REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL
CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR
(Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur
OLEH : RIA ROZALINA
0743010091
YAYASAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN DAN PERUMAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL “DIMSUM TERAKHIR” KARYA CLARA NG
(Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir” Karya Clara Ng)
Oleh : RIA ROZALINA NPM. 0743010091
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada tanggal 12 Mei 2011
Menyetujui,
Dr. Catur Suratnoaji, M.Si NPT. 3 6804 94 0028 1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia serta rahmat-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”REPRESENTASI STEREOTYPE
TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR” (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi banyak terdapat
kekurangan-kekurangan, hal ini disebabkan sangat terbatasnya ilmu yang penulis
miliki serta kekuranganya pengalaman dalam membuat skripsi. Penulisan skripsi
ini merupakan salah satu syarat mahasiswa dalam menempuh pendidikan di
Prorgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Pembangunan Nasional ”Jawa Timur.”
Keberhasilan dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua
pihak, baik materiil dan sprituil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Ibu Dra. Dyva
Claretta, Msi selaku Dosen Pembimbing atas ketersediaan waktunya serta terima
kasih kepada :
1. Ibu Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
3. Keluarga tercinta, Papa dan Mami, Omku (The Big Boss) dan kedua Adikku
Kiki dan Vivi juga kakak dan iparku tercinta atas segala dukungan moral
maupun materiilnya, terutama untuk doa dan kesabarannya menjagaku.
4. Para Beibh, atas semua motivasi yang menyemangatiku untuk menyelesaikan
skripsi. Bebi Dian yang berjuang bersama, bebi me2y, bebi cing.
5. Teman-teman Kos Djeni, Didoo, Mbak etta, Mbak Upy, selalu menyediakan
waktu untuk membantu dan menemani dalam pengerjaan skripsi.
6. Crew of Ophi Uchus, terima kasih buat pengalaman baru dalam hidupku
(Uphy, Chypu, Duyung, Me2y)
7. For specially, Finsa Anggara Pratama atas dukungan untuk selalu
mengingatkanku dan membantu dalam pembuatan skripsi ini khususnya untuk
pinjaman printernya.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan baik
dari segi teknis maupun dalam segi penyusunannya. Untuk itu, penulis senantiasa
bersedia dan terbuka dalam menerima saran dan kritik yang bersifat membangun.
Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Allah
SWT senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua, Amin.
Surabaya, 12 Mei 2011
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI…….. . i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI………... ii
KATA PENGANTAR ……….. iii
DAFTAR ISI ………. v
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah………. ... 11
1.3 Tujuan Penelitian…..…. ... 11
1.4 Manfaat Penelitian………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...………..13
2.1 Landasan Teori……….13
2.1.1 Karya Sastra Sebagai Suatu Proses Komunikasi Massa...13
2.1.2 Novel Sebagai Media Massa Cetak………....15
2.2 Unsur-unsur Novel……….……….17
2.3 Teori Representasi……….………..19
2.4 Stereotype…...…21
2.5 Stereotype Cina………22
2.7 Prasangka………24
2.8 Hubungan Stereotipe dengan Komunikasi Antar Budaya………….….25
2.9 Pengertian Etnik………...…….25
2.10 Semiologi………...26
2.11 Kerangka Berpikir……….30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...33
3.1 Metodologi Penelitian………....33
3.2 Subyek Penelitian………...34
3.3 Unit Analisis………...35
3.4 Corpus Penelitian…..……….…35
3.5 Teknik Pengumpulan Data………...38
3.6 Teknis Analisis Data………..38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………...40
4.1 Gambaran Obyek Penelitian……….………….….40
4.2 Penyajian dan Analisis Data………..43
4.2.2. Hasil Analisis Data………..46
4.3 Sistem Mitos………..68
4.4 Penggambaran Stereotype pada novel Dimsum Terakhir………..71
BAB V KESIMPULAN & SARAN……….……….76
5.1 Kesimpulan………76
ABSTRAKSI
RIA ROZALINA, REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)
Penelitian ini menaruh perhatian adanya representasi stereotype Tionghoa di Indonesia dalam novel Dimsum Terakhir. Adanya stereotype mengenai etnis Tionghoa di Indonesia, mampu menimbulkan kesenjangan dan diskriminasi pada kaum Tionghoa. Didalam novel “Dimsum Terakhir” ini menceritakan bagaimana kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia dan perjuangan empat tokoh keturunan Tionghoa dalam menghadapi berbagai masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan mereka.
Stereotype, merupakan suatu konsep yang menjelaskan suatu keadaan yang menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Hubungannya dalam kajian ilmu komunikasi adalah jika komunikasi individu yang berbeda budaya didahului persepsi negative, akan menimbulkan stereotype negative. Hal itu akan mempengaruhi efektifitas komunikasi dalam interaksinya. Sehingga apa yang terjadi pada masalah Tionghoa dan pribumi mampu menimbulkan tindakan-tindakan yang bersifat diskriminasi karena adanya kepercayaan ataupun pemikiran yang salah.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teori semiologi Roland Barthes, yang mana ia memaknai teks pada novel “Dimsum Terakhir”. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan konsep dan melibatkan leksia sebagai subyek tanda (sign), obyek (object), dan penafsiran (interpretant). Penafsiran data ialah salah satu diantara tiga tujuan berikut : deskripsi semata-mata, deskripsi analitik, dan teori subtantif. Penelitian ini hanya bertujuan untuk deskripsi semata.
Dari data yang diperoleh, dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan teori maka akan dapat disimpulkan bahwa Novel Dimsum Terkahir karya Clara Ng ini, sarat akan nilai-nilai moral yaitu sebagai sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya, dan dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya kita hidup saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Adanya stereotype pada suatu kelompok etnis, memicu timbulnya kesenjangan sosial diantara keragaman etnis dan mampu mengakibatkan perpecahan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara yang terdiri banyak suku, dimana
diantara suku tersebut terjadi hubungan yang harmonis maupun konflik.
Konflik mengenai suku yang marak dibicarakan di pulau Jawa khususnya
adalah konflik antara pribumi dan non-pribumi yaitu antara suku Jawa dengan
suku Tionghoa(Cina). Pada dasarnya orang-orang Cina yang bertdatangan ke
Indonesia adalah orang-orang yang memiliki jiwa dagang yang tinggi,
sehingga ketika orang-orang Cina ini tinggal di daerah-daerah di Indonesia,
mereka tetap melakukan dan meperluas perdagangan yang sudah mendarah
daging.
