• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI PERILAKU SEKS BEBAS DALAM NOVEL “SWASTIKA” KARYA MAYA WULAN (Studi Semiologi Representasi Perilaku Seks Bebas dalam Novel “SWASTIKA” karya MAYA WULAN).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI PERILAKU SEKS BEBAS DALAM NOVEL “SWASTIKA” KARYA MAYA WULAN (Studi Semiologi Representasi Perilaku Seks Bebas dalam Novel “SWASTIKA” karya MAYA WULAN)."

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

karya MAYA WULAN)

SKRIPSI

Oleh :

AYUDYA WIJAYANTY NPM. 0743010258

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

(2)

(Studi Semiologi Representasi Perilaku Seks Bebas dalam Novel “SWASTIKA” karya MAYA WULAN)

Disusun Oleh:

AYUDYA WIJAYANTY 0743010258

Telah di setujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

Pembimbing Utama

Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si NIP/NPT. 3 7006 94 0035 1

Mengetahui DEKAN

(3)

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat dan rahmatNya sehingga skripsi dengan judul “REPRESENTASI KEHIDUPAN SEKS BEBAS DALAM NOVEL “ SWASTIKA” KARYA MAYA WULAN (Studi Semiologi Representasi Kehidupan Seks Bebas dalam Novel “Swastika” Karya Maya Wulan) dapat terselesaikan dengan baik.

Maksud dan tujuan penyusunan laporan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarata dalam menempuh Starta 1 (S1) pada Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur.

Dengan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penyusun menyadari kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Dan penulis akan merasa sangat senang menerima kritik dan saran serta petunjuk yang membangun bagi penulis.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Syaifuddin zuhri M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta saran sampai terwujudnya Laporan skripsi ini.

(4)

2. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.si selaku Dekan Fakultas ilmu sosial dan ilmu Politik yang telah memberikan kebijaksanaan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

3. Bapak dan ibu dosen Program Pendidikan komunikasi yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang penulis peroleh di bangku kulian UPN “VETERAN” Jaea Timur.

4. Semua teman-teman di Program Pendidikan komunikasi angkatan 2007, yang telah memberikan support.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap laporan skripsi ini dapat bermanfaat memberikan sumbangan pikiran padapara pembaca dan penulis sendiri.

Surabaya. 2 juni 2011

(5)

Oleh:

AYUDYA WIJAYANTY NPM. 0743010258

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh tim Penguji Skripsi Jurusan ilmu Komunikasi Fakultas ilmu sosial dan Ilmu politik Universitas

Pembangunan nasional “Veteran” Jawa Timur pada Tanggal 13 Juni 2011 Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji:

1. Ketua

Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si Juwito, S.Sos.,M.Si

NPT. 3 7006 94 0035 1 NPT. 3 6704 95 0036 1

2. Sekretaris

Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1 3. Anggota

Zainal Abidin A, M.Si.,M.ed NPT. 373059901701

Mengetahui, Dekan

(6)

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...1

1.3 Tujuan Penelitian ...14

1.4 Manfaat Penelitian ...14

1.4.1 Manfaat Teoritis...14

1.4.2 Manfaat Praktis ...14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...16

2.1 Landasan Teori ...16

2.1.1 Karya Sastra Novel Sebagai Media Komunikasi Massa .16 2.1.2 Karya sastra ...17

2.1.3 Novel...17

2.1.4 Representasi ...19

2.1.5 Perilaku ...21

2.1.6 Seks dan Seks Bebas ...21

2.1.7 Semiologi ...23

(7)

3.2 Kerangka Konseptual ...33

3.2.1 Definisi Operasional ...33

3.2.1.1 Perilaku ...33

3.2.1.2 Seks Bebas ...34

3.2.2 Corpus ...34

3.2.3 Unit Analisis ...38

3.3 Tehnik Pengumpulan data ...38

3.4 Tehnik Analisis Data ...39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………41

4.1 Gambaran Obyek Penelitian………...41

4.2 Penyajian dan analisis data………..43

4.2.1 Penyajian data………....43

4.2.2 Hasil analisis data………...47

4.3Sistem Mitos……….110

4.4Penggambaran perilaku seks bebas Pada novel “SWASTIKA”………113

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………115

5.1 Kesimpulan………115

(8)
(9)

Globalisasi juga berdampak pada perubahan gaya hidup yang dianut ke arah budaya barat seperti selera pakaian, selera musik, pergaulan, sampai ke gaya hidup seks bebas. Seks bebas adalah paham dimana seseorang boleh atau mau melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang dia mau atas dasar suka sama suka. Tema seks masih menjadi hot issue di kalangan penulis, maka dari itu banyak penulis yang membuat novel bertemakan seks bebas termasuk menjadi topik utama cerita dalam novel SWASTIKA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi perilaku seks bebas yang di gambarkan dalam novel Swastika karya Maya Wulan. Dengan mengkaji leksia-leksia yang ada pada keseluruhan teks novel. Menggunakan pendekatan semiotic Roland Barthes.

Teori yang digunakan adalah semiotik Roland Barthes yang membagi tanda dan acuan menjadi lima kode pembacaan yaitu : kode hermeneutic , Kode semik , kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomik

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah, bagaimana seorang perempuan muda salah mengartikan sebuah kebebasan dalam pencarian jati dirinya, Yang akhirnya justru menghancurkan masa depannya dan menimbulkan penyesalan seumur hidupnya.

Kata kunci: Representasi, Perilaku seks bebas, Novel, Swastika

ABSTRACTION

REPRESENTATION OF SEX BEHAVIOUR IN THE NOVEL “SWASTIKA” WORK OF MAYA WULAN

Globalization have impact on lifestyle changes adopted to the bleak western cultural tastes of clothing, tastes in music, promiscuity, to the direction of sex behavior. Free sex is to understand where a person can or want to have sex with whomever he/she wants, or on the basic consensual.The theme of sex is still the hot issues among the writers, so it means a lot of writers who make free sex-themed novel. Included in the novel SWASTIKA. The study aims to determine how the representation of free sex behavior depicted in the novel Swastika with research leksia exist in the entire text using a novel approach of roland barthes’s semiotic

The theory used is roland barthes semiotic theory that divides the signal and reference to five code reading : Semik code , Simbolik Code, Proaretik code, and Gnomik code Conclusion of this research is how a young woman who ones difines freedom in the search for identity that ultimately it destroys her future and create a lifetime of regret.

(10)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keaneka ragaman

budaya, sumber daya alam, dan intelektual masyarakat. Sebuah negara multi

kultur yang menjunjung tinggi norma dan tradisi leluhurnya yang memiliki

nilai ketimuran yaitu sopan santun dan tata karma. Adat ketimuran ini sudah

ada sejak nenek moyang bangsa Indonesia dahulu kala dan diturunkan secara

turun temurun hingga generasi muda saat ini.

Dengan perkembangan zaman yang terus menerus, telah banyak

perubahan di segala bidang. Perubahan zaman dari era pra-sejarah, era

sejarah, hingga era modern ini telah menimbulkan banyak perubahan gaya

hidup dan cara bersosialisasi masyarakat yang hidup pada zamannya.

Saat ini masyarakat diseluruh dunia menginjak pada era modern atau

lebih dikenal dengan era globalisasi yang hampir keseluruhan berbasis pada

teknologi atau kemajuan dunia barat. Era yang begitu mudah bagi masyarakat

untuk mendapatkan informasi dari seluruh belahan dunia manapun secara

cepat. Tentu saja, perkembangan zaman memiliki efek positif dan negatif.

Hal ini tidak terkecuali di era globalisasi ini. Semakin mudahnya masyarakat

berbagai golongan usia mengakses segala bentuk informasi. Globalisasi juga

berdampak pada perubahan gaya hidup yang dianut kea rah budaya barat

(11)

bebas. Tanpa adanya filter yang baik tentu akan membuat orang yang

mengkonsumsi atau mengikuti akan mengalami shock culture, yang berakibat

pada terjebaknya seseorang pada gaya hidup yang salah dan tidak sesuai

norma yang berlaku di negaranya.

Kata-kata seks berasal dari bahas latin “secare” yang mempunyai arti

terbelah. Dengan demikian seks adalah sesuatu yang membelah manusia

menjadi dua : pria dan wanita (Subiyanto, 2005:20).

