• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir”(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir”(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL

“DIMSUM TERAKHIR”

(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam

Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan menyelesaikan Pendidikan

Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh :

YOHANNA

040904055

ILMU KOMUNIKASI

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Yohanna

NIM : 040904055

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir”

(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa

dalam Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)

Medan, Mei 2008

Dosen Pembimbing Kepala Departemen

Haris Wijaya, S. Sos

NIP. 132 307 626 NIP. 131 654 104 Drs. Amir Purba, MA

Dekan FISIP USU

NIP. 131 757 010

Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

oleh:

Nama : Yohanna

NIM : 040904055

Pada hari : Kamis

Tanggal : 8 Mei 2008

Pukul : 12.00 s/d selesai

Tim Penguji

Ketua Penguji : Drs. Amir Purba, M.A. ( )

NIP.131 654 104

Penguji I : Drs. Hendra Harahap, M.Si. ( )

NIP. 132 102 415

Penguji II : Haris Wijaya, S. Sos. ( )

(4)

Abstraksi

Penelitian ini berjudul “Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel

Dimsum Terakhir” (Studi Analisis Wacana tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir oleh Clara Ng). Isu-isu diskriminasi antara pribumi-nonpribumi menjadi suatu hal yang sangat sering dibicarakan dalam masyarakat Indonesia. Representasi etnis dalam media massa bisa saja menggambarkan suatu tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, tetapi tidak halnya jika representasi itu ditampilkan dalam sebuah karya fiksi yang begitu dekat dengan ideologi si pengarang. Bagaimana ideologi si pengarang bermain dalam teks, hal inilah yang menjadi titik fokus penelitian ini. Namun, secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana representasi etnis Tionghoa yang ditampilkan dalam sebuah novel yang berjudul Dimsum Terakhir. Masalah ini semakin menarik diteliti ketika mengingat bahwa Clara Ng sebagai pengarang novel ini merupakan warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra telah banyak melaporkan dan menggali fakta-fakta yang tersembunyi dari suatu peristiwa. Pemakaian gaya penulisan fiksi digunakan untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi lebih memikat, namun sebuah jurnalisme sastra tetaplah harus sebuah fakta, sama seperti berita walaupun memang kadang-kadang ditulis secara subyektif. Novel ini mengambil latar belakang masa pemeritahan Orde Baru dan masa sekarang. Kisah yang tertulis dalam novel ini menjadi suatu catatan bagaimana orang Cina memandang segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, pranggapan, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali dalam tabel representasi sehingga dapat disimpulkan ideologi apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Dimsum Terakhir.

Populasi yang digunakan adalah keseluruhan isi cerita dalam novel

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, peneliti mengucapkan puji dan syukur

kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan berkat dan anugerah-Nya yang

berkelimpahan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan

pendidikan pada Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana

Sosial dari Departemen Ilmu Komunikasi.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam

penulisan skripsi ini mengingat terbatasnya waktu, pengetahuan dan kemampuan

peneliti. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas peneliti menerima

kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang nantinya berguna di hari

yang akan datang.

Dalam penyelesaian skripsi ini peneliti banyak mendapat bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak. Pertama sekali peneliti mengucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada kedua orangtua, Nyo Gek Han & Gho Siok Lie

yang sudah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menjadi seorang

sarjana. Orang yang selalu ada di rumah untuk membimbing dan memberikan

semangat, cinta dan kasih sayangnya. Terima kasih telah selalu mendoakan

peneliti dalam setiap kesempatan dan yang selalu berharap bahwa peneliti

nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa yang akan datang. Kepada

kakak peneliti Swanni, S.E. yang tidak bosan-bosannya mengingatkan peneliti

akan kewajiban yang harus diselesaikan. Kepada abang peneliti Johanness, S.E.

(6)

berjuang. Terima kasih atas dukungan yang tidak kunjung habis dan canda

tawanya dari kedua adik peneliti, Dewi Maya dan Yolanda.

Tidak lupa pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A. selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Haris Wijaya, S. Sos. selaku dosen pembimbing peneliti yang telah

banyak membantu memotivasi dan membimbing peneliti selama penulisan

skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya atas waktu, nasehat dan

pemikiran yang telah diberikan kepada peneliti.

4. Ibu Dra. Lusiana A. Lubis, M.A. selaku dosen wali yang telah banyak

membimbing peneliti selama perkuliahan.

5. Bapak Drs. Safrin, M.Si. selaku dosen yang telah banyak membagikan

pengalaman, pengetahuan yang bermanfaat bagi peneliti.

6. Bapak/Ibu dosen Ilmu Komunikasi pada khususnya dan dosen Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada umumnya yang telah memberikan bekal

pengetahuan selama masa perkuliahan.

7. Kak Icut, Kak Ros, Maya, Rotua dan seluruh staf yang ada di Departemen

Ilmu Komunikasi yang membantu peneliti dalam hal administrasi selama

(7)

8. Teman-teman dekat peneliti. Terutama kepada Noe yang sudah banyak

meluangkan waktu untuk berdiskusi. Kepada Jessie, Endang, Nova, Selly

dan Maya yang sudah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan

skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertemanan kita

selama hampir 4 tahun ini. Terima kasih karena selalu ada buat peneliti,

selalu memberikan canda tawa yang khas dan yang memberikan semangat

ketika peneliti merasa duka. Semoga pertemanan kita selalu ada meskipun

jarak akan memisahkan kita nantinya.