Sebagai sebuah bangsa, hendaknya selalu memulyakan kedudukan
manusia, budaya dan peradaban. Hanya manusia yang berbudaya dan
berperadaban yang memiliki citra baik dalam pergaulan antar manusia dan
bangsa. Kemerosotan kualitas moral bangsa itu memang tidak dapat dilihat
dan di observasi secara langsung, melainkan hanya dapat dilihat dari siakp,
Konflik yang terjadi antara kedua suku ini menekankan pada adanya
pelabelan yang tercipta atau stereotype terhadap etnis Tionghoa oleh pribumi
selama ini, merupakan salah satu bentuk perubahan sosial dan kemerosotan
kualitas moral manusia yang berbudaya dan beradab. Terlebih dari itu,
stereotype mampu menimbulkan praktik diskriminasi utamanya di masa Orde
Baru (Orba). Di masa Orba itu, pintu kebebasan dan saluran komunikasi
public, khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran,
kalau peran warga etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, khususnya politik,
sangat terbatas. Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai
berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan berpendapat
mulai dibuka. Namun demikian, pola pemikiran negatif yang mengakar, di era
reformasi seperti saat ini bukan berarti sudah tidak ada masalah. Justru masih
menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah.
Awalnya bermula ketika bangsa Belanda dan bangsa barat lainnya
melakukan penjajahan baik di bidang politik maupun ekonomi, mereka
meilhat orang-orang Cina ini sebagai saingan dagang yang cukup berat. Di
saat inilah Belanda melancarkan politik adu domba antara Cina dan pribumi.
Pada saat bersamaan, orang-orang Cina melihat peluang memperluas
perdagangan mereka, sehingga lebih banyak lagi yang datang terutama di
pulau Jawa dengan membawa keluarga mereka. Disinilah akhirnya mereka
pribumi, pada dasarnya hal ini merupakan politik adu domba antara Cina dan
pribumi.
Namun pada masa kemerdekaan RI tidak mudah dimasuki
orang-orang Cina. Mereka tidak mau sekolah di sekolah negeri, sehingga Pemerintah
RI menutup sekolah-sekolah Tionghoa. Di lain pihak,pemerintah Indonesia
membatasi perdagangan orang Cina dan menerbitkan beberapa larangan untuk
orang Cina,seperti penghapusan status Dwi Kewarganegaraan dan pembatasan
wilayah perdagangan. Namun, peraturan itu justru mencetuskan suasana
rasialisme karena pada akhirnya penduduk kota merasa terkalahkan oleh
orang-orang Cina dalam bidang perdagangan di daerahnya sendiri. Kerusuhan
rasial yang terjadi diantaranya:
1. Bandung, 10 Mei 1963, kerusuhan anti peranakan suku Tionghoa
terbesar di Jawa Barat.
2. Ujung Pandang, April 1980, Suharti, seorang pembantu rumah tangga
meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus bahwa ia mati
dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak.
Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
3. Surabaya,September 1986, seorang pembantu rumah tangga dianiaya
oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Kejadian itu memancing
kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan
4. Jakarta, 13-14 Mei 1998, kemarahan masa akibat penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh politik
teretntu anti Cina. Peristiwa ini merupakan peristiwa anti Cina terbesar
sepanjang sejarah RI.
Riwayat konflik di atas menunjukkan bahwa konflik antara
Jawa(pribumi) dan Cina.memang merupakan masalah yang dapat dikatakan
berat, sepertiyang tertulis dalam sebuah artikel bahwa konflik antara pribumi
setempat dan orang Cina tidak dapat dituntaskan sekalipun konflik tersebut
tidak berlangsung terus-menerus.
(http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel ps2.html).
Pertikaian antar etnis yang terjadi di Indonesia bisa dipahami sebagai
ekspresi dari konflik yang sudah mengakar. Dikatakan sebagai konflik yang
mengakar, karena pertikaian antar kelompok tersebut melibatkan dua faktor
yang saling berkaitan yaitu faktor identitas cultural dan faktor ketidakadilan
ekonomi sosial. Konflik karena identitas cultural cenderung bertahan dalam
waktu yang panjang. (Bloomfield&Reilly).
Mulyana dalam Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (2001:167),
mengatakan bahwa inti dari komunikasi sebenarnya adalah persepsi,
ssehingga untuk memciptakan komunikas yang baik (terutama untuk
meminimalkan konflik) adalah persepsi yang selalu ada dalam diri inidividu
lain dan pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan
berkomunikasi dan berprilaku pada orang lain.
Persepsi menurut Dafiddof, merupakan suatu proses yang dilalui suatu
stimulus yang diterima panca indera yang kemudia di organisasikan dan di
interpretasikan sehingga individu menyadari yang di inderanya itu. (Walgito,
2002: 69). Dan dari sebuah kegagalan persepsi akan menciptakan stereotype
maupun prejudice(prasangka) dan pada akhirnya memicu terjadinya konflik
yang lebih besar seperti tindak diskriminasi yang terjadi hingga saat ini.
Stereotype atau stereotyping adalah suatu keadaan
menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan
membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam
$suatu kelompok. Menurut Larry Samovar dan Richard E Porter, stereotype
didefinisikan sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai
kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap
yang lebih dulu terbentuk. Dengan adanya stereotype maka kesulitan
komunikasi pun sering muncul karena pada umumnya stereotype bersifat
negatif. Dengan adanya stereotype yang terus menerus tertanam dalam pola
pikir masyarakat, akan menghambat keefektifan komunikasi. Karena
stereotype, mampu mengeluarkan pemahaman negative yang sesuai dari apa
yang kita pikirkan terhadap suatu hal. Sehingga, hal tersebut akan
Menurut Charmichael dan Hamilton (1967), ada dua type rasisme:
individual dan intitusional. Rasisme Individual terjadi ketika seseorang dari
ras tertentu membuat aturan dan bertindak keras dan kasar terhadap ras lain,
karena anggota ras lain itu berada dalam kekeuasaanya. Sedangkan rasisme
Intitusional merupakan tindakan kelompok mayoritas terhadap minoritas yang
dilembagakan atau diinstitusikan.
Secara historis, citra negatif etnis Tionghoa memiliki akar yang sangat
panjang. Menurut pakar dan peneliti sejarah LIPI, Asvi Warman Adam,
mengatakan bahwa secara historis, sejak masa sebelum kedatangan bangsa
Eropa, terutama pada masa kolonial. Masalah China (baca: Tiongkok)
(Chineesche Kwestie) baru menghangat di koloni ini sejak 1900-an ketika
timbul gerakan nasionalisme kaum peranakan China di Indonesia.
Praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih
merajalela baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural, dalam
benak penduduk “pribumi” nampaknya masih tersimpan stereotip yang
memang “sengaja” dibuat sejak berabad-abad silam, bahwa warga etnis
Tionghoa adalah warga “kelas dua”. (Andjarwati Noorjanah, 2004).
Penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi atau “kelas kedua” di sini tidak
tepat, namun karena dalam realitasnya masih saja dipakai, sengaja atau tidak,
akibatnya terjadilah stereotiping. Karenanya, barangkali tepat bila
pihak-pihak tertentu. Selain itu, secara substansial beberapa di antaranya
adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang mengatur
masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa
masih saja dipersulit dalam mengurus urusan asal usul dan status
kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum
memiliki status kewarganegaraannya hingga saat ini. Bahkan timbulnya
diskriminasi hingga saat ini banyak terjadi dikarenakan sebuah stereotip yang
sengaja dibentuk pada jaman Orde Baru dan melekatnya pola pikir adanya
kata pribumi dan nonpribumi.
