• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembukaan Diskusi ini dibuka dan dimoderatori oleh Yance Arizona dari Epistema Institute pada pukul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembukaan Diskusi ini dibuka dan dimoderatori oleh Yance Arizona dari Epistema Institute pada pukul"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Seri Diskusi Masyarakat Adat

Model-Model Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Diselenggarakan Atas Kerja Sama AMAN, HuMa, Epistema Institute, Pusaka Pembukaan

Diskusi ini dibuka dan dimoderatori oleh Yance Arizona dari Epistema Institute pada pukul 09.53. Yance (Moderator)

Diskusi ini merupakan seri kedua di mana seri pertama dilakukan dengan Komnas HAM. Ada gagasan untuk memasukkan rumusan pengaturan penyelesaian konflik ke dalam RUU pengakuan masyarakat hukum adat. Diskusi ini dilakukan untuk memberi pengayaan wacana dan gagasan tentang bagaimana model-model penyelesaian konflik SDA untuk masyarakat adat dapat dirumuskan.

Pembicara

1. Ibu Nurul Elmiyah (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) 2. Bapak Martua Sirait (ICRAF)

3. Bapak Idham Arsyad (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria) (Untuk materi pembicara, lihat slide presentasi dan makalah) Tanya Jawab dan Diskusi (5 orang penanya dan penanggap)

1. Bpk. Abdurrahman. 1) Saya menyambut baik apa yang dikatakan sdr. Idham mengenai ada hal yang harus dibenahi. Kita sulit menetapkan ranah agraria itu yang mana. Pada tahun 60, UUPA dibentuk untuk bumi, air, ruang angkasa, dan lain-lain. Untuk waktu yang lama, agraria tidak bisa menjangkau kawasan hutan. 2) Dalam rangka menetapkan kedudukan negara dalam konteks ini, ada masalah teknis dan perkembangan ini semakin ramai ketika muncul konsep tanah kerajaan yang dulu sudah hilang. 3) Kurang jelas tentang German School. Kalau patokanya pasal 33 Konstitusi, ujungnya kembali kepada negara. Pasal ini apa akan diimplementasi sebaik mungkin atau kita gugat? Dalam UU No. 1 Tahun 99, dikatakan semua hutan adalah hutan negara, termasuk hutan adat, yang kemudian dipermasalahkan oleh teman-teman. Belum ada solusi tentang siapa yang harus menyelesaikan konflik, adat atau negara? Di UU, dijelaskan bahwa hutan adat termasuk ke dalam hutan negara yang kemudian menjadi masalah. Kalau tidak benahi, akan berkepanjangan. 4) Diharapkan ada pengadilan lain untuk menyelesaikan konflik, yaitu pengadilan adat. Pengadilan adat di Papua bukan adat sebenarnya tapi hanya melakukan mediasi. Penting untuk kita sepakati; lembaga2 apa yang akan berperan. Di palangkaraya ada perda yang tidak mengatur pengakuan adat, tapi berbicara tentang lembaga peradilan adat yang dikenal, Damang, sebagai instansi yang seakan-akan bisa melakukan segalanya seperti pengukuhan tanah sehingga BPN menjadi sinis. Tanah adat cukup ditetapkan dengan keputusan Damang yang diatur perda, tapi implementasinya masih sulit. Mereka melakukan ini karena percuma kalau ke pengadilan. Yang penting secara adat, kalau perlu dengan kekerasan untuk mempertahankan. Tahun 70-an kita konflik dengan HPH, sekarang pertambangan, tidak mudah diselesaikan. Kalau kita mengangkat tokoh adat seperti itu, apakah akan membentuk pengadilan, atau dijadikan mediator saja dalam konteks mediasi? 5) Catatan untuk Bu Nurul, mediasi yang ditetapkan MK terbatas pada court mediation sehingga tidak bisa menangani perkara di luar pengadilan. Ketika masuk ke pengadilan, ada ketentuan kalau hakim tidak melalukan mediasi, putusan bisa batal demi hukum. Makanya kita mengadakan pelatihan untuk menyelenggara mediasi. Mediatornya bisa hakim dan non-hakim yang telah mengikuti pelatihan mediasi yang sudah terakreditasi. Kalau kita mengaitkan dengan pengadilan, ok, tapi bagaimana kasus di Kalteng dengan Demangnya, apakah itu adalah perpanjangan tangan dari peradilan? Di MK, saya rasakan cukup banyak kasus; intinya adalah perkara tanah, misalnya di Sumut, Papua. Konflik mereka sampai ke pangadilan; ada yang bisa dieksekusi, ada yang tidak. 6) Setuju dengan konsep transitional justice, bahkan restorative justice untuk memulihkan masyarakat-masyarakat yang tergusur.