9. Senior-senior Komunikasi ‘02 dan ‘03 yang banyak memberikan nasehat,

ilmu-ilmunya selama perkuliahan dan skripsi terutama yang masih mau

memberikan saran-sarannya meskipun telah bekerja.

10.Teman-teman Kom ’04 yang sudah menjadi teman yang menyenangkan

sehingga saling mendukung dalam mengerjakan skripsi dan mau

memberikan informasi-informasi penting kepada peneliti.

11.Clara Ng yang sudah mau memberikan masukan-masukan penting kepada

peneliti. Terima kasih karena sudah mengizinkan buku karangannya untuk

diteliti sebagai bahan skripsi. Terima kasih sudah mau selalu meluangkan

waktunya untuk membalas e-mail peneliti.

12.Semua pihak yang turut membantu kelancaran penulisan skripsi ini yang

(8)

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi seluruh pihak yang membaca dan dapat memperluas pemikiran di masa yang

akan datang. Terima kasih.

Medan, 8 Mei 2008

Peneliti

(9)

Daftar Isi

Abstraksi…... i

Kata Pengantar ……… ii

Daftar Isi ……….. vi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

I.1 Latar Belakang ……….. 1

I.2 Perumusan Masalah ……….. 5

I.3 Pembatasan Masalah ………. 5

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 6

I.4.1 Tujuan Penelitian ……… 6

I.4.2 Manfaat Penelitian ………. 6

I.5 Kerangka Teori ………. 6

I.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra ……… 7

I.5.2 Teori Komunikasi Antar Budaya ……… 9

I.5.3 Analisis Wacana Kritis……… ……… 10

I.5.4 Representasi ……… 12

I.5.5 Ideologi ……….. 14

I.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk ……… 16

I.6 Kerangka Konsep ……… 17

I.7 Operasionalisasi Konsep ……… 18

I.8 Metodologi Penelitian……… 21

I.8.1 Tipe Penelitian ……….. 21

I.8.2 Subjek Penelitian ………. 22

I.8.3 Unit dan Level Analisis ………... 22

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data ……….. 23

I.8.5 Teknik Analisis Data ………... 23

BAB II URAIAN TEORITIS ………. 25

II.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra……… 25

II.2 Teori Komunikasi Antar Budaya ……… 35

II.3 Analisis Wacana Kritis ……… 40

II.4 Representasi ……… 46

(10)

II.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk ………. 56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 65

III.1. Deskripsi Objek Penelitian ……… 65

III.2. Tipe Penelitian ……….. 73

III.3. Subjek Penelitian ……… 74

III.4. Unit dan Level Analisis ……....……… 74

III.5. Teknik Pengumpulan Data ……… 74

III.6. Teknik Analisis Data ………. 75

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …...……….. 76

IV.1. Analisis Wacana Novel Dimsum Terakhir……….. 77

IV.2. Diskusi dan Pembahasan ………. 186

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 193

V.1 Kesimpulan ……… 193

V.2 Saran ……….. 196

V.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis ……… 196

V.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis ………. 196

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 82

Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 91

Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 100

Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 112

Tabel IV.1.5 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 120

Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” ... 127

Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 139

Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 148

Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 158

Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 165

Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 170

Tabel IV.1.12 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 180

(12)

Abstraksi

Penelitian ini berjudul “Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel

Dimsum Terakhir” (Studi Analisis Wacana tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir oleh Clara Ng). Isu-isu diskriminasi antara pribumi-nonpribumi menjadi suatu hal yang sangat sering dibicarakan dalam masyarakat Indonesia. Representasi etnis dalam media massa bisa saja menggambarkan suatu tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, tetapi tidak halnya jika representasi itu ditampilkan dalam sebuah karya fiksi yang begitu dekat dengan ideologi si pengarang. Bagaimana ideologi si pengarang bermain dalam teks, hal inilah yang menjadi titik fokus penelitian ini. Namun, secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana representasi etnis Tionghoa yang ditampilkan dalam sebuah novel yang berjudul Dimsum Terakhir. Masalah ini semakin menarik diteliti ketika mengingat bahwa Clara Ng sebagai pengarang novel ini merupakan warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra telah banyak melaporkan dan menggali fakta-fakta yang tersembunyi dari suatu peristiwa. Pemakaian gaya penulisan fiksi digunakan untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi lebih memikat, namun sebuah jurnalisme sastra tetaplah harus sebuah fakta, sama seperti berita walaupun memang kadang-kadang ditulis secara subyektif. Novel ini mengambil latar belakang masa pemeritahan Orde Baru dan masa sekarang. Kisah yang tertulis dalam novel ini menjadi suatu catatan bagaimana orang Cina memandang segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, pranggapan, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali dalam tabel representasi sehingga dapat disimpulkan ideologi apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Dimsum Terakhir.

Populasi yang digunakan adalah keseluruhan isi cerita dalam novel

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300

suku bangsa yang masing-masing memiliki identitas kebudayaan sendiri.

Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki daerah

asal dan kebudayaannya sendiri dan telah berakar semenjak berpuluh-puluh

tahun yang silam. Banyaknya suku bangsa di Indonesia saat ini telah

bertambah satu, yaitu dengan diakuinya etnis Tionghoa sebagai salah satu

etnis di Indonesia.

