• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA GETARAN BUS PADA SETIR DAN PEDAL GAS DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA SOPIR BUS DI TERMINAL TIRTONADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA GETARAN BUS PADA SETIR DAN PEDAL GAS DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA SOPIR BUS DI TERMINAL TIRTONADI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA GETARAN BUS PADA SETIR DAN PEDAL GAS DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA SOPIR BUS DI

TERMINAL TIRTONADI

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:

KHOIRUDINSYAH J410130075

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

(2)

             

(3)
(4)
(5)

HUBUNGAN ANTARA GETARAN BUS PADA SETIR DAN PEDAL GAS DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA SOPIR BUS DI

TERMINAL TIRTONADI

Abstrak

Getaran bus biasanya terdapat pada mesin yang menjalar pada setir dan pedal gas. Sopir bus merupakan pekerjaan yang setiap hari harus terpapar dengan getaran tersebut. Tujuan penelitian adalah hubungan antara getaran bus pada setir dan pedal gas dengan keluhan sistem muskuloskeletal pada sopir bus di Terminal Tirtonadi. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode penelitian menggunakan penelitian observasional. Rancangan penelitian menggunakan cross-sectional. sampel penelitian sebanyak 256 orang, dengan teknik sampling menggunakan accidental sampling. Instrument penelitian menggunakan kuesioner. Analisis data mengunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara umur responden dengan keluhan sistem muskuloskeletal (p-value =0,437 ). Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan keluhan sistem muskuloskeletal (p- value =0,327). Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan sistem muskuloskeletal pada sopir (p- value = 0.102). Ada hubungan antara kerja per hari dengan keluhan sistem muskuloskeletal (p- value= 0.026). Ada hubungan antara getaran mesin dengan keluhan sistem muskuloskeletal pada supir bus terminal tertonadi (p value= 0.001).

Kata Kunci: Keluhan Sistem Muskuloskeletal, Getaran Mesin.

Abstract

Bus vibration usually on machine that spread at the wheel and accelerator. Bus driver is worker that everyday have to exposed the vibration. Research purposes are relations between vibration bus at the wheel and accelerator with complaints musculoskeletal system on the bus terminal tirtonadi.Research is quantitative research .The methodology use observational research .The research uses cross-sectional design . The sample 256 the as much as , in any use of sampling of sampling accidengtal . Instrument research using a questionnaire . Data analysis chi use the square. The result showed no relation between the ages of respondents with complaints musculoskeletal system ( p-value = 0,437 ). There’s no relation between the education of respondents with complaints musculoskeletal system ( p-value = 0,327 ). There’s no relation between the work experience of respondents with complaints musculoskeletal system ( p-value = 0,102 ). There’s has relation between the day of work with complaints musculoskeletal system ( p-value = 0,026 ). There’s has relation between the machine of vibration with complaints musculoskeletal system ( p-value = 0,001 ).

(6)

1. PENDAHULUAN

Alat transportasi seperti bus merupakan salah satu sektor teknologi transportasi yang terus mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dan jenis kendaraan yang semakin banyak dan arus lalu lintas yang semakin padat. Inovasi dalam bidang ini berjalan terus-menerus seiring dengan kebutuhan manusia akan daya jangkau dan jelajah yang semakin besar. Akan tetapi di sisi lain, apabila tidak ditangani dengan baik teknologi ini dapat berubah menjadi faktor penyebab terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja (Widiastuti, 2006).

Berdasarkan data International Labour Organization (2013) hampir setiap 15 detik dalam sehari 1 pekerja meninggal karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja setiap harinya. Di Indonesia jumlah kasus penyakit umum pada pekerja sekitar 2 juta kasus dan jumlah kasus penyakit yang dialami akibat pekerjaan adalah sekitar 400 ribu kasus (Kemenkes RI, 2014). Prevalensi nyeri muskuloskeletal di masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi nyeri muskuloskeletal pada pekerja besarnya berkisar antara 60-76% (Samara, 2009).

