karya MAYA WULAN)
SKRIPSI
Oleh :
AYUDYA WIJAYANTY NPM. 0743010258
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
(Studi Semiologi Representasi Perilaku Seks Bebas dalam Novel “SWASTIKA” karya MAYA WULAN)
Disusun Oleh:
AYUDYA WIJAYANTY 0743010258
Telah di setujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,
Pembimbing Utama
Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si NIP/NPT. 3 7006 94 0035 1
Mengetahui DEKAN
Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat dan rahmatNya sehingga skripsi dengan judul “REPRESENTASI KEHIDUPAN SEKS BEBAS DALAM NOVEL “ SWASTIKA” KARYA MAYA WULAN (Studi Semiologi Representasi Kehidupan Seks Bebas dalam Novel “Swastika” Karya Maya Wulan) dapat terselesaikan dengan baik.
Maksud dan tujuan penyusunan laporan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarata dalam menempuh Starta 1 (S1) pada Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur.
Dengan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penyusun menyadari kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Dan penulis akan merasa sangat senang menerima kritik dan saran serta petunjuk yang membangun bagi penulis.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Syaifuddin zuhri M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta saran sampai terwujudnya Laporan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.si selaku Dekan Fakultas ilmu sosial dan ilmu Politik yang telah memberikan kebijaksanaan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
3. Bapak dan ibu dosen Program Pendidikan komunikasi yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang penulis peroleh di bangku kulian UPN “VETERAN” Jaea Timur.
4. Semua teman-teman di Program Pendidikan komunikasi angkatan 2007, yang telah memberikan support.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap laporan skripsi ini dapat bermanfaat memberikan sumbangan pikiran padapara pembaca dan penulis sendiri.
Surabaya. 2 juni 2011
Oleh:
AYUDYA WIJAYANTY NPM. 0743010258
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh tim Penguji Skripsi Jurusan ilmu Komunikasi Fakultas ilmu sosial dan Ilmu politik Universitas
Pembangunan nasional “Veteran” Jawa Timur pada Tanggal 13 Juni 2011 Menyetujui,
Pembimbing Utama Tim Penguji:
1. Ketua
Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si Juwito, S.Sos.,M.Si
NPT. 3 7006 94 0035 1 NPT. 3 6704 95 0036 1
2. Sekretaris
Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1 3. Anggota
Zainal Abidin A, M.Si.,M.ed NPT. 373059901701
Mengetahui, Dekan
KATA PENGANTAR ...ii
DAFTAR ISI ...iii
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang Masalah ...1
1.2 Rumusan Masalah ...1
1.3 Tujuan Penelitian ...14
1.4 Manfaat Penelitian ...14
1.4.1 Manfaat Teoritis...14
1.4.2 Manfaat Praktis ...14
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...16
2.1 Landasan Teori ...16
2.1.1 Karya Sastra Novel Sebagai Media Komunikasi Massa .16 2.1.2 Karya sastra ...17
2.1.3 Novel...17
2.1.4 Representasi ...19
2.1.5 Perilaku ...21
2.1.6 Seks dan Seks Bebas ...21
2.1.7 Semiologi ...23
3.2 Kerangka Konseptual ...33
3.2.1 Definisi Operasional ...33
3.2.1.1 Perilaku ...33
3.2.1.2 Seks Bebas ...34
3.2.2 Corpus ...34
3.2.3 Unit Analisis ...38
3.3 Tehnik Pengumpulan data ...38
3.4 Tehnik Analisis Data ...39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………41
4.1 Gambaran Obyek Penelitian………...41
4.2 Penyajian dan analisis data………..43
4.2.1 Penyajian data………....43
4.2.2 Hasil analisis data………...47
4.3Sistem Mitos……….110
4.4Penggambaran perilaku seks bebas Pada novel “SWASTIKA”………113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………115
5.1 Kesimpulan………115
Globalisasi juga berdampak pada perubahan gaya hidup yang dianut ke arah budaya barat seperti selera pakaian, selera musik, pergaulan, sampai ke gaya hidup seks bebas. Seks bebas adalah paham dimana seseorang boleh atau mau melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang dia mau atas dasar suka sama suka. Tema seks masih menjadi hot issue di kalangan penulis, maka dari itu banyak penulis yang membuat novel bertemakan seks bebas termasuk menjadi topik utama cerita dalam novel SWASTIKA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi perilaku seks bebas yang di gambarkan dalam novel Swastika karya Maya Wulan. Dengan mengkaji leksia-leksia yang ada pada keseluruhan teks novel. Menggunakan pendekatan semiotic Roland Barthes.
Teori yang digunakan adalah semiotik Roland Barthes yang membagi tanda dan acuan menjadi lima kode pembacaan yaitu : kode hermeneutic , Kode semik , kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomik
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah, bagaimana seorang perempuan muda salah mengartikan sebuah kebebasan dalam pencarian jati dirinya, Yang akhirnya justru menghancurkan masa depannya dan menimbulkan penyesalan seumur hidupnya.
Kata kunci: Representasi, Perilaku seks bebas, Novel, Swastika
ABSTRACTION
REPRESENTATION OF SEX BEHAVIOUR IN THE NOVEL “SWASTIKA” WORK OF MAYA WULAN
Globalization have impact on lifestyle changes adopted to the bleak western cultural tastes of clothing, tastes in music, promiscuity, to the direction of sex behavior. Free sex is to understand where a person can or want to have sex with whomever he/she wants, or on the basic consensual.The theme of sex is still the hot issues among the writers, so it means a lot of writers who make free sex-themed novel. Included in the novel SWASTIKA. The study aims to determine how the representation of free sex behavior depicted in the novel Swastika with research leksia exist in the entire text using a novel approach of roland barthes’s semiotic
The theory used is roland barthes semiotic theory that divides the signal and reference to five code reading : Semik code , Simbolik Code, Proaretik code, and Gnomik code Conclusion of this research is how a young woman who ones difines freedom in the search for identity that ultimately it destroys her future and create a lifetime of regret.
1 1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keaneka ragaman
budaya, sumber daya alam, dan intelektual masyarakat. Sebuah negara multi
kultur yang menjunjung tinggi norma dan tradisi leluhurnya yang memiliki
nilai ketimuran yaitu sopan santun dan tata karma. Adat ketimuran ini sudah
ada sejak nenek moyang bangsa Indonesia dahulu kala dan diturunkan secara
turun temurun hingga generasi muda saat ini.
Dengan perkembangan zaman yang terus menerus, telah banyak
perubahan di segala bidang. Perubahan zaman dari era pra-sejarah, era
sejarah, hingga era modern ini telah menimbulkan banyak perubahan gaya
hidup dan cara bersosialisasi masyarakat yang hidup pada zamannya.
Saat ini masyarakat diseluruh dunia menginjak pada era modern atau
lebih dikenal dengan era globalisasi yang hampir keseluruhan berbasis pada
teknologi atau kemajuan dunia barat. Era yang begitu mudah bagi masyarakat
untuk mendapatkan informasi dari seluruh belahan dunia manapun secara
cepat. Tentu saja, perkembangan zaman memiliki efek positif dan negatif.
Hal ini tidak terkecuali di era globalisasi ini. Semakin mudahnya masyarakat
berbagai golongan usia mengakses segala bentuk informasi. Globalisasi juga
berdampak pada perubahan gaya hidup yang dianut kea rah budaya barat
bebas. Tanpa adanya filter yang baik tentu akan membuat orang yang
mengkonsumsi atau mengikuti akan mengalami shock culture, yang berakibat
pada terjebaknya seseorang pada gaya hidup yang salah dan tidak sesuai
norma yang berlaku di negaranya.
Kata-kata seks berasal dari bahas latin “secare” yang mempunyai arti
terbelah. Dengan demikian seks adalah sesuatu yang membelah manusia
menjadi dua : pria dan wanita (Subiyanto, 2005:20).