Teori Freud tentang seks adalah tantangan bagi generasi yang masih

memegang keyakinan tabu tentang seks era Victoria. Dalam cara pandang

Freud dan mahzabnya seksualitas diletakkan sebagai pusat teori psikologis.

Dan hal yang paling mengejutkan adalah belum adanya penelitian khusus

tentang tingkah laku seksual oleh para psikoanalis. Freud dan pengikutnya

mengasumsikan bahwa sumber energi tingkah laku manusia yang terbesar

adalah seks.

Freud meyakini dorongan seks merupakan sumber energy untuk

bentukan karakter. Lewat sejumlah asumsi yang unit dan cemerlang, dia

menjelaskan sifat dan karakter yang berbeda sebagai “sublimasi” diri atau

“formasi reaksi” melawan beragam bentuk dorongan seksual. Fakta

menunjukkan perilaku seksual ditentukan oleh karakter tidaklah berlawanan

dengan adanya fakta bahwa naluri seksual itu sendiri berakar pada aspek

kimiawi tubuh kita. Naluri ini adalah akar dari seluruh bentuk tingkah laku

(12)

sendiri yang ditentukan oleh struktur karakter, oleh secara khusus jenis

manusia yang berkaitan dengan dunia.

Tingkah laku seksual sebenarnya menawarkan salah satu tanda yang

paling menarik dalam memahami karakter seorang manusia. Bertolak

belakang dengan kegiatan hampir seluruh aktivitas lain, aktivitas seksual

dengan sangat bersifat pribadi. Sehingga kurang begitu terpola dan lebih

merupakan ekspresi kekhasan individu. Lebih jauh lagi, intensitas dari hasrat

seksual membuat tingkah laku seksual kurang responsive terhadap kontrol

manusia.

Menurut Hidayana (2004:4) Seksualitas adalah maksud dan motif

dalam diri manusia. Seks juga bias dikatakan sebagai hasrat (desire) dan

keinginan (want), yang tumpang tindih dengan aspek-aspek lain dalam

kehidupan manusia.

Terdapat perbedaan antara seks laki-laki dan seks perempuan.

Seksualitas pada laki-laki adalah apabila seorang anak laki-laki telah dewasa,

maka naluri seks dalam tubuhnya akan lebih nyata dan kuat. Perangsangan

dapat timbul tanpa disadari. Sedangkan seksual pada perempuan berbeda

dengan laki-laki, perasaan seksual umumnya terjadi dengan rangsangan yang

lebih lambat, tidak sesering dan senyata pada laki-laki (Sulistyo:139-140).

Sebagai makhluk social, berbudaya, aktifitas seks manusia banyak

dipengaruhi faktor-faktor dari dalam diri juga faktor lingkungan. Psikolog

(13)

macam komponen yang merupakan faktor yang menentukan seks dalam diri

manusia yaitu:

1. Komponen hormonal, Ditentukan oleh hormon-hormon tertentu yang

mempengaruhi perkembangan dan aktifitas seks. Diantaranya adalah

hormone esterogen (kewanitaan) dan hormone testoteron (kelaki-lakian).

2. Komponen Genesis, Terdapat dalam kromosom-kromosom seks, yaitu

kromosom X (betina) dan kromosom Y (jantan). Kromosom inilah yang

menentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, Laki-laki super

jantan, atau laki-laki super feminis.

3. Komponen psikologis, Terdapat pada seksualitas manusia yang

dipengaruhi oleh lingkungan, milenieu, alam sekitar, dan faktor cultural

serta semuan pengalaman hidup setiap individu (Praptoko, 1996:22)

Artinya bahwa seksualitas manusia dipengaruhi oleh tiga komponen

diatas. Ketidak normalan atau adanya gangguan dari ketiga komponen

tersebut akan berimplikasi pada kehidupan seksual manusia. Sehingga segala

permasalahan seks dihadapi manusia bila ditelusuri lebih jauh lagi akan

bermuara pada ketiga komponen diatas. Komponen hormonal dan genesis

akan lebih berpengaruh pada keadaan biologis tetapi tidak menutup

kemungkinan pada perilaku seksual. Keadaan biologis tersebut meliputi

perkembangan dan fungsi organ kelamin baik primer maupun sekunder.

Sedangkan komponen psikologis lebih banyak menentukan atau berpengaruh

(14)

Agar hubungan antar manusia di dalam masyarakat terlaksana

sebagaimana diharapkan, maka dirumuskan norma-norma dalam masyarakat.

Mula-mula norma dibentuk secara tidak sengaja namun lama-kelamaan

norma tersebut dibuat secara sadar. Menurut Soerjono Soekanto

norma-norma yang ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang

berbeda-beda. Ada norma yang lemah, sedang, dan terkuat. Pada yang

terakhir, umumnya masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat

membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut secara sosiologis

dikenal dengan empat pengertian yaitu; cara (usage), Kebiasaan (folkway),

tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom).

Masing-masing pengertian diatas mempunyai dasar yang sama yaitu

masing-masing merupakan norma kemasyarakatan bagi perilaku seseorang

yang hidup dalam masyarakat. Setiap pengertian diatas mempunyai kekuatan

yang berbeda karena setiap tingkatan menunjuk pada kekuatan memaksa

yang lebih besar agar mentaati norma.

Cara (usage) adalah norma dengan kekuatan paling lemah daripada

kebiasaan (folkway). Penyimpangan terhadapnya tidak akan menyebabkan

hukuman berat tetapi hanya sekedar celaan.

Kebiasaan (folkway) merupakan perbuatan yang diulang-ulang dalam

bentuk yang sama dan diterima oleh masyarakat, sehingga setiap orang akan

menyalahkan jika terjadi penyimpangan terhadap kebiasaan tersebut.

Tata kelakuan (mores) memberikan batasan-batasan pada perilaku

(15)

melakukan suatu perbuatan. Tata kelakuan memaksa seseorang agar

menyesuaikan tindakan dengan tata kelakuan yang berlaku dalam

masyarakat, misalnya perihal hubungan antara pria dan wanita.

Adat istiadat (custom) merupakan tata kelakuan paling besar

kekuatannya dalam masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar akan

mendapat sanksi keras. Dalam berperilaku, manusia terikat oleh batasan

tertentu yang tidak boleh dilanggar. Jika batas yang sudah ditentukan tersebut

dilanggar maka orang yang bersangkutan akan terkena sanksi hukuman.

Apabila manusia memahami norma-norma yang mengatur kehidupan

bersamanya maka akan timbul kecenderungan untuk mentaati norma-norma

tersebut.(Soerjono Soekanto: 194; 2001)

Tetapi belakangan, kegiatan seks justru ada kecenderungan perubahan

pandangan segelintir masyarakat terhadap ikatan pernikahan. Mereka

menganggap ikatan suci pernikahan bukan menjadi hukum pasti seseorang

boleh berhubungan seks atau tidak. Kecenderungan ini mengakibatkan

seseorang akan melakukan kegiatan seks tetapi tidak dalam batas sudah

terikat ikatan pernikahan, atau diluar nikah. Kecenderungan terjadinya

kegiatan seks bebas adalah adanya perubahan pandangan masyarakat atas

pernikahan. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai institusi yang sakral atau

sebagaimana fungsi prokerasi tetapi mulai mengarah pada fungsi rekreasi.

(16)

Seks bebas adalah paham dimana seseorang boleh atau mau

melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang dia mau atas dasar suka

sama suka. Kegiatan seks ini adalah bentuk hubungan seksualitas yang

dilakukan tanpa adanya suatu ikatan hubungan dengan berdasar suka sama

suka atau dunia prostitusi. Seks bebas, disini adalah bebas dari

perasaan-perasaan yang akan membebani bila kita melakukannya dalam keterikatan,

entah keterikatan pernikahan atau keterikatan dalam hal cinta pada umumnya.

Bahwa seks bebas berarti anda dapat melakukan hubungan dengan seseorang

yang anda suka dan orang tersebut juga mau lalu bisa mengobrol pada

keesokan harinya tanpa ada perasaan bersalah dan rasa terikat yang biasa

akan terjadi pada hubungan seks yang biasa. Hubungan seks biasa adalah

hubungan seks yang terikat oleh rasa tanggung jawab terhadap lawan jenis.

Seks bebas dilakukan dengan segala kenikmatan dan keindahan seks itu

sendiri tanpa dibebani oleh omong kosong tanpa cinta, tanggung jawab, dan

segala intrik yang digunakan rekan kita untuk mengikat kita.

