• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini membahas berkenaan dengan teori pada penelitian Konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini membahas berkenaan dengan teori pada penelitian Konflik"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini membahas berkenaan dengan teori pada penelitian “Konflik Budaya Masyarakat Madura dalam Kumpulan Cerpen Rokat Tase’ Karya Muna Masyari”. Kajian teori akan dibahas pada bab ini mengenaisosiologi sastra, konflik budaya, dan masyarakat Madura.

2.1 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra mengkaji kehidupan sosial masyarakat melalui deskripsi setiapparagraf yang dipaparkan dalam cerita. Berbagai aspek kehidupan dan masalah social di masyarakat dikupas tuntas dalam kajian sosiologi. Permasalahan dalam kemasyarakatan berhubungan dengan nilai social, namun terdapat banyak masalah serupa dihadapi para khalayak seperti keadaan miskin, perilaku jahat, kaum muda dalam masyarakat maju, dan masalah lingkungan hidup (Soekanto, 2013:319). Adanya berbagai macam persoalan dalam berkehidupan tidak berlaku di dunia saja, namun terdapat peristiwa dalam karya sastra. Sosiologi sastra menelaah tentang keadaan berhubungan kemasyarakatan dengan sastra, serta keadaan yang terjadi disebabkan adanya hubungan sosial pada karya sastra.

Penelitian sosiologi sastra merupakan penelitian pada karya sastra melalui proses mempertimbangkan keterkaitan struktur sosial dan proses-proses sosial, serta perubahan-perubahan sosial di dalamnya (Ratna, 2003:25). Sosiologi dan karya sastra yaitu dua bidang tidak sama, dua-duanya saling melengkapkan. Ikatan pada kedua belah sisi dalam sosiologi menjadikan perkara pokok untuk proses hidup kemasyarakatan. Proses sosial memberikan pengaruh hubungan timbal balik.

Terwujudnya hubungan timbal balik antar individu dihasilkan melalui interaksi

(2)

dan komunikasi sosial.

Sosiologi sastra kerap dimanfaatkan pada kategori sastra berguna untuk mencerminkan masyarakat melalui kemajuannya. Sosiologi berpendapat sastra menjadikan cerminan melalui bermacam-macam susunan sosial, ikatan keluarga, dan perselisihan antar golongan (Saraswati, 2003:4). Hal tersebut fakta dan diperkuat melalui karya sastra dengan memperlihatkan kenyataan sosial.

Kenyataan sosial yang digambarkan pada karya sastra yaitu tradisi, budaya, mitos dan mistis masyarakat Madura. Pengarang dalam karya sastranya memaparkan serinci-rincinya bagaimana keadaan sosial masyarakat Madura di waktu itu.

Penelitian sosiologi sastra senantiasa bersangkutan pada proses kreatif seorang pengarang. Cerminan kondisi masyarakat dalam karya sastra berubah secara dinamis disebabkan oleh budaya yang mempengaruhi. Perubahan secara dinamis yang disebabkan oleh budaya memerlukan proses menelaah terperinci, serta cermat dalam menyelidiki perihal situasi sosial pada karya sastra. Oleh karena itu, dalam menelaah keadaan sosial dalam sebuah karya sastra tidak dengan pendekatan sosiologi kebudayaan. Sebab sosiologi kebudayaan adalah bagian ilmu sosiologi menelaah budaya sesuai pendapat masyarakat. Tujuan sosiologi budaya yaitu mengetahui, menerangkan rancangan, serta tindakan-tindakan budaya pada hasil pemikiran sosiologi mengakibatkan dapat menjelaskan kenyataan budaya dengan pandangan sosiologi.

