

H. T. Wilson juga mendefinisikan gender sebagai dasar untuk menentukan perbedaan antara kontribusi laki-laki dan perempuan terhadap budaya dan kehidupan kolektif, sehingga laki-laki dan perempuan menjadi perempuan dan laki-laki. Kemudian, Elaine Showalter juga menyebutkan bahwa dari perspektif struktur sosial dan budaya, gender bukan hanya sekedar perbedaan antara laki-laki dan perempuan.13

Selain itu, Fakih juga meyakini bahwa gender merupakan sifat yang menempel di perempuan dan laki-laki dan dikonstruksi secara kultural dan sosial, seperti perempuan disebut lemah lembut, keibuan, emosional, tetapi untuk laki-laki bersifat rasional, kuat, maskulin, dan perkasa. Hasil dari kontruksi budaya gender yang dibuat oleh masyarakat ini bersifat fleksibel dari waktu ke waktu, dan dapat berpindah dari satu gender ke gender lainnya sesuai dengan waktu, tempat, dan budaya setempat.14

Pada dasarnya, menurut teori gender Smith ini berfokus informasi tentang bagaimana perilaku dan peran tertentu memberikan makna, dan kemudian membagi pekerja untuk mengekspresikan perbedaan simbiolik gender dan bagaimana struktur sosial yang berbeda (tidak hanya keluarga)

12 Ali, Zainudin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal. 1.

13 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender. Dian Rakyat, Jakarta, 2010, Hal. 30

14 Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001, Hal. 12.

(6)

mengintregasikan nilai-nilai gender dan menyampaikan manfaat gender.

Model peran gender mengasumsikan struktur, perilaku, dan sikap-sikap tertentu, Model gender menganalisis kontruksi kemasan-kemasan tersebut.

Oleh karena itu, perspektif gender secara simultan menekankan analisis tataran simbolik, ideologis, struktural, material, interaksional, dan institusional.

Berdasarkan pada penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa teori gender merupakan proses untuk mengeneralisasi anatar laki-laki dengan perempuan yang bukan berdasar atas biologis, melainkan atas sifat-sifat yang dibentuk oleh budaya. Disisi lain, analisis gender dapat membentuk ketidak-adilan sosial, seperti adanya marginalisasi, streotipe, bahkan pembentukan mainset pada lingkungan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan yang ironisnya lagi, isu-isu terkait tentang gender diciptakan dan dilestarikan melalui badan-badan institusi dan nilai-nilai sosial yang ada dimasyarakat.

Menurut Darma, terdapat beberapa macam ideologi gender yang mengatur identititas laki-laki dengan perempuan, kedudukan laki-laki dan perempuan serta perilaku laki-laki dan perempuan. Di beberapa tempat dan dalam kurun waktu tertentu, beberapa jenis dan macam ideologi mendominasi, dan ada juga yang tidak.15

1. Ideologi Patriarki

15 Darma,Y., Hikmat, A.,& Amalia, Ideologi Gender dalam Karya Sastra Indonesia(Penelitian Fundamental). Jurnal Lemlit UHAMKA , 2005 Hal. 120-126.

(7)

Roeda menyebutkan, orang-orang yang mengikuti sistem patriarki, laki-laki memiliki posisi dominan dan mempunyai kekuasaan relatif terhadap perempuan. Orang percaya bahwa laki-laki berkuasa daripada perempuan, bahkan masyarakat percaya perempuan itu lemah dan tidak kompeten, sehingga ideologi patriarki ini bisa mempromosikan penyebab penindasan terhadap perempuan.16

Kemudian Millet berpendapat, bahwa sistem dasar yang dibentuk oleh budaya patriarki dalam masyarakat adalah keluarga, dalam masyarakat tradisional dan modern ideologi patriarki telah terpelihara dengan baik.17

Selain itu, menurut Fromm (dalam Adji, dkk 2009) berpendapat, bahwa patriarki merupakan sistem percaya bahwa laki-laki ditakdirkan untuk memerintah perempuan dan berlaku di seluruh dunia.

