• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kontribusi Forgiveness terhadap Resiliency Wanita Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di UPT P2 TP2A Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kontribusi Forgiveness terhadap Resiliency Wanita Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di UPT P2 TP2A Kota Bandung."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

vi

Universitas Kristen Maranatha Secara akal sehat ketika seorang wanita disakiti dan disiksa oleh suaminya, akan sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk memaafkan. Salah satu faktor yang dapat memperkuat resiliency adalah forgiveness (Worthingthon, 2015). Penelitian ini menggunakan Teori forgiveness (Worthingthon 2006) dan Teori Resiliency (Wagnild & Young, 2010). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi forgiveness terhdap resilienscy.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontribusi dengan menggunakan purposive sampling dan diperoleh dari 40 wanita korban kekerasan dalam rumah tangga. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner Decisional Forgiveness Scale (DFS), Emotional Forgiveness Scale (EFS) yang disusun oleh Worthingthon, dan Resilience Scale- 25 (RS-25) yang disusun oleh Wagnild & Young. Uji validitas menggunakan Pearson Correlation dan reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach dengan SPSS 16. Validitas kuesioner DFS berkisar 0,621- 0794 dengan reliabilitas 0,85 Validitas kuesioner EFS berkisar 0,664-0,825 dengan reliabilitas 0,909. Validitas RS-25 berkisar 0,578-0,843 dengan reliabilitas 0,967. Berdasarkan Uji Regresi ganda, forgiveness memiliki kontribusi yang signifikan terhadap resiliency wanita korban kekerasan. (r = 0,67).

(2)

vii

Universitas Kristen Maranatha In Common sense when a woman is abused and tortured by her husband, would be very difficult even impossible to forgive. One factor that can strengthen the resiliency is forgiveness (Worthingthon, 2015). This study uses the theory of forgiveness (Worthingthon 2006) and Resiliency Theory (Wagnild & Young, 2010).The purpose of this studyto see contribution between forgivebess and resiliency.

The method used in this study is a contribution by using purposive sampling and obtained 40 women victims of domestic violence. Measuring instrument used was a questionnaire decisional Forgiveness Scale (DFS), Emotional Forgiveness Scale (EFS) compiled by Worthinthon, and Resilience Scale- 25 (RS-25) compiled by Wagnild & Young. Test the validity of using Pearson Correlation and reliability using Cronbach Alpha with SPSS 16. The validity of the questionnaire DFS ranged 0,621- 0794 with reliability 0,85. The validity of the questionnaire EFS ranged 0,664-0,825 with reliability 0,909. The validity of the RS-25 ranged 0,578-0 with reliability 0,967. Based on multiple regression test, forgiveness has contributed significantly to the resiliency of women victims of violence. (R = 0,67).

(3)

viii

Universitas Kristen Maranatha HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 13

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian... 13

1.3.1. Maksud Penelitian ... 13

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1. Kegunaan Teoretis ... 13

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 14

(4)

ix

Universitas Kristen Maranatha

1.7. Hipotesis Penelitian ... 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Forgiveness ... 28

2.1.1. Definisi Forgiveness dan Unforgiveness ... 28

2.1.2. Dinamika Forgiveness dan Unforgiveness ... 29

2.1.3. Tipe Forgiveness ... 31

2.1.4. Dinamika Emotional dan Decisional Forgiveness ... 32

2.1.5. Faktor yang mempengaruhi Forgiveness ... 33

2.2. Resiliency ... 36

2.2.1. Definisi Resiliency ... 36

2.2.2. Komponen Resiliency ... 37

2.3. Dinamika Forgiveness dan Resiliency ... 40

2.4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 43

2.4.1. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 43

2.4.2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 44

(5)

x

Universitas Kristen Maranatha

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 48

3.2. Bagan Prosedur Penelitian ... 48

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 49

3.3.1. Variabel Penelitian ... 49

3.3.2. Definisi Operasional ... 49

3.3.2.1. Dukungan Sosial Suami ... 49

3.3.2.2. Subjective Well-Being ... 49

3.4. Alat Ukur ... 50

3.4.1. Alat ukur Forgiveness ... 50

3.4.1.1. Penentuan skor Alat Ukur Forgiveness ... 51

3.4.2. Alat ukur Resiliency ... 52

3.4.2.1. Penentuan skor Alat Ukur Resiliency ... 53

3.4.3. Data Pribadi dan Data Penunjang ... 54

3.4.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 54

3.4.4.1. Validitas Alat Ukur ... 54

3.4.4.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 55

3.5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 56

3.5.1. Populasi Sasaran ... 56

3.5.2. Karakteristik Populasi ... 56

3.5.3. Teknik Penarikan Sampel ... 57

3.6. Teknik Analisis Data... 57

(6)

xi

Universitas Kristen Maranatha

4.1. Gambaran Responden Penelitian ... 61

4.2. Hasil Penelitian ... 62

4.2.1 Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 62

4.2.2. Hasil Regresi Ganda ... 63

4.2.3. Kontribusi Forgiveness terhadap Resiliency ... 64

4.3 Pembahasan... 66

4.4 Diskusi ... 72

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 75

5.2. Saran ... 76

5.2.1 Saran Teoretis ... 76

5.2.2. Saran Praktis ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(7)

xii

Universitas Kristen Maranatha

Tabel 3.1. Kisi-kisi Alat Ukur Forgiveness... 51

Tabel 3.2. Kisi-kisi Alat Ukur Resiliency ... 52

Tabel 3.3. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner RS-25... 55

Tabel 3.4. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner DFS ... 55

Tabel 3.5 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner EFS ... 56

Tabel 4.1. Gambaran Umum Responden ... 61

Tabel 4.2. Hasil Regresi Ganda Forgiveness terhadap Resiliency ... 63

Tabel 4.3. Hasil Perhitungan Besarnya Kontribusi Forgiveness terhadap Resiliency ... 64

Tabel 4.4. Kontribusi Masing-masing Tipe Forgiveness terhadap Resiliency ... 65

(8)

xiii

(9)

xiv

Universitas Kristen Maranatha Lampiran 1: : Kisi-kisi Alat Ukur ... L-1

(10)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan suatu persitiwa yang penting di masyarakat. Di dalam

pernikahan pasti ada harapan-harapan baru dan juga pola kehidupan yang baru. Pernikahan adalah penyatuan dua individu dari keluarga, latar belakang budaya, dan kepribadian yang

berbeda dalam satu sistem yang dinamakan keluarga baru. Hal ini tidak hanya berhubungan

dengan satu individu saja yang dipersatukan tetapi berbagai latar belakang yang dimiliki

individu tersebut (Santrock, 2002). Penyesuaian disinilah yang sering mengakibatkan

ketegangan dan perbedaan pendapat dalam pernikahan. Penyesuaian dalam pernikahan akan

menimbulkan ketegangan, ditambah dengan berbagai perubahan yang akan dihadapi,

misalnya perubahan fisik, sosial, atau kepribadian (Hurlock, 2013).

Tak jarang ketegangan tersebut seringkali menjadi salah satu pemicu terjadi

kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat suatu

ketegangan yang terjadi antara pasangan suami istri dimana mereka mengekpresikan

pendapatnya yang berbeda dan salah satu dari kedua belah pihak ingin menunjukkan Power atau domination yang ia miliki. Hal ini digunakan untuk memanipulasi agar pihak korban mengikuti pendapatnya (Lambronici, 2012). Pada saat ini, kekerasan dalam rumah tangga

bukanlah hal yang asing di masyarakat. Korban kekerasan di dalam kehidupan berumah

tangga biasanya dijumpai pada pihak wanita. Dari tahun ke tahun tingkat kekerasan rumah

tangga terus meningkat, walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang no.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT. Undang-undang tersebut tidak berpengaruh terhadap jumlah

tindak kekerasan yang terjadi sekarang (www.ditjenpp.kemenkumham.go.id, diakses 13 April

(11)

Undang-Universitas Kristen Maranatha Undang no. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan rumah tangga adalah perbuatan

seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan fisik, seksual,

psikologis, penelantaran rumah tangga, ancaman, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dari rumah tangga. Pada pembahasan berikutnya kekerasan dalam

rumah tangga akan disingkat menjadi KDRT.

Berdasarkan dokumen resmi pada lembaga UPT P2TP2A kota Bandung, diperoleh

data statistik bahwa tingkat KDRT mengalami peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun.

Bahkan, sempat meningkat 3 kali lipat pada tahun 2012- 2013. Data klien di UPT P2TP2A

kota Bandung, 4 tahun terakhir berdasarkan jumlah kasus kekerasan yang terjadi adalah

sebagai berikut: Jumlah total perilaku kekerasan rumah tangga yang dilakukan pada tahun

2010- 2011 meningkat sebanyak 27%, dari 57 kasus ke 76 kasus. Pada tahun 2011-2012 total perilaku kekerasan rumah tangga mengalami penurunan sebanyak 6%, dari 76 kasus ke 67

kasus. Pada tahun 2012-2013 total perilaku kekerasan rumah tangga meningkat sebanyak

40%, dari 67 kasus ke 157 kasus. Pada tahun 2013-2014 total perilaku kekerasan rumah tangga meningkat sebanyak 31 %, dari 157 kasus ke 293 kasus.

Wanita lebih besar kemungkinannya untuk menerima perilaku kekerasan fisik, seksual

dan psikologis dari laki-laki (Cordero, 2014). Kekerasan merupakan salah satu hal yang dapat

mengakibatkan masalah pada kesehatan mental, tunawisma, luka fisik, bahkan kematian

(Cordero, 2014). Ketika seseorang mendapatkan perilaku kekerasan, maka akan terdapat

kemungkinan besar untuk tindak KDRT dilakukan kembali (www.kompasiana.com diakses 12

Maret 2016). Banyak wanita yang mampu melepaskan diri dari situasi kekerasan, tetapi

banyak pula yang tidak mampu melepaskannya. Wanita yang mengalami kekerasan rumah

tangga memiliki tanggung jawab untuk membuktikan bahwa dirinya adalah korban, tetapi di

sisi lain mereka tidak ingin menjatuhkan partner rumah tangganya. Wanita yang mengalami

(12)

Universitas Kristen Maranatha pandangan tentang diri mereka, orang lain dan dunia sekitarnya (Cordero, 2014). Tak jarang

beberapa wanita korban KDRT lebih memilih untuk menyendiri dan mengisolasi dirinya.

Wanita yang pernah mengalami kekerasan lebih dari satu kali akan mengalami ketakutan dan

teror yang berlebihan di dalam dirinya, pikiran berulang dan kilas balik mengenai insiden

kekerasan yang terjadi sebelumnya, penolakan dan penghindaran kepada suami yang

melakukan kekerasan, dan kewaspadaan yang berlebihan terhadap suaminya (Rizo, 2013).

Alasan seseorang melakukan tindakan KDRT biasanya dikarenakan adanya sulitnya

pelaku mengontrol emosinya, yang disebabkan oleh beragam penyebab, bisa dikarenakan

himpitan ekonomi atau jumlah anggota keluarga. Seorang yang memiliki penghasilan rendah

tetapi memiliki anggota keluarga yang banyak,akan memiliki ketegangan yang lebih tinggi

dibandingkan seorang yang memiliki status sosial ekonomi tinggi dan memiliki jumlah

anggota keluarga yang sedikit. Selain itu, pendidikan dari masing-masing pasangan pun

menjadi salah satu fakor pemicu kekerasan (Sita,2009). Pendidikan berhubungan dengan

kognitif dan juga kematangan pertimbanagan seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Tak

jarang, seseorang yang memiliki pendidikan rendah akan lebih sulit mengolah emosi yang

dirasakan dibandingkan seseorang yang berpendidikan tinggi (Sita, 2009).

Seorang wanita yang mengalami tindakan kekerasan dalam rumah tangganya

memiliki penghayatan yang berbeda-beda dalam menghadapi kenyataan yang ia alami.

Dampak yang dialami oleh wanita tersebut bisa berupa fisik dan psikis. Dampak fisik

diantaranya luka, rasa sakit, kecacatan kehamilan, keguguran kandungan, bahkan kematian.

Sedangkan dampak psikis dibedakan menjadi: dampak segera setelah kejadian, jangka

menengah, dan jangka panjang yang menetap. Dampak segera biasanya berupa rasa takut,

terancam, kebingungan, hilangnya rasa berdaya, ketidak mampuan berfikir, dan kewaspadaan

berlebih. Dampak jangka menengah dan panjang bisa berupa gangguan makan dan tidur.

(13)

Universitas Kristen Maranatha Hal demikian juga dialami oleh seorang Ibu yang mengalami KDRT yang melaporkan

tindakan suaminya ke Lembaga UPT P2TP2A kota Bandung. Ibu yang memiliki 2 orang

anak ini selalu mengalami ketakutan yang luar biasa ketika mendengar suaminya pulang ke

rumah. Bahkan, ketika suaminya pergi bekerja Ibu tersebut seringkali teringat dengan

kekerasan yang sudah dilakukan oleh suaminya. Dalam budaya patrialis, kepada perempuan

telah ditanamkan nilai-nilai kepatuhan dan pelayanan kepada suaminya, Sehingga wanita yang menjadi korban akan sulit untuk bercerai dan memilih tetap patuh dengan suami mereka

bahkan istri korban KDRT cenderung untuk menutup-nutupinya agar tidak langsung di bawa

ke ranah hukum (www.esterlianawati.wordpress.com , diakses 15 April 2015). Budaya

tersebut sangat kental diterapkan di dalam masyarakat Indonesia sehingga tidak sedikit

wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga dan memilih diam dan membiarkan perilaku

KDRT terulang lagi. Disisi lain wanita korban KDRT juga pasti memiliki keinginan untuk

keluar dari pola KDRT yang ia hadapai, tetapi jangankan untuk bertahan konsep diri yang

rendah dan ketakutan seringkali membuat mereka tidak berdaya. Wanita korban KDRT akan

membutuhkan penanganan, bukan hanya tempat untuk bercerita tetapi juga konseling dimana

dapat memberikan solusi dan intervensi terbaik untuk wanita tersebut (Lambronici,2012).

Salah satu lembaga yang dapat memberikan layanan dan konseling mengenai

perlindungan terhadap wanita adalah lembaga BPPKB. BPPKB memiliki singkatan Badan

Perlindungan Perempuan dan Keluarga Berencana. BPPKB merupakan suatu lembaga

Sosial yang berfokus kepada penanganan pemberdayaan dan perlindungan terhadap wanita.

Secara umum BPPKB kota Bandung memiliki tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan

pengaruh gender, pembinaan dan pelaksanaan keluarga berencana, dan menangani

perlindungan terhadap anak dan perempuan (LKIP, 2014). Di dalam BPPKP terdapat sub

lembaga yang khusus menangani segalah hal yang berhubungan dengan KDRT baik kepda

(14)

Universitas Kristen Maranatha Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. UPT P2TP2A kota bandung

sendiri telah menangani lebih dari 190 kasus kekerasan dalam rumah tangga di Kota Bandung

(Irianto, 2014). Selain itu, dalam penanganan kasus kekerasan sehari-hari UPT P2TP2A kota

Bandung juga memberikan layanan berupa konseling secara gratis yang dilakukan oleh 2

orang konselor. Pihak korban yang melaporkan kepada lembaga ini langsung ditangani

konseling dan jika korban KDRT bersikeras menginginkan menyelesaikan masalah dengan

jalur hukum, sub-lembaga UPT P2TP2A kota Bandung menyediakan dua orang yang bergerak dibidang jasa hukum.

UPT P2TP2A menangani kasus-kasus yang terjadi di Bandung dengan mengklasifikasikan KDRT ke dalam tiga kategori. Golongan katergori tiga merupakan kasus

kekerasan yang meliputi pemukulan fisik yang mengakibatkan memar, luka ringan, hinaan

atau cacian yang melukai psikis seseorang, membatasi bahkan mengisolasi individu untuk

berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya secara bebas. Kategori dua merupakan

kasus kekerasan yang meliputi pemukulan atau menyakiti korban dengan alat atau senjata

yang mematikan sehingga korban mengalami cedera fisik yang berat, seperti pendarahan,

keguguran, cacat bagian tubuh tertentu. Kategori satu merupakan kasus kekerasan ketika

transgressor mencoba untuk membunuh korban. Saat menangani kasus-kasus yang termasuk di dalam derajat ketiga Sub-lembaga UPT-P2TP2A masih melakukan konseling kepada

suami dan istri untuk mencari jalan keluar bersama agar perilaku KDRT tidak terulang lagi

dan sebisa mungkin rumah tangga mereka dapat diselamatkan. Beberapa kasus derajat kedua

pun masih ditangani dengan konseling, tetapi bila kasus KDRT yang dilakukan sudah

mengancam nyawa korban atau masuk kepada derajat ke tiga biasanya lembaga langsung

mengambil keputusan dengan jalur hukum. Hal ini juga dilakukan tidak dengan sepihak,

(15)

Universitas Kristen Maranatha Wanita korban KDRT akan mengalami berbagai hal ketika memutuskan untuk

memaafkan dan bergerak maju kepada masa depannya, hal ini akan memengaruhi

kesejahteraannya secara subjektif tergantung dari evaluasinya (Anderson dkk,, 2012). Ada

wanita yang menghayati bahwa ketika ia mengalami perilaku KDRT dapat mebuatnya

bertahan, memiliki pandangan optimis, melihat makna dari situasi terpuruknya, serta tidak

bergantung kepada orang lain sehingga lama kelamaan akan menjadikannya pribadi yang

lebih kuat tetapi di satu sisi ada pula wanita yang menghayati bahwa ketika mengalami

perilaku kekerasan merupakan hal yang memalukan dalam pernikahan dan menganggapnya

sebagai teror dan beban yang berat. Seorang wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga

dapat mengalami keputusasaan ataupun keinginan untuk bangkit dari musibah yang sedang ia

hadapi, hal ini berhantung kepada pandangan dan penghayatannya. Bagaimana pandangan

penghayatan tersebut akan mempengaruhi wanita tersebut untuk bertahan dan bangkit dari

musibah yang ia hadapi. Kemampuan seseorang untuk bertahan dan bangkit dari situasi

terpuruk disebut Resiliency.

Menurut Wagnild & Young (1990) resiliency merupakan kemampuan dan stamina emosional yang dimiliki individu dimana digunakan untuk menunjukkan keberanian dan

kemampuan beradaptasi di tengah kemalangan yang dihadapi dalam kehidupannya.

Resiliency membuat suatu individu untuk dapat mengembangkan kesehatan dan stabilitas

personality yang mereka miliki di tengah kondisi stressful yang tinggi (Linley & Joseph, 2004) disebabkan oleh keadaan kekerasan di dalam rumah tangga (Anderson dkk, 2012).

Resiliency dapat ditunjukkan dengan seseorang mampu bertahan dan tetap sejahtera dalam menjalani kehidupan sehari- hari (Lambronici, 2012). Banyak wanita KDRT yang

bertahan dengan pernikahannya tetapi dia tidak sejahtera dengan pernikahannya dan dihantui

(16)

Universitas Kristen Maranatha mempertahankan diri dalam situasi apapun di dalam rumah tangga atau pernikahannya

(Cordero, 2014).

Resiliency ditunjukkan dengan kesejahteraan melalui penghayatan seseorang sehingga ia bisa memberikan outcomes positive kepada orang-orang disekitarnya (Bernard, 2012). Kesejahteraan dan dorongan seorang wanita korban KDRT untuk bertahan dipengaruhi oleh

pandangan dan juga motivasi yang ada di dalam wanita tersebut (Lambronici, 2012).

Semakin optimistis dan outcomes positive yang diberikan semakin banyak maka akan semakin tinggi pula Resilience yang dirasakan wanita korban KDRT. Akan tetapi, rasa putus asa, trauma, dan amarah akibat luka fisik dan psikis yang ditimbulkan akan menjadi

penghalang seseorang untuk tetap berpikir positive dan semakin menutup dirinya terhadap lingkungan (Lambronici, 2012). Hal ini menyebabkan individu memerlukan forgiveness

bukan hanya untuk memaafkan suaminya saja tapi juga untuk memaafkan dan berdamai

dengan kenangan pahit dan emosi yang mengganjal di dalam dirinya.

Tidak mudah bagi seorang istri yang disakiti untuk melupakan bahkan memaafkan

apa yang sudah dilakukan oleh suaminya. Secara akal sehat seorang wanita ketika dicaci,

dimaki, dihina, dipukul, atau ditelantarkan akan tetap bertahan dan memberikan maaf kepada

suaminya. Begitu pula dengan wanita korban KDRT, tidak mudah baginya untuk memaafkan

suami yang telah menyakitinya, teror, konsep diri yang salah, ketakutan pasti menyelimuti

pikiran para korban KDRT. Pada kenyatannya, tidak semudah itu seorang wanita menyerah

dengan hubungannya ketika dilakukan KDRT. Menurut Amalia & Sartika (2014) serta

Tsang & Stanford (2006). Forgiveness merupakan sesuatu yang mungkin terjadi pada wanita korban KDRT. Forgiveness merupakan hal yang penting sekaligus sulit untuk dilakukan. Forgiveness digunakan wanita KDRT untuk memaafkan masa lalu, peristiwa dan terror-teror

yang terjadi paska peritiwa KDRT. Dalam penelitian tersebut terdapat 73% wanita KDRT

(17)

Universitas Kristen Maranatha orang. Menurut penelitian Tsang & Stanford (2006) forgiveness merupakan obat yang mampu mennyembuhkan diri sendiri agar dapat bertahan dengan pasangan yang melakukan

kekerasan. Dalam penelitian tersebut, terdapat 77% wanita korban KDRT memaafkan

suaminya dan 23% tidak memaafkan suaminya, sampel yang diambiladalah 132 orang.

Menurut Worthingthon wanita korban KDRT sangat memungkinkan untuk melakukan

forgiveness, hal ini bergantung kepada ada atau tidaknya keinginan wanita tersebut untuk memaafkan. Meskipun telah melakukan forgiveness, tidak menjamin bahwa keadaan rumah tangganya akan kembali seperti semula. Tak jarang ada wanita yang memilih untuk tidak

bercerai tetapi tidak tinggal bersama. Worthington menyarankan ketika seseorang melakukan

forgiveness hendaknya diberikan treatment tertentu agar transgressor bisa mengurangi atau menghilangkan kekerasan yang terjadi baik secara fisik maupun psikis. Forgiveness memang

sangat memunginkan terjadi pada wanita korban KDRT, tapi lembaga yang menangani

korban KDRT harus mengutamakan keselamatan korban. (korespondensi dengan

Worthington)

Broyles (2005) juga telah melakukan penelitian pada wanita Korban KDRT yang

masih bertahan dengan pasangannya sampai berusia dewasa madya. Penelitian tersebut

meyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara resiliency dan forgiveness dengan derajat

korelasi sedang.Wanita korban KDRT memerlukan forgiveness agar dapat berdamai dengan

masa lalunya dan tidak bertahan dengan luka atau trauma yang ditimbulkan agar dapat

bertahan dengan situasi terpuruk yang sedang ia rasakan. Forgiveness bukan berarti pasrah dan menyerah seolah-olah menjadi individu yang tidak berdaya, tetapi forgiveness digunakan agar seseorang tidak terjebak dengan teror dan luka batin yang berlarut-larut yang

(18)

Universitas Kristen Maranatha Seseorang lebih mampu memberikan forgiveness pada orang yang sangat intim dan memiliki ikatan khusus (Freedman,1998). Menurut Worthingthon (2005) Forgiveness merupakan proses internal dari dalam individu untuk mengatasi dan merespon terhadap rasa

marah, sakit hati, dan kepahitan dari seseorang yang menyakitinya. Hal ini dilakukan dengan

memberikan belas kasihan terhadap orang yang telah menyakitinya atau disebut transgressor.

Worthingthon (2005) membedakan antara forgiveness dan juga unforgivenes. Worthington (2006) mengatakan bahwa terdapat dua tipe forgiveness, yaitu Emotional Forgiveness dan Decisional Forgiveness.

Seorang istri lebih memiliki toleransi yang besar untuk melakukan forgiveness kepada suaminya dikarenakan suaminya memiliki ikatan pernikahan dengan dirinya (Tsang,

2006). Beberapa teori mengatakan bahwa forgieveness biasanya digunakan seseorang untuk menyembuhkan dirinya sendiri ketika memilih bertahan dengan pasangan yang melakukan

kekerasan (Taylor, 2004 dalam Tsang, 2006). Wanita yang telah mengalami KDRT dan

melakukan forgiveness akan mencoba mengubur ingatannya mengenai KDRT yang pernah terjadi dan tetap memberikan perilaku yang baik di depan suaminya. Tetapi, wanita yang

dikategorikan unforgiveness akan terus menerus membicarakan dan menyalahkan suami yang

telah melakukan kekerasan tanpa mencari solusi keluar (Amalia dkk,2014).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa orang ahli

pada sampel yang berbeda, ditemukan terdapat hubungan antara resilience dan forgiveness. Untuk mengetahui tingkat Resiliency dan forgiveness yang terjadi pada wanita KDRT, dilakukan wawancara pada 5 orang subjek di UPT P2TP2A kota Bandung yang sudah

menikah selama lebih dari 5 tahun. Wawancara dilakukan pada wanita yang sudah mengalami

KDRT lebih dari 1 kali dalam bentuk apapun. Lima orang subjek mengalami kekerasan

secara verbal (60%), empat subjek (80%) mengalami kekerasan fisik, dan satu orang subjek

(19)

Universitas Kristen Maranatha perilaku KDRT hampir setiap hari dan terjadi pada malam hari. Alasan dari perilaku

kekerasan yang diberikan suami bermacam-macam seperti memasak, membersihkan rumah, dan meminta uang lebih kepada suami. Durasi yang dialami oleh wanita korban KDRT

bermacam-macam dimulai dari setengah jam per hari sampai 3 jam per hari. Lima orang subjek (100%) mengalami perilaku KDRT di tahun pertama pernikahannya dan perilaku

tersebut diulang kembali secara terus- menerus sampai sekarang.

Hasil wawancara terhadap lima orang wanita yang mengalami KDRT di lembaga

UPT P2TP2A kota Bandung juga diperoleh data mengenai bagaimana Resiliency pada wanita

korban KDRT. Empat orang subjek (80%) menghayati bahwa saat ini mereka merasa cukup

sejahtera, dapat menerima keadaan, menjadi lebih bersyukur dan masih mampu bertahan

dengan rumah tangganya. Diantara empat subjek tersebut, tiga diantaranya (60%)

mengatakan bahwa mereka memiliki pandangan ke depan yang lebih baik dan positif ketika

memilih bertahan dengan suami yang telah melakukan kekerasan, mereka mengganggap

bahwa suaminya masih bisa berubah, mereka masih memiliki kepercayaan diri pada dirinya

sehingga membentuk mereka menjadi pribadi yang kuat, dan menganggap bahwa

kemalangan yang mereka hadapi ada hikmahnya. Seorang subjek (20%) memang

mengungkapkan dirinya dapat menerima keadaan suaminya, menjadi lebih mensyukuri

hidup, dan masih mampu bertahan dengan rumah tangganya, tetapi terkadang dirinnya

merasa putus asa, ketakutan, dan merasa tidak sejahtera sesaat setelah suami melakukan

tindak kekerasan lagi. Satu dari subjek lainnya (20%) mengungkapkan bahwa dirinya tidak

merasa sejahtera dengan pernikahannya dan tidak bisa menemukan pandangan positif dari

perilaku kekerasan yang terjadi pada dirinya. Hal ini dikarenakan subjek lebih sering

merasaka malu, merasa terbebani, kecewa, kesal, marah, diliputi kecemasan ketika harus

mempertahankan rumah tangganya, dan merasa lelah secara fisik dan psikis dengan perilaku

(20)

Universitas Kristen Maranatha Wanita yang menjadi korban KDRT memerlukan waktu beragam untuk dapat

menyembuhkan luka yang telah ditimbulkan oleh suaminya (Anderson, 2012). Tiga orang

subjek (60%) mengakui untuk dapat memiliki pandangan positif dan merasa lebih sejahtera

dalam pernikahannya memerlukan waktu lebih dari 2 tahun, Satu orang subjek (20%)

memerlukan waktu lebih dari 3 tahun. Pada awalnya, ketika pertama kali mendapatkan

perlakuan kekerasan, mereka merasa rendah diri, takut, sedih, bingung, dan merasa tidak

berdaya. Seiring berjalannya waktu, dukungan dari keluarga, anak dan lingkungan

memotivasi mereka untuk tetap bertahan dengan rumah tangganya. Perlahan wanita korban

KDRT pun mulai bisa memaafkan suaminya dan mengambil hikmah atau sisi positif dari

kemalangan yang ia alami. Satu orang subjek lainnya (20%), mengakui bahwa ia masih

dihantui oleh perasaan takut, sedih, marah dan bingung sampai sekarang.

Dari lima subjek yang telah diwawancara, didapat pula data mengenai penghayatan

terhadap forgiveness. Empat subjek (80%) mengungkapkan bahwa ketika mereka melakukan

forgiveness mereka mampu berdamai dengan dirinya sehingga merasa lebih tenang, lebih mampu menerima keadaan, dan memiliki kekuatan dalam diri mereka dalam melihat hal-hal

positif ketika memilih bertahan dengan rumah tangganya. Mereka juga mengakui sudah bisa

berdamai dengan suami yang merupakan pelaku dari tindak kekerasan, sehingga mereka tetap

memberikan perilaku yang baik kepada suaminya. sedangkan, satu subjek (20%)

mengungkapkan belum bisa melakukan forgiveness, subjek menghayati bahwa ia belum dapat melupakan tindak kekerasan yang dlakukan oleh suaminya, bahkan terkadang subjek

memiliki dendam dalam dirinya untuk membalas perilaku suami. Subjek mengatakan

terkadang emosi negatif, seperti kemarahan, malu, dan dendam lebih dominan dalam dirinya.

(21)

Universitas Kristen Maranatha Sebanyak empat dari lima subjek (80%), yang melakukan forgiveness saat ini lebih

sering merasakan emosi-emosi positif daripada emosi-emosi negatif, seperti merasa bahagia, lebih tenang, lebih bersyukur, lebih memiliki pandangan positif, dan dapat bertahan dengan

pernikahannya sehingga empat subjek tersebut dapat dikatakan memiliki Resiliency yang tinggi. Sedangkan satu subejek (20%) yang tidak memberikan forviveness atau yang disebut Unforgiveness menghayati bahwa dirinya lebih sering merasakan emosi-emosi negatif daripada emosi-emosi positif, seperti marah, sedih, kecewa, dendam, dan malu. Subjek pun walaupun masih mempertahankan status pernikahan, tetapi ia mengatakan tidak memiliki

pandangan positive dan putus asa terhadap pernikahannya sehingga subjek tersebut dapat

dikatakan memiliki Resiliency yang rendah.

Emosi-emosi positif dan emosi-emosi negatif sangat berpengaruh kepada wanita korban KDRT. Ketika seseorang disominasi oleh emosi positif maka akan menghasilkan

forgiveness, tetapi ketika seseorang dikuasai oleh emosi negatif maka akan menghasilkan unforgiveness (Worthingthon,2015). Ketika seseorang dapat bertahan tetapi tidak melupakan atau berdamai dengan masa lalu yang ia miliki maka Resiliensi dan Forgiveness akan akan

sia-sia. Forgiveness digunakan untuk mengubah dan menggabungkan masa lalu dan kegagalan yang dianggap menyakitkan, untuk menyembuhkan luka, untuk menggantikan apa

yang hilang, dan untuk struktur yang hancur di dalam diri. Ketika seseorang dikatakan

memiliki kemampuan resiliency yang tinggi tetapi dipaksa memberikan forgiveness mereka

akan bertahan tetapi terhambat oleh kenangan sedih di dalam dirinya. Hal itu akan terus

terjadi jika kita tidak bergerak melewati kesedihan tersebut (Sheffield, 2003).

Pada penelitian sebelumnya telah dipaparkan bahwa terdapat hubungan antara

(22)

Universitas Kristen Maranatha penelitian sebelumnya peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai kontibusi forgiveness dengan resiliency pada wanita korban KDRT di UPT P2TP2A kota Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana kontibusi forgiveness terhadap resiliency pada wanita korban KDRT di UPT P2TP2A Kota Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh gambaran

kontribusi forgiveness terhadap Resiliency pada wanita korban KDRT di UPT P2TP2A di kota Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kontribusi

forgieveness terhadap resiliency beserta komponen dan domainnya pada wanita

korban KDRT di UPT P2TP2A di kota Bandung.

1.4. Kegunaan penelitian

1.4.1 Kegunaan teoritis

 Memberikan informasi bagi ilmu psikologi, yaitu ranah Psikologi Klinis, Psikologi Sosial, dan Psikologi Positif, khususnya mengenai kontribusi Forgiveness terhadap Resiliency pada wanita korban KDRT.

(23)

Universitas Kristen Maranatha 1.4.2. Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada UPT P2TP2A mengenai gambaran forgiveness dan resiliency pada wanita korban KDRT.

 Memberikan informasi kepada para korban KDRT mengenai implikasi kontribusi forgiveness terhadap resiliency.

 Ketika mendapatkan gambaran mengenai forgiveness dan resiliency diharapkan sub -lembaga UPTP2TP2A bisa membuat program, konseling,dan treatmen yang tepat bagi

kedua pasangan KDRT agar tidak mengulangi perilaku KDRT.

1.5. Kerangka Pemikiran

Ketika seseorang menikah ia harus menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang

melatarbelakangi seseorang yang menjadi pasangannya. Tidak jarang ketika seseorang

menyesuaikan diri dengan pasangannya terjadi kekerasan dalam kehidupan rumah tangganya.

Menurut Domestic Violence Manual (2013) kekerasan dalam rumah tangga atau yang

biasa disingkat KDRT adalah pola pemaksaan yang dilakukan oleh satu orang dimana orang

tersebut mengerahkan power dan kontrol yang ia miliki dalam konteks berpacara atau rumah

tangga. Pada umumnya KDRT mencakup lebih dari sekedar serangan fisik. KDRT meliputi

kontelasi dari tindakan sehingga menimbulkan ancaman bahaya fisik, pelecehan psikologis,

pemaksaan seksual, kontrol ekonomi, dan isolasi sosial. Seorang istri mungkin saja bercerai

atau memilih meninggalkan suaminya tetapi menurut Domestic Violence Outreach Manual

(2013), terdapat beberapa alasan seorang istri tetap bertahan dengan rumah tangganya, yaitu : Pertama, ketakutan, ketergantungan ekonomi, isolasi sosial, perasaan bersalah, malu,dan

gagal,dan adat istiadat yang dianut oleh istrimaupun suami.

Alasan- alasan tersebut mendasari bahwa seorangg wanita KDRT memerlukan suatu

(24)

Universitas Kristen Maranatha KDRT senantiasa membutuhkan waktu baik lama maupun sebentar untuk dapat memaafkan

dan juga mentolerir tindak kekerasan yang dialaminya (Tsang & Stanford, 2005). Tidaklah

mudah menjadi korban KDRT untuk dapat bertahan dan survive agar dapat menjalani kehidupannya sehari-hari seperti biasa, pertama-tama korban KDRT seringkali merasa depresi dan tidak berharga, bahkan putus asa dengan keadan rumah tangganya

(Cordero,2014).

Hal-hal tersebut juga dihayati oleh wanita korban KDRT di UPT P2TP2A kota Bandung. Dukungan dari keluarga, anak dan lingkungan memotivasi mereka untuk tetap

memertahankan dirinya dan rumah tangganya. Keadaan untuk tetap bertahan dan tetap

memiliki pandangan optimistis, erat kaitannya dengan Resiliency. Resiliency didefinisikan sebagai kemampuan dan stamina emosional yang dimiliki individu dimana digunakan untuk

menggambarkan keberanian dan kemampuan beradaptasi di tengah kemalangan yang

dihadapi dalam kehidupannya (Wagnild & Young, 1990). Wanita korban KDRT di

sub-lembaga UPT-P2TP2A kota Bandung akan mengevaluasi kehidupan rumah tangganya

tergantung kepada penghayatannya masing-masing.

Resiliency dapat dikatakan sebagai kemampuan suatu sistem, baik itu individu atau kelompok untuk menghadapi perubahan dan terus berkembang untuk menjadi individu yang

lebih baik (Wagnild & Young 1990; 2010). Resilliency mencakup kemampuan untuk menggunakan guncangan dan gangguan, seperti krisis dan perubahan dalam kehidupan dan

memacu pembaharuan dan pemikiran yang inovatif. (dalam www.stockholmresilience.su.se,

diakses 15 April 2015). Seorang istri yang memiliki dan mengerti nilai Resilliency pada

akhirnya akan mampu dan tetap berusaha untuk sejahtera, tetap objektif dalamberpikir,

memiliki tujuan, tidak menyerah dan tetap optimis ketika menjalani kehidupannya

sehari-hari, walaupun menjadi korban KDRT oleh suaminya. Hal ini terlihat dari terpenuhinya lima

(25)

Universitas Kristen Maranatha komponen yaitu equanimity, persevereance, self-reliance, meaningfulness, dan existential alonenes.

Komponen equanimity Sering disebut juga sebagai perspektif yang menyeimbangkan

pandangan individu mengenai kehidupan serta pengalaman-pengalaman merugikan semasa hidupnya. Kemampuan ini membuat individu untuk mampu memperluas sudut pandang

seseorang sehingga lebih memfokuskan diri kepada hal-hal positif daripada hal- hal negatif dalam situasi sulit yang sedang ia alami. (Wagnild, 2010; Wagnild & Young , 1993).

Kemampuan ini mendorong individu untu berpikir secara objektif dan tidak akan terpaku

untuk mengasihani dirinya dalam keadaan yang sulit sekalipun.

Wanita korban KDRT yang memiliki kemampuan equanimity yang tinggi ditandai

dengan perspektif yang positif terhadap kehidupan yang ia jalani. Wanita tersebut tidak

hanya melihat semata-mata berdasarkan keadaan buruknya suatu keadaan, tetapi melihatnya

secara objektif dengan berbagai sudut pandang. Dengan kemampuan ini,wanita korban

KDRT ini mampu untuk mengambil hikmah dan tetap menunjukan perilaku optimis terhadap

situasi sulit yang sedang ia hadapi. Wanita korban KDRT akan mampu melihat bahwa

kekerasan itu terjadi tidak semata-mata hanya karena dirinya kemudian terus menerus meratapi nasibnya, tetapi ia akan mampu melihat sisi positif dari dirinya dan mencari peluang

untuk bisa bangkit dan melanjutkan kehidupan sehari-harinya..

Wanita korban KDRT yang memiliki kemampuan Equanimity yang rendah ditandai dengan lebih dikuasai oleh perspektif negatif terhadap keadaan rumah tangganya. Wanita

tersebut seringkali menyalahkan dirinya, memiliki konsep diri yang salah, dan tak jarang

jatuh ke dalam keputus asaan. Wanita tersebut akan menunjukkan perilaku yang pesimis

terhadap situasi sulit yang sedang ia hadapi. Wanita ini sulit untuk melihat atau menemukan

sisi positif di dalam dirinya, ia lebih sering terjebak dengan pikirannya secara subjektif dan

(26)

Universitas Kristen Maranatha Selain Equanimity, Resiliency juga meliputi komponen persevereance. Komponen

persevereance sering disebut sebagai kemampuan seseorang untuk tetap bertahan dan terus melanjutkan apa yang dilakukannya, meskipun mengalami kesulitan, kemunduran, atau

keputusasaan dalam usahanya. Kemampuan ini mampu mengerahkan seluruh kekuatan dan

kemampuan personality mereka demi mencapai tujuan akhir mereka yang sudah ditetapkan sebelumnya (Wagnild & Young, 2010).

Wanita korban KDRT yang memiliki komponen persevereance yang tinggi ditandai dengan ia mampu untuk tetap bertahan dan terus maju dari keadaan yang terpuruk hingga

berkembang menjadi orang yang lebih baik. Seorang wanita korban KDRT tersebut akan

mencari berbagai cara untuk dapat mencapai tujuannya. Ia tidak akan mudah menyerah

walaupun mengalami penolakan, hambatan, kegagalan, bahkan situasi yang sangat sulit dari

keluarga, teman, atau anak-anaknya. Wanita dengan kemampuan persevereance yang tinggi akan tetap melanjutkan dan mempertahankan kesejahteraannya sampai akhir.

Wanita korban KDRT yang memiliki komponen persevereance yang rendah ditandai dengan ia kurang mampu untuk bertahan dan terjebak di dalam pemikirannya ketika ada

dalam situasi yang menyakitkan. Ketika wanita korban KDRT mengalami penolakan,

hambatan, kegagalan dan situasi yang sangat sulit wanita tersebut akan bingung dan tidak

jarang menyerah dengan keadaan yang sedang ia hadapi. Hal itu mengakibatkan wanita

tersebut bingung dengan langkah-langkah apa yang harus ia lakukan untuk dapat mencapai

tujuannya.

Komponen berikutnya dari resiliency adalah Self-reliance. Self-reliance sering dikatakan sebagai keyakinan diri seseorang terhadap dirinya.Kemampuan ini membuat

individu untuk mengenal kelebihan dan memahami kelemahannya pada dirinya (Wagnild &

(27)

Universitas Kristen Maranatha menyelesaikan masalah. Kemampuan ini dimiliki dan berkembang berdasarkan dari

pengalaman hidup seseorang, pengalaman sukses maupun gagal dijadikan motivasi

seseorang untuk dapat menmbangun kepercayaan terhadap dirinya (Wagnild & Young, 2010).

Wanita korban KDRT yang memiliki Self-reliance yang tinggi akan mengetahui identitas dirinya secara utuh, mampu melihat apa yang menjadi kekurangan dan kelebihannya

dan mampu mengolahnya untuk menyelesaikan suatu masalah. Wanita korban KDRT yang

memiliki self-reliance yang tinggi juga akan mengetahui apa yang menjadi kekurangannya, ia tidak hanya sekedar mengetahui tetapi mencari problem solving untuk mengatasi kekurangan tersebut agar tetap memberikan perilaku yang baik serta menyelesaikan

permasalahannya sampai selesai. Wanita korban KDRT yang memiliki Self-reliance tidak akan membenarkan diri terhadap kekurangannya tetapi ia akan mencari cara untuk menutupi

kekurangannya dengan apa yang menjadi kelebihannya.

Wanita korban KDRT yang memiliki Self-reliance yang rendah, akan kurang mengetahui identitas dirinya secara utuh, beberapa wanita tersebut mungkin mengetahui apa

yang menjadi kekurangan dan kelebihannya. Tetapi, ia tidak tahu bagaimana harus mengatasi

kekurangannya. Seseorang yang memiliki Self-reliance yang rendah cenderung akan fokus untuk menyalahkan atau mencari pembenaran kepada dirinya bukan kepada mencari jalan

keluar untuk menutupi kekurangannya.

Komponen berikutnya dari resiliency meliputi Meaningfulnes. Meaningfulness dapat

dikatakan sebagai kepercayaan seseorang yang mengungkapkan bahwa kehidupan memiliki

maksud dan tujuan yang harus dicapai, oleh karena itu diperlukan usaha untuk dapat

mencapai tujuan tersebut. Tujuan digunakan untuk medorong individu dalam melakukan

sesuatu yang mereka inginkan tak terkecuali ketika mencari jalan keluar di tengah-tengah

kesulitan (Wagnild & Young, 2010). Kemampuan ini membuat individu untuk selalu

(28)

Universitas Kristen Maranatha atau negatif ( Wagnild & Young, 1993). Menurut Wagnild & Young (1993) komponen ini

merupakan komponen paling penting dikarenakan memberikan dasar untuk empat komponen

lainnya.

Wanita korban KDRT yang memiliki meaningfulnes yang tinggi akan memiliki alasan

dan tujuan tersendiri untuk bangkit dan menjalani kehidupannya sehari-hari. Tujuan dan

alasan yang dimiliki wanita KDRT inilah yang menjadi pendorong bagi wanita tersebut untuk

melakukan segala sesuatunya dan jalan keluar di tengah kemalangan yang dihadapinya. Istri

yang memiliki tujuan untuk bahagia dengan kehidupannya akan melakukan berbagai cara

untuk dapat mewujudkan kebahagiaan yang ia inginkan, mulai dari memikirkan rencana -rencana yang mungkin dilakukan sampai mengambil langkah-langkah konkret yang harus

diambil.

Wanita korban KDRT yang memiliki meaningfulnes yang rendah sulit untuk memikirkan rencana- rencana yang mungkin dilakukan serta mengambil langkah-langkah

konkret untuk mempertahankan dirinya. Hal ini dikarenakan ia kurang memiliki alsasan dan

fondasi yang kuat ketika melakukan suatu tidakan tertentu. Ketika wanita korban KDRT

memilik tujuan untuk bahagia di dalam kehidupan rumah tangganya, tetapi tujuan tersebut

tidak ia hayati dengan benar, lama kelamaan hal itu akan membuat istri korban KDRT

kehilangan arah dan tujuan untuk bangkit dan menjalani kehidupannya sehari-hari.

Terakhir yang menjadi komponen dari resiliency adalah existential aloneness. Existential aloneness merupakan kesadaran bahwa setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Di dalam kemampuan ini individu menyadari bahwa pengalaman yang dialaminya

mungkin sama dengan yang dialami oleh orang lain, namun pandangan dan penghayatan dari

masing-masing orang pasti berbeda antara yang satu dengan yang lain. Kemampuan ini

secara langsung membuat individu untuk bertindak secara mandiri dan tidak terbiasa

(29)

Universitas Kristen Maranatha Wanita korban KDRT yang memiliki existential aloneness yang tinggi akan mampu mengambil keputusan secara mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Ia tau keputusan

apa yang akan diambil, pembicaraan mana dari orang lain yang harus ia dengarkan, dan

tetap teguh pada pendiriannya walaupun orang lain mengatakah hal yang buruk tentang itu.

Wanita korban KDRT tersebut akan menyadari bahwa yang menjadi korban KDRT tidak

hanya dirinya saja, tetapi melihat bagaimana cara oranglain yang menjadi korban KDRT juga

tetapi tetap mampu bertahan dan menerapkannya ke dalam kehidupannya sehari-hari.

Wanita korban KDRT yang memiliki existential aloneness yang rendah akan sulit untuk mengambil keputusan secara mandiri dan cenderung bergantung kepada apa yang

dibicarakan oleh orang lain. Wanita tersebut tidak tahu keputusan apa yang harus diambil,

tidak mampu memilah pembicaraan yang harus dia dengarkan dan yang yang tidak, ia akan

cepat goyah dengan keputusan yang ia ambil ketika banyak orang di sekitarnya mengatakan

hal yang buruk tentang itu. Wanita korban KDRT yang memiliki existential aloneness yang rendah akan memfokuskan hanya pada dirinya saja. Wanita korban KDRT akan menganggap

bahwa dirinyalah yang paling menderita dan seolah-olah menjadi orang satu-satunya yang

mengalami KDRT.

Secara umum, seorang wanita yang memiliki resiliency yang tinggi akan tetap

memiliki padangan optimis meskipun sedang berada di dalam keadaan sulit, tetap bertahan

dan melanjutkan apa yang dilakukannya meskipun mengalami kemunduran dan

keputusasaan, memiliki keyakinan dengan dirinya dan memahami kelebihannya, memiliki

maksud dan tujuan untuk dicapai, dan mampu untuk mengambil tindakan berdasarkan

kehendak sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.

(30)

Universitas Kristen Maranatha situasi yang dianggap menyakitkan dan mengancam bagi diri Individu. Suami yang

melakukan tindak kekerasan kepada istri disebut sebagai transgressor. Forgiveness merupakan tingkah laku yang dilakukan berdasarkan proses internal dalam wanita korban

KDRT untuk mengatasi dan merespon terhadap rasa marah, sakit hati, dan kepahitan dari

tindak kekerasan yang dilakukan suami yang menyakitinya. Forgiveness dilakukaan dengan

memberikan belas kasihan terhadap transsgressor (Wothingthon & Wade, 1999).

Secara umum forgiveness dihayati dapat membantu wanita korban KDRT di UPT P2TP2A untuk mengubah dan menggabungkan masa lalu dan kegagalan yang dianggap

menyakitkan, untuk menyembuhkan luka, untuk menggantikan apa yang hilang, dan untuk

memerbaiki struktur yang hancur di dalam dirinya. Resiliency digunakan sebagai batas saat seseorang harus dapat bertahan dengan suatu keadaan (Broyles,2005). Tingkat Resiliency masing-masing orang berbeda dan unik. Seseorang istri yang resilience tetapi dipaksa memberikan forgiveness, maka akan bertahan tetapi terhambat oleh kenangan sedih jika ia tidak bergerak melewati kesedihan tersebut. (Sheffield, 2003). Menurut Wolin dan Wolin

(1993) resiliency dan forgiveness diperlukan untuk membentuk individu tangguh agar dapat belajar dari pengalaman menyakitkan mereka, mencari kesembuhan, dan melepaskan

kepahitan. Ketika seorang istri resilience dan Forgiveness ia akan tangguh dan belajar tetap berdiri dari pengalaman yang menyakitkan tersebut.

Worthingthon (2005) membagi forgiveness mejadi dua tipe besar .yaitu decisional forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional Forgiveness menitik beratkan kepada kognitif yang dimiliki oleh individu. Forgiveness dengan tipe ini dicapai dengan adanya kemauan di dalam diri individu untuk memaafkan transgressor atau tidak. Decisional forgiveness bertujuan untuk mengendalikan tingkah laku yang akan dikeluarkan berdasarkan makna atau situasi yang sedang dialaminya. Alasan rasional dari suatu situasi tertentu

(31)

Universitas Kristen Maranatha tidak melibatkan emosi dan suatu motif tertentu. Decisional forgiveness dapat merubah perilaku seseorang bahkan tanpa mengubah emosi yang dirasakan oleh orang tersebut

(Worthingthon 2005).

Tipe forgiveness yang kedua adalah emotional forgiveness. Emotional forgiveness berakar pada emosi seseorang yang kemudian mempengaruhi motivasi individu tersebut

untuk menggantikan emosi negatif yang ada pada dirinya menjadi positif. Emotional forgiveness ditujukan untuk mengubah iklim emosional yang kemudian mungkin dapat mengubah motif, pikiran, dan asosiasi lainnya. Worthingthon (2005) beperndapat bahwa

ketika seseorang telah melakukan emotional forgiveness,maka emosi-emosi positif yang berdasarkan pada kasih misalnya empati, afeksi, cinta, dan perhatian akan menggantikan dan

mengurangi emosi negatif yang sebelumnya dialami dan dikaitkan dengan transgressor dan perbuatannya. Keputusan seseorang untuk memaafkan bergantung kepada persepsi masing -masing individu untuk meregulasi emosi, terkadang individu memerlukan waktu yang

berbeda- beda untuk dapat meregulasi emosi negative yang ada di dalam dirinya, hal ini bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness itu sendiri (Ho &Fung,

2011).

Emotional forgiveness dan decisional forgiveness merupakan dua proses yang berbeda yang memiliki dampak yang berbeda pula terhadap individu. Tujuan utama dari decisional

forgiveness adalah untuk membebaskan individu dari rasa balas budi dan rasa bersalah dalam dirinya pada situasi tertentu. Tak jarang tipe ini tidak selalu mengurangi respon stress yang dihasilakan emosi negatif yang masih dirasakan individu. Bebeda dengan emotional forgiveness yang dapat membantu seseorang terlepas dari stress akibat emosi negatif yang dirasakan selama ini (Worthingthon, Thoussaint & Willian, 2006). Seseorang mengahayati

(32)

Universitas Kristen Maranatha waktu maka emosi mereka pun dapat berubah, sampai akhirnya menhayati emotional forgiveness. Seorang wanita korban KDRT yang memiliki decisional forgiveness yang tinggi tetapi memiliki emotional forgiveness yang rendah individu tersebut masih dapat dikatakan melakukan forgiveness (Worthingthon, Thoussaint & Willian, 2006). Walaupun secara emosional wanita tersebut masih belum dapat menerima dan menolak perilaku dari suaminya,

tetapi secara kognitif individu tersebut memiliki niat dan alasan tertentu untuk memaafkan

sehingga mendorong atau memotivasinya untuk melakukan forgiveness.

Seorang istri yang memiliki decisional forgiveness yang tinggi akan bertekad untuk memaafkan suaminya, walaupun secara emosional ia belum memaafkan suaminya, tetapi ia

memiliki alasan rasional tertentu mengapa memutuskan untuk memaafkan. Istri korban

KDRT yang melakukan forgiveness dengan tipe ini belum tentu melibatkan emosinya, biasanya mereka memaafkan suaminya berdasarkan alasan tertentu, misalnya demi anak -anaknya, rumah tangga atau budaya yang melekat pada pasangan tersebut. Berbeda dengan

istri korban KDRT yang memiliki decisional forgiveness yang rendah, jangankan untuk memaafkan, kemauan untuk memaafkan suaminya pun tidak ada. Wanita tersebut akan

kehilangan alasan dan juga motif dalam dirinya untuk memaafkan suaminya. Decisional forgiveness merupakan langkah awal seorang wanita KDRT dimana ia harus mengambil keputusan antara memaafkan atau tidak (Broyles, 2005). Decisioal forgiveness mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan dimana ia memutuskan untuk bangkit

dan melupakan masa lalunya atau tetap terkengkang dan dihantui oleh masa lalunya.

Decisional forgiveness merupakan titik awal wanita korban KDRT untuk bangkit dari keterpurukan sehingga membentuk wanita tersebut untuk dapat lebih survive dan mampu mempertahankan dirinya atau yang disebut resilience (Broyles, 2005).

(33)

Universitas Kristen Maranatha akan akan tetap memberikan dan menunjukkan rasa sayangnya, memberikan belas kasihan

kepada suaminya, bahkan tetap mencintai suaminya. Sebaliknya, seorang istri yang memiliki

emotional forgiveness rendah akan tetap dikuasai oleh emosi negatif di dalam dirinya. Wanita tersebut masih akan dikuasai rasa marah ketika bertemu dengan suaminya, bahkan ketika ada

kesempatan ia akan membalas dendam dengan suaminya. Ketika seorang wanita korban

KDRT memaafkan dan melepaskan semua emosi negatif yang ada pada dirinya, hal ini

membantu wanita korban KDRT untuk tetap survive dan bangkit untuk menjalani kehidupannya sehari hari, atau yang kita sebut resilience. Emotional forgiveness membuat wanita korban KDRT dapat berpikir secara objektif sehingga membuatnya tetap optimis,

bertahan dalam menjalani kehidupannya, memiliki kepercayaan diri, tekun, tetap mencari

jalan keluar dari suatu permasalahan, dan mampu bertindak atas kehendaknya sendiri

(Broyles, 2005)

Selain dua tipe forgiveness, Worthingthon (2005) menyatakan bahwa terdapat empat

faktor yang mempengaruhi forgiveness, yaitu: kepribadian individu, kualitas hubungan interpersonal, karakteristik peristiwa yang menyakitkan, dan empati. Kepribadian individu

biasanya bersifat menetap dan stabil. Kepribadian individu erat kaitannya dengan trait forgiveness yang dimiliki seseorang. Jika sejak kecil wanita korban KDRT berada pada lingkungan yang mendukung kebaikan, memaafkan, dan peduli terhadap orang lain, hal ini

akan mempengaruhi tinginya nilai kedua tipe forgiveness, maka akan lebih besar kemungkinannya untuk melakukan forgiveness. Selain itu, kepribadian individu juga berkaitan dengan usia yang dimiliki seseorang. Usia membuat kepribadian, kognitif dan

pengambilan keputusan untuk memaafkan pada wanita korban KDRT semakin matang.

Pertambahan usia juga dipercaya bisa membuat kemampuan regulasi emosi wanita korban

(34)

Universitas Kristen Maranatha Kedua, kualitas hubungan Interpersonal. Kedekatan hubungan secara interpersonal

akan mempengaruhi proses seseorang memberikan forgiveness. Semakin dekat hubungan suami dan istri yang menjadi korban KDRT sebelum tindak kekerasan terjadi, maka

kemungkinan untuk melakukan forgiveness semakin besar (Worthingthon,2005). Seorang wanita korban KDRT memiliki hubungan yang sangat dekat dengan suaminya, tak jarang

seorang istri memiliki kedekatan batin dengan suaminya. Kedekatan ini kemungkinan akan

meningkatkan empati dari kedua belah pihak.

Ketiga, karakteristik peristiwa yang menyakitkan. Karakteristik ini meliputi peristiwa

KDRT yang dilakukan oleh suami, seberapa besar istri terluka dengan peristiwa tersebut,

frekuensi dan durasi perilaku tersebut dialami, dan apa yang dihayati ketika proses kekerasan

berlangsung. Semakin besar perasaan istri korban KDRT disakiti maka ia akan memiliki

kecenderungan melakukan unforgiveness lebih besar. Sebaliknaya, semakin kecil peraasaan yang tersakiti pada wanita korban KDRT,maka kemungkinan melakukan forgiveness pun semakin besar.

Faktor terakhir adalah empati, dengan berempati wanita korban KDRT mampu

mengetahui apa alasan di balik suaminya melakukan tindak kekerasan. Wanita korban

KDRT yang memiliki empati kepada suami yang telah melakukan tindak kekerasan, ia akan

memberikan kesempatan kepada suaminya untuk berubah. Ia memiliki berbagai alasan untuk

melakukan forgiveness dengan tulus. Empati di dalam wanita korban KDRT akan mendorongnya untuk mengasihani suaminya dan memberikan kesempatan lagi agar ia

(35)

26

Universitas Kristen Maranatha 1.1. Bagan Kerangka Pemikiran

Istri korban KDRT di Sub-lembaga UPT P2TP2A kota Bandung

Forgiveness/

Unforgiveness

Resiliency

Komponen

Resiliency

:

1.

Equanimity

2.

Persevereance

3.

Self

-

reliance

4.

Meaningfulness

5.

Existential Aloneness

Faktor yang mempengaruhi :

1. Kepribadian individu

2. Kualitas hubungan Interpersonal

3. Karakteristik peristiwa yang

menyakitkan

4. Empati

(36)

Universitas Kristen Maranatha 1.6. Asumsi

 Seorang wanita korban KDRT mengalami berbagai situasi kekerasan yang berbeda-beda dan menghayati untuk dapat bertahan dalam pernikahannya dengan cara yang

berbeda-beda. Hal ini digambarkan dari derajat resiliency yang dimilikinya.

Resiliency yang dimiliki wanita korban KDRT di UPT P2TP2A kota Bandung akan berbeda-beda derajatnya.

 Derajat resiliency dapat dilihat melauli komponen-komponennya, yaitu Equanimity,

persevereance, Self-reliance, Meaningfulness, dam existential aloneness.

Forgiveness merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi komponen resiliency wanita korban KDRT.

Forgiveness dapat dilihat melalui dua tipe, yaitu decisional forgiveness dan emotional forgiveness.

1.7. Hipotesis

(37)

75

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kontribusi forgiveness dan resiliency pada

wanita korban KDRT di UPT P2TP2A Kota Bandung diperoleh simpulan sebagai berikut :

1) Secara umum forgiveness memiliki kontribusi yang signifikan terhadap resiliency pada wanita korban KDRT di UPT P2TP2A Kota Bandung.

2) Tipe emotional forgiveness merupakan tipe yang memberikan kontribusi paling besar terhadap derajat resiliency pada wanita korban KDRT di UPTP2TP2A Kota Bandung.

3) Tipe decisional forgiveness tidak memberikan kontribusi secara signifikan terhadap

resiliency pada wanita korban KDRT di UPT P2TP2A Kota Bandung.

4) Pada faktor Kepribadian individu terdapat hubungan positif dengan derajat korelasi sedang dengan decisional forgiveness. Selain itu, terdapat hubungan positif dengan

derajat korelasi tinggi dengan emotional forgiveness.

5) Pada faktor karakteristik peristiwa yang terjadi (jenis KDRT, waktu peristiwa yang terjadi, frekuensi KDRT, dan kedalaman luka) terdapat hubungan negatif dengan

derajat korelasi rendah dengan decisional dan emotional forgiveness. Hanya pada

aspek frekuensi KDRT dengan emotional forgiveness terdapat hubungan negatif

dengan derajat korelasi sedang.

6) Terdapat hubungan positif dengan derajat korelasi sedang antara faktor empati dengan

decisional forgiveness wanita korban KDRT. Selain itu, terdapat hubungan positif

dengan derajat korelasi tinggi antara faktor empati dengan emotional forgiveness

(38)

7) Terdapat hubungan positif dengan derajat korelasi rendah antara faktor hubungan interpersonal dengan decisional forgiveness wanita korban KDRT. Selain itu, terdapat

hubungan positif dengan derajat korelasi sedang antara faktor empati dengan

emotional forgiveness wanita korban KDRT.

5.2. Saran

Bedasarkan penelitian mengenai kontribusi forgiveness terhadap resiliency pada

wanita

korban KDRT di UPT P2TP2A Kota Bandung, peneliti mengajukan saran sebagai

berikut:

5.2.1. Saran Teoretis

- Peneliti lain disarankan unruk menggunakan ukuran sampel dengan jumlah yang lebih banyak sehingga mendapatkan gambaran yang lebih umum mengenai

kontribusi tersebut.

- Pada penelitian ini tidak dipaparkan mengenai dinamika forgiveness terhadap

resiliency oleh karena itu disarankan untuk melakukan studi kasus mengenai

kontribusi forgiveness terhadap resilienc pada wanita korban KDRT..

- Ditemukan bahwa perilaku KDRT cederung berulang pada pasangan dari wanita yang memaafkan. Penelitian selanjutnya, disarankan untuk meneliti lebih lanjut

seberapa besar kontribusi forgiveness terhadap pengulangan perilaku KDRT.

5.2.2. Saran Praktis

Bagi pihak UPT P2TP2A Kota Bandung :

1) Kepada para pengurus dan konselor UPT P2TP2A Kota Bandung, dapat mengadakan

sharing group antara para wanita korban KDRT yang sudah resilience dan wanita

(39)

Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan korban KDRT mengenai

konsekuensi positif yang diterima ketika melakukan forgiveness agar tetap resilience

menjalani kehidupan sehari- harinya.

2) Para konselor dan para pengurus UPT P2TP2A Kota Bandung juga diharapkan dapat menjelaskan keterkaitan forgiveness terhadap resiliency. Selama ini penanganan

KDRT masih terbatas pada korban KDRT, konsultasi dan konseling merupakan

penanganan yang tepat, tetapi tidak semua wanita korban KDRT bisa mengungkapkan

semua yang ia rasakan secara lisan, penanganan menggunakan psikoterapi seperti Art

therapy dimana media seni digunakan oleh wanita korban KDRT untuk mencurahkan

seluruh isi hatinya mungkin dapat digunakan. Terapi tersebut dapat digunakan untuk

menyembuhkan luka wanita korban KDRT setelah melakukan forgiveness agar ia

tetap resilience terhadap kehidupan sehari-harinya (Mitchel, 2012). Bagi para wanita korban KDRT di UPT P2TP2A Kota Bandung

1. Berinteraksi dengan para wanita-wanita lain yang pernah mengalami KDRT dan berbagi pengalaman tentang kondisinya saat ia pertama kali mengalami KDRT sampai

ia memaafkan semua keadaan dan bangkit dari situasi terpuruk tersebut. Diharapkan

dapat membuat wanitan korban KDRT menyadari bahwa untuk dapat bangkit dari

stress, kenangan sedih dan rasa sakit yang ia rasakan, wanita tersebut perlu untuk

berdamai dengan dirinya, suaminya dan kenangan pahit yang mengantuinya.

2. Wanita korban KDRT diharapkan untuk tetap memiliki kegiatan, mengembangkan keterampilan yan dimilikinya, serta bersosialisasi dengan orang lain. Tujuannya

dengan melakukan aktivitas, kegiatan dan bersosialisasi dengan banyak orang akan

(40)

PADAWANITA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI

UPT P2TP2A KOTA BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh :

PRISCILLA FRIDA

NRP : 1230061

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(41)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus kearena atas kasih, karunia, serta penyertaan-Nya peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini pada waktu

yang tepat. Skripsi dengan judul”STUDI KONTRIBUSI FORGIVENESS TERHADAP

RESILIENCY PADA WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI UPT P2TP2A KOTA BANDUNG” ini dibuat sebagai persyaratan tugas akhir untuk dapat

menempuh siding sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kaya sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Pada kesempatan kali ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnnya pada berbagai pihak yang telah membantu peneliti dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih ditujukan kepada :

1. Dr. Irene P. Edwina,M.Psi., Psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog, selaku ketua program studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

3. Robert O. Rajagukguk, Ph.D., selaku dosen pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, kritik, saran, motivasi, serta dorongan positif kepada peneliti selama penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk kesabaran Bapak dalam memberikan bimbingan serta arahan kepada peneliti.

(42)

iv

forgiveness atas kesediaannya untuk berdiskusi dengan peneliti sehingga peneliti mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan membantu peneliti dalam memahami teori mengenai forgiveness. Terimakasih untuk izin yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menggunakan alat ukur yang telah dikonstruksi oleh Bapak.

6. Heliany Kiswantomo, M.Si., Psikolog, selaku dosen Fakultas Psikologi Univesitas Kristen Maranatha yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan peneliti mengenai forgiveness dan alat ukur apa yang daoat digunakan.

7. Pauline Rahmiati B., ST., MT, selaku ketua program studi Fakultas Teknik Elektro institus Teknologi Nasional yang telah bersedia memotivasi, mendoakan,dan memberi bantuan baik secara finansial dan nonfinansialsaat peneliti menyusun skripsi ini.

8. Dra. Hj. Lenny Herlina, M.Si., selaku ketua UPT P2TP2A Kota Bandung yang telah meluangkan waktunya untuk membantu peneliti dalam pengambilan data, dan berbagi informasi dan pengalaman kepada peneliti.

9. Seluruh responden wanita korban kekerasan dalam rumah tangga di UPT P2TP2A Kota Bandung yang bersedia menjadi responden dalam pengisian kuesioner forgiveness dan resiliency, sehingga peneliti mendapatkan data sesuai dengan yang dibutuhkan.

10.Ibu Eti dan beberapa konselor di UPT P2TP2A Kota Bandung yang membantu dan mendampingi peneliti dalam pennyebaran kuesioner kepada para wanita korban kekerasan dalam rumah tangga.

(43)

v

Penelitian yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran yang sangat berguna untuk penulisan skripsi ini.

13.Angie Katarina, Dian Kumala, Martin Pamumesa, Widia Taihuttu, dan Aldaretha Pardede sebagai teman- teman dan juga rekan-rekan satu dosen pembimbing yang selalu memberikan semangat, masukan, bantuan, serta dukungan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini pada waktu yang tepat.

14.Steven Jounes P. sebagai orang yang sangat istimewa bagi peneliti yang selalu mendoakan, membantu,dan memberikan semangat agar peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini pada waktu yang tepat.

15.Kedua orang tua peneliti, Farida Jusina dan Alm, Raden Didi Prayudi Soesatyo yang selalu mendoakan dan menjadi inspirasi bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini.

16. Amanda, Azka, Citra, Putri, Gita, Maylina, Nurul, Paundra, Shanty, dan Wulansari selaku teman-teman baik peneliti yang tidak pernah bosan mendengarkan keluh kesah serta selalu mendukung dan memotibasi peneliti.

Akhir kata peneliti mengucapkan terimakasin kepada semua pihak yang telah membantu dan mungkin tidak dicantumkan namanya. Terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pada pembaca.

Bandung, November 2016

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Writing is considered as a means of communication. It involves a complex process where people have to use certain grammatical rules in organizing facts. It also tends to involve

narasi siswa menggunakan teknik memotong dan merekatkan (cutting-gluing) dan kemampuan mengubah teks wawancara menjadi paragraf narasi siswa yang tidak menerapkan

Suherman (2012: 66) mengemukakan bahwa pengumpulan data merupakan jantung penelitian tindakan kelas, maka analisis data merupakan jiwa penelitian tindakan kelas. Hal ini

MENYEBABKAN TINGGINYA BIAYA YANG HARUS DIKELUARKAN UNTUK MENYEMBUHKAN PENYAKIT YANG TERKAIT DENGAN KONSUMSI ROKOK DI INDONESIA... DAMPAK SOSIAL

Next, in the item 3, the finding shows a fairly strong tendency that more than half of the students (85%) strongly agreed or agreed that grammatical

mereka s€drg mabuk minuman keras dan sebagian merokok.. prioritaskanv. masalah yang ada dengan cara skoring !! d' Dari masarah

Berdasarkan Berita Acara Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran Administrasi dan Teknis (File I) Nomor : Sti.11.16/KS.01.7/338/2016 tanggal 15 November 2016, maka Kelompok Kerja