Sastra mengungkapkan gambaran kehidupan pada suatu kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 2016:110). Objek kajian yang sama antara sosiologi dan sastra, yaitu tentang manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Sosiologi tidak hanya bersangkutan pada kalangan sosial budaya, namun berhubungan dengan

(3)

lingkungan kehidupan. Kenyataan sosiologi sastra melalui tanggapan bahwasanya karya sastra pantulan dari sebuah cermin kehidupan budaya masyarakat dengan dipengaruhi sejarah. Karya sastra tidak lepas melalui cara hidup sosial kemasyarakatan sehingga tercipta karya sastra oleh pengarang. Kajian sosiologi sastra meliputi beberapa aspek. Berkaitan dengan masyarakat menjadikan tiga konsep sosiologi sastra, yakni sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, serta sosiologi karya sastra (Swingewood dalam Pramanda, 2020:90).

a. Sosiologi Pengarang

Sosiologi pengarang merupakan sebuah permasalahan pada keadaan sosial, ideologi, politik, serta sesuatu berkaitan dengan seorang pengarang.

b. Sosiologi Karya

Sosiologi karya sastra letak permasalahan pada karya sastra sebagai penelaah perihal yang terkandung, tujuan, dan amanat yang akan disampaikan.

c. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra memasalahkan orang yang membaca, serta berpengaruh pada sosial masyarakat. Sosiologi sastra disebut juga sosiologi pembaca.

Terdapat tiga pembagian konsep sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra pada analisis tersebut memakai pendekatan berdasarkan sosiolologi karya sastra dalam hal- hal yang tersirat, tujuan, dan amanat yang disampaikan berdasarkan isi dari karya sastra dengan cara menganalisis dan mengklarifikasi teks karya sastra. Pengertian tersebut didasarkan Plato bahwa dunia kenyataan

(4)

dalam karya sastramerupakan tiruan terhadap dunia kenyataan yang sebenarnya juga merupakan tiruan terhadap dunia ide (Swingewood dalam Novian, 2016:9).

Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk mengangkat konflik budaya masyarakat Madura yang terdapat dalam kumpulan cerpen Rokat Tase’ karya Muna Masyari. Serasi dengan maksud sosiologi sastra yaitu menaikkan proses memahami karya sastra bersangkutan bersama kemasyarakatan, menguraikan bahwasannya karangan tidak bertentangan pada hal nyata (Ratna, 2003:11). Oleh sebab itu, konflik budaya masyarakat Madura diidentifikasi dengan pendekatan sosiologi sastra. Konflik budaya masyarakat Madura dalam kumpulan cerpen Rokat Tase’ karya Muna Masyari merupakan gambaran kehidupan di tengah-

tengah masyarakat. Hadirnya perilaku masyarakat Madura yang disebabkan oleh konflik budaya dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra karena bentuk ilustrasi dari kehidupan masyarakat.

2.2 Konflik Budaya

Konflik merupakan penyebab dari benturan nilai-nilai dan tujuan yang akandicapai antara individu atau kelompok. Konflik akan selalu hadir dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik adalah perseteruan terhadap nilai dan klaim atas kalangan status, kekuasaan, dan sumber daya dengan tujuan masing-masing (Putnam dan Poole dalam Putri, 2018:2). Bentuk-bentuk konflik bermacam- macam dapat berupa perselisihan, ketegangan, atau kesalahpahaman antara dua pihak atau lebih. Secara umum konflik adalah sebuah perselisan yang berkaitan dengan perbedaan tujuan. Konflik berarti peristiwa perkembangan untuk tercapainya maksud menggunakan gaya membuat lemah lawan, tidak mencermati norma, serta nilai yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Terjadinya

(5)

konflik terdapat banyak hal mampu dituntaskan, namun juga terdapat hal yang tidak terselesaikan hingga terjadi aksi kekerasan.

Kesanggupan pikiran sehat manusia ketika menanggapi, memberikan respon, serta menguasai tantangan alam lingkungan sebagai usaha memenuhi keperluan hidup bermula dari budaya. Kebudayaan berarti sistem pengetahuan, arti dan sistem lambang tindakan kepunyaan semua sebagian besar golongan kemasyarakatan (Sunarwinadi, 1999:1). Budaya terlahir serentak bersama munculnya manusia di bumi, sehingga keduanya merupakan personifikasi dari kehidupan manusia. Kebudayaan yaitu seluruh perolehan cipta, rasa, dan karsa manusia pada kehidupan. Makna secara umum kebudayaan yaitu eluruhnya di bagian bumi ini yang kehadirannya dihasilkan manusia.