2. Ibu Cahyani, Dirjen Peraturan Perundang-undangan, direktorat fasilitasi perancangan perda. Kami menerima DPRD dan Pemda berkaitan dengan adat. Dari sisi peraturan Perundang-undangan, kita sudah punya banyak, bahkan UUD juga menampung hukum adat, UU.., PP Desa menampung adat-istiadat desa…diberi kewenangan khusus untuk membuat hal2 seperti itu, seperti di Papua. Kami pernah menghadapi daerah yang bermasalah tata ruang; berkaitan dengna tanah, hutan, ada

(2)

pertentangan kewenangan, BPN, menhut, bahkan bertentangan dengan pertambangan. Orang2 EESDM berkata tanah Indonesia dari Sabang sampai Mearuke adalah tambang,hutan lindung pun bisa ditambang. Bicara soal tanah, kita tidak bisa berbicara sendiri2, BPN, ESDM, kementerian kehutanan harus bicara mau dibawa ke mana. Tentang perangkat hukum untuk menyelesaikan masalah, kalau kita bisa menyelesaikan permasalahan tanpa UU bisa lebih baik, tidak semua permasalahan bisa diselesaikan dengan UU. Tentang mediasi, di konsep RUU KUHP, dimuat keadilan retroaktif dalam bentuk kerja sosial. Kalau bisa diselesaikan tanpa peradilan dan terlalu lama, melalui sistem kalah menang, sistem win-win solution lebih bisa masuk ke masyarakat kita. Contoh, ada pembicaraan tentang pencurian oleh orang tua, kenapa hal ini masuk pengadilan, kenapa tidak lewat kekeluargaan. Contoh tentang perangkat hukum, apakah Knupka mau diarahkan untuk dibuatkan peraturan peraturan UU untuk menyelesaikan masalah lama? MK telah me-yudisial review Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; bicara tentang penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu; kalau pelaku minta maaf dan dimaafkan, tidak ada lagi kelanjutannya. Di MK, hal seperti itu yang di-JR, apakah kita harus tetap dengan pola konvensional, penyelesaian pengadilan, atau bagaimana? Menurut saya perlu ada konsistensi dari lembaga-lembaga yang menangani masalah agraria yang terkait dengan masyarakat adat ini.

3. Bpk. Teguh, BPHN. BPHN kajiannya, menyiapkan naskah akademik dan bahan-bahan kajian untuk memunculkan RUU. 1) Tanggapan tentang tujuan hukum yang harus memenuhi asas keadilan, kepastian, dan kemanfaataan. Saya melihat penguasaan pemerintah terhadap sumber daya alam kurang tepat bila dipertentangkan dengan asas keadilan meskipun dalam aktualisasinya aparat di bawah banyak melakukan kekurangan. Ketika ada satu sumber daya alam di satu wilayah dan wilayah tersebut dikatakan sebagai tanah adat dengan klaim sejarah masyarakat, tidak dapat langsung dilihat bahwa yang paling adil adalah tanah tersebut tetap dikuasai masyarakat. Asas kemanfaatan pun harus dilaksanakan. Jangan sampai untuk memenuhi sisi keadilan, secara HAM tanah sudah dimiliki masyarkat sejak lama, tanah tidak bisa dimanfaatkan karena masyarakat tidak bisa memanfaatkan. Kalau pemerintah bisa mengambil alih dan memanfaatkan, keuntungan sosialnya bisa lebih luas. Penyelesasian kepemilikan tanah yang terjadi pada Orba harus diperbaiki, misalnya pemindahan hak milik dsb.; 2) Apakah kemudian perlu dari pihak pemerintah untuk mengkaji keberadaan tanah adat untuk mendapatkan poin2 yang disepakati bersama, kriteria tanah adat seperti apa? Jangan sampai ketika penamaan tanah adat semakin populer, orang bisa seenaknya menyatakan ini tanah adat; ada perdanya yang menguatkan satu lembaga adat yang bisa menunjuk tanah adat2 baru, ini bisa kontraproduktif dikaitkan dengan keadilan sosial. Jangan sampai masyarakat adat tidak dapat mengelola dan menegkkan keadilan sosial, 3) Bila itu disepakati, kriteria apa yang perlu dicantumkan sehingga pemetaan tanah adat bisa dilakukan? Hutan adat bisa diidentifikasi? Sehingga masyarakat adat yang masih hidup dapat menjalankan hak dan kewajibannya tanpa berbentrokan dengan kekuasaan pemerintah.