Keluhan muskuloskeletal sering dialami oleh sopir bus, karena sopir bus memiliki salah satu faktor fisik lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja pada sarana transportasi berupa paparan getaran mekanis yang berasal dari mesin bus. Paparan getaran tersebut berakibat terhadap keluhan muskuloskeletal dan mempengaruhi pada performa sopir bus dalam mengemudikan kendaraan. (Lalit el al., 2015) Getaran ini memapari seluruh tubuh pekerja terutama pada sopir yang sering disebut whole body vibration. Whole body vibration dapat menyebabkan efek fisiologis seperti mempengaruhi peredaran darah, gangguan saraf, menurunkan ketajaman penglihatan, kelainan pada otot, dan tulang  (Kenyon & Kenyon, 2007). Penelitian Christensen (2013) mengemukakan di California Amerika Serikat getaran yang ditimbulkan

(7)

dari mesin bus dan berlangsung secara terus menerus mengakibatkan timbulnya keluhan muskuloskeletal pada sopir bus.

Frekuensi paparan getaran sering terjadi pada sopir bus, getaran yang sering timbul berada di pedal gas, setir, dan tempat duduk. Dari paparan getaran tersebut potensi yang paling besar terhadap sopir bus yaitu pada bagian setir dan pedal gas karena bagian tersebut sering digunakan dan tanpa peredam getaran. Sopir bus terpapar getaran selama lebih dari 4 jam saat mengemudikan bus sehingga sopir bus berpotensi mengalami keluhan muskuloskeletal.

Terminal Bus Tirtonadi merupakan Terminal bertipe A yang memiliki luas 5 hektare dan mampu menampung 140 kendaraan bus, terminal ini dibagi menjadi 4 zona yaitu untuk penumpang bertiket, zona penumpang belum bertiket, zona perpindahan penumpang, dan zona pengendapan kendaraan. Berdasarkan studi pendahuluan kepada 20 sopir bus pada tanggal 22 Maret 2016 baik sopir kota maupun sopir bus antar kota, diketahui profesi sopir bus telah dilakukan lebih dari 10 tahun, namun selama 10 tahun. 95% umur sopir bus lebih dari 40 tahun. Berdasarkan hasil wawancara mengenai getaran mesin bus, diketahui bahwa bus yang berumur lebih dari 8 tahun sudah sangat terasa getaran mesin. Getaran mesin yang dirasakan akan lebih terasa pada saat bus berjalan di jalan tanjakan dan berjalan pelan. Keluhan muskuloskeletal yang dirasakan para sopir adalah otot terasa nyeri terutama pada leher dan menjalar ke punggung, demikian pula pada keluhan tulang bagian belakang yang terasa kaku. Meskipun sudah dilakukan pengobatan farmakologi dengan minum obat pereda nyeri, namun keluhan muskuloskeletal masih tetap dirasakan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara getaran dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di Terminal Tirtonadi

(8)

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif observasional analitik melalui pendekatan potong lintang (cross sectional). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2017. Tempat penelitian di Terminal Tirtonadi Surakarta. Populasi pada penelitian ini ialah seluruh sopir bus antar kota dan bus antar provinsi yang berada di Terminal Tirtonadi Surakarta sebanyak 1406 orang. Jumlah sampel pada saat penelitian yaitu 256, sedangkan besar sampel minimal sebanyak 251. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Umur dan Tingkat Pendidikan Responden

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dihasilkan distribusi umur dan tingkat Pendidikan sopir di Terminal Tirtonadi.

Tabel 3.1 Karakteristik Responden

Karakteristik Jumlah Persentase (%)

Umur

Dewasa awal (26-35 tahun) 8 3,1

Dewasa akhir (36-45 tahun) 164 64,1

Lansia awal (46-55 tahun) 84 32,8

Total 256 100,0 Tingkat pendidikan S1 3 1,2 SMA 191 74,6 SMP 62 24,2 Total 256 100,0

Berdasarkan Tabel 3.1 diketahui bahwa kategori umur responden yang paling banyak terdapat pada dewasa akhir (36-45 tahun) yaitu 164 responden dengan persentase 64,1% dan paling sedkit adalah dewasa muda sebanyak 8 orang (3,1%). Tingkat pendidikan responden yang paling banyak SMA yaitu 191 responden (74,6%) dan yang paling sedikit terdapat pada S1 yaitu 3 orang (1,2%).

(9)

3.2 Analisis Univariat

Berdasarkan hasil penelitian variabel terdiri dari getaran mesin bus, keluhan muskuloskeletal masa kerja, dan jam kerja perhari, yang telah dilakukan, dihasilkan distribusi univariat pada sopir bus di Terminal Tirtonadi Surakarta.

Tabel 3.2 distribusi variabel getaran mesin bus, keluhan musculoskeletal, masa kerja, dan jam kerja perhari.

Getaran Mesin Bus Jumlah Presentase(%)

Nyaman (< 0,315 M/Dt²) 25 9,8

Sedikit Kurang Nyaman

(0,315 – 0,630 M/Dt²) 44 17,2

Agak Tidak Nyaman (0,630 –

1,000 M/Dt²) 187 73,0

Total 256 100,0

Keluhan Muskuloskeletal Jumlah Presentase(%)

Tidak ada keluhan 58 22,7

Agak sakit 57 22,3

Sakit 141 55,1

Total 256 100,0

Masa Kerja

Baru (≤ 7 tahun) 129 50,4

Cukup lama (8-14 tahun) 103 40,2

Lama (15-21 tahun) 24 9,4

Total 256 100,0

Jam kerja per hari

Berisiko >8 jam 213 83,2

tidak berisiko <8 jam 43 16,8

Total 256 100,0

Berdasarkan Tabel 3.2 diketahui bus responden banyak dalam kondisi agak tidak nyaman dengan getaran antara 0,630 – 1,000 m/dt² sebanyak 187 bus (73%) sedangkan paling sedikit adalah bus dengan getaran kategori nyaman sebanyak 25 bus (9,8%).

Berdasarkan Tabel 3.2 diketahui responden banyak mengeluhkan sakit muskuloskeletal sebanyak 141 orang (55,1%), dan sedikit mengeluh agak sakit sebanyak 57 orang (22,3%).

(10)

Berdasarkan tabel 3.2 diketahui bahwa responden sopir bus di Terminal Tirtonadi paling banyak dengan masa kerja ≤ 7 tahun atau termasuk baru sebanyak 129 orang (50,4%), sedangkan paling sedikit dengan masa kerja antara 15-21 tahun sebanyak 24 orang (9,4%).

Dalam tabel 3.2 Diketahui hasil penelitian mengenai jam kerja sopir bus perhari di Terminal Tirtonadi berdistribusi per hari dalam mengemudikan bus >8 jam sebanyak 213 orang (83,2%) sementara 43 orang bekerja <8 jam perhari (16,8%).

3.3 Analisis Bivariat

Hubungan antara getaran mesin bus dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di Terminal Tirtonadi Surakarta.

Tabel 3.3 Hubungan antara getaran mesin bus dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di Terminal Tirtonadi Surakarta. Getaran mesin

bus

Keluhan muskuloskeletal P

Sakit Agak sakit Tidak ada keluhan F % F % F % 0,001 Agak tidak nyaman 27 14,4 44 23,5 11 6 62 Sedikit kurang nyaman 19 43,2 8 18,2 17 38,6 Nyaman 12 48 5 20 8 32 Total 58 22,7 57 22,3 141 55,1

Berdasarkan Tabel 3.3 dapat diketahui bus dengan getaran yang tidak nyaman banyak responden menyatakan tidak ada keluhan muskuloskeletal. Getaran mesin bus yang sedikit kurang nyaman dan nyaman mengakibatkan banyak responden dengan sakit keluhan muskuloskeletal. Hasil pengujian statistik chi square diperoleh p-value = 0,001. Hasil ini menunjukkan ada hubungan antara getaran mesin bus dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di Terminal Tirtonadi. 3.4 Pembahasan

3.4.1 Hubungan antara Getaran Mesin dengan Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada hubungan antara getaran mesin bus dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi. Sebanyak 73% bus responden banyak dalam kondisi agak

(11)

tidak nyaman dengan getaran antara 0,630 – 1,000 m/dt² . Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Cindyastira D. (2014) yang menjelaskan tidak ada hubungan intensitas getaran dengan keluhan musculoskeletal disorders pada tenaga kerja unit produksi paving block CV. Sumber Galian Makassar.