Berdasarkan dari penjabaran diatas, maka dapat diketahui bahwa ideologi patriarki merupakan upaya untuk membentuk suatu perbedaan gender menurut sifat dan fungsinya didalam maysarakat sosial yang mana hal tersebut sangatlah mudah untuk kita cermati dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Ideologi Familialism

16 Ibid.,

17 Ibid.,

(8)

Menurut Bhasin (dalam Yoce, 2017) meyatakan bahwa ideologi familialisme merupakan ideologi yang mengkontruksikan peran perempuan dalam keluarga berperan menjadi ibu rumah tangga, istri dan ibu yang baik.18

Jadi pada dasarnya, ideologi familialism merupakan ideologi yang berupaya untuk membentuk peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam masyarakat sosial.

3. Ideologi Ibuisme

Menurut Hess (dalam Subandy, 1987), ideologi ibusime adalah kombinasi dari nilai-nilai borjuis Belanda dan nilai-nilai priyayi Indonesia, yang setuju dengan tindakan apa pun yang dilakukan perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise akan dihargai. Onghokham juga percaya bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini dimulai pada era Ratu Victoria, digunakan untuk mengawasi kualitas bangsawan Inggris.19

2.4 Feminisme

Menurut Aziz, Feminisme merupakan bahasa Latin yang artinya perempuan. Istilah tersebut kemudian digunakan pada tahun 1890-an yang

18 Yoce, Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis, Yrama Widy, Bandung, 2014, Hal. 175.

19 Darma, Loc.cit,.

(9)

merujuk pada teori kesetaraan gender dan gerakan untuk hak-hak perempuan.20

Kemudian Aida juga menyampaikan bahwa sejarah terbentuknya gerakan Feminisme yang digagas oleh perempuan terbagi menjadi dua gelombang yang memiliki perkembangan pesat pada pergerakannya.21

Sementara, Ritzer juga menyampaikan pandangannya perihal sejarah feminisme, menurut Ritzer, feminisme pertama kali dipromosikan pada tahun 1837 oleh Charles Fourier. Sejak saat itu gerakan yang berpusat di Eropa pindah ke Amerika, dan berkembang secara pesat ketika John Stuart Mill menerbitkan buku berjudul “The Subjection of Women” (1869), dan perjuangan ini menandai lahirnya gelombang pertama gerakan feminisme.22

Pada tahun 1960 terbentuk gerakan feminisme gelombang kedua setelah berakhirnya perang dunia kedua dan adanya negara-negara baru dari kolonialisme di negara Eropa. Kaum perempuan dan hak suara perempuan ikut serta dalam hak suara parlemen. Tahun itu merupakan awal tahun yang sukses bagi perempuan untuk mendapatkan hak pilih dan diperbolehkan untuk mengikuti atau mendiami ranah politik kenegaraan.23

Tidak berhenti sampai disitu saja, Tong mengatakan bahwa feminisme tidak berhenti sampai pada dua gelombang, tetapi juga gelombang ketiga yang disebut feminisme postmodern, seperti semua

20 Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007, Hal. 78.

21 Dadang S. Anshori, Membincangkan Feminisme, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, Hal. 115.

22 Ritzer, Geoge, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, Hal. 522.

23 Ibid.,

(10)

posmodernis, feminisme postmodern mencoba melewati tindakan apapun yang memulai pemikiran falogosentrisme, atau ide apapun yang berpatok pada logos yang memiliki style “laki-laki”. Feminisme postmodern melihat keenggan ide-ide feminis yang mencoba memberikan penjelasan tentang alasan penindasan perempuan dan realisasi kebebasan.24

2.5 Seksualitas

Seksualitas adalah sebuah istilah yang memiliki banyak makna dari hasrat seksual ke penampilan seksual ke subjektivitas seksual.25 Kata seks tampaknya memiliki banyak arti. Ini terlihat jelas ketika istilah itu dipakai dalam berbagai macam pembahasan. Misalnya, istilah seks digunakan dalam pengertian reproduksi, kesenangan dan berbagai macam fungsi anatomi dan kepribadian manusia. Seksualitas reproduktif menitikberatkan pada konsep biologis dan reproduksi, aspek anatomi dan fisiologi, perilaku manusia dan sikapnya terhadap alat kelamin mereka dan proses reproduksinya (seperti menstruasi dan kehamilan), yang sekiranya melibatkan aspek ‘perilaku kesuburan’ seperti penggunaan kontrasepsi, keluarga berencana dan aborsi.