Teori Freud tentang seks adalah tantangan bagi generasi yang masih
memegang keyakinan tabu tentang seks era Victoria. Dalam cara pandang
Freud dan mahzabnya seksualitas diletakkan sebagai pusat teori psikologis.
Dan hal yang paling mengejutkan adalah belum adanya penelitian khusus
tentang tingkah laku seksual oleh para psikoanalis. Freud dan pengikutnya
mengasumsikan bahwa sumber energi tingkah laku manusia yang terbesar
adalah seks.
Freud meyakini dorongan seks merupakan sumber energy untuk
bentukan karakter. Lewat sejumlah asumsi yang unit dan cemerlang, dia
menjelaskan sifat dan karakter yang berbeda sebagai “sublimasi” diri atau
“formasi reaksi” melawan beragam bentuk dorongan seksual. Fakta
menunjukkan perilaku seksual ditentukan oleh karakter tidaklah berlawanan
dengan adanya fakta bahwa naluri seksual itu sendiri berakar pada aspek
kimiawi tubuh kita. Naluri ini adalah akar dari seluruh bentuk tingkah laku
sendiri yang ditentukan oleh struktur karakter, oleh secara khusus jenis
manusia yang berkaitan dengan dunia.
Tingkah laku seksual sebenarnya menawarkan salah satu tanda yang
paling menarik dalam memahami karakter seorang manusia. Bertolak
belakang dengan kegiatan hampir seluruh aktivitas lain, aktivitas seksual
dengan sangat bersifat pribadi. Sehingga kurang begitu terpola dan lebih
merupakan ekspresi kekhasan individu. Lebih jauh lagi, intensitas dari hasrat
seksual membuat tingkah laku seksual kurang responsive terhadap kontrol
manusia.
Menurut Hidayana (2004:4) Seksualitas adalah maksud dan motif
dalam diri manusia. Seks juga bias dikatakan sebagai hasrat (desire) dan
keinginan (want), yang tumpang tindih dengan aspek-aspek lain dalam
kehidupan manusia.
Terdapat perbedaan antara seks laki-laki dan seks perempuan.
Seksualitas pada laki-laki adalah apabila seorang anak laki-laki telah dewasa,
maka naluri seks dalam tubuhnya akan lebih nyata dan kuat. Perangsangan
dapat timbul tanpa disadari. Sedangkan seksual pada perempuan berbeda
dengan laki-laki, perasaan seksual umumnya terjadi dengan rangsangan yang
lebih lambat, tidak sesering dan senyata pada laki-laki (Sulistyo:139-140).
Sebagai makhluk social, berbudaya, aktifitas seks manusia banyak
dipengaruhi faktor-faktor dari dalam diri juga faktor lingkungan. Psikolog
macam komponen yang merupakan faktor yang menentukan seks dalam diri
manusia yaitu:
1. Komponen hormonal, Ditentukan oleh hormon-hormon tertentu yang
mempengaruhi perkembangan dan aktifitas seks. Diantaranya adalah
hormone esterogen (kewanitaan) dan hormone testoteron (kelaki-lakian).
2. Komponen Genesis, Terdapat dalam kromosom-kromosom seks, yaitu
kromosom X (betina) dan kromosom Y (jantan). Kromosom inilah yang
menentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, Laki-laki super
jantan, atau laki-laki super feminis.
3. Komponen psikologis, Terdapat pada seksualitas manusia yang
dipengaruhi oleh lingkungan, milenieu, alam sekitar, dan faktor cultural
serta semuan pengalaman hidup setiap individu (Praptoko, 1996:22)
Artinya bahwa seksualitas manusia dipengaruhi oleh tiga komponen
diatas. Ketidak normalan atau adanya gangguan dari ketiga komponen
tersebut akan berimplikasi pada kehidupan seksual manusia. Sehingga segala
permasalahan seks dihadapi manusia bila ditelusuri lebih jauh lagi akan
bermuara pada ketiga komponen diatas. Komponen hormonal dan genesis
akan lebih berpengaruh pada keadaan biologis tetapi tidak menutup
kemungkinan pada perilaku seksual. Keadaan biologis tersebut meliputi
perkembangan dan fungsi organ kelamin baik primer maupun sekunder.
Sedangkan komponen psikologis lebih banyak menentukan atau berpengaruh
Agar hubungan antar manusia di dalam masyarakat terlaksana
sebagaimana diharapkan, maka dirumuskan norma-norma dalam masyarakat.
Mula-mula norma dibentuk secara tidak sengaja namun lama-kelamaan
norma tersebut dibuat secara sadar. Menurut Soerjono Soekanto
norma-norma yang ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang
berbeda-beda. Ada norma yang lemah, sedang, dan terkuat. Pada yang
terakhir, umumnya masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat
membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut secara sosiologis
dikenal dengan empat pengertian yaitu; cara (usage), Kebiasaan (folkway),
tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom).
Masing-masing pengertian diatas mempunyai dasar yang sama yaitu
masing-masing merupakan norma kemasyarakatan bagi perilaku seseorang
yang hidup dalam masyarakat. Setiap pengertian diatas mempunyai kekuatan
yang berbeda karena setiap tingkatan menunjuk pada kekuatan memaksa
yang lebih besar agar mentaati norma.
Cara (usage) adalah norma dengan kekuatan paling lemah daripada
kebiasaan (folkway). Penyimpangan terhadapnya tidak akan menyebabkan
hukuman berat tetapi hanya sekedar celaan.
Kebiasaan (folkway) merupakan perbuatan yang diulang-ulang dalam
bentuk yang sama dan diterima oleh masyarakat, sehingga setiap orang akan
menyalahkan jika terjadi penyimpangan terhadap kebiasaan tersebut.
Tata kelakuan (mores) memberikan batasan-batasan pada perilaku
melakukan suatu perbuatan. Tata kelakuan memaksa seseorang agar
menyesuaikan tindakan dengan tata kelakuan yang berlaku dalam
masyarakat, misalnya perihal hubungan antara pria dan wanita.
Adat istiadat (custom) merupakan tata kelakuan paling besar
kekuatannya dalam masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar akan
mendapat sanksi keras. Dalam berperilaku, manusia terikat oleh batasan
tertentu yang tidak boleh dilanggar. Jika batas yang sudah ditentukan tersebut
dilanggar maka orang yang bersangkutan akan terkena sanksi hukuman.
Apabila manusia memahami norma-norma yang mengatur kehidupan
bersamanya maka akan timbul kecenderungan untuk mentaati norma-norma
tersebut.(Soerjono Soekanto: 194; 2001)
Tetapi belakangan, kegiatan seks justru ada kecenderungan perubahan
pandangan segelintir masyarakat terhadap ikatan pernikahan. Mereka
menganggap ikatan suci pernikahan bukan menjadi hukum pasti seseorang
boleh berhubungan seks atau tidak. Kecenderungan ini mengakibatkan
seseorang akan melakukan kegiatan seks tetapi tidak dalam batas sudah
terikat ikatan pernikahan, atau diluar nikah. Kecenderungan terjadinya
kegiatan seks bebas adalah adanya perubahan pandangan masyarakat atas
pernikahan. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai institusi yang sakral atau
sebagaimana fungsi prokerasi tetapi mulai mengarah pada fungsi rekreasi.
Seks bebas adalah paham dimana seseorang boleh atau mau
melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang dia mau atas dasar suka
sama suka. Kegiatan seks ini adalah bentuk hubungan seksualitas yang
dilakukan tanpa adanya suatu ikatan hubungan dengan berdasar suka sama
suka atau dunia prostitusi. Seks bebas, disini adalah bebas dari
perasaan-perasaan yang akan membebani bila kita melakukannya dalam keterikatan,
entah keterikatan pernikahan atau keterikatan dalam hal cinta pada umumnya.
Bahwa seks bebas berarti anda dapat melakukan hubungan dengan seseorang
yang anda suka dan orang tersebut juga mau lalu bisa mengobrol pada
keesokan harinya tanpa ada perasaan bersalah dan rasa terikat yang biasa
akan terjadi pada hubungan seks yang biasa. Hubungan seks biasa adalah
hubungan seks yang terikat oleh rasa tanggung jawab terhadap lawan jenis.