Di Indonesia, nilai ambang batas paparan whole body vibration untuk kesehatan dan kenyaman bagi pekerja belum diatur oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor 51 tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor-faktor Fisik di Tempat Kerja. Pada peraturan tersebut hanya mengatur Nilai Ambang Batas paparan lokal atau hand arm vibration. Whole body vibration terhadap kenyamanan bekerja yang berlaku di tingkat internasional mengacu pada ISO 2361 tentang getaran untuk kenyamanan pekerja, dengan klasifikasi sebagai berikut: Nilai < 0,315 m/dt² : nyaman. Nilai 0,315 – 0,630 m/dt² : sedikit kurang nyaman. Nilai 0,630 – 1,000 m/dt² : agak tidak nyaman. Nilai 1,000 – 1,600 m/dt² : tidak nyaman. Nilai 1,600 – 2,000 m/dt² : sangat tidak nyaman dan nilai > 2,000 m/dt² : sangat tidak nyaman ekstrim.

Getaran (vibration) adalah gerakan bolak balik linear (atas-bawah, maju- mundur, kanan- kiri) yang berlangsung dengan cepat dari suatu objek terhadap suatu titik. Getaran dapat terjadi karena adanya efek dinamis berupa gesekan antar bagian mesin atau putaran mesin. Getaran ini akan menjalar pada bagian tubuh yang terpapar, sehingga bagian tubuh yang terpapar getaran dapat ikut bergetar. Menurut Matoba (2012) lamanya waktu pemajanan per hari dapat meningkatkan keparahan gejala yang diderita pekerja akibat terpapar getaran. Cho (2016) menyatakan gangguan muskuloskeletal merupakan suatu gangguan pada sistem muskuloskeletal yang mengakibatkan gejala seperti nyeri akibat kerusakan pada nervus, dan pembuluh darah pada berbagai lokasi tubuh seperti leher, bahu, pergelangan tangan, pinggul, lutut, dan tumit. WHO (2010) menyatakan bahwa gangguan muskuloskeletal disebabkan oleh

(12)

kontribusi dari berbagai faktor risiko yang juga dapat memperberat gangguan ini (Batham dan Yasobant 2016). Keluhan muskuloskeletal pada responden berdasarkan hasil penelitian diketahui banyak pada bagian leher, punggung bagian bawah, lengan dan bagian kaki.

Suma’mur (2006) menyatakan bahwa efek dari paparan whole body vibration berbeda – beda tergantung pada tingkatan akselerasi, frekuensi, dan cara pemaparannya ke seluruh tubuh. Whole body vibration dapat menyebabkan nyeri, penglihatan kabur dan gemetaran, kerusakan organ bagian dalam serta nyeri tulang belakang. Hasil penelitian Wibowo (2011) menjelaskan getaran whole body vibration yang diterima pengemudi PO Nikko Putradi Kota Yogyakarta sebesar 1,257 m/dt² dengan frekuensi 50 Hz dalam satu hari selama 11 jam termasuk dalam kategori melebihi nilai ambang batas (exposure limit). Hasil penelitian Octaviani (2017) menjelaskan ada hubungan postur kerja dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di Bandar Lampung.

Alternatif untuk mengurangi keluhan muskuloskeletal pada sopir, harusnya melakukan olahraga ringan secara teratur, relaksasi otot, memperhatikan sikap kerja saat duduk yang ergonomis, dan menggunakan jam istirahat secara maksimal untuk mengurangi keluhan muskuloskeletal yang dirasakan. Selain itu bagi perusahaan untuk lebih memperhatikan masalah getaran mesin bus yang diatas ambang batas yang dapat mengakibatkan adanya keluhan muskuloskeletal pada sopir dengan cara melakukan cek rutin pada mesin dan menambah peredam mesin agar getaran mesin dibawah ambang batas yang ditentukan. Occupational safety and health administration (OSHA) merekomendasikan suatu tindakan ergonomika untuk mengatasi keluhan muskuloskeletal melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik pada desain stasiun dan alat kerja (eliminasi, subtitusi, partisi, dan ventilasi) dan rekayasa manajemen

