• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isi Mini CEX Observasi Febris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Isi Mini CEX Observasi Febris"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 IDENTITAS

Nama : Nn. Y

Usia : 14 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Teluk Gong no. 18 Tanggal datang ke Puskesmas : 8 Mei 2012

AUTOANAMNESIS Keluhan Utama :

 Demam sejak 3 hari yang lalu. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke puskesmas kecamatan penjaringan dengan keluhan panas sejak 3 hari yang lalu. Panas dirasakan hilang timbul, timbul terutama saat malam hari dan menghilang saat siang hari. Panas yang dirasakan tidak terlalu tinggi. Sebelum panas, pasien mengatakan bahwa ia habis terkena air hujan pada saat malam hari, kemudian pada pagi hari pasien merassa tidak enak badan dan pada saat malam timbul panas pada tubuh. Panas diikuti dengan sakit kepala dan pusing, terutama saat berpindah posisi dari berbaring menjadi tidur. Sakit kepala hanya dirasakan pada kepala bagian depan dengan rasa seperti berdenyut.

Panas juga diikuti dengan mual dan muntah, muntah dalam 1 hari sebanyak 3 kali, terutama jika masuk makanan, pasien mengakui jika makan pasien memuntahkan makanannya. Munta masih disertai dengan sisa makanan, pasien menyangkal adanya darah yang timbul saat muntah. Mual dan muntah disertai dengan sakit pada perut sebelah kiri atas dan bagian tengah, yang timbul sejak demam, sakit dirasa seperti tertekan dan tidak menjalar. Pasien juga merasa lidahnya pahit, sehingga nafsu makan berkurang.

Pasien juga merasa saat panas, pasien merasa kaki menjadi pegal-pegal dan nyeri pada tulang, walaupun pasien sedang tidak beraktivitas. Pasien menyangkal adanya batuk, pilek dan sesak napas. Pasien memiliki pola BAB yang tidak lancar, pasien biasanya BAB 1 kali dalam 2 -3 hari, tidak keras dan menyangkal adanya darah yang menetes saat BAB. BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Pasien menyangkal adanya sakit seperti ini sebelumnya. - Riwayat hipertensi disangkal oleh pasien.

(2)

2 Riwayat Penyakit keluarga :

- Sakit seperti ini dalam keluarga disangkal - Riwayat hipertensi disangkal oleh pasien - Riwayat diabetes melitus disangkal oleh pasien Riwayat Psikososial :

Pasien merupakan seorang pelajar, sebelum sakit, pasien memiliki pola makan yang baik, pasien dalam 1 hari makan sebanyak 3 kali, pasien suka mengkonsumsi bakso, dalam 1 minggu > 3 kali, pasien juga suka mengkonsumsi makanan yang pedas. Pasien juga suka mengkonsumsi es jeruk peras yang dibeli diluar rumah.

Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang tinggal 1 rumah yang sakit seperti ini. Pasien juga tidak mengetahui adanya tetangga di lingkungan rumah yang sakit seperti ini. Riwayat Pengobatan :

Pasien sudah mengobati keluhan panas dengan mengkonsumsi mixagrip, panas hilang beberapa saat, kemudian hilang kembali.

Riwayat Alergi :

- Riwayat alergi terhadap makanan disangkal oleh pasien - Riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal oleh pasien - Riwayat alergi terhadap cuaca disangkal oleh pasien

PEMERIKSAAN FISIK:

Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital : - Tekanan Darah : 110 /80 mmHg - Nadi : 96 x / menit - Pernapasan : 22 x / menit - Suhu : 37,0 oC ANTROPOMETRI BB : 49 Kg TB : 153 cm IMT : = = 20,93 (Normal)

(3)

3 Status Generalisata

Kepala :

- Bentuk kepala normochepal. - Rambut hitam, distribusi merata. Mata :

- Pupil bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+) - Konjungtiva anemis (-/-)

- Sklera ikterik (-/-) Telinga :

- Bentuk normotia

- Membrana tymphani intact (-/-) Hidung :

- Mukosa hidung merah muda - Sekret (-/-)

- Epistaksis (-/-) - Septum deviasi (-) Mulut :

- Mukosa oral tidak sianosis, - Lidah kotor (+)

- Bibir tidak kering - Tonsil T1/T1 Leher : - Pembesaran KGB (-) - Pembesaran tyroid (-) - JVP : 5 + 2 cm H20 Thorax : - Bentuk normochest, - Pernapasan thoroabdominal, Jantung :

- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V linea mid clavicula sinistra - Perkusi : Batas jantung kanan relative di ICS V linea parasternal dextra

(4)

4 - Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Paru :

- Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-) - Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru

- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

- Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, ronchi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

- Inspeksi : Permukaan abdomen datar - Palpasi : nyeri epigastrium (+), turgor baik,

Hepar : tidak teraba Lien : tidak teraba

- Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen - Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas :

- Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-) - Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-)

Resume

Subjective :

Perempuan 14 tahun datang ke Puskesmas Kecamatan Penjaringan dengan febris sejak 3 hari yang lalu, demam hilang timbul, terutama saat malam hari. Cephalgia (+), vertigo (+), nausea (+), vomitus (+), nyeri epigastrium (+). Riwayat suka mengkonsumsi bakso, makan pedas(+). Objective : Tanda-tanda vital : - Suhu : 37,0oC Mulut : - Lidah kotor (+) Abdomen :

- Nyeri tekan epigastrium (+)

Daftar Masalah :

(5)

5 ASSESMENT

1. Observasi febris 3 hari e,c bacterial infection

Subjective :

Perempuan 14 tahun datang ke Puskesmas Kecamatan Penjaringan dengan febris sejak 3 hari yang lalu, demam hilang timbul, terutama saat malam hari. Cephalgia (+), vertigo (+), nausea (+), vomitus (+), nyeri epigastrium (+). Riwayat suka mengkonsumsi bakso, makan pedas(+).

Objective : Tanda-tanda vital : - Suhu : 37,0oC Mulut : - Lidah kotor (+) Abdomen :

- Nyeri tekan epigastrium (+)

Assasement :

DD/ 1. Observasi febris e.c viral infection

Planning :

RDx/ :

1. Analisa darah lengkap 2. Widal

3. IgG IgM dengue RTh/ :

Non Medikamentosa : - Tirah baring - Kompres hangat

Berikan kompres dengan air hangat jika pada tubuh pasien didapatkan panas yang cukup tinggi

- Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup bertujuan untuk mengubah pola makan pasien dari pola makan yang buruk menjadi pola makan yang baik. Anjurkan kepada pasien untuk tidak banyak mengkonsumsi makanan yang bersifat instan, anjurkan pasien untuk mengkonsumsi makanan yang bersih dan sehat.

(6)

6 - Kotrimoxazol 480 mg 2 x 1 - Paracetamol 500 mg 3 x 1 - Vitamin B6 2 x 1 - Antasid 3 x 1 a.c Prognosis

(7)

7

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi dari

Salmonella enterica subspecies enterica serotype Typhi (Epstein, 2006). Demam tifoid

masih merupakan penyakit endemic di Indonesia.

Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Widodo, 2006).

3.2. Epidemiologi

Secara global, demam tifoid dianggap sebagai penyakit yang penting dan masih tidak terlaporkan dengan baik namun prevalensinya cukup tinggi di negara berkembang. Angka insiden dari demam tifoid di dunia adalah berkisar antara 198 per 100.000 (Vietnam) sampai 980 per 100.000 (India) pada tahun 2000 (Sinha, 1999; Lin, 2000). Insiden yang sma juga ditemukan di Chile, Nepal, South Africa, dan Indonesia sejak sekitar 15 tahun terakhir. Estimasi insiden demam tifoid berkisar antara 16-33 juta kasus baru per tahun dengan 216.000-600.000 angka kematian per tahun (Crump, 2004) dimana kebanyakan terdapat di daerah Asia Pasifik.

Gambar 1. 1: Insiden demam tifoid di dunia (Courtesy of John A. Crump, Centers for Disease Control and Prevention)

(8)

8 Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan menjadi 15,4 per 10.000 penduduk (Depkes, 1996). Insiden demam tifoid bervariasi tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.

3.3. Faktor Risiko

Perbedaan insiden demam tifoid di daerah perkotaan seperti pada data di atas, biasanya terkait dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (Widodo, 2006). Karena itu, faktor risiko terkenanya demam tifoid adalah bagi individu yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik.