Seks bebas dilakukan dengan segala kenikmatan dan keindahan seks itu
sendiri tanpa dibebani oleh omong kosong tanpa cinta, tanggung jawab, dan
segala intrik yang digunakan rekan kita untuk mengikat kita.
Sistem sosial kita telah mengalami banyak pergeseran nilai, termasuk
dalam masalah seksualitas. Menurut psikolog UKSW, Jimmy E Kurniawan
bahwa keluarga, sekolah, maupun pemuka agama harus ikut bertanggung
jawab atas terjadinya fenomena ini. Tetapi pengaruh media massa pengusung
berhala syahwat lah yang paling besar andilnya dalam merangsang tingginya
angka seks bebas. Menurut data yang dimiliki Komnas Hak Asasi manusia
dan Perlindungan anak tahun 2009 menunjukkan 20%-31% remaja dan
yang dilakukan BKKBN dan Annisa Faundation tahun 2009-2010
menyebutkan dari beberapa kota besar di Indonesia meliputi Jakarta,
Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Bali, dan Medan sebanyak 63% telah
melakukan hubungan seks pra-nikah. Hubungan seks tersebut tidak hanya
dilakukan dengan pacar, melainkan pada teman pekerja sek. Perbuatan ini
paling banyak dilakukan di dalam rumah sendiri, hotel, maupun losmen.
(http://id.detik.com//penelitian seks bebas.org)
Maka dari itu sekarang ini seks menjadi salah satu hal yang paling
banyak menjadi topik pembicaraan. Baik dari segi pendidikan dini, dari segi
pengetahuan kesehatannya, maupun tentang bahaya dari kegiatan seks yang
tidak wajar. Pembicaraan-pembicaraan seperti ini bias ditemukan mulai dari
lingkungan keluarga, masyarakat, sampai wacana di media massa.
Media massa sebagai hasil konstruksi sosial cenderung menjadi fungsi
dari kekuasaan. Selama ini media menempatkan seks hanya sebagai aspek
yang terlalu tabu untuk dibicarakan secara luas yang seharusnya diterima
begitu saja atau taken for granted pada waktunya. Hal ini merupakan
hegemoni dari system yang membuat pengetahuan masyarakat tidak bisa di
komunikasikan satu sama lain terhadap hal yang dianggap tabu padahal
penting artinya untuk kehidupan dan tingkat pengetahuan masa mendatang.
Maka dari itu media massa mempunyai peran dalam pentingnya menyebarkan
Media massa mencakup pencarian pesan dan makna-makna, seperti
halnya studi komunikasi, adalah proses mempelajari media adalah
mempelajari makna. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak.
(Sobur, 2004:110)
Media cetak pada umumnya memiliki tiga fungsi utama memberikan
informasi, sesuai dengan karakteristiknya media cetak khususnya yang
berbentuk buku merupakan medium yang memiliki kualitas permanen karena
biasa dipakai untuk mentransmisikan warisan sosial dari suatu generasi ke
generasi lainnya. Sebagai salah satu bentuk komunikasi melalui tulisan,
media yang berupa buku memiliki kemampuan studi, pengetahuan, hobi, atau
hiburan dengan penyajian mendalam yang sangat ditemukan pada media lain.
(Effendy, 1990:23)
Salah satu bentuk dari media massa khususnya media cetak itu sendiri
adalah novel. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif
biasanya dalam bentuk cerita. Novel lebih panjang setidaknya 40.000 kata
dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan structural dan
metrical sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang
tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan
menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel
merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra, sama seperti media
cetak lainnya, novel juga memberikan informasi pada pembacanya. Selain itu
novel juga berfungsi sebagai media hiburan dan juga menghibur dan persuasi
Sastra ialah karya tulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
orisinalitas, artistic, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam dunia
sastra, kosakata yang digunakan seringkali tidak dapat dibedakan dari
kosakata bahasa sehari-hari. Bahkan banyak sastrawan yang memanfaatkan
kosakata sehari-hari dalam karya ciptanya. Tetapi dengan memberinya makna
yang lebih luas. Dalam sastra, bahasa tidak hanya digunakan untuk
mengungkapkan, baik pengalaman sastrawan itu sendiri maupun orang lain,
tetapi juga dipakai untuk menyatakan hasil rekamannya. Kata-kata atau idiom
seperti yang biasanya kita jumpai dalam bahasa di luar sastra, ternyata
mampu memberikan kenikmatan dan keharuan, disamping adanya makna
ganda, selain ada makna yang tersurat juga terkandung makna tersirat. Makna
yang tersirat itu sering berfungsi sebagai pesan utama pengarang.
Banyak sekali novel yang muncul saat ini memperkenalkan tema yang
sama, namun dengan kemasan dan permasalahan yang lebih menarik dan
bervariasi. Salah satu permasalahan yang cukup menyita perhatian
masyarakat khususnya penulis novel adalah permasalahan kehidupan seks
bebas. Memang tidak semua penulis berani untuk mengangkat tentang
fenomena seksualitas khususnya kehidupan seks bebas.
Penulis yang kreatif di bidang sastra seperti fiksi, drama, puisi, dan
biografi memiliki sejumlah pengalaman yang disampaikan kepada para
pembaca. Sastrawan atau pengarang ingin agar pembaca dapat merasakan apa
yang telah dirasakannya. Ia ingin pembaca dapat memahami dan menghayati
Ia mengundang pembaca memasuki pengalaman nyata dan dunia
imajinatifnya, yang diperoleh melalui pengalaman inderanya yang paling
dalam. Pengalaman batin seorang pengarang dapat dikatakan suatu karya
sastra jika didalamnya tercermin keserasian antara keindahan bentuk dan isi.
Dalam karya ini terungkap norma estetik, norma sastra, dan norma moral.
Upaya apa yang harus kita lakukan dalam memahami karya sastra itu dengan
membaca karya sastxa berarti berusaha menyelami “diri” pengarangnya.
(http://id.wiki dia.org/wiki/Sastra)
Salah satu fungsi media massa terutama media cetak adalah sebagai
institusi sosial. Buku sebagai salah satu media cetak, efektif dalam
melukiskan realitas sosial. Buku, khususnya novel merupakan sebuah karya
fiksi sastra yang menawarkan Novel, adalah satu bentuk karangan yang
berbentuk buku. Budaya membaca yang akhir-akhir ini disosialisasikan oleh
pemerintah maupun beberapa lembaga atau kalangan dengan tujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, telah memicu semangat beberapa penulis
buku, novel untuk lebih giat menulis sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersifat kognisi dari si penulis maupun beberapa ilmu
pengetahuan yang ada dalam buku tersebut dapat ditransformasikan kepada
pembaca. Melalui novel penulis mempunyai gagasan, ide, pengaruh, dan
mempertukarkan makna. Sedangkan persepsi, pikiran, atau perasaan yang
dialami oleh seseorang yang pada gilirannya akan dikomunikasikan kepada
Banyak novel yang berkembang saat ini memperkenalkan tema yang
sama, namun dengan kemasan dan permasalahan yang lebih menarik dan
bervariasi. Salah satu tema yang cukup menarik minat pembaca adalah tema
seks bebas. Meskipun mengikuti mainstream seks bebas, novel “Swastika”
mencoba menggambarkan kehidupan seks bebas dari seorang mahasiswi
tetapi dengan cara pandang dan alasan yang berbeda dari buku lainnya yang
sama-sama mengangkat tema serupa. Dimana biasanya tema seks
menggambarkan kehidupan yang glamour yang identik dengan kehidupan
malam, atau identik dengan dunia prostitusi, di dalam novel ini justru
mengungkap sisi lain yang menyebabkan tokoh utama terjebak ke kehidupan
seks bebas.