(13)

pada kriteria dan organisasi kerja seperti pendidikan dan pelatihan, pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang, pengawasan yang intensif (Tarwaka, 2015)

Proses pengambilan data dilakukan dengan alat ukur getaran yaitu menggunakan vibration meter yang mana di lakukan pada setir dan pedal gas, sehingga masih ada kemungkinan getaran-getaran yang secara langsung terpapar oleh sopir bus misalnya tempat duduk sopir dan lantai pijakan pada bus. Penelitian selanjutnya supaya di tambahkan pengkuran di tempat duduk sopir dan lantai pijakan bus. 3.4.2 Hubungan antara Umur, Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, Jam Kerja

dengan Keluhan Muskuloskeletal

Berdasarkan hasil penelitian diketahui tidak ada hubungan antara umur dengan keluhan muskulokeletal dengan p> 0,05. Tidak adanya hubungan antara umur dengan keluhan muskuloskeletal disebabkan responden baik yang masuk dalam usia dewasa awal, dewasa akhir maupun lansia awal mengalami keluhan muskuloskeletal, dengan demikian tidak ada kecenderungan bertambahnya umur responden juga meningkatnya keluhan muskuloskeletal. Berdasarkan hasil penelitian kebiasaan cara mengemudi responden mempunyai kebiasaan menyopir dalam posisi tubuh tidak simetris menghadap ke depan, namun sesekali posisi tubuh condong ke kiri saat berkomunikasi dengan kernet atau kondektur atau ke sebelah kanan dengan memperhatikan jalur sebelah kiri untuk memastikan bus aman untuk berjalan. Kebiasaan ini dilakukan setiap hari dan sudah berlangsug lama, oleh karena itu keluhan muskuloskeletal pada responden yang terjadi tidak berhubungan dengan umur responden. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Bukhori, (2010) yang menyatakan ada hubungan antara umur dengan keluhan musculoskeletal disorders pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak-Banten.

(14)

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori Guo (2005) yang menyatakan pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-26 tahun dan keluhan pertama dirasakan pada usia 35 tahun. Anies (2005) menyatakan semakin tua seseorang akan semakin mudah terkena gangguan kesehatan pada jaringan penyangga tubuh, hal tersebut sesuai dengan penelitian Pratiwi et al., (2009) yang menyebutkan bahwa kekuatan otot pada manusia baik laki-laki maupun perempuan akan mencapai puncak pada usia 25-35 tahun dan akan semakin menurun setelah melewati usia 35 tahun sehingga orang yang berusia lebih dari 35 tahun lebih mudah mengalami gangguan otot. Hasil penelitian Robb and Mansfield (2013) menyatakan rata-rata umur sopir truk adalah 45,6 tahun dengan rata-rata mengemudikan truk sejauh 2469 km selama seminggu dalam penelitian di negara-negara eropa.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi dengan p > 0,05. Menurut Notoadmojo (2010) bahwa pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin tinggi pengetahuan, termasuk pengetahuan bagaimana responden mengurangi risiko terkena keluhan muskuloskeletal selama mengemudikan bus. Namun dari hasil penelitian ini, responden dengan pendidikan SMP, SMA ataupun Sarjana banyak yang dengan keluhan muskuloskeletal, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan responden, tidak semakin kecil keluhan muskuloskeletal. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Shaik (2014) yang menjelaskan karakteristik sopir truk pengangkut hasil tambang di Guntur India banyak berpendidikan SMA dalam penelitian faktor yang mempengaruhi risiko muskuloskeletal pada sopir pengangkut hasil tambang.

Hasil penelitian diketahui tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan muskuloskeletal. Pada sopir bus di terminal Tirtonadi.

(15)

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ramdan (2013) yang menjelaskan ada hubungan masa kerja dengan keluhan muskoluskeletal pada pekerja wanita di Unit Produksi PT. SSM Kalimantan Timur.

Tarwaka (2011) mengemukakan masa kerja merupakan akumulasi aktivitas kerja seseorang yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Aktivitas seperti menyopir yang dilakukan terus-menerus akan mengakibatkan gangguan pada tubuh. Tekanan fisik pada suatu kurun waktu tertentu mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, dengan gejala makin rendahnya gerakan. Tekanan-tekanan akan terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang, sehingga mengakibatkan memburuknya kesehatan yang disebut juga kelelahan klinis atau kronis kronis. pendapat Suma’mur (2009) yang menjelaskan semakin lama masa kerja maka semakin besar pula risiko mengalami keluhan muskuloskeletal.