Berdasarkan pengertian konflik dan budaya di atas, dalam konteks konflik budaya didefinisikan sebagai perbedaan pandangan pada budaya atau gaya hidup yang telah ditaati masyarakat dengan bersama menyepakati, sehingga menimbulkan perselisihan antara individu atau kelompok. Fenomena konflik budaya di tengah- tengah masyarakat disebabkan adanya benturan pendirian, keyakinan atau kepercayaan, dan adanya tujuan mempertahankan ideologi masing-masing kelompok atau individu sehingga memicu terjadinya konflik budaya. Perbedaan pendirian dan keyakinan antar individu atau kelompok di dalamnya terdapat bentrokan keyakinan setiap pihak akan mengusahakan melemahkan lawan yang dianggap memiliki perbedaan keyakinan budaya.

Pergantian kebudayaan merupakan pergantian diadakan akibatnya terdapat ketidakserasian di tengah bagian-bagian budaya yang saling berlainan sehingga terjadi situasi dengan fungsi tidak selaras perihal kehidupan (Herimanto dan

(6)

Winarno, 2012:19). Pergantian budaya terdapat beberapa hal, rupa, baik ciri, pergantian, pengaruh perubahan, serta cara kerjanya. Pergantian kebudayaan meliputi pengembangan kebudayaan. Proses membangun serta modernisasi tergolong pergantian kebudayaan. Pergantian kebudayaan diadakan dapat memicu persoalan, contohnya pergantian mendatangkan rugi manusia bergantian dengan ciri regress (kemunduran) bukan progress (kemajuan); pergantian dapat mempengaruhi rusak atau sebagai gangguan apabila melewati perubahan, secara singkta, serta di luar pengendalian.

Teori konflik membuktikan diantara metode masyarakat konflik tidak mampu menghindar. Konflik akan senantiasa disebabkan perselisihan, namun terjadinya konflik terus-menerus dipandang hal negatif. Perihal ini tentu dengan membuktikan pernyataan “Tiap masyarakat sebagai satu kesatuan (metode) sosial pada dirinya telah membawa keadaan tegang dan perselisihan, konflik telah melekat (inherent) oleh setiap metode sosial.” (Soedarno dalam Panggara, 2014:7). Mengikuti teori konflik, situasi konflik adalah keadaan tidak dapat menghindari tergolong pada bagian budaya. Coser pengikut teori konflik memperlihatkan bahwa peristiwa diawali tindakan agresif atau perbuatan memusuhi pada diri individu, menyebabkan masyarakat senantiasa terjadi konflik (Panggara, 2014:293).

2.2.1 Pelaku Konflik Budaya

Pelaku konflik budaya merupakan seseorang yang melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan terjadinya konflik budaya di tengah-tengah

(7)

masyarakat. Ciri- ciri pelaku konflik budaya menurut (Wiyono dalam Wahyudi, 2016:3) sebagai berikut:

a. Terdapat dua pemihakan sebagai perorangan atau golongan terlibat dalam hubungan berlawanan.

b. Perselisihan dalam mencapai tujuan, memainkan peran, ambisius pada nilai yang bertentangan.

c. Hubungan dibuktikan dengan gejala reaksi pemograman untuk saling menekankan terhadap pihak lawan untuk memperoleh keuntungan.

d. Timbulnya perbuatan saling berhadapan disebabkan konflik yang lebih lama.

e. Adanya ketidakseimbangan pelaku konflik disebabkan oleh cara tiap golongan perihal keadaan sosial, kemampuan, dan pretise.