Itulah cerita yang ingin dikomunikasikan sebuah novel berjudul
“Swastika” kepada pembacanya. Dengan mengusung gaya bahasa yang jujur,
santai, lugas Maya Wulan telah dapat menggambarkan rumitnya kehidupan
seseorang yang terjebak dalam kehidupan seks bebas dengan sangat baik.
Bagi Tokoh utama novel ini Swastika dia digambarkan sebagai gadis
yang dilahirkan di luar rencana. Sebagai akibat ini, ditambah pula dengan
sikap otoriter orang tua serta kakak-kakaknya, mau tidak mau jiwa gadis ini
menjadi bermasalah. Dia jadi pemberontak, namun tidak siap untuk
menerima akibat pemberontakannya sendiri. Dalam mencari jati diri gadis
bernama Swastika yang digambarkan merantau untuk menuntut ilmu di kota
Jogja. Di kota Jogja ini, mulai melakukan pemberontakan dengan tidak
Awal dari Swastika mulai terjebak dunia seks bebas digambarkan
dengan ia merasakan jatuh cinta kepada sesama jenis. Swastika merasakan
jatuh cinta terhadap sahabatnya sendiri, Silla. Tetapi dia sendiri tidak yakin
apakah benar dia menyukai sesama jenis. Maka untuk pelarian dan
mengingkari rasa suka pada sejenis maka dia berusaha mencari yang dapat
membantunya menghapus perasaan terhadap sesama jenis, yaitu Swastika
mulai berhubungan dengan lawan jenis. Karena di dukung lingkungan
pergaulan yang bebas di kalangan senimannya serta ketidakyakinan Swastika
terhadap perasaannya, Dia yang awalnya berharap bisa menghilangkan rasa
suka terhadap sejenis jika berhubungan dengan lawan jenis. Tetapi justru
dengan masuknya dia ke dunia seniman dan mencoba berhubungan dengan
lawan jenis ini membuat Swastika tenggelam ke dunia pemuja kebebasan. Di
dunia kebebasannya dia mengenal rokok, alkohol, bahkan dunia seks bebas.
Swastika merasa berhak untuk melakukan apa yang dia suka. Yang
diawali dengan hanya coba-coba tetapi justru membuat Swastika ketagihan
dan justru terjerumus semakin dalam ke dunia kebebasannya. Dalam novel ini
peneliti tertarik untuk meneliti novel “swastika. Karena dianggap cukup
menarik jika dibahas dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi,
karena komunikasi pada dasarnya merupakan interaksi antar pribadi yang
menggunakan system simbolik linguistic, misalnya meliputi verbal, kata-kata
paraverbal, dan non verbal. Sistem itu dapat disosialisasikan secara langsung
Dari latar belakang permasalahan diatas, akhirnya peneliti mengambil
Judul “Representasi Kehidupan Seks Bebas Dalam Novel Maya Wulan
Berjudul SWASTIKA”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimanakah representasi kehidupan seks bebas dalam novel
Swastika karya Maya Wulan ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi
kehidupan seks bebas dalam novel Swastika karya Maya Wulan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi seseorang.
Bahwa sebenarnya seks bebas bukan menjadi alasan bagi rasa putus asa
yang pada akhirnya akan teramat sangat merugikan dirinya di masa depan
membuat peneliti merasa penting untuk mengetahui penggambaran efek
buruk seks bebas yang di representasikan dalam novel Maya Wulan
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan
kesadaran tentang bahaya kehidupan seks bebas khusunya i* kaum muda.
16 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Karya Sastra Novel Sebagai Media Komunikasi Massa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel merupakan hasil
karya naratif dan fiksi yang bukan menyajikan kenyataan di dunia ini
tetapi perlambang atau model dari kenyataan itu, wujud dari perlambangan
itu berupa kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi sekaligus untuk
merasakan dan berfikir tentang realitas yang tergantikan oleh kata-kata
tersebut.
Dalam suatu karya sastra, hubungan antara pengarang dan pembaca
mesti dipahami dengan hubungan yang bermakna, sebagai pola-pola
hubungan yang terbuka dan produktif dengan implikasi sosial, bukan
kausalitas yang berbentuk tunggal dan linier. Karya sastra khususnya
novel, dengan peralatan formalnya makin lama dirasakan sebagai aktifitas
yang benar-benar memiliki fungsi integral dalam struktur sosial (Ratna,
2003:134).
Menurut Duncan dalam Ratna (2003:143) karya sastra sebagai
proses komunikasi menyediakan pemahaman yang sangat luas. Dalam
karya sastra terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, karena karya
2.1.2 Karya sastra
Karya sastra adalah sebuah karya tulis yang memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti orisinalitas, artistik, serta keindahan dalam isi dan
ungkapannya. Dalam bentuk kosakata yang digunakan seringkali tidak
dapat dibedakan dari kosakata bahasa sehari-hari. Bahkan banyak
sastrawan yang memanfaatkan kosakata sehari-hari dalam karya ciptanya.
Tetapi dengan memberinya makna yang lebih luas.
Dalam sastra, bahasa tidak hanya digunakan untuk
mengungkapkan, baik pengalaman sastrawan itu sendiri maupun orang
lain, tetapi juga dipakai untuk menyatakan hasil rekamannya. Kata-kata
atau idiom seperti yang biasanya kita jumpai dalam bahasa di luar sastra,
ternyata mampu memberikan kenikmatan dan keharuan, disamping adanya
makna ganda, selain ada makna yang tersurat juga terkandung makna.
tersirat. Makna yang tersirat itu sering berfungsi sebagai pesan utama
pengarang.
2.1.3 Novel
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif
biasanya dalam bentuk cerita. Novel merupakan hasil karya naratif dan
fiksi yang bukan menyajikan kenyataan di dunia ini tetapi perlambang atau
model dari kenyataan itu, wujud dari perlambangan itu berupa kata-kata
yang digunakan untuk berkomunikasi sekaligus untuk merasakan dan
lebih panjang setidaknya 40.000 kata dan lebih kompleks dari cerpen, dan
tidak dibatasi keterbatasan structural dan metrical sandiwara atau sajak.
Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan
mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada
sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut.
Novel merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra, sama
seperti media cetak lainnya, novel juga memberikan informasi pada
pembacanya. Selain itu novel juga berfungsi sebagai media hiburan dan
juga menghibur dan persuasi atau mampu mempengaruhi pembacanya.
(http://id.wikipedia.org/wiki/novel)
Dalam arti umum novel diartikan sebagai bentuk karya sastra,
novel merupakan struktur yang bermakna, novel tidak sekedar serangkaian
tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur
pikiran tersusun.
Isi pesan novel menjadi penting jika berkaitan dengan fungsi novel
yang dikemukakan Culler, yaitu novel merupakan wacana yang
didalamnya dan masyarakat mengartikulasikan dunia lewat novel itu
sendiri. Didalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui
aktivitas pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia
sosial, model-model personalitas individual, model hubungan dengan
masyarakat, dan lebih penting lagi, model signifikasi dari aspek dunia
2.1.4 Representasi
Chris Barker menyebutkan bahwa Representasi merupakan kajian
utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai
bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita
dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural Studies memfokuskan
diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. (Barker:
2006:9)
Representasi adalah elemen-elemen yang ditandakan secara teknis.
Dalam bahasa tulis seperti proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan
sebagainya. Elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode
representasional yang memasukkan diantara bagaimana objek
digambarkan : Karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya (Eriyanto:
2005;15)
Menurut Stuart hall (1997), representasi merupakan salah satu
praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan
konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”.
Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika
manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi
kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara bahasa yang sama, dan saling
berbagi konsep-konsep yang sama.
(http://kunci.or.id/esailnws/04/representasi.htm)
Ada dua proses representasi, Pertama representasi mental dan
“sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual),
representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak.
Kedua, adalah representasi bahasa yaitu yang berperan penting
dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala
kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dan
simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk
memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi
antara sesuatu dengan system “peta konseptual' dengan bahasa atau
symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang
sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual”, dan “bahasa/symbol”
adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang
menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang
dinamakan representasi.