Sedangkan seksualitas erotis menetapkan rasa kenikmatan tubuh manusia disebabkan oleh alat kelamin manusia, perilaku atau sikap antar individu, dan proses fisiologi yang dapat menghasilkan atau bahkan

24 Wiyatmi, Menjadi Perempuan Terdidik, UNY Press,Yogyakarta, 2013, Hal. 8.

25 Linda Rae Bennett, dkk. Seksualitas di Indonesia: Politik Seksual, Kesehatan, Keberagaman, dan Representasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2018, hal. 3.

(11)

meningkatkan kenikmatan erotis itu sendiri atau mempengaruhi perasaan yang ditimbulkan akibat kenikmatan erotis. Kemudian pada seksualitas gender difokuskan pada pembagian sosial atau sistem klasifikasi sosial manusia berdasarkan gender, yaitu perempuan dan laki-laki. Hal ini terkait dengan tuntutan sosial, pola perilaku dan perilaku seseorang, serta dapat lebih memperjelas perbedaan antara perempuan dan laki-laki di luar konteks reproduksi dan erotisme.26

2.6 Film Sebagai Komunikasi Massa

Komunikasi merupakan kegiatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, setiap orang pasti melakukan kegiatan berkomunikasi sehari- hari. Salah satu bentuk didalam ilmu komunikasi adalah komunikasi massa.

Film merupakan salah satu alat komunikasi massa. Sebuah film dapat menjadi sebuah pesan yang bisa disampaikan pada khalayak luas.

Film menjadi salah satu kajian ilmiah dalam komunikasi massa.

Dalam film tersebut, komunikan dibentuk melalui komunikasi massa yang heterogen. Heterogen berarti penonton dari film berbeda dalam hal pendidikan, usia, gender, status sosial ekonomi, status dan agama. Helbert Blumer mengungkapkan hal, ia memberi ciri-ciri karkteristik komunikan sebagai berikut:27

26 Annastasia Melliana S. Menjelajah Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan, LKiS, Yogyakarta, 2006, hal. 132.

27 Nurudin. Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2003, hal. 20.

(12)

1. Komunikan beraneka ragam. Komunikan memiliki heterogenitas dalam komposisi.

2. Komunikan memiliki individu saling tidak mengenal satu individu dengan individu lainnya. Setiap individu tersebut tidak ada proses komunikasi.

3. Komunikan tidak memiliki pemimpin.

Tidak hanya komunikan, unsur pesan juga penting untuk terciptanya sebuah komunikasi. Pesan-pesan yang terkandung pada komunikasi massa memiliki sifat umum. Informasi yang di sampaikan oleh film dapat ditangkap oleh siapapun mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa.

2.6.1 Jenis-Jenis Film

a. Film Cerita Pendek

Panjangnya waktu durasi film cerita pendek atau film pendek umumnya tidak melebihi dari satu jam.

b. Film Cerita Panjang

Film yang memiliki durasi waktu minimal satu jam, bahkan bisa lebih dari satu atau dua jam. Film cerita panjang ini bisa juga disebut dengan film layar lebar. Untuk melihat hasil film cerita panjang biasanya akan ditampilkan di bioskop.

c. Film Dokumenter

Film dokumenter tidak memiliki acuan pada durasi. Film jenis dokumenter dibuat dengan realitas yang ada di kehidupan nyata. Film ini dibuat dengan berbagai keperluan,

(13)

bertujuan untuk menyebarkan informasi yang nyata, mengedukasi kepada orang atau kelompok tertentu.