2.2.2 Bentuk Konflik Budaya

Pada pembahasan keadaan konflik, Coser memberikan pembeda konflik budaya berdasarkan dua bentuk konflik (Coser, 2001):

a. Konflik Realistis

Konflik realistis yaitu konflik yang terjadi diawali rasa kecewa pada tuntutan bersifat khusus suatu ikatan. Konflik realistis timbul diantara individu atau kelompok atas klaim persaingan status, kekuasaan, kekayaan, dan kesetiaan. Konflik realistis mapu terjadi disebabkan berkeinginan memperoleh sesuatu. Konflik realistis adalah peralatan untuk memperoleh perolehan pasti secara emosional disertai dengan rasa sentimen. Tindakan untuk

(8)

memperoleh tindakan nyata disepakati oleh kebudayaan seseorang yang turut terlibat konflik. Contohnya pegawai yang berhenti kerja gugatan para pekerja pada peningkatan upah diberikan oleh atasan.

b. Konflik Non-Realistis

Konflik non-reaistis tidak bersumber dari maksud persaingan antagonis, namun sebagai hal yang dibutuhkan menenagkan ketegangan. Konflik non-realistis turut terlibat antara dua orang atau lebih, serta berakhir dengan perseteruan lawan, tetapi terdapat kehendak melepaskan ketegangan di antara pihak.

Apabila sebanding dengan konflik realistis, realistis masih berubah-ubah. Pemilihan fungsional tidak digunakan mencadi cara, namun pada objek tersebut. Kebutuhan yang berlanan dengan kehendak untuk mengerjakan perselisihan sebenarnya adalah konflik realistis, tetapi tidak banyak pada bagian non-realistis berbaur dengan usaha perbuatan serentak atau mendesak dalam keadaan peranan tertentu. Contoh masyarakat buta huruf melakukan balas dendam melalui ilmu gaib seperti teluh dan santet. Hal tersebut sebagaimana masyarakat maju yang melakukan pengkambinghitaman melawan kelompok yag seharusnya menjadi lawan mereka.

2.2.3 Penyebab Konflik Budaya

Terjadinya konflik budaya disebabkan oleh hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya konflik. Berikut penyebab konflik budaya (Coser, 2001), antara lain:

(9)

a. Perselisihan dengan kelompok sosial yang intim. Kian bertambah kedekatan dalam ikatan seseorang, sehingga lebih kuat mengemukakan perselisihan.

b. Dorongan agresif sebagai kebutuhan melepaskan ketegangan dengan tujuan mempertahankan struktur kepribadian.

c. Kelompok perjuangan kecil dengan keterlibatan tinggi, sehingga cenderung kaku untuk menjaga kemurnian ideologinya.

d. Kelompok besar mengungkapkan perbedaan pendapat, sehingga menarik kekuatan dan kohesinya dari keleluasaan.

e. Kesamaan latar belakang menyebabkan kesadaran yang lebih dalam dan keras, sehingga permusuhan akan semakin mudah terjadi.

2.2.4 Dampak Konflik Budaya

Dalam pola kehidupan sosial merupakan sebuah cara mudah mengetahui akan keberadaan suatu konflik. Konflik sebagai peralatan mempertahankan, menyatukan, serta memperjelas sistem sosial pada masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan dampak positif konflik yang berkatan dengan ikatan antara in grup (kelompok dalam), beserta out grup (kelompok luar). Berikut berbagai

macam ungkapan dampak positif konflik (Coser, 2001):

a. Keteguhan solidaritas internal dan integrasi kelompok menajadi lebih tinggi, jika kedudukan perselisihan dengan kelompok luar betambah tinggi.

b. Integrasi bertambah besar dari kelompok yang terpikat konflik mampu menolong menjadikan kuat batasan kelompok pada

(10)

wilayah tersebut, khususnya kelompok perselisihan.

c. Berkurangya sikap toleran akan perpisahan, serta mkin besarnya tekanan pada konsensus dan konformitas

d. Menjadikan lebih kuat kekompakan internal, maka antara kelompok mampu menarik antagonisme atau menghadirkan lawan agar megupayakan solidaritas internal.