Basil salmonella menular manusia ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi makanan dan minuman yang di konsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan menusia yang sangat berperan adalah :

1. Hygiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.

2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah . faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah atau dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan sebagainya.

3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kecuali sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai. 5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna. 7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.

3.4. Etiologi

Etilogi dari demam tifoid adalah Salmonella enterica subspecies enterica serotype

Typhi (Epstein, 2006). S. Typhi sama seperti salmonella lainnya yaitu termasuk gram negatif,

memiliki flagel, tidak berkapsul, tidak berspora. Ukuran antara (2-4) x 0,6 μm. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37⁰ C dengan PH antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup hingga beberapa minggu di dalam air es, sampah dan debu. Reservoir

(9)

satu-9 satunya adalah manusia, yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier.

S.typhi termasuk bacillus anaerobik fakultatif yang dapat memfermentasi glukosa, mengubah nitrat menjadi nitrit, mensintesis peritrichous flagella ketika motil, memiliki antigen somatik (O), antigen flagellar (H), antigen amplop (K). S.typhi juga memiliki lipopolisakarida, sebuah makromolekul kompleks, disebut endotoksin, yang membentuk bagian luar dari dinding sel.

Endotoksin ini terdiri dari tiga lapisan: sebuah luar (O, oligosakarida), tengah (R, inti), dan basal (lapisan lipid A). S. Typhi ini juga mampu menghasilkan R plasmid-transmisi sebagai.

3.5. Patogenesis

Perjalanan penyakit dari demam tifoid ditandai dengan invasi bakteri yang kemudian bermultiplikasi dalam sel mononuclear fagositik, hati, limfa, nodus limfatikus, dan Plak Peyeri di ileum (Epstein, 2006). Masuknya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia adalah melalui makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian bakteri mati oleh asam lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel utama (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia, kuman-kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagositosis terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dalam makrofag dan seterusnya dibawa ke Plak Peyeri ileum distal, kelenjar getah bening mesenterika, duktus torasikus, dan akhirnya masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia pertama yang asimpotamik serta menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limfa. Di dalam organ-organ ini, kuman keluar dari sel fagositik untuk selanjutnya berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid. Selanjutnya, kuman ini masuk ke dalam sirkulasi darah kembali dan menimbulkan bakterimia yang kedua disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, dan secara „intermitten‟ akan disekresikan ke dalam lumen usus. Sebgagian kuman dikeluarkan melalui feses namun sebagiannya lagi masuk kembali ke sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama terulang lagi, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif, maka pada saat fagositosis

Salmonella kembali, dilepaskan sejumlah mediator radang yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler gangguan mental dan koagulasi.

Di dalam Plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar Plak Peyeri yang

(10)

10 sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat menyebabkan perforasi usus.

Gambar 1. 2: Patogenesis demam tifoid.

3.6. Gambaran Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung sekitar 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul sangat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit khas yang disertai dengan komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis (Widodo, 2006). Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, terjadi peningkatan puncak demam dan timbul rose spots berupa ruam macula papula 1-4 cm berwarna salmon.

Pada minggu kedua gejala-gejala lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu badan 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi

(11)

11 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Pada minggu ketiga, didapatkan gejala demam pada individu yang semakin meningkat, anorexia, penurunan berat bada yang significant, infeksi pada konjungtiva palpebra, tachypneu, ronkhi basah (crackle) di basal paru, distensi abdomen berat, pea soup

diarrhea ( diare dengan feses berwarna hijau kuning cair), pasien akan tampak apati, psikosis

dan confuse. Pada kasus yang berat, dapat didapatkan nekrosis plaque peyeri sehingga terjadi peritonitis dan perforasi usus.

Pada beberapa pasien yang dapat bertahan dapat timbul gejala pada minggu ketiga yang berkepanjangan dan semakin memberat, namun, tidak jarang yang menimbulkan kematia. Kematian yang terjadi akibat typhoid toxic adalah akibat overwhelming toxemia, miokarditis dan perdarahan intestinal.

3.7. Langkah Diagnostik

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia (± 3000-8000 per mm³), dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu, dapat ditemukan pula anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan penunjang hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.

Terjadinya leucopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leucopenia 25 %, namun banyak laporan bahwa dewasa ini hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan. Terjadinya trombositopenia berhubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES. Sedangkan anemia juga disebabkan peroduksi hemoglobin yang menurun dan adanya perdarahan intestinal yang tak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, karena bisa disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Bebeapa pemeriksaan bakteriologis yang dapat dilakukan, yaitu:

(12)

12 Biakan pada agar darah dan agar Mac Conkey menunjukkan bahwa kuman tumbuh tanpa meragikan laktosa, gram negative dan menunjukkan gerak positif.

b. Biakan bekuan darah

Bekuan darah dibiakkan pada botol berisi 15 ml kaldu empedu. Biakkan ini lebih sering memberikan hasil positif.

c. Biakan tinja

Hasil positif selama masa sakit. Diperlukan biakan berulang untuk mendapatkan hasil positif. Biakan tinja lebih berguna pada penderita yang sedang diobati dengan kloramfenikol.

d. Biakan empedu

Penting untuk mendeteksi adanya karier dan pada stadium lanjut penyakit. Empedu dihisap melalui tabung duodenum dan diolah dengan cara seperti tinja.

e. Biakan air kemih

Pemeriksaan ini kurang berguna bila dibandingkan dengan biakan darah dan tinja. Biakan air kemih positif pada minggu sakit ke 2 dan 3.

f. Biakan salmonella typhi

Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses, dan urin. Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin pada minggu ke II dan minggu-minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan menyatakan “basil salmonella tumbuh”, maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. Spesimen ditanam dalam biakan empedu. Sensitifitas tes ini rendah, dapat disebabkan oleh beberapa hal: pasien telah dapat antibiotik sebelumnya, waktu pengambilan spesimen tidak tepat, volume darah yang diambil kurang, darah menggumpal, dll. Spesimen darah dari sumsum tulang mempunyai sensitifitas yang lebih tinggi.

Bahan pemeriksaan lain :  Serologis Widal

Tes serologis widal adalah reaksi antara antigen dengan aglutinin yang merupakan antibody spesifik terhadap komponen basil salmonella di dalam darah manusia. Prinsip tesnya adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yakni aglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke 3-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampa lama 6-12 bulan. Aglutinin H

(13)

13 mencapai puncak lebih lambat, pada minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu yang lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.

Interpretasi Reaksi Widal :

a. Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada suatu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid. b. Reaksi widal negative tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.

c. Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik negative palsu atau positif palsu. Hasil tes negative palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit agammaglobuilinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeski sub klinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.

 Enzim transaminase

Peradangan pada sel-sel hati menyebabkan enzim-enzim transaminase (SGOT, SGPT) sering ditemukan meningkat. Banyak pendapat bahwa hal ini disebabkan karena banyak faktor, seperti pengaruh endotoksin, mekanisme imun dan obat-obatan. Bila proses peradangan makin berat maka tes fungsi hati lainnya akan terganggu, seperti bilirubin akan meningkat, albumin akan menurun, dll. Secara klinis bila tes fungsi hati terganggu dan disertai ikterus dan hepatomegali disebut hepatitis tifosa atau hepatitis salmonella.  Lipase dan amylase

Basil tahan salmonella sampai menginvasi pancreas, dapat menimbulkan pancreatitis, maka enzim lipase dna amylase akan meningkat.

3.8. Diagnosis

Penegakan diagosis sedini mungkin akan sangat bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat dan mencegah komplikasi. Penegetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk mendeteksi secara dini. Walaupun pada waktu tertentu diperluakn pemeriksaan tambahan untuk membantu penegakan diagnosis, seperti yang dijelaskan di atas.

Sindroma klinis adalah kumpulan gejala-gejala demam tifoid. Diantara gejala klinis yang sering ditemukan pada tifoid yaitu: demam, sakit kepala, kelemahan, nausea, nyeri

(14)

14 abdomen, anoreksia, muntah, gangguan gastrointestinal, insomnia, hepatomegali, splenomegali, penurunan kesadaran, bradikardi relative, kesadaran berkabut, dan feses berdarah.

Diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas tiga macam, yaitu: 1. Suspek demam tifoid (suspect case)

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala umum, gangguan saluran cerna dan lidah tifoid. Jadi sindrom demam tifoid didapatkan belum lengkap. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.

2. Demam tifoid klinis (probable case)

Telah didapatkan gejala klinis yang lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboratorium yang menunjukkan demam tifoid.