Sistem sosial kita telah mengalami banyak pergeseran nilai, termasuk

dalam masalah seksualitas. Menurut psikolog UKSW, Jimmy E Kurniawan

bahwa keluarga, sekolah, maupun pemuka agama harus ikut bertanggung

jawab atas terjadinya fenomena ini. Tetapi pengaruh media massa pengusung

berhala syahwat lah yang paling besar andilnya dalam merangsang tingginya

angka seks bebas. Menurut data yang dimiliki Komnas Hak Asasi manusia

dan Perlindungan anak tahun 2009 menunjukkan 20%-31% remaja dan

(17)

yang dilakukan BKKBN dan Annisa Faundation tahun 2009-2010

menyebutkan dari beberapa kota besar di Indonesia meliputi Jakarta,

Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Bali, dan Medan sebanyak 63% telah

melakukan hubungan seks pra-nikah. Hubungan seks tersebut tidak hanya

dilakukan dengan pacar, melainkan pada teman pekerja sek. Perbuatan ini

paling banyak dilakukan di dalam rumah sendiri, hotel, maupun losmen.

(http://id.detik.com//penelitian seks bebas.org)

Maka dari itu sekarang ini seks menjadi salah satu hal yang paling

banyak menjadi topik pembicaraan. Baik dari segi pendidikan dini, dari segi

pengetahuan kesehatannya, maupun tentang bahaya dari kegiatan seks yang

tidak wajar. Pembicaraan-pembicaraan seperti ini bias ditemukan mulai dari

lingkungan keluarga, masyarakat, sampai wacana di media massa.

Media massa sebagai hasil konstruksi sosial cenderung menjadi fungsi

dari kekuasaan. Selama ini media menempatkan seks hanya sebagai aspek

yang terlalu tabu untuk dibicarakan secara luas yang seharusnya diterima

begitu saja atau taken for granted pada waktunya. Hal ini merupakan

hegemoni dari system yang membuat pengetahuan masyarakat tidak bisa di

komunikasikan satu sama lain terhadap hal yang dianggap tabu padahal

penting artinya untuk kehidupan dan tingkat pengetahuan masa mendatang.

Maka dari itu media massa mempunyai peran dalam pentingnya menyebarkan

(18)

Media massa mencakup pencarian pesan dan makna-makna, seperti

halnya studi komunikasi, adalah proses mempelajari media adalah

mempelajari makna. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak.

(Sobur, 2004:110)

Media cetak pada umumnya memiliki tiga fungsi utama memberikan

informasi, sesuai dengan karakteristiknya media cetak khususnya yang

berbentuk buku merupakan medium yang memiliki kualitas permanen karena

biasa dipakai untuk mentransmisikan warisan sosial dari suatu generasi ke

generasi lainnya. Sebagai salah satu bentuk komunikasi melalui tulisan,

media yang berupa buku memiliki kemampuan studi, pengetahuan, hobi, atau

hiburan dengan penyajian mendalam yang sangat ditemukan pada media lain.

(Effendy, 1990:23)

Salah satu bentuk dari media massa khususnya media cetak itu sendiri

adalah novel. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif

biasanya dalam bentuk cerita. Novel lebih panjang setidaknya 40.000 kata

dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan structural dan

metrical sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang

tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan

menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel

merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra, sama seperti media

cetak lainnya, novel juga memberikan informasi pada pembacanya. Selain itu

novel juga berfungsi sebagai media hiburan dan juga menghibur dan persuasi

(19)

Sastra ialah karya tulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti

orisinalitas, artistic, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam dunia

sastra, kosakata yang digunakan seringkali tidak dapat dibedakan dari

kosakata bahasa sehari-hari. Bahkan banyak sastrawan yang memanfaatkan

kosakata sehari-hari dalam karya ciptanya. Tetapi dengan memberinya makna

yang lebih luas. Dalam sastra, bahasa tidak hanya digunakan untuk

mengungkapkan, baik pengalaman sastrawan itu sendiri maupun orang lain,

tetapi juga dipakai untuk menyatakan hasil rekamannya. Kata-kata atau idiom

seperti yang biasanya kita jumpai dalam bahasa di luar sastra, ternyata

mampu memberikan kenikmatan dan keharuan, disamping adanya makna

ganda, selain ada makna yang tersurat juga terkandung makna tersirat. Makna

yang tersirat itu sering berfungsi sebagai pesan utama pengarang.

Banyak sekali novel yang muncul saat ini memperkenalkan tema yang

sama, namun dengan kemasan dan permasalahan yang lebih menarik dan

bervariasi. Salah satu permasalahan yang cukup menyita perhatian

masyarakat khususnya penulis novel adalah permasalahan kehidupan seks

bebas. Memang tidak semua penulis berani untuk mengangkat tentang

fenomena seksualitas khususnya kehidupan seks bebas.

Penulis yang kreatif di bidang sastra seperti fiksi, drama, puisi, dan

biografi memiliki sejumlah pengalaman yang disampaikan kepada para

pembaca. Sastrawan atau pengarang ingin agar pembaca dapat merasakan apa

yang telah dirasakannya. Ia ingin pembaca dapat memahami dan menghayati

(20)

Ia mengundang pembaca memasuki pengalaman nyata dan dunia

imajinatifnya, yang diperoleh melalui pengalaman inderanya yang paling

dalam. Pengalaman batin seorang pengarang dapat dikatakan suatu karya

sastra jika didalamnya tercermin keserasian antara keindahan bentuk dan isi.

Dalam karya ini terungkap norma estetik, norma sastra, dan norma moral.

Upaya apa yang harus kita lakukan dalam memahami karya sastra itu dengan

membaca karya sastxa berarti berusaha menyelami “diri” pengarangnya.

(http://id.wiki dia.org/wiki/Sastra)

Salah satu fungsi media massa terutama media cetak adalah sebagai

institusi sosial. Buku sebagai salah satu media cetak, efektif dalam

melukiskan realitas sosial. Buku, khususnya novel merupakan sebuah karya

fiksi sastra yang menawarkan Novel, adalah satu bentuk karangan yang

berbentuk buku. Budaya membaca yang akhir-akhir ini disosialisasikan oleh

pemerintah maupun beberapa lembaga atau kalangan dengan tujuan untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa, telah memicu semangat beberapa penulis

buku, novel untuk lebih giat menulis sehingga perkembangan ilmu

pengetahuan yang bersifat kognisi dari si penulis maupun beberapa ilmu

pengetahuan yang ada dalam buku tersebut dapat ditransformasikan kepada

pembaca. Melalui novel penulis mempunyai gagasan, ide, pengaruh, dan

mempertukarkan makna. Sedangkan persepsi, pikiran, atau perasaan yang

dialami oleh seseorang yang pada gilirannya akan dikomunikasikan kepada

(21)

Banyak novel yang berkembang saat ini memperkenalkan tema yang

sama, namun dengan kemasan dan permasalahan yang lebih menarik dan

bervariasi. Salah satu tema yang cukup menarik minat pembaca adalah tema

seks bebas. Meskipun mengikuti mainstream seks bebas, novel “Swastika”

mencoba menggambarkan kehidupan seks bebas dari seorang mahasiswi

tetapi dengan cara pandang dan alasan yang berbeda dari buku lainnya yang

sama-sama mengangkat tema serupa. Dimana biasanya tema seks

menggambarkan kehidupan yang glamour yang identik dengan kehidupan

malam, atau identik dengan dunia prostitusi, di dalam novel ini justru

mengungkap sisi lain yang menyebabkan tokoh utama terjebak ke kehidupan

seks bebas.

Itulah cerita yang ingin dikomunikasikan sebuah novel berjudul

“Swastika” kepada pembacanya. Dengan mengusung gaya bahasa yang jujur,

santai, lugas Maya Wulan telah dapat menggambarkan rumitnya kehidupan

seseorang yang terjebak dalam kehidupan seks bebas dengan sangat baik.