Jawaban

Pak Idham Arsyad

Untuk Bpk. Aburrahman, ada perdebatan dari segi hukum agraria, hubungan abadi antara tanah, sumber daya alam dan negara. Dalam praktinya, sumber daya alam dikuasai negara secara berlebihan, seolah negara adalah pemilik tanah dan menentukan hak-hak baru yang sudah ada hak atau klaimnya, ini yang menjadi basis konflik agraria. Contoh,, UUPA secara jelas di pasal 5 menegaskan bahwa ini bersumber dari hukum adat; hubungannya seperti apa? Pasalnya tidak berkembang, dibutuhkan kajian baru tentang sistem tenurial di wilayah masyarakat. UUPA dipetieskan oleh Orba sehingga pasal-pasalnya tidak menjadi acuan. Menjadi semangat reformasi yang harus diselesaikan.

Untuk Ibu Cahyani dan Pak Teguh; itulah konflik kewenangan antardepartemen tentang penyelesaian konflik agraria; siapa yang paling berhak menentukan kuasa terhadap sumber daya alam? Contoh BPN; di sana, ada keterbatasan untuk menetapkan kuasa. Dalam praktik politik, tidak bisa menetapkan untuk seluruh Indonesia. Dephut; mengelola manfaat bertindak seperti penguasa tanah. Politik hukum agraria kita mau seperti apa? Hubungan abadi orang-sumber daya alam seperti apa untuk memenuhi pasal 33; kalau tidak ada, pasalnya amburadul; menurut saya perkembangan mengabdi pada perkembangan kapitalisme; mengarah pada penguatan investasi; paradigma ekonominya mau apa? Bukan sekadar perkara hukum. Penuhi dulu domestik dalam negeri tanpa menghajar hutan dan pertambangan, penuhi pangan dulu. Sekarang sumber daya alam kita

(3)

yang bermasalah adalah politik hukumnya. Akan menyesatkan kalau konflik yang kita hadapi dianggap perkara hukum, misal perusahaan HGU tidak akan pernah mengatakan saya bersalah ketika mengambil tanah orang karena ada dasar HGU; bekerja atas nama hukum. Dari sisi keadilan tidak adil, jadi soal. Di situ masalahnya. Yang sering kita penuhi adalah soal kepastian dan kemanfaatan, tapi ketidakadilan tidak pernah dipenuhi. Yang ingin dicapai Knupka: 1) konflik saat ini tidak mungkin diselesaikan lewat cara konvensional: pengadilan dan mediasi. Terobosannya adalah menggunakan prinsip transitional justice dengan asas retroactive justice. Kasus Tapos. Cimacan muncul karena penyalahgunaan kewenangan pejabat publik Orba. Beda dalam kerangka rekonsiliasi. Kalau merampas tanah, seluruh identitas ikut hilang, tidak hanya tanah. Jadi, terpenuhinya ekonomi orang belum tentu adil di dalam masyarakat adat. Jadi, ini dijadikan perspektif untuk kerangka penyelesaian konflik agraria. TJ diusulkan ketika rezim reformasi mungkin karena sudah lama ini jadi tidak releven. Di Afrika Selatan, 3 tahun pertama mengadukan, 5 tahun , 2 tahun penyelesaian. Di kita tidak ada, tidak pernah mau dilihat secara holistik. Kalau masih begitu, konflik agraria tidak pernah selesai karena ini urusan penghidupan, tidak selesai politik hukum di Indonesia.