2.6.2 Genre Film

Film pada hakikatnya untuk menyampaikan informasi atau materi. Sebagai penyampaian informasi, film dibagi menjadi beberapa jenis, dapat dibedakan menurut karakter, ukuran, dan segmentasi. Beberapa genre film menurut Askurifai Baksin:28

a. Action

Istilah ini selalu berkaitan dengan adegan pertarungan, ngebut, dan menembak, sehingga bisa dikatakan secara sederhana bahwa tema ini adalah film yang memuat

“pertarungan” fisik antara protagonis dan lawannya.

b. Drama

Tema ini berfokus pada kemanusiaan, jadi tujuannya adalah bagaimana perasaan penonton tentang apa yang terjadi pada karakter tersebut. Tema ini juga dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya.

c. Komedi

Tema ini seharusnya berbeda dengan lawakan, karena dalam lawakan yang berperan adalah para pelawak. Film komedi tidak harus diperankan oleh pelawak. Tema komedi bisa membuat penontonnya untuk tertawa maupun tersenyum.

d. Horror

28 Askurifai Baksin. Membuat Film Indie itu Gampang, Katarsis, Bandung, 2003, hal. 93-95.

(14)

Tema ini berkaitan dengan adegan yang menakutkan, mengejutkan dan berkaitan dengan hantu. Jika sebuah film bisa membuat penontonnya merasa merinding dan bisa membuat takut maka bisa disebut bahwa itu film horror.

2.6.3 Unsur-Unsur Film

Dalam pembuatan film tidak terlepas dari unsur pendukungnya.

Tanpa adanya unsur pendukung ini, tidak akan ada film di dalam kehidupan ini. Dalam pembuatan sebuah film ada beberapa unsur- unsur penting, yaitu :

a. Penulis Skenario

Bertugas menulis naskah dalam adegan-adegan film dengan rinci.

b. Sutradara

Berperan sebagai pemegang pimpinan atau kekuasaan dalam pembutan film mulai dari awal hingga akhir. Sutradara bertanggung jawab atas pengarahan dalam seluruh proses pembuatan film.

c. Aktor atau Aktris

Aktor atau aktris merupakan pemain dalam sebuah film beserta seluruh adegan atau aktingnya yang telah ditulis oleh penulis scenario.

d. Juru Kamera

Merekam gambar dalam proses pembuatan film. Gambar yang diambil tentunya atas dasar skenario dan arahan dari

(15)

sutradara yang merupakan pemimpin dalam proses pembuatan film.

e. Penata Artistik

Terdiri atas penata suara, busana, rias dan setting. Tentu saja penata artistik juga harus dapat mengaktualisasikan apa yang diinginkan oleh tuntutan skenario dari segi suara, busana, rias para aktor dan juga setting latar belakang tempat.

f. Penyuntingan

Penyuntingan adalah proses editor mengedit gambar film.

Menggabungkan dan menata antara gambar dan suara yang telah diambil saat produksi film.

g. Produser

Penanggung jawab serta penggagas sebuah film.

2.7 Pesan Komunikasi dalam Film

Pesan komunikasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kode verbal dan kode non verbal. Kode verbal mengunakan bahasa. Bahasa juga bisa disebut sistem kode verbal. Bahasa bisa dijabarkan sebagai sekumpulan simbol dan memiliki aturan menggabungkan simbol tersebut, yang di gunakan dan di pahami oleh masyarakat. Pesan verbal dalam film adalah kata-kata atau bahasa yang diucapkan actor atau aktrisnya.

Sedangkan kode non verbal ialah pesan yang memakai pesan non verbal. Non verbal umumnya dipakai menggambarkan peristiwa

(16)

komunikasi selain kata-kata lisan maupun tertulis. Secara teoritis, komunikasi verbal dan non verbal dapat dipisahkan. Pada kenyataanya, komunikasi verbal dan non verbal saling terkait dan melengkapi. Pesan non verbal dalam film adalah musik atau backsound pada film itu, gesture aktor atau aktris mencakup gerakan tubuh dan ekspresi wajah.

Film biasanya memiliki banyak tanda, mencakup sistem tanda yang bekerja sama dengan baik saat mencoba mencapai hasil yang diinginkan.

Aspek terpenting film merupakan audio dan visual. Sistem semiotika yang ada di dalam film menggunakan tanda ikonis, yaitu tanda yang memaparkan hal-hal tertentu.29

2.8 Seksualitas dalam Tontonan

Menurut Humphrey dan Barker,30 sejak tahun 2003, telepon selular telah menjadi alat yang paling banyak digunakan untuk merekam dan membagikan materi yang berisi kandungan seksual yang eksplisit. Unsur seksual yang eksplisit sebagai obyek penelitian memang bersifat mengungkap, namun bukan karena apa yang ditunjukkan atau apa yang dikandungnya semata dalam hal seks dan tubuh telanjang, melainkan sebagai dokumentasi dari aktivitas seksual yang memancing perdebatan public dan diskusi.

29 Alex Sobur. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal. 129.

30 Linda Rae Bennett, dkk, Op.cit., 2018, hal. 381.

(17)

Orang-orang yang memproduksi dan menyebarkan pornografi bisa dituntut dengan pasal 281 atau 282 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan atau setelah tahun 1992, dengan pasal 40 UU Perfilman tahun 1992. Pasal 281 menyebutkan bahwa membuat materi yang tidak bermoral adalah tindakan yang melanggar hukum. Sedangkan pasal 282 menyebutkan bahwa mempertontonkan materi tidak bermoral kepada masyarakat luas adalah tindakan melanggar hukum. Undang-Undang Perfilman tahun 1992 menyebutkan bahwa membuat dan menyebarkan film tanpa menyerahkan kepada Badan Sensor adalah tindakan yang melanggar hukum.31

2.9 Film Sebagai Representasi Dari Realitas

Menurut Irawanto (1999), media merupakan arti dari realitas sosial.

Film selalu mengabadikan realitas perkembangan dan perkembangan sosial, kemudian memvisualisasikan di layar.32

Graeme Turner mengungkapkan bahwa arti film sebagai representasi realitas sosial beda dengan makna film sebagai cerminan realitas. Sebagai cerminan realitas, film hanya “mentransfer” realitas ke layar tanpa mengubah apapun. Sekaligus, sebagai representasi realitas, film mereproduksi realita menurut kode-kode budaya dan ideologi. Sebab film itu dibentuk oleh banyak simbol. Simbol itu termasuk sistem tanda dan

31 Linda Rae Bennett, dkk, Op.cit., 2018, hal. 383.

32 Alex Sobur, Op.cit., 2006, hal. 127.

(18)

berkolaborasi dengan baik saat mencoba mendapatkan efek yang diinginkan.33

Film seperti seni pada biasanya, adalah wujud nyata, dilihat dari sudut pandang produsernya adalah respon terhadap kejadian disekitarnya.

Artinya, realitas yang diungkapkan melalui film tidak terjadi begitu saja, melainkan hasil dari kelihaian para sineas dalam mengkonstruksikannya (termasuk dalam aspek teknis sinematografi), sehingga menjadi sekumpulan informasi.

Film selalu mempengaruhi dan secara tidak langsung membentuk masyarakat berdasarkan isi informasi yang disampaikan.34 Hal ini dikarenanakan film merupakan gambaran dari masyarakat itu sendiri, sehingga ketika hal-hal yang ada dalam film adalah hal-hal yang terjadi di masyarakat maka akan mudah dicerna. Artinya masyarakat akan memiliki

‘hubungan batin’ dengan film yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, film mencoba menggunakan realitas masyarakat itu sendiri untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.

2.10 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani memiliki arti tanda, tetapi biasnaya disebut sign dalam bahasa Inggris.35 Semiotika adalah studi

33 Alex Sobur, Op.cit., 2006, hal. 128.

34 Ibid.,

35 Kurniawan. Semiologi Roland Barthes, Yayasan Indonesia Tera, Magelang, 2001, hal. 8.

(19)

tentang sifat keberadaan tanda. Terdapat sesuatu tersembunyi dibaliknya, yang sebenarnya bukan tanda itu sendiri.