Konsep representasi bias berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan
baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah ada.
Intinya adalah ia selalu dikonstruksikan diproduksi lewat representasi. la
adalah hasil dari praktek penandaan, praktek yang membuat sesuatu hal
mempunyai suatu makna.
Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana
seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan
dalam pemberitaan. Jadi persoalan utama dalam representasi adalah
2.1.5 Perilaku
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku adalah tindakan,
cara seseorang, tanggapan atau reaksi seseorang terhadap sebuah situasi
yang diakibatkan oleh rangsangan atau lingkungan yang berakibat pada
tindakan kesehariannya. Dalam hal ini adalah cara hidup, pola pikir, cara
pandang dan gaya sehari-hari dalam hidup. Intinya perilaku adalah
fenomena atau perwujudan adanya hidup, yaitu keadaan yang
membedakan satu organism (makhluk hidup) satu sama lain.
(http://id.wikipedia.or wiki/perilaku)
2.1.6 Seks dan Seks Bebas
Kata kata seks berasal dari bahas latin “secare' yang mempunyai
arti terbelah. Dengan demikian seks adalah sesuatu yang membelah
manusia menjadi dua : pria dan wanita (Subiyanto, 2005:20).
Seks bebas adalah melakukan hubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan baik sesame jenis maupun dengan lawan jenis. Seks bebas
merupakan tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang
ditunjukan dengan tingkah laku. Faktor yang menyebabkan seks bebas
dikarenakan adanya pertentangan dari lawan jenis, adanya tekanan dari
keluarga atau teman. Dari tahun ke tahun data remaja dan mahasiswa yang
melakukan hubungan seks bebas semakin meningkat, dari 5% di tahun
Berdasar hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) pada tahun 2009 di tiga kota yaitu Bandung, Surabaya, dan
Jakarta. Hasilnya menyatakan bahwa sebanyak 85% remaja berusia 15-20
tahun mengaku telah melakukan hubungan seks dengan pacar mereka
Ironisnya, menurut direktur Eksekutif PKBI Inne Silvianne,
hubungan seks itu dilakukan di rumah sendiri tempat mereka berlindung.
Sebanyak 5% dari kalangan remaja itu mengaku menonton media
pornografi, diantaranya VCD dan video-video porno. Dari penelitian ini
pila diketahui bahwa 52% saja yang memahami bagaimana kehamilan bisa
terjadi.
Hubungan seks di luar nikah itu umumnya dilakukan responden
dengan dasar suka sama suka. Hanya sekitar 9% yang melakukan dengan
dasar ekonomi. Yang paling memprihatinkan adalah, 90% dari seluruh
responden menyatakan paham nilai agama dan tahu arti dosa. Menurut
data yang dimiliki Komnas Hak Asasi manusia dan Perlindungan anak
tahun 2009 menunjukkan 20-31% remaja dan mahasiswa di Indonesia
pernah melakukan free seks. Sedangkan hasil survei yang dilakukan
BKKBN dan Annisa Faundation tahun 2009-2010 menyebutkan dari
beberapa kota besar di Indonesia meliputi Jakarta, Bandung, Surabaya,
Jogjakarta, Bali, dan Medan sebanyak 63% telah melakukan hubungan
seks pra-nikah. Hubungan seks tersebut tidak hanya dilakukan dengan
Kata seks bebas dibuat agar jelas bahwa semua penganutnya bebas
untuk memilih pasangannya. Bisa berganti pasangan kapanpun mereka
mau, tanpa terikat suatu pernikahan. Seks bebas, disini adalah bebas dari
perasaan-perasaan yang akan membebani bila kita melakukannya dalam
keterikatan, entah keterikatan pernikahan atau keterikatan dalam hal cinta
pada umumnya.
Bahwa seks bebas berarti anda dapat melakukan hubungan dengan
seseorang yang anda suka dan orang tersebut juga mau lalu bisa
mengobrol pada keesokan harinya tanpa ada perasaan bersalah dan rasa
terikat yang biasa akan terjadi pada hubungan seks yang biasa. Hubungan
seks biasa adalah hubungan seks yang terikat oleh rasa tanggung jawab
terhadap lawan jenis. Seks bebas dilakukan dengan segala kenikmatan dan
keindahan seks itu sendiri tanpa dibebani oleh omong kosong tanpa cinta,
tanggung jawab, dan segala intrik yang digunakan rekan kita untuk
mengikat kita.
2.1.7 Semiologi
Semiologi atau semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai
dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah
manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes,
semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya
membaca informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
(Barthes, 1998:179)
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna
(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda
(Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat
teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan
bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda
disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk pada semiotika.
Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skoalstik
atas seni logika, retorika dan poetika. Akar namaya sendiri adalah
“Semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau
asklepiadik dengan perhatiannya pada smptomatologi dan diagnostik
inferensial.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan
bersama-sama manusia (Sobur,2004;15)
Semiologi adalah ilmu tentang bentuk-bentuk, karena hal itu
mempelajari pertandaan terlepas dari kandungannya (Barthes, 2007:299)
yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat dan dengan
demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah
untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta
kaidah-kaidah yang mengaturnya (Sobur, 2004:12)
Sejak kemunculan Saussure dan Pierce maka semiologi menitik
beratkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan
dengannya. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan
meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran
logis) dan Saussure menekankan pada linguistik, pada kenyataannya
semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam
system tanda non-linguistik. Sementara itu, bagi Barthes (1988:179)
semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memakai hal-hal (things). (Kurniawan, 2001;153)
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya
tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.
Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut
sebagai system pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diatas system
lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas
system pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai
system pertama. System kedua ini, oleh Barthes disebut dengan konotatif,
yang di dalam mythologies nya secara tegas dibedakan dari denotative
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.
3. Denotative sign (tanda Denotatif)
4. Conotative signifier
(Penanda konotatif)
5. Conotative signified
(petanda konotatif)
6. Conotative sign (Tanda konotatif)
Gambar 2.1 Peta Roland Barthes
Dari peta diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2) akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut
merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “singa”,
barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi
mungkin (Cobley dan Jansz, 1995;51).
Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang
sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti
pada penandaan dalam tataran denotatif.
Pada dasarnya , ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh
harfiah, makna yang “sesungguhnya,” bahkan kadang kala juga
dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara
tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada
penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.
Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya,
denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan
dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi
politis. Sebagai reaksi paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang
bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya.
Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin
terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas
kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat
alamiah (Budiman, 1992:22).
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
tanda tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang melandasi keberadaannya. Konotasi identik dengan operasi ideology,
yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai dominasi dalam suatu periode tertentu
(Sobur,2004:69-71)
Mitos, menurut Barthes (1993:109), adalah sebuah sistem
komunikasi yang dengan demikian dia adalah suatu pesan. Mitos
ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk.
Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya.
Suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila
tidak hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah
rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu
sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka teks tersebut
dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan
bacaan tertentu. Leksia dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat,
beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau beberapa paragraph.
(Kurniawan, 2001:93)
Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode sebagai sistem
makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda, menurut Barthes
terdiri atas lima jenis : kode hermeneutic (kode teka-teki), Kode semik
(Makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (Logika tindakan), dan
kode gnomik atau cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan
tertentu. (Lechte. 2001:1996)
Pertama, Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada
harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang
muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama
dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara
pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian dalam cerita.
Kedua, Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan sisi. Dalam
konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip.
Ketiga, kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang
paling khas bersifat structural, atau tepatnya menurut konsep Barthes,
pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna yang
berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam proses
produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui
proses.
Keempat, kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya
sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Antara lain semua
teks yang bersifat naratif.
Kelima, kode gnomic atau cultural yang jumlahnya banyak. Kode
ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan
dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional di definisi
oleh acuan kepada apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau
sub budaya yang diatasnya para penulis bertumpu. (Sobur, 2004:66)
Tujuan analisis barthes ini, , bukan hanya untuk membangun suatu
system klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih
banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal,
rincian paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik, merupakan
Semiologi, bagaimanapun sejauh ini tetap sebuah metode untuk
mendekati kebudayaan dalam beragam bentuk.
2.2 Kerangka Berpikir
Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam
memaknai suatu obyek atau peristiwa. Hal ini dikarenakan latar belakang
pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pada tiap individu
tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini
pesan disampaikan melalui teks novel, maka seorang penulis novel dalam
menyampaikan pesan yang dituliskan dalam bukunya berdasar
pengalaman dan pengetahuannya. Dua hal diatas ini juga yang nantinya
akan mempengaruhi peneliti dalam memaknai pesan yang terdapat dalam
teks novel tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemaknaan terhadap
tanda dan lambang dalam tulisan pada novel MAYA WULAN yang
berjudul SWASTIKA. Dalam merepresentasikannya menggunakan
metode semiologi Rolan Barthes, dengan menggunakan leksia, dan lima
kode pembacaan. Representasi kehidupan seks bebas yang terdapat pada
novel Maya Wulan berjudul SWASTIKA akan diinterpretasikan melalui
tahap pemaknaan.
Novel SWASTIKA akan dipilah penanda-penandanya ke dalam
serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut leksia atau satuan
kode-kode pembaca yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut
meliputi kode hermeneutik, Kode semik, kode simbolik, Kode proaretik,
Kode cultural.
Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat,
beberapa kalimat, atau beberapa paragraf. Dengan demikian pada akhirnya
peneliti akan menghasilkan interpresati yang mendalam dan tidak dangkal.
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Novel:
SWASTIKA
Analisis
Menggunakan
Metode Semiologi
Roland Barthes
Hasil Intepretasi
32 3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Dengan menggunakan metode penelitian
semiologi yang bersifat kualitatif, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana representasi kehidupan seks bebas dalam novel
Maya Wulan berjudul SWASTIKA.
Definisi kualitatif menurut Bogan dan Taylor (1975:5) sebagai
prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Kirk dan
Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya
maupun dalam peristilahannya. (Moleong,2006:4)
Sedangkan analisis semiologi merupakan analisis mengenai tanda
dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya hubungan
dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya untuk mereka
yang menggunakan latar alamiah, yang bermaksud untuk menafsirkan
fenomena yang terjadi.
Penelitian yang menggunakan naturalistic untuk mencari dan
latar yang berkonteks khusus. Dalam penelitian kualitatif metode yang
biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan
dokumen.
3.2 Kerangka Konseptual 3.2.1 Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah kehidupan seks
bebas yang merupakan permasalahan yang diambil dari novel Maya
Wulan berjudul SWASTIKA sebagai bahan penelitian.
3.2.1.1 Perilaku
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku adalah
tindakan, cara seseorang, tanggapan atau reaksi seseorang terhadap
sebuah situasi yang diakibatkan oleh rangsangan atau lingkungan
yang berakibat pada tindakan kesehariannya. Dalam hal ini adalah
cara hidup, pola pikir, cara pandang dan gaya sehari-hari dalam
hidup. Intinya perilaku adalah fenomena atau perwujudan adanya
hidup, yaitu keadaan yang membedakan satu organism (mahluk
3.2.1.2 Seks Bebas
Seks bebas adalah melakukan hubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan baik sesame jenis maupun dengan lawan
jenis. Seks bebas merupakan tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual yang ditunjukan dengan tingkah laku. Seks bebas
sama dengan seks yang murni, j adi seks itu bias berarti hubungan
seks yang bebas, bebas dari perasaan-perasaan yang akan
membebani bila kita melakukannya dalam keterikatan, entah
keterikatan pernikahan atau keterikatan dalam hal cinta pada
umumnya. Bahwa seks bebas berarti anda dapat melakukan
hubungan dengan seseorang yang anda suka dan orang tersebut
juga mau lalu bisa mengobrol pada keesokan harinya tanpa ada
perasaan bersalah dan rasa terikat yang biasa akan terjadi pada
hubungan seks yang biasa
3.2.2 Corpus
Dalam penelitian kualitatif perlu adanya suatu pembahasan
masalah yang disebut sebagai corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan
terbatas yang ditentukan pada perkembangan oleh analisis kesemenaan.
Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa
unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan
yang lengkap. Corpus juga bersifat se homogen mungkin.
Corpus pada penelitian ini adalah leksia-leksia dalam teks novel
Maya Wulan berjudul SWASTIKA.
Corpus pada penelitian ini adalah leksia-leksia dalam teks novel
“SWASTIKA. Leksia yang menunjukkan unsur perilaku seks bebas
diantaranya adalah;
1. Aku lupa siapa yang pertama kali mengulum bibirku (hal 53)
2. Aku lupa lelaki mana yang pertama kali melihat telanjang dadaku, juga
dua payudara ku. Entah siapa pula orang pertama yang berhasil menggigit
halus dua gunung sintal dadaku ini (hal 53)
3. Aku lupa karena terlalu cukup banyak lelaki yang menyinggahi dermaga
tubuhku, menikmati ranum buah dadaku (hal 53)
4. Ya, aku mulai mengenal sebuah persetubuhan antar manusia, bercinta,
bersetubuh, berzina (hal 68)
5. Di beberapa kota yang ku kunjungi, aku menjalin hubungan dengan para
lelaki yang aku kenal. Yang aku anggap menarik (hal 70)
6. Aku bersetubuh dengan para lelakiku, banyak lelaki, terlalu banyak (hal
71)
7. Aku selalu merindukan sebuah sentuhan percintaan dengan para lelaki ku
(hal. 74)
9. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dari semua percintaanku. Ranjang
ini, malam ini, seolah menjelma piring lebar yang menampung tubuhku.
(hal 90)
10.Malam berbeda, lelaki berbeda (hal 90)
11.Lelaki baru, kuinginkan pengalaman baru (hal 91)
12.Setiap lelaki yang hadir adalah cenderamata bagi perjalananku,
petualanganku, mereka adalah kenangan (hal 91)
13.Bukan malam kemarin, bukan lelaki kemarin (hal 92)
14.Semisal lukisan yang terlahir dari sela-sela jemari ini, penuh warna.
Perjalananku tak hanya dengan satu dua lelaki…(hal 92)
15.Dengan lelaki kesekian. Entah keberapa, aku tak ingat, kupikir rak perlu
diingat (hal 99)
16.Ah, sebegitu pentingkah keperawanan seorang perempuan? Begitu pentingkah selaput
dara? Apa bedanya perawan dan tidak perawan? (hal 126)
17. Buktinya para lelaki yang telah tidur dan bergumul denganku, tidak ada
yang protes tentang diriku yang sudah tidak perawan (hal 126)
18. Kamu tak pernah tahu apakah untuk menikah, para lelaki itu memang
tidak mempersoalkan sebuah keperawanan dari calon istrinya. Kalian
hanya bersenang-senang, Swastika. Bukan menikah. (hal 126)
20.Aku suka bercinta. Dengan laki.laki (hal 147)
21.Seperti yang kurasakan ketika bercinta dengan para lelaki-lelaki ku. Apa
yang akan ‘memasuki’ ku ? (hal 148)
22.Bahwa aku bercinta demi membuang kelesbianan ku. Meski lama
kelamaan aku juga menjadi seperti ketagihan. Untuk bercinta dan bercinta
lagi. Lagi dan lagi. (hal 148)
23.Sila, aku telah begitu terlena dengan dunia ciptaan ku sendiri. Dunia
kebebasan. Dimana aku bias bercinta, mabuk, merokok, memuji dan
memaki. (hal 149)
24.Aku suka lelaki yang kuat. Yang bisa mengalahkan ku di tempat tidur.
