REPRESENTASI ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL
“DIMSUM TERAKHIR”
(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam
Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan menyelesaikan Pendidikan
Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Diajukan Oleh :
YOHANNA
040904055
ILMU KOMUNIKASI
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
Lembar Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Yohanna
NIM : 040904055
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir”
(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa
dalam Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)
Medan, Mei 2008
Dosen Pembimbing Kepala Departemen
Haris Wijaya, S. Sos
NIP. 132 307 626 NIP. 131 654 104 Drs. Amir Purba, MA
Dekan FISIP USU
NIP. 131 757 010
Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
oleh:
Nama : Yohanna
NIM : 040904055
Pada hari : Kamis
Tanggal : 8 Mei 2008
Pukul : 12.00 s/d selesai
Tim Penguji
Ketua Penguji : Drs. Amir Purba, M.A. ( )
NIP.131 654 104
Penguji I : Drs. Hendra Harahap, M.Si. ( )
NIP. 132 102 415
Penguji II : Haris Wijaya, S. Sos. ( )
Abstraksi
Penelitian ini berjudul “Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel
Dimsum Terakhir” (Studi Analisis Wacana tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir oleh Clara Ng). Isu-isu diskriminasi antara pribumi-nonpribumi menjadi suatu hal yang sangat sering dibicarakan dalam masyarakat Indonesia. Representasi etnis dalam media massa bisa saja menggambarkan suatu tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, tetapi tidak halnya jika representasi itu ditampilkan dalam sebuah karya fiksi yang begitu dekat dengan ideologi si pengarang. Bagaimana ideologi si pengarang bermain dalam teks, hal inilah yang menjadi titik fokus penelitian ini. Namun, secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana representasi etnis Tionghoa yang ditampilkan dalam sebuah novel yang berjudul Dimsum Terakhir. Masalah ini semakin menarik diteliti ketika mengingat bahwa Clara Ng sebagai pengarang novel ini merupakan warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra telah banyak melaporkan dan menggali fakta-fakta yang tersembunyi dari suatu peristiwa. Pemakaian gaya penulisan fiksi digunakan untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi lebih memikat, namun sebuah jurnalisme sastra tetaplah harus sebuah fakta, sama seperti berita walaupun memang kadang-kadang ditulis secara subyektif. Novel ini mengambil latar belakang masa pemeritahan Orde Baru dan masa sekarang. Kisah yang tertulis dalam novel ini menjadi suatu catatan bagaimana orang Cina memandang segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, pranggapan, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali dalam tabel representasi sehingga dapat disimpulkan ideologi apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Dimsum Terakhir.
Populasi yang digunakan adalah keseluruhan isi cerita dalam novel
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, peneliti mengucapkan puji dan syukur
kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan berkat dan anugerah-Nya yang
berkelimpahan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
pendidikan pada Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosial dari Departemen Ilmu Komunikasi.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
penulisan skripsi ini mengingat terbatasnya waktu, pengetahuan dan kemampuan
peneliti. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas peneliti menerima
kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang nantinya berguna di hari
yang akan datang.
Dalam penyelesaian skripsi ini peneliti banyak mendapat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Pertama sekali peneliti mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada kedua orangtua, Nyo Gek Han & Gho Siok Lie
yang sudah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menjadi seorang
sarjana. Orang yang selalu ada di rumah untuk membimbing dan memberikan
semangat, cinta dan kasih sayangnya. Terima kasih telah selalu mendoakan
peneliti dalam setiap kesempatan dan yang selalu berharap bahwa peneliti
nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa yang akan datang. Kepada
kakak peneliti Swanni, S.E. yang tidak bosan-bosannya mengingatkan peneliti
akan kewajiban yang harus diselesaikan. Kepada abang peneliti Johanness, S.E.
berjuang. Terima kasih atas dukungan yang tidak kunjung habis dan canda
tawanya dari kedua adik peneliti, Dewi Maya dan Yolanda.
Tidak lupa pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A. selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Haris Wijaya, S. Sos. selaku dosen pembimbing peneliti yang telah
banyak membantu memotivasi dan membimbing peneliti selama penulisan
skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya atas waktu, nasehat dan
pemikiran yang telah diberikan kepada peneliti.
4. Ibu Dra. Lusiana A. Lubis, M.A. selaku dosen wali yang telah banyak
membimbing peneliti selama perkuliahan.
5. Bapak Drs. Safrin, M.Si. selaku dosen yang telah banyak membagikan
pengalaman, pengetahuan yang bermanfaat bagi peneliti.
6. Bapak/Ibu dosen Ilmu Komunikasi pada khususnya dan dosen Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada umumnya yang telah memberikan bekal
pengetahuan selama masa perkuliahan.
7. Kak Icut, Kak Ros, Maya, Rotua dan seluruh staf yang ada di Departemen
Ilmu Komunikasi yang membantu peneliti dalam hal administrasi selama
8. Teman-teman dekat peneliti. Terutama kepada Noe yang sudah banyak
meluangkan waktu untuk berdiskusi. Kepada Jessie, Endang, Nova, Selly
dan Maya yang sudah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertemanan kita
selama hampir 4 tahun ini. Terima kasih karena selalu ada buat peneliti,
selalu memberikan canda tawa yang khas dan yang memberikan semangat
ketika peneliti merasa duka. Semoga pertemanan kita selalu ada meskipun
jarak akan memisahkan kita nantinya.