Fokus utama semiotik adalah tanda. Semiotik memiliki tiga bidang utama:

1. Tanda, termasuk studi tentang tanda yang tidak sama, cara tanda menyampaikan makna, dan bagaimana tanda itu terkait dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi orang dan hanya dapat dipahami dengan cara orang menggunakannya.

2. Kode, studi ini mencakup cara bagaimana mengembangkan berbagai kode untuk memenuhi kebutuhan sosial atau budaya, atau bagaimana mengunakan komunikasi yang telah tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Pada gilirannya, itu tergantung pada keberadaan dan bentuk penggunaan kode dan tanda ini untuk dirinya sendiri.

Semiotika dalam pengertian modern dimulai oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengemukakan pandangan bahwa linguistik dibedakan menjadi suatu bagian ilmu pengetahuan umum tentang tanda yang disebut dengan semiologi, orang sezamannya adalah filsuf Amerika, Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang secara mandiri mengajarkan tipologi tanda-tanda maju dan meta bahasa yang dapat diucapkan.36

36 Alex Sobur, Op.cit., 2006, hal. 96.

(20)

2.10.1 Analisis Semiotika Roland Barthes

Teori ini awalnya dikemukakan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam teori dikatakan pada dasarnya sebuah tanda sebagai entitas. Penanda dianggap sebagai bentuk melalui wujud karya arsitektur, sedangkan petanda dianggap sebagai makna yang diungkapkan melalui konsep, nilai yang terkandung dalam karya arsitektur. Sebagai pendiri linguistik modern, Ferdinand de Saussure mendefinisikan semiotika sebagai studi tentang peran tanda dalam kehidupan sosial.37

Penerus pemikiran Ferdinand de Saussure adalah Roland Barthes. Barthes memiliki dua tingkatan bahasa. Bahasa sebagai objek dan bahasa sebagai metabahasa. Semiotika menjadi dua tingkatan penandaan dalam pengembangan teori Barthes, yaitu denotasi dan konotasi. Barthes menambahkan aspek lain berupa

“mitos” yang menandai suatu masyarakat. Aspek ini terletak pada tingkat kedua penandaan, sehingga setelah terbentuknya antara penanda dan petanda, tanda itu menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.

Karena itu, saat suatu tanda mempunyai makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Dalam penelitian ini peneliti ingin menggunakan model Roland Barthes.

37 Alex Sobur, Op.cit., 2006, hal. 43.

Referensi

Dokumen terkait

Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 ( delapan belas ) tahun yang dapat memberikan

Sejak adanya (Orang Dalam Pengawasan) ODP dan warga yang terpapar virus Covid-19 di kampung tersebut mulai timbul Stigma dan diskriminasi dari warga setempat

PENGANGKATAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI/ TUGAS AKHIR PROGRAM SARJANA (S1) FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2017/2018 PROGRAM STUDI

Faktor penyebab produk cacat Dek yang ada di Mondrian, antara lain kurangnya pengawasan dari pihak perusahaan sehingga dalam bekerja operator kurang memperhatikan hal kebersihan

RANCANG BANGUN APLIKASI PENGELOLAAN KEUANGAN DESA STUDI KASUS : KANTOR DESA BULULAWANG KECAMATAN.. BULULAWANG

Berdasarkan dari uraian latar belakang, tinjauan pustaka dengan teori-teori yang telah dijelaskan pada bab terdahulu terhadap penelitian ini, maka model penelitian

mengutip hasil wawancara berita online TribunJogja dengan Triyana selaku Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan, bahwa pemicu Angka Kematian

Sedangkan untuk pengukuran pendapatan, perusahaan melakukan pengukuran berdasarkan nilai wajar dari imbalan yang diterima atau yang dapat diterima dalam bentuk kas