Perkembangan yang sangat baik adalah dengan adanya pengakuan

dan pembauran etnis Tionghoa yang kini lebih terasa nyata. Pengakuan etnis

ini secara resmi diberlakukan sejak pemerintahan Presiden Gus Dur. Hal ini

memberi angin segar bagi seluruh warga Tionghoa di Indonesia, terutama

kebebasan mereka dalam merayakan tahun baru Imlek dengan lebih leluasa.

Tahun baru Imlek pun sudah menjadi libur nasional pada saat itu. Dengan

adanya pengakuan inilah etnis Tionghoa semakin memiliki keberanian untuk

bergerak maju dan membaur bersama etnis lainnya di Indonesia.

Bukti bahwa mulai membaurnya etnis ini dengan masyarakat

Indonesia lainnya dapat kita lihat dari beberapa acara di televisi, seperti

ajang Indonesian Idol, beberapa peserta seperti Delon dan Helena terlihat

jelas dari etnis ini dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat

(14)

Indonesia baru saja menggelar ajang penyanyi bahasa Mandarin yang

kontestannya sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa. Dari sinilah

terpancar bahwa adanya kerjasama yang dijalin antar etnis. Dan faktor ini

akan semakin memperkuat keberadaan etnis Tionghoa di negara Indonesia.

Sebelum masa reformasi representasi terhadap etnis ini seringkali

tidak seimbang, mereka banyak direpresentasikan sebagai orang sukses,

pelit, eksklusif dan kaya. Hal ini menunjukkan seakan-akan ada suatu

perbedaan yang sangat besar dengan etnis lain di Indonesia.

Representasi etnis Tionghoa yang berbicara mengenai cerita-cerita

tradisional, sebagian besar dapat dilihat dalam sinema Indonesia, seperti

film Sam Pek Eng Tay (1931), Gadis Jang Terdjoeal (1937), Oh Iboe

(1938), Penjelundup (1952), dan Di Balik Awan (1963). Setelah tahun 1966, representasi etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia semakin mengecil.

Representasi etnis, apalagi etnis Tionghoa merupakan hal yang sangat

sensitif di Indonesia. Film pertama pada masa Orde Baru yang dengan

terbuka mengungkap representasi Tionghoa adalah film Kisah Fanny Tan

(1971), kemudian diikuti oleh film Ca Bau Kan yaitu film pertama yang mengangkat etnis Tionghoa ke layar pasca-1998 dan film Gie (2005). Lalu film yang terakhir yaitu Berbagi Suami (2005) yang menggunakan karakter Tionghoa secara tipikal.

Banyaknya representasi etnis Tionghoa yang diangkat dalam sinema

Indonesia, membuat pihak media massa lainnya untuk ikut berpartisipasi

dalam merepresentasikan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia

(15)

dengan tema kaum keturunan Tionghoa sejak tahun 1960-an sampai

1990-an. Saat itu novel-novel tersebut lebih banyak membahas isu-isu

diskriminasi antara pribumi dan non pribumi.

Tetapi pada kenyataannya, saat ini sudah banyak pencitraan yang

telah dilakukan media massa tentang keadilan ras dan etnis Tionghoa.

Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara sukarela dan

setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat

Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Hal inilah yang telah dilakukan oleh

Clara Ng, seorang novelis Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mencoba untuk

membeberkan persoalan seputar kaum keturunan Tionghoa tanpa prasangka

melalui novelnya Dimsum Terakhir. Clara Ng ingin memberikan suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama dalam masyarakat Indonesia.

Oleh sebab itu novel Dimsum Terakhir lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan segala persoalannya. Konflik-konflik

antarsaudara (kembar) meluncur karena perbedaan karakter di antara

mereka. Meski tidak adanya perbandingan antara hitam-putih, Clara Ng

membuat satu deskripsi yang detail dari sisi fisik hingga perilaku

tokoh-tokohnya.

Setiap media memiliki cara tersendiri dalam merepresentasikan

sebuah isu yang kemudian akan ditampilkan dalam teks-teks berita.

Rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat pada teks akan membentuk

pengertian sendiri di benak pembaca. Media memiliki peranan penting

dalam kehidupan manusia yang berperan untuk mengkonstruksi nilai dan

(16)

pengaruh media terhadap pengetahuan manusia maka baik itu karena

kebutuhan maupun kewajiban, manusia tetap akan dihadapkan dengan isi

media.

Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra, memiliki pandangan

subjektif yang berasal dari pengarangnya sendiri. Clara Ng memiliki gaya

penulisan yang tentu saja berbeda dengan novelis lain yang juga banyak

merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Clara Ng

menulis untuk memberikan sudut pandang baru, pencerahan, dan cara

berpikir yang kreatif buat pembaca, agar setiap pembaca yang selesai

membaca karyanya dapat terhibur dan terinspirasi.

Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam

bangsa multikultur, karena itu sikap untuk membiarkan semuanya akan

berjalan sendiri, bukan sesuatu yang bijaksana. Kemauan untuk terus belajar

menjadi bangsa harus dimiliki seluruh komponen di negeri ini.