Namun pada hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin lama responden bekerja keluhan tidak diikuti dengan besarnya keluhan muskuloskeletal. Hal ini dapat terjadi karena sikap kerja yang tidak ergonomis selama menyopir bus, menyebabkan adanya keluhan muskuloskeletal, meskipun semakin pengalaman dalam bekerja sebagai sopir namun keluhan muskuloskeletal tetap dirasakan. Hasil penelitian Nusa (2014) yang menyatakan tidak ada hubungan lama kerja dengan keluhan sistem muskuloskeletal pada sopir bus trayek Manado-Langowan di Terminal Karombasan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ojo (2014) menyebutkan 59% responden mempunyai masa kerja < 10 tahun dalam penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian nyeri muskuloskeletal pada sopir angkutan umum di negara Nigeria

Berdasarkan hasil penelitian ada hubungan antara jam kerja per hari dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi. Hasil yang tidak sejalan dengan penelitian Sianturi (2015)

(16)

yang menyebutkan durasi kerja (jam kerja ) tidak berhubungan dengan keluhan low back pain (nyeri punggung bawah) pada sopir angkot Rahayu Medan Ceria 103 di Kota Medan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebanyak 83,2% responden bekerja >8 jam per hari dalam mengemudikan bus. Lamanya jam kerja pada sopir tidak lain karena faktor trayek yang jauh seperti Surabaya-banyuwangi, atau Yogyakarta Malang yang ditempuh > 8 jam, terlebih apabila kondisi jalan macet. Undang- Undang No.22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan menyebutkan waktu kerja pengemudi kendaraan bermotor umum paling lama adalah 8 (delapan) jam sehari dan setelah mengemudikan kendaraan bermotor selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam.

Makmuriyah (2013) mengemukakan otot-otot punggung berkontraksi dalam jangka waktu lama jaringan ototnya menjadi tegang dan akhirnya timbul nyeri. Kerja otot akan bertambah berat dengan adanya postur yang jelek, mikro dan makro trauma. Akibatnya yang terjadi adalah fase kompresi dan ketegangan lebih lama dari pada rileksasi, terjadinya suatu keadaan melebihi batas (critical load) dan juga otot mengalami kelelahan yang cepat. Trauma pada jaringan, baik akut maupun kronik akan menimbulkan kejadian yang berurutan yaitu hiperalgesia, spasme otot skelet dan vasokontriksi kapiler. Akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zat-zat nutrisi dan oksigen ke jaringan, sehingga tidak dapat dipertahankan jarak serabut jaringan ikat dan akan menimbulkan iskemik pada jaringan myofascial. Keadaan iskemik menyebabkan sirkulasi menurun, sehingga kekurangan nutrisi dan oksigen serta penumpukan sisa metabolisme menghasilkan proses radang. Proses radang dapat juga menimbulkan respon neuromuskular berupa ketegangan otot di sekitar area yang mengalami kerusakan otot tersebut dan timbul viscous circle. Suatu peradangan kronis merangsang substansi P menghasilkan zat algogen

(17)

berupa prostaglandin, bradikinin dan serotonin yang dapat menimbulkan sensori nyeri. Hasil penelitian Enrico (2016) menjelaskan bahwa 68% sopir bus bekerja < 8 dalam trayek Bitung Manando ditempuh 3-4 jam.

4. PENUTUP 4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti mengambil kesimpulan:

4.1.1 Ada hubungan antara getaran mesin bus dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi.

4.1.2 Sebagian besar sopir bus terminal Tirtonadi berumur antara 36-45 tahun, berpendidikan SMA.

4.1.3 Sebagian besar responden mempunyai pengalaman kerja sebagai ≤ 7 tahun

4.1.4 Sebagian besar responden lebih banyak bekerja > 8 jam per hari 4.1.5 Sebagian besar bus responden banyak dalam kondisi agak tidak

nyaman dengan getaran antara 0,630 – 1,000 m/dt²

4.1.6 Sebagian besar responden banyak mengeluhkan sakit muskuloskeletal

4.1.7 Tidak ada hubungan antara umur responden dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi.

4.1.8 Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi. 4.1.9 Tidak ada hubungan antara pengalaman kerja dengan keluhan

muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi.