Selain itu, Amandemen keempat UUD 1945, tidak diadakan
perubahan pada pasal 26 Ayat (1), karena masih terdapat kata “Indonesia
Asli” mengenai status Kewarganegaraan. Itu hal yang esensial dan tetap
membuka peluang tindakan diskriminatif. Istilah asli pada ayat tersebut tidak
jelas maknanya secara hukum. Dan ketentuan pada ayat tersebut mampu
melahirkan kembali peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif,
khususnya pada masyarakat keturunan Tionghoa.
Langkah yang seharusnya diambil dalam penghapusan segala bentuk
kesenjangan akibat sebuah pelabelan atau stereotype, sebaiknya diawali dari
pembenahan structural/ hukum yang berbau diskriminasi. Dengan dibuka
hukum baru yang lebih terbuka mengenai anti diskriminasi etnis apapun dan
tindakan stereotype pada etnis tertentu tidak dibenarkan dengan merubah pola
pikir setiap individu. Sehingga mereka sadar akan bentuk diskriminasi yang
timbul dari stereotype terhadap apapun dan siapapun.
Karena itulah, peneliti menaruh perhatian terhadap adanya stereotype
pada etnis Tionghoa dalam novel Dim Sum Terakhir karya Clara Ng. Novel
ini menceritakan kisah empat perempuan kembar keturunan Tionghoa yang
lahir di Indonesia. Mereka bernama Siska, Indah, Rosi dan Novera. Keempat
perempuan keturunan Tionghoa ini dilahirkan di Jakarta, meski kembar,
mereka memiliki kepribadian dan kehidupan yang berbeda serta masa lalu
yang membingungkan. Pengalaman hidup keempat saudari kembar ini,
bermula pada sisa-sisa adat yang masih dipegang teguh disaat zaman semakin
modern. Seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia, ditakdirkan
lahir bersama konflik yang sudah mengakar terutama pada rezim ORBA
(Orde Baru). Meski kini keadaan jauh lebih baik setelah bergesernya jaman
Orde Baru, namun sisa-sisa konflik tersebut secara tidak sadar masih
dirasakan pada masyrakat keturunan Tionghoa Indonesia hingga saat ini.
Dilahirkan sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia pada jaman orde baru
bukan suatu perkara yang menyenangkan. Banyak diskriminasi yang terjadi
dalam orde ini. Perlakuan yang sangat berbeda pada jaman itu yang
berlangsung cukup lama, ternyata menyisakan duka. Stereotip yang tercipta
Empat perempuan kembar ini hidup dengan perjuangan mereka
masing- masing. Ketika dewasa, mereka pun berpisah untuk meniti karir
mereka. Siska memilih tinggal di Singapura dan berbisnis, Indah memilih
tetap di Jakarta, namun memilih hidup mandiri sebagai seorang penulis, rosi
memilih hijrah ke Bandung dan melebarkan usaha berkebunnya sedangkan
Novera menetap di Jogja sebagai guru. Kehidupan mereka merupakan realita
sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Disaat kesibukan masing-masing
membuat mereka melupakan kebersamaan yang harusnya ada dalam keluarga,
tiba-tiba satu persoalan besar muncul, ketika mereka diharuskan berkumpul
kembali dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Nung Antasana ayah dari
keempat bersaudara ini menderita Myelodysplastic Syndromes (MDS),
Penyakit dimana penderitanya tidak mampu memproduksi sel darah merah
yang di butuhkan tubuh. Dan artinya ayah mereka dalam keadaan sekarat dan
sewaktu-waktu bisa kehilangan nyawa. Hal itulah yang akhirnya memaksakan
mereka meninggalkan kesibukan masing-masing untuk berkumpul dan berada
kembali disamping ayah mereka.
Kembali kerumah masa kecil mereka membuat mereka mengenang
masa lalu. Tinggal di perkampungan kelompok etnis tionghoa, menyisakan
begitu banyak kenangan pahit dan indah. Mulai dari kebiasaan keluarga
mereka menyajikan dimsum di pagi hari sebelum perayaan Imlek, bersekolah
mendapatkan perlakuan diskriminasi di jaman Orde Baru. Hingga
masalah-masalah diskriminasi lainnya yang hingga saat ini masih mereka rasakan.
Sebagai Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Hingga jaman Orde
Baru berakhir, kenyataannya praktek kecil diskriminasi terhadap etnis ini
masih terasa. Adanya penstereotypean yang tercipta di mata pribumi terhadap
keturunan Tionghoa,memuncullkan pemahaman yang bersifat negative.
Sehingga mampu menimbulkan adanya perlakuan yang berbeda. Namun
masalah diskriminasi yang timbul dari sebuah bentuk pelabelan atau
stereotype itu, hanya sebagian kecil yang dihadapi mereka. Persoalan yang
paling besar adalah dimana mereka mencari jalan untuk menyisakan kenangan
terindah disaat terakhir kebersamaan mereka bersama ayah mereka. Mulai
dari menuruti keinginan ayah mereka, agar keempatnya segera menikah, rosi
yang harus jujur bahwa dirinya seorang lesbian karena dia merasa sebagai
lelaki dalam tubuh perempuan, Indah dengan janin di rahimnya tanpa seorang
ayah dan Novera dalam masalahnya tanpa rahim dia bukan wanita seutuhnya.
Semua masalah pelik itu pun akhirnya berakhir, disaat kebersamaan
mereka jalani bersama kejujuran, yang akhirnya pun mengantarkan ayah
mereka kembali ke nirwana yang tenang dan bahagia.
Diantara karya, fiksi dewasa, remaja,anak-anak dan novel karya Clara
Pustaka pada tahun 2006. Clara Ng merupakan sastrawan dan pengarang
bestseller yang banyak menulis cerita-cerita inspiratif, lucu, segar dan
mendidik. Karyanya telah dicetak berulang kali. Dia mampu menuliskan
fenomena-fenomena dalam bahasa yang halus dan imajinasi tingkat tinggi
yang mampu memuaskan pembacanya.
Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng ini merupakan novel popular
di masyarakat. Realitas kehidupan yang terjadi dalam novel ini, mampu
menyuguhkan sesuatu yang berbeda namun tetap berani dalam mengangkat
sebuah realitas kehidupan dan memasukakan unsur mengenai diskriminasi
etnis Tionghoa karena adanya stereotype yang melekat, dalam gaya bahasanya
yang mampu membangun imajinasi ketika membacanya.
Dari latar belakang permasalahan diatas, akhirnya peneliti mengambil
judul “ Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul
Dimsum Terakhir” .