Tapi, aku bukan pelacur. Apalagi perempuan sundal. (hal 150)
25.Aku masih suka bercinta. Tapi, aku hanya melakukannya dengan lelaki
yang pernah bercinta denganku sebelum ini (hal 154)
26.Kalau aku jadi begini, suka ‘bermain’ dengan beberapa lelaki, itu karena
aku tak mau jadi lesbian (hal 158)
27.Kalau boleh jujur, aku malah mencintai salah dua dari lelaki yang pernah
tidur denganku. Tapi mungkin itu karena hasrat. Dan, aku terlanjur
28.Lagi pula, aku tak pernah bermaksud menjadikan salah satu dari lelaki
yang pernah tidur denganku itu, menjalin hubungan serius denganku. (hal
162)
3.2.3 Unit Analisis
Penelitisn ini menggunakan leksia Roland Barthes sebagai unit
analisis. Leksia merupakan satuan bacaan. Leksia ini dapat berupa
beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau
beberapa paragraph dari teks novel Maya Wulan berjudul SWASTIKA
yang menyiratkan kehidupan seks bebas sesuai dengan subyek penelitian.
Penelitian ini tidak menggunakan sintagmata paradigm sebagai unit
analisis karena naratif structural yang ditawarkan roland barthes lebih
mempermudah untuk menganalisis teks.
3.3 Tehnik Pengumpulan data
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
bagian yaitu :
a. Data Primer
Yaitu data teks novel SWASTIKA, pemelitian-penelitian
sebelumnya, buku-buku yang berkaitan dengan semiotika tentang
kehidupan seks bebas. Data primer ini membantu peneliti dalam
b. Data sekunder
Yaitu pernyataan dari penulis novel serta berbagai pengertian
mengenai kehidupan seks bebas dan semiologi yang didapat dari
berbagai sumber. Data sekunder tersebut membantu peneliti dalam
memahami latar belakang penulis novel SWASTIKA dan
permasalahannya.
3.4 Tehnik Analisis Data
Untuk dapat menganalisis seluruh data yang ada didalam novel
SWASTIKA, maka peneliti akan membagi dalam beberapa langkah
teknisnya dengan tujuan untuk memudahkan penganalisisan secara
semiologi. Langkah -langkah ini merupakan pengembangan dari Roland
Barthes dalam membaca semiologi teks tertulis.
Berikut ini peneliti akan menjelaskan beberapa langkah yang akan
ditempuh, yaitu :
1. Peneliti menggunakan semiologi Roland Barthes, yaitu
mengumpulkan seluruh unit analisis yang berupa leksia atau bacaan
tertentu berdasar penilaian atas teks novel SWASTIKA yang layak
dan sesuai untuk dijadikan subyek penelitian
2. Peneliti kemudian membagi semua leksia yang terkumpul tersebut
dalam aspek semiologi yang dianjurkan oleh Saussure yang juga
dianut dalam semiologi Roland Barthes, yaitu aspek material dan
Barthes dianggap sebagai tanda (sign). Aspek material tersebut adalah
teks tertulis dalam novel SWASTIKA yang terdapat pada leksia,
sedangkan aspek konseptual adalah gambaran yang muncul pada
peneliti ketika membaca. aspek material pada leksia tersebut.
3. Peneliti juga akan menganalisa secara semiologi teks Roland barthes
dengan mengemukakan kode-kode pokok (kode hermeneutik, kode
semik, kode simbolik, kode proaretik, kode gnomic, kode cultural) di
dalam leksia tersebut. Melalui kode-kode pembacaan ini peneliti akan
mengemukakan tanda-tanda dan kode yang menghasilkan makna.
4. Langkah-langkah diatas akan memberikan kesimpulan bagaimana
representasi kehidupan seks bebas dalam novel Maya Wulan berjudul
41 4.1 Gambaran Obyek Penelitian
Profesi sebagai penulis novel harus memiliki pemikiran yang kuat dalam
menulis karangannya. Karya novel dapat dihasilkan penulis berdasarkan imajinasinya, kejadian disekitarnya, dan dapat berdasarkan tentang
pengalaman pribadi. Hal ini pula yang dilakukan oleh Maya Wulan, karya novel yang dibuat ini berdasarkan dengan cerita yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Karya novel ini secara umum menceritakan tentang kisah
pencarian jati diri dari tokoh utamanya. Hanya saja, karena dengan cara yang salah sehingga si tokoh utama menjadi tersesat di kehidupan seks bebas.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang tokoh wanita utama yang bernama Swastika. Swastika digambarkan lahir di keluarga agamis yang berdomosili di Kota Sumenep,Madura. Swastika tipe pribadi yang
pemberontak diantara kedua kakak-kakaknya. Swastika adalah anak perempuan satu-satunya dari seorang tokoh yang di hormati di kampungnya.
Ayahnya digambarkan sebagai figur yang keras terhadap anak-anaknya, termasuk masalah pendidikan. Pemberontakan swastika dimulai saat dia diminta untuk masuk ke pesantren oleh ayahnya. Swastika menolak,
pribadi yang bebas, merdeka, dan mandiri. Dan itu tidak akan bisa ditemukannya jika dia masuk ke pesantren.
Akhirnya Swastika memutuskan kabur dari rumah, agar diijinkan untuk memilih kuliah di Jogjakarta. Swastika lari ke rumah sahabatnya, Silla Drupadi. Setelah seminggu melarikan diri, akhirnya Swastika mendapat ijin
untuk bisa kuliah di Jogjakarta bersama Silla. Tapi justru ijin untuk kuliah di Jogjakarta inilah salah satu penyebab swastika terjerumus ke kehidupan Seks
bebas. Selama proses belajar di Jogjakarta, swastika akrab dengan silla. Tetapi keakraban ini menimbulkan satu rasa yang aneh di dalam diri swastika. Bukan lagi rasa sayang sebagai sahabat yang muncul terhadap silla.
Tetapi muncul rasa cinta terhadap silla, layaknya seseorang yang mencintai lawan jenis. Swastika galau, Swastika bingung, swastika takut kehilangan
sahabatnya jika dia jujur terhadap silla. Dia takut jika dia benar-benar seorang lesbian.
Diantara kebingunngannya, Swastika dikenalkan ke dunia seniman.
Ternyata Swastika bisa menemukan dirinya yang sebenarnya ketika belajar menjadi seniman. Mulailah ditinggalkannya bangku kuliah. Masih dengan
perasaan bingung, Swastika mulai kenal kebebasan di dunia senimannya. Di lingkungan senimannya. Swastika mulai mengenal rokok, mulai mengenal alkohol, dan mulai kehidupan seks bebas. Kehidupan seks bebasnya ini
sebenarnya dilakukan agar dia bisa melupakan silla, melipakan rasa cinta nya terhadap silla. Maka Swastika berubah menjadi pelaku kehidupan seks bebas,
4.2 Penyajian dan analisis data.
4.2.1 Penyajian data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel karya Maya Wulan berjudul SWASTIKA. Dari pengamatan yang dilakukan terhadap
novel SWASTIKA maka hasil dari penelitian tersebut kemudian akan disajikan representasi novel SWASTIKA mengenai perilaku kehidupan
seks bebas.
Selanjutnya novel Swastika akan direpresentasikan dan dianalisis berdasar landasan teori Roland Barthes. Mendefinisikan tanda berdasar
aspek penanda (signifier), juga petanda (signified) denotatif serta pemaknaan tataran tingkat kedua yaitu aspek penanda (signifier) dan juga petanda (signified) konotatif. Untuk mengetahui realitas yang muncul
signification yang menghasilkan interpretasi secara keseluruhan.
Penyajian dalam data penelitian ini adalah 31 leksia yang terdapat dalam novel SWASTIKA karya Maya Wulan. Sesuai dengan korpus
penelitian dalam bab III, 31 leksia tersebut adalah :
1. Aku lupa siapa yang pertama kali mengulum bibirku (hal 53)
2. Aku lupa lelaki mana yang pertama kali melihat telanjang dadaku, juga dua payudara ku. Entah siapa pula orang pertama yang berhasil menggigit
3. Aku lupa karena terlalu cukup banyak lelaki yang menyinggahi dermaga tubuhku, menikmati ranum buah dadaku (hal 53)
4. Seandainya Amar ada di dekatku, dan selalu di dekatku, mungkin ia lelaki pertama yang menggerayangi keluasan tubuhku. (hal 62)
5. Entah siapa persisnya. Aku lupa. Karena terlalu banyak. Telah terlalu banyak lelaki.(hal. 63)
6. Ya, aku mulai mengenal sebuah persetubuhan antar manusia, bercinta,
bersetubuh, berzina (hal 68)
7. Di beberapa kota yang ku kunjungi, aku menjalin hubungan dengan para
lelaki yang aku kenal. Yang aku anggap menarik (hal 70)
8. Aku bersetubuh dengan para lelakiku, banyak lelaki, terlalu banyak (hal 71)
9. Aku selalu merindukan sebuah sentuhan percintaan dengan para lelaki ku (hal. 74)
10.Terlalu banyak lelaki yang menjelajahi lekuk tubuhku. (hal 83)
11.Di sela-sela keliaran lelaki ini menjelajahi tubuhku yang telanjang. Ia tampak senang mendengar eranganku. (hal 86)
12.Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dari semua percintaanku. Ranjang ini, malam ini, seolah menjelma piring lebar yang menampung
13.Malam berbeda, lelaki berbeda (hal 90)
14.Lelaki baru, kuinginkan pengalaman baru (hal 91)
15.Setiap lelaki yang hadir adalah cenderamata bagi perjalananku, petualanganku, mereka adalah kenangan (hal 91)
16.Bukan malam kemarin, bukan lelaki kemarin (hal 92)
17.Semisal lukisan yang terlahir dari sela-sela jemari ini, penuh warna. Perjalananku tak hanya dengan satu dua lelaki…(hal 92)
18.Dengan lelaki kesekian. Entah keberapa, aku tak ingat, kupikir rak perlu diingat (hal 99)
19.Ah, sebegitu pentingkah keperawanan seorang perempuan? Begitu pentingkah selaput dara? Apa bedanya perawan dan tidak perawan? (hal 126)
20. Buktinya para lelaki yang telah tidur dan bergumul denganku, tidak ada
yang protes tentang diriku yang sudah tidak perawan (hal 126)
21. Kamu tak pernah tahu apakah untuk menikah, para lelaki itu memang tidak mempersoalkan sebuah keperawanan dari calon istrinya. Kalian
hanya bersenang-senang, Swastika. Bukan menikah. (hal 126)
22.Aku hanya ingin mencintai dan bercinta dengan laki-laki (hal 146)
24.Seperti yang kurasakan ketika bercinta dengan para lelaki-lelaki ku. Apa yang akan ‘memasuki’ ku ? (hal 148)
25.Bahwa aku bercinta demi membuang kelesbianan ku. Meski lama kelamaan aku juga menjadi seperti ketagihan. Untuk bercinta dan bercinta
lagi. Lagi dan lagi. (hal 148)
26.Sila, aku telah begitu terlena dengan dunia ciptaan ku sendiri. Dunia kebebasan. Dimana aku bias bercinta, mabuk, merokok, memuji dan
memaki. (hal 149)
27.Aku suka lelaki yang kuat. Yang bisa mengalahkan ku di tempat tidur.
Tapi, aku bukan pelacur. Apalagi perempuan sundal. (hal 150)
28.Aku masih suka bercinta. Tapi, aku hanya melakukannya dengan lelaki yang pernah bercinta denganku sebelum ini (hal 154)
29.Kalau aku jadi begini, suka ‘bermain’ dengan beberapa lelaki, itu karena aku tak mau jadi lesbian (hal 158)
30.Kalau boleh jujur, aku malah mencintai salah dua dari lelaki yang pernah tidur denganku. Tapi mungkin itu karena hasrat. Dan, aku terlanjur menyukai permainan mereka di atas tempat tidur (hal 162)
31.Lagi pula, aku tak pernah bermaksud menjadikan salah satu dari lelaki yang pernah tidur denganku itu, menjalin hubungan serius denganku. (hal
4.2.2 Hasil analisis data
Berikut ini adalah kolom yang m enjelaskan kalim at dalam leksia yang
m enunjukan adanya perilaku Seks bebas, selengkapnya sebagai berikut :
Leksia Kalimat yang Menunjukkan Adanya perilaku seks
bebas
Leksia 1 Aku lupa siapa yang pertama kali mengulum bibirku
Leksia 2 Aku lupa lelaki mana yang pertama kali melihat telanjang dadaku, juga dua payudara ku. Entah siapa
pula orang pertama yang berhasil menggigit halus dua gunung sintal dadaku ini
Leksia 3 Aku lupa karena terlalu cukup banyak lelaki yang menyinggahi dermaga tubuhku, menikmati ranum
buah dadaku
Leksia 4 Seandainya Amar ada di dekatku, dan selalu di dekatku, mungkin ia lelaki pertama yang
menggerayangi keluasan tubuhku
Leksia 5 Entah siapa persisnya. Aku lupa. Karena terlalu
Leksia 6 Ya, aku mulai mengenal sebuah persetubuhan antar manusia, bercinta, bersetubuh, berzina
Leksia 7 Di beberapa kota yang ku kunjungi, aku menjalin
hubungan dengan para lelaki yang aku kenal. Yang aku anggap menarik
Leksia 8 Aku bersetubuh dengan para lelakiku, banyak lelaki,
terlalu banyak
Leksia 9 Aku selalu merindukan sebuah sentuhan percintaan dengan para lelaki ku
Leksia 10 Terlalu banyak lelaki yang menjelajahi lekuk
tubuhku.
Leksia 11 Di sela-sela keliaran lelaki ini menjelajahi tubuhku yang telanjang. Ia tampak senang mendengar
eranganku.
Leksia 12 Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dari semua percintaanku. Ranjang ini, malam ini, seolah
menjelma piring lebar yang menampung tubuhku
Leksia 13 Malam berbeda, lelaki berbeda
Leksia 15 Setiap lelaki yang hadir adalah cenderamata bagi perjalananku, petualanganku, mereka adalah
kenangan
Leksia 16 Bukan malam kemarin, bukan lelaki kemarin
Leksia 17 Semisal lukisan yang terlahir dari sela-sela jemari ini, penuh warna. Perjalananku tak hanya dengan
satu dua lelaki…
Leksia 18 Dengan lelaki kesekian. Entah keberapa, aku tak ingat, kupikir rak perlu diingat
Leksia 19 Ah, sebegitu pentingkah keperawanan seorang perempuan? Begitu pentingkah selaput dara? Apa
bedanya perawan dan tidak perawan?
Leksia 20 Buktinya para lelaki yang telah tidur dan bergumul denganku, tidak ada yang protes tentang diriku yang
sudah tidak perawan
Leksia 21 Kamu tak pernah tahu apakah untuk menikah, para lelaki itu memang tidak mempersoalkan sebuah keperawanan dari calon istrinya. Kalian hanya
bersenang-senang, Swastika. Bukan menikah
laki-laki
Leksia 23 Aku suka bercinta. Dengan laki.laki
Leksia 24 Seperti yang kurasakan ketika bercinta dengan para
lelaki-lelaki ku. Apa yang akan ‘memasuki’ ku ?
Leksia 25 Bahwa aku bercinta demi membuang kelesbianan ku. Meski lama kelamaan aku juga menjadi seperti ketagihan. Untuk bercinta dan bercinta lagi. Lagi
dan lagi
Leksia 26 Sila, aku telah begitu terlena dengan dunia ciptaan ku sendiri. Dunia kebebasan. Dimana aku bias
bercinta, mabuk, merokok, memuji dan memaki
Leksia 27 Aku suka lelaki yang kuat. Yang bisa mengalahkan ku di tempat tidur. Tapi, aku bukan pelacur. Apalagi
perempuan sundal.
Leksia 28 Aku masih suka bercinta. Tapi, aku hanya melakukannya dengan lelaki yang pernah bercinta
denganku sebelum ini