9. Senior-senior Komunikasi ‘02 dan ‘03 yang banyak memberikan nasehat,
ilmu-ilmunya selama perkuliahan dan skripsi terutama yang masih mau
memberikan saran-sarannya meskipun telah bekerja.
10.Teman-teman Kom ’04 yang sudah menjadi teman yang menyenangkan
sehingga saling mendukung dalam mengerjakan skripsi dan mau
memberikan informasi-informasi penting kepada peneliti.
11.Clara Ng yang sudah mau memberikan masukan-masukan penting kepada
peneliti. Terima kasih karena sudah mengizinkan buku karangannya untuk
diteliti sebagai bahan skripsi. Terima kasih sudah mau selalu meluangkan
waktunya untuk membalas e-mail peneliti.
12.Semua pihak yang turut membantu kelancaran penulisan skripsi ini yang
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi seluruh pihak yang membaca dan dapat memperluas pemikiran di masa yang
akan datang. Terima kasih.
Medan, 8 Mei 2008
Peneliti
Daftar Isi
Abstraksi…... i
Kata Pengantar ……… ii
Daftar Isi ……….. vi
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
I.1 Latar Belakang ……….. 1
I.2 Perumusan Masalah ……….. 5
I.3 Pembatasan Masalah ………. 5
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 6
I.4.1 Tujuan Penelitian ……… 6
I.4.2 Manfaat Penelitian ………. 6
I.5 Kerangka Teori ………. 6
I.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra ……… 7
I.5.2 Teori Komunikasi Antar Budaya ……… 9
I.5.3 Analisis Wacana Kritis……… ……… 10
I.5.4 Representasi ……… 12
I.5.5 Ideologi ……….. 14
I.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk ……… 16
I.6 Kerangka Konsep ……… 17
I.7 Operasionalisasi Konsep ……… 18
I.8 Metodologi Penelitian……… 21
I.8.1 Tipe Penelitian ……….. 21
I.8.2 Subjek Penelitian ………. 22
I.8.3 Unit dan Level Analisis ………... 22
I.8.4 Teknik Pengumpulan Data ……….. 23
I.8.5 Teknik Analisis Data ………... 23
BAB II URAIAN TEORITIS ………. 25
II.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra……… 25
II.2 Teori Komunikasi Antar Budaya ……… 35
II.3 Analisis Wacana Kritis ……… 40
II.4 Representasi ……… 46
II.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk ………. 56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 65
III.1. Deskripsi Objek Penelitian ……… 65
III.2. Tipe Penelitian ……….. 73
III.3. Subjek Penelitian ……… 74
III.4. Unit dan Level Analisis ……....……… 74
III.5. Teknik Pengumpulan Data ……… 74
III.6. Teknik Analisis Data ………. 75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …...……….. 76
IV.1. Analisis Wacana Novel Dimsum Terakhir……….. 77
IV.2. Diskusi dan Pembahasan ………. 186
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 193
V.1 Kesimpulan ……… 193
V.2 Saran ……….. 196
V.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis ……… 196
V.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis ………. 196
DAFTAR TABEL
Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 82
Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 91
Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 100
Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 112
Tabel IV.1.5 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 120
Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” ... 127
Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 139
Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 148
Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 158
Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 165
Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 170
Tabel IV.1.12 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 180
Abstraksi
Penelitian ini berjudul “Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel
Dimsum Terakhir” (Studi Analisis Wacana tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir oleh Clara Ng). Isu-isu diskriminasi antara pribumi-nonpribumi menjadi suatu hal yang sangat sering dibicarakan dalam masyarakat Indonesia. Representasi etnis dalam media massa bisa saja menggambarkan suatu tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, tetapi tidak halnya jika representasi itu ditampilkan dalam sebuah karya fiksi yang begitu dekat dengan ideologi si pengarang. Bagaimana ideologi si pengarang bermain dalam teks, hal inilah yang menjadi titik fokus penelitian ini. Namun, secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana representasi etnis Tionghoa yang ditampilkan dalam sebuah novel yang berjudul Dimsum Terakhir. Masalah ini semakin menarik diteliti ketika mengingat bahwa Clara Ng sebagai pengarang novel ini merupakan warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra telah banyak melaporkan dan menggali fakta-fakta yang tersembunyi dari suatu peristiwa. Pemakaian gaya penulisan fiksi digunakan untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi lebih memikat, namun sebuah jurnalisme sastra tetaplah harus sebuah fakta, sama seperti berita walaupun memang kadang-kadang ditulis secara subyektif. Novel ini mengambil latar belakang masa pemeritahan Orde Baru dan masa sekarang. Kisah yang tertulis dalam novel ini menjadi suatu catatan bagaimana orang Cina memandang segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, pranggapan, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali dalam tabel representasi sehingga dapat disimpulkan ideologi apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Dimsum Terakhir.
Populasi yang digunakan adalah keseluruhan isi cerita dalam novel
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300
suku bangsa yang masing-masing memiliki identitas kebudayaan sendiri.
Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki daerah
asal dan kebudayaannya sendiri dan telah berakar semenjak berpuluh-puluh
tahun yang silam. Banyaknya suku bangsa di Indonesia saat ini telah
bertambah satu, yaitu dengan diakuinya etnis Tionghoa sebagai salah satu
etnis di Indonesia.