Bagi Tokoh utama novel ini Swastika dia digambarkan sebagai gadis

yang dilahirkan di luar rencana. Sebagai akibat ini, ditambah pula dengan

sikap otoriter orang tua serta kakak-kakaknya, mau tidak mau jiwa gadis ini

menjadi bermasalah. Dia jadi pemberontak, namun tidak siap untuk

menerima akibat pemberontakannya sendiri. Dalam mencari jati diri gadis

bernama Swastika yang digambarkan merantau untuk menuntut ilmu di kota

Jogja. Di kota Jogja ini, mulai melakukan pemberontakan dengan tidak

(22)

Awal dari Swastika mulai terjebak dunia seks bebas digambarkan

dengan ia merasakan jatuh cinta kepada sesama jenis. Swastika merasakan

jatuh cinta terhadap sahabatnya sendiri, Silla. Tetapi dia sendiri tidak yakin

apakah benar dia menyukai sesama jenis. Maka untuk pelarian dan

mengingkari rasa suka pada sejenis maka dia berusaha mencari yang dapat

membantunya menghapus perasaan terhadap sesama jenis, yaitu Swastika

mulai berhubungan dengan lawan jenis. Karena di dukung lingkungan

pergaulan yang bebas di kalangan senimannya serta ketidakyakinan Swastika

terhadap perasaannya, Dia yang awalnya berharap bisa menghilangkan rasa

suka terhadap sejenis jika berhubungan dengan lawan jenis. Tetapi justru

dengan masuknya dia ke dunia seniman dan mencoba berhubungan dengan

lawan jenis ini membuat Swastika tenggelam ke dunia pemuja kebebasan. Di

dunia kebebasannya dia mengenal rokok, alkohol, bahkan dunia seks bebas.

Swastika merasa berhak untuk melakukan apa yang dia suka. Yang

diawali dengan hanya coba-coba tetapi justru membuat Swastika ketagihan

dan justru terjerumus semakin dalam ke dunia kebebasannya. Dalam novel ini

peneliti tertarik untuk meneliti novel “swastika. Karena dianggap cukup

menarik jika dibahas dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi,

karena komunikasi pada dasarnya merupakan interaksi antar pribadi yang

menggunakan system simbolik linguistic, misalnya meliputi verbal, kata-kata

paraverbal, dan non verbal. Sistem itu dapat disosialisasikan secara langsung

(23)

Dari latar belakang permasalahan diatas, akhirnya peneliti mengambil

Judul “Representasi Kehidupan Seks Bebas Dalam Novel Maya Wulan

Berjudul SWASTIKA”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimanakah representasi kehidupan seks bebas dalam novel

Swastika karya Maya Wulan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi

kehidupan seks bebas dalam novel Swastika karya Maya Wulan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi seseorang.

Bahwa sebenarnya seks bebas bukan menjadi alasan bagi rasa putus asa

yang pada akhirnya akan teramat sangat merugikan dirinya di masa depan

membuat peneliti merasa penting untuk mengetahui penggambaran efek

buruk seks bebas yang di representasikan dalam novel Maya Wulan

(24)

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan

kesadaran tentang bahaya kehidupan seks bebas khusunya i* kaum muda.

(25)

16 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Karya Sastra Novel Sebagai Media Komunikasi Massa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel merupakan hasil

karya naratif dan fiksi yang bukan menyajikan kenyataan di dunia ini

tetapi perlambang atau model dari kenyataan itu, wujud dari perlambangan

itu berupa kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi sekaligus untuk

merasakan dan berfikir tentang realitas yang tergantikan oleh kata-kata

tersebut.

Dalam suatu karya sastra, hubungan antara pengarang dan pembaca

mesti dipahami dengan hubungan yang bermakna, sebagai pola-pola

hubungan yang terbuka dan produktif dengan implikasi sosial, bukan

kausalitas yang berbentuk tunggal dan linier. Karya sastra khususnya

novel, dengan peralatan formalnya makin lama dirasakan sebagai aktifitas

yang benar-benar memiliki fungsi integral dalam struktur sosial (Ratna,

2003:134).

Menurut Duncan dalam Ratna (2003:143) karya sastra sebagai

proses komunikasi menyediakan pemahaman yang sangat luas. Dalam

karya sastra terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, karena karya

(26)

2.1.2 Karya sastra

Karya sastra adalah sebuah karya tulis yang memiliki berbagai ciri

keunggulan seperti orisinalitas, artistik, serta keindahan dalam isi dan

ungkapannya. Dalam bentuk kosakata yang digunakan seringkali tidak

dapat dibedakan dari kosakata bahasa sehari-hari. Bahkan banyak

sastrawan yang memanfaatkan kosakata sehari-hari dalam karya ciptanya.

Tetapi dengan memberinya makna yang lebih luas.

Dalam sastra, bahasa tidak hanya digunakan untuk

mengungkapkan, baik pengalaman sastrawan itu sendiri maupun orang

lain, tetapi juga dipakai untuk menyatakan hasil rekamannya. Kata-kata

atau idiom seperti yang biasanya kita jumpai dalam bahasa di luar sastra,

ternyata mampu memberikan kenikmatan dan keharuan, disamping adanya

makna ganda, selain ada makna yang tersurat juga terkandung makna.

tersirat. Makna yang tersirat itu sering berfungsi sebagai pesan utama

pengarang.

2.1.3 Novel

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif

biasanya dalam bentuk cerita. Novel merupakan hasil karya naratif dan

fiksi yang bukan menyajikan kenyataan di dunia ini tetapi perlambang atau

model dari kenyataan itu, wujud dari perlambangan itu berupa kata-kata

yang digunakan untuk berkomunikasi sekaligus untuk merasakan dan

(27)

lebih panjang setidaknya 40.000 kata dan lebih kompleks dari cerpen, dan

tidak dibatasi keterbatasan structural dan metrical sandiwara atau sajak.

Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan

mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada

sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut.

Novel merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra, sama

seperti media cetak lainnya, novel juga memberikan informasi pada

pembacanya. Selain itu novel juga berfungsi sebagai media hiburan dan

juga menghibur dan persuasi atau mampu mempengaruhi pembacanya.

(http://id.wikipedia.org/wiki/novel)

Dalam arti umum novel diartikan sebagai bentuk karya sastra,

novel merupakan struktur yang bermakna, novel tidak sekedar serangkaian

tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur

pikiran tersusun.

Isi pesan novel menjadi penting jika berkaitan dengan fungsi novel

yang dikemukakan Culler, yaitu novel merupakan wacana yang

didalamnya dan masyarakat mengartikulasikan dunia lewat novel itu

sendiri. Didalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui

aktivitas pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia

sosial, model-model personalitas individual, model hubungan dengan

masyarakat, dan lebih penting lagi, model signifikasi dari aspek dunia

(28)

2.1.4 Representasi

Chris Barker menyebutkan bahwa Representasi merupakan kajian

utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai

bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita

dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural Studies memfokuskan

diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. (Barker:

2006:9)

Representasi adalah elemen-elemen yang ditandakan secara teknis.

Dalam bahasa tulis seperti proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan

sebagainya. Elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode

representasional yang memasukkan diantara bagaimana objek

digambarkan : Karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya (Eriyanto:

2005;15)

Menurut Stuart hall (1997), representasi merupakan salah satu

praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan

konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”.

Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika

manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi

kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara bahasa yang sama, dan saling

berbagi konsep-konsep yang sama.

(http://kunci.or.id/esailnws/04/representasi.htm)

Ada dua proses representasi, Pertama representasi mental dan

(29)

“sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual),

representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak.

Kedua, adalah representasi bahasa yaitu yang berperan penting

dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala

kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dan

simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk

memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi

antara sesuatu dengan system “peta konseptual' dengan bahasa atau

symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang

sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual”, dan “bahasa/symbol”

adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang

menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang

dinamakan representasi.

Konsep representasi bias berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan

baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah ada.

Intinya adalah ia selalu dikonstruksikan diproduksi lewat representasi. la

adalah hasil dari praktek penandaan, praktek yang membuat sesuatu hal

mempunyai suatu makna.

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana

seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan

dalam pemberitaan. Jadi persoalan utama dalam representasi adalah

(30)

2.1.5 Perilaku

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku adalah tindakan,

cara seseorang, tanggapan atau reaksi seseorang terhadap sebuah situasi

yang diakibatkan oleh rangsangan atau lingkungan yang berakibat pada

tindakan kesehariannya. Dalam hal ini adalah cara hidup, pola pikir, cara

pandang dan gaya sehari-hari dalam hidup. Intinya perilaku adalah

fenomena atau perwujudan adanya hidup, yaitu keadaan yang

membedakan satu organism (makhluk hidup) satu sama lain.