2.2.5 Meminimalisasi Konflik Budaya

Adapun upaya untuk meminimalisasi konflik budaya, agar konflik tidak sebagai pangkal yang kuat karena mampu merusakkan keutuhan Negara, serta menghilangkan jati diri Bangsa Indonesia. Berikut ini upaya meminimalisasi konflik budaya:

a. Komunikasi Antar Budaya

Sebagai bagian dari masyarakat multikultural perlu membangun komunikasi antar budaya dengan tujuan meminimalisasi adanya konflik budaya. Komunikasi antar budaya menjadikan peserta komunikasi dengan bertindak sebagai wakil, antara pribadi atau golongan dengan doorngan perelisihan latar belakang kebudayaannya memberikan pengaruh tindakan peserta (Chen dan Starosta dalam Liliweri, 2007: 13).

b. Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural adalah konsep sebagai suatu hubungan kepercayaan (set of believe) dan pernyataan, serta memberikan nilai utamanya keragaman budaya dalam membentuk cara hidup, identitas pribadi, pengalaman sosial, kesempatan-

(11)

pendidikan kelompok maupun negara (Banks, 2001:28) 2.2.6 Penyelesaian Konflik Budaya

Pertentangan kelompok mmengakibatkan gesekan sehingga menimbulkan terjadinya konflik. Sebagai upaya membereskan konflik, Coser memberikan sebutan safety valve atau disebut dengan katup pengaman. Katup pengaman sebagai bentuk institusi. Pada elemen masyarakat yang luas banyak ditemukan keperluan sosial yang tidak dapat terpenuhi secara sosial. Penting adanya lembaga sebagai katup pengaman dari kebutuhan tersebut agar tidak terjadi konflik. Coser berpendapat katup pengaman tidak hanya di lembaga, katup pengaman sama halnya mampu menurunkan keadaan ketegangan. Contohnya melalui pertunjukan komedi menyelipkan keadaan tegang, mampu melenyapkan rasa tegang. Padahal sebetulnya komedi mengandung nilai-nilai kritik.

Coser melihat katup pengaman berguna untuk jalan keluar yang menjadikan reda perselisihan, tidak dengan itu ikatan golongan perselisihan bertambah tajam. Katup pengaman merupakan cara kerja sebagai pertahanan kelompok melalui konflik sosial. Katup penyelamatan adalah institusi ungkapan tidak puas pada struktur atau sistem. Seperti yang disampaikan Coser bahwa melalui katup pengaman, perselisihan terhambat supaya tida menentang objek sebenarnya menolong memulihkan kondisi kelompok yang rusuh. Namun pergantian tersebut juga termasuk sistem sosial dan individu, menurunkan dorongan untuk menyelesaikan sistem, sebagai pemenuhan keadaan yang sedang mengalami perubahan individu.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian teori dan kenyataan dilapangan yang telah dijabarkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan antara Kepuasan

Dalam kaitannya dengan makna produk distro bagi remaja motivasi yang mendasari mereka menggunakan produk Woodland adalah ingin terlihat berbeda dari orang lain disekitarnya,

Perkembangan teknologi informasi yang semakin bersaing mendorong penggunaan dan pemanfaatan di berbagai aspek bidang, seperti pada perusahaan penyedia air bersih (PDAM)

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: Pengembangan media pembelajaran papan analisis

Alinea 4: Perjelas pertanyaan penilitian artikel ini: Pedoman/petunjuk manakah yg dapat diberi kepada jemaat masa kini untuk memilihara pergaulan dgn Tuhan melalui doa.. Alinea

Minat beli ulang konsumen Verde Resto And Lounge Bandung sudah dalam kategori baik, item pernyataan yang mendapatkan persentase tanggapan paling besar adalah saya

Isi modul ini : Ketakbebasan Linier Himpunan Fungsi, Determinan Wronski, Prinsip Superposisi, PD Linier Homogen Koefisien Konstanta, Persamaan Diferensial Linier Homogen

Agus Riyanto (2011: 131) angket merupakan cara pengumpulan data tentang suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum, angket dilakukan dengan cara