Perkembangan yang sangat baik adalah dengan adanya pengakuan
dan pembauran etnis Tionghoa yang kini lebih terasa nyata. Pengakuan etnis
ini secara resmi diberlakukan sejak pemerintahan Presiden Gus Dur. Hal ini
memberi angin segar bagi seluruh warga Tionghoa di Indonesia, terutama
kebebasan mereka dalam merayakan tahun baru Imlek dengan lebih leluasa.
Tahun baru Imlek pun sudah menjadi libur nasional pada saat itu. Dengan
adanya pengakuan inilah etnis Tionghoa semakin memiliki keberanian untuk
bergerak maju dan membaur bersama etnis lainnya di Indonesia.
Bukti bahwa mulai membaurnya etnis ini dengan masyarakat
Indonesia lainnya dapat kita lihat dari beberapa acara di televisi, seperti
ajang Indonesian Idol, beberapa peserta seperti Delon dan Helena terlihat
jelas dari etnis ini dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat
Indonesia baru saja menggelar ajang penyanyi bahasa Mandarin yang
kontestannya sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa. Dari sinilah
terpancar bahwa adanya kerjasama yang dijalin antar etnis. Dan faktor ini
akan semakin memperkuat keberadaan etnis Tionghoa di negara Indonesia.
Sebelum masa reformasi representasi terhadap etnis ini seringkali
tidak seimbang, mereka banyak direpresentasikan sebagai orang sukses,
pelit, eksklusif dan kaya. Hal ini menunjukkan seakan-akan ada suatu
perbedaan yang sangat besar dengan etnis lain di Indonesia.
Representasi etnis Tionghoa yang berbicara mengenai cerita-cerita
tradisional, sebagian besar dapat dilihat dalam sinema Indonesia, seperti
film Sam Pek Eng Tay (1931), Gadis Jang Terdjoeal (1937), Oh Iboe
(1938), Penjelundup (1952), dan Di Balik Awan (1963). Setelah tahun 1966, representasi etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia semakin mengecil.
Representasi etnis, apalagi etnis Tionghoa merupakan hal yang sangat
sensitif di Indonesia. Film pertama pada masa Orde Baru yang dengan
terbuka mengungkap representasi Tionghoa adalah film Kisah Fanny Tan
(1971), kemudian diikuti oleh film Ca Bau Kan yaitu film pertama yang mengangkat etnis Tionghoa ke layar pasca-1998 dan film Gie (2005). Lalu film yang terakhir yaitu Berbagi Suami (2005) yang menggunakan karakter Tionghoa secara tipikal.
Banyaknya representasi etnis Tionghoa yang diangkat dalam sinema
Indonesia, membuat pihak media massa lainnya untuk ikut berpartisipasi
dalam merepresentasikan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia
dengan tema kaum keturunan Tionghoa sejak tahun 1960-an sampai
1990-an. Saat itu novel-novel tersebut lebih banyak membahas isu-isu
diskriminasi antara pribumi dan non pribumi.
Tetapi pada kenyataannya, saat ini sudah banyak pencitraan yang
telah dilakukan media massa tentang keadilan ras dan etnis Tionghoa.
Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara sukarela dan
setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat
Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Hal inilah yang telah dilakukan oleh
Clara Ng, seorang novelis Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mencoba untuk
membeberkan persoalan seputar kaum keturunan Tionghoa tanpa prasangka
melalui novelnya Dimsum Terakhir. Clara Ng ingin memberikan suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama dalam masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu novel Dimsum Terakhir lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan segala persoalannya. Konflik-konflik
antarsaudara (kembar) meluncur karena perbedaan karakter di antara
mereka. Meski tidak adanya perbandingan antara hitam-putih, Clara Ng
membuat satu deskripsi yang detail dari sisi fisik hingga perilaku
tokoh-tokohnya.
Setiap media memiliki cara tersendiri dalam merepresentasikan
sebuah isu yang kemudian akan ditampilkan dalam teks-teks berita.
Rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat pada teks akan membentuk
pengertian sendiri di benak pembaca. Media memiliki peranan penting
dalam kehidupan manusia yang berperan untuk mengkonstruksi nilai dan
pengaruh media terhadap pengetahuan manusia maka baik itu karena
kebutuhan maupun kewajiban, manusia tetap akan dihadapkan dengan isi
media.
Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra, memiliki pandangan
subjektif yang berasal dari pengarangnya sendiri. Clara Ng memiliki gaya
penulisan yang tentu saja berbeda dengan novelis lain yang juga banyak
merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Clara Ng
menulis untuk memberikan sudut pandang baru, pencerahan, dan cara
berpikir yang kreatif buat pembaca, agar setiap pembaca yang selesai
membaca karyanya dapat terhibur dan terinspirasi.
Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam
bangsa multikultur, karena itu sikap untuk membiarkan semuanya akan
berjalan sendiri, bukan sesuatu yang bijaksana. Kemauan untuk terus belajar
menjadi bangsa harus dimiliki seluruh komponen di negeri ini.