(http://id.wikipedia.or wiki/perilaku)

2.1.6 Seks dan Seks Bebas

Kata kata seks berasal dari bahas latin “secare' yang mempunyai

arti terbelah. Dengan demikian seks adalah sesuatu yang membelah

manusia menjadi dua : pria dan wanita (Subiyanto, 2005:20).

Seks bebas adalah melakukan hubungan seksual dengan

berganti-ganti pasangan baik sesame jenis maupun dengan lawan jenis. Seks bebas

merupakan tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang

ditunjukan dengan tingkah laku. Faktor yang menyebabkan seks bebas

dikarenakan adanya pertentangan dari lawan jenis, adanya tekanan dari

keluarga atau teman. Dari tahun ke tahun data remaja dan mahasiswa yang

melakukan hubungan seks bebas semakin meningkat, dari 5% di tahun

(31)

Berdasar hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

(PKBI) pada tahun 2009 di tiga kota yaitu Bandung, Surabaya, dan

Jakarta. Hasilnya menyatakan bahwa sebanyak 85% remaja berusia 15-20

tahun mengaku telah melakukan hubungan seks dengan pacar mereka

Ironisnya, menurut direktur Eksekutif PKBI Inne Silvianne,

hubungan seks itu dilakukan di rumah sendiri tempat mereka berlindung.

Sebanyak 5% dari kalangan remaja itu mengaku menonton media

pornografi, diantaranya VCD dan video-video porno. Dari penelitian ini

pila diketahui bahwa 52% saja yang memahami bagaimana kehamilan bisa

terjadi.

Hubungan seks di luar nikah itu umumnya dilakukan responden

dengan dasar suka sama suka. Hanya sekitar 9% yang melakukan dengan

dasar ekonomi. Yang paling memprihatinkan adalah, 90% dari seluruh

responden menyatakan paham nilai agama dan tahu arti dosa. Menurut

data yang dimiliki Komnas Hak Asasi manusia dan Perlindungan anak

tahun 2009 menunjukkan 20-31% remaja dan mahasiswa di Indonesia

pernah melakukan free seks. Sedangkan hasil survei yang dilakukan

BKKBN dan Annisa Faundation tahun 2009-2010 menyebutkan dari

beberapa kota besar di Indonesia meliputi Jakarta, Bandung, Surabaya,

Jogjakarta, Bali, dan Medan sebanyak 63% telah melakukan hubungan

seks pra-nikah. Hubungan seks tersebut tidak hanya dilakukan dengan

(32)

Kata seks bebas dibuat agar jelas bahwa semua penganutnya bebas

untuk memilih pasangannya. Bisa berganti pasangan kapanpun mereka

mau, tanpa terikat suatu pernikahan. Seks bebas, disini adalah bebas dari

perasaan-perasaan yang akan membebani bila kita melakukannya dalam

keterikatan, entah keterikatan pernikahan atau keterikatan dalam hal cinta

pada umumnya.

Bahwa seks bebas berarti anda dapat melakukan hubungan dengan

seseorang yang anda suka dan orang tersebut juga mau lalu bisa

mengobrol pada keesokan harinya tanpa ada perasaan bersalah dan rasa

terikat yang biasa akan terjadi pada hubungan seks yang biasa. Hubungan

seks biasa adalah hubungan seks yang terikat oleh rasa tanggung jawab

terhadap lawan jenis. Seks bebas dilakukan dengan segala kenikmatan dan

keindahan seks itu sendiri tanpa dibebani oleh omong kosong tanpa cinta,

tanggung jawab, dan segala intrik yang digunakan rekan kita untuk

mengikat kita.

2.1.7 Semiologi

Semiologi atau semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis

untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai

dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah

manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes,

semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan

(33)

tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to

communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya

membaca informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak

berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

(Barthes, 1998:179)

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna

(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda

(Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat

teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan

bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda

disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk pada semiotika.

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skoalstik

atas seni logika, retorika dan poetika. Akar namaya sendiri adalah

“Semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau

asklepiadik dengan perhatiannya pada smptomatologi dan diagnostik

inferensial.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya

berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan

bersama-sama manusia (Sobur,2004;15)

Semiologi adalah ilmu tentang bentuk-bentuk, karena hal itu

mempelajari pertandaan terlepas dari kandungannya (Barthes, 2007:299)

(34)

yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat dan dengan

demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah

untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta

kaidah-kaidah yang mengaturnya (Sobur, 2004:12)

Sejak kemunculan Saussure dan Pierce maka semiologi menitik

beratkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan

dengannya. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan

meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran

logis) dan Saussure menekankan pada linguistik, pada kenyataannya

semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam

system tanda non-linguistik. Sementara itu, bagi Barthes (1988:179)

semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)

memakai hal-hal (things). (Kurniawan, 2001;153)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya

tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat

asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.

Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut

sebagai system pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diatas system

lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas

system pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai

system pertama. System kedua ini, oleh Barthes disebut dengan konotatif,

yang di dalam mythologies nya secara tegas dibedakan dari denotative

(35)

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.

3. Denotative sign (tanda Denotatif)

4. Conotative signifier

(Penanda konotatif)

5. Conotative signified

(petanda konotatif)

6. Conotative sign (Tanda konotatif)

Gambar 2.1 Peta Roland Barthes

Dari peta diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2) akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda

denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut

merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “singa”,

barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi

mungkin (Cobley dan Jansz, 1995;51).

Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki

makna tambahan namun juga mengandung kedua tanda denotatif yang

melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang

sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti

pada penandaan dalam tataran denotatif.

Pada dasarnya , ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam

pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh

(36)

harfiah, makna yang “sesungguhnya,” bahkan kadang kala juga

dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara

tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada

penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.

Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya,

denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi

merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan

dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi

politis. Sebagai reaksi paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang

bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya.

Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin

terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas

kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat

alamiah (Budiman, 1992:22).

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki

tanda tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif

yang melandasi keberadaannya. Konotasi identik dengan operasi ideology,

yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai dominasi dalam suatu periode tertentu

(Sobur,2004:69-71)

Mitos, menurut Barthes (1993:109), adalah sebuah sistem

komunikasi yang dengan demikian dia adalah suatu pesan. Mitos

(37)

ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk.

Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya.

Suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila

tidak hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah

rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu

sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka teks tersebut

dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan

bacaan tertentu. Leksia dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat,

beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau beberapa paragraph.

(Kurniawan, 2001:93)

Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode sebagai sistem

makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda, menurut Barthes

terdiri atas lima jenis : kode hermeneutic (kode teka-teki), Kode semik

(Makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (Logika tindakan), dan

kode gnomik atau cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan

tertentu. (Lechte. 2001:1996)

Pertama, Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada

harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang

muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama

dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara

pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian dalam cerita.

Kedua, Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan sisi. Dalam

(38)

konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan

konotasi kata atau frase yang mirip.

Ketiga, kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang

paling khas bersifat structural, atau tepatnya menurut konsep Barthes,

pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna yang

berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam proses

produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui

proses.

Keempat, kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya

sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Antara lain semua

teks yang bersifat naratif.

Kelima, kode gnomic atau cultural yang jumlahnya banyak. Kode

ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan

dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional di definisi

oleh acuan kepada apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau

sub budaya yang diatasnya para penulis bertumpu. (Sobur, 2004:66)

Tujuan analisis barthes ini, , bukan hanya untuk membangun suatu

system klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih

banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal,

rincian paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik, merupakan

(39)

Semiologi, bagaimanapun sejauh ini tetap sebuah metode untuk

mendekati kebudayaan dalam beragam bentuk.

2.2 Kerangka Berpikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam

memaknai suatu obyek atau peristiwa. Hal ini dikarenakan latar belakang

pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pada tiap individu

tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini

pesan disampaikan melalui teks novel, maka seorang penulis novel dalam

menyampaikan pesan yang dituliskan dalam bukunya berdasar

pengalaman dan pengetahuannya. Dua hal diatas ini juga yang nantinya

akan mempengaruhi peneliti dalam memaknai pesan yang terdapat dalam

teks novel tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemaknaan terhadap

tanda dan lambang dalam tulisan pada novel MAYA WULAN yang

berjudul SWASTIKA. Dalam merepresentasikannya menggunakan

metode semiologi Rolan Barthes, dengan menggunakan leksia, dan lima

kode pembacaan. Representasi kehidupan seks bebas yang terdapat pada

novel Maya Wulan berjudul SWASTIKA akan diinterpretasikan melalui

tahap pemaknaan.

Novel SWASTIKA akan dipilah penanda-penandanya ke dalam

serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut leksia atau satuan

(40)

kode-kode pembaca yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut

meliputi kode hermeneutik, Kode semik, kode simbolik, Kode proaretik,

Kode cultural.

Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat,

beberapa kalimat, atau beberapa paragraf. Dengan demikian pada akhirnya

peneliti akan menghasilkan interpresati yang mendalam dan tidak dangkal.

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Novel:

SWASTIKA

Analisis

Menggunakan

Metode Semiologi

Roland Barthes

Hasil Intepretasi

(41)

32 3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika sosial yang

terjadi dalam masyarakat. Dengan menggunakan metode penelitian

semiologi yang bersifat kualitatif, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui bagaimana representasi kehidupan seks bebas dalam novel

Maya Wulan berjudul SWASTIKA.

Definisi kualitatif menurut Bogan dan Taylor (1975:5) sebagai

prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Kirk dan

Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi

tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya

maupun dalam peristilahannya. (Moleong,2006:4)

Sedangkan analisis semiologi merupakan analisis mengenai tanda

dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya hubungan

dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya untuk mereka

yang menggunakan latar alamiah, yang bermaksud untuk menafsirkan

fenomena yang terjadi.

Penelitian yang menggunakan naturalistic untuk mencari dan

(42)

latar yang berkonteks khusus. Dalam penelitian kualitatif metode yang

biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan

dokumen.

3.2 Kerangka Konseptual 3.2.1 Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah kehidupan seks

bebas yang merupakan permasalahan yang diambil dari novel Maya

Wulan berjudul SWASTIKA sebagai bahan penelitian.

3.2.1.1 Perilaku

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku adalah

tindakan, cara seseorang, tanggapan atau reaksi seseorang terhadap

sebuah situasi yang diakibatkan oleh rangsangan atau lingkungan

yang berakibat pada tindakan kesehariannya. Dalam hal ini adalah

cara hidup, pola pikir, cara pandang dan gaya sehari-hari dalam

hidup. Intinya perilaku adalah fenomena atau perwujudan adanya

hidup, yaitu keadaan yang membedakan satu organism (mahluk

(43)

3.2.1.2 Seks Bebas

Seks bebas adalah melakukan hubungan seksual dengan

berganti-ganti pasangan baik sesame jenis maupun dengan lawan

jenis. Seks bebas merupakan tingkah laku yang didorong oleh

hasrat seksual yang ditunjukan dengan tingkah laku. Seks bebas

sama dengan seks yang murni, j adi seks itu bias berarti hubungan

seks yang bebas, bebas dari perasaan-perasaan yang akan

membebani bila kita melakukannya dalam keterikatan, entah

keterikatan pernikahan atau keterikatan dalam hal cinta pada

umumnya. Bahwa seks bebas berarti anda dapat melakukan

hubungan dengan seseorang yang anda suka dan orang tersebut

juga mau lalu bisa mengobrol pada keesokan harinya tanpa ada

perasaan bersalah dan rasa terikat yang biasa akan terjadi pada

hubungan seks yang biasa

3.2.2 Corpus

Dalam penelitian kualitatif perlu adanya suatu pembahasan

masalah yang disebut sebagai corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan

terbatas yang ditentukan pada perkembangan oleh analisis kesemenaan.

Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa

unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan

yang lengkap. Corpus juga bersifat se homogen mungkin.

(44)

Corpus pada penelitian ini adalah leksia-leksia dalam teks novel

Maya Wulan berjudul SWASTIKA.

Corpus pada penelitian ini adalah leksia-leksia dalam teks novel

“SWASTIKA. Leksia yang menunjukkan unsur perilaku seks bebas

diantaranya adalah;

1. Aku lupa siapa yang pertama kali mengulum bibirku (hal 53)

2. Aku lupa lelaki mana yang pertama kali melihat telanjang dadaku, juga

dua payudara ku. Entah siapa pula orang pertama yang berhasil menggigit

halus dua gunung sintal dadaku ini (hal 53)

3. Aku lupa karena terlalu cukup banyak lelaki yang menyinggahi dermaga

tubuhku, menikmati ranum buah dadaku (hal 53)

4. Ya, aku mulai mengenal sebuah persetubuhan antar manusia, bercinta,

bersetubuh, berzina (hal 68)

5. Di beberapa kota yang ku kunjungi, aku menjalin hubungan dengan para

lelaki yang aku kenal. Yang aku anggap menarik (hal 70)

6. Aku bersetubuh dengan para lelakiku, banyak lelaki, terlalu banyak (hal

71)

7. Aku selalu merindukan sebuah sentuhan percintaan dengan para lelaki ku

(hal. 74)

(45)

9. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dari semua percintaanku. Ranjang

ini, malam ini, seolah menjelma piring lebar yang menampung tubuhku.

(hal 90)

10.Malam berbeda, lelaki berbeda (hal 90)

11.Lelaki baru, kuinginkan pengalaman baru (hal 91)

12.Setiap lelaki yang hadir adalah cenderamata bagi perjalananku,

petualanganku, mereka adalah kenangan (hal 91)

13.Bukan malam kemarin, bukan lelaki kemarin (hal 92)

14.Semisal lukisan yang terlahir dari sela-sela jemari ini, penuh warna.

Perjalananku tak hanya dengan satu dua lelaki…(hal 92)

15.Dengan lelaki kesekian. Entah keberapa, aku tak ingat, kupikir rak perlu

diingat (hal 99)

16.Ah, sebegitu pentingkah keperawanan seorang perempuan? Begitu pentingkah selaput

dara? Apa bedanya perawan dan tidak perawan? (hal 126)

17. Buktinya para lelaki yang telah tidur dan bergumul denganku, tidak ada

yang protes tentang diriku yang sudah tidak perawan (hal 126)

18. Kamu tak pernah tahu apakah untuk menikah, para lelaki itu memang

tidak mempersoalkan sebuah keperawanan dari calon istrinya. Kalian

hanya bersenang-senang, Swastika. Bukan menikah. (hal 126)

(46)

20.Aku suka bercinta. Dengan laki.laki (hal 147)

21.Seperti yang kurasakan ketika bercinta dengan para lelaki-lelaki ku. Apa

yang akan ‘memasuki’ ku ? (hal 148)

22.Bahwa aku bercinta demi membuang kelesbianan ku. Meski lama

kelamaan aku juga menjadi seperti ketagihan. Untuk bercinta dan bercinta

lagi. Lagi dan lagi. (hal 148)

23.Sila, aku telah begitu terlena dengan dunia ciptaan ku sendiri. Dunia

kebebasan. Dimana aku bias bercinta, mabuk, merokok, memuji dan

memaki. (hal 149)

24.Aku suka lelaki yang kuat. Yang bisa mengalahkan ku di tempat tidur.

Tapi, aku bukan pelacur. Apalagi perempuan sundal. (hal 150)

25.Aku masih suka bercinta. Tapi, aku hanya melakukannya dengan lelaki

yang pernah bercinta denganku sebelum ini (hal 154)

26.Kalau aku jadi begini, suka ‘bermain’ dengan beberapa lelaki, itu karena

aku tak mau jadi lesbian (hal 158)

27.Kalau boleh jujur, aku malah mencintai salah dua dari lelaki yang pernah

tidur denganku. Tapi mungkin itu karena hasrat. Dan, aku terlanjur

(47)

28.Lagi pula, aku tak pernah bermaksud menjadikan salah satu dari lelaki

yang pernah tidur denganku itu, menjalin hubungan serius denganku. (hal

162)

3.2.3 Unit Analisis

Penelitisn ini menggunakan leksia Roland Barthes sebagai unit

analisis. Leksia merupakan satuan bacaan. Leksia ini dapat berupa

beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau

beberapa paragraph dari teks novel Maya Wulan berjudul SWASTIKA

yang menyiratkan kehidupan seks bebas sesuai dengan subyek penelitian.

Penelitian ini tidak menggunakan sintagmata paradigm sebagai unit

analisis karena naratif structural yang ditawarkan roland barthes lebih

mempermudah untuk menganalisis teks.

3.3 Tehnik Pengumpulan data

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua

bagian yaitu :

a. Data Primer

Yaitu data teks novel SWASTIKA, pemelitian-penelitian

sebelumnya, buku-buku yang berkaitan dengan semiotika tentang

kehidupan seks bebas. Data primer ini membantu peneliti dalam

(48)

b. Data sekunder

Yaitu pernyataan dari penulis novel serta berbagai pengertian

mengenai kehidupan seks bebas dan semiologi yang didapat dari

berbagai sumber. Data sekunder tersebut membantu peneliti dalam

memahami latar belakang penulis novel SWASTIKA dan

permasalahannya.

3.4 Tehnik Analisis Data

Untuk dapat menganalisis seluruh data yang ada didalam novel

SWASTIKA, maka peneliti akan membagi dalam beberapa langkah

teknisnya dengan tujuan untuk memudahkan penganalisisan secara

semiologi. Langkah -langkah ini merupakan pengembangan dari Roland

Barthes dalam membaca semiologi teks tertulis.

Berikut ini peneliti akan menjelaskan beberapa langkah yang akan

ditempuh, yaitu :

1. Peneliti menggunakan semiologi Roland Barthes, yaitu

mengumpulkan seluruh unit analisis yang berupa leksia atau bacaan

tertentu berdasar penilaian atas teks novel SWASTIKA yang layak

dan sesuai untuk dijadikan subyek penelitian

2. Peneliti kemudian membagi semua leksia yang terkumpul tersebut

dalam aspek semiologi yang dianjurkan oleh Saussure yang juga

dianut dalam semiologi Roland Barthes, yaitu aspek material dan

(49)

Barthes dianggap sebagai tanda (sign). Aspek material tersebut adalah

teks tertulis dalam novel SWASTIKA yang terdapat pada leksia,

sedangkan aspek konseptual adalah gambaran yang muncul pada

peneliti ketika membaca. aspek material pada leksia tersebut.

3. Peneliti juga akan menganalisa secara semiologi teks Roland barthes

dengan mengemukakan kode-kode pokok (kode hermeneutik, kode

semik, kode simbolik, kode proaretik, kode gnomic, kode cultural) di

dalam leksia tersebut. Melalui kode-kode pembacaan ini peneliti akan

mengemukakan tanda-tanda dan kode yang menghasilkan makna.

4. Langkah-langkah diatas akan memberikan kesimpulan bagaimana

representasi kehidupan seks bebas dalam novel Maya Wulan berjudul

(50)
(51)
(52)

41 4.1 Gambaran Obyek Penelitian

Profesi sebagai penulis novel harus memiliki pemikiran yang kuat dalam

menulis karangannya. Karya novel dapat dihasilkan penulis berdasarkan imajinasinya, kejadian disekitarnya, dan dapat berdasarkan tentang

pengalaman pribadi. Hal ini pula yang dilakukan oleh Maya Wulan, karya novel yang dibuat ini berdasarkan dengan cerita yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Karya novel ini secara umum menceritakan tentang kisah

pencarian jati diri dari tokoh utamanya. Hanya saja, karena dengan cara yang salah sehingga si tokoh utama menjadi tersesat di kehidupan seks bebas.

Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang tokoh wanita utama yang bernama Swastika. Swastika digambarkan lahir di keluarga agamis yang berdomosili di Kota Sumenep,Madura. Swastika tipe pribadi yang

pemberontak diantara kedua kakak-kakaknya. Swastika adalah anak perempuan satu-satunya dari seorang tokoh yang di hormati di kampungnya.

Ayahnya digambarkan sebagai figur yang keras terhadap anak-anaknya, termasuk masalah pendidikan. Pemberontakan swastika dimulai saat dia diminta untuk masuk ke pesantren oleh ayahnya. Swastika menolak,

(53)

pribadi yang bebas, merdeka, dan mandiri. Dan itu tidak akan bisa ditemukannya jika dia masuk ke pesantren.

Akhirnya Swastika memutuskan kabur dari rumah, agar diijinkan untuk memilih kuliah di Jogjakarta. Swastika lari ke rumah sahabatnya, Silla Drupadi. Setelah seminggu melarikan diri, akhirnya Swastika mendapat ijin

untuk bisa kuliah di Jogjakarta bersama Silla. Tapi justru ijin untuk kuliah di Jogjakarta inilah salah satu penyebab swastika terjerumus ke kehidupan Seks

bebas. Selama proses belajar di Jogjakarta, swastika akrab dengan silla. Tetapi keakraban ini menimbulkan satu rasa yang aneh di dalam diri swastika. Bukan lagi rasa sayang sebagai sahabat yang muncul terhadap silla.

Tetapi muncul rasa cinta terhadap silla, layaknya seseorang yang mencintai lawan jenis. Swastika galau, Swastika bingung, swastika takut kehilangan

sahabatnya jika dia jujur terhadap silla. Dia takut jika dia benar-benar seorang lesbian.

Diantara kebingunngannya, Swastika dikenalkan ke dunia seniman.

Ternyata Swastika bisa menemukan dirinya yang sebenarnya ketika belajar menjadi seniman. Mulailah ditinggalkannya bangku kuliah. Masih dengan

perasaan bingung, Swastika mulai kenal kebebasan di dunia senimannya. Di lingkungan senimannya. Swastika mulai mengenal rokok, mulai mengenal alkohol, dan mulai kehidupan seks bebas. Kehidupan seks bebasnya ini

sebenarnya dilakukan agar dia bisa melupakan silla, melipakan rasa cinta nya terhadap silla. Maka Swastika berubah menjadi pelaku kehidupan seks bebas,

(54)

4.2 Penyajian dan analisis data.

4.2.1 Penyajian data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel karya Maya Wulan berjudul SWASTIKA. Dari pengamatan yang dilakukan terhadap

novel SWASTIKA maka hasil dari penelitian tersebut kemudian akan disajikan representasi novel SWASTIKA mengenai perilaku kehidupan

seks bebas.

Selanjutnya novel Swastika akan direpresentasikan dan dianalisis berdasar landasan teori Roland Barthes. Mendefinisikan tanda berdasar

aspek penanda (signifier), juga petanda (signified) denotatif serta pemaknaan tataran tingkat kedua yaitu aspek penanda (signifier) dan juga petanda (signified) konotatif. Untuk mengetahui realitas yang muncul

signification yang menghasilkan interpretasi secara keseluruhan.

Penyajian dalam data penelitian ini adalah 31 leksia yang terdapat dalam novel SWASTIKA karya Maya Wulan. Sesuai dengan korpus

penelitian dalam bab III, 31 leksia tersebut adalah :

1. Aku lupa siapa yang pertama kali mengulum bibirku (hal 53)

2. Aku lupa lelaki mana yang pertama kali melihat telanjang dadaku, juga dua payudara ku. Entah siapa pula orang pertama yang berhasil menggigit

(55)

3. Aku lupa karena terlalu cukup banyak lelaki yang menyinggahi dermaga tubuhku, menikmati ranum buah dadaku (hal 53)

4. Seandainya Amar ada di dekatku, dan selalu di dekatku, mungkin ia lelaki pertama yang menggerayangi keluasan tubuhku. (hal 62)

5. Entah siapa persisnya. Aku lupa. Karena terlalu banyak. Telah terlalu banyak lelaki.(hal. 63)

6. Ya, aku mulai mengenal sebuah persetubuhan antar manusia, bercinta,

bersetubuh, berzina (hal 68)

7. Di beberapa kota yang ku kunjungi, aku menjalin hubungan dengan para

lelaki yang aku kenal. Yang aku anggap menarik (hal 70)

8. Aku bersetubuh dengan para lelakiku, banyak lelaki, terlalu banyak (hal 71)

9. Aku selalu merindukan sebuah sentuhan percintaan dengan para lelaki ku (hal. 74)

10.Terlalu banyak lelaki yang menjelajahi lekuk tubuhku. (hal 83)

11.Di sela-sela keliaran lelaki ini menjelajahi tubuhku yang telanjang. Ia tampak senang mendengar eranganku. (hal 86)

12.Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dari semua percintaanku. Ranjang ini, malam ini, seolah menjelma piring lebar yang menampung

(56)

13.Malam berbeda, lelaki berbeda (hal 90)

14.Lelaki baru, kuinginkan pengalaman baru (hal 91)

15.Setiap lelaki yang hadir adalah cenderamata bagi perjalananku, petualanganku, mereka adalah kenangan (hal 91)

16.Bukan malam kemarin, bukan lelaki kemarin (hal 92)

17.Semisal lukisan yang terlahir dari sela-sela jemari ini, penuh warna. Perjalananku tak hanya dengan satu dua lelaki…(hal 92)

18.Dengan lelaki kesekian. Entah keberapa, aku tak ingat, kupikir rak perlu diingat (hal 99)

19.Ah, sebegitu pentingkah keperawanan seorang perempuan? Begitu pentingkah selaput dara? Apa bedanya perawan dan tidak perawan? (hal 126)

20. Buktinya para lelaki yang telah tidur dan bergumul denganku, tidak ada

yang protes tentang diriku yang sudah tidak perawan (hal 126)

21. Kamu tak pernah tahu apakah untuk menikah, para lelaki itu memang tidak mempersoalkan sebuah keperawanan dari calon istrinya. Kalian

hanya bersenang-senang, Swastika. Bukan menikah. (hal 126)

22.Aku hanya ingin mencintai dan bercinta dengan laki-laki (hal 146)

(57)

24.Seperti yang kurasakan ketika bercinta dengan para lelaki-lelaki ku. Apa yang akan ‘memasuki’ ku ? (hal 148)

25.Bahwa aku bercinta demi membuang kelesbianan ku. Meski lama kelamaan aku juga menjadi seperti ketagihan. Untuk bercinta dan bercinta

lagi. Lagi dan lagi. (hal 148)

26.Sila, aku telah begitu terlena dengan dunia ciptaan ku sendiri. Dunia kebebasan. Dimana aku bias bercinta, mabuk, merokok, memuji dan

memaki. (hal 149)

27.Aku suka lelaki yang kuat. Yang bisa mengalahkan ku di tempat tidur.

Tapi, aku bukan pelacur. Apalagi perempuan sundal. (hal 150)

28.Aku masih suka bercinta. Tapi, aku hanya melakukannya dengan lelaki yang pernah bercinta denganku sebelum ini (hal 154)

29.Kalau aku jadi begini, suka ‘bermain’ dengan beberapa lelaki, itu karena aku tak mau jadi lesbian (hal 158)

30.Kalau boleh jujur, aku malah mencintai salah dua dari lelaki yang pernah tidur denganku. Tapi mungkin itu karena hasrat. Dan, aku terlanjur menyukai permainan mereka di atas tempat tidur (hal 162)

31.Lagi pula, aku tak pernah bermaksud menjadikan salah satu dari lelaki yang pernah tidur denganku itu, menjalin hubungan serius denganku. (hal

(58)

4.2.2 Hasil analisis data

Berikut ini adalah kolom yang m enjelaskan kalim at dalam leksia yang

m enunjukan adanya perilaku Seks bebas, selengkapnya sebagai berikut :

Leksia Kalimat yang Menunjukkan Adanya perilaku seks

bebas

Leksia 1 Aku lupa siapa yang pertama kali mengulum bibirku

Leksia 2 Aku lupa lelaki mana yang pertama kali melihat telanjang dadaku, juga dua payudara ku. Entah siapa

pula orang pertama yang berhasil menggigit halus dua gunung sintal dadaku ini

Leksia 3 Aku lupa karena terlalu cukup banyak lelaki yang menyinggahi dermaga tubuhku, menikmati ranum

buah dadaku

Leksia 4 Seandainya Amar ada di dekatku, dan selalu di dekatku, mungkin ia lelaki pertama yang

menggerayangi keluasan tubuhku

Leksia 5 Entah siapa persisnya. Aku lupa. Karena terlalu

(59)

Leksia 6 Ya, aku mulai mengenal sebuah persetubuhan antar manusia, bercinta, bersetubuh, berzina

Leksia 7 Di beberapa kota yang ku kunjungi, aku menjalin

hubungan dengan para lelaki yang aku kenal. Yang aku anggap menarik

Leksia 8 Aku bersetubuh dengan para lelakiku, banyak lelaki,

terlalu banyak

Leksia 9 Aku selalu merindukan sebuah sentuhan percintaan dengan para lelaki ku

Leksia 10 Terlalu banyak lelaki yang menjelajahi lekuk

tubuhku.

Leksia 11 Di sela-sela keliaran lelaki ini menjelajahi tubuhku yang telanjang. Ia tampak senang mendengar

eranganku.

Leksia 12 Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dari semua percintaanku. Ranjang ini, malam ini, seolah

menjelma piring lebar yang menampung tubuhku

Leksia 13 Malam berbeda, lelaki berbeda

(60)

Leksia 15 Setiap lelaki yang hadir adalah cenderamata bagi perjalananku, petualanganku, mereka adalah

kenangan

Leksia 16 Bukan malam kemarin, bukan lelaki kemarin

Leksia 17 Semisal lukisan yang terlahir dari sela-sela jemari ini, penuh warna. Perjalananku tak hanya dengan

satu dua lelaki…

Leksia 18 Dengan lelaki kesekian. Entah keberapa, aku tak ingat, kupikir rak perlu diingat

Leksia 19 Ah, sebegitu pentingkah keperawanan seorang perempuan? Begitu pentingkah selaput dara? Apa

bedanya perawan dan tidak perawan?

Leksia 20 Buktinya para lelaki yang telah tidur dan bergumul denganku, tidak ada yang protes tentang diriku yang

sudah tidak perawan

Leksia 21 Kamu tak pernah tahu apakah untuk menikah, para lelaki itu memang tidak mempersoalkan sebuah keperawanan dari calon istrinya. Kalian hanya

bersenang-senang, Swastika. Bukan menikah

(61)

laki-laki

Leksia 23 Aku suka bercinta. Dengan laki.laki

Leksia 24 Seperti yang kurasakan ketika bercinta dengan para

lelaki-lelaki ku. Apa yang akan ‘memasuki’ ku ?

Leksia 25 Bahwa aku bercinta demi membuang kelesbianan ku. Meski lama kelamaan aku juga menjadi seperti ketagihan. Untuk bercinta dan bercinta lagi. Lagi

dan lagi

Leksia 26 Sila, aku telah begitu terlena dengan dunia ciptaan ku sendiri. Dunia kebebasan. Dimana aku bias

bercinta, mabuk, merokok, memuji dan memaki

Leksia 27 Aku suka lelaki yang kuat. Yang bisa mengalahkan ku di tempat tidur. Tapi, aku bukan pelacur. Apalagi

perempuan sundal.

Leksia 28 Aku masih suka bercinta. Tapi, aku hanya melakukannya dengan lelaki yang pernah bercinta

denganku sebelum ini

Gambar

Gambar 2.1 Peta Roland Barthes
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Gambar 4.2 Peta tanda Roland Barthes leksia 1, (halaman 53)
Gambar 4.2 Peta Tanda Roland Barthes leksia 3, (halaman 53)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang mendorong mereka melakukan perilaku seks bebas tersebut adalah faktor ekonomi keluarga atau penghasilan orangtua, keutuhan keluarga anjal yang

Menjadi dasar pengetahuan agar orang tua dapat memiliki pola asuh yang baik bagi anak-anaknya, sehingga dapat mengantisipasi timbulnya perilaku seks bebas pada remaja.. Bagi subjek

Hal tersebut menjadi ketertarikan bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih mendalam lagi mengenai perilaku seks bebas pada sebuah komunitas motor, khususnya pada

dengan perilaku seks bebas, mengingat pendidikan seks penting bagi remaja agar. remaja dapat mengetahui apa saja dampak-dampak dari seks bebas

Pada kalimat pertama ini memiliki makna konotasi, yaitu perilaku atau perbuatan banyak pejabat pemerintah yang sudah parah (seperti melakukan KKN) yang sudah terlalu

Dampak Media Internet terhadap Perilaku Seks Bebas di kalangan mahasiswa ; Fandi Ahmad Sultoni; 070210201110; 2012 ; Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Jurusan

Menurut asumsi peneliti hasil penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara peran orang tua dengan kejadian perilaku seks bebas karena dari data dapat dilihat bahwa

Hasil penelitian ini berdasarkan dari hasil analisis dan interpretasi penelitian terhadap penggambaran perilaku tokoh utama yakni seorang pekerja seks komersial yang Lesbian dalam