Pak Martua

1. Tentang pasal 33, saya rasa UU tidak berdiri sendiri tapi bersama pasal2 lain, termasuk pasal 18. Kalau kita lihat turunannya, UUPA, dikenal dikuasai negara langsung dan tidak langsung. Padanan dikuasai langsung adalah sumber2 agraria yang tidak diklaim pihak lain atau tidak ada yang memilikinya. UUPA menolak kepemilikan negara tapi hanya penguasaan negara, bercermin pada UU kehutanan, mana yang dikuasai langsung dan mana yang dikuasai tak langsung? Menjadi masalah pada UU kehutanan menjadi tabrakan dalam UU kehutanan itu sendiri. Contoh ada definisi kawasan hutan dalam UU Kehutanan yang menyatakan Kawasan Hutan adalah kawasan yang tidak dibebani hak tapi ada definisi lain, hutan negara; semua hutan yang ditunjuk dan atau ditetapkan. Ini sendiri belum tentu tidak dibebani hak sehingga bertabrakan. Saya berhenti pake UU kehutanan untuk melihat hak-hak yang berkaitan dengan penguasaan karena di dalamnya rancu. Yang dikuasai negara langsung adalah yang sudah selesai tata batasnya sehingga masyarakat mengakui kawasan tersebut adalah hutan secara legal dan legitimate, 12-20 juta ha. Yang 100 juta hektar belum ada yang tahu karena masuh ada hak2 lain di dalamnya yang perlu dihormati sehingga ada batasan kehutanan di kawasan tersebut, misal tidak memberikan izin HPH dan hutan produksi. Otherwise, akan semakin rumit. Itu letak German School of Forestry yang menetapkan keseluruhannya adalah negara. Di abad ini, yang menetapkan GsoF adalah China, negara menetapkan sendiri masyarakat tidak bisa menyatakan itu punya saya atau tidak. Tidak demikian saya rasa di Indonesia. 2) mengenai penguasaan negara jangan ditabrakan dengan aspek keadilan, justru kita harus menabrakannya dan menemukan titik2 baru, kalau tidak akan banyak terjadi pelanggaran, contoh dalam UU kehutanan, kemenhut berhak menunjuk dan menetapkan kawasan hutan, tapi dia juga yang menjalankan kewenangan sehari2: pengelolaan, izin, pelepasan izin di luar kehutanan seperti tambang, perhutanan dsb. Itu menurut saya conflict of interest. Ini bahaya, proses2 akumulasi negara yang paling primitif yang langsung meloncat mengambil aset2 rakyat untuk membangun industri. Kita perlu batasan. Kalau semua diprivatisasi masalah juga, kalau dikuasai semua oleh negara juga masalah. Harus menemukan titik-titik baru.

Ibu Nurul

Ibu Cahyani. Di pasal 4 perma 1 tahun 2008, jenis perkara yang dimediasikan ada pengecualiannya, yaitu yang diselesaikan lewat pengadilan niaga, KPPU, konsumen, pengadilan hubungan industrial, jadi kalau masuk baru bisa dimediasi. Mengenai damang, sudah ada perda tapi tidak bisa jalan. Jangan sampai sudah ada perdanya, sudah dilakukan cara-cara mediasi menurut hukum adat, tapi tidak ada gunanya. Ini perlu diformalkan supaya tidak mubazir. Mengenai penelitian, apakah perlu? Menurut kami, sangat perlu. Sesuai dengan metodologi yang ada, tidak bisa seperti satu penelitian seperti yang saya temukan, dilakukan hanya melalui kuesioner. Di sini perlu kehati-hatian untuk melakukan penelitian secara metodologis. Sayangnya, penelitian tentang hukum adat tidak ada yang meminati. Politik hukumnya ke mana nih sekarang? Sudah lebih ke uang sehingga adat ditinggalkan. Padahal setelah ada otonomi banyak yang bisa dilakukan, seperti pembaruan agraria. Katakan 20 ha diberikan pada perusahaan, tapi ada HGU, apa tidak ada masyarakat adat? Belum tentu, karena hak penguasaan tanah menurut UUPA, ada hak milik, dsb. Dalam masyarakat adat, bukan seperti itu, tapi bagaimana hubungan masyarakat adat dengan tanahnya; kalau menggarap terus menerus bisa melahirkan hak milik. Saya setuju membenturkan asas keadilan dengan pemanfaatan.

(4)

Beda pandangan, tidak bisