• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR ASAM URAT SERUM RENDAH MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KADAR ASAM URAT SERUM RENDAH MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

USULAN PENELITIAN

KADAR ASAM URAT SERUM RENDAH

MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN FUNGSI

KOGNITIF PADA USIA LANJUT

PUTU GDE ROTHAARNADA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)
(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

2.1.1 Gangguan fungsi kognitif pada proses penuaan ... 7

2.1.2 Manifestai gangguan kognitif ... 11

2.1.3 Tahapan penurunan fungsi kognitif ... 14

2.1.4 Pemeriksaan fungsi kognitif ... 17

2.2 Asam Urat ... 19

2.2.1 Metabolisme asam urat ... 19

2.2.2 Peranan asam urat ... 22

2.3 Asam Urat dan Gangguan Fungsi Kognitif ... 25

(4)

3.2 Kerangka Konsep ... 36

3.3 Hipotesis Penelitian ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 38

4.2 Tempat dan waktu penelitian ... 39

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 39

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian ... 39

4.4.1 Populasi target ... 39

4.4.2 Populasi terjangkau ... 39

4.4.3 Kriteria sampel ... 39

4.4.3.1 Kriteria inklusi ... 40

4.4.3.2 Kriteria eksklusi ... 40

4.4.4 Besar sampel ... 41

4.4.5 Teknik pengambilan sampel ... 42

4.5 Variabel Penelitian ... 42

4.6 Definisi Operasional Variabel ... 42

4.7 Alat Pengumpul Data ... 47

4.8 Prosedur Penelitian ... 48

4.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Hubungan faktor risiko dengan penyakit degeneratif pada lansia 10

Gambar 2.2 Bagan metabolisme purin dalam tubuh manusia ... 20

Gambar 2.3 Peran xanthine oxidoreductase (XOR) pada iskemia-reperfusi ... 27

Gambar 2.4 Mekanisme selular neuroprotektif oleh urat ... 30

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir ... 35

Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konsep ... 36

Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitan ... 38

(6)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Golongan obat-obat yang mempengaruhi kadar asam urat

serum dan mekanisme kerjanya ... 22 Tabel 2.2 Beberapa penelitian yang berhubungan dengan asam urat dan

(7)

DAFTAR SINGKATAN

AUS : Asam Urat Serum

ADL : Activity of Daily Living APOE : Apolipoprotein E

APP : Amyloid PrecursorProtein

CI : Confidence Interval

DM : Diabetes Mellitus

DSM : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder GFK : Gangguan Fungsi Kognitif

ICD-10 : International Classification of Disease 10th revision

IMT : Index Massa Tubuh

JNC VIII : Eight Joint National Committee Classification KTP : Kartu Tanda Penduduk

LDL : Low Density Lipoprotein LFG : Laju Filtrasi Glomerulus MCI : Mild Cognitive Impairment MMSE : Mini Mental State Examination MoCA : Montreal Cognitive Assessment MS : Multipel Sklerosis

NAD+ : Nicotinamide adenine dinucleotide

NO : Nitric Oxide

OAT : Organic Ion Transporter

OR : Odds Ratio

PA : Penyakit Alzheimer

Perdossi : Perkumpulan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Perkeni : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

(8)

ROS : Reactive Oxygen Species RNS : Reactive Nitrogen Species

UOx : Urate Oxidase

URAT1 : Urat Transporter 1

WHO : World Health Organization XDH : Xanthine dehydrogenase

XO : Xanthine oxidase

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Informasi Pasien 57

Lampiran 2 Formulir Persetujuan tertulis 59

Lampiran 3 Lembar Pengumpul Data 60

Lampiran 4 MoCA-Ina 63

Lampiran 5 Skala Penilaian Depresi Hamilton 64

Lampiran 6 (Tabel 2.1) Beberapa penelitian hubungan 70 asam urat dan gangguan fungsi kognitif

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada proses penuaan akan terjadi penurunan berbagai fungsi dari organ tubuh. Salah satu gangguan yang dijumpai pada proses penuaan adalah gangguan fungsi kognitif (GFK). Gangguan fungsi kognitif akan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari bila tidak ditangani dengan baik.

Meningkatnya usia harapan hidup bangsa Indonesia telah diikuti dengan pergeseran pola penyakit dan masalah kesehatan pada populasi usia lanjut. Hal ini akan membawa beberapa masalah kesehatan masyarakat yang diantaranya dikaitkan dengan GFK (Kusumoputro, 2003).

Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan aktivitas mental secara sadar yang meliputi gangguan kemampuan atensi, bahasa, memori, visuospasial, dan fungsi eksekutif. GFK tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, antara lain yang tidak dapat dikendalikan seperti usia dan jenis kelamin maupun beberapa kondisi fisik atau penyakit yang dapat dikendalikan. Pemahaman mengenai faktor-faktor risiko tersebut dapat membantu mengurangi risiko GFK (Wreksoatmodjo, 2014).

(11)

2020 usia harapan hidup di Indonesia akan mencapai 71 tahun dan jumlah penduduk lansia diperkirakan sebanyak 28 juta jiwa (Kusumoputro, 2003).

Gangguan fungsi kognitif akan mempengaruhi pola interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, anggota keluarga lain, dan pola aktivitas sosialnya sehingga akan menambah beban keluarga, lingkungan serta masyarakat (Darmojo, 2010). GFK dapat berupa mudah-lupa (forgetfulness) yaitu bentuk gangguan kognitif yang paling ringan. Gangguan ini diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia dan meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Pada fase ini seseorang masih bisa berfungsi normal kendati mulai sulit mengingat kembali informasi yang telah dipelajari. Kondisi ini tidak jarang ditemukan pada orang setengah baya (Kusumoputro, 2001). Forgetfulness dapat berlanjut menjadi gangguan kognitif ringan atau Mild Cognitive Impairment (MCI) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat. Demensia adalah suatu kemunduran intelektual berat dan progresif yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang (Wreksoatmodjo, 2014).

(12)

Asam urat memiliki hubungan dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Saat ini terdapat semakin banyak bukti yang mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa asam urat memainkan peranan sebagai antioksidan di dalam otak. Asam urat merupakan antioksidan yang dapat larut dalam air yang diproduksi secara endogen, dimana asam urat menyumbang lebih dari setengah aktivitas yang dapat mengurangi radikal bebas pada manusia (Hernandez et al., 2015).

Asam urat adalah asam organik lemah yang merupakan produk akhir metabolisme purin. Purin di dalam tubuh dimetabolisme secara periodik walaupun tidak ada asupan purin, tetap terbentuk asam urat (Warner et al., 2004). Asam urat diproduksi pada jaringan-jaringan yang mengandung xantine oxidase (XO) terutama hati dan usus. Konsentrasi asam urat serum berbeda-beda tergantung pada usia dan jenis kelamin. Konsentrasi didapatkan lebih rendah pada anak-anak (3-4 mg/dl), kemudian meningkat pada laki-laki selama masa puber dan pada wanita setelah menopause. Konsentrasi asam urat normal pada laki-laki adalah 3,5-7 mg/dl dan pada perempuan 2,6–6 mg/dl (Giorgi et al.,2015).

(13)

Asam urat yang merupakan hasil degradasi nukleotida purin adalah antioksidan yang memiliki kemampuan menetralisir radikal bebas dalam plasma terutama hidroksil, superoksida dan peroksinitrit (Amaro et al.,2008). Pada GFK, mekanisme vaskular dan stres oksidatif dicurigai memainkan peranan, namun hubungan antara kedua variabel tersebut belum sepenuhnya dipahami. Teori yang ada saat ini menunjukkan bahwa stres oksidatif merupakan satu faktor patogenik yang relevan pada GFK. Pada para pasien dengan keluhan sering lupa, stres oksidatif nya akan meningkat dan diikuti dengan gangguan kognitif ringan, yaitu suatu sindrom klinis gangguan memori dengan ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan dasar harian (Hernandez et al, 2015).

Selama beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara AUS dengan risiko kemunculan penyakit neurologis seperti contohnya multipel sklerosis (MS), penyakit parkinson (PP), dan penyakit alzheimer (PA). Sejauh ini, peranan asam urat pada kasus multipel sklerosis merupakan hal yang paling sering diteliti. Pada beberapa penelitian, kadar asam urat yang tinggi memiliki hubungan dengan penurunan resiko insiden penyakit parkinson pada dua penelitian independen, yaitu the Health Profesionals Follow-Up dan penelitian Rotterdam. Hal yang sama, dimana kadar asam urat yang meningkat diketahui memiliki hubungan dengan lebih lambatnya laju PP dan penyakit-penyakit neurodegeneratif lainnya termasuk demensia (Hernandez et al, 2015).

(14)

mengemukakan bahwa kadar AUS rendah dapat meningkatkan risiko GFK pada pasien yang berusia lanjut (Hernandez et al, 2015). Penelitian lain oleh Euser et al., tahun 2009 mendapatkan hasil yang sama yaitu kadar AUS yang lebih tinggi berhubungan dengan penurunan risiko GFK (Euser et al., 2009).

Penelitian oleh Schretlen et al, tahun 2007 menemukan hasil yang berbeda yaitu kadar AUS tinggi meningkatkan risiko GFK pada lansia (Schretlen et al, 2007). Hasil yang sama juga didapatkan oleh Asfar et al., tahun 2011 yaitu kadar AUS tinggi dikaitkan dengan fungsi kognitif yang lebih buruk (Asfar et al., 2011). Pada penelitian sebelumnya oleh Johnson dan Asthon tidak menemukan hubungan antara asam urat dengan fungsi kognitif (Schretlen et al, 2007).

Para peneliti mengemukakan terjadinya kontroversi ini karena beberapa faktor, yaitu penelitian dilakukan dengan metode potong lintang dan alat yang digunakan untuk pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE). Mini Mental State Examination bukan merupakan standar dalam menilai GFK (Asfar et al., 2011; Al-khateeb et al., 2015).

Berdasarkan kontroversi tersebut serta belum ada yang melakukan penelitian tersebut di Bali, sehingga melatarbelakangi untuk melakukan penelitian terhadap kadar asam urat serum rendah meningkatkan risiko gangguan fungsi kognitif pada lansia.

1.2 Rumusan Masalah

(15)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk membuktikan kadar asam urat serum rendah meningkatkan risiko gangguan fungsi kognitif pada lansia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa kadar asam urat serum rendah meningkatkan risiko gangguan fungsi kognitif pada lansia dan menguatkan penelitian yang sudah ada serta sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kognitif

Kognitif berasal dari bahasa latin “cognoscere” yang artinya together (co) dan

know (nos). Kognitif merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir,

mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa (Kruse et al., 2006).

Kognitif merupakan suatu proses dimana semua masukan sensoris (taktil, visual, dan auditorik) akan diubah, diolah, disimpan, dan selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut (Lezak et al., 2004). Dalam behavioral neurology, ilmu hubungan antara struktur otak dan perilaku manusia diterapkan

konsep yang mencakup lima domain kognitif, yaitu: atensi, bahasa, memori, visuospasial dan fungsi eksekutif (Kusumoputro, 2003).

2.1.1 Gangguan fungsi kognitif pada proses penuaan

(17)

fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Darmojo, 2010).

Batasan lansia sampai sekarang belum memiliki kepastian referensi, banyak

pendapat mengenai hal ini, beberapa pendapat mengenaibatasan usia ini antara lain:

World Health Organization (WHO) tahun 1989 menetapkan batasan lansia adalah kelompok usia 45-59 tahun sebagai usia pertengahan (middle/young elderly),

kelompok dengan usia 60-74 tahun disebut lansia (ederly), kelompok usia 75-90 tahun

disebut tua (old), kelompok usia di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old).

 Undang-undang RI No.4 tahun 1965 menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun ke atas, tidak mampu

mencari nafkah.

 Menurut pasal 1 ayat 2,3,4 UU no. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa

usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Proses penuaan sudah dimulai sebelum kelahiran terjadi dan selama manusia hidup akan terjadi suatu perubahan fungsi dan struktur sel tubuh manusia. Proses penuaan ditandai oleh menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi atau pulih dari suatu rangsangan (Darmojo, 2010). Terdapat beberapa teori yang menjelaskan proses penuaan antara lain:

 Teori genetik

(18)

 Mutasi somatik

Proses menua disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Hal ini menyebabkan reaksi metabolisme yang salah sehingga akan mengurangi fungsional sel.

 Rusaknya sistem imun tubuh

Kerusakan sistem imun tubuh sebagai proses heteroimunitas maupun auto imunitas. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenal dirinya sendiri, menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya (Darmojo, 2010).

 Metabolisme

Peristiwa menua akibat metabolisme, antara lain disebabkan kalori yang berlebihan, kurang aktivitas dan sebagainya (Darmojo, 2000).

 Radikal bebas

(19)

sel mati. Radikal bebas ini menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi. (Darmojo, 2010)

Proses penuaan disebabkan oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor-faktor ini disebut dengan faktor risiko. Faktor risiko ini dapat menyebabkan penyakit degeneratif pada lansia diantaranya stroke, parkinson, demensia, dan gangguan kognitif lainnya (Gambar 2.1) (Darmojo, 2010).

Gambar 2.1 Hubungan faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada lansia (Darmojo, 2009)

(20)

terjadi penurunan sel neuron dalam jumlah besar (Kusumoputro, 2003; Katz et al., 2012).

Perubahan anatomi dan fisiologi pada proses menua mengakibatkan terjadinya penurunan berbagai fungsi otak secara wajar. Diantara fungsi otak yang menurun secara linier dengan berlanjutnya usia, yang paling sering terjadi adalah penurunan fungsi daya ingat atau memori baik itu memori segera (immediate memory) memori baru (recent memory) atau memori jangka panjang (remote memory) (Black and Strub, 2000). Penurunan fungsi otak menua ini terjadi secara individual. Beberapa individu mungkin sama sekali tidak mengalaminya, ada yang mengalami derajat sedang, tetapi ada pula yang mengalami derajat berat sehingga mengganggu kehidupan sosial (Kusumoputro, 2003; Katz et al., 2012).

2.1.2 Manifestasi gangguan kognitif

Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan pada fungsi atensi, bahasa, memori, visuospasial dan eksekutif.

1. Atensi

(21)

berbeda yaitu ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak atensi sama sekali (Korsten et al., 2006).

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior, karena apabila ditemukan gangguan bahasa, pemeriksaan fungsi kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan (Miller, 2011).

Gangguan bahasa merupakan tanda patognomonik disfungsi otak dimana dapat terjadi pada lesi otak fokal atau difus. Gangguan bahasa akan tampak berupa kemiskinan kosa kata, sulit menyebut nama benda atau gambar. Kemampuan berbahasa terdiri dari beberapa modalitas yaitu bicara spontan, pemahaman, pengulangan, penamaan, membaca dan menulis (Miller, 2011).

3. Memori

(22)

panjang atau remote memory yang merupakan recall stimulus setelah bertahun-tahun (Black and Strub, 2000).

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien, namun tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien dengan depresi sering mengalami gangguan memori, dimana hanya terjadi satu periode waktu tertentu dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memori. Gangguan memori sering merupakan gejala awal yang timbul pada demensia dini (Black and Strub, 2000).

4. Visuospasial

Kemampuan visuospasial adalah kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar dalam bentuk 2 atau 3 dimensi. Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan kognitif non verbal dengan integritas fungsi lobus oksipital, parietal, dan frontalis (Black and Strub, 2000).

(23)

5. Gangguan Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekutif diperankan oleh lobus frontal. Fungsi ini memerlukan domain atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif (Phillips and Henry, 2008). Fungsi eksekutif secara konseptual adalah kemampuan untuk menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanan yang efektif (Lezak et al., 2004).

2.1.3 Tahapan Penurunan Fungsi Kognitif

Penurunan fungsi kognitif dibagi menjadi beberapa tahap, mulai dari yang masih dianggap normal sampai patologis dan pola ini sebagai suatu spektrum dari ringan sampai berat, yaitu (1) mudah lupa (forgetfulness), (2) Mild Cognitive Impairment (MCI), (3) Demensia (Perdossi, 2007).

1. Mudah Lupa (Forgetfulness)

(24)

sirkumlokusi dan terbantu dengan pemberian isyarat. Pada malignant forgetfulness terjadi gangguan pada proses belajar atau pencatatannya sehingga penderita akan kesulitan dengan recent memory dan sedikit terganggu dengan remote memory (Kusumoputro, 2003).

2. Mild Cognitive Impairment (MCI)

Konsep MCI diperuntukkan bagi mereka yang mengalami penurunan fungsi kognitif namun tidak memenuhi kriteria demensia. Keluhan memori dikemukakan oleh penderita, keluarga atau dokter keluarganya. Pada MCI fungsi kognitif global masih baik, aktifitas hidup sehari-hari yang sederhana (activity of daily living, ADL) masih baik, tetapi menunjukkan gangguan dalam aktifitas hidup sehari-hari yang bersifat lebih kompleks. Pada pemeriksaan fungsi kognitif yang teliti, menunjukkan penurunan pada domain memori atau domain lainnya. Namun ganguan fungsi kognitif ini masih ringan dan belum cukup parah untuk menyebabkan gangguan keseharian yang komplek (Visser, 2006). Keadaan ini perlu diwaspadai karena kemungkinan menjadi demensia cukup tinggi yaitu sekitar 12% pertahun (Perdossi, 2007).

3. Demensia

(25)

gangguan proses berpikir dan reasoning disamping proses memori. Demensia menurut DSM-IV adalah penurunan fungsi kognitif yang multipel terutama memori disertai sedikitnya gangguan salah satu fungsi kognitif lainnya seperti afasia, apraksia, agnosia, serta gangguan dalam melakukan pekerjaan. Penurunan fungsi kongitif harus berat sampai mengganggu pekerjaan atau hubungan sosial. Kriteria lain adalah tidak terdapat delirium, meskipun demensia dapat terjadi bersamaan delirium (Perdossi, 2007; Auer, et al., 2012).

Gangguan fungsi kognitif dapat terjadi karena berbagai proses di otak, diantaranya gangguan serebrovaskuler, infeksi susunan saraf pusat, gangguan pernafasan, gangguan metabolik, maupun proses penuaan abnormal (Perdossi, 2007). Gangguan fungsi kognitif mungkin juga dapat disebabkan oleh tindakan bedah intervensi pada penyakit kardiovaskuler, radiasi, chemoteraphy untuk kanker, dan pengobatan yang diberikan untuk mengontrol gejala-gejala fisik. Gangguan fungsi kognitif merupakan gejala lanjutan yang sering ditemui dari berbagai penyakit yang secara langsung mempengaruhi sistem saraf pusat (Mitrushina, 2009).

(26)

2.1.4 Pemeriksaan fungsi kognitif

Pemeriksaan fungsi kognitif dapat dilakukan dengan beberapa instrumen, yang dapat membantu dalam penilaian status mental. Pemeriksaan ini dimulai dengan penilaian dasar seperti kesadaran, kemudian pemeriksaan fungsi kognitif dasar (atensi dan bahasa) dan diikuti dengan area fungsi yang lebih kompleks, seperti kalkulasi dan fungsi eksekutif (Black and Strub, 2000). Pemeriksaan fungsi kognitif antara lain: 1. Mini Mental State Examination (MMSE)

Pemeriksaan MMSE merupakan pemeriksaan yang dikembangkan pada tahun 1975 oleh Folstein dan sejak saat itu telah banyak digunakan secara luas sebagai skrining dalam pemeriksaan gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan MMSE mudah dilakukan dan menunjukkan reliabilitas yang baik (Mitchell, 2009). Pada pemeriksaan MMSE terdapat beberapa domain yang diperiksa meliputi atensi, orientasi, memori, kalkulasi, memori jangka pendek, bahasa dan kemampuan konstruksi, hanya saja MMSE memiliki keterbatasan yaitu tidak memiliki penilaian untuk fungsi eksekutif dan visuospasial. Menggambar segi lima pada MMSE hanya meminta pasien untuk meniru gambar tersebut, tidak menilai kemampuan perencanaan (Woodford, 2007).

Mini Mental State Examination memiliki sensitivitas sebesar 86% dan

spesifisitas sebesar 91%. Total skor MMSE adalah 30, jika skor 24-30 dikategorikan normal, skor 17-24 disebut probable gangguan kognitif, dan skor 0-16 dikatakan definite gangguan kognitif (Munshi et al., 2006). Pemeriksaan ini tidak sensitif untuk

(27)

harus dikombinasikan dengan metode pemeriksaan yang lebih lengkap (Campbell, 2013).

2. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)

Montreal Cognitive Assessment (MoCA) merupakan pemeriksaan fungsi kognitif

lengkap, tetapi memerlukan banyak waktu dan tidak semua klinisi dapat mengerjakannya. MoCA memerlukan waktu 10-15 menit dalam pengerjaannya. MoCA mampu menilai domain-domain kognitif seperti gangguan memori, kelancaran berbicara, visuospasial, clock drawing, fungsi eksekutif, kalkulasi, pemikiran abstrak, bahasa, orientasi, atensi, dan konsentrasi. Skor maksimal tes ini adalah 30, dimana nilai 26-30 dikatagorikan sebagai normal, sedangkan skor < 26 digolongkan mengalami gangguan kognitif. Pada subyek yang memiliki masa pendidikan < 12 tahun, ditambahkan 1 poin pada skor total. Pada validasi MoCA yang melibatkan 227 partisipan berbahasa Prancis dan Inggris, didapatkan sensitivitas sebesar 90% dan spesifitas sebesar 87% dalam mendeteksi MCI dibandingkan dengan normal (Nasreddine dkk., 2005; Chertkow dkk, 2008).

Pada studi validasi yang dilakukan di Kanada, MMSE mempunyai sensitivitas sebesar 17% dan spesivitas 100% untuk mendeteksi penderita dengan MCI, sedangkan MoCA mempunyai sensitivitas 83% dan spesivitas 50%. Dalam mendeteksi dementia, MMSE mempunyai sensitivitas 25% dan spesifitas 100%, sedangkan MoCA mempunyai sensitivitas 94 % dan spesifitas 50% (Smith, et.al., 2007).

(28)

MoCA versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi transkultural sehingga dapat digunakan baik oleh dokter ahli saraf maupun dokter umum (Husein dkk., 2010).

2.2 Asam Urat

2.2.1 Metabolisme asam urat

Asam urat adalah bahan normal dalam tubuh dan merupakan produk akhir dari metabolisme nukleotida purin, yaitu hasil degradasi purine nucleotide yang merupakan bahan penting dalam tubuh sebagai komponen dari asam nukleat dan penghasil energi dalam inti sel. Kadar normal asam urat dalam darah adalah 2-6 mg/dL untuk perempuan dan 3-7,2 mg/dL untuk laki-laki (Putra, 2006).

Urat, adalah bentuk anionik dari asam urat (2,6,8-trioxy-purine), predominan pada pH netral dan terdapat baik intraseluler dan dalam semua cairan tubuh. Pada manusia, kadar urat dalam darah tergantung pada diit purin, biosintesis urat, penggunaan obat-obatan (uricosuric, uricostatic, dan uricolitic) dan ekskresi urat. Urat merupakan konversi hypoxanthine menjadi xanthine yang disintesis oleh enzim xanthine oxidase (Cipriani et al., 2010).

(29)

pada manusia lebih tinggi (200-400 πmol/l atau 3,4-6,8 mg/dl) dibandingkan dengan hampir semua mamalia lain (Gambar 2.2). Pada manusia, urat merupakan produk akhir utama dari metabolisme purin dan berperan sebagai antioksidan yang utama pada berbagai cairan tubuh (Capasso et al., 2005; Cipriani et al., 2010).

Gambar 2.2. Bagan metabolisme purin dalam tubuh manusia (Cipriani et al., 2010)

(30)

jumlah makanan atau minuman yang mengandung purin, biosintesis asam urat dan laju ekskresi urat. Kadar asam urat dalam plasma diatur oleh 4 komponen sistem transport ginjal yang meliputi proses filtrasi, reabsorbsi, sekresi dan reabsorbsi paska sekresi (Johnson et al., 2003; Hediger et al., 2005). Sejumlah transpoter ginjal turut terlibat dalam pengaturan kadar asam urat dalam plasma seperti urat transpoter 1 (URAT1) yang bertanggung jawab terhadap reabsorbsi urat dan sejumlah sejumlah organic ion transpoter (OAT) seperti OAT1 dan OAT3 dan ATP-dependent urate export secretion

MRP4 yang terlibat dalam sekresi urat. Pada manusia lebih kurang 90% hasil filtrasi

urat dirabsorbsi kembali. Karena keterlibatannya yang begitu penting dalam reabsorbsi urat, URAT1 dipercaya memainkan peranan yang sangat kritis dalam pengaturan kadar AUS (Johnson et al., 2003; Hediger et al., 2005).