Hal yang sangat menarik di sini adalah bahwa novel ini tidak lagi
bercerita tentang tuntutan bagaimana seorang Tionghoa ingin diperlakukan,
tetapi lebih memfokuskan kepada bagaimana warga Tionghoa mampu
menghadapi kesulitan-kesulitan mereka sebelum era reformasi, bahwa
bagaimana kepercayaan yang akhirnya muncul sebagai sebuah masalah baru
bagi seorang keturunan Tionghoa. Hal-hal seperti ini tidak biasanya
dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena hal tersebut masalah
ini menjadi menarik untuk diteliti. Bahwa tata bahasa yang digunakan dalam
macam bentuk konflik dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah peneliti
ingin melakukan penelitian mengenai representasi etnis Tionghoa dalam
novel Dimsum Terakhir di mana suatu gambaran sekelompok individu minoritas yang tidak lagi mempermasalahkan identitas mereka.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: “Bagaimanakah etnis Tionghoa direpresentasikan dalam
novel Dimsum Terakhir?”
1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas,
terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan
masalah yang akan diteliti adalah:
1. Penelitian akan dilakukan terhadap novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng.
2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang
ada di balik penyajian tata bahasa tersebut.
3. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana wacana yang dipakai dalam
menyampaikan representasi etnis Tionghoa.
2. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan
ceritanya.
1.4.2 Manfaat penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya
khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian
media yang diteliti dengan analisis wacana.
2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi
pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media.
3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya
bahan penelitian dan sumber bacaan.
1.5 Kerangka Teori
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur
yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun,
1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan
berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti
(Nawawi, 1991:40).
Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep),
definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang
gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan
dengan penelitian ini adalah :
1.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra
Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia
khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang
mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah
munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut jurnalistik baru.
Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun
1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau
investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di
Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.
Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis
jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat
linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya
menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan
dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu
Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain
menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan
referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui
kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga
beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya
jurnalistik lama.
Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru,
karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga
menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan
kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini
memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat
dan lengkap, sehingga menuntut wartawan mencari kaitan peristiwa satu
sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak
tempat pada waktu yang sama.
Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya
menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir
pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain,
seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun
televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan
sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak
ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu
kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga
1.5.2 Teori Komunikasi Antarbudaya
Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (1972)
bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam
kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya
pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh
kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing depositof group experience, knowledge, and values).
Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan
bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang
menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan
mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar
pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap
proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang
berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik,
seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi
dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,
mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward
T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’.
Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk
dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal
dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan
norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan
berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan,
kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang
lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar
belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu
sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal
ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat
berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi
dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap
perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan,
tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif
pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara
kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam
identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi
antar budaya ditentang secara aktif.
1.5.3 Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi
kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif
melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga
bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora
macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan
struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang
tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001:15).
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut
Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya.
Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui
penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan
dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki
hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini
adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.
Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan
pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara.
Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif
belaka. Konstruktivis menganggap subjek adalah faktor sentral dalam
kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.
Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis
faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang
berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti
pada analisis konstruktivis.
Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan
yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa di sini
tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.
Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek
tertentu maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana
dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa:
batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang
harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.
Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), wacana di sini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis
bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga
menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan
praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat
ketimpangan yang terjadi.
1.5.4 Representasi
Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang
akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk
Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang
diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai
representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi
yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi
dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara
representasi dan benda yang digambarkan.
Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall
berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan
kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.”
Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang
berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja
sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi
sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai
direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian.
Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah
bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.
Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan,
kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh
wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai
Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam
konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika
kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan
ideologi tersebut.
1.5.5 Ideologi
Sebuah teks, kata Aart Van Zoest, tidak pernah lepas dari ideologi
dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu
ideologi (Van Zoest, 1991: 70 dalam Sobur, 2004: 60). Setiap makna
memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka
berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk
melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:12).
Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang
terorganisir, yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling
melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang
diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi
antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi
kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan
ini tidak pernah jelas seluruhnya (Lull, 1998: 1).
Raymond William (Eriyanto, 2001: 87) mengklasifikasikan
penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang
dimiliki oleh kelompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh
kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang
ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu
itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.
Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat - ide palsu atau
kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi
dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran
palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya
untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Ideologi bekerja
dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan
alamiah dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.
Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita
secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu.
Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial
dapat ditelusuri ke Perancis akhir abad ke-18. Sejak saat itu ideologi
menurut definisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus
sastra, filsuf, ahli semiotika, ahli retorika, yang dapat mewakili semua
bidang dalam ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998: 2).
Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi
berasal dari bahasa Greek, terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata
idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary
berarti “something existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a plan or the like (sesuatu yang ada di dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini dari kata
(pengetahuan/teori). Jadi ideologi menurut arti kata adalah pengucapan dari
yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil
dari pemikiran.
Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media
massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara
persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya.
1.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk
Model ini sering disebut sebagai kognisi sosial, menurut van Dijk
penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks
semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus
diamati. Perlu dilihat bagaimana sesuatu teks diproduksi sehingga kita
memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu (Eriyanto,
2001:222).
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan
strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada
level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan
kognisi individu dari wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari
bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah
(Eriyanto, 2001:224).
Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga dari suatu
ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek
diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat
dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang
membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh van Dijk
dibentuk oleh tiga dimensi: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk
interaksi. Menurut van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu
pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi. Dalam wicara atau
percakapan (conversation), bentuk-bentuk wacana interaksional juga relevan untuk dianalisis.
1.6 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis
dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai.
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari
analisis wacana Teun A. van Dijk.
Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan
konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks
van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu :
1. Struktur Makro merupakan makna global/umum dari suatu teks
yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang
2. Superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan
dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks
tersusun ke dalam berita secara utuh.