Hal yang sangat menarik di sini adalah bahwa novel ini tidak lagi

bercerita tentang tuntutan bagaimana seorang Tionghoa ingin diperlakukan,

tetapi lebih memfokuskan kepada bagaimana warga Tionghoa mampu

menghadapi kesulitan-kesulitan mereka sebelum era reformasi, bahwa

bagaimana kepercayaan yang akhirnya muncul sebagai sebuah masalah baru

bagi seorang keturunan Tionghoa. Hal-hal seperti ini tidak biasanya

dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena hal tersebut masalah

ini menjadi menarik untuk diteliti. Bahwa tata bahasa yang digunakan dalam

(17)

macam bentuk konflik dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah peneliti

ingin melakukan penelitian mengenai representasi etnis Tionghoa dalam

novel Dimsum Terakhir di mana suatu gambaran sekelompok individu minoritas yang tidak lagi mempermasalahkan identitas mereka.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut: “Bagaimanakah etnis Tionghoa direpresentasikan dalam

novel Dimsum Terakhir?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas,

terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan

masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian akan dilakukan terhadap novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng.

2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang

ada di balik penyajian tata bahasa tersebut.

3. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial

(18)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana wacana yang dipakai dalam

menyampaikan representasi etnis Tionghoa.

2. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks.

3. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan

ceritanya.

1.4.2 Manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya

khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian

media yang diteliti dengan analisis wacana.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi

pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media.

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya

bahan penelitian dan sumber bacaan.

1.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur

yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun,

1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan

berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu

(19)

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti

(Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep),

definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang

gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan

meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan

dengan penelitian ini adalah :

1.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia

khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang

mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah

munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut jurnalistik baru.

Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun

1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau

investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di

Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.

Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis

jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat

linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya

menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan

dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu

(20)

Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain

menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan

referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui

kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga

beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya

jurnalistik lama.

Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru,

karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga

menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan

kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini

memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat

dan lengkap, sehingga menuntut wartawan mencari kaitan peristiwa satu

sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak

tempat pada waktu yang sama.

Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya

menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir

pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain,

seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun

televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan

sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak

ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu

kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga

(21)

1.5.2 Teori Komunikasi Antarbudaya

Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (1972)

bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam

kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya

pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh

kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing depositof group experience, knowledge, and values).

Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan

bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang

menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya.

Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan

mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar

pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap

proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang

berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.

Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik,

seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi

dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,

mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward

T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’.

Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk

(22)

dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal

dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan

norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan

berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan,

kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang

lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar

belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu

sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal

ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat

berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi

dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap

perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan,

tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif

pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara

kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam

identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi

antar budaya ditentang secara aktif.

1.5.3 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi

kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif

(23)

melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga

bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora

macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan

struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang

tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001:15).

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut

Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya.

Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui

penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan

dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki

hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini

adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan

pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara.

Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif

belaka. Konstruktivis menganggap subjek adalah faktor sentral dalam

kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis

faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang

(24)

berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada

kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti

pada analisis konstruktivis.

Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan

yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa di sini

tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.

Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek

tertentu maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana

dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa:

batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang

harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.

Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), wacana di sini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis

bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga

menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan

praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat

ketimpangan yang terjadi.

1.5.4 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang

akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk

(25)

Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang

diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai

representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi

yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi

dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara

representasi dan benda yang digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall

berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan

kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang

berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja

sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi

sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai

direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian.

Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah

bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan,

kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh

wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai

(26)

Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam

konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika

kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan

ideologi tersebut.

1.5.5 Ideologi

Sebuah teks, kata Aart Van Zoest, tidak pernah lepas dari ideologi

dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu

ideologi (Van Zoest, 1991: 70 dalam Sobur, 2004: 60). Setiap makna

memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka

berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk

melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang

terorganisir, yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling

melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang

diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi

antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi

kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan

ini tidak pernah jelas seluruhnya (Lull, 1998: 1).

Raymond William (Eriyanto, 2001: 87) mengklasifikasikan

penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang

dimiliki oleh kelompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh

kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang

(27)

ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu

itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat - ide palsu atau

kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi

dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran

palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya

untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Ideologi bekerja

dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan

alamiah dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.

Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah

istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita

secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu.

Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial

dapat ditelusuri ke Perancis akhir abad ke-18. Sejak saat itu ideologi

menurut definisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus

sastra, filsuf, ahli semiotika, ahli retorika, yang dapat mewakili semua

bidang dalam ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998: 2).

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi

berasal dari bahasa Greek, terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata

idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary

berarti “something existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a plan or the like (sesuatu yang ada di dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini dari kata

(28)

(pengetahuan/teori). Jadi ideologi menurut arti kata adalah pengucapan dari

yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil

dari pemikiran.

Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media

massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara

persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya.

1.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk

Model ini sering disebut sebagai kognisi sosial, menurut van Dijk

penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks

semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus

diamati. Perlu dilihat bagaimana sesuatu teks diproduksi sehingga kita

memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu (Eriyanto,

2001:222).

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan

strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada

level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan

kognisi individu dari wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari

bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah

(Eriyanto, 2001:224).

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga dari suatu

ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek

diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat

(29)

dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang

membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh van Dijk

dibentuk oleh tiga dimensi: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk

interaksi. Menurut van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu

pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi. Dalam wicara atau

percakapan (conversation), bentuk-bentuk wacana interaksional juga relevan untuk dianalisis.

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis

dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai.

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari

analisis wacana Teun A. van Dijk.

Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan

konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks

van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu :

1. Struktur Makro merupakan makna global/umum dari suatu teks

yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang

(30)

2. Superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan

dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks

tersusun ke dalam berita secara utuh.

3. Struktur Mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati

dan bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi,

anak kalimat, parafrase, dan gambar.

1.7 Operasionalisasi Konsep

Menurut van Dijk, meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua

elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan

mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema)

didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat

yang dipakai. Menurut Littlejohn (Eriyanto, 2001:226) antara bagian teks

dalam model van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang

koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang van Dijk

mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip

ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen

yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana van

Dijk tersebut:

1. Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga

disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu

(31)

2. Skematik

Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari

pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks

disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti.

3. Latar

Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi

semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa

menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

4. Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan

seseorang untuk melakukan penonjolan dan menciptakan citra

tertentu dan mengekspresikan sikapnya secara implisit.

5. Maksud

Menunjukkan bagaimana wartawan secara eksplisit

menonjolkan kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan

kebenaran lain.

6. Koherensi

Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks.

Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat

dihubungkan sehingga tampak koheren.

7. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada

(32)

8. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu

hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling

bertentangan dan berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang

diperbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan.

9. Pengingkaran

Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan

diekspresikan secara implisit.

10.Bentuk Kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara

berpikir logis, prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya

persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang

dibentuk oleh susunan kalimat itu.

11.Kata Ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan

suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk

menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.

12.Leksikon

Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan

pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia.

Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi

(33)

13.Praanggapan

Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung

makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya

kebenarannya.

14.Grafis

Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan

atau ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan

dari tulisan lain.

15.Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora

sebagai ornamen dari suatu berita yang dapat menjadi petunjuk

utama untuk mengerti makna suatu teks.

1.8 Metodologi Penelitian

1.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara

pandang dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian

interpretatif dan bersifat subjektif. Metode penelitian ini memakai pisau

analisis wacana versi Teun A. van Dijk pada level teks.

Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, superstruktur, dan

mikro. Dengan analisis wacana model van Dijk ini akan mengungkapkan

(34)

1.8.2 Subjek Penelitian

Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang

terdapat dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng, yang dibagi dalam 16 bab cerita. Terdiri atas 368 halaman, tebal buku 20 cm. Penelitian ini

menggunakan novel cetakan pertama, April 2006 yang diterbitkan oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

1.8.3 Unit dan Level Analisis

Unit yang akan dianalisis adalah teks dari seluruh isi cerita dalam

novel. Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi

tekstual yang dipakai untuk memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau

peristiwa tertentu. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai

berikut :

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks

Super Struktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan

Struktur Mikro

(35)

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Data Primer, yaitu di mana data unit analisa dari teks-teks yang

tertulis pada novel Dimsum Terakhir.

b. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (library research), dengan cara mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

c. Wawancara terhadap pengarang novel Dimsum Terakhir via e-mail.

1.8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam

susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini

menganalisis teks pada novel Dimsum Terakhir dengan menggunakan Analisis Wacana. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam

sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana Teun A.

(36)

Struktur Wacana van Dijk

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Superstruktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi atau

membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil sisi lain

Latar, detil, maksud,

praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih

bentuk kalimat,

koherensi, kata ganti.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan

Grafis, metafora,

(37)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur

yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun,

1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan

berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu

disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti

(Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep),

definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang

gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan

meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan

dengan penelitian ini adalah: Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra, Teori

Komunikasi Antarbudaya, Analisis Wacana Kritis, Representasi, Ideologi,

Analisis Wacana Teun A. van Dijk. Secara lebih rinci dapat dilihat pada

uraian-uraian berikut ini.

II. 1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia

khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang

mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah

(38)

Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun

1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau

investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di

Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.

Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis

jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat

linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya

menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan

dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu

yang lain.

Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain

menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan

referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui

kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga

beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya

jurnalistik lama.

Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru,

karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga

menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan

kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini

memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat

(39)

sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak

tempat pada waktu yang sama.

Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya

menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir

pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain,

seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun

televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan

sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak

ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu

kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga

memiliki kelebihan dan daya tarik tersendiri.

Dengan demikian, suatu jurnalistik disebut jurnalistik baru lebih

karena kelengkapan dan pengembangan beritanya. Karena itu pada

prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep jurnalistik yang ada.

Jurnalistik baru menggali fakta-fakta yang tersembunyi, maka isinya

bisa mengandung banyak hal, tergantung aspek yang digali. Seperti ada

yang berupa laporan investigatif, laporan kontemporer, laporan analisis,

laporan interpretatif, laporan evaluatif dan laporan komparatif.

Pada pertengahan tahun 1960-an, Jurnalis Amerika mendekati sastra

karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama: bentuk dan gaya penulisan novel

yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua: keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.

Para jurnalis kemudian melakukan eksperimen literer di berbagai

(40)

dengan bersembunyi di belakang batas-batas konvensi jurnalisme, walau

kadang melampauinya dalam hal teknik. Ambisi kerap mempengaruhi kerja

mereka. Fakta-fakta mereka cari tidak hanya di permukaan, tetapi sampai ke

kedalaman peristiwa. Mereka mencatat peristiwa sampai ke detail-detailnya.