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
penelitian adalah : Bagaimana penggambaran Stereotype Tionghoa beserta
dampaknya dalam novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana bentuk
Stereotype terhadap keturunan Tionghoa dengan “Representasi Stereotype
Tionghoa Dalam Novel Dimsum Terakhir ”.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi seseorang.
bahwa diantara Kerukunan Beragama dan Bhineka Tunggal Ika, sebagai
manusia yang berbudaya kita harus saling menghormati dan menghargai satu
sama lain untuk mendapatkan suatu tujuan bersama yang lebih baik dalam
kehidupan kita yang direpresentasikan dalam novel Clara Ng berjudul
13
1.4.2 Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengetahuan bagi pembaca
terhadap pesan yang coba disampaikan dalam novel Dimsum Terakhir dan
dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang menggeluti dunia sastra yang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Karya Sastra Sebagai Suatu Proses Komunikasi Massa
Menurut Ducan dalam Ratna (2003:142), karya sastra sebagai proses
komunikasi menyediakan pemahaman yang sangat luas. Dalam sebuah karya
sastra terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, karena karya sastra
menyajikan pengalaman dalam kualitas antar hubungan. Hubungan antara
pengarang dan pembaca harus dipahami dengan hubungan yang bermakna,
sebagai pola-pola hubungan yang terbuka dan produktif dengan implikasi
sosial, bukan sebagai kualitas yang tunggal dan linier. Komunikasi sastra
merupakan komunikasi tertinggi sebab melibatkan unsur-unsur yang paling
luas.
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata -
mata sebuah imitasi (dalam Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk
dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang
mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia.
permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir
dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan
eksistensi dirinya. (dalam Sarjidu, 2004: 2).
Karya sastra sebagai salah satu bentuk kreatifitas cultural sebagai
representasi super struktur ideologis, dipandang sebagai gejala-gejala sosial
yang terdiri dari system informasi yang rumit. Di satu pihak karya sastra
merupakan respon-respon interaksi sosial, yaitu gejala sosial sebagai akibat
antara hubungan pengarang dan masyarakat. Di pihak lain, karya sastra
menyediakan dunia rekaan bagi pembacanya. Dalam pengertian terakhir inilah
sesungguhnya terletak gagasan mengenai komunikasi sastra. Interaksi
simbolik dalam karya sastra merupakan representasi kehidupan sehari-hari
dengan cara yang sangat halus, tidak langsung, mengacu pada kualitas
transcendental, konotatif dan metaforis (Ratna, 2003 : 132-133).
Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah: Novel cerita/cerpen
(tertulis/lisan), syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi. Karya sastra
khususnya novel, dengan peralatan formulanya, makin lama makin dirasakan
sebagai aktivitas yang benar-benar memiliki fungsi integral dalam struktur
2.1.2. Novel sebagai Media Massa Cetak
Dalam sejarahnya, buku termasuk media massa cetak yang dianggap
mampu menyampaikan pesan secara mendalam. Terlebih lagi dengan
banyaknya kelebihan yang dimilikinya seperti mudah dibawa kemana saja,
dan yang paling penting terdokumentasi permanen, namun sayangnya hanya
bisa dinikmati oleh mereka yang melek huruf (Cangara, 2005:128). Melalui
sebuah buku, penulis atau penyusunnya dapat berbagi banyak hal, seperti ilmu
pengetahuan, pengalaman bahkan imajinasi kepada pembacanya sehingga
buku banyak digunakan untuk keperluan studi, pengetahuan, hobi atau media
hiburan dengan penyajian mendalam.
Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita
pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca
oleh para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam kesusasteraan,
kebanyakan juga berisi karya– karya novel.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1995 : 694), novel
merupakan hasil karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang dis sekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel merupakan salah satu jenis
memberikan informasi kepada pembacanya, selain itu novel juga berfungsi
menghibur dan mempersuasi para pembacanya (Keraf, 1993 : 187-188).
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia.
Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang
luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo). Sebagai bahan bacaan, novel dapat
dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat
demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak
semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra
serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya
yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada
kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya
adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah
orang habis membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik
adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya
novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting
memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi
novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa novel serius punya fungsi social, sedang novel hiburan Cuma berfungsi
tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan
apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang
penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat
membacanya.
2.2 Unsur-unsur Novel
2.2.1 Unsur Intrinsik
a) Tema
merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita
novel. Dengan adanya tema, maka pengarang lebih fokus pada pembangunan
cerita dan pengembangan alur yang dibuat. Fungsi utamanya adalah
memberikan suatu nilai dalam kesatuan literature. Tema mengontrol ide-ide
yang timbul dalam karya fiksi. Dengan adanya tema, jalan cerita yang timbul
dapat tersusun secara sistematis sesuai dengan maksud yang ingin ditampilkan
pengarang ( Perrine, 1974 : 402).
b) Setting
Rustamaji dan Agus Priantoro berpendapat bahwa Setting dalam novel,
merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita. Setting
c) Sudut Pandang
Sudut pandang dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang
pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan
mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
2. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak
mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya
menngunakan kata ganti orang ketiga.
3. Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri
di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat
sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin
yang paling dalam dari tokoh.
(Harry Show,1972 : 293)
d) Alur/ Plot
Merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2
bagian yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristiwa bergerak secara
bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur
mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa
e) Penokohan/ Karakterisasi
Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui
karakternya dari cara bertindak, cirri fisik lingkungan tempat tinggal. Karakter
merupakan perwujudan ide-ide pengarang, dan aksi karakter merupakan
perubahan dalam nilai-nilai dan ide-ide (Brooks, 1970 : 60 dalam Gayyu,
2005: 23).
f) Gaya Bahasa
Merupakan gaya yang dominant dalam sebuah novel.
2.1.2 Unsur Ekstrinsik
Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, bografi
pengarang, dan lain-lain, di luar unsure instrinsik. Unsur-unsur yang ada di
luar tubuh karya sastra. Perhatian terhadap unsure-unsur ini akan membantu
keakuratan penfsiran suatu karya sastra.
Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang
dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi via kata-kata, bunyi, citra
atau kombinasinya.(Fiske, 2004 : 282).
Chris Barker menyebutkan bahwa Representasi merupakan kajian
utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai
bagaimana dunia dikostruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan
oleh kita didalam pemaknaan tertentu. Cultural studies memfokuskan diri
kepada bagaimana proses pemaknaan tertentu. Cultural studies memfokuskan
diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. (Barker,
2006 : 9)
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari
pemaknaan suatu tanda. Representasi juga berarti proses perubahan
konsep-konsep ideology yang abstrak dalam bentuk-bentuk konkret. Representasi
merupakan konsep yang digunakan dalam proses sosial. Pemaknaan melalui
system penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan
sebagainya. Secara ringkas representasi merupakan produksi makna melalui
bahasa. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).
Menurut Stuart Hall (1997), representasi merupakan salah satu praktek
penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang
dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada
disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan
yang sama, berbicara bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep
yang sama.
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama,
representasi mental. Yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita
masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk
sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa”yang berperan penting dalam proses
konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dan symbol-simbol
tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
system”Peta konseptual”dengan bahasa atau symbol yang berfungsi
merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara
“sesuatu”, “peta konseptual” dan “bahasa/symbol” adalah jantung dari
produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini
secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi. Konsep bisa
representasi adalah hasil dari praktek penandaan, praktek yang membuat
sesuatu hal bermakna sesuatu.
2.4 Stereotype
Stereotype atau stereotyping adalah suatu keadaan
menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan
membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam
suatu kelompok. Dengan kata lain Stereotype adalah proses menempatkan
orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau
penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan
kategori-kategori yang dianggap sesuai, daripada berdasarkan karakter individual
mereka.
Menurut Robert A Baron dan Paul B. Paulus, stereotype adalah
kepercayaan bahwa semua anggota suatu kelompok tertentu memiliki ciri-ciri
tertentu atau menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Dengan kata lain
stereotype adalah kategorisasi atas kelompok secara serampangan dengan
Dengan adanya stereotype maka kesulitan komunikasi sering terjadi
karena pada umumnya stereotype bersifat negative. Alasan terjadinya
stereotype adalah:\
1. Sebagai manusia, seseorang cenderung membagi dunia ini
kedalam dua kategori, yaitu kita dan mereka. Ketika kategori
tersebut terbentuk, seringkali seseorang mempersepsi bahwa
dirinya yang termasuk dalam kelompok dan parahnya mereka
disamaratakan.
2. Stereotype pada dasarnya bersumber dari kecenderungan seseorang
untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir
mengenai orang lain. (Mulyana, 2001:218,220).
2.5 Stereotype Cina
Stereotype adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu
berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan (Narwoko,
2004 : 342). Pada umumnya stereotype bersifat negative. Stereotype tidak
berbahaya sejauh hanya disimpan di kepala. Namun bahayanya akan sangat
nyata bila stereotype diaktifkan dalam hubungan manusia. Apa yang
mengharapkan orang lain berprilaku tertentu, seseorang mungkin
mengkomunikasikan pengharapannya kepada orang lain berprilaku tertentu,
sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa orang lain akan berprilaku
sesuai dengan harapannya.
Beberapa stereotip Cina, diantaranya:
Orang Cina pandai memasak (Mulyana,2004 :219)
Orang Cina tertutup, angkuh, matrealistis, rajin, ulet, gigih dan
giat bekerja, pedagang.
Orang Cina itu licik, kaya tapi pelit
Economic Animal, tidak punya solidaritas, suka berpetualang
ekonomi, kurang patriortik,dan sukar membaur. (Wibisono,
2007: 244)
2.6 Diskriminasi
Diskriminasi pada The New Oxford Dictionary of English 1998
mencantumkan 2 makna kata discrimination, yaitu (1) perlakuan tidak adil
dan berprasangka dalam kategori-kategori berbeda terhadap orang atau hal,
terutama atas dasar ras, umur dan seks. (2) perngakuan dan pemahaman atas
kemampuan membedakan apa yang berkualitas bagus, penilaian baik, dan
selera tinggi.
Maka diskriminasi pada dasarnya selalu mempengaruhi setiap individu
dalam menentukan pilihan dalam kehidupannya. Namun dapat dimungkinkan
dalam melakukan proses penilaian dan pembedaan tersebut mengakibatkan
tindakan yang kemudian berakibat merugikan pihak lain sehingga
diskriminasi dapat diartikan secara negative pula.
2.7 Prasangka
Stereotype merupakan salah satu bentuk kegagalan persepsi, dan
bentuk kegagaln yang muncul dari bentuk stereotype adalah prasangka.
Adanya prasangka mampu menciptakan pandangan negatif dengan adanya
pemisahan tegas antara perasaan kelompokku (in group) dan perasaan adanya
kelompok lain (out group). (Purwasito dalam komunikasi Multikultural,
2003:178). Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap
perasaan negative lambat laun akan menyatakan dirinya dalam tindakan
diskriminatif.
Prasangka menurut Richard W Brislin adalh suatu sikap tidak adil,
menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Dan Brislin
kelompok lain sebagai kelompok yang lebih rendah, sifat memusuhi
kelompok lain pada saat tertentu namun menjaga jarak pada saat lain. Yang
pada akhirnya menjadi kekeliruan persepsi dan hambatan bagi suatu kegiatan
komunikasi karena adanya pertentangan atau sikap curiga.
2.8 Hubungan Stereotype dengan Komunikasi Antarbudaya
Ketika individu berbeda budaya berkomunikasi, salah penafsiran atas
pesan yang disampaikan merupakan hal yang lazim. Perbedaan faktor budaya
seperti bahasa, system komunikasi non verbal, norma, nilai, kepercayaan yang
berakar dalam system budaya secara keseluruhan, yang sering menimbulkan
kesalahpahaman antarbudaya yang berbeda. Hal ini disebabkan karena
persepsi yang berbeda dari individu berbeda budaya. Jika komunikasi diantara
individu yang berbeda budaya didahului oleh persepsi yang negative, akan
menimbulkan stereotype negatif. hal itu akan mempengaruhi efektifitas
komunikasi dalam interaksinya. Efektifitas komunikasi tergantung atas
pengertian bersama antarpribadi sebagai orientasi persepsi serta system
kepercayaan(Stereotype). (William, 1966 dan Samovar 1976).
Etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani “etnicos” yang diasumsikan
sebagai kelompok yang fanatic terhadap ideologinya. Para ahli ilmu sosial
menganalogikan kelompok etnik sebagai kelompok penduduk yang
mempunyai kesamaan sifat-sifat budaya misalnya bahasa, adat istiadat,
perilaku budaya, karakteristik budaya serta sejarah budaya. Konsep yang
terkait dengan etnik adalah etnosentrisme yang merupakan sikap untuk
menilai unsure-unsur kebudayaan lainnya dengan mempergunakan
ukuran-ukuran kebudayaan sendiri tanpa mau mengerti atau memahami nilai-nilai
kebudayaan kelompok lainnya.(Hariyono,1998:56).
2.10 Semiologi
Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas
seni logika, retorika, dan poetika. Akarnya adalah “semeion”, nampaknya
diturunkan dari kedokteran hipokraktik atau asklepiadik dengan perhatiannya
pada simptomatologi dan diagnostic inferensial(Sinha, 1988:3 dalam
Kurniawan,2001:49).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalh perngkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia(sobur, 2004:15).
Sejak kemunculan Saussure dan Peirce, maka semiologi
menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan
tentang tanda. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan
meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis)
dan Saussure menekankan pada Linguistik, kenyataannya semiologi juga
membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system tanda non
linguistic. Sementara itu, bagi Barthes (1988:179) semiologi hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)memakai hal-hal (things).
(Kurniawan 2001:53).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca(the reader). Konotasi, walupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai system
pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas system lain yang telah ada
sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas system pemaknaan tataran
kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai system pertama. System kedua ini
oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mythologiesnya secara
tegas dibedakan dari denotative atau system tataran pertama. Melanjutkan
studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaiman tanda bekerja
Gamba r 2.1.4 Peta
Tanda Roland Barthes (Sobur, 2003 : 69) 1. Signifier
(Penanda)
2.Signified
(Petanda)
3. Denotative sign (Tanda Denotativ)
4. CONOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dalam Konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaanya. Konotasi identik dengan operasi ideology, yang
disebutnya sebagai”mitos”dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
meberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominasi yang berlaku dalam suatu
periode tertentu.
Barthes memfokuskan ulang lensa arsenal teoritisnya pada
konsep-konsep yang berkaitan dengan pengolahan hasrat manusia. Jadi penekanan
keterasingan, interobjektivitas, budaya perbedaan, memori dan tulisan
(Trifonas, 2003 : 12). Lima kode Barthes adalah :
1. Kode Hermeneutic atau kode teka-teki adalah satuan-satuan
sengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu
persoalan, penyelesaiannya serta aneka peristiwa yang dapat
diformulasi persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun
semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi
penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode
“penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum
memberikan pemecahan atau jawaban (Budiman, 2004 : 55).
2. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak isi.
Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema sutu teks.
Barthes melihat bahwa dikelompokkan dengan konotasi, kita
menemukan suatu tema di dalam cerita.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling
khas, karena bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan
bahwa makna berasal dari beberapa oposisi psikoseksual yang
melalui proses ataupun pada taraf pemisahan dunia secara kultural
dan primitiv menjadi kekuatan dan mitologis dapat dikodekan
4. Kode Proaretik atau kode tindakan. Kode ini didasarkan pada
konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau
akibat dari suatu tindakan secara rasional yang mengimplikasikan
suatu logika prilaku manusia : tindakan-tindakan membuahkan
dampak-dampak dan masing-masing dampak memiliki tema
generik tersendiri, semacam judul bagi yang bersangkutan.
5. Kode Gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini
berwujud sebagai suara kolektif yang anonim dan ototatif ;
bersumber dari pengalaman manusia yang mewakili atau berbicara
tentang esuatu yang hendak dikukuhkan sebagai pengetahuan atau
kebijaksanaan yang diterima secara umum. Kode ini yang bisa
berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus
dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas
dan ilmiah bagi suatu wacana (Budiman, 2004 : 56).
Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001 : 196) bukan hanya
untuk membangun siatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat
formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling
masuk akal dan rincian yang paling menarik merupakan produk buatan dan
Semiologi sejauh ini tetaplah sebuah metode untuk mendekati
kebuadayaan dalam beragam bentuk.
2.11 Kerangka Berpikir
Banyaknya kesalahpahaman komunikasi dari kegagalan persepsi,
menimbulkan adanya ketimpangan dalam interaksi sosial. Timbulnya
stereotype yang pada umumnya bersifat negatif terhadap etnis Tionghoa,
memacu terjadinya tindakan diskriminasi yang hingga kini masih terjadi sadar
maupun tidak disadari. Meski telah mengalami banyak perubahan, namun
stereotype terhadap suatu kelompok tertentu, khususnya etnis Tionghoa oleh
masyarakat pribumi, masih sangat banyak dan kini bersifat cultural
(membudaya) dalam kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda
beda dalam memaknai suatu obyek atau peristiwa. Disinilah media massa
sangatlah berperan dalam menyampaikan sebuah pesan atau dalam
menciptakan makna terhadap pemikiran seseorang.
Novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng adalah sebuah karya novel
yang dapat dijadikan wahana bagi masyarakat untuk bangkit dari kesenjangan
sosial yang membuat mereka semakin terpuruk. Dalam penelitian ini, peneliti
Terakhir” karya Clara Ng. Dalam hubungannya dengan representasi
Stereotype Tionghoa dengan menggunakan metode semiologi barthes, dengan
menggunakan leksia dan lima kode pembacaan. Representasi Stereotype yang
terdapat dalam novel kali ini akan direpresentasiakan melaluli tahap
pemaknaan. Novel Dimsum Terakhir akan dipilah yang di pengal-penggal
penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun
yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan (units of reading) dengan
menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode
tersebut meliputi kode hermeutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik
dan kode cultural. Leksia dapat berupa satu kata, sebuah paragraf atau
beberapa paragraf.
Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan
interprestasi yang mendalam dan tidak dangkal dan disertai dengan
bukti-bukti dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara ilmiah. Seperti yang
tertera dalam gambar berikut ini :
Analisis menggunakan Metode Semiologi
Roland Barthes Novel Dim Sum
Terakhir karya Clara
Ng Hasil Interpretasi Data
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Dengan menggunakan metode penelitian semiologi yang bersifat
kualitatif, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
representasi keseimbangan hidup dalam novel Dimsum Terakhir.
Definisi penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor(1975:5),
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beurpa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun
dalam peristilahannya. (Moleong, 2006:4).
Sedangkan analisis semiologi merupakan analisis mengenai tanda dan
segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya hubungan dengan
tanda-tanda lain , pengiriman dan penerimaannya untuk mereka yang
menggunakan.
Penelitian Kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar
alamiah, yang bermaksud untuk menafsirkan fenomena yang terjadi.
Penelitian yang menggunakan naturalistic untuk mencari dan menemukan
pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar tang
berkonteks khusus. Dalam penenelitian kualitatif metode yang biasanya
dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, pemanfaatan dokumen.
3.2 Subyek Penelitian
Subyek dari penelitian yaitu leksia dari teks novel “Dimsum Terakhir”
karya Clara Ng yang menunjukkan adanya unsur stereotype.
Penelitian ini menggunakan obyek sebuah novel “Dimsum Terakhir”
2006, yang pada teksnya terdapat leksia. Berdasarkan sifat representatifnya
tanda pada teks novel tersebut diterjemahkan ke dalam struktur dasar elemen
literature fisik. Elemen tersebut adalah elemen yang digunakan
mengidentifikasi hal yang akan dicari, sebelum melangkah ke tahap
interprestasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel ini yaitu
stereotype yang didapat oleh masyarakat Tionghoa(Cina) yang ada di
Indonesia yang keberadaan mereka dijadikan sebagai posisi kedua dan
terdapat pelabelan negative mengenai Tionghoa yang telah lama berlangsung
hingga menimbulkan tindakan diskriminasi terhadap kaum Tionghoa.
Sedangkan tema dari novel ini adalah sebuah perjalanan hidup peranakan
Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia dengan diwarnai unsur stereotype
Cina.
Peneliti berusaha mengungkapkan bagaimana penggambaran
stereotype dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.
3.3Unit analisis
Penelitian ini menggunakan leksia dari Roland Barthes sebagai unit
analisis. Leksia merupakan satuan bacaan tertentu dengan panjang pendek
bervariasi (Kurniawan, 2001 : 93). Leksia ini dapat berupa satu dua kata,
kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraf dari teks novel
ketidakadilan sosial dalam bentuk tindakan diskriminasi sesuai dengan subyek
penelitian. Dengan adanya analisis naratif yang ditawarkan Barthes, maka
peneliti memilih untuk menggunakan analisis tersebut agar lebih mudah untuk
menganalisis teks dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.
3.4Corpus Penelitian
Di dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan
masalah yang disebut sebagai Corpus. Corpus merupakan sekumpulan bahan
terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan
semacam kesemenaan, Corpus haruslah cukup luas untuk memberi tanggapan
yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara sebuah system
kemiripan dan perbedaan lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin
(Kurniawan, 2001 : 70).
Corpus pada penelitian ini adalah leksia-leksia dalam teks novel
“Dimsum Terakhir” karya Clara Ng. Leksia yang menunjukkan adanya
unsure-unsur stereotype Tionghoa pada novel ini, diantaranya:
1. “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari
itu?Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis
pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”(halaman
2. “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas
segala. Kayak orang susah aja.”(halamna 46)
3. “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan
empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah.
Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman
54)
4. “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula.
Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang
Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau
mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok
mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”(halaman 55)
5. “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di
belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu
sedikit.”(halaman 55)
6. “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti
orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke
mulut di antara orang-orang Asia.Hanya orang-orang Cina di
Indonesia yang gagap berbahasa Cina.” (halaman 86)
7. “Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai
papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda, apakah papa
dan keluarga besarmu menerimaku?. Antonius Jawa dan Indah
Cina”.(halaman 126)
8. “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada
orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan
rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)
9. “ Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang
Indonesia…Amoy, am-AAWWW!” (halaman 235)
10. “ Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap
tempat yang kokoh untuk bersandar” (halaman 341)
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1. Data Primer, yaitu teks novel “DIMSUM TERAKHIR”, yang berkaitan
dengan semiologi dan penggambaran Stereotype Tionghoa. Data primer
ini membantu peneliti dalam menjawab penelitian ini.
2. Data Sekunder, yaitu pernyataan dari penulis novel serta berbagai
dari berbagai sumber. Data sekunder tersebut membantu peneliti dalam
memahami latar belakang penulisan novel “DIMSUM TERAKHIR”
dalam permasalahannya.
3.6 Teknik Analisis Data
Seluruh temuan data yang terdapat dalam teks novel “Dimsum
Terakhir” telah dibagi oleh peneliti dalam beberapa langkah teknis. Langkah
ini bertujuan untuk memudahkan penganalisaan secara semiotik dan
merupakan pengembangan dari Barthes dalam membaca semiotik teks tertulis.
1. Menggunakan semiologi Bathes, dengan mengumpulkan seluruh unit
analisis yang berupa leksia-leksia, yaitu satuan bacaan tertentu
berdasarkan pemilihan atas teks novel “Dimsum Terakhir” yang
sesuai untuk dijadikan subyek penelitian.
2. Peneliti kemudian membagi semua leksia yang terkumpul tersebut
dalam aspek semiologi, yaitu aspek material dan aspek konseptual.
Leksia- leksia tersebut dalam semiologi Barthes dianggap sebagaai
tanda (Sign). Yang dimaksud aspek aspek material adalah teks
tertulis dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng, sedangkan
aspek konseptual adalah gambaran yang muncul pada peneliti ketika
41
3. Setelah itu peneliti menganalisa secara semiologi teks Roland
Barthes dengan menemukan kode-kode pokok (Kode hermuetik,
semik, simbolik, proaretik dan kultural) di dalam leksia tersebut.
Melalui kode- kode pembacaan ini kita akan menemukan
tanda-tanda dan kode-kode yang menghasilkan makna.
4. Langkah-langkah diatas telah memberikan kesimpulan akhir bagaimana
representasi stereotype dalam novel “Dimsum Terakhir” (studi
semiotik tentang representasi stereotype Tionghoa dalam novel
“Dimsum Terakhir” karya Clara Ng).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Obyek Penelitian
Empat perempuan kembar yang mempunyai empat kehidupan
berbeda. Empat masa depan yang membingungkan. Empat rahasia masa lalu
yang menghantui. Dan satu usia biologis yang terus-menerus berdetik. Siska
Yuanita, Indah Pratidina, Rosi Liliani, dan Novera Kresnawati terpaksa harus
pulang untuk mendampingi ayah yang diprediksi tidak punya harapan hidup
lagi. Mereka tidak pernah menyangka bahwa kesempatan berkumpul kembali
ternyata mengubah segalanya. Pertanyaan-pertanyaan penting tentang
kehidupan bermunculan, termasuk rasa ketakutan, kecemasan, dan
keangkuhan mengakui bahwa kehidupan dan kematian hanyalah sekadar garis
tipis.
Clara Ng adalah novelis Indonesia yang membeberkan persoalan
seputar kaum Tionghoa dengan gaya yang berbeda, sehingga novel ini
menjadi lain dari novel-novel yang erat dengan cerita kaum Tionghoa.
Dimsum Terakhir adalah drama penuh haru, memikat, cerdas, dan dituturkan
ditulis dengan gaya modis dan lembut tapi kuat ini menyuarakan keberanian
serta kekuatan yang selalu ada di setiap hati kita semua.
Inti dari novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng ini adalah ketika
empat perempuan kembar dengan darah keturunan Cina yang dilahirkan di
Inodenesia, dengan segala macam bentuk masalah yang dibawanya termasuk
salah satunya ketika seorang keturunan Tionghoa di Indonesia tidak diakui
sepenuhnya sebagai bangsanya. Mulai dari berbagai macam hal dan bentuk
diskriminasi yang dirasakan oleh Siska,Indah, Novera dan Rosi pada
masa-masa orde baru. Hingga mereka beranjak dewasa dan banyaknya
kebijakan-kebijakan yang seharusnya dibuat untuk melindungi kaum minoritas
Tionghoa, dianggap tidak cukup untuk melindungi mereka. Adanya pelabelan
pada diri seseorang atau stereotype masa lalu mengenai orang Tionghoa,
menjadikan keturunan Tionghoa di Indonesia sebagai kaum minoritas tidak
memiliki hak hak yang sama. Dan banyak dari kejadian masa lalu yang
menyisakan bentuk diskriminasi akibat dari stereotype yang umumnya
bersifat negatif. Siska, Indah, Rosi dan Novera adalah empat perempuan
kembar dari Nung Antasana. Keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia ini,
menjalani hidup mereka dengan kuat. Berbagai masalah yang dihadapi
masalah lainnya. Siska yang dituduh melakukan tidakan pelecehan seksual
terhadap kliennya, Indah yang hamil dengan seorang pastor, namun tak
bertanggung jawab, Rosi yang merasa dirinya seorang lelaki yang
terperangkapa pada tubuh wanita dan mencintai seorang wanita, dan Novera
yang rahimnya harus diangkat karena penyakitnya. Mereka hidup dan tumbuh
dengan jalan mereka masing-masing, keluarga Nung Antasana sangat
menjunjung tinggi budaya mereka dan mengajarkannya pada setiap anaknya.
Suatu hari mereka dihadapkan pula pada sebuah masalah yang sama. Ketika
semua telah hidup sendiri-sendiri, ayah mereka Nung menderita penyakit
Myelodysplastic Syndromes (MDS).