3. Demam tifoid konfirmasi (confirm case = demam tifoid konfirmasi)

Bila gejala klinis sudah lengkap dan ditemukannya basil kuman Salmonella typhoid, maka pasien sudah pasti menderita demam tifoid. Cara yang dianggap paling tepat dalam mendeteksi adanya kuman salmonella typhi adalah dengan melakukan pemeriksaan biakan salmonella typhi, pemeriksaan pelacak DNA Salmonella Typhi dengan PCR (polymerase Chain Reaction), dan adanya kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan widal II, 5-7 hari kemudian.

3.9. Tata Laksana

Sampai saat in masih dianut Trilogi Pengobatan Demam Tifoid, yaitu: a. Istirahat dan perawatan

Dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Penderita yang dirawat harus bedrest total untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama perdarahan dan perforasi. Bila penyakit mulai membaik dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. BAB dan BAK sebaiknya dibantu perawat. Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila tidak ada indikasi.

b. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif)

Dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Hal-hal yang harus diperhatikan, di antaranya:

 Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

(15)

15 komplikasi, penurunan kesadaran serta pada pasien yang sulit makan. Dosis parenteral sesuai dengan kebutuhan harian. Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan kebutuan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

 Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak (tim), dan nasi biasa bila keadaan penderita membaik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Namun bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.

 Terapi simptomatik

Dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita :

- Roboransia/vitamin

- Antipiretik diberikan untuk kenyamanan penderita, terutama untuk anak-anak

- Antiemetik diperlukan bila penderita muntah-muntah berat c. Pemberian Antimikroba

Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Kebijakan dasar pemberian anti mikroba

o Antimikroba segera diberikan bila diagnose klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, propable, maupun suspek.

o Anti mikroba yang dipilih harus dipertimbangkan :

1. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk demam tifoid.

2. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran. 3. Berspektrum sempit.

4. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita termasuk anak dan wanita hamil.

(16)

16 6. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.

Tabel Obat Antimikroba untuk Penderita Demam Tifoid

Antibiotika Dosis Kelebihan dan keuntungan

Kloramfenikol

50 mg/Kg bb/Hr

Dewasa : 4 x 500 mg (2 gr) Anak : 100 mg/Kg BB/Hr, max 2 gr selama 10 hr dibagi dalam 4 dosis

- Merupakan obat yang sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk demam tifoid

- Murah dan dapat diberi per-oral, sensitivitas masih tinggi

- Pemberian PO/IV

- Tidak diberikan bila leukosit <2000/mm³

Seftriakson

Dewasa : 2-4 gr/Hr selama 3-5 hr

Anak : 80 mg/Kg BB/Hr dosis tunggal selama 5 hari

- Cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek dan dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak - Pemberian IV Ampisilin & amoksisilin Dewasa : 3-4 gr/Hr Anak : 100 mg/Kg BB/Hr selama 10 hari

- Aman untuk penderita hamil - Sering dikmbinasi dengan

kloramfenikol pada pasien kritis - Tidak mahal - Pemberian PO/IV Kotrimoksasol Dewasa : 2x 160-800 mg selama 2 minggu Anak : TMP 6-10 mg/Kg BB/Hr atau SMX 30-50 mg/Kg/Hr selama 10 hari - Tidak mahal - Pemberian per oral

Quinolone Siprofloksasin : 2x500 mg selama 1 minggu Ofloksasin : 2x200-400 mg selama 1 minggu Plefoksasin : 1x400 mg

- Pefloksasin dan fleroksasin lebih cepat menurunkan suhu - Efektif mencegah relaps dan

karier

(17)

17 selama 1 minggu

Fleroksasin : 1x400 mg selama 1 minggu

- Anak : tidak dianjurkan karena

efek samping pada

pertumbuhan tulang Cefixim Anak : 15-20 mg/KgBB/ Hr

dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari

- Aman untuk anak - Efektif

- Pemberian per oral

Tiamfenikol

Dewasa : 4x500 mg

Anak : 50 mg/Kg BB/Hari selama 5-7 hari bebas panas

- Dapat untuk anak dan dewasa - Dilaporkan cukup sensitif pada

beberapa daerah

Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil, memerlukan perhatian khusus. Tiamfenikol tidak boleh diberikan pada trimester pertama Karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus manusia belum dapat disingkirkan, pada kehamilam lebih lanjut tiamfenikol baru dapat digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid pada ibu hamil. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