Sumber asam urat pada manusia didapat melalui dua cara, yaitu secara endogen dan eksogen. Sumber asam urat secara endogen yaitu melalui sintesis de novo dan pemecahan asam nukleat. Dalam tubuh manusia telah terdapat 85% senyawa purin untuk kebutuhan setiap hari dan hanya 15% berasal dari eksogen yang diperoleh dari makanan. Produksi asam urat ini relatif konstan kurang lebih sebanyak 600mg/hari. Gagal ginjal menyebabkan asam urat, urea dan kreatinin terakumulasi (Rodwell, 2003). Sejumlah obat-obatan dapat mempengaruhi kadar asam urat diantaranya obat golongan uricosuric, uricostatic, dan uricolitic. Obat-obat tersebut dapat menurunkan kadar

(31)

Tabel 2.1 Golongan obat-obat yang mempengaruhi kadar asam urat serum dan mekanisme kerjanya (Ausiello et al., 2005)

Golongan obat Mekanisme kerja

Uricosuric

Benzbromarone Penghambat URAT 1

Sulfinpyrazone Penghambat URAT 1

Probenesid Penghambat URAT 1

Uricostatic/Xanthine oxidase inhibitor

Allopurinol Penghambat xanthine oxidase

Febuxostat Penghambat xanthine oxidase

Uricolitic

Rasburicase Oksidasi urat menjadi alantoin Pegloticase Oksidasi urat menjadi alantoin

Pada keadaan normal, kebutuhan produksi dan eliminasi asam urat kurang lebih 700 mg. Kurang lebih sebanyak 30% dari kebutuhan asam urat berkurang di usus karena bakteri uricolisis pada sistem pencernaan, sedangkan 70%-nya (atau kurang lebih 500 mg) disekresikan melalui ginjal. Pada manusia, plasma urat secara bebas mengalami filtrasi di glomerulus, namun komponen yang dieksresikan hanya 10% dari plasma asam urat (Edwards, 2008).

2.2.2 Peranan asam urat

(32)

meningkat pada keadaan tertentu seperti diet tinggi purin, konsumsi alkohol yang berlebihan, perubahan sel atau kematian sel pada neoplasma atau obat sitotoksik, kelainan metabolisme purin karena faktor genetik, kelainan fungsi ginjal yang menyebabkan penurunan klirens asam urat, gangguan ekskresi asam urat yang berhubungan dengan reabsorbsi natrium yang berlebihan pada beberapa kondisi seperti obesitas, resistensi insulin atau hiperinsulinemia, hipertensi, diet rendah natrium dan terapi diuretik. Dalam berbagai organ dan pembuluh darah, konsentrasi lokal asam urat meningkat selama stres oksidatif akut dan iskemia serta peningkatan konsentrasinya mungkin merupakan mekanisme kompensasi untuk memberikan efek perlindungan terhadap peningkatan aktivitas radikal bebas (Squadrito et al., 2000; Strazzullo and Apuig, 2007).

Asam urat diketahui berfungsi sebagai antioksidan dan merupakan antioksidan yang paling penting dalam serum dengan kontribusi hingga 60% dari seluruh aktivitas anti radikal bebas alam tubuh manusia (Waring et al., 2000; Johnson et al., 2003). Urat merupakan bentuk asam urat larut dalam darah yang dapat menangkap superoksida, radikal hidroksil, oksigen tunggal dan juga memiliki kemampuan untuk mengikat logam-logam transisi (Johnson et al., 2003). Asam urat dapat berinteraksi dengan peroxynitritite, yaitu suatu produk toksik yang terbentuk dari reaksi antara anion

(33)

Asam urat mempunyai peranan sebagai antioksidan yang signifikan, namun pada kondisi tertentu asam urat dapat menyebabkan kerusakan jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung (Waring et al., 2000). Peranan asam urat sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler telah banyak diteliti. Asam urat merangsang produksi sitokin dari lekosit dan kemokin dari otot polos pembuluh darah, merangsang perlekatan granulosit pada endotelium, adesi platelet, dan pelepasan radikal bebas peroksida dan superoksida serta memicu stres oksidatif. Dari data tersebut diduga terdapat peranan potensial asam urat atau xanthine oxidase dalam proses terjadinya disfungsi endotel pada kejadian kardiovaskular.

Pada kondisi tertentu, asam urat dapat bersifat prooksidatif yaitu apabila antioksidan lain berada pada tingkat rendah (Johnson et al., 2003). Asam urat dapat merangsang oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) in vitro yang merupakan langkah kunci dalam progresivitas aterosklerosis. Asam urat dapat menyebabkan kerusakan sel endotel yang diperkirakan melalui aktivasi leukosit dan terdapat korelasi yang konsisten antara peningkatan konsentrasi asam urat dengan tanda inflamasi dalam sirkulasi (Culleton et al., 2006).

(34)

optika telah dikaitkan dengan tingkat asam urat serum lebih rendah. Namun, masih belum jelas apakah perubahan kadar asam urat adalah penyebab atau konsekuensi dari penyakit-penyakit ini (Cipriani et al., 2010).

Asam urat memiliki hubungan dengan peningkatan risiko kematian yang dikarenakan oleh infrak miokard dan gangguan kardiovaskular lainnya (Fang and Alderman, 2000; Bos et al., 2006). Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme untuk hal ini, antara lain stimulasi proliferasi sel otot polos vaskular yang dipicu oleh asam urat, sifat inflamatori dari asam urat yang dapat larut, dan efek langsung asam urat terhadap fungsi endotelial dengan mengganggu produksi nitrit oksida (Fang dan Alderman, 2000; Johnson et al., 2003). Namun, sebagai antioksidan alami, asam urat juga memiliki peranan penting akan kapasitas antioksidatif plasma. Sifat ini dapat menurunkan stres oksidatif dan dapat melindungi terhadap efek radikal bebas (Euser et al., 2009). Banyak penelitian mengenai kadar asam urat serum yang menghubungkan

dengan penyakit neurodegeneratif lain seperti parkinson dan demensia, namun hasil dari penelitian-penelitian observasional ini saling bertentangan satu sama lain (Al-khateeb et al., 2015).

2.3 Asam Urat dan Gangguan Fungsi Kognitif

(35)

neurodegeneratif sistem saraf pusat yang memiliki hubungan dengan stres oksidatif serta patologi vaskular (Al-khateeb et al., 2015).

Stres oksidatif didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan antara pembentukan prooksidan dan antioksidan yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Jaringan otak memiliki kerentanan yang tinggi terhadap stres oksidatif dikarenakan jaringan tersebut memiliki tingkat konsumsi oksigen yang tinggi, kandungan antioksidan yang rendah, dan memiliki kandungan asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel (Al-khateeb et al., 2015). Proses pembentukan oksidan secara alamiah terjadi selama transpor elektron mitokondria dan pada fase awal terjadi hipoksia dan iskemia, sehingga dapat mengakibatkan pembentukan oksidan yang selanjutnya dapat merusak jaringan (Warner et al., 2004).

Reaksi akhir dalam pembentukan asam urat adalah konversi hypoxanthine menjadi xanthine dan xanthine mendati asam urat yang dikatalisasi oleh enzim xanthine oxidoreductase (XOR). Enzim ini ada dalam dua bentuk, yaitu xanthine

dehydrogenase (XDH) dan xanthine oxidase (XO). Pada kondisi fisiologis, enzim ini

(36)

pembentukan radikal bebas anion superoksida (O2-) (gambar 2.3). Anion superoksida dapat membentuk hidrogen peroksida melalui aktivitas dismutase superoksida dengan melibatkan ion logam. Pembentukan hidrogen peroksida ini akan terjadi oleh reaksi tipe feton (Glantzounis et al., 2005).

Gambar 2.3 Peran xanthine oxidoreductase (XOR) pada iskemia-reperfusi dan efek proteksi asam urat terhadap radikal bebas (CO3.- dan NO2.) yang merupakan reaksi

(37)

Gangguan fungsi kognitif yang paling sering terjadi pada lansia disebabkan oleh penyakit alzheimer. Kolesterol memainkan peranan penting dimana dapat memicu peningkatan produksi amiloid-beta, yang merupakan komponen utama plak amiloid pada pasien PA. Peranan kolesterol yang meningkat terhadap PA belumlah sepenuhnya dipahami. Penelitian Framingham menunjukkan bahwa tingkat rata-rata awal dan jangka-panjang serum kolesterol total tidak memiliki hubungan dengan risiko insiden PA (Al-khateeb et al., 2015).

Pemahaman saat ini tentang patogenesis PA masih terbatas, namun bukti dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa perkembangan PA memiliki kaitan dengan stres oksidatif dan deposisi beta-amyloid. Asam urat dapat berperan sebagai antioksidan dan dapat mengurangi stres oksidatif. Asam urat merupakan semacam zat anti peroksinitrit (ONOO-) yang kuat (Hong et al., 2015).

(38)

variasi apolipoprotein E (APOE) dapat mempengaruhi transport kolesterol dan mempengaruhi amiloidosis. Fragmen APOE juga berakumulasi di dalam mitokondria dan mempengaruhi fungsinya (Hong et al., 2015).

Asam urat dapat menghambat superoksida dengan mencegah terjadinya degradasi enzim extracellular superoxide dismutase (SOD) yaitu enzim yang berperan penting dalam mempertahankan fungsi endotel. Enzim SOD merupakan enzim ekstraseluler yang mengalkalisasi reaksi anion superoxide (O2-) menjadi hydrogen peroxide (H2O2). Pembuangan anion superoxide (O2-) oleh SOD dapat mencegah reaksi dan inaktivasi anion superoxide (O2-) oleh NO sehingga menghambat pembentukan peroksinitrit. Hal ini membantu mempertahankan konsentrasi NO dan fungsi endotel dengan baik (Waring et al., 2000; Johnson et al., 2003).

Asam urat juga dapat mencegah terjadinya kerusakan oksidatif melalui kemampuannya untuk mengikat besi dan menghambat oksidasi askorbat dengan demikian akan menurunkan produksi radikal-radikal bebas. Dengan demikian, konsentrasi asam urat yang menurun akan menurunkan kemampuan tubuh untuk mencegah peroksinitrit dan radikal-radikal bebas lainnya (Al-khateeb et al., 2015).

(39)

memberikan efek neuroprotektif yang sama pada penyakit Alzheimer atau demensia lain yang berkaitan (Hong et al., 2015).

Gambar 2.4 Mekanisme selular neuroprotektif oleh urat. (Cipriani et al., 2010)

(40)

(reactive oxygen species) dan RNS (reactive nitrogen species) dalam sel karena memiliki ion logam sifat kompleks. Reactive oxygen species dan reactive nitrogen species menginduksi perusakan asam nukleat, protein (misalnya, yang dibutuhkan

untuk metabolisme energi mitokondria) dan lipid (misalnya membran plasma), yang berpotensi menghasilkan ekspresi gen, metabolisme energi disfungsional dan integritas membran yang merupakan ciri khas neurodegeneratif. Melalui mekanisme langsung dan tidak langsung, urat dapat mengurangi kerusakan oksidatif dan nitrosatif neuron akibat stres metabolik neuron yang terjadi pada lansia (Gambar 2.4) (Heberman et al., 2007; Guerreiro et al., 2009; Cipriani et al., 2010).

Peran asam urat terhadap laju kemunculan PA belum jelas. Beberapa penelitian yang meneliti AUS telah mengidentifikasi bahwa pada penderita PA dan mild cognitive impairment (MCI) memiliki kadar konsentrasi AUS yang relatif rendah dibandingkan

dengan individu yang sehat di kelompok kontrol, namun ada juga penelitian yang tidak menemukan perbedaan tersebut (Al-khateeb et al., 2015). Beberapa penelitian yang berhubungan dengan asam urat dan gangguan fungsi kognitif ditampilkan dengan Tabel 2.2 pada lampiran 6.

(41)

memiliki kadar UA serum yang rendah akan tidak mampu untuk menangkal radikal bebas, dimana dapat menyebabkan terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan. Di sisi lain, inflamasi yang terjadi membutuhkan asam urat untuk menangkal radikal-radikal bebas yang berlebihan, sehingga akan menurunkan kadar asam urat (Al-khateeb et al., 2015).

(42)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Asam urat berfungsi sebagai antioksidan yang penting dalam tubuh, yaitu memiliki kemampuan menetralisir radikal bebas dalam plasma sehingga dapat menurunkan stres oksidatif. Asam urat merupakan konversi hypoxanthine menjadi xanthine yang disintesis oleh enzim xanthine oxidase dan guanine menjadi xanthine

yang disintesis guanine deaminase.

Pada manusia, kadar asam urat tergantung oleh beberapa faktor, antara lain gangguan biosintesis asam urat, penggunaan obat-obatan (uricostatic, urikosuric dan uricolitic), diit purin, dan gangguan reabsorbsi asam urat. Dalam keadaan normal

terdapat keseimbangan antara pembentukan nukleotida purin serta kemampuan ginjal dalam mengekskresikan asam urat. Pada individu dengan diet rendah purin akan menyebabkan penurunan pembentukan nukleotida purin diantaranya adenosine dan guanosine. Penggunaan obat-obatan, yaitu uricostatic atau xanthine oxidase inhibitor

seperti alopurinol dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim xanthine oxidase yang berfungsi untuk mensintesis hypoxanthine menjadi xanthine. Obat-obat golongan uricosuric seperti benzbromarone, sulphinpyrazone, dan probenesid bekerja

(43)

enzim UOx sehingga mensintesis asam urat menjadi alantoin. Ketiga golongan obat tersebut dapat menyebabkan penurunan kadar asam urat serum.

Asam urat dapat memberikan proteksi pada penyakit-penyakit neurologis dengan menghambat dan menurunkan produksi radikal bebas. Asam urat juga dapat mempengaruhi dan menonaktifkan ROS (reactive oxygen species) dan RNS (reactive nitrogen species) dalam sel. Peningkatan ROS dan RNS dapat menginduksi kerusakan

asam nukleat, protein dan lipid yang dibutuhkan dalam metabolisme mitokondria. Bila terjadi penurunan kadar asam urat, maka ROS dan RNS yang terbentuk akan berpengaruh terhadap meningkatnya stres oksidatif.

(44)
(45)

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 3.2 Konsep Penelitian

Keterangan:

Faktor yang dikendalikan pada tahap analisis data

(46)

Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka, maka disusunlah konsep penelitian sebagai berikut:

1. Kadar asam urat serum rendah meningkatkan risiko GFK.

2. Beberapa faktor lainnya juga berperan dalam proses terjadinya GFK pada kadar AUS rendah, antara lain usia, jenis kelamin, hipertensi, obesitas, dislipidemia, DM, tingkat pendidikan, merokok dan pengguna alkohol selanjutnya dikendalikan pada tahap analisis data. Faktor risiko lainnya, yaitu penyakit ginjal kronis, penyakit jantung, stroke, penyakit parkinson, trauma kepala, tumor otak, infeksi SSP, epilepsi, dan depresi akan dikendalikan pada tahap rancangan penelitian.

3.3 Hipotesis Penelitian

(47)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk membuktikan kadar asam urat serum rendah sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif pada lansia.

Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian AUS lebih rendah

AUS normal atau tinggi

AUS lebih rendah

AUS normal atau tinggi

Gangguan kognitif (+)

Gangguan kognitif (-)

(48)

4.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Klinik Neurobehaviour, Poliklinik Saraf dan Poliklinik Geriatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret - Mei 2016.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk ruang lingkup faktor risiko di bidang neurologi, khususnya berkaitan sub divisi neurobehavior.

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan kognitif.

4.4.1 Populasi target

Populasi target penelitian ini adalah semua lansia di RSUP Sanglah Denpasar. 4.4.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua lansia yang menjalani pengobatan di klinik neurobehaviour, poliklinik saraf, dan poliklinik geriatri RSUP Sanglah Denpasar.

4.4.3 Kriteria sampel

(49)

4.4.3.1 Kriteria inklusi

Kriteria inklusi kasus yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Usia 60 – 74 tahun.

2. Mengalami gangguan fungsi kognitif.

3. Menjalani pengobatan di Klinik Neurobehaviour, Poliklinik Saraf, dan Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar.

4. Kooperatif dan mampu baca tulis.

5. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan menandatangani surat persetujuan (informed-consent).

Kriteria inklusi kontrol yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Usia 60 - 74 tahun.

2. Tidak mengalami gangguan fungsi kognitif.

3. Menjalani pengobatan di Klinik Neurobehaviour, Poliklinik Saraf, dan Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar.

4. Kooperatif dan mampu baca tulis.

5. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan menandatangani surat persetujuan (informed-consent).

4.4.3.2 Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi penelitian ini adalah:

(50)

2. Subjek dengan gangguan penglihatan dan pendengaran yang berat sehingga tidak bisa dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif.

3. Subjek yang tidak mampu membaca dan menulis karena buta huruf. 4.4.4 Besar sampel

Besar sampel penelitian ini dihitung menggunakan rumus besar sampel 2 kelompok tidak berpasangan berdasarkan perhitungan rumus sebagai berikut: (Dahlan, 2009)

(Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 +P2Q2)² n1 = n2=

(P1-P2)²

α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96

β : kesalahan tipe II, ditetapkan 80% sehingga Zβ= 0,842

P : proporsi total = 1/2 (P1+P2)

P2 : Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya

P1 : Proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti Q1 : 1 – P1 Q2 : 1 – P2

Berdasarkan penelitian Hernandez et al., 2015 proporsi GFK pada kadar AUS rendah adalah 0,37. Besar sampel berdasarkan penghitungan rumus diatas didapatkan n1 = n2 = 37,24. Jadi jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus 37 orang dan kelompok kontrol 37 orang, sehingga total keseluruhan sampel berjumlah

(51)

4.4.5 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non random jenis consecutive yaitu semua subjek yang ada dan memenuhi kriteria eligibilitas dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.

4.5 Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung: gangguan fungsi kognitif 2. Variabel bebas: kadar asam urat serum rendah

3. Variabel perancu: usia, hipertensi, obesitas, dislipidemia, DM, tingkat pendidikan, merokok dan alkohol.

4.6 Definisi Operasional Variabel

1. Gangguan fungsi kognitif adalah gangguan yang terjadi pada minimal satu domain kognitif, misalnya fungsi memori dan atau atensi dan atau bahasa dan atau fungsi eksekutif dengan skor MoCa-Ina. Skor MoCa-Ina maksimal adalah 30, dimana skor 26-30 dikategorikan sebagai normal dan skor < 26 dikategorikan sebagai GFK. Pada subyek yang memiliki masa pendidikan kurang dari 12 tahun, skor total ditambahkan 1 poin. (Nasreddine dkk, 2005; Chertkow dkk, 2008) Variabel dikelompokkan ya/tidak dengan menggunakan skala nominal dikotomi.

(52)

enzymatic colorimetric dengan alat Synchron CX9 Pro buatan Beckham Coulter, Amerika Serikat tahun 2000. Pengukuran kadar AUS dilakukan pada

darah vena subyek yang telah menjalani puasa lebih kurang selama 8 jam. Kadar AUS dinilai dalam satuan mg/dL. Kadar AUS dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu kadar AUS rendah dan kadar AUS normal/tinggi.

3. Kadar AUS rendah pada laki-laki apabila kadar AUS < 5,8 mg/dL dan kadar AUS normal/tinggi apabila kadar AUS ≥ 5,8. Pada perempuan kadar AUS rendah apabila kadar AUS < 4,8 mg/dL dan kadar AUS normal/tinggi apabila kadar AUS ≥ 4,8 mg/dL (Molshatzki et al., 2015; Schretlen et al., 2007).

Variabel dikelompokkan ya/tidak dengan menggunakan skala nominal dikotomi.

4. Lansia berdasarkan World Health Organization (WHO) adalah suatu periode yang dialami seseorang yang telah memasuki usia 60 - 74 tahun. Pada masa ini terdapat berbagai penurunan fungsi berbagai organ tubuh baik tingkat seluler, organ atau sistem karena proses degeneratif.

5. Usia adalah usia subyek pada saat dilakukan wawancara sesuai yang tercatat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).

6. Jenis kelamin adalah jenis kelamin subyek berdasarkan yang tercatat di KTP, yaitu laki-laki dan perempuan. Variabel ini berskala nominal dikotomi.

7. Hipertensi adalah subyek yang memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg

dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang didapatkan melalui dua kali

(53)

hipertensi dan sedang minum obat anti hipertensi berdasarkan Eight Joint National Committee Classification (JNC VIII). Variabel ini dikelompokkan

menjadi ya/tidak dengan menggunakan skala nominal dikotomi.

8. Obesitas didapatkan berdasarkan indek massa tubuh (IMT) yaitu IMT = berat badan (kilogram) / tinggi badan (meter). Kriteria obesitas bila IMT ≥ 25,0 dan

tidak obesitas IMT < 25,0 (Soegondo dan Gustaviani, 2006). Variabel dikelompokkan menjadi ya/tidak dengan menggunakan skala nominal dikotomi.

9. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak yang ditandai oleh peningkatan atau penurunan lemak plasma. Kelainan fraksi lemak yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total > 200 mg/dL dan kolesterol LDL > 130 mg/dL dan atau penurunan HDL < 35 mg/dL dan atau kenaikan trigliserida > 200 mg/dL (Soegondo dan Gustaviani, 2006). Variabel ini dikelompokkan menjadi ya/tidak dan menggunakan skala nominal dikotomi.

10.Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diagnosis DM dapat ditegakkan jika terdapat keluhan klasik, yaitu poliuri, polidipsi, penurunan berat badan dan pemeriksaat glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau adanya gejala klasik disertai pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (Perkeni, 2015). Variabel ini dikelompokkan

(54)

11.Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti subyek penelitian sampai memperoleh ijazah, berdasarkan keterangan subyek. Data dikelompokkan menjadi pendidikan rendah < 12 tahun dan pendidikan tinggi ≥ 12 tahun (PP No 17 tahun 2010). Variabel ini dikelompokkan menjadi

tingkat pendidikan tinggi dan tingkat pendidikan rendah menggunakan skala nominal dikotomi.

12.Stroke adalah defisit neurologis yang terjadi mendadak berlangsung lebih dari 24 jam yang semata-mata disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak. Defisit neurologis ini didapatkan dari adanya riwayat klinis atau pemeriksaan klinis neurologis antara lain kelumpuhan, kesemutan, rasa tebal, gangguan berbicara, gangguan tajam penglihatan, dan penglihatan ganda (Warlow et al., 2007).

13.Penyakit parkinson adalah suatu kondisi terjadinya gangguan gerak akibat degenerasi neuron dopaminergik pada sistem nigrostriatal. Tanda-tanda khas yang dijumpai pada penyakit parkinson antara lain tremor saat istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural. Gejala non-motor yang juga sering dijumpai yaitu depresi, gangguan kognitif, gangguan tidur, dan disfungsi otonom (Perdossi, 2003).

(55)

15.Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Kondisi ini dapat menimbulkan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial (Kusumastuti dan Basuki, 2014).

16.Infeksi otak adalah invasi mikroorganisme berupa bakteri, virus, protozoa, fungi, parasit dan antropoda terhadap otak (ensefalitis) dan selaput pembungkus otak

(meningitis) (Gunawan, D. 2010).

17.Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak atau ganas yang membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (Mayer, S. dan Chong, J. 2002).

18.Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai subyek yang sudah terdiagnosis gagal ginjal kronis (GGK) atau diduga GGK, berupa kelainan struktur atau fungsional ginjal yang menetap dalam minimal 3 bulan, yang terdeteksi oleh ekskresi albumin urin abnormal atau nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. LFG ditentukan dari rumus, yaitu LFG laki-laki = (140 - umur) x berat badan(kg) / (72 x serum kreatinin) sedangkan LFG perempuan = LFG laki-laki x 0,85 (Suwitra, 2006). Data diperoleh dari wawancara, pemeriksaan penunjang dan catatan medis.

19.Gagal jantung adalah sindroma klinis sesuai kriteria Framingham berupa kumpulan gejala dan tanda, minimal satu kriteria mayor berupa paroxymal nocturnal dyspneu, distensi vena jugular, ronki paru, kardiomegali, udem paru

(56)

efusi pleura, takikardi >120 kali/menit (Panggabean, 2006; Wreksoatmodjo, 2014).

20.Depresi merupakan keadaan psikologis yang ditandai oleh gejala utama berupa afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi sehingga mudah lelah dan menurunnya aktivitas (Maslim, 2003). Depresi dinilai dengan menggunakan skala Hamilton Rating Scale for Depression, dikatakan depresi berat bila skor > 24 (Mirani, 2009).

21.Peminum alkohol adalah subyek yang memiliki kebiasaan minum alkohol > 1 gelas/hari untuk perempuan dan > 2 gelas/hari untuk laki-laki (Van Horn et al., 2010). Variabel dikelompokkan menjadi ya/tidak dengan menggunakan skala

nominal dikotomi.

22.Merokok adalah subyek yang merokok lebih dari satu tahun secara teratur berdasarkan anamnesis dan konfirmasi keluarga. Jumlah rokok yang yang dikonsumsi ≥ 10 batang/hari (Husten, 2009). Variabel dikelompokkan menjadi

ya/tidak dengan menggunakan skala nominal dikotomi.

4.7 Alat Pengumpul Data

(57)

Alat diagnostik yang digunakan untuk menunjang diagnosis GFK adalah tes MoCa-Ina yaitu tes yang akan menilai domain-domain kognitif seperti atensi, konsentrasi, orientasi, memori, bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan visuospasial, kalkulasi, dan pemikiran konseptual.

Untuk mengetahui keadaan kejiwaan subyek dalam hal ini adalah depresi maka dilakukan penilaian dengan skala Hamilton Rating Scale for Depression. Skor 0-6 menunjukkan tidak ada depresi, skor 7-17 menunjukkan depresi ringan, skor 18-24 menunjukkan depresi sedang, dan skor > 24 menunjukkan depresi berat.

4.8 Prosedur Penelitian

Lansia dengan kadar AUS rendah yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, maka dilakukan wawancara terstruktur dengan kuisioner. Data yang diperoleh ditabulasi dan diolah untuk mendapatkan hasil penelitian.

(58)

Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian Populasi target: Lansia

(59)

4.9Pengolahan dan Analisis Data

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Afsar, B., Elsurer, R., Covic, A., Johnson, R.J., Kanbay, M. 2011. Relationship Between Uric Acid and Subtle Cognitive Dysfunction in Chronic Kidney Disease. American Journal of Nephrology; 43: 49-54.

khateeb, E., Althaher, A., khateeb, M., musawi, H., Azzouqah, O., Al-shweiki, S., Shafagoj, Y. 2015. Relation between Uric Acid and Alzheimer’s Disease in Elderly Jordanians. Journal of Alzheimer’s Disease; 44: 859-865.

Amaro, S., Planas, A.M., Chamorro, A. 2008. Uric Acid administration in patients with acute stroke; a novel approach to neuroprotection. Expert Rev. Neurotherapeutics; 8 (2): 259-270.

Auer, S., Brodaty, H., Thompson, D.G., Holmevora, I. 2012. Dementia Caregiving and Caregivers. In: Bramley, D. editors. Dementia: A public health priority. World Halth Organization, 20 Avenue Appia. 1211 Geneva 27, Switzerland. WHO press. p 72. Ausiello, D.A., Benos, D,J., Abboud, F. 2005. Pathogenesis of gout. American College of Physicians; 143: 499-516.

Black, F.W., Strub, R.L. 2000. The Mental Status Examination in Neurology. Philadepphia: F.A. Davis Company. p. 15-31.

Bos, M.J., Koudstaal, P.J., Hofman, A., Witteman, J.C.M., Breteler, M.M.B. 2006. Uric acid is a risk factor for myocardial infarction and stroke. The Rotterdam Study; 37: 1503.

Campbell, W.W. 2013. DeJong’s The Neurologic Examination. 7th Edition. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia. p. 75-86.

Capasso, G., Jaeger, P., Robertson, W.C., Unwin, R.J. 2005. Uric Acid and the Kidney: Urate Transport, Stone Disease and Progressive Renal Failure. Curr Pharm,11:4153-4159.

Chertkow, H., Massoud, F., Nasreddine, Z., Belleville, S., Joanette, Y., Bocti, C., Drolet, V., Kirk, J., Freedman, M., Bergman, H. 2008. Diagnosis and Treatment of Dementia: 3. Mild cognitive impairment and cognitive impairment without dementia. Canadian Medical Association Journal; 178(10): 1273-1285.

(61)

Dahlan, M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Darmojo, B. 2010. Gerontologi Sosial. Dalam: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Ed. 4. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 14-34.

Desideri, G., Castaldo, G., Lombardi, A., Mussap, A., Testa, A., Pontremoli, R., Punzi, L., Borghi, C. 2014. Is It Time To Revise The Normal Range of Serum Uric Acid Levels?. European Review for Medical and Pharmacological Sciences; 18: 1295-1306. Euser, S.M., Hofman, A., Westendorp, R.G.J., Breteler, M.B. 2009. Serum Uric Acid and Cognitive Function and Dementia. Brain; 132: 377-382.

Fang, F., Alderman, M.H. 2000. Serum Uric Acid and Cardiovascular mortality. The NHANES I epidemiologic follow up study. Jama; 283: 2404-2410.

Glantzounis, G.K., Tsimoyiannis, E.C., Kappas, A.M., Galaris, D.A. 2005. Uric Acid and Oxidative Stress. Current Pharmaceutical Design; 11: 4145-4151.

Giorgi, A.D., Fabbian, F., Pala, M., Tiseo, R., Parisi, C., Misurati, E., Manfredini, F. 2015. Uric Acid: Friend or Foe? Uric Acid and Cognitive Function “Gout Kills More Wise Men than Simple”. European Review for Medical and Pharmacological Sciences; 19: 640-646.

Gunawan, D. 2010. Mengenal tanda-tanda infeksi susunan saraf pusat. In: Basuki,A. dan Dian, S., editors. Neurology in daily practice. 2nd Ed. Bandung: FK UNPAD/RS Hasan

Sadikin.p.1-5.

Hediger, M.A., Johnson, R.J., Miyazaki, H., Endou, H. 2005. Molecular Physiology of Urate Transport. Physiology. 20:125-133.

Hernandez, E.M., Pacheco, J.S., Calderon, L.R., Valencia, A.T., Martinez, J.C., Salas, M.B., Carrion, O.A. 2015. Lower Uric Acid Linked with Cognitive Dysfunction in the Elderly. CNS and Neurological Disorder-Drug Targets; 14: 564-566.

Hong, J.Y., Lan, T.Y., Tang, G.J., Tang, C.H., Chen, T.J., Lin, H.Y. 2015. Gout and The Risk of Dementia: A Nationwide Population-Based Cohort Study. Arthritis Research and Therapy; 17: 139.

Husein, N., Lumempouw, S., Ramli, Y., Herqutanto. 2010. Uji Validitas dan Reliabilitas Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina) untuk Skrining Gangguan Fungsi Kognitif. Neurona; 27(4): 15-21.

Johnson, R.J., Kang, D.H., Feig, D., Kivlighn, S., Kannelis, J., Watanabe, S., Tuttle, K.R. 2003. Is there a Pathogenetic Role for Uric Acid in Hypertension and Cardiovascular and renal disease?. Hypertension, 41: 1183-1190.

(62)

Whites: A Report From The Einstein Aging Study. Alzheimer Dis Assoc Disord; 26(4): 335-343

Kruse, C.G., Meltzer, H.Y., Sennef, C., Van de Witte, S.V. 2006. The Meaning of Cognition in our society and health care system. In: Kruse, C.G. editor. Thinking about cognition: Concept, Targets, nd Therapeutics, the meaning of cognition in our society and health care system. Amsterdam. IOS press. p. 6.

Kusumastuti, K., Basuki, M. 2014. Definisi, Klasifikasi dan Etiologi Epilepsi. Dalam: Kusumastuti, K., Gunadharma, S., Kustiowati, E., editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi kelima. Airlangga University Press.

Korsten, N.H.J., Fragopanagos, N., Hartley, M., Taylor, N. 2006. Attention as a controller. Neural Network (19): 1408-1421.

Kusumoputro, S., Sidiarto, L. 2001. Otak menua dan Alzhemier stadium ringan. Neurona; 18(3): 4-8.

Kusumoputro, S. 2003. Memori Anda Setelah Usia 50. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Lezak, M.D., Howieson, D.B., Loring, D. W. 2004. Neuropsychological Assessment. 4th ed. Oxford University Press. New York.

Liu, B., Wang, T., Zhao, H.N., Yue, W.W., et al. 2011. The prevalence of hyperuricemia in China: a meta-analysis; B.et al. BMC Public Health. Available from: URL:http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/832.

Mayer, S. dan Chong J. 2002. Critical Care Management of Increased Intracranial Pressure. J of Intensive Care Medicine, 17:55-67.

Miller, C.A. 2011. Auditory Processing Theories of Language Disorders: Past, Present, and Future. Language, Speech, and Hearing services in schools. (42): 309-319. Mirani, E. 2009. “Pengaruh Konseling Genetika pada Tingkat Kecemasan dan Depresi terhadap Penentuan Gender Ambigus Genitalia” (tesis). Magister Ilmu Biomedik. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Mitchell, A.J. 2009. A meta-analysis of the accuracy of the mini-mental state examination in the detection of dementia and mild cognitive impairment. Journal of Psychiatric Research; 43:411–431.

Mitrushani, M. 2009. Cognitive Screening Methods. In: Grant, I., Adams, K.M., editors. Neuropsychological Assessment of Neuropsychiatric and Neuromedical Disorder. Third Edition. Oxford University Press, Inc. New York.

(63)

Munshi, M., Grande, L., Hayes, M., Ayres, D., Suhl, E., Capelson, R., Lin, S., Milberg, W., Weinger, K. 2006. Cognitive dysfunction is associated with poor diabetes control in older adults. Diabetes Care; 29(8). p.1794-1799.

Nasreddine, Z. S., Phillips, N.A., Bédirian, V., Charbonneau, S., Whitehead, V., Collin, I., Cummings, J. L., Chertkow, H. 2005. The Montreal Cognitive Assessment, MoCA: a brief screening tool for mild cognitive impairment. J Am Geriatr Soc; 53(4): 695-699.

Panggabean, M.M. 2006. Gagal Jantung. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbit IPD FKUI. Jakarta. p. 1513-1514

Patterson, C., Feightner, J.W., Garcia, A., Hsiung, G.Y., MacKnight, C., Sadovnick, A.D. 2008. Diagnosis and treatment of dementia: risk assessment and primary prevention of Alzheimer disease. CMAJ; 178(5): 548-556.

Pasqualloto, A and Proulx, M.J. 2012. The role of visual experience for the neural basic of spatial cognition. Neuroscience and Biobehavioural Reviews; (36)1179-1187. Perdossi. 2003. Konsensus Tatalaksana Penyakit Parkinson. Jakarta.

Perdossi. 2006. Konsensus Nasional Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. CV Prikarsa Utama. Jakarta

Perdossi. 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia. Kelompok Studi Neuro-Behaviour.

Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni. Jakarta. Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departmen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Rodwell, V.W. 2003. Metabolism of Purine & Pyrimidine Nucleotides, Dalam: Murray, R.K., Granner, D.K., Mayer, P.A., Rodwell, V.W., editors. Harper’s Illustrated Biochemistry. 26th edition. Lange Medical Books.McGraw-Hill, New York, p. 303-312.

(64)

Schretlen, D.J., Inscore, A.B., Jinnah, H.A., Rao, V., Gordon, B. Pearlson, G.D. 2007. Serum Uric Acid and Cognitive Function in Community Dwelling Older Adult. Neuropsychology; 21: 136-140.

Soegondo, S., Gustaviani, R. 2006. Sindrom Metabolik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbit IPD FKUI. Jakarta. p. 1871-1873.

Smith, T., Gildeh, N., Holmes, C. 2007. Brief Communication The Montreal Cognitive Assessment: Validity and Utility in a Memory Clinic Setting. Canadian Journal of Psychiatry 52(5): 329-332.

Squadrito, G.L., Cueto, R., Splenser, A.E., Valavanidis, A., Zhang, H., Uppu, R.M., Pryor, W.A. 2000. Reaction of Uric Acid with Peroxynitriteand Implications for the Mechanism of Neuroprotection by Uric Acid. Arch Biochem Biophys, 376:333-337. Strazzullo, P. and Apuig, J.C. 2007. Uric Acid and Oxidative Stress: Relative Impact on Cardiovascular Risk, Nutrition. Metabolism & Cardiovascular Diseases: 17, 409-414.

Suwitra, K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbit IPD FKUI. Jakarta. p. 581-584.

Visser, P. J., 2006. Mild Cognitive Impairment. In: Pathy, J., Sinclair, A. J., Morley, J. E., Editors. Principles and Practice of Geriatric Medicine, 4th Edition. New York: John Wiley & Sons, Ltd.

Waring, W.S., Webb, D.J., Maxwell, S.R.J. 2000. Uric Acid as a Faktor for Cardiovascular Disease. Q J Med, 93: 707-713.

Warlow, C., van Gijn, J., Dennis, M., Wardlaw, J., Bamford, J., Hankey, G. 2007. Stroke Practical Management Third Edition. Blackwell Publishing Inc. Massachusetts, USA.

Warner, D.S., Sheng, H., Batinic-Haberle, I. 2004. Oxidants, Antioxidant and the Ischemic Brain. The Journal of Experimental Biology, 207:3221-3231.

Wijoto, Poerwadi, T. 2011. Gangguan Neurobehavior. Dalam: Machfoed, M.H., Hamdan, M., Machin, A., Wardah, R.I., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University Press. Surabaya. P. 49-80.

Woodford, H.J and George, J. 2007. Cognitive assessment in the elderly: a review of clinical methods. QJM: An International Journal of Medicine. Vol 100. p. 469-484.

(65)
(66)

Lampiran 1

INFORMASI PASIEN

Peneliti mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/saudara dalam penelitian ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. Putu Gde Rothaarnada.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah kadar asam urat serum rendah meningkatkan risiko gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.

Dengarkan dengan seksama informasi ini sebelum Bapak/Ibu/saudara memutuskan apakah Bapak/Ibu/Saudara bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Peneliti akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya umtuk bertanya tentang penelitian ini.

Secara keseluruhan, 74 orang lansia di poliklinik geriatri RSUP Sanglah Denpasar termasuk Bapak/Ibu/Saudara akan berperan serta dalam penelitian ini. Bila Bapak/Ibu/Saudara memutuskan untuk berpartisipasi kami harap Bapak/Ibu/Saudara bersedia dilakukan wawancara, pemeriksaan klinis secara neurologi serta pemeriksaan laboratorium.

Dalam penelitian ini, peneliti atau petugas yang telah dilatih oleh peneliti akan mewawancarai dan menilai fungsi kognitif serta laboratorium Bapak/Ibu/Saudara yang menunjang penelitian ini. Selama penelitian Bapak/Ibu/Saudara tidak dikenakan biaya.

(67)

Bapak/Ibu/Saudara. Hasil penelitian ini mungkin akan dipublikasikan di forum ilmiah terbatas tanpa menampilkan identitas Bapak/Ibu/Saudara.

(68)

Lampiran 2

FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur : ... Jenis Kelamin : ... Pekerjaan : ... Telah membaca dengan seksama keterangan/informasi yang berkenaan dengan penelitian ini dan setelah mendapat penjelasan saya mengerti dan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.

Denpasar, ...

Peneliti Subyek penelitian

(69)

Lampiran 3

LEMBAR PENGUMPUL DATA

KADAR ASAM URAT SERUM RENDAH MENINGKATKAN RISIKO

GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT

1. Nomor penelitian 2. Nama

3. Nomor rekam medis 4. Umur (tahun) 5. Alamat

6. Nomor telepon/HP

7. Status subyek (1) Kasus (2) Kontrol

( )

8. Jenis Kelamin

(1) Laki-laki (2) Perempuan

( ) Pemeriksa: ………

Tanggal : ………...

(70)

9. Pendidikan (1) Tidak sekolah

(71)

15. Merokok (1) Ya

(2) Tidak ( )

16 Minum Alkohol (1) Ya

(2) Tidak ( )

17. HDRS Skor:

(1) Tidak depresi (2) Depresi

( )

18. MoCA-Ina Skor:

(1) Normal (> 26) (2) Terganggu (≤ 26)

( )

19. Pemeriksaan laboratorium:

Kadar asam urat serum ………… mg/dL

20 Kategori asam urat serum (1) Rendah (2) Normal/tinggi

(72)
(73)

Lampiran 5

SKALA PENILAIAN DEPRESI HAMILTON

(The Hamilton Rating Scale for Depression)

1. Keadaan perasaan depresi (sedih, putus asa, tidak berdaya, tak bergaul) 0 =tidak ada

1 =perasaan ini hanya dinyatakan bila ditanya 2 =perasaan ini dinyatakan secara verbal spontan

3 =perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal, misalnya : ekspresi mukanya, bentuk, suara, dan kecenderungan menangis

4 =pasien menyatakan perasaan yang sesungguhnya ini dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal secara spontan

2. Perasaan bersalah 0 =tidak ada

1 =menyalahkan diri sendiri, merasa sebagai penyebab penderitaan orang lain 2 =ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahan-kesalahan pada masa lalu 3 =sakit ini adalah sebagai hukumannya, delusi bersalah

4 =suara-suara kejaran atau tuduhan dengan/dan halusinasi penglihatan tentang hal-hal yang mengancam

3. Bunuh diri 0 =tidak ada

1 =merasa hidup tidak ada gunanya

2 =mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran lain ke arah itu 3 =ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu

Gambar

Gambar 2.1 Hubungan faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada lansia
Gambar 2.2. Bagan metabolisme purin dalam tubuh manusia
Tabel 2.1 Golongan obat-obat yang mempengaruhi kadar asam urat serum dan mekanisme kerjanya (Ausiello et al., 2005)
Gambar 2.3 Peran xanthine oxidoreductase (XOR) pada iskemia-reperfusi dan efek proteksi asam urat terhadap radikal bebas (CO3.- dan NO2.) yang merupakan reaksi dari peroksinitrit (ONOO-) dengan karbon dioksida (CO2)  (Glantzounis et al., 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Namun demikian, di sisi lain capaian tingkat kemajuan Natuna setelah hampir 14 tahun menjadi Kabupaten Natuna, ketidakadilan ekonomi, dan posisinya yang

Bekas militer-wajib dan bekas militer-sukarela adalah tenaga yang telah terdidik dan terlatih dalam olah-jurit, Dalam keadaan darurat atau keadaan perang yang pada umumnya

Perbedaan: merancang ulang map berkas rekam medis rawat jalan sebelumnya sudah ada dengan menyesuaikan kebutuhan yang ada di UPT Puskesmas Wonosari II dengan merancang

Rematik dapat menyerang hampir semua sendi, tetapi yang paling sering diserang adalah sendi di pergelangan tangan, buku-buku jari, lutut dan engkel kaki. Sendi-sendi lain yang

Bahwa Majelis Hakim pada Pengadilan Militer bukanlah merupakan algojo dalam penegakan hukum militer dan pemecatan adalah bukan satu-satunya cara untuk membuat

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

kondisi baseline 1 (B) pada sesi pertama sampai sesi ke enam datanya tidak stabil ( variabel ) yaitu 42,8% sedangkan ppada subyek RZ juga mendapatkan kategori