Dan, hampir bisa dipastikan, kegiatan liputan mereka memakan waktu lebih

banyak dari waktu kerja reporter surat kabar atau majalah; begitu pula jika

dibandingkan dengan pekerjaan reporter yang mendapat tugas investigasi.

Mereka menyusun laporan mengenai kasus yang mereka liput di tengah

orang yang mereka amati selama beberapa waktu, hari bahkan minggu.

Mereka mengambil materi yang ditinggalkan jurnalis konvensional.

Mereka mengamati segala hal penting yang terjadi ketika suasana dramatis

sedang berlangsung di lokasi. Mereka melaporkan dialog, sikap, ekspresi

wajah dan berbagai rincian lain yang tampak di sekitar kejadian. Mereka

dipengaruhi oleh gagasan untuk memberikan laporan yang utuh, deskriptif

dan obyektif, serta segala sesuatu yang selalu dicari pembaca ketika

menikmati novel atau cerita pendek, seperti penanaman subjektivitas dan

emosi karakter tertentu yang dihidupkan. Karenanya, banyak pengamat

jurnalistik dan sastra yang menganggap hasil laporan mereka bersifat

impresionistik.

(41)

suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang (point of view) dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.

Pemakaian gaya fiksi untuk mengemas laporan jurnalistik

memunculkan fenomena baru dalam hal fakta, perubahan defenisi, proses

pengamatan dan pencariannya. Begitu pula dalam kaitannya penyajian serta

perubahan konvensi bentuk dan gaya penulisan (Kurnia, 2002: 23).

Jurnalistik sastra membahas pemakaian gaya penulisan fiksi untuk

kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi memikat.

Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan

rincian potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk

dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya. Khalayak diminta

mengimajinasikan penampakan fakta-fakta yang telah dirancang wartawan

dalam urutan adegan, percakapan dan amatan suasana (Tebba, 2005: 28).

Jurnalisme sastra berkembang menjadi genre yang menarik dan kreatif, yang memungkinkan para penulis untuk masuk ke bidang-bidang

yang selama ini dijauhi. Laporan perjalanan (travelling) dan memoar bahkan dipakai untuk memungkinkan suara penulis tampil dengan lebih leluasa.

Pers yang menyatakan diri sebagai representasi negara, harus

mengakui keberadaan jurnalisme sastra yang bangkit menolak dominasi

wacana pemerintah. Dengan demikian, terjadi akumulasi pergeseran wacana

pemberitaan. Sastra tidak hanya digunakan oleh pers, tetapi juga oleh

sastrawan yang menolak hegemoni makna oleh negara. Sastra menjadi daya

(42)

sarana bagi kebebasan bersuara atau kebebasan menyampaikan kenyataan

yang disembunyikan oleh kekuasaan.

Secara konsep dan dalam banyak segi, jurnalisme sastra membawa

kebaruan. Kebaruan itu, diawali dengan pencampuran fakta dan fiksi.

Pembaca dibuat merasa membaca kisah fiksi yang berbumbu fakta. Hal itu

karena sajian peliputannya kadang-kadang menampilkan karakter

tokoh-tokoh yang riil. Bahkan, dalam contoh yang paling ekstrem, pembaca tidak

tahu lagi yang mana fiksi yang mana fakta. Pada diri tokoh yang diberitakan,

penulis jurnalisme sastra dengan sengaja mengkompilasikan banyak

karakter yang ia temukan saat meliput sehingga laporan mereka terasa

dramatis dan diceritakan dalam tempo penceritaan yang tepat.

Teknik penulisan jurnalisme melebarkan ketentuan yang semula

cukup melaporkan “apa” yang disampaikan. Konsepnya berubah, Penyajian

berita lebih ditujukan pada “bagaimana” jurnalis menyampaikannya. Untuk

menjawab pertanyaan itu, para jurnalis menyampaikannya. Untuk menjawab

pertanyaan itu, para jurnalis baru memakai dua teknik sastra: teknik menulis

realisme dan teknik menulis roman.

Kedua teknik ini menegaskan pentingnya upaya serius penulis dalam

menyeleksi materi tulisan. Setiap materi mesti diseleksi dengan ketat agar

keseluruhan atau setiap bagian laporan dapat merepresentasikan realitas

fakta-berita yang diketengahkan oleh pelapor berita. Laporan dibuat

sedemikian rupa agar pembaca secara nyata dan merasakan apa yang terjadi.

Daya tarik roman terletak pada gaya penceritaan yang dibangun dengan

(43)

berbagai karakter (sudut pandang), dan detail-detail yang menghidupkan

imajinasi pembaca.

Menurut Wolfe, jurnalisme ini telah mendayagunakan kelebihan

penulisan novel realisme dan roman, sehingga pelaporan berita tidak lagi

sekedar mengungkapkan fakta, tempat dan waktu. Jurnalisme baru berusaha

mendalami “mengapa dan bagaimana” sebuah peristiwa terjadi. Materi

laporan dipersepsi dengan referensi dan perspektif tertentu. Setelah tersusun,

semua fakta dibentuk menjadi news story yang menampilkan konfigurasi sosial yang meliputi emosi, motif, kejiwaan, dan berbagai ciri

kemasyarakatan lainnya.

Karakteristik tersebut menumbuhkan keunikan dalam menulis, dan itu

terjadi karena penggunaan empat alat jurnalisme sastra seperti : Penyusunan

Adegan, Dialog, Sudut Pandang Orang Ketiga dan Mencatat Detail.