3.10. Prognosis

Prognosis demam tifoid secara global, tergantung dari populasi pasien dan letak geografi area. Pada daerah epidemik di negara berkembang, pasien umumnya mendapatkan pengobatan yang tepat sehingga case fatality rate-nya kurang dari 1% dan insiden komplikasi yang rendah. Di beberapa area endemic termasuk di Indonesia, Nigeria, India dan Nepal,

severe typhoid fever (demam tifoid parah dengan gangguan kesadaran atau syok), sering

terjadi pada pasien yang sampai dirawat di rumah sakit. (Eipstein, 2006).

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid, yaitu:

 Komplikasi intestinal, seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan pankreatitik.

 Komplikasi ekstra-intestinal, meliputi:

(18)

18 - Komplikasi darah, seperti anemia hemolitik, tromnositopenia, KID, dan trombosis. - Komplikasi paru, seperti pneumonia, empiema, dan pleuritis.

- Komplikasi hepatobilier, seperti hepatitis dan kolesistitis.

- Komplikasi ginjal, seperti glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis. - Komplikasi tulang, seperti osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis. - Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik.

Bila tidak terjadi komplikasi, umunya demam tifoid dapat segera membaik. Namun bila sampai terjadi komplikasi, dibutuhkan penanganan lebih lanjut, sesuai dengan komplikasi yang terjadi.

Komplikasi Intestinal Perdarahan Intestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua faktor.

Perforasi Usus

Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto polos abdomen ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan. Faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur, (20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.

Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

Komplikasi Ekstraintestinal Komplikasi Hematologik

(19)

19 Berupa trombositopenia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial

thromboplastin, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular

diseminata (KID). Penyebab KID belum jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi baik kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfuse darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi. Trombositopenia terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial.

Hepatitis Tifosa

Pembengkakan hati ringan dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang.

Pankreatitis Tifosa

Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amylase dan lipase serta ultrasonografi/CT Scan dapat membantu diagnosis penyakit. Penatalaksanaan seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik intravena seperti sefriakson dan kuinolon.

Miokarditis

Terjadi 1-5 % penderita demam tifoid sedangkan kelainan EKG (10-15%) penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian.

Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik

Dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semikoma, koma. Parkinson

rigidity, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik,

mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, Sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.

(20)

20 Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Semua kasus tifoid toksik diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.

3.11. Pencegahan

Preventif dan Kontrol Penularan

Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu serta faktor lingkungan.

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu: 1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun karier. 3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi.

Pencegahan infeksi Salmonella typhi juga dapat dilakukan dengan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higienitas pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan.

Vaksinasi

Vaksin pertama kali ditemukan 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO). Indikasi vaksinasi adalah bila : 1) hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang, 2) orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). Petugas laboratorium.

Jenis Vaksin

 Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di Indonesia

 Vaksin parenteral : -ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida.

(21)

21 Vaksin oral –Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (Typhim Vi)

Indikasi Vaksinasi

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid bergantung pada faktor risiko yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:

Populasi : anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industry makanan/minuman>

Individual : pengunjung/ wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat dengan pengidap tifoid.

Kontraindikasi Vaksinasi

Vaksin hidup oral Ty21a tidak diberikan pada sasaran yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan. Bila diberikan bersamaan dengan obat anti malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.

Gambar

Gambar 1. 1: Insiden demam tifoid di dunia (Courtesy of John A. Crump, Centers for  Disease Control and Prevention)
Gambar 1. 2: Patogenesis demam tifoid.

Referensi

Dokumen terkait

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI Salmonella typhi O9 POSITIF MENGGUNAKAN TUBEX DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD

Sampel yang digunakan dalam uji Widal adalah serum, aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita dengan demam tifoid dan juga

Dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi yang disebut

Sarana laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid secara garis besar digolongkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid, Salmonela

Etiologi atau penyebab demam tifoid adalah infeksi yang disebabkan oleh.. bakteri

Dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi yang disebut multidrug

Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah proporsi pemeriksaan IgM anti Salmonella typhi 09 positif menggunakan Tubex dengan Pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam