• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PENDERITA TUMOR NASOFARING DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN USU DAN RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROFIL PENDERITA TUMOR NASOFARING DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN USU DAN RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN TESIS"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

DAN RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2013

TESIS

Disusun Oleh:

NANCY SARTIKA TAMBUNAN NIM : 107108003

MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK PATOLOGI ANATOMI DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

DAN RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2013

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Patologi Anatomi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

NANCY SARTIKA TAMBUNAN NIM : 107108003

MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK PATOLOGI ANATOMI DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN - 2015

(3)

Judul Penelitian : Profil Penderita Tumor Nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2013

Nama : Nancy Sartika Tambunan

NIM : 107108003

Program Studi : Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Patologi Anatomi

TESIS INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH : Pembimbing I

dr. H. Soekimin, Sp. PA(K) NIP. 194808011 198003 1 002

Pembimbing II

dr. T. Kemala Intan, MPd NIP. 19620424 199903 2 002

Ketua Program Studi Patologi Anatomi FK USU

Ketua Departemen Patologi Anatomi FK USU

dr. H. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K) NIP. 19630219 199003 1 001

dr. T.Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D.Bioet NIP. 19620212 198911 1 001

(4)

Judul Penelitian

LEMBAR PANITIA UJIAN

: Profil Penderita Tumor Nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2013 Nama : Nancy Sartika Tambunan

NIM : 107108003

Diuji pada

Hari/Tanggal : Kamis / 12 November 2015 Pembimbing : 1. dr. H. Soekimin, Sp.PA(K)

2. dr. T. Kemala Intan, M.Pd

Penguji : 1. dr. H. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K) 2. dr. H. Joko S.Lukito, Sp.PA(K)

(5)

PERNYATAAN

Profil Penderita Tumor Nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan

Tahun 2011-2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruaan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan ini.

Yang menyatakan Penulis

dr. Nancy Sartika Tambunan NIM : 107108003

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian Magister yang berjudul “Profil Penderita Tumor Nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2013”. Tesis ini adalah salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister Kedokteran Patologi Anatomi (M. Ked (PA)) dalam Program Magister Kedokteran Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

 Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universits Sumatera Utara.

 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD (KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

 Pembimbing I (dr. H.Soekimin, Sp.PA (K)) dan Pembimbing II (dr. T.

Kemala Intan, M.Pd) yang penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.

 Penguji I (dr. H. Delyuzar, M. Ked (PA), Sp.PA(K)) dan Penguji II (dr. H.

Joko S. Lukito, Sp.PA (K)) yang telah bersedia menguji, mengoreksi dan memberikan saran-saran pada penulisan tesis ini.

 Kepala Instalasi dan staf Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik Medan, dr. Sumondang M. Pardede, Sp.PA, dr. Jamaluddin Pane, Sp.PA,

(7)

dr. Stephan Udjung, Sp.PA, dr. Lely Hartati, M. Ked (PA), Sp.PA, dan dr.

H. Sutoyo Eliandi, M. Ked (PA), SpPA yang telah memberikan tempat dan mengizinkan penulis untuk mengambil sampel data penelitian ini.

 Dosen Pembimbing Akademik, dr. H. Delyuzar, M. Ked (PA), Sp.PA(K) atas bimbingan dan masukan-masukan selama penulis menjalankan program pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

 Dewan guru lainnya yakni Prof. dr. H. M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp. PA(K), dr. Betty, M. Ked (PA), Sp.PA, dr. Lidya Imelda Laksmi,

M.Ked (PA), Sp.PA, dan dr. Jessy Chrestella, M. Ked (PA), Sp.PA atas bimbingan dan masukan-masukan selama penulis menjalani pendidikan Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

 Kedua orang tua, Ibunda Meryati. R. Simajuntak dan Ayahanda dr.

Waldemar Tambunan, Sp.PA (Alm), yang telah membesarkan, mendidik dan senatiasa mendoakan dengan penuh kasih sayang yang tulus. Juga tak terlupakan abanganda dr. Freddy T. J. Tambunan, Sp.PA (Alm) yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

 Suami tercinta, Anton Herry Sianturi dan anak-anak tercinta Arief Soritua Sianturi dan Agnes Maria Geraldine Sianturi atas cinta, kasih sayang, pengertian, pengorbanan, kesabaran, serta doa yang tulus yang diberikan kepada penulis.

 Ibu mertua C. A. Gultom (Almh) dan Ayah mertua T. Sianturi, SKM atas doa dan dukungannya.

 Keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan dukungannya.

 Teman-teman PPDS di Departemen Patologi Anatomi atas semangat, dukungan dan persahabatannya selama ini.

(8)

 Pegawai di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, M. Husin Kurniawan, Mas Sumitro, Yusni Abdillah, kak Nafiah, Sartika Ningsih atas bantuannya selama ini

Akhir kata, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu mendapatkan koreksi dan masukan untuk kesempurnaannya. Segala masukan dan saran akan penulis terima dengan besar hati. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Penulis,

Nancy Sartika Tambunan

(9)

DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN ……….. i

LEMBAR PANITIA UJIAN ……….. ii

LEMBAR PERNYATAAN ……… iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. iv

DAFTAR ISI ………... vii

DAFTAR TABEL ……….. x

DAFTAR GAMBAR……….. xi

DAFTAR SINGKATAN ……….... xii

ABSTRAK ……….. xiii

ABSTRACT ……… xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ………… ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 3

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4

1.3.1. Tujuan Umum ……… 4

1.3.2. Tujuan Khusus ………... 4

1.4. Manfaat Penelitian………. 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 5

2.1. Anatomi dan Histologi Nasofaring .……….. 5

2.2. Tumor Nasofaring ……….... 7

2.2.1. Epidemiologi ………. 7

2.2.2. Etiologi dan Patogenesis ……… 8

2.2.3. Diagnosis …..………. 10

2.2.3.1. Gejala ……...………... 10

2.2.3.2. Pemeriksaan Nasofaring ………. 11

2.2.3.3. Radiologi ………. 11

2.2.3.4. Serologi ………... 13

2.2.3.5. Pemeriksaan Patologi ……….. 14

2.2.3.5.1. Biopsi Aspirasi Jarum Halus Pada Kelenjar Getah Bening Servikalis ……….. 14

2.2.3.5.2. Biopsi Jaringan ……… 14

2.2.4. Gambaran Klinis ………...…………. 15

2.2.5. Klasifikasi ……….………. 16

2.3. Tumor Jinak Epitel Nasofaring ……… 17

2.3.1. Hairy polyp ……….……….. 17

2.3.2. Schneiderian type papilloma ………. 17

2.3.3. Squamous papilloma ………. 21

2.3.4. Ectopic pituitary adenoma ……… 21

2.3.5. Salivary gland anlage tumour ……… 22

2.3.6. Craniopharyngioma ………... 23

2.4. Tumor Ganas Epitel Nasofaring ……… 24

2.4.1. Nasopharyngeal carcinoma ……… 24

(10)

2.4.1.1. Non keratinizing squamous

cell carcinoma……… 24

2.4.1.2. Keratinizing squamous cell carcinoma ………... 27

2.4.1.3. Basaloid squamous cell carcinoma ……… 28

2.4.2. Nasopharyngeal papillary adenocarcinoma ……… 29

2.4.3. Salivary gland-type carcinoma ………. 30

2.5. Soft Tissue Neoplasm .………….………. 31

2.6. Haematolymphoid tumours .….………. 33

2.6.1. Hodgkin lymphoma ..……….. 33

2.6.2. Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) ….…….… 34

2.6.3. Extranodal NK/T cell lymphoma ………... 35

2.6.4. Follicular dendritic cell sarcoma/tumour (FDCT) ………... 36

2.6.5. Extramedullary plasmacytoma (EMP) ..…………... 37

2.7. Tumours of bone and cartilage ……….………..……….. 38

2.8. Klasifikasi TNM dan Stadium Klinis ……..……..……... 40

2.9. Penatalaksanaan ……….……….. 41

2.10. Prognosis ……… 42

2.11. Kerangka Teori ………... 43

BAB 3. METODE PENELITIAN ..……… 44

3.1. Rancangan Penelitian ……….. 44

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 44

3.2.1. Tempat Penelitian ………. 44

3.2.2. Waktu Penelitian ……….. 44

3.3. Subjek Penelitian ………...……….. 44

3.3.1. Populasi ……… 44

3.3.2. Sampel ………….………. 45

3.4. Kriteria Penelitian …………...………. 45

3.4.1. Kriteria Inklusi …….……….……… 45

3.4.2. Kriteria Eksklusi .……….………. 45

3.5. Variabel Penelitian …….………..……… 46

3.6. Kerangka Operasional .………….……… 46

3.7 .Definisi Operasional ………. 47

3.8. Cara Kerja …...……….. 47

3.9. Analisa Data ………. 48

BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 49

4.1. Hasil Penelitian ……… 49

4.1.1. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan tahun diagnosis ………... 51

4.1.2. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan usia ………… ……… 51

4.1.3. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan jenis kelamin ……….. 53

(11)

4.1.4. Distribusi penderita tumor nasofaring pada

laki-laki berdasarkan kelompok usia ………. 54

4.1.5. Distribusi penderita tumor nasofaring pada perempuan berdasarkan kelompok usia. …………. 55

4.1.6. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan tipe histopatologi……….. 56

4.1.7. Distribusi tipe histopatologi tumor nasofaring berdasarkan jenis kelamin ………... 57

4.2. Pembahasan ……… 58

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 61

5.1. Kesimpulan ……….. 61

5.2. Saran ……… 61

DAFTAR PUSTAKA ……….. 62

LAMPIRAN 1. Tabel Review Slaid ……….……… 65

LAMPIRAN 2. Master Data ……… 68

LAMPIRAN 3. Analisa Statistik ……….. 71

LAMPIRAN 4. Surat Tanda Bukti Telah Dilakukan Pembacaan Ulang Slaid ………. 73

LAMPIRAN 5. Surat Izin Pengambilan Data dan Peminjaman Slaid dari Laboratorium Patologi Anatomi FK USU..… 74

LAMPIRAN 6. Surat Izin Pengambilan Data dan Peminjaman Slaid dari Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik Medan ………..………… 75

LAMPIRAN 7.Gambar-Gambar Mikroskopis Sampel Tumor .………… 76

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Formula Digby ……… 10 Tabel 2.1. Klasifikasi histologi tumor nasofaring menurut

WHO (2005) ………...………. 16 Tabel 2.2. Klasifikasi TNM dari karsinoma nasofaring ...……….. 40 Tabel 4.1. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan tahun

diagnosis ……….. 51

Tabel 4.2. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan usia ………. 52 Tabel 4.3. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan jenis

kelamin ……….………... 53 Tabel 4.4. Distribusi penderita tumor nasofaring pada laki-laki

berdasarkan kelompok usia ……… 54 Tabel 4.5. Distribusi penderita tumor nasofaring pada perempuan

berdasarkan kelompok usia ……… 55 Tabel 4.6. Distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan tipe

histopatologi ………... 56 Tabel 4.7. Distribusi tipe histopatologi tumor nasofaring

berdasarkan jenis kelamin ……….. 57

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1.

Gambar 2.2.

Gambar 2.3.

Gambar 2.4.

Gambar 2.5.

Gambar 2.6.

Gambar 2.7.

Gambar 2.8.

Gambar 2.9.

Gambar 2.10.

Gambar 2.11.

Gambar 2.12.

Gambar 2.13.

Gambar 2.14.

Gambar 2.15.

Gambar 2.16.

Gambar 2.17.

Gambar 2.18.

Gambar 2.19.

Gambar 2.20.

Gambar 2.21.

Gambar 2.22.

Gambar 4.1.

Anatomi nasofaring ………...

Histologi nasofaring ……...………...

Karsinoma nasofaring dengan infiltrasi lokal dilihat dengan MRI ………...

Hairy polyp ………....………...

Inverted papilloma ……….………...

Oncocytic papilloma ………...

Exophytic papilloma ..………...

Ectopic pituitary adenoma ………….………...

Salivary gland anlage tumour .……..………...

Non keratinizing squamous cell carcinoma, differentiated type ………..

Non keratinizing squamous cell carcinoma,undifferentiated type ………..

Undifferentiated type ………...

Keratinizing squamous cell carcinoma………

Basaloid squamous cell carcinoma ……….

Nasopharyngeal papillary adenocarcinoma ………...

Adenoid cystic carcinoma ………...

Nasopharyngeal angiofibroma ………

Mixed cellularity classical Hodgkin lymphoma ………..

Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) ………

NK/T cell lymphoma ………

Follicular dendritic cell tumour (FDCT) ………

Chordoma ………....

Gambaran umum data kasus tumor nasofaring tahun

2011-2013 ………

6 7 13 17 19 20 20 22 23 25 25 26 27 28 30 31 33 34 35 36 37 39 51

(14)

DAFTAR SINGKATAN

THT = Telinga Hidung Tenggorok HLA = Human Leucocyte Antigen WHO = World Health Organization DNA = Deoxyribo Nucleic Acid VCA = Viral Capsid Antigen EA = Early Antigen Complex

CT = Computed Tomography

MRI = Magnetic Resonance Imaging HE = Haematoxylin Eosin

GH = Growth Hormone

ACTH = Adrenocorticotropic Hormone TSH = Thyroid-Stimulating Hormone FSH = Follicle-Stimulating Hormone LH = Luteinizing Hormone

UICC = Union Internationale Centre Cancer AJCC = American Joint Committee on Cancer TNM = Tumor Nodul Metastasis

(15)

ABSTRAK

PROFIL PENDERITA TUMOR NASOFARING DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU DAN RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2013

Nancy Sartika Tambunan, Soekimin, T. Kemala Intan

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Latar belakang : Tumor nasofaring merupakan semua jenis tumor yang berasal dari epitel pelapis (parenkim) maupun mesenkim pada nasofaring. Tumor ini bisa berupa tumor jinak maupun ganas. Tumor jinak nasofaring jarang ditemukan, yang lebih sering dijumpai adalah yang berasal dari soft tissue, yaitu nasopharyngeal angiofibroma. Angka kejadian tumor ini kurang dari 1% dari seluruh tumor nasofaring, predileksi pada laki-laki, dan sering dijumpai pada dekade kedua kehidupan. Sedangkan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan (karsinoma nasofaring) relatif lebih sering dijumpai dengan angka kejadian sekitar 0,25% dari seluruh keganasan, perbandingan pria dan wanita adalah 2-3 berbanding 1, dan usia produktif merupakan kelompok usia yang sering menderita karsinoma nasofaring.

Tujuan : Untuk mengetahui profil tumor nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011-2013.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif, dan pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Dilakukan pengumpulan data dari rekam medik penderita tumor nasofaring yang telah dilakukan pemeriksaan histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik tahun 2011-2013, dicatat data usia dan jenis kelamin, kemudian dilakukan pengumpulan slaid berdasarkan data rekam medik di atas. Dilakukan pembacaan ulang semua slaid yang didiagnosa sebagai tumor nasofaring oleh peneliti dan dua orang dokter spesialis Patologi Anatomi untuk menentukan tipe histopatologinya, kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2005, dan dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Hasil : Dari 95 sampel penelitian ini, tumor nasofaring paling banyak terjadi pada kelompok usia 48-57 tahun (25,3%), dan paling sering dijumpai pada laki-laki (68,4%) dibandingkan perempuan (31,6%). Tipe histopatologi NKSCC differentiated type menjadi tumor terbanyak dijumpai sebanyak 43 kasus (45,3%) diikuti olehNKSCC undifferentiated type sebanyak 31 kasus (32,6%).

Kata kunci : tumor nasofaring, parenkim, mesenkim

`

(16)

ABSTRACT

THE PROFILE OF PATIENTS WITH NASOPHARYNGEAL TUMORS IN LABORATORY OF ANATOMICAL PATHOLOGY FACULTY OF MEDICINE USU AND RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN IN 2011–2013

Nancy Sartika Tambunan, Soekimin, T. Kemala Intan

Department of Anatomical Pathology Faculty of Medicine University of Sumatera Utara

Background: Nasopharyngeal tumors are all tumors from the lining epithelium (parenchyma) and mesenchyme origin in the nasopharynx. These tumors can be benign or malignant. Benign tumors of the nasopharynx are rare, the more frequently encountered comes from the soft tissue that is nasopharyngeal angiofibroma. The incidence of this tumor is less than 1% of all tumors of the nasopharynx, a predilection for males, and often found in the second decade of life. Whereas malignant tumors derived from epithelial surface (nasopharyngeal carcinoma) is relatively more common with the incidence rate of about 0.25% of all malignancies, male and female ratio is 2-3 to 1, and occur in productive ages.

Objective : To find out the profile of patients with nasopharyngeal tumors in Laboratory of Anatomical Pathology Faculty of Medicine USU and RSUP Haji Adam Malik Medan in 2011-2013.

Method : This research is a descriptive study with retrospective approach, and consecutive sampling. Data was collected from medical records of patients with nasopharyngeal tumors that had done histopathology in the Laboratory of Anatomical Pathology Faculty of Medicine USU and RSUP Haji Adam Malik in 2011-2013, that also had of age and gender. The slides were reviewed and diagnosed as nasopharyngeal tumor by researcher assessed to two person of Anatomical Pathologist to determine histopathologic type, then classified according to the type, based on the classification of WHO 2005 and grouped according to age and gender.

Results : From 95 samples of this study, the most frequently nasopharyngeal tumors was occurred in 48-57 age group (25,3%). The predilection is more often in men (68,4%) than women (31,6%). The most frequently histopathologic type was NKSCC differentiated type, we found 43 cases (45,3%), followed by NKSCC undifferentiated type, we found 31 cases (32,6%).

Keyword: nasopharyngeal tumors, parenchyme, mesenchyme

(17)

ABSTRAK

PROFIL PENDERITA TUMOR NASOFARING DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU DAN RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2013

Nancy Sartika Tambunan, Soekimin, T. Kemala Intan

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Latar belakang : Tumor nasofaring merupakan semua jenis tumor yang berasal dari epitel pelapis (parenkim) maupun mesenkim pada nasofaring. Tumor ini bisa berupa tumor jinak maupun ganas. Tumor jinak nasofaring jarang ditemukan, yang lebih sering dijumpai adalah yang berasal dari soft tissue, yaitu nasopharyngeal angiofibroma. Angka kejadian tumor ini kurang dari 1% dari seluruh tumor nasofaring, predileksi pada laki-laki, dan sering dijumpai pada dekade kedua kehidupan. Sedangkan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan (karsinoma nasofaring) relatif lebih sering dijumpai dengan angka kejadian sekitar 0,25% dari seluruh keganasan, perbandingan pria dan wanita adalah 2-3 berbanding 1, dan usia produktif merupakan kelompok usia yang sering menderita karsinoma nasofaring.

Tujuan : Untuk mengetahui profil tumor nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011-2013.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif, dan pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Dilakukan pengumpulan data dari rekam medik penderita tumor nasofaring yang telah dilakukan pemeriksaan histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik tahun 2011-2013, dicatat data usia dan jenis kelamin, kemudian dilakukan pengumpulan slaid berdasarkan data rekam medik di atas. Dilakukan pembacaan ulang semua slaid yang didiagnosa sebagai tumor nasofaring oleh peneliti dan dua orang dokter spesialis Patologi Anatomi untuk menentukan tipe histopatologinya, kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2005, dan dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Hasil : Dari 95 sampel penelitian ini, tumor nasofaring paling banyak terjadi pada kelompok usia 48-57 tahun (25,3%), dan paling sering dijumpai pada laki-laki (68,4%) dibandingkan perempuan (31,6%). Tipe histopatologi NKSCC differentiated type menjadi tumor terbanyak dijumpai sebanyak 43 kasus (45,3%) diikuti olehNKSCC undifferentiated type sebanyak 31 kasus (32,6%).

Kata kunci : tumor nasofaring, parenkim, mesenkim

`

(18)

ABSTRACT

THE PROFILE OF PATIENTS WITH NASOPHARYNGEAL TUMORS IN LABORATORY OF ANATOMICAL PATHOLOGY FACULTY OF MEDICINE USU AND RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN IN 2011–2013

Nancy Sartika Tambunan, Soekimin, T. Kemala Intan

Department of Anatomical Pathology Faculty of Medicine University of Sumatera Utara

Background: Nasopharyngeal tumors are all tumors from the lining epithelium (parenchyma) and mesenchyme origin in the nasopharynx. These tumors can be benign or malignant. Benign tumors of the nasopharynx are rare, the more frequently encountered comes from the soft tissue that is nasopharyngeal angiofibroma. The incidence of this tumor is less than 1% of all tumors of the nasopharynx, a predilection for males, and often found in the second decade of life. Whereas malignant tumors derived from epithelial surface (nasopharyngeal carcinoma) is relatively more common with the incidence rate of about 0.25% of all malignancies, male and female ratio is 2-3 to 1, and occur in productive ages.

Objective : To find out the profile of patients with nasopharyngeal tumors in Laboratory of Anatomical Pathology Faculty of Medicine USU and RSUP Haji Adam Malik Medan in 2011-2013.

Method : This research is a descriptive study with retrospective approach, and consecutive sampling. Data was collected from medical records of patients with nasopharyngeal tumors that had done histopathology in the Laboratory of Anatomical Pathology Faculty of Medicine USU and RSUP Haji Adam Malik in 2011-2013, that also had of age and gender. The slides were reviewed and diagnosed as nasopharyngeal tumor by researcher assessed to two person of Anatomical Pathologist to determine histopathologic type, then classified according to the type, based on the classification of WHO 2005 and grouped according to age and gender.

Results : From 95 samples of this study, the most frequently nasopharyngeal tumors was occurred in 48-57 age group (25,3%). The predilection is more often in men (68,4%) than women (31,6%). The most frequently histopathologic type was NKSCC differentiated type, we found 43 cases (45,3%), followed by NKSCC undifferentiated type, we found 31 cases (32,6%).

Keyword: nasopharyngeal tumors, parenchyme, mesenchyme

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumor nasofaring merupakan semua jenis tumor yang berasal dari epitel pelapis (parenkim) maupun mesenkim pada nasofaring. Tumor nasofaring baik yang berasal dari parenkim maupun mesenkim bisa berupa tumor jinak maupun ganas. Tumor jinak nasofaring yang berasal dari parenkim berupa polip maupun papilloma, sedangkan yang berasal dari mesenkim adalah angiofibroma.

Keganasan pada nasofaring sebagian besar adalah yang berasal dari parenkim, yaitu karsinoma nasofaring.1,2,3

Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang dijumpai di Amerika Serikat, dengan angka kejadian sekitar 0,25% dari seluruh keganasan.

Namun insidensi karsinoma yang tertinggi di dunia terdapat pada penduduk daratan Cina bagian selatan (Mongoloid), dengan angka rata-rata 30-50/100.000 penduduk per tahun. Insidensi terendah dijumpai pada bangsa Kaukasia, Jepang dan India. Perbandingan antara pria dengan wanita adalah 2-3 berbanding 1. Usia produktif (30-60 tahun) merupakan kelompok usia yang paling sering menderita karsinoma nasofaring, dengan angka kesakitan terbanyak adalah pada kelompok usia 40-50 tahun.1,2,3

Penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung (1999) menemukan dari 31.875 penderita baru yang berobat ke poliklinik THT RSUP DR. Sardjito pada tahun 1991-1995, sebanyak 1001 (3,40%) yang menderita tumor ganas di bagian

(20)

THT (Telinga Hidung Tenggorok), dengan angka kejadian pada laki-laki sebanyak 69,50%, dan kelompok usia yang paling banyak adalah di bawah usia 50 tahun (61,84%).4,5

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Siahaan (1999), dari 569.948 penderita baru yang berobat ke poliklinik RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 1991-1995, 576 (0,1%) menderita tumor ganas THT dan kepala leher. Penderita terbanyak adalah laki-laki (65,27%) dan kelompok usia yang sering terkena adalah di bawah usia 50 tahun (50,86%).5,6

Sedangkan penelitian Lutan (2003) di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002, menemukan 130 penderita karsinoma nasofaring dari 1.370 pasien baru onkologi kepala dan leher.7 Penelitian Munir (2006) di kota Medan pada bulan April 2005 sampai April 2006, menemukan bahwa karsinoma nasofaring paling banyak dijumpai pada laki-laki yaitu sebanyak 33 penderita (60%), jenis histopatologi yang terbanyak adalah undifferentiated carcinoma sebanyak 29 penderita (53%).8 Penelitian Munir (2008) di kota Medan menemukan bahwa perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 3: 2, umur penderita paling muda adalah 21 tahun dan yang paling tua 77 tahun, dengan rata-rata umur penderita 48,8 tahun.9

Piasiska (2010) melakukan penelitian terhadap penderita karsinoma nasofaring di kota Medan tahun 2009, dengan hasil penderita terbanyak adalah laki-laki (65,36%), kelompok usia yang sering terkena adalah 38-46 tahun (28,11%), dan subtipe terbanyak adalah undifferentiated carcinoma (51,63%).10

Virus Epstein-Barr dan kebiasaan mengkonsumsi ikan asin telah lama dikenal sebagai salah satu faktor risiko karsinoma nasofaring. Virus Epstein Barr

(21)

bersifat dormant di dalam tubuh dan diaktifkan oleh suatu mediator. Konsumsi ikan asin dalam waktu lama diduga merupakan mediator pengaktivasi virus Epstein Barr sehingga menyebabkan timbulnya karsinoma nasofaring. 1,2,3

Beberapa mediator yang mempengaruhi terjadinya tumor nasofaring diantaranya adalah: ikan asin, makanan yang diawetkan (mengandung nitrosamin), kondisi sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup yang tidak higienis, kontak dengan karsinogenik seperti benzopyrene, benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu, ekstrak tumbuhan, faktor ras dan keturunan, radang kronis pada nasofaring, serta profil HLA (Human Leucocyte Antigen). 1,2,3

Gejala dan tanda klinis tumor-tumor nasofaring hampir mirip, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menentukan tipe histopatologinya. Klasifikasi histologi tumor nasofaring menurut WHO (tahun 2005) dibagi atas: (1) Malignant epithelial tumours, (2) Benign epithelial tumours, (3) Soft tissue neoplasms, (4) Haematolymphoid tumours, (5) Tumours of bone and cartilage, dan (6) Secondary tumours.1

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin mengetahui:

“Bagaimana profil penderita tumor nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011- 2013”.

(22)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui profil tumor nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah kasus tumor nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2013.

2. Untuk mengetahui distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan tipe histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2013.

3. Untuk mengetahui distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan usia di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2013.

4. Untuk mengetahui distribusi penderita tumor nasofaring berdasarkan jenis kelamin di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2013.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan informasi atau data ilmiah tentang profil penderita tumor nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2013.

2. Diharapkan data yang diperoleh pada penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Nasofaring

Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang terletak di atas langit-langit lunak, dan memiliki dinding anterior, posterior, dan lateral.Dindinganterior dilubangi oleh nares posterior (koana). Dinding posterior berupa lengkungan yang meliputi atap nasofaring, begitu juga bagian posterior dasar tengkorak. Dinding posterior meluas ke inferior dan, pada tingkat proyeksi horisontal dari langit-langit lunak, berlanjut ke inferior sebagai dinding posterior orofaring. Dinding anterior dan posterior dihubungkan oleh dinding lateral ke tuba eustachius.1,9,10

Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius.

Orifisium ini dibatasi di bagian superior dan posterior oleh torus tubarius. Hal ini mengakibatkan penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat orifisium tuba eustachius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering terjadinya karsinoma nasofaring. Pada atap sering dijumpai lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa pada bagian superior dari nasofaring.1,9,10

(24)

Gambar 2.1. Anatomi nasofaring.11

Pada orang dewasa¸ mukosa nasofaring mempunyai luas permukaan kira- kira 50 cm2. Sebagian besar dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis, dan sekitar 40% dilapisi oleh epitel kolumnar tipe respiratorius. Epitel skuamosa terutama melapisi dinding anterior dan posterior bagian bawah, juga pada setengah bagian dari dinding lateral. Epitel kolumnar bersilia tipe respiratorius sebagian besar melapisi daerah nares posterior (koana) dan atap dinding posterior. Batas antara epitel skuamosa dan repiratorius mungkin tegas, atau mungkin terdapat zona epitel transisional atau intermediet, berupa sel-sel basaloid dengan sitoplasma minimal, dan biasanya berbentuk kuboid atau bulat.1,11,12

Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta yang menjorok ke dalam stroma. Stroma kaya akan jaringan limfoid yang sering dengan folikel limfoid yang reaktif. Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi oleh sel-sel limfoid yang banyak, yang meluas dan mengubah epitel sehingga menghasilkan pola retikular. Beberapa kelenjar seromusinus dapat dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat di mukosa hidung.1,11,12

(25)

Gambar 2.2. Histologi nasofaring. Epitel pelapis nasofaring terdiri dari epitel transisional dengan stroma yang kaya jaringan limfoid.11

2.2. Tumor Nasofaring 2.2.1. Epidemiologi

Tumor jinak nasofaring jarang ditemukan, sedangkan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan nasofaring (karsinoma nasofaring) relatif lebih sering dijumpai. Tumor jinak yang relatif sering dijumpai adalah tumor yang berasal dari soft tissue, yaitu nasopharyngeal angiofibroma. Insidensi tumor ini kurang dari 1% dari seluruh tumor nasofaring, predileksi pada laki-laki, sering dijumpai pada dekade kedua kehidupan, namun jarang ditemukan pada penderita dengan usia di atas 25 tahun. Karsinoma nasofaring dapat dijumpai pada semua umur, namun sangat jarang terdapat penderita dengan usia di bawah 20 tahun.

Prevalensinya antara usia 45-54 tahun. Perbandingan antara jenis kelamin laki- laki dan wanita adalah 2-3 berbanding 1. Di Amerika Serikat dilaporkan insidensi tumor ini kurang dari 1 dalam 100.000 populasi (National Cancer Institute, 2009).1,13,14

Pada beberapa propinsi di Cina, kasus karsinoma nasofaring memiliki insidensi yang cukup tinggi yaitu 15-30 per 100.000 populasi. Bahkan di Hong

(26)

Kong dan Guangzhou angka ini mencapai 10-150 kasus per 100.000 populasi per tahun.1,13

Karsinoma nasofaring menempati urutan kelima tumor ganas di Indonesia.

Bahkan karsinoma nasofaring memiliki persentase sebanyak 60% dari keseluruhan tumor ganas pada kepala dan leher. Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia pada tahun 1980 adalah 4,7 per 100.000 populasi atau 7.000-8.000 kasus per tahun (Departemen Kesehatan Republik Indonesia). Di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2002-2007 ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring.14

2.2.2. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi tumor nasofaring belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor risiko yang sering diidentifikasi sebagai penyebab karsinoma nasofaring antara lain adalah infeksi virus Epstein-Barr, faktor genetik, faktor lingkungan dan gaya hidup.1,2,3,15,16

Epstein, Barr dan Achong (tahun 1964) pertama kali melaporkan virus ini.

Tidak hanya karsinoma nasofaring, beberapa penyakit telah dilaporkan berkaitan dengan infeksi virus Epstein Barr, diantaranya mononukleosis infeksiosa dan limfoma-Burkitt.1,2,3,15,16

Virus Epstein Barr tergolong virus DNA dari kelompok herpes. Terdapat reaksi antigen antibodi akibat infestasi virus ini. Dilaporkan adanya peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen complex (EA) dan dijumpainya genom virus pada sel tumor. Karsinoma nasofaring diakibatkan oleh proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi virus Epstein

(27)

Barr. Protein viral laten (latent membrane protein 1 dan 2) menyebabkan proliferasi dan pertumbuhan yang invasif pada karsinoma nasofaring.1,2,15,16

Dijumpainya Human Leucocyte Antigen (HLA) yang serupa pada penderita karsinoma nasofaring yang telah bermigrasi ke negara-negara di luar Cina dengan penderita di negara Cina memberikan dugaan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis karsinoma nasofaring. Munir (2008) menemukan bahwa alel gen tertinggi pada penderita karsinoma nasofaring suku Batak adalah gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301, sedangkan alel yang menyebabkan kerentanan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08.9

Kebiasaan mengkonsumsi ikan asin dengan kandungan nitrosamin yang tinggi, paparan dengan karsinogenik, seperti benzopyrene, gas kimia, asap industri, asap obat nyamuk dan asap rokok, merupakan hal-hal yang diduga berperan penting dalam terjadinya karsinoma nasofaring.1,8,14

Beberapa penelitian epidemiologik mendukung hipotesa yang menyatakan bahwa seringnya mengkonsumsi ikan asin sebelum usia 10 tahun berkaitan erat dengan peningkatan risiko terjadinya karsinoma nasofaring.1,8,14

(28)

2.2.3. Diagnosis

Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan nasofaring, radiologi, serologi, dan pemeriksaan patologi.

2.2.3.1. Gejala

Pada karsinoma nasofaring, formula Digby menjelaskan bahwa setiap gejala mempunyai nilai diagnostik, dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan suatu karsinoma nasofaring.

Tabel 2.1. Formula Digby17

Gejala Nilai

Massa terlihat pada nasofaring Gejala khas di hidung

Gejala khas pendengaran

Sakit kepala unilateral atau bilateral Gangguan neurologik syaraf otak Eksoftalmus

Limfadenopati leher

25 15 15 5 5 5 25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinis karsinoma nasofaring dapat dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinis jelas menunjukkan suatu karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.17

(29)

2.2.3.2. Pemeriksaan Nasofaring

Pada kasus-kasus yang mengarah pada karsinoma nasofaring, perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh daerah kepala dan leher, terutama di nasofaring. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan nasofaringoskop kaku atau fleksibel. Inspeksi yang menyeluruh sangat diperlukan dalam pemeriksaan fisik.14

Pembengkakan pada kelenjar getah bening terutama daerah mastoid, atau dalam muskulus sternokleidomastoideus, serta di bagian belakang angulus mandibula, maka sebaiknya dipertimbangkan adanya metastasis dari karsinoma nasofaring.14

2.2.3.3. Radiologi

Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang dapat dipergunakan untuk mengkonfirmasi adanya tumor pada nasofaring dan menentukan lokasi tumor, serta dalam membimbing tindakan biopsi untuk menghasilkan sediaan yang adekuat bagi pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan radiologi juga dapat memperlihatkan penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.14,16

Untuk evaluasi karsinoma nasofaring dapat dilakukan beberapa pemeriksaan radiologi, diantaranya: X-ray nasofaring dan basis kranii pada posisi lateral, submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitomental dan oksipitofrontal, dan foto toraks postero-anterior pada evaluasi suatu metastasis paru.14,16

CT-scan nasofaring dapat dilakukan untuk memperlihatkan adanya tumor pada fossa Rosenmuller di stadium awal. Pada CT-scan, fossa Rosenmuler akan terlihat sebagai penebalan otot levator veli palatini dan obliterasi atau

(30)

penumpulan sudut resesus setempat sehingga terlihat gambaran yang asimetris dalam rongga nasofaring.14,16

CT-scan nasofaring juga dapat melihat adanya metastasis tumor ke jaringan sekitar serta berguna dalam mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial.

CT-scan dapat dilakukan dengan menggunakan zat kontras ataupun tanpa zat kontras. Zat kontras terutama digunakan apabila sulit menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu dapat pula menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan, adanya metastasis dan juga akibat komplikasi paska radioterapi, seperti nekrosis lobus temporal dan atropi kelenjar hipofise.14,16

CT-scan berperan dalam membantu diagnosis karsinoma nasofaring, terutama dalam menentukan suatu proses dini di nasofaring, menentukan penyebaran tumor ke jaringan sekitar, menentukan stadium tumor, membantu tindakan radioterapi dan menilai hasil pengobatan dan menentukan kekambuhan dini.14,16

Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki akurasi yang lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak pada nasofaring, baik yang superfisial maupun profunda, serta membedakan tumor dari jaringan lunak di sekitarnya.

MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastasis ke daerah retrofaring, kelenjar getah bening leher yang profunda dan ke sumsum tulang Ultrasonografi hepar dapat dilakukan apabila dicurigai telah terjadi metastasis ke hati.14,16

(31)

Gambar 2.3. A,B. Karsinoma nasofaring dengan infiltrasi lokal dilihat dengan MRI.1

2.2.3.4. Serologi

Infeksi Epstein-Barr virus (EBV) sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya karsinoma nasofaring menjadi dasar pemeriksaan ini. Titer antibodi terhadap EBV seperti IgA (Antibodi terhadap VCA-viral capsid antigen, maupun EA-early antigen) sebagai pemeriksaan serologi yang paling sering dipergunakan dengan hasil bervariasi sekitar 69-93%, meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi pada penderita karsinoma nasofaring dibandingkan penderita tumor lain maupun pada orang sehat. Pemeriksaan juga dapat dilakukan untuk follow-up paska terapi untuk mendeteksi kemungkinan residif atau relaps. Hasil pemeriksaan serologi positif untuk EBV ditemukan pada hampir 100% tipe Nonkeratinizing squamous cell carcinoma. Antibodi yang lebih baru terhadap antigen EBV rekombinan seperti EBV nuclear antigens (EBNA), membrane antigen (MA), thymidinekinase (TK), DNA polymerase (DP), ribonucleotide reductase (RR), DNAase, dan Z transactivator protein (Zta) juga dapat memberikan diagnosis bila digunakan secara kombinasi.1

(32)

2.2.3.5. Pemeriksaan Patologi

2.2.3.5.1.Biopsi Aspirasi Jarum Halus pada Kelenjar Getah Bening Servikalis Sebagian besar karsinoma nasofaring ditemukan dengan pembesaran KGB di leher. Untuk membuktikan metastasis karsinoma nasofaring dilakukan biopsi aspirasi. Metastasis karsinoma ke KGB leher bukan hanya berasal dari nasofaring tetapi juga dari beberapa jaringan lain di sekitar kepala dan leher, bahkan dengan gambaran yang hampir sama, oleh karena itu perlu dibuktikan bahwa pembesaran KGB leher benar-benar merupakan metastasis karsinoma nasofaring. Biopsi jaringan mutlak dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dalam menentukan tipe histopatologi.10,14

2.2.3.5.2. Biopsi Jaringan

Diagnosis pasti tumor nasofaring ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi, yang dapat diperoleh dari sediaan biopsi jaringan. Biopsi dapat dilakukan dengan bantuan endoskopi. Penderita dalam posisi duduk atau setengah duduk, selanjutnya diberi anestesi lokal kemudian endoskop dimasukkan kedalam kavum nasi pada sisi yang berlawanan dengan sisi tumor. Setelah tumor terlihat dimasukkan cunam biopsi melalui sisi lain dari kavum nasi. Dengan tuntunan endoskopi, dapat diambil jaringan biopsi yang adekuat dari tumor.15,16

Apabila biopsi dengan anestesi lokal tidak memungkinkan seperti pada keadaan umum penderita yang buruk, penderita yang tidak kooperatif atau faringnya terlalu sensitif, terdapat trismus, atau pada anak-anak, maka biopsi dilakukan dengan anestesi umum.15,16

(33)

2.2.4. Gambaran Klinis

Sebagian besar tumor nasofaring memberikan gejala berupa obstruksi hidung dan epistaksis. Gejala yang sering ditemukan pada karsinoma nasofaring antara lain: (1) Gejala telinga: yaitu gejala yang timbul akibat penyumbatan tuba Eustachius oleh massa tumor antara lain tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa tersumbat, berkurangnya pendengaran dan otitis media; (2) Gejala hidung:

yang biasanya muncul adalah epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan hidung dapat terjadi berulang-ulang, sedikit-sedikit dan bercampur dengan ingus.

Gejala obtruksi hidung biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor yang menutupi koana; dan (3) Pembesaran kelenjar getah bening leher yang merupakan gejala lanjut karsinoma nasofaring, merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita datang berobat. Hal ini diakibatkan oleh penyebaran karsinoma nasofaring secara limfogen.14,16

Gejala lebih lanjut yang sering ditemukan adalah gejala neurologis dengan keluhan yang tersering adalah diplopia sebagai akibat paresis saraf abdusen (N VI), dan keluhan baal di pipi dan wajah yang unilateral akibat paresis saraf trigeminus (N V). Sakit kepala yang hebat merupakan gejala paling berat dan biasanya merupakan gejala stadium terminal. Hal ini timbul karena tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya. Metastasis jauh terjadi secara hematogen maupun limfogen, biasanya ke tulang, paru dan hati.14,16

(34)

2.2.5. Klasifikasi

Tabel 2.2. Klasifikasi histologi tumor nasofaring menurut WHO (2005)1

Klasifikasi ICD-O

Malignant epithelial tumours Nasopharyngeal carcinoma Nonkeratinizing carcinoma

Keratinizing squamous cell carcinoma Basaloid squamous cell carcinoma Nasopharyngeal papillary adenocarcinoma Salivary gland-type carcinomas

8072/3 8071/3 8083/3 8260/3

Benign epithelial tumours Hairy polyp

Schneiderian-type papilloma Squamous papilloma

Ectopic pituitary adenoma Salivary gland anlage tumour Craniopharyngioma

8121/0 8050/0 8272/0

9350/1 Soft tissue neoplasms

Nasopharyngeal angiofibroma 9160/0

Haematolymphoid tumours Hodgkin lymphoma

Diffuse large B-cell lymphoma Extranodal NK/T cell lymphoma

Follicular dendritic cell sarcoma/tumour Extramedullary plasmacytoma

9680/3 9719/3 9758/3 9734/3 Tumours of bone and cartilage

Chordoma 9370/3

(35)

2.3. Tumor Jinak Epitel Nasofaring 2.3.1. Hairy Polyp

Merupakan kelainan pertumbuhan dengan manifestasi klinis sebagai polip yang dilapisi oleh kulit dengan rambut dan kelenjar sebasea. Tumor ini dijumpai pada bayi baru lahir dan bayi, dengan rasio antara perempuan dan laki-laki 6 : 1.

Lokasinya di dinding lateral dari nasofaring, langit-langit lunak, dan tonsil.

Gambaran klinis berupa massa pedunculated di orofaring atau nasofaring pada bayi baru lahir atau bayi. Permukaan polip terdiri dari kulit yang mengalami hiperkeratosis dan pilosebasea. Bagian tengah dibentuk oleh jaringan fibroadiposa, sering dengan fokus tulang rawan, otot dan tulang. Hairy polyp dapat dibedakan dengan teratoma dengan kurangnya komponen endodermal.1,18

Gambar. 2.4. Hairy polyp. A. Epitel stratified squamous matur dengan kelenjar sebasea (H&E 100x). B. Sel-sel lemak matur dan otot (H&E 400x).18

2.3.2. Schneiderian-type Papilloma

Merupakan tumor jinak yang berasal dari epitel permukaan nasofaring dan menyerupai Schneiderian papilloma pada traktus sinonasal. Tumor ini jarang dijumpai, terjadi pada usia tua (usia rata-rata 62 tahun, dengan kisaran usia 45-79 tahun) dan 2-3 kali lebih sering dijumpai pada laki-laki. Secara anatomis, koana posterior mewakili batas antara ectodermally-derived (membran Schneiderian)

A B

(36)

dan endodermally-derived dari mukosa pernafasan, masing-masing garis traktus sinonasal dan nasofaring. Penyimpangan embriologi dari mukosa Schneiderian normal mungkin merupakan penyebab lesi ini terjadi di nasofaring. Gambaran klinis berupa lesi dengan diameter tidak lebih dari 2 cm. Biasanya ditemukan secara insidentil, atau memberikan gejala obstruksi jalan nafas. Pada umumnya, Schneiderian papilloma traktus sinonasal dengan keterlibatan sekunder pada nasofaring harus diekslusikan, sebelum ditegakkan sebagai lesi primer di nasofaring.1,19,20,21

Gambaran histopatologinya mirip dengan Schneiderian papilloma di rongga hidung dan sinus paranasal, dan tipe yang sering dijumpai adalah inverted type. Schneiderian papilloma pada nasofaring mempunyai tiga tipe morfologi yang berbeda, yaitu inverted papilloma, oncocytic papilloma, dan exophytic papilloma.1,19,20,21

Pada inverted papilloma, tumor memiliki pola pertumbuhan endofitik yang dilapisi membran epitel yang proliferatif, tumbuh ke bawah ke dalam stroma yang mendasarinya. Sel epitel ini terdiri dari sel skuamosa, sel transisional, dan sel kolumnar (ketiganya mungkin dijumpai dalam satu lesi), bercampur dengan mucocytes (sel goblet) dan kista musin intraepitelial. Infiltrasi sel radang kronis menyusup pada semua lapisan epitel permukaan. Sel-sel epitel pelapis merupakan sel normal dengan inti yang seragam. Pleomorfisme dan sel-sel atipia dapat dijumpai. Komponen epitel dapat menunjukkan gambaran clear cell yang luas, mengindikasikan adanya glikogen yang berlimpah. Gambaran mitosis dapat dilihat pada lapisan basal dan parabasal, tetapi tidak dijumpai mitosis yang atipik.

Dapat juga dijumpai keratinisasi di permukaan, dan biasanya tidak ditemukan

(37)

kelenjar liur minor. Komponen stroma bervariasi dari miksomatous sampai fibrosa, yang bercampur dengan sel-sel radang kronis dan vaskularisasi yang bervariasi.1,19,20

Gambar 2.5. Inverted papilloma. A. Tampak pola pertumbuhan inverted yang khas berupa epitel skuamosa yang tumbuh hiperplastik ke dalam stroma. B. Terdiri dari epitel skuamosa dan epitel repiratori bersilia.20

Oncocytic papilloma, pemeriksaan fisik berupa massa fleshy berwarna merah kehitaman sampai coklat, atau abu-abu, berbentuk papilari atau polipoid.

Pola pertumbuhan tumor ini dapat eksofitik dan endofitik. Pada pemeriksaan histopatologi menunjukkan sel epitel yang proliferatif, tersusun berlapis-lapis (2-8 lapis sel) yang terdiri dari sel-sel kolumnar tinggi, dengan inti sel kecil, gelap (hiperkromatin), relatif seragam, kadang-kadang vesikuler, dan anak inti kurang jelas. Sitoplasma eosinofilik berlimpah dan bergranul, dan pada permukaan paling luar dapat dijumpai beberapa sel epitel bersilia. Komponen stroma bervariasi, dari miksomatous sampai fibrous, disertai infiltrasi sel radang limfosit, sel plasma, dan neutrofil., sedikit eosinofil, serta vaskularisasi yang bervariasi.1,16,17

A B

(38)

Gambar 2.6. Oncocytic papilloma. Tampak pola pertumbuhan eksofitik, dengan pelapis epitel onkositik berlapis, disertai kista berisi musin intraepitelial dan mikroabses.1,119

Exophytic papilloma, pemeriksaan fisik berupa massa papillary atau warty, exophytic, verrucous, cauliflower-like lesions, ukuran rata-rata 2 cm, berwarna abu-abu, merah muda atau coklat, tidak transparan, konsistensi kenyal sampai keras padat. Tampak massa bertangkai melekat pada mukosa. Pada pemeriksaan histopatologi tampak pola papilar dengan fibrovascular core yang dilapisi oleh epitel yang berlapis-lapis (5-20 lapis sel), bervariasi dari sel skuamosa (epidermoid), sel transisional (intermediet), sampai sel kolumnar pseudostratifikasi bersilia (sel saluran pernafasan), disertai mucocytes (sel goblet), dan kista musin intraepitel. Tidak dijumpai mitosis atipik. Stroma berupa fibrovascular core yang diinfiltrasi sedikit sel radang.1,19,20

Gambar 2.7. Exophytic papilloma. A. Tampak pelapis epitel skuamous tidak berkeratin yang hiperplastik dengan sebaran sel-sel jernih (mucous). B. Sel-sel koilositotik

A B

(39)

2.3.3. Squamous Papilloma

Tumor ini jarang dijumpai di nasofaring dan mempunyai gambaran morfologi yang mirip dengan squamous papilloma pada laring. Pola pertumbuhan tumor ini dapat exophytic, warty atau cauliflower-like tumor dengan ukuran tumor mulai dari beberapa mm sampai 3 cm. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan tumor terdiri dari proliferasi epitel skuamosa jinak yang tersusun dalam penonjolan finger-like yang multipel dengan fibrovascular core. Tidak dijumpai perubahan displastik pada epitel skuamosa. Umumnya permukaan tumor ini mengandung sedikit keratin, tetapi pada beberapa tumor dapat terjadi hiperkeratosis seperti parakeratosis dan orthokeratosis.20

2.3.4. Ectopic Pituitary Adenoma

Ectopic pituitary adenoma merupakan tumor jinak dari kelenjar pituitary dalam bentuk terpisah, tanpa melibatkan sella turcica. Biasanya terjadi pada orang dewasa, dan tidak ada predileksi pada jenis kelamin. Gejalanya berupa obstruksi jalan nafas, sinusitis kronis, defek pada lapangan pandang, kebocoran cairan cerebrospinal, dan manifestasi endokrin (seperti Cushing’s syndrome dan hirsutisme). Lokasi yang tersering adalah pada sinus sphenoidalis, diikuti dengan nasofaring, namun jarang terjadi di rongga hidung dan sinus ethmoidalis.1

Gambaran makroskopis tumor ini berupa massa polipoid dan pedunculated, dengan ukuran 0,7-7,5 cm. Pada pemeriksaan histopatologi tampak proliferasi epitel submukosa dengan pola pertumbuhan yang solid, organoid, dan trabekular. Sel-sel neoplastik dengan inti bentuk bulat sampai oval, dengan kromatin tersebar merata, anak inti tidak menonjol, dan sitoplasma eosinofilik

(40)

bergranul. Pleomorfisme, nekrosis, dan aktivitas mitotik tidak dijumpai. Tidak dijumpai adanya diferensiasi kelenjar atau skuamosa.1

Gambar 2.8. Ectopic pituitary adenoma berupa tumor di mukosa nasofaring yang seluler dan tidak berkapsul, dengan epitel permukaan yang masih intak.1

Pewarnaan imunohistokimia menunjukkan hasil yang reaktif dengan chromogranin, synaptophysin, keratin dan beberapa hormon pituitary, seperti growth hormone (GH), adrenocorticotropic hormone (ACTH), prolactin, thyroid- stimulating hormone (TSH), follicle-stimulating hormone (FSH), dan luteinizing hormone (LH). Beberapa tumor dapat menunjukkan hasil yang reaktif dengan satu hormon pituitary (monohormonal pituitary adenoma), hormon multipel (plurihormonal pituitary adenoma) atau tidak satupun hormon pituitary (null cell pituitary adenoma).1

2.3.5. Salivary Gland Anlage Tumour

Merupakan tumor jinak dengan campuran elemen mesenkim dan epitel, menggambarkan stadium awal dalam embriologi kelenjar liur antara minggu ke-4 dan ke-8 dari masa perkembangan. Nama lain tumor ini adalah Congenital pleomorphic adenoma.1 Tumor ini jarang dijumpai, kurang dari 20 kasus telah

(41)

periode neonatal atau pada usia 6 minggu. Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 13 berbanding 3.1

Pada hampir semua pasien muncul gejala gangguan bernafas dan gangguan makan, jarang dilaporkan terjadi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya polip eritematosa yang pedunculated.1

Gambaran makroskopis tumor ini berupa massa keras, licin sampai berlobus-lobus, dengan ukuran 1,3-3 cm, permukaan tumor biasanya licin dan berkilat. Sisa stalk dapat kelihatan atau tidak. Nodul berwarna coklat keabu-abuan sampai kemerahan, dan dapat dijumpai perdarahan atau massa kistik.1,19

Secara histopatologi tumor ini identik dengan tumor pada kelenjar liur mayor, dengan campuran antara struktur duktus atau tubular, sel-sel mioepitel yang berbentuk spindel, dan stroma myxochondroid.1,19

Gambar 2.9. Salivary gland anlage tumour. A. Nodul tumor yang seluler bersatu dalam bentuk struktur kelenjar dengan epitel permukaan. B. Penggabungan sel-sel spindel ke dalam tubulus yang abortif.1

2.3.6. Craniopharyngioma

Tumor ini berasal dari Rathke’s pouch di daerah kelenjar pituitary (sella turcica) atau sepanjang perkembangan traktus ke Rathke’s pouch dan kelenjar pituitary. Extrasellar craniopharyngioma dapat terjadi di traktus sinonasal atau

(42)

nasofaring dengan bentuk yang meluas dari tumor sellar atau dengan adanya keterlibatan sella secara bebas. Gejala klinis yang terjadi berupa obstruksi nasal, epistaksis, sakit kepala, dan gangguan penglihatan. Biasanya gejala ini dijumpai pada dekade pertama dari kehidupan.19

Pada pemeriksaan histopatologi, craniopharyngioma merupakan neoplasma epitelial yang terdiri dari sel-sel stellate dengan inti kecil dan sitoplasma jernih, dikelilingi oleh barisan sel-sel kolumnar dengan polaritas inti yang tersusun pallisading. Tumor dapat diidentifikasi dengan melihat perubahan necrobiotic degeneratif, seperti ghost cells dan kalsifikasi. Gambaran histopatologi seperti ini mirip dengan ameloblastoma, namun gambaran klinis tumor ini berbeda dengan ameloblastoma traktus sinonasal, sehingga kedua lesi ini dapat dengan mudah dibedakan.19

2.4. Tumor Ganas Epitel Nasofaring 2.4.1. Nasopharyngeal Carcinoma

2.4.1.1. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (NKSCC)

Pada sub tipe differentiated, terlihat stratifikasi selular dengan batas antar sel yang cukup jelas. Sel-sel tampak lebih kecil dibandingkan dengan subtipe undifferentiated, N/C ratio lebih rendah, inti lebih hiperkromatik dan nukleoli tidak menonjol. Kadang-kadang dapat dijumpai daerah nekrosis. Limfosit dan sel- sel plasma dapat dijumpai dalam jumlah yang bervariasi atau bahkan sama sekali tidak ada. Apabila jumlah limfosit cukup banyak maka kondisi ini dikenal sebagai lymphoepithelial carcinoma. Sel-sel tumor dapat berbentuk bulat maupun spindel.

(43)

Nukleoli sering tidak terlihat pada sel-sel spindel. Pada beberapa tempat tampak sel-sel dengan inti hiperkromatik dan sitoplasma padat.1,2,19,20

Gambar 2.10. Non keratinizing squamous cell carcinoma, differentiated type. A.

Terdapat lapisan-lapisan tumor yang dipisahkan oleh limfosit dan sel-sel plasma. B.

Pulau-pulau tumor dalam stroma yang kaya limfosit. C. Pola pertumbuhan trabekular.1

Non keratinizing squamous cell carcinoma, undifferentiated type lebih sering dijumpai. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat dijumpai sel-sel tumor yang besar tersusun sinsitial dengan batas antar sel tidak jelas, inti vesikuler, bulat atau oval disertai dengan nukleoli yang besar di tengah. Sel-sel sering terlihat padat dan terkadang overlapping, kromatin inti lebih padat, sitoplasma sedikit dan eosinofilik.1,2,10,19,20

Gambar 2.11. Non keratinizing squamous cell carcinoma, undifferentiated type. A. Sel- sel limfoid yang terbentuk dalam agregat kecil. B. Sel-sel spindel dengan nukleoli yang tidak jelas.1

(44)

Pada undifferentiated type, terdapat dua bentuk pola pertumbuhan, yaitu tipe Regauds dan Schmincke. Tipe Regauds terdiri dari kumpulan sel-sel epitel dengan batas jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfoid.

Sedangkan tipe Schmincke berupa sel-sel epitelial neoplastik yang tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang.2,10

Gambar 2.12. Undifferentiated carcinoma. A. Tipe Regauds, terdiri dari sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat. B. Tipe Schminke, terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran syncytial yang difus.2

Secara praktis semua sel tumor menunjukkan hasil positif kuat terhadap pan-cytokeratin (AE1/AE3, MNF-116); yang terwarnai secara uniformis, berbeda dengan undifferentiated carcinoma dari tempat lain, misalnya paru-paru atau tiroid, yang terwarnai secara fokal. Sel-sel tumor juga terwarnai positif kuat dengan high molecular weight cytokeratins (seperti cytokeratin 5/6, 34ßE12) dan sering terwarnai lemah dan kadang patchy dengan low molecular weight.

Imunoreaktivitas terhadap epithelial membrane antigen biasanya memberi reaksi secara fokal saja. Pada kebanyakan kasus, pewarnaan dengan p63 menunjukkan reaksi positif kuat pada inti sel tumor.Dengan S100 protein akan memberi hasil positif pada sel-sel dendritik dengan jumlah yang bervariasi.1,2,19,20,23

A B

(45)

2.4.1.2. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (KSCC)

Keratinizing squamous cell carcinoma adalah suatu karsinoma invasif dengan keratinisasi, dengan bentuk tumor yang irreguler. Pada pemeriksaan mikroskopik terdapat stroma desmoplastik yang banyak diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit, sel plasma, netrofil dan eosinofil. Sel-sel tumor dapat berbentuk poligonal atau stratified dan batas antar sel yang jelas, inti sel hiperkromatik dengan sitoplasma yang banyak. Pada tumor ini dijumpai keratin pearl. 1,2,15,16,19,20

Gambar 2.13. Keratinizing squamous cell carcinoma. A. Invasi tumor kedalam stroma.

B. Pulau-pulau ireguler dengan stroma desmoplastik.1

KSCC memiliki kecenderungan untuk berkembang secara lokal serta lebih sedikit adanya kemungkinan metastasis pada kelenjar getah bening. Tumor ini memiliki respon yang rendah terhadap radiasi dan prognosisnya buruk. Tipe ini tidak berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr.1,2,19,20,22

Tumor ini menunjukkan imunoreaktivitas terhadap pan-cytokeratin, high molecular-weight cytokeratin, dan secara fokal terhadap epithelial membrane antigen. KSCC yang diinduksi radiasi diketahui tidak berhubungan dengan virus Epstein-Barr, namun secara denovo juga masih belum jelas hubungannya dengan virus Epstein-Barr. Beberapa literatur menyatakan bahwa virus Epstein-Barr

(46)

hampir selalu positif pada daerah endemik, juga sering positif pada daerah dengan insidensi intermediet, sedangkan pada daerah dengan insidensi yang rendah hanya positif pada sebagian penderita. Pada in situ hybridization, gambaran inti dari EBER biasanya terlihat pada sel-sel dengan diferensiasi yang sedikit (sel-sel basal yang mengelilingi pulau-pulau tumor), tetapi tidak terlihat pada sel-sel dengan diferensiasi skuamosa yang jelas. Peranan human papillomavirus dalam keratinizing squamous cell carcinoma masih belum jelas diketahui.1,2,19,20,22

2.4.1.3. Basaloid Squamous Cell Carcinoma

Tumor ini jarang dijumpai dan memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel skuamosa. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel skuamosa dapat insitu atau invasif.

Batas antara komponen basaloid dan skuamosa jelas.1,2,19,20

Gambar 2.14. Basaloid squamous cell carcinoma. Sel-sel basaloid menunjukkan pola pertumbuhan festooning, sel-sel basaloid berselang-seling dengan diferensiasi skuamosa.1

Referensi

Dokumen terkait

 Dengan kegiatan membaca teks, siswa mampu menceritakan kembali informasi dalam bentuk tulisan mengenai Gajah Mada menggunakan kosakata baku dengan tepat dan percaya diri.. 

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan pada kelas V SD 02 Megawon dapat disimpulkan bahwa penerapan model CLIS berbantuan media konkret dapat meningkatkan

Pada halaman dekripsi file, user diminta untuk memasukkan cipherkey yang akan didekripsi, kemudian user memasukkan kunci publik RSA-Naïve, lalu cipherkey akan terdekripsi

Untuk membuat title yang bagus, selain mengatur secara manual satu persatu property yang dimiliki text, kita dapat pula memanfaatkan style yang disediakan Adobe Title Designer

Visual Media.. “ Meningkatkan Self Regulation Terhadap Rokok Melalui Layanan Informasi Dengan Media Audio Visual Pada Siswa Kelas XI- IPS 5 SMA 2 Bae Kudus

Dalam penulisan ilmiah ini penulis menyajikan Sistem Administrasi Pemesanan Undangan yang mencakup tentang pengertian administrasi, Data Flow Diagram (DFD), Entity-Relationship

(2) Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak berlokasi. di Kabupaten Landak, Provinsi

Sekarang ini ada beberapa tempat umum yang menyediakan tempat parkir tanpa di pungut bayaran, karena itu merupakan bagian dari pelayanan mereka pada pelanggan, tetapi pada