1. Alat Pertama: Penyusunan Adegan

Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan demi

adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, prestasi

reportase yang luar biasa berhasil diraih para jurnalis dengan cara

ini. Jurnalis menyajikan scene peristiwa-demi peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca seakan berada di lokasi

ketika kejadian sedang berlangsung. Teknik pengisahan suasana

demi suasana, atau adegan demi adegan, membuat pembaca larut

dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru.

Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan

(44)

pementasan teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah

atau bila dekor (latar) berubah. Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu

berarti pembingkaian fakta suatu berita yang mengilustrasikan

berbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat sebagai satu

segmen pengisahan dari keseluruhan peristiwa yang hendak

dilaporkan. Perubahan adegan bukan hanya melibatkan sejumlah

pelaku yang melakukan tindakan tertentu, tetapi juga melibatkan

topik yang tidak sama dengan topik sebelumnya.

Untuk melaporkan suatu peristiwa secara lengkap, kerja

jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan

menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan

pengamatan yang melebihi kerja reportase biasa. Mereka harus

mencatat fakta-fakta di balik rangkaian adegan peristiwa suatu

berita. Mungkin saja mereka perlu mewawancarai lebih dari

selusin orang agar bisa menggali semua fakta yang ada. Fakta-fakta

tersebut kemudian secara kreatif direkonstruksi menjadi rangkaian

adegan news story dengan menggunakan apa saja yang masuk akal dan dapat dikumpulkan.

Alasan memasukkan apa saja yang “masuk akal” itu dalam

kasus tertentu, menimbulkan kontroversi tersendiri. Para jurnalis

sastra, karena kepentingan untuk menciptakan adegan yang utuh,

jadi merasa memiliki keleluasaan untuk menampilkan berbagai

karakter gabungan dalam diri satu tokoh. Hal ini mereka anggap

(45)

Penulis tidak perlu menyampaikan penjelasan verbal mengenai

apa yang terjadi. Setiap adegan (suasana) dinilai telah

menampilkan urutan setiap kejadian. Jika khalayak bisa merasa

seperti berada di dalam peristiwa yang dikisahkan, berarti jurnalis

tak perlu berupaya untuk lebih banyak menerangkan.

Sebelum masuk ke pokok berita, pembaca disuruh melihat-lihat

apa yang terjadi. Bagaimana tokoh-tokohnya bersikap, berpikir,

dan berbicara. Lengkap dengan karakter mereka. Dengan kata lain,

pengadeganan merupakan upaya untuk menolak gaya menjelaskan

(ekspositoris) atau gaya historis. Lewat adegan, jurnalis baru

mencoba menulis laporan yang persuasif sekaligus estetis.

2. Alat Kedua: Dialog

Alat yang kedua adalah “mencatat dialog secara utuh”. Setiap

orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan sesuatu” (talking), dan apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita” (news). Ucapan orang yang membuat berita terjadi sebelum disampaikan pada

khalayak. Berita tersusun setelah reporter bertanya jawab dengan

narasumber.

Materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang

direkam, meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber

aslinya. Berbagai pernyataan (statements) memang bisa disampaikan tanpa menyebut “siapa bicara apa”. Walau begitu ,

semua itu merupakan hasil kerja jurnalis yang telah berbicara

(46)

Dengan teknik dialog ini, jurnalis sastra mencoba menjelaskan

peristiwa yang hendak dilaporkannya. Bagaimana kejadiannya dan

disampaikan. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para

pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu

peristiwa yang terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba

memancing rasa keingintahuan pembaca.

Pada dasarnya mereka sangat mengandalkan dialog realistis

yang dapat mengundang penafsiran yang meluaskan makna.

Melalui dialog, orang-orang di dalam news story dapat ditampilkan seasli orng-orang dalam kehidupan sehari-hari pembaca. Apa yang

dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya merepresentasikan

realitas tersebut. Inti pelaporan mereka muncul dalam pembicaraan

dan sudut pandang tokoh-tokoh mereka jadikan narasumber. Hal

itu didapat dengan upaya mengkaji pikiran-pikiran narasumber

lewat wawancara-wawancara intensif yang kemudian dilaporkan

lengkap dengan berbagai nuansa emosinya dan hal-hal lain yang

berkaitan dengannya.

3. Alat Ketiga: Sudut Pandang Orang Ketiga

Alat ini merepresentasikan setiap suasana peristiwa berita

melalui pandangan mata seorang tokoh yang sengaja dimunculkan.

Dengan alat ini, pembaca diberitahu tentang perasaan narasumber

dan pengalaman emosionalnya yang terjadi saat itu. Dengan alat

ini, jurnalis tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap

(47)

karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya

peristiwa.

4. Alat Keempat: Mencatat Detail

Semua hal dicatat secara terperinci, yaitu: perilaku, adat

istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah,

perjalanan wisata, makanan, cara merawat rumah, hubungan

dengan anak-anak, dengan pembantu, teman sebaya, atasan,

bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas

seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain.

II.2 Teori Komunikasi Antarbudaya

Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (1972)

bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam

kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya

pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh

kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing depositof group experience, knowledge, and values).

Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan

bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang

menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya.

(48)

mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar

pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap

proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang

berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.

Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik,

seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi

dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,

mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward

T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’.

Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk

mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal

dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan

norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan

berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan,

kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang

lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar

belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu

sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal

ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat

berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi

dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap

(49)

tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif

pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara

kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam

identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi

antarbudaya ditentang secara aktif.

