• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin

Penelitian ini mempunyai responden yang terdiri dari masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Responden merupakan petani padi di Desa Jaten yang masuk dalam daerah dilakukannya kambojanisasi.

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

1. Laki-laki 45 90,00

2. Perempuan 5 10,00

Jumlah 50 100,00

Sumber: Analisis Data Primer

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah laki-laki, yaitu berjumlah 45 orang atau 90,00%. Kaum laki-laki memiliki peran yang banyak dalam budidaya, akan tetapi tidak semua kegiatan budidaya tanaman padi hanya diperankan oleh kaum laki- laki. Kaum perempuan juga membantu dalam melakukan budidaya. Hal yang biasa dilakukan kaum perempuan yaitu perawatan tanaman dari hama dan penyakit serta penyiangan tanaman. Responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 5 atau 10,00%. Terkait hal-hal yang berhubungan dengan budidaya yang memerlukan tenaga besar diserahkan kepada kaum laki-laki. Terlihat bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki, di mana laki-laki adalah sebagai pemimpin dan lebih dominan dalam hal pengambilan keputusan usahatani.

2. Pekerjaan Sampingan

Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan lain di samping pekerjaan utama. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan hidup responden tidak hanya memiliki satu pekerjaan saja, akan tetapi biasanya memiliki pekerjaan ganda atau yang sering disebut pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan dalam penelitian ini adalah suatu pekerjaan yang kadang-kadang dilakukan oleh

50

(2)

responden di luar pekerjaan pokok. Jenis pekerjaan sampingan responden dapat dilihat dalam Tabel 5.2 sebagai berikut:

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Sampingan Pekerjaan Sampingan Jumlah (orang) Persentase (%)

Tidak Memiliki 34 68,00

Petani 13 26,00

Ketua RT 1 2,00

Buruh Bangunan 1 2,00

Pedagang 1 2,00

Jumlah 50 100,00

Sumber : Analisis Data Primer

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa persentase terbesar responden adalah tidak memiliki pekerjaan sampingan, yaitu sebanyak 34 responden atau 68,00%. Petani responden sebagian besar tidak memiliki pekerjaan sampingan dan hanya mengandalkan dari pekerjaan pokok saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mayoritas responden tidak mempunyai pekerjaan sampingan karena penghasilan sebagai petani tersebut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pekerjaan sampingan petani responden berdasarkan Tabel 5.3 yaitu sebagai petani sebanyak 13 orang atau 26,00%. Responden yang pekerjaan sampingan sebagai petani adalah responden dengan pekerjaan utama sebagai perangkat desa. Berdasarkan keadaan di lapang responden memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari pekerjaan tambahan di luar sektor pertanian. Diikuti ketua RT, Buruh Bangunan dan Pedagang yang masing-masing sebanyak 1 orang atau sebesar 2,00%.

B. Faktor-Faktor Pembentuk Persepsi terhadap Kambojanisasi di Desa Jaten Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

1. Faktor Internal a. Umur

Umur merupakan lamanya waktu hidup responden sampai penelitian ini dilakukan. Umur termasuk salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktifitas seseorang dalam melakukan aktivitas. Tingkat umur seseorang akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam mengerjakan pekerjaan yang berat. Umur menjadi salah satu faktor yang dapat

(3)

mempengaruhi persepsi petani. Kategori umur responden didasarkan pada Depkes RI (2009) yaitu masa dewasa, masa lansia awal, masa lansia akhir dan masa manula. Data distribusi frekuensi berdasarkan umur responden disajikan pada Tabel 5.3

Tabel 5.3 Distribusi Responden berdasarkan Umur

No. Umur Kategori Jumlah Persentase

(%)

1. 26 - 45 tahun Masa Dewasa 10 20,00

2. 46 - 55 tahun Masa Lansia Awal 15 30,00 3. 56 - 65 tahun Masa Lansia Akhir 12 24,00

4. ≥65 tahun Masa Manula 13 26,00

Jumlah 50 100,00

Sumber: Analisis Data Primer

Tabel 5.3 menunjukkan umur responden pada penelitian ini berada dalam umur yang merata dari kelompok produktif maupun yang sudah tidak produktif lagi. Menurut Darwis (2017) petani yang memiliki umur produktif mempunyai kemampuan fisik yang kuat untuk mengembangkan usahataninya. Petani dengan umur produktif memiliki kekuatan fisik dan respon terhadap hal-hal baru relatif lebih cepat dan mudah. Hasyim (2006) mengatakan umur petani dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat aktivitas seseorang dalam bekerja, di mana dengan kondisi umur yang masih produktif maka kemungkinan besar seseorang dapat bekerja dengan baik dan maksimal.

Kondisi di lapang menunjukkan bahwa 15 orang atau 30,00%

memiliki umur pada masa lansia awal yaitu antara 46 hingga 55 tahun.

Kelompok umur ini merupakan masa peralihan menjadi tua, yang mana hormon pada tubuh sudah menurun dan fungsi organ tubuh menurun.

Diikuti dengan responden pada kelompok masa manula yang berumur ≥65 tahun sebanyak 13 orang atau 26%. Soekartawi (2005) menyatakan bahwa semakin muda umur petani biasanya mempunyai semangat keingintahuan akan sesuatu yang belum mereka ketahui , sehingga petani berumur muda tersebut akan berusaha lebih cepat untuk menerapkan suatu inovasi, dalam hal ini kaitannya adalah kambojanisasi pada tanaman padi. Semakin tua umur petani maka keputusan yang akan diambil merupakan hasil dari

(4)

pemikiran dengan tujuan kemandirian demi keberlanjutan hidup di masa sekarang dan yang akan datang.

b. Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh petani pada lembaga pendidikan formal. Lama pendidikan dapat mempengaruhi cara pikir seseorang dan mempengaruhi penerimaan terhadap suatu informasi, hingga sikap yang akan diambil. Pendidikan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu, mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi pengetahuan. Pada penelitian ini pendidikan formal diukur berdasarkan pendidikan terakhir responden. Data distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan formal responden disajikan pada Tabel 5.4

Tabel 5.4 Distribusi Responden berdasarkan Pendidikan Formal

No. Kategori Skor Orang Persentase(%)

1 Sangat Rendah SD/sederajat 20 40,00

2 Rendah SMP/Sederajat 18 36,00

3 Tinggi SMA/Sederajat 9 18,00

4 Sangat Tinggi Sarjana 3 6,00

Jumlah 50 100,00

Sumber: Analisis Data Primer

Tabel 5.4 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan pendidikan formal yang ditempuh petani. Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa sejumlah 20 orang atau 40,00% responden memiliki tingkat pendidikan formal sangat rendah. Mayoritas petani responden menempuh pendidikan formal mencapai SD/sederajat. Diikuti dengan 18 orang atau 36,00% responden yang menempuh pendidikan formal rendah yaitu SMP/sederajat. Responden yang menempuh pendidikan formal tinggi SMA/sederajat berjumlah 9 orang atau 18,00%, selanjutnya responden responden yang menempuh pendidikan formal sangat tinggi berjumlah 3 orang 6,00% dengan perdidikan formal sarjana.

Diketahui bahwa responden berada pada kategori pendidikan yang sangat rendah. Berdasarkan kondisi di lapang dapat dijelaskan bahwa mayoritas petani dengan pendidikan yang sangat rendah disebabkan oleh

(5)

faktor sosial dan ekonomi. Mayoritas petani responden merupakan petani yang turun temurun, sehingga pada zaman dahulu petani responden lebih mementingkan membantu orang tua di sawah dibandingkan dengan melanjutkan bersekolah pada tingkat selanjutnya. Menurut Dewi (2005), tingkat pendidikan petani akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam kegiatan pengelolaan usahataninya. Petani yang berpendidikan sangat rendah akan merasa kesulitan dalam mengambil keputusan terhadap alokasi sumberdaya yang dimilikinya.

Tingkat pendidikan responden sangat berhubungan dengan pola pikir dan pegambilan keputusan dalam usahataninya. Soekartawi (1988) menjelaskan semakin tinggi pendidikan petani beriringan dengan semakin rasionalnya pola pikir dan daya nalar petani. Pendidikan yang tinggi dapat merubah sikap dan perilaku untuk bertindak rasional dan bijaksana.

Banyaknya responden yang memiliki riwayat pendidikan rendah tentunya sangat berhubungan dengan lambatnya penyebaran inovasi. Hal ini ditunjukkan saat akan melakukan budidaya padi dengan kambojanisasi, petani akan melakukan banyak pertimbangan dalam menerima inovasi baru serta pola pikir yang terlalu praktis sehingga masih banyak petani yang enggan untuk mencoba atau menerapkan hal baru.

Tomy (2013) mengatakan bahwa pendidikan yang relatif tinggi menyebabkan petani lebih dinamis. Tingginya tingkat pendidikan petani sangat terkait dengan daya nalar petani dalam menerima penyuluhan dari PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), sebaliknya petani yang berpendidikan rendah relatif lebih lambat dalam mengadopsi teknologi baru dan bersifat statis. Lestraningsih dan Basuki (2008) juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan dapat digunakan sebagai tolak ukur terhadap kemampuan berfikir seseorang dalam menghadapi masalah dalam keluarga dapat segera diatasi. Apabila pendidikan rendah maka daya pikirnya sempit. Hal ini menyebabkan kemampuan menalarkan suatu inovasi baru akan terbatas, sehingga wawasan untuk maju lebih rendah dibanding dengan petani yang berpendidikan tinggi. Petani yang

(6)

mempunyai daya pikir lebih tinggi dan fleksibel dalam menanggapi suatu masalah, mereka akan selalu berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan yang lebih baik

c. Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang diperoleh petani di luar pendidikan formal. Pendidikan nonformal yang diikuti petani dapat berupa kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Kegiatan tersebut akan dapat membantu petani dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi usahatani maupun di luar usahatani. Pada penelitian ini pendidikan nonformal diukur berdasarkan frekuensi dalam mengikuti kegiatan pelatihan dan penyuluhan. Data distribusi responden berdasarkan pendidikan nonformal dapat dilihat pada Tabel 5.5

Tabel 5.5 Distribusi Responden berdasarkan Pendidikan Nonformal

No. Kategori Skor Orang Persentase (%)

a. Pelatihan

1. Sangat rendah 0 9 18,00

2. Rendah 1 30 60,00

3. Tinggi 2 11 22,00

4. Sangat tinggi ≥ 3 0 00,00

Jumlah 50 100,00

Penyuluhan

1. Sangat rendah 0 3 6,00

2. Rendah 1 18 36,00

3. Tinggi 2 25 50,00

4. Sangat tinggi ≥ 3 4 8,00

Jumlah 50 100,00

Sumber : Analisis Data Primer

Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pendidikan nonformal dilihat dari frekuensi petani responden dalam mengikuti kegiatan pelatihan. Petani responden yang terbanyak berada dalam kategori intensitas mengikuti latihan rendah yaitu sebesar 30 orang atau 60,00%.

Petani responden dengan intensitas mengikuti pelatihan selanjutnya berada dalam kategori tinggi yaitu dengan intensitas frekuensi 2 kali sebanyak 11 orang atau 22,00%. Petani responden selanjutnya berada dalam intensitas mengikuti pelatihan dalam kategori sangat rendah yaitu tidak pernah mengikuti pelatihan sebanyak 9 orang atau 18,00%, sedangkan tidak ada petani responden dengan intensitas mengikuti pelatihan dalam kategori

(7)

sangat tinggi dengan frekuensi ≥3 kali. Kegiatan pelatihan dapat membantu petani responden dalam meningkatkan keterampilan terkait dengan kambojanisasi di budidaya Padi.

Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pendidikan nonformal dilihat dari frekuensi petani responden dalam mengikuti kegiatan penyuluhan paling banyak berada dalam kategori tinggi dengan intensitas frekuensi 2 kali dalam satu musim tanam sebanyak 25 orang atau 50%.

Petani responden dengan intensitas mengikuti penyuluhan dalam kategori rendah yaitu dengan intensitas frekuensi 1 kali sebanyak 18 orang atau 36,00%. Petani responden dengan intensitas mengikuti penyuluhan dalam kategori sangat tinggi yaitu dengan frekuensi ≥3 kali sebanyak 4 orang atau 8,00%, sedangkan petani responden dengan intensitas mengikuti penyuluhan dalam kategori sangat rendah yaitu dengan intensitas tidak pernah mengikuti penyuluhan sebanyak 3 orang arat 6,00%. Kegiatan penyuluhan dapat membantu petani responden dalam meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan informasi terkait dengan kambojanisasi pada budidaya padi.

Petani responden yang intensitas mengikuti kegiatan pelatihannya masuk dalam kategori sangat tinggi adalah pengurus kelompok tani yang menjadi perwakilan dari anggota kelompok untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Hal ini dikarenakan kegiatan pelatihan yang biasanya diadakan adalah kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dengan jumlah peserta pelatihan yang dibatasi sehingga hanya petani tertentu yang ditunjuk untuk mewakili anggota kelompok tani yang lain.

Petani responden yang menjadi perwakilan untuk mengikuti kegiatan pelatihan akan membagikan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya kepada anggota kelompok tani yang lain sehingga anggota lainnya juga mengetahui apa yang disampaikan. Melalui hal tersebut pengetahuan dan keterampilan anggota kelompok tani lain akan bertambah.

(8)

Petani responden yang mengikuti kegiatan pendidikan nonformal dilihat dari kegiatan pelatihan dalam kategori tinggi yaitu petani responden yang mengikuti kegiatan pelatihan dan terkadang tidak mengikuti, tetapi intensitas mengikutinya lebih banyak daripada tidak mengikuti. Petani responden yang mengikuti kegiatan pelatihan dalam kategori rendah yaitu petani responden yang terkadang mengikuti kegiatan pelatihan dan terkadang tidak mengikuti, tetapi intensitas tidak mengikutinya lebih banyak daripada mengikuti. Petani responden yang mengikuti pelatihan dalam kategori sangat rendah adalah petani responden yang sama sekali belum pernah mengikuti kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan budidaya padi dengan kambojanisasi. Hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah peserta pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah sehingga kesempatan mengikuti pelatihan di tingkat daerah hanya dimiliki oleh beberapa petani yang ditunjuk untuk menjadi perwakilan kelompok.

Hal ini mengakibatkan tidak semua petani responden bisa ikut berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan tersebut.

Petani responden yang mengikuti kegiatan penyuluhan dalam kategori sangat tinggi adalah petani responden yang sering mengikuti kegiatan penyuluhan dan intensitas untuk tidak mengikutinya sangat kecil.

Petani responden yang aktif dalam mengikuti kegiatan penyuluhan adalah petani telah sadar akan pentingnya pengetahuan mengenai budidaya padi.

Petani responden aktif datang dalam penyuluhan untuk mencari informasi dengan bertanya kepada penyuluh lapang atau petani lain ketika mendapatkan masalah dalam budidayanya. Petani aktif dalam diskusi kelompok, tanggap serta berani mengajukan pendapatnya ketika diskusi dalam penyuluhan kelompok tani. Hal ini akan menambah pengetahuan petani sehingga dapat meningkatkan persepsi petani dalam budidaya padi dengan kambojanisasi.

Petani responden yang mengikuti kegiatan pendidikan nonformal dilihat dari kegiatan penyuluhan dalam kategori tinggi yaitu petani responden yang mengikuti kegiatan penyuluhan dan terkadang tidak

(9)

mengikuti, tetapi intensitas mengikutinya lebih banyak daripada tidak mengikuti. Hal ini dikarenakan kegiatan penyuluhan diadakan bersama dengan kegiatan pertemuan kelompok tani sehingga banyak anggota yang mengikuti. Petani responden yang mengikuti kegiatan pendidikan nonformal dilihat dari kegiatan penyuluhan dalam kategori rendah yaitu petani responden yang terkadang mengikuti kegiatan penyuluhan dan terkadang tidak mengikuti, tetapi intensitas tidak mengikutinya lebih banyak daripada mengikuti. Hal ini karena petani sering mendapatkan halangan berupa kegiatan lain secara bersamaan.

Petani responden dalam kegiatan pendidikan nonformal dilihat dari penyuluhan dalam kategori sangat rendah adalah petani responden yang tidak mengikuti kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan kambojanisasi dalam satu musim tanam. Hal ini terjadi karena petani belum sepenuhnya sadar akan pentingnya pengetahuan mengenai budidaya padi ramah lingkungan. Petani selalu berhalangan hadir pada kegiatan penyuluhan karena bersamaan dengan kegiatan yang lain.

Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan terkait kambojanisasi biasanya disampaikan saat adanya pelatihan mengenai pengendalian hama terpadu, kegiatan pelatihan yang berfokus pada kambojanisasi masih belum dilaksanakan. Kegiatan penyuluhan meliputi pemilihan benih, pengolahan tanah, pemeliharaan dan pengamatan OPT. Materi pada kegiatan pelatihan dan penyuluhan disampaikan oleh PPL Kecamatan Jaten dan Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar. Kegiatan pelatihan intensitas pelaksanaannya tidak terlalu sering karena kegiatan pelatihan disesuaikan dengan jadwal dan kebijakan dari Dinas Pertanian, sedangkan kegiatan penyuluhan dilakukan secara rutin setiap bulan bersamaan dengan kegiatan pertemuan kelompok tani.

Kegiatan pelatihan dan penyuluhan yang semakin sering dilakukan oleh petani responden akan mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan, karena dari pelatihan dan penyuluhan yang diikuti diperoleh penambahan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan

(10)

kambojanisasi. Pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan juga akan melatih petani lebih aktif dalam diskusi sehingga mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Kegiatan ini membuat petani akrab dengan penyuluh lapang sehingga mudah menjalin komunikasi terkait permasalahan maupun strategi untuk kemajuan budidaya padi. Baik petani ataupun penyuluh sama-sama terbuka dalam mengkomunikasikan hal- hal yang berkaitan dengan kambojanisasi. Semakin sering petani mengikuti kegiatan penyuluhan dan pelatihan maka akan semakin baik pula persepsi petani yang terbentuk terhadap kambojanisasi. Hal ini sejalan dengan teori menurut Azwar (2013) yang menyatakan bahwa penyuluhan pertanian merupakan sistem pendidikan nonformal yang tidak sekedar memberikan penerangan atau menjelaskan tetapi berupaya untuk mengubah perilaku sasarannya agar memiliki pengalaman berusahatani yang luas dan memiliki sikap progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap inovasi baru serta terampil dalam melakukan suatu kegiatan.

d. Pengalaman

Pengalaman responden pada penelitian ini adalah lamanya responden melakukan budidaya padi dan frekuensi kegagalan panen yang dialami. Pengalaman dapat memberikan pengetahuan atau pembelajaran atas kejadian yang telah dialami dan menjadi pertimbangan sebelum mengambil sebuah keputusan di masa yang akan datang. Distribusi pengalaman budidaya padi di Desa Jaten disajikan pada Tabel 5.6

Tabel 5.6 Distribusi Responden berdasarkan Pengalaman

No. Kategori Skor Orang Persentase (%)

(1) (2) (3) (4) (5)

a. Lama Budidaya

1. Sangat rendah <5 th 7 14,00

2. Rendah 5-10 th 19 38,00

3. Tinggi 11-20 th 13 26,00

4. Sangat tinggi >20 th 11 22,00

Jumlah 50 100,00

(11)

Lanjutan

Sumber : Analisis Data Primer

Berdasarkan Tabel 5.6 dapat diketahui bahwa pengalaman dilihat dari lamanya responden dalam membudidayakan tanaman padi yang berada dalam kategori sangat rendah yaitu dengan kurun waktu kurang dari 5 tahun adalah 7 orang atau 14,00%. Petani responden yang melakukan budidaya padi dengan kategori rendah yaitu dengan kurun waktu 5-10 tahun sebanyak 19 orang atau 38,00%. Petani responden yang melakukan budidaya padi dengan kategori tinggi yaitu dengan kurun waktu 11-20 tahun sebanyak 13 orang atau 26,00%, sedangkan petani responden yang melakukan budidaya padi dengan kategori sangat tinggi yaitu dengan kurun waktu lebih dari 20 tahun sebanyak 11 orang atau 22,00%. Lamanya budidaya akan memberikan pembelajaran dalam melakukan usahatani padi.

Berdasarkan Tabel 5.6 dapat diketahui bahwa pengalaman dilihat dari frekuensi kegagalan panen yang dialami responden dalam membudidayakan tanaman padi yang berada dalam kategori sangat rendah yaitu mengalami kagagalan panen sebanyak 1 kali adalah 12 orang atau 24,00%. Petani responden yang mengalami kegagalan panen paling banyak pada kategori rendah yaitu mengalami kegagalan panen sebanyak 2 kali berjumlah 27 orang atau 54%. Petani responden yang mengalami kegagalan panen pada kategori tinggi yaitu gagal panen sebanyak 3 kali berjumlah 7 orang atau 14,00%, sedangkan petani responden yang mengalami kegagalan panen pada kategori sangat tinggi yaitu gagal panen sebanyak ≥4 kali berjumlah 4 orang atau 8,00%. Pengalaman dapat

(1) (2) (3) (4) (5)

Kegagalan Panen

1. Sangat rendah 1 12 24,00

2. Rendah 2 27 54,00

3. Tinggi 3 7 14,00

4. Sangat tinggi ≥4 4 8,00

Jumlah 50 100,00

(12)

memberikan pembelajaran untuk pertimbangan dalam mengambil sebuah keputusan di masa yang akan datang.

Petani responden yang memiliki pengalaman dilihat dari lamanya membudidayakan padi dengan kategori sangat rendah yaitu dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun adalah petani responden yang baru saja mencoba melakukan budidaya padi atau yang baru saja pensiun dari pekerjaannya terdahulu. Petani responden baru mencoba karena kebanyakan mereka berumur muda sehingga masih tergolong baru dalam melakukan budidaya. Petani responden belum memiliki lahan sendiri sehingga harus menyewa lahan dari orang lain untuk budidaya padi. Hal tersebut membuat status lahan menjadi penting. Salah satu alasan mereka mencoba budidaya padi yaitu adanya bantuan saprodi dari pemerintah berupa pupuk dan alat mesin pertanian serta mencontoh petani lain di lingkungannya yang mayoritas berhasil dalam budidaya padi.

Petani responden yang membudidayakan padi dengan kategori rendah yaitu dalam kurun waktu 5-10 tahun adalah petani responden yang mayoritas berumur 26 hingga 40 tahun sehingga mereka sudah memiliki beberapa pengalaman mengenai kegagalan, akan tetapi mereka masih membutuhkan masukan dari petani lain yang lebih ahli sebagai pembelajaran yang dapat memberikan penilaian baik atau buruk terhadap sesuatu yang dialaminya. Petani responden pada kategori ini masih sering bertanya kepada petani lain yang lebih berpengalaman untuk mengatasi permasalahan dalam budidayanya.

Petani responden yang memiliki pengalaman dilihat dari lamanya membudidayakan padi dengan kategori tinggi yaitu dalam kurun waktu 11- 20 tahun dan yang memiliki pengalaman dengan kategori sangat tinggi yaitu lebih dari 20 tahun mayoritas adalah petani yang sudah berumur tua antara 41 hingga 64 tahun hingga petani yang berusia ≥65 tahun serta memiliki lahan sendiri yang potensial untuk budidaya padi. Petani responden yang memiliki pengalaman dilihat dari frekuensi kegagalan panen yang dialami dengan kategori sangat rendah yaitu 1 kali gagal panen

(13)

adalah petani yang mayoritas berumur muda dan tergolong baru dalam kegiatan budidaya. Mereka belum banyak melakukan penanaman sehingga frekuensi kegagalan hanya sedikit. Petani responden yang mengalami gagal panen dengan kategori rendah yaitu 2 kali mengalami gagal panen adalah petani yang kebanyakan membudidayakan padi akan tetapi tidak berani melakukan inovasi baru dalam budidayanya karena tidak berani mengambil resiko kegagalan. Mereka menerima hasil panen dengan produksi yang cenderung tidak meningkat akibat dari tidak melakukan inovasi baru.

Petani responden yang mengalami gagal panen dengan kategori tinggi yaitu 3 kali mengalami gagal panen dan sangat tinggi atau mengalami lebih dari 4 kali gagal panen adalah petani yang mayoritas sudah membudidayakan tanaman padi lebih dari 11 tahun sehingga mereka sudah banyak melakukan inovasi budidaya dan berani mengambil resiko kegagalan. Mereka sudah banyak melakukan penanaman sehingga berbagai macam kegagalan telah mereka alami. Hal tersebut berdampak pada pengetahuan mereka mengenai strategi untuk mengatasi kegagalan panen di waktu yang akan datang.

Menurut Sajogyo dan Pudjiwati (2011) pengalaman merupakan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan berdampak positif untuk melanjutkan suatu kegiatan penanaman.

Pengalaman petani di Desa Jaten sebagian besar termasuk dalam kategori rendah karena petani di Desa Jaten belum lama menjadi petani, sehingga sebagian besar belum memiliki pengetahuan yang cukup dari berbagai macam kegagalan panen yang dialaminya.

e. Luas Lahan

Luas lahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas lahan yang diusahakan oleh petani responden, dalam hal ini lahan merupakan lahan yang digunakan untuk usahatani. Status lahan merupakan lahan

(14)

milik sendiri dan sewa. Data distribusi frekuensi berdasarkan luas lahan responden disajikan pada Tabel 5.7

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan No Kategori Luas lahan Distribusi

Orang %

1 Sangat Rendah 0,25 - 0,5 Ha 25 50,00

2 Rendah 0,51 - 0,75 Ha 19 38,00

3 Tinggi 0,76 - 1 Ha 6 12,00

4 Sangat Tinggi >1 Ha 0 00,00

Jumlah 50 100,00

Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa luas lahan petani responden dalam membudidayakan padi yang masuk dalam kategori sangat rendah yaitu 0,25 – 0,5 Ha sebanyak 25 orang atau 50,00%. Petani responden dengan luas lahan dalam kategori rendah yaitu 0,51 – 0,75 Ha sebanyak 19 orang 38,00%. Petani responden dengan luas lahan dalam kategori tinggi yaitu 0,76 - 1 Ha sebanyak 6 orang atau 12,00%, sedangkan tidak ada petani responden yang memiliki luas lahan dalam kategori sangat tinggi yaitu >1 Ha. Luas lahan yang diusahakan oleh petani akan berpengaruh pada produksi pertanian. Lahan dapat menjadi modal yang sangat penting untuk menambah hasil produksi. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa semakin luas lahan usahatani biasanya akan memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. Kemampuan ekonomi ini akan mempengaruhi persepsi petani membudidayakan padi dengan kambojanisasi.

Luas lahan yang digarap petani responden di Desa Jaten paling banyak termasuk dalam kategori sangat rendah. Hal ini dikarenakan wilayah Kecamatan Jaten termasuk wilayah industri di Kecamatan Karanganyar yang banyak berdiri pabrik, termasuk juga Desa Jaten yang menjadi salah satu desanya. Lahan yang dimiliki petani responden kebanyakan adalah lahan sewa, hal tersebut membuat petani responden tidak terlalu mempedulikan tentang kondisi lahan yang digunakan, sehingga dalam hal ini petani responden menjadi kurang antusias

(15)

mengenai pertanian ramah lingkungan. Menurut Manatar et al. (2017) lahan yang luas akan memperbesar harapan petani untuk hidup layak. Hal ini dikarenakan luas lahan menjamin jumlah atau hasil yang akan diperoleh petani. Saptana dan Rozi (2014) lahan pertanian merupakan sumber pendapatan untuk rumah tangga petani sehingga dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kesejahteraan meskipun tidak sepenuhnya dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sebenarnya.

2. Faktor Eksternal a. Lingkungan Sosial

Mardikanto (1993) petani sebagai pelaku usahatani (baik sebagai juru tani maupun sebagai pengelola) adalah manusia yang setiap pengambilan keputusan untuk usahatani tidak selalu dapat dengan bebas dilakukannya sendiri, tetapi sangat ditentukan oleh ketakutan- ketakutan di sekelilingnya, dengan demikian, jika Ia ingin melakukan perubahan- perubahan untuk usahataninya, petani juga harus memperhatikan pertimbangan- pertimbangan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya.

Lingkungan sosial dalam penelitian ini yaitu elemen masyarakat yang sudah membudidayakan padi dengan kambojanisasi (tetangga, kerabat, tokoh masyarakat, perangkat desa), jumlah bantuan (informasi, saran, pemasaran, alat mesin pertanian, teknik budidaya, modal) yang diterima dalam kambojanisasi serta jumlah informan (PPL, pamong desa, petani lain, tetangga, kerabat) yang membantu dalam kambojanisasi di sekitar lokasi penelitian. Distribusi responden berdasarkan lingkungan sosial disajikan pada Tabel 5.8

Tabel 5.8 Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Sosial

No Kategori Skor Jumlah Persentase (%)

(1) (2) (3) (4) (5)

a. Jumlah pihak yang mendukung kambojanisasi

1. Sangat rendah Tidak ada 1 2,00

2. Rendah 1 pihak 16 32,00

3. Tinggi 2-3 pihak 26 52,00

4. Sangat tinggi ≥ 4 pihak 7 14,00

Jumlah 50 100,00

(16)

Lanjutan

(1) (2) (3) (4) (5)

b. Jumlah bantuan dalam kambojanisasi

1. Sangat rendah Tidak ada 0 00,00

2. Rendah 1 bantuan 25 50,00

3. Tinggi 2-3 bantuan 20 40,00

4. Sangat tinggi >3 bantuan 5 10,00

Jumlah 50 100,00

c. Jumlah informan mengenai kambojanisasi

1. Sangat rendah Tidak ada 0 00,00

2. Rendah 1 informasi 16 32,00

3. Tinggi 2-3 informasi 32 64,00

4. Sangat tinggi >3 informasi 2 4,00

Jumlah 50 100,00

Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa lingkungan sosial responden yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi tanaman padi yang berada pada kategori sangat tinggi dan pada kategori tinggi adalah petani responden yang elemen masyarakat di sekitarnya telah mendukung kambojanisasi, memberikan bantuan serta informasi mengenai kambojanisasi. Banyaknya pihak masyarakat yang telah mendukung kambojanisasi seperti tetangga, kerabat, tokoh masyarakat, perangkat desa dan pihak sekitar akan mempengaruhi pola pikir ataupun pandangan responden terhadap kambojanisasi. Bantuan mengenai kambojanisasi yaitu terkait dalam hal saran, teknik budidaya, bantuan alat mesin pertanian, informasi, dan sistem pemasaran. Responden pada kategori ini mendapatkan informasi terkait kambojanisasi dari penyuluh, tetangga, dan anggota kelompok tani. Penyuluh yang ada cukup aktif dalam memberikan informasi dan dukungan kepada petani sehingga dapat membentuk persepsi petani yang baik dalam kambojanisasi.

Petani responden yang lingkungan sosialnya masuk dalam kategori rendah adalah responden yang lingkungan sekitarnya kurang mendukung dalam kambojanisasi. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya elemen masyarakat yang telah melakukan kambojanisasi di sekitar tempat tinggal mereka, elemen masyarakat hanya memberikan sedikit bantuan dan informasi kepada petani responden sehingga akan menghambat

(17)

kambojanisasi. Bantuan yang diperoleh hanya berupa bibit tanaman kamboja sebagai refugia, sedangkan bantuan mengenai saran, teknik budidaya dan informasi lain yang terkait dengan kambojanisasi tidak diperoleh dari lingkungan tempat tinggal mereka.

Lingkungan sosial responden yang berhubungan dengan pembentukan persepsi petani terhadap kambojanisasi yang berada pada kategori sangat rendah disebabkan oleh sangat sedikitnya elemen masyarakat yang telah menerapkan kambojanisasi sehingga informasi tidak banyak diperoleh dari lingkungan tempat mereka tinggal. Bantuan yang diberikan hanya berupa bibit tanaman kamboja, dan mereka tidak memiliki informan di sekitar tempat tinggal terkait dengan kambojanisasi.

Informasi yang mereka dapatkan hanya berasal dari penyuluh dan tetangga yang jauh.

Lingkungan sosial yang berada di lokasi penelitian dilihat pada Tabel 5.8 mayoritas berada pada kategori tinggi pada jumlah pihak yang mendukung kambojanisasi dan dilihat dari jumlah informan mengenai kambojanisasi, sedangkan jumlah bantuan dalam kambojanisasi mayoritas berada dalam kategori rendah. Lingkungan sosial akan sangat mempengaruhi responden untuk melakukan tindakan lebih lanjut mengenai kambojanisasi, di mana faktor tersebut akan berdampak pada keputusan responden untuk melaksanakan kambojanisasi atau tidak.

Menurut Armen (2015) lingkungan sosial membentuk sistem pergaulan yang besar perannya dalam membentuk kepribadian seseorang. Menurut Soekartawi (2001), lingkungan sosial yang mempengaruhi perubahan- perubahan itu adalah famili atau keluarga, tetangga, kelompok sosial dan status sosial. Semakin banyak elemen di lingkungan sosial yang menerapkan kambojanisasi, memberikan bantuan dan informasi mengenai kambojanisasi maka semakin baik persepsi petani terhadap kambojanisasi.

b. Lingkungan Ekonomi

Lingkungan ekonomi yaitu kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada dalam masyarakat di lokasi penelitian yang secara langsung

(18)

ataupun tidak langsung keberadaannya dapat mendorong atau menghambat petani dalam menerapkan kambojanisasi. Lingkungan ekonomi yang diteliti adalah ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) di lingkungan tempat tinggal responden, jumlah elemen penyedia sarana produksi (kelompok tani, KUD, kios tetangga, kios tani luar desa) dan metode pemasaran pertanian hasil uasahatani (dikonsumsi sendiri/ petani subsisten, dikonsumsi lebih banyak, dijual lebih banyak dan dijual semua/ petani komersil) dalam mendukung kambojanisasi.

Data distribusi frekuensi berdasarkan lingkungan ekonomi responden disajikan pada Tabel 5.9

Tabel 5.9 Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Ekonomi

No. Kategori Skor Orang Persentase (%)

a. Jumlah elemen Penyedia Sarana Produksi

1. Sangat rendah 1 elemen 0 0,00

2. Rendah 2 elemen 13 26,00

3. Tinggi 3 elemen 23 46,00

4. Sangat tinggi ≥4 elemen 14 28,00

Jumlah 50 100,00

b. Ketersediaan Sarana Produksi

1. Sangat rendah Tidak tersedia 0 0,00

2. Rendah 1 saprodi 6 12,00

3. Tinggi 2 saprodi 36 72,00

4. Sangat tinggi ≥ 3 saprodi 8 16,00

Jumlah 50 100,00

c. Metode Hasil Pemasaran

1. Sangat rendah Dikonsumsi 1 2,00

2. Rendah Dikonsumsi lebih

banyak, sisanya dijual

12 24,00

3. Tinggi Dijual lebih banyak,

sisanya dikonsumsi

6 12,00

4. Sangat tinggi Dijual semua 31 62,00

Jumlah 50 100,00

Sumber : Analisis Data Primer

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa seluruh responden berdasarkan lingkungan ekonomi dilihat dari jumlah elemen penyedia sarana produksi tidak berada dalam dalam kategori sangat sangat rendah yaitu dengan jumlah 1 elemen. Hal tersebut karena kelompok tani, KUD, kios tetangga, dan kios tani luar desa sebagai elemen penyedia sarana produksi dalam kambojanisasi tersedia di lokasi penelitian. Hal ini memudahkan petani untuk memenuhi kebutuhan dalam menunjang

(19)

budidayanya. Petani sangat mudah untuk menemukan kios tani di sekitar mereka untuk menerapkan kambojanisasi pada tanaman padi.

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa lingkungan ekonomi dilihat dari ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) dalam usahatani yang yang berada dalam kategori sangat tinggi yaitu tersedia ≥3 sarana produksi sebanyak 8 orang 16,00%. Petani responden yang berada pada kategori tinggi yaitu responden yang menyatakan tersedia 2 sarana produksi di lingkungan tempat tinggalnya berjumlah 36 orang atau 72%.

Responden dalam kategori rendah menyatakan tersedia 1 sarana produksi sejumlah 6 orang atau 12,00%. Tidak ada responden yang masuk dalam kategori sangat rendah berdasarkan ketersediaan sarana produksi di lingkungan tempat tinggalnya.

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui lingkungan ekonomi dilihat dari metode pemasaran hasil usahatani (dikonsumsi sendiri/subsisten, lebih banyak dikonsumsi, lebih banyak dijual, dijual semua/komersil) dalam usahatani sebanyak 1 orang atau 2,00% dikonsumsi sendiri/

subsisten, 12 orang atau 24% dikonsumsi lebih banyak, 6 orang atau 12,00% dijual lebih banyak dan 31 orang atau 62,00% dijual semua/komersil. Persentase paling banyak adalah dijual semua/lomersil yaitu sebanyak 62% pada kategori sangat tinggi

Kondisi lingkungan ekonomi yang dirasakan responden yang termasuk dalam kategori tinggi dilihat dari ketersediaan sarana produksi disebabkan karena responden merasakan ketersediaan sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida di sekitar tempat tinggalnya dirasa sudah mencukupi kebutuhan responden untuk mengembangkan usahataninya. Petani responden yang memiliki lingkungan ekonomi tinggi disebabkan karena ketersediaan sarana produksi disekitar tempat tinggal dirasa cukup memenuhi kebutuhan responden untuk mengembangkan usahataninya.

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak menyatakan jumlah elemen penyedia sarana produksi di lokasi

(20)

penelitian tersedia cukup lengkap dan masuk pada kategori tinggi yaitu tersedia 3 elemen seperti KUD, kios tetangga dan kios tani luar desa.

Mayoritas responden juga menyatakan bahwa ketersediaan sarana prosuksi seperti benih, pupuk dan pestisida masuk pada kategori tinggi yaitu tersedia 2 sarana produksi. Hal tersebut juga terjadi pada metode pemasaran hasil usahatani masuk pada kategori sangat tinggi yaitu dijual semua hasil usahataninya/komersil. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan ekonomi yang ada di sekitar lokasi penelitian mendorong petani untuk menerapkan kambojanisasi. Dewandini (2010) menyatakan bahwa ketersediaan saprodi yaitu tersedianya input produksi pertanian yang mendukung budidaya, diukur dengan melihat sumber input dan ketersediaan input. Adanya ketersediaan sarana dan prasarana produksi akan mendukung petani dalam berusahatani.

C. Persepsi Petani terhadap Kambojanisasi di Desa Jaten Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

1. Persepsi tentang Kemanfaatan

Persepsi Kemanfaatan (perceived usefulness) adalah seberapa jauh seseorang percaya bahwa menggunakan suatu sistem tertentu akan meningkatkan kinerja pekerjaan (Davis, 1989 dalam Jogiyanto, 2008).

Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa petani di Desa Jaten akan memanfaatkan kambojanisasi jika sitem tersebut terbukti bermanfaat dalam usahataninya. Kategori persepsi berdasarkan persepsi tentang kemanfaatan (perceived usefulness) disajikan pada Tabel 5.10

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Kemanfaatan

No. Kategori Skor Jumlah Persentase (%)

1. Sangat Tidak Baik 5-8,75 6 12,00

2. Tidak Baik 8,76-12,51 23 46,00

3. Baik 12,52-16,27 18 36,00

4. Sangat Baik 16,28-20,03 3 6,00

Jumlah 50 100,00

Sumber: Analisis Data Primer

Tabel 5.10 menunjukkan bahwa persepsi responden berdasarkan persepsi tentang kemanfaatan yang masuk dalam kategori sangat tidak baik yaitu sebanyak 6 orang atau 12,00%. Responden dalam kategori tidak baik

(21)

merupakan yang paling banyak yaitu 23 orang atau 46,00%. Responden yang masuk dalam kategori baik sebanyak 18 orang atau 36,00% dan responden dalam kategori sangat baik sebanyak 3 orang atau 6,00%.

Responden pada kategori tidak baik sebanyak 23 orang atau 46,00%

dan pada kategori sangat tidak baik sebanyak 6 orang atau 12,00%. Hal tersebut karena kambojanisasi sendiri adalah kegiatan baru yang belum berjalan lama. Petani responden sulit memahami manfaat yang akan didapat ketika menerapkan kambojanisasi. Petani responden menganggap kambojanisasi belum cukup membuktikan dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi mereka. Tanaman kamboja yang digunakan sebagai refugia ini juga masih mempunyai mitos di masyarakat sekitar, termasuk petani responden yaitu tanaman kamboja adalah tanaman kematian, sehingga petani responden mempunyai kepercayaan jika menanam tanaman kamboja di lahannya bisa mendapat kemalangan. Petani responden juga berpendapat jika tanaman kamboja ini dapat menghalangi cahaya matahari ke tanaman padi sehingga mengakibatkan perkembangan tanaman yang lambat. Responden dengan kategori tinggi dan sangat tinggi masing-masing sebanyak 18 orang atau 36,00% dan 3 orang atau 6,00%. Petani responden dalam kedua kategori ini dapat dengan mudah memahai manfaat kambojanisasi dengan harapan kambojanisasi yang telah mereka terapkan dapat bermaanfaat bagi usahataninya.

Berdasarkan Tabel 5.10 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden masuk dalaPerm kategori tidak baik dilihat dari persepsi tentang kemanfaatan. Artinya persepsi dari indikator kemanfaatan belum dapat membuat petani percaya sepenuhnya tentang manfaat yang akan diberikan oleh kambojanisasi, sehingga persepsi petani dari indikator kemanfaatan masih kurang dibaiki. Penelitian ini sejalan dengan Santoso (2014) yang menyatakan persepsi kemanfaatan didefinisikan sejauh mana seseorang menyukai bahwa penggunaan sistem tertentu akan meningkatkan kinerjanya, jika seseorang merasa percaya bahwa sistem berguna maka dia akan

(22)

menggunakannya, sebaliknya jika seseorang merasa percaya sistem kurang berguna maka dia tidak akan menggunakannya.

2. Persepsi Kemudahan

Persepsi Kemudahan (perceived ease of use) didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang percaya bahwa menggunakan suatu teknologi akan bebas dari usaha (Davis, 1989 dalam Jogiyanto, 2008). Indikator persepsi kemudahan pada penelitian ini meliputi kemudahan dalam memahami informasi, kemudahan kambojanisasi untuk diterapkan dan dukungan dari pihak-pihak terkait untuk kelancaran kambojanisasi. Kategori persepsi responden berdasarkan kemudahan disajikan pada Tabel 5.11.

Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Kemudahan

No. Kategori Skor Jumlah Persentase (%)

1. Sangat Tidak Baik 5-9,5 0 0,00

2. Tidak Baik 9,6-14,1 14 28,00

3. Baik 14,2-18,7 25 50,00

4. Sangat Baik 18,8-23,3 11 22,00

Jumlah 50 100,00

Sumber: Analisis Data Primer

Tabel 5.11 menunjukkan bahwa tidak ada responden yang masuk dalam kategori sangat tidak baik terhadap kemudahan kambojanisasi. Responden yang masuk dalam kategori tidak baik terhadap kemudahan kambojanisasi sebanyak 14 orang atau 28,00%. Rpetani responden paling banyak masuk dalam kategori baik terhadap kemudahan kambojanisasi yaitu sebanyak 25 orang atau 50,00%. 11 orang atau 22,00% merupakan petani responden yang memilih sangat baik terhadap kemudahan kambojanisasi.

Petani responden yang memilih baik dan sangat baik terhadap kemudahan kambojanisasi adalah responden yang menganggap kambojanisasi ini mudah untuk dipahami dan diikuti, kegiatan kambojanisasi yang banyak didukung oleh pihak-pihak dan instansi terkait, sehingga membuat petani responden tidak kesulitan saat menerapkan kambojanisasi.

Petani responden yang memilih tidak baik dalam kemudahan kambojanisasi dikarenakan petani responden belum percaya jika kambojanisasi dapat

(23)

membantu dalam pengendalian hama secara terpadu. Petani responden juga beranggapan jika kambojanisasi ini masih membingungkan untuk diterapkan.

Berdasarkan Tabel 5.11 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memilih untuk baik terhadap kemudahan kambojanisasi yaitu sebanyak 25 orang atau 50,00%. Tingginya presentasi baik terhadap persepsi kemudahan kambojanisasi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kambojanisasi banyak didukung oleh pihak-pihak dan instansi terkait, sehingga informasi-informasi tentang kambojanisasi ini dapat mudah dipahami dan diikuti. Petani responden juga berharap jika kambojanisasi dapat membantu mereka mengendalikan hama secara terpadu. Penelitian ini sejalan dengan Nasution (2004) yang menyatakan bahwa sitem yang lebih fleksibel, mudah dipahami dan mudah penerapannya sebagai karakteristik kemudahaan penerapan. Penelitian ini juga sejalan dengan HS Rusminah dan Hilmati (2021) yang menyatakan salah satu faktor yang menyebabkan pemakai menerima atau menolak sistem adalah keterkaitan dengan penggunaan sistem. Pengguna cenderung untuk menggunakan atau tidaknya sistem yang dianggap sebagai sesuatu yang mereka yakini akan membantu kinerja mereka, dalam hal ini adalah membantu petani dalam mengendalikan hama secara terpadu.

3. Tingkat Persespsi Petani dalam Kambojanisasi

Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Persepsi

No. Motivasi Kategori Skor Jumlah Persentase

(%) 1. Persepsi

Kemanfaatan

Tidak Baik 8,76-12,51 23 46,00

2. Persepsi Kemudahan

Baik 14,2-18,7 25 50,00

Sumber: Analisis Data Primer

Tabel 5.12 menunjukkan bahwa tingkat persepsi petani dalam menerapkan kambojanisasi didasarkan pada variable persepsi kemudahan.

Sebanyak 25 orang atau 50,00% petani memilih baik untuk menerapkan kambojanisasi berdasarkan kemudahan diterapkannya kambojanisasi.

Kemudahan informasi terkait penerapan kambojanisasi, tahapan-tahapan

(24)

kambojanisasi yang mudah diikuti dan banyak dukungan dari pihak-pihak tertentu dan instansi terkait untuk kelancaran kambojanisasi merupakan persepsi paling kuat petani menerapkan kambojanisasi di Desa Jaten.

D. Hubungan antara Faktor- Faktor Pembentuk Persepsi dengan Persepsi Petani terhadap Kambojanisasi di Desa Jaten Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Hubungan antara faktor pembentuk persepsi dengan tingkat persepsi petani terhadap kambojanisasi di Desa Jaten Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar adalah variabel yang dikaji dalam penelitian ini. Hubungan antara faktor-faktor pembentuk persepsi (faktor internal dan faktor eksternal) dengan tingkat persepsi petani terhadap kambojanisasi dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman (𝑟𝑆). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program aplikasi SPSS Statistics 25.0. Hasil analisis signifikansi hubungan disajikan pada Tabel 5.13.

Tabel 5.13. Signifikansi Hubungan antara Faktor-Faktor Pembentuk Persepsi dengan Tingkat Persepsi Petani terhadap Kambojanisasi

Tingkat Persepsi Responden X Kemanfaatan

(Y1)

Kemudahan (Y2)

Persepsi Total (Ytotal)

rs Sig. rs Sig. rs Sig.

X1 -0,701** 0,000 -0,748** 0,000 -0,762** 0,000

X2 0,577** 0,000 0,486 0,000 0,548** 0,000

X3 0,006 0,967 -0,078 0,590 -0,031 0,829

X4 -0,331* 0,019 -0,368** 0,008 -0,362** 0,000

X5 0,256 0,073 0,227 0,113 0,234* 0,171

X6 0,154 0,284 0,256 0,073 0,175* 0,195

X7 -0,055 0,703 0,044 0,763 -0,010 0,946

Sumber: Analisis Data Primer Keterangan:

X1 : Umur rs : Koefisien korelasi X2 : Pendidikan Formal *) : Signifikan (α = 0,05)

X3 : Pendidikan Nonformal **) : Sangat signifikan (α = 0,01) X4 : Pengalaman Usahatani

X5 : Luas Lahan

X6 : Lingkungan Sosial X7 : Lingkungan Ekonomi

Berdasarkan Tabel 5.13 dapat dilihat bahwa hasil analisis menunjukkan hubungan yang sangat signifikan, signifikan dan tidak signifikan antar variabel.

Makna dari angka-angka hasil analisis di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

(25)

1. Hubungan antara Umur dengan Persepsi Petani terhadap Kambojanisasi Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi (𝑟𝑆) sebesar -0,762** dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,000 < α: 0,05 maka Ho

ditolak dan H1 diterima. Berarti umur berhubungan signifikan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan umur atau bertambahnya umur responden berhubungan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi. Hubungan tersebut termasuk dalam kategori sangat kuat, hal tersebut dikarenakan pada hasil analisis r correlation atau rs

memiliki nilai -0,762** berada pada range koefisien korelasi 0,76-0,99 yang memiliki arti sangat kuat. Hubungan antara umur dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi memiliki arah negatif (-) yang artinya hubungan antara kedua variabel tersebut saling berbanding terbalik. Hubungan berbanding terbalik dapat dimaksudkan ketika varibel umur semakin tinggi maka persepsi petani terhadap kambojanisasi menurun.

Umur petani responden penelitian di lapang yaitu sebanyak 10 orang atau 20,00% berumur 26-45 tahun atau dalam kategori masa dewasa, sebanyak 15 orang atau 30,00% berada di umur 46-55 tahun atau dalam masa lansia awal, sebanyak 12 orang atau 24,00% berumur 56-65 tahun atau pada masa lansia akhir, dan sebanyak 13 orang atau 26,00% berada di umur ≥ 65 tahun atau masa manula. Persentase paling banyak berasal dari responden dengan umur 46-55 tahun (masa lansia awal). Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan umur berhubungan dengan persepsi petani. Petani responden yang berumur lebih tua memiliki persepsi yang lebih rendah dibandingkan dengan petani responden berumur lebih muda.

Menurut Soekartawi (2002) petani yang lebih tua bisa jadi mempunyai kemampuan berusahatani yang konservatif dan lebih mudah lelah, sedangkan petani muda kebanyakan lebih miskin dalam pengalaman dan keterampilan tetapi biasanya sifatnya lebih progesif terhadap inovasi baru dan ralatif lebih kuat. Faktor sikap yang lebih progresif terhadap inovasi baru dalam hubungan dengan perilaku petani terhadap resiko inilah yang lebih cenderung membentuk nilai perilaku petani usia muda untuk lebih berani menanggung

(26)

resiko kambojanisasi. Tinggi atau rendahnya umur petani dalam kambojanisasi memiliki hubungan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi di Desa Jaten Kecamatan Jaten.

Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui hubungan antara umur dengan persepsi kemanfaatan. Nilai koefisien korelasi (𝑟𝑆) sebesar -0,701 dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,000 < α: 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Berarti umur berhubungan signifikan dengan persepsi kemanfaatan dalam persepsi petani terhadap kambojanisasi. Hubungan tersebut termasuk dalam kategori kuat, hal tersebut dikarenakan pada hasil analisis r correlation atau rs memiliki nilai -0,701** berada pada range koefisien korelasi 0,51-0,75 yang memiliki arti kuat. Hubungan antara umur dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi memiliki arah negatif (-) yang artinya hubungan antara kedua variabel tersebut saling berbanding terbalik. Hubungan berbanding terbalik dapat dimaksudkan ketika varibel umur semakin tinggi maka persepsi petani tentang kemanfaatan kambojanisasi semakin menurun.

Petani yang menerapkan kambojanisasi menunjukkan bahwa petani pada masa dewasa memiliki persepsi kemanfaatan yang lebih tinggi daripada petani pada masa lansia awal, akhir dan masa manula. Petani yang berusia 46 - ≥65 tahun lebih sulit untuk memahami manfaat dari kambojanisasi, petani yang lebih tua juga cendurung tertutup terhadap inovasi baru. Hal ini sejalan dengan As’sad (1995) umur akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usahatani dari petani yang makin tua, pertimbangan dan pengambilan keputusan relatif lama dibandingkan petani muda.

Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui hubungan antara umur dengan persepsi kemudahan. Nilai koefisien korelasi (𝑟𝑆) sebesar -0,748** dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,000 < α: 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Berarti umur berhubungan signifikan dengan persepsi kemudahan terhadap kambojanisasi. Hubungan tersebut termasuk dalam kategori kuat, hal tersebut dikarenakan pada hasil analisis r correlation atau rs memiliki nilai -0,748**

berada pada range koefisien korelasi 0,51-0,75 yang memiliki arti kuat.

(27)

Hubungan antara umur dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi memiliki arah negatif (-) yang artinya hubungan antara kedua variabel tersebut saling berbanding terbalik. Hubungan berbanding terbalik dapat dimaksudkan ketika varibel umur semakin tinggi maka persepsi kemudahan petani terhadap kambojanisasi semakin menurun.

Petani yang menerapkan kambojanisasi menunjukkan bahwa petani pada masa dewasa memiliki persepsi kemudahan yang lebih tinggi daripada petani pada masa lansia awal, akhir dan masa manula. Petani yang berusia 46 - ≥65 tahun lebih sulit untuk mengikuti kambojanisasi tanpa kebingungan, petani juga sulit memahami informasi yang diberikan terkait kambojanisasi, sehingga petani yang lebih tua juga cendurung tertutup terhadap inovasi baru.

Rakhmat (2007) berpendapat bahwa kelompok orang tua melahirkan pola tindakan yang pasti berbeda dengan anak- anak muda. Kemampuan mental tubuh lebih cepat pada masa anak- anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat sampai awal dua puluhan dan merosot perlahan- lahan sampai tahun- tahun terakhir.

2. Hubungan antara Pendidikan Formal dengan Persepsi Petani terhadap Kambojanisasi

Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi (𝑟𝑆) sebesar 0,548** dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,000 < α: 0,05 maka Ho

ditolak dan H1 diterima. Berarti pendidikan formal berhubungan signifikan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan pendidikan formal atau bertambahnya jenjang pendidikan formal responden berhubungan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi. Hubungan tersebut termasuk dalam kategori kuat, hal tersebut dikarenakan pada hasil analisis r correlation atau rs memiliki nilai 0,548**

berada pada range koefisien korelasi 0,51-0,75 yang memiliki arti kuat.

Hubungan antara pendidikan formal dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi memiliki arah positif (+) yang artinya hubungan antara kedua variabel tersebut berbanding lurus. Hubungan berbanding lurus dapat dimaksudkan ketika varibel pendidikan formal semakin tinggi maka persepsi

(28)

petani terhadap kambojanisasi juga meningkat.

Pendidikan formal petani responden penelitian di lapang yaitu pada kategori sangat rendah sebanyak 20 orang atau 40,00% berada pada tingkat SD/sederajat, pada kategori rendah sebanyak 18 orang atau 36,00% berada di tingkat SMP/sederajat, pada kategori tinggi sebanyak 9 orang berada di tingkat SMA/sederajat dan pada kategori sangat tinggi yaitu sarjana sebanyak 3 orang atau 6,00%. Persentase paling banyak berada pada kategori sangat rendah yaitu SD/sederajat sebanyak 20 orang atau 40,00%. Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan formal berhubungan dengan persepsi petani. Petani responden yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi memiliki persepsi yang lebih tinggi juga dibandingkan petani responden dengan pendidikan rendah.

Menurut Tirtarahardja (2005) tingkat pendidikan petani sering disebut sebagai faktor rendahnya tingkat produktivitas petani. Tingkat pendidikan yang rendah maka petani akan lambat mengadopsi inovasi baru dan mempertahankan kebiasaan- kebiasaan lama, sedangkan seseorang yang berpendidikan tinggi tergolong lebih cepat dalam mengadopsi inovasi baru.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini, di mana tinggi atau rendahnya pendidikan formal memiliki hubungan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi di Desa Jaten Kecamatan Jaten, semakin tinggi pendidikan formal, maka semakin meningkat persepsi petani.

Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui hubungan antara pendidikan formal dengan persepsi kemanfaatan. Nilai koefisien korelasi (𝑟𝑆) sebesar 0,577** dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,000 < α: 0,05 maka Ho ditolak dan H1

diterima. Berarti pendidikan formal berhubungan signifikan dengan persepsi kemanfaatan dalam persepsi petani terhadap kambojanisasi. Hubungan tersebut termasuk dalam kategori kuat, hal tersebut dikarenakan pada hasil analisis r correlation atau rs memiliki nilai 0,577** berada pada range koefisien korelasi 0,51-0,75 yang memiliki arti kuat. Hubungan antara pendidikan formal dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi memiliki arah negatif (+) yang artinya hubungan antara kedua variabel tersebut

(29)

berbanding lurus. Hubungan berbanding lurus dapat dimaksudkan ketika varibel pendidikan formal semakin tinggi maka persepsi petani tentang kemanfaatan kambojanisasi semakin meningkat.

Petani yang menerapkan kambojanisasi menunjukkan bahwa petani pada tingkat pendidikan SD/sederajat memiliki persepsi kemanfaatan yang lebih rendah daripada petani yang berpendidikan tinggi. Menurut Thoha (2004) tingkat pendidikan yang memadai membuat petani akan semakin mengerti dan memahami materi- materi yang disampaikan oleh penyuluh serta mempengaruhi kemampuan petani untuk menerima inovasi baru. Hal tersebut membuat petani yang memiliki pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami manfaat dari kambojanisasi, sehingga petani di Desa Jaten masih kurang percaya bahwa kambojanisasi akan memberikan manfaat yang lebih baik bagi usahataninya.

Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui hubungan antara pendidikan formal dengan persepsi kemudahan. Nilai koefisien korelasi (𝑟𝑆) sebesar 0,486** dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,000 < α: 0,05 maka Ho ditolak dan H1

diterima. Berarti pendidikan formal berhubungan signifikan dengan persepsi kemudahan terhadap kambojanisasi. Hubungan tersebut termasuk dalam kategori cukup kuat, hal tersebut dikarenakan pada hasil analisis r correlation atau rs memiliki nilai 0,486** berada pada range koefisien korelasi 0,26-0,50 yang memiliki arti cukup kuat. Hubungan antara pendidikan formal dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi memiliki arah negatif (+) yang artinya hubungan antara kedua variabel tersebut berbanding lurus. Hubungan berbanding lurus dapat dimaksudkan ketika varibel pendidikan formal semakin tinggi maka persepsi kemudahan petani terhadap kambojanisasi semakin meningkat.

Petani yang menerapkan kambojanisasi menunjukkan bahwa petani yang memiliki pendidikan yang lebih rendah memiliki persepsi kemudahan yang lebih rendah daripada petani yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Petani yang memiliki pendidikan SD/sederajat hingga SMP/sederajat lebih sulit untuk mengikuti kambojanisasi tanpa kebingungan dibanding

(30)

petani dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat hingga sarjana. Petani juga sulit memahami informasi yang diberikan terkait kambojanisasi, sehingga petani yang memiliki pendidikan lebih rendah juga cendurung tertutup terhadap inovasi baru.

3. Hubungan antara Pendidikan Nonformal dengan Persepsi Petani terhadap Kambojanisasi

Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi (𝑟𝑆) sebesar -0,031 dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,829 > α: 0,05 maka Ho

diterima dan H1 ditolak. Berarti pendidikan nonformal tidak berhubungan signifikan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi. Tinggi rendahnya pendidikan nonformal tidak berhubungan signifikan dengan persepsi petani terhadap kambojanisasi.

Berdasarkan pelatihan yang diikuti petani responden di lapang dalam kurun waktu setahun terakhir terdapat sebanyak 9 orang atau 18,00% yang tidak pernah mengikuti pelatihan, 30 orang atau 60,00% mengikuti pelatihan sebanyak satu kali, 11 orang atau 22,00% mengikuti pelatihan sebanyak dua kali dan tidak ada responden yang mengikuti pelatihan lebih dari tiga kali.

Berdasarkan penyuluhan yang diikuti petani responden di lapang dalam kurun waktu satu musim tanam padi terdapat sebanyak 3 orang atau 6,00% yang tidak pernah mengikuti penyuluhan, sebanyak 18 orang atau 36,00 mengikuti penyuluhan sebanyak satu kali, 25 orang atau 50,00% mengikuti penyuluhan sebanyak dua kali, dan 4 orang atau 8,00% mengikuti penyuluhan lebih atau sama dengan tiga kali. Berdasarkan persentasenya petani responden dalam mengikuti kegiatan pelatihan dan penyuluhan responden terbanyak berada di kategori rendah, sehingga berpotensi dalam penerapan persepsi yang rendah, namun kondisi di lapangan menunjukkan baik petani yang sering mengikuti pelatihan dan penyuluhan maupun petani yang jarang mangikutinya sama- sama memiliki persepsi yang rendah terhadap kambojanisasi.

Pelatihan diadakan di lapang dilakukan satu tahun sekali, kegiatan pelatihan juga belum terfokus pada pelatihan mengenai kambojanisasi.

Pelatihan yang dilakukan diantaranya adalah audiensi tingkat provinsi

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan yang tidak signifikan, menunjukkan bahwa motivasi petani tidak berhubungan dengan peran penyuluh yang dilakukan oleh petani yang artinya setinggi

Pada penelitian ini didapatkan mayoritas responden yang mempunyai aktivitas fisik yang tidak berisiko disebabkan karena responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa

128 Walaupun mayoritas jawaban responden menyatakan setuju terhadap dimensi ini, namun jika diperhatikan sebanyak 6, 30 % yaitu 72 responden menyatakan ragu- ragu bahwa

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan teknik komunikasi langsung yang melibatkan 98 orang petani yang melakukan kegiatan pertanian padi, dengan frekuensi tanam

tinggi yaitu sebesar 4,3 dari pada responden yang berumur 21-30 tahun.. yang hanya sebesar 4,04 dan responden yang berumur 41-50

Dengan membaca pasal tersebut dan mempertimbangkan usia pensiun PNS pada saat dibuatnya kebijakan yaitu berumur 56 tahun sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 32

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar sikap responden sebelum mendapatkan konseling gizi dalam kategori cukup 75%.Hal ini dikarenakan responden belum mendapatkan

Pembahasan Penelitian Penelitian tentang gambaran pengetahuan menyikat gigi pada siswa SDN 1 Baler Bale Agung tahun 2023 dengan jumlah 35 responden, menunjukkan bahwa persentase siswa