4.1.10 Ada hubungan jam kerja per hari dengan keluhan muskuloskeletal pada sopir bus di terminal Tirtonadi.

4.2 Saran

(18)

Diharapkan sopir untuk melakukan olah raga ringan secara teratur, relaksasi otot, memperhatikan sikap kerja saat duduk yang ergonomis, dan menggunakan jam istirahat secara maksimal untuk mengurangi keluhan muskuloskeletal yang dirasakan

4.2.2 Perusahaan otobus

Diharapkan perusahaan untuk lebih memperhatikan masalah getaran mesin bus yang diatas ambang batas yang dapat mengakibatkan adanya keluhan muskuloskeletal pada sopir dengan cara melakukan cek rutin pada mesin dan menambah peredam mesin agar getaran mesin dibawah ambang batas yang ditentukan. 4.2.3 Bagi Instansi Kesehatan

Perlunya pemberian pendidikan kesehatan kepada sopir berkaitan hubungan getaran dengan keluhan sistem muskuloskeletal pada saat mengemudi.

4.2.4 Bagi Peneliti Lain

Penelitian selanjutnya dapat mengembangkan hasil penelitian ini berkaitan dengan keluhan sistem muskuloskeletal pada pengemudi bus seperti faktor kelelahan, kebiasaan merokok dan kemampuan fokus dalam menyopir serta dapat melakukan penelitian dengan variabel getaran pada lantai bus dan kursi sopir bus. 

DAFTAR PUSTAKA

Samara. D. (2009). Duduk Lama Dapat Sebabkan Nyeri Pinggang Bawah. Tidak Diterbitkan. Fakultas Kedokteran Trisakti. Http://Diskdr-online.com. Diakses maret 2017 

Lalit, Retasha S, Sudhir G. ( 2015). The Prevalence of Musculoskeletal Disorders Among Bus Drivers in Tricity. Int J Physiother, 2(5): 850–854.  Kenyon, Jonathan and Karen Kenyon. (2007). The Physiotherapist’s Pocket Book.

(19)

Cindyastira D. (2014)  Hubungan Intensitas Getaran dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDS) pada Tenaga Kerja Unit Produksi Paving Block CV. Sumber Galian Makassar. Naskah Publikasi, FIK Universitas Hasansudin Makasar 

Gambar

Tabel 3.1 Karakteristik Responden
Tabel 3.2 distribusi variabel getaran mesin bus, keluhan musculoskeletal,  masa kerja, dan jam kerja perhari
Tabel 3.3 Hubungan antara getaran mesin bus dengan keluhan  muskuloskeletal pada sopir bus di Terminal Tirtonadi Surakarta

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bagian ini akan dilakukan penaksiran parameter distribusi generalized Poisson- Lindley yaitu dan untuk data frekuensi klaim asuransi kendaraan bermotor kategori 4 pada

Untuk mencapai tujuan Institusional, diperlukan adanya sarana- sarana yang berujud kegiatan kurikuler, dan masing-masing mempunyai tujuan tersendiri.Tujuan kurikuler

pemberitahuan dan kesepakatan dengan orang tua, wali atau pihak lain yang berperan untuk menentukan bagaimana perlakuan terhadap anak nakal tersebut. Kesepakatan orang

Pada kenyataannya masih banyak buruh yang memperoleh upah dibawah ketentuan upah minimum regional dimana fenomena tersebut banyak terdapat didaerah, dari sini terlihat bahwa

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah bagaimana tingkat efektifitas model pembelajaran CORE

[r]

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada penyediaan sarana lingkungan perkotaan yang terdiri dari sarana niaga, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana pelayanan umum,

Kandungan Ca tertinggi didapatkan pada mangga yang direndam dalam larutan 5% CaCl2, kandungan Ca di dalam daging buah terhadap perlakuan waktu perendaman dan kadar CaCl2