Kembali kerumah masa kecil mereka membuat mereka mengenang
masa lalu. Tinggal di perkampungan kelompok etnis Tionghoa, menyisakan
begitu banyak kenangan pahit dan indah. Mulai dari kebiasaan keluarga
mereka menyajikan dimsum di pagi hari sebelum perayaan Imlek, bersekolah
di sekolah Katolik namun sebagai kaum minoritas dari pribumi. Hingga
masalah-masalah yang ditimbulksn dari adanya Stereotype, seperti
diskriminasi yang hingga saat ini masih mereka rasakan sebagai Warga
Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Hingga jaman Orde Baru berakhir,
kenyataannya praktek kecil diskriminasi terhadap etnis ini masih terasa.
Adanya stereotype yang tercipta di mata pribumi terhadap keturunan
memuncullkan pemahaman yang bersifat negative. Sehingga mampu
menimbulkan adanya perlakuan yang berbeda. Namun masalah diskriminasi
yang timbul dari sebuah bentuk pelabelan atau stereotype itu, hanya sebagian
kecil yang dihadapi mereka. Persoalan yang paling besar adalah dimana
mereka mencari jalan untuk menyisakan kenangan terindah disaat terakhir
kebersamaan mereka bersama ayah mereka. Mulai dari menuruti keinginan
ayah mereka, agar keempatnya segera menikah, rosi yang harus jujur bahwa
dirinya seorang lesbian karena dia merasa sebagai lelaki dalam tubuh
perempuan, Indah dengan janin di rahimnya tanpa seorang ayah dan Novera
dalam masalahnya tanpa rahim dia bukan wanita seutuhnya.
Semua masalah pelik itu pun akhirnya berakhir, disaat kebersamaan
mereka jalani bersama kejujuran, yang akhirnya pun mengantarkan ayah
mereka kembali ke nirwana yang tenang dan bahagia.
4.2 Penyajian dan Analisis Data
4.2.1 Penyajian Data
Penelitian ini menggunakan obyek sebuah novel”Dimsum Terakhir”
karya Clara Ng yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
stuktur dasar elemen literature fisik. Elemen tersebut adalah elemen yang
digunakan mengidentifikasi hal yang akan dicari, sebelum melangkah ke
tahap interpretasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel
Dimsum Terakhir yaitu adanya stereotype pada masayarakat keturunan
Tionghoa di Indonesia. Sedangkan tema dari novel ini adalah Perjuangan
empat orang wanita keturunan Tionghoa dalam menghadapi berbagai masalah
hidup di jaman modern ini.
Kisah tentang keturunan Tionghoa jaman inilah yang diangkat ke
dalam sebuah novel yang ditulis Clara Ng dan diterbitkan dengan judul
Dimsum Terakhir pada Tahun 2006. Novel Dimsum Terakhir ini mengangkat
cerita keturunan Tionghoa dengan gaya berbeda dan lebih modern. Novel ini
diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, dan menjadi salah satu novel
Clara Ng yang menjadi favorit di kalangan pembaca Indonesia.
Corpus pada penelitian ini adalah teks novel Dimsum Terakhir karya
Clara Ng berupa leksia-leksia yang mengandung unsur stereotype pada etnis
Tionghoa. Dalam teks novel Dimsum Terakhir karya Oka Rusmini, terdapat 9
leksia yang menunjukkan adanya bentuk stereotype Tionghoa :
1. “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari
pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”(halaman
45)
2. “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas
segala. Kayak orang susah aja.”(halaman 46)
3. “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan
empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah.
Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman
54)
4. “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula.
Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang
Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau
mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok
mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”(halaman 55)
5. “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di
belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu
sedikit.”(halaman 55)
6. “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti
orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke
7. “Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai
pastor,apakah kamu yakin kita direstui menikah oleh
papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda, apakah papa
dan keluarga besarmu menerimaku?. Antonius Jawa dan Indah
Cina”.(halaman 126)
8. “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada
orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan
rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)
9. “ Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang
Indonesia…Amoy, am-AAWWW!” (halaman 235)
10.“ Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap
tempat yang kokoh untuk bersandar” (halaman 341)
11.“Siska yakin, orang-orang miskin memang banyak yang
menderita di Negara ini…sama menderitanya seperti dia,
orang-orang Cina keturunan.”(halaman 232)
4.2.2 Hasil Analisis Data
Leksia 1 1. “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih
gawat dari itu?Katanya, orang Cina di Indonesia
mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu
tertekan di Negara ini.”(halaman 45)
Leksia 2 2. “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang
bekas segala. Kayak orang susah aja.”(halamna 46)
Leksia 3 3. “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi
santapan empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau
juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD
gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman 54)
Leksia 4 4. “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis
pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat
Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan,
padahal aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang
menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya
kan aku yang tanggung.”(halaman 55)
Leksia 5 5. “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih
komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit
Leksia 6 6. “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina,
sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang
tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang
Asia.Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap
berbahasa Cina.” (halaman 86)
Leksia 7 7. “Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai
pastor,apakah kamu yakin kita direstui menikah oleh
papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda,
apakah papa dan keluarga besarmu menerimaku?.
Antonius Jawa dan Indah Cina”.(halaman 126)
Leksia 8 8. “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia
daripada orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak
dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran
mereka sendiri.”(halaman 134)
Leksia 9 9. “ Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang
Indonesia…Amoy, am-AAWWW!” (halaman 235)
Leksia 10 10. “ Orang Cina menyukai gunung karena gunung
dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar”
Berikut ini adalah kolom yang menjelaskan penggolongan leksia
kedalam kode pembacaan menurut Roland Barthes beserta kalimat mana
dalam leksia tersebut yang menunjukkan salah satu kode pembacaan, yaitu :
Kode
Pembacaan
Leksia Kalimat yang menunjukkan kode
pembacaan pada leksia
Hermeneutic Leksia 4 “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok
kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar
pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku
dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal
aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang
menabrak siapa? Yang penyok mobil
siapa? Semuanya kan aku yang
tanggung.”(halaman 55)
Leksia 5 “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang
kasih komentar di belakangku. Dasar Cina
pelit, kasih duit selalu sedikit.”(halaman
55)
Indonesia daripada orang Indonesia asli.
Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan
rumah di Negara kelahiran mereka
sendiri.”(halaman 134)
Semik Leksia 3 “Mungkin karena aku kelihatan Cina
banget, jadi santapan empuk bagi mereka
semua!Akhirnya dia mau juga mengalah.
Tapi you know-lah, UUD
gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman 54)
Leksia 1 “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang
lebih gawat dari itu?Katanya, orang Cina
di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi
ke neraka karena terlalu tertekan di Negara
ini.”(halaman 45)
Leksia 2 “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima
barang bekas segala. Kayak orang susah
aja.”(halamna 46)
Simbolik Leksia 8 “Banyak akhirnya yang menjadi lebih