Dalam setiap kebudayaan selalu ada pandangan hidup, kosmologi dan

ontologi. Kehadiran tiga komponen itu seolah-olah hanya bisa diterima

namun tidak dapat dipahami atau dimengerti. Manakala seseorang dapat

memahami pandangan hidup, kosmologi dan ontologi suatu masyarakat, dia

memprediksi perilaku dan motivasi tiap dimensi itu. Setiap studi

antarbudaya selalu berusaha menggambarkan dan menerangkan

perbedaan-perbedaan tiga faktor itu dalam kebudayaan masing-masing (Liliweri,

2003:115).

Dalam setiap struktur individu selalu terbentuk hirarki ontologi yang

mengakui: (1) ada wujud tertinggi; (2) bersifat supernatural; (3) ada norma

yang mengatur masalah kemanusiaan; (4) ada bentuk-bentuk rendah

kehidupan; (5) ada objek-objek bukan manusia tentang relasi individu

dengan unsur-unsur tersebut tersusun pada suatu hirarki berdasarkan atas

kepentingan terhadap unsur itu, yakni kepercayaan, sikap dan nilai. Tiga unsur ini selalu dikenal dalam setiap uraian tentang ontologi-kebudayaan.

Sebagian pola-pola perilaku kebudayaan yang sering terjadi,

(50)

Melalui orientasi budaya individu, setiap individu dapat menerima semua

bentuk situasi apa pun yang melibatkan pertemuan antarbudaya.

Perbedaan antara dua atau lebih orientasi budaya sering menimbulkan

konflik antarbudaya. Hal ini disebabkan karena setiap individu tidak

mengetahui sejauh mana bentuk, jenis, tingkat harapan terhadap suatu nilai

tertentu. Perbedaan ini merupakan hal utama yang menyebabkan komunikasi

antarbudaya Tionghoa dengan individu lainnya tidak dapat dijalin dengan

baik. Banyak prasangka dan stereotipe yang terjadi di antara hubungan keduanya. Hal ini dapat sangat mempengaruhi setiap individu dalam

kegiatan pergaulan sehari-hari. (http://smartpsikologi.blogspot.com/2007

Sama halnya seperti yang dikatakan oleh Tarrant, Feinberg dan

Tanofsky (1994: 204-205):

)

“Kita cenderung mencap atau menentukan tipe orang lain walaupun baru pada pertemuan pertama. Membuat cap dan menentukan tipe orang ini sangat mempengaruhi dan menguasai diri kita dalam berhadapan dengan orang lain. Menentukan tipe dapat menyesatkan dan berbahaya jika kita melakukan perkiraan yang dangkal dan terlalu mudah mengenai orang yang tidak begitu kenal dengan baik. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa begitu banyak hubungan dengan orang luar tidak begitu terjalin dengan baik”

Untuk tidak terjebak dengan stereotipe yang menyesatkan itu, sebaiknya tiap individu memiliki keterbukaan untuk menerima seseorang

dengan tanpa terlebih dahulu dibebani dengan stereotipe yang belum tentu kebenarannya. Apabila suatu individu sudah bisa berpikir secara terbuka,

maka suatu individu pun pasti akan mampu bertindak dan berpikir dengan

berdasarkan pertimbangan rasional dan bukan semata-mata didasari oleh

(51)

a. rasa sosial terhadap sesama etnis tinggi

b. pelit

c. berjiwa dagang dan suka bekerja keras

d. bersahabat

e. kurang suka bergaul

f. eksklusif (mengisolasi diri dari masyarakat kelas bawah)

Beberapa faktor lain yang menyulitkan asimilasi antara orang

Tionghoa dengan orang Indonesia adalah :

a. Perbedaan ciri-ciri badaniah

b. In-group feeling yang sangat kuat sehingga mereka tetap mempertahankan identitas sosial dan kebudayaan mereka yang

dianggap eksklusif oleh bangsa Indonesia.

c. Dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap tinggi

hati. Dominasi ekonomi ini bersumber pada fasilitas-fasilitas

yang dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda dan juga

karena kemampuan teknis dalam perdagangan serta ketekunan

mereka dalam berusaha.

Hal tersebut di atas dapat terjadi antara lain merupakan akibat politik

pemerintah penjajah Belanda sewaktu menjajah bangsa Indonesia. Penduduk

Indonesia (Hindia Belanda) kala itu mereka bagi dalam 3 golongan, yaitu:

golongan Eropa, golongan Timur Asing dan Bumiputera (Indonesia).

Hak-hak orang Tionghoa Indonesia (yang mulai bermigrasi ke

Indonesia dari abad XVI sampai kira-kira pertengahan abad XIX dari

(52)

yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan bahasa Kanton) yang tergabung dalam golongan Timur Asing lebih menguntungkan daripada golongan

Bumiputera. Sebagai salah satu sebab politiknya adalah golongan Tionghoa

mendapat fasilitas-fasilitas tertentu yang memungkinkan mereka menduduki

lapisan lebih tinggi di atas rakyat Indonesia. Ini dimungkinkan oleh

peraturan-peraturan yang mengangkat mereka secara ekonomis menjadi

Gambar

Tabel III.1 Struktur Wacana van Dijk
Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”
Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”
Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah pada level teks, discourse practice dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya novel “Negeri 5 Menara” yang