3. Struktur Mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati
dan bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi,
anak kalimat, parafrase, dan gambar.
1.7 Operasionalisasi Konsep
Menurut van Dijk, meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua
elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan
mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema)
didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat
yang dipakai. Menurut Littlejohn (Eriyanto, 2001:226) antara bagian teks
dalam model van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang
koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang van Dijk
mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip
ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen
yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana van
Dijk tersebut:
1. Tematik
Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga
disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu
2. Skematik
Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari
pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks
disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti.
3. Latar
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi
semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa
menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.
4. Detil
Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan
seseorang untuk melakukan penonjolan dan menciptakan citra
tertentu dan mengekspresikan sikapnya secara implisit.
5. Maksud
Menunjukkan bagaimana wartawan secara eksplisit
menonjolkan kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan
kebenaran lain.
6. Koherensi
Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks.
Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren.
7. Koherensi Kondisional
Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada
8. Koherensi Pembeda
Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu
hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling
bertentangan dan berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang
diperbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan.
9. Pengingkaran
Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan
diekspresikan secara implisit.
10.Bentuk Kalimat
Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara
berpikir logis, prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya
persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang
dibentuk oleh susunan kalimat itu.
11.Kata Ganti
Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan
suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk
menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.
12.Leksikon
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan
pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia.
Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi
13.Praanggapan
Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya
kebenarannya.
14.Grafis
Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan
atau ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan
dari tulisan lain.
15.Metafora
Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora
sebagai ornamen dari suatu berita yang dapat menjadi petunjuk
utama untuk mengerti makna suatu teks.
1.8 Metodologi Penelitian
1.8.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara
pandang dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian
interpretatif dan bersifat subjektif. Metode penelitian ini memakai pisau
analisis wacana versi Teun A. van Dijk pada level teks.
Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, superstruktur, dan
mikro. Dengan analisis wacana model van Dijk ini akan mengungkapkan
1.8.2 Subjek Penelitian
Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang
terdapat dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng, yang dibagi dalam 16 bab cerita. Terdiri atas 368 halaman, tebal buku 20 cm. Penelitian ini
menggunakan novel cetakan pertama, April 2006 yang diterbitkan oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
1.8.3 Unit dan Level Analisis
Unit yang akan dianalisis adalah teks dari seluruh isi cerita dalam
novel. Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi
tekstual yang dipakai untuk memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau
peristiwa tertentu. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai
berikut :
Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks
Super Struktur
Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan
Struktur Mikro
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Data Primer, yaitu di mana data unit analisa dari teks-teks yang
tertulis pada novel Dimsum Terakhir.
b. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (library research), dengan cara mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.
c. Wawancara terhadap pengarang novel Dimsum Terakhir via e-mail.
1.8.5 Teknik Analisis Data
Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam
susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini
menganalisis teks pada novel Dimsum Terakhir dengan menggunakan Analisis Wacana. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam
sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana Teun A.
Struktur Wacana van Dijk
STRUKTUR WACANA
HAL YANG DIAMATI ELEMEN
Struktur Makro Tematik
Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita
Topik
Superstruktur Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh
Skema
Struktur Mikro Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi atau
membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil sisi lain
Latar, detil, maksud,
praanggapan,
nominalisasi
Struktur Mikro Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih
bentuk kalimat,
koherensi, kata ganti.
Struktur Mikro Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita
Leksikon
Struktur Mikro Retoris
Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan
Grafis, metafora,
BAB II
URAIAN TEORITIS
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur
yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun,
1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan
berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu
disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti
(Nawawi, 1991:40).
Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep),
definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang
gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan
dengan penelitian ini adalah: Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra, Teori
Komunikasi Antarbudaya, Analisis Wacana Kritis, Representasi, Ideologi,
Analisis Wacana Teun A. van Dijk. Secara lebih rinci dapat dilihat pada
uraian-uraian berikut ini.
II. 1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra
Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia
khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang
mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah
Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun
1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau
investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di
Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.
Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis
jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat
linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya
menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan
dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu
yang lain.
Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain
menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan
referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui
kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga
beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya
jurnalistik lama.
Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru,
karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga
menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan
kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini
memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat
sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak
tempat pada waktu yang sama.
Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya
menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir
pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain,
seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun
televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan
sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak
ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu
kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga
memiliki kelebihan dan daya tarik tersendiri.
Dengan demikian, suatu jurnalistik disebut jurnalistik baru lebih
karena kelengkapan dan pengembangan beritanya. Karena itu pada
prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep jurnalistik yang ada.
Jurnalistik baru menggali fakta-fakta yang tersembunyi, maka isinya
bisa mengandung banyak hal, tergantung aspek yang digali. Seperti ada
yang berupa laporan investigatif, laporan kontemporer, laporan analisis,
laporan interpretatif, laporan evaluatif dan laporan komparatif.
Pada pertengahan tahun 1960-an, Jurnalis Amerika mendekati sastra
karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama: bentuk dan gaya penulisan novel
yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua: keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.
Para jurnalis kemudian melakukan eksperimen literer di berbagai
dengan bersembunyi di belakang batas-batas konvensi jurnalisme, walau
kadang melampauinya dalam hal teknik. Ambisi kerap mempengaruhi kerja
mereka. Fakta-fakta mereka cari tidak hanya di permukaan, tetapi sampai ke
kedalaman peristiwa. Mereka mencatat peristiwa sampai ke detail-detailnya.
Dan, hampir bisa dipastikan, kegiatan liputan mereka memakan waktu lebih
banyak dari waktu kerja reporter surat kabar atau majalah; begitu pula jika
dibandingkan dengan pekerjaan reporter yang mendapat tugas investigasi.
Mereka menyusun laporan mengenai kasus yang mereka liput di tengah
orang yang mereka amati selama beberapa waktu, hari bahkan minggu.
Mereka mengambil materi yang ditinggalkan jurnalis konvensional.
Mereka mengamati segala hal penting yang terjadi ketika suasana dramatis
sedang berlangsung di lokasi. Mereka melaporkan dialog, sikap, ekspresi
wajah dan berbagai rincian lain yang tampak di sekitar kejadian. Mereka
dipengaruhi oleh gagasan untuk memberikan laporan yang utuh, deskriptif
dan obyektif, serta segala sesuatu yang selalu dicari pembaca ketika
menikmati novel atau cerita pendek, seperti penanaman subjektivitas dan
emosi karakter tertentu yang dihidupkan. Karenanya, banyak pengamat
jurnalistik dan sastra yang menganggap hasil laporan mereka bersifat
impresionistik.
suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang (point of view) dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.
Pemakaian gaya fiksi untuk mengemas laporan jurnalistik
memunculkan fenomena baru dalam hal fakta, perubahan defenisi, proses
pengamatan dan pencariannya. Begitu pula dalam kaitannya penyajian serta
perubahan konvensi bentuk dan gaya penulisan (Kurnia, 2002: 23).
Jurnalistik sastra membahas pemakaian gaya penulisan fiksi untuk
kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi memikat.
Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan
rincian potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk
dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya. Khalayak diminta
mengimajinasikan penampakan fakta-fakta yang telah dirancang wartawan
dalam urutan adegan, percakapan dan amatan suasana (Tebba, 2005: 28).
Jurnalisme sastra berkembang menjadi genre yang menarik dan kreatif, yang memungkinkan para penulis untuk masuk ke bidang-bidang
yang selama ini dijauhi. Laporan perjalanan (travelling) dan memoar bahkan dipakai untuk memungkinkan suara penulis tampil dengan lebih leluasa.
Pers yang menyatakan diri sebagai representasi negara, harus
mengakui keberadaan jurnalisme sastra yang bangkit menolak dominasi
wacana pemerintah. Dengan demikian, terjadi akumulasi pergeseran wacana
pemberitaan. Sastra tidak hanya digunakan oleh pers, tetapi juga oleh
sastrawan yang menolak hegemoni makna oleh negara. Sastra menjadi daya
sarana bagi kebebasan bersuara atau kebebasan menyampaikan kenyataan
yang disembunyikan oleh kekuasaan.
Secara konsep dan dalam banyak segi, jurnalisme sastra membawa
kebaruan. Kebaruan itu, diawali dengan pencampuran fakta dan fiksi.
Pembaca dibuat merasa membaca kisah fiksi yang berbumbu fakta. Hal itu
karena sajian peliputannya kadang-kadang menampilkan karakter
tokoh-tokoh yang riil. Bahkan, dalam contoh yang paling ekstrem, pembaca tidak
tahu lagi yang mana fiksi yang mana fakta. Pada diri tokoh yang diberitakan,
penulis jurnalisme sastra dengan sengaja mengkompilasikan banyak
karakter yang ia temukan saat meliput sehingga laporan mereka terasa
dramatis dan diceritakan dalam tempo penceritaan yang tepat.
Teknik penulisan jurnalisme melebarkan ketentuan yang semula
cukup melaporkan “apa” yang disampaikan. Konsepnya berubah, Penyajian
berita lebih ditujukan pada “bagaimana” jurnalis menyampaikannya. Untuk
menjawab pertanyaan itu, para jurnalis menyampaikannya. Untuk menjawab
pertanyaan itu, para jurnalis baru memakai dua teknik sastra: teknik menulis
realisme dan teknik menulis roman.
Kedua teknik ini menegaskan pentingnya upaya serius penulis dalam
menyeleksi materi tulisan. Setiap materi mesti diseleksi dengan ketat agar
keseluruhan atau setiap bagian laporan dapat merepresentasikan realitas
fakta-berita yang diketengahkan oleh pelapor berita. Laporan dibuat
sedemikian rupa agar pembaca secara nyata dan merasakan apa yang terjadi.
Daya tarik roman terletak pada gaya penceritaan yang dibangun dengan
berbagai karakter (sudut pandang), dan detail-detail yang menghidupkan
imajinasi pembaca.
Menurut Wolfe, jurnalisme ini telah mendayagunakan kelebihan
penulisan novel realisme dan roman, sehingga pelaporan berita tidak lagi
sekedar mengungkapkan fakta, tempat dan waktu. Jurnalisme baru berusaha
mendalami “mengapa dan bagaimana” sebuah peristiwa terjadi. Materi
laporan dipersepsi dengan referensi dan perspektif tertentu. Setelah tersusun,
semua fakta dibentuk menjadi news story yang menampilkan konfigurasi sosial yang meliputi emosi, motif, kejiwaan, dan berbagai ciri
kemasyarakatan lainnya.
Karakteristik tersebut menumbuhkan keunikan dalam menulis, dan itu
terjadi karena penggunaan empat alat jurnalisme sastra seperti : Penyusunan
Adegan, Dialog, Sudut Pandang Orang Ketiga dan Mencatat Detail.
1. Alat Pertama: Penyusunan Adegan
Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan demi
adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, prestasi
reportase yang luar biasa berhasil diraih para jurnalis dengan cara
ini. Jurnalis menyajikan scene peristiwa-demi peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca seakan berada di lokasi
ketika kejadian sedang berlangsung. Teknik pengisahan suasana
demi suasana, atau adegan demi adegan, membuat pembaca larut
dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru.
Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan
pementasan teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah
atau bila dekor (latar) berubah. Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu
berarti pembingkaian fakta suatu berita yang mengilustrasikan
berbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat sebagai satu
segmen pengisahan dari keseluruhan peristiwa yang hendak
dilaporkan. Perubahan adegan bukan hanya melibatkan sejumlah
pelaku yang melakukan tindakan tertentu, tetapi juga melibatkan
topik yang tidak sama dengan topik sebelumnya.
Untuk melaporkan suatu peristiwa secara lengkap, kerja
jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan
menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan
pengamatan yang melebihi kerja reportase biasa. Mereka harus
mencatat fakta-fakta di balik rangkaian adegan peristiwa suatu
berita. Mungkin saja mereka perlu mewawancarai lebih dari
selusin orang agar bisa menggali semua fakta yang ada. Fakta-fakta
tersebut kemudian secara kreatif direkonstruksi menjadi rangkaian
adegan news story dengan menggunakan apa saja yang masuk akal dan dapat dikumpulkan.
Alasan memasukkan apa saja yang “masuk akal” itu dalam
kasus tertentu, menimbulkan kontroversi tersendiri. Para jurnalis
sastra, karena kepentingan untuk menciptakan adegan yang utuh,
jadi merasa memiliki keleluasaan untuk menampilkan berbagai
karakter gabungan dalam diri satu tokoh. Hal ini mereka anggap
Penulis tidak perlu menyampaikan penjelasan verbal mengenai
apa yang terjadi. Setiap adegan (suasana) dinilai telah
menampilkan urutan setiap kejadian. Jika khalayak bisa merasa
seperti berada di dalam peristiwa yang dikisahkan, berarti jurnalis
tak perlu berupaya untuk lebih banyak menerangkan.
Sebelum masuk ke pokok berita, pembaca disuruh melihat-lihat
apa yang terjadi. Bagaimana tokoh-tokohnya bersikap, berpikir,
dan berbicara. Lengkap dengan karakter mereka. Dengan kata lain,
pengadeganan merupakan upaya untuk menolak gaya menjelaskan
(ekspositoris) atau gaya historis. Lewat adegan, jurnalis baru
mencoba menulis laporan yang persuasif sekaligus estetis.
2. Alat Kedua: Dialog
Alat yang kedua adalah “mencatat dialog secara utuh”. Setiap
orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan sesuatu” (talking), dan apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita” (news). Ucapan orang yang membuat berita terjadi sebelum disampaikan pada
khalayak. Berita tersusun setelah reporter bertanya jawab dengan
narasumber.
Materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang
direkam, meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber
aslinya. Berbagai pernyataan (statements) memang bisa disampaikan tanpa menyebut “siapa bicara apa”. Walau begitu ,
semua itu merupakan hasil kerja jurnalis yang telah berbicara
Dengan teknik dialog ini, jurnalis sastra mencoba menjelaskan
peristiwa yang hendak dilaporkannya. Bagaimana kejadiannya dan
disampaikan. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para
pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu
peristiwa yang terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba
memancing rasa keingintahuan pembaca.
Pada dasarnya mereka sangat mengandalkan dialog realistis
yang dapat mengundang penafsiran yang meluaskan makna.
Melalui dialog, orang-orang di dalam news story dapat ditampilkan seasli orng-orang dalam kehidupan sehari-hari pembaca. Apa yang
dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya merepresentasikan
realitas tersebut. Inti pelaporan mereka muncul dalam pembicaraan
dan sudut pandang tokoh-tokoh mereka jadikan narasumber. Hal
itu didapat dengan upaya mengkaji pikiran-pikiran narasumber
lewat wawancara-wawancara intensif yang kemudian dilaporkan
lengkap dengan berbagai nuansa emosinya dan hal-hal lain yang
berkaitan dengannya.
3. Alat Ketiga: Sudut Pandang Orang Ketiga
Alat ini merepresentasikan setiap suasana peristiwa berita
melalui pandangan mata seorang tokoh yang sengaja dimunculkan.
Dengan alat ini, pembaca diberitahu tentang perasaan narasumber
dan pengalaman emosionalnya yang terjadi saat itu. Dengan alat
ini, jurnalis tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap
karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya
peristiwa.
4. Alat Keempat: Mencatat Detail
Semua hal dicatat secara terperinci, yaitu: perilaku, adat
istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah,
perjalanan wisata, makanan, cara merawat rumah, hubungan
dengan anak-anak, dengan pembantu, teman sebaya, atasan,
bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas
seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain.
II.2 Teori Komunikasi Antarbudaya
Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (1972)
bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam
kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya
pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh
kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing depositof group experience, knowledge, and values).
Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan
bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang
menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya.
mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar
pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap
proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang
berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik,
seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi
dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,
mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward
T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’.
Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk
mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,
dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal
dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan
norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan
berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan,
kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang
lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar
belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu
sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal
ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat
berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi
dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap
tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif
pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara
kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam
identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi
antarbudaya ditentang secara aktif.
Dalam setiap kebudayaan selalu ada pandangan hidup, kosmologi dan
ontologi. Kehadiran tiga komponen itu seolah-olah hanya bisa diterima
namun tidak dapat dipahami atau dimengerti. Manakala seseorang dapat
memahami pandangan hidup, kosmologi dan ontologi suatu masyarakat, dia
memprediksi perilaku dan motivasi tiap dimensi itu. Setiap studi
antarbudaya selalu berusaha menggambarkan dan menerangkan
perbedaan-perbedaan tiga faktor itu dalam kebudayaan masing-masing (Liliweri,
2003:115).
Dalam setiap struktur individu selalu terbentuk hirarki ontologi yang
mengakui: (1) ada wujud tertinggi; (2) bersifat supernatural; (3) ada norma
yang mengatur masalah kemanusiaan; (4) ada bentuk-bentuk rendah
kehidupan; (5) ada objek-objek bukan manusia tentang relasi individu
dengan unsur-unsur tersebut tersusun pada suatu hirarki berdasarkan atas
kepentingan terhadap unsur itu, yakni kepercayaan, sikap dan nilai. Tiga unsur ini selalu dikenal dalam setiap uraian tentang ontologi-kebudayaan.
Sebagian pola-pola perilaku kebudayaan yang sering terjadi,
Melalui orientasi budaya individu, setiap individu dapat menerima semua
bentuk situasi apa pun yang melibatkan pertemuan antarbudaya.
Perbedaan antara dua atau lebih orientasi budaya sering menimbulkan
konflik antarbudaya. Hal ini disebabkan karena setiap individu tidak
mengetahui sejauh mana bentuk, jenis, tingkat harapan terhadap suatu nilai
tertentu. Perbedaan ini merupakan hal utama yang menyebabkan komunikasi
antarbudaya Tionghoa dengan individu lainnya tidak dapat dijalin dengan
baik. Banyak prasangka dan stereotipe yang terjadi di antara hubungan keduanya. Hal ini dapat sangat mempengaruhi setiap individu dalam
kegiatan pergaulan sehari-hari. (http://smartpsikologi.blogspot.com/2007
Sama halnya seperti yang dikatakan oleh Tarrant, Feinberg dan
Tanofsky (1994: 204-205):
)
“Kita cenderung mencap atau menentukan tipe orang lain walaupun baru pada pertemuan pertama. Membuat cap dan menentukan tipe orang ini sangat mempengaruhi dan menguasai diri kita dalam berhadapan dengan orang lain. Menentukan tipe dapat menyesatkan dan berbahaya jika kita melakukan perkiraan yang dangkal dan terlalu mudah mengenai orang yang tidak begitu kenal dengan baik. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa begitu banyak hubungan dengan orang luar tidak begitu terjalin dengan baik”
Untuk tidak terjebak dengan stereotipe yang menyesatkan itu, sebaiknya tiap individu memiliki keterbukaan untuk menerima seseorang
dengan tanpa terlebih dahulu dibebani dengan stereotipe yang belum tentu kebenarannya. Apabila suatu individu sudah bisa berpikir secara terbuka,
maka suatu individu pun pasti akan mampu bertindak dan berpikir dengan
berdasarkan pertimbangan rasional dan bukan semata-mata didasari oleh
a. rasa sosial terhadap sesama etnis tinggi
b. pelit
c. berjiwa dagang dan suka bekerja keras
d. bersahabat
e. kurang suka bergaul
f. eksklusif (mengisolasi diri dari masyarakat kelas bawah)
Beberapa faktor lain yang menyulitkan asimilasi antara orang
Tionghoa dengan orang Indonesia adalah :
a. Perbedaan ciri-ciri badaniah
b. In-group feeling yang sangat kuat sehingga mereka tetap mempertahankan identitas sosial dan kebudayaan mereka yang
dianggap eksklusif oleh bangsa Indonesia.
c. Dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap tinggi
hati. Dominasi ekonomi ini bersumber pada fasilitas-fasilitas
yang dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda dan juga
karena kemampuan teknis dalam perdagangan serta ketekunan
mereka dalam berusaha.
Hal tersebut di atas dapat terjadi antara lain merupakan akibat politik
pemerintah penjajah Belanda sewaktu menjajah bangsa Indonesia. Penduduk
Indonesia (Hindia Belanda) kala itu mereka bagi dalam 3 golongan, yaitu:
golongan Eropa, golongan Timur Asing dan Bumiputera (Indonesia).
Hak-hak orang Tionghoa Indonesia (yang mulai bermigrasi ke
Indonesia dari abad XVI sampai kira-kira pertengahan abad XIX dari
yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan bahasa Kanton) yang tergabung dalam golongan Timur Asing lebih menguntungkan daripada golongan
Bumiputera. Sebagai salah satu sebab politiknya adalah golongan Tionghoa
mendapat fasilitas-fasilitas tertentu yang memungkinkan mereka menduduki
lapisan lebih tinggi di atas rakyat Indonesia. Ini dimungkinkan oleh
peraturan-peraturan yang mengangkat mereka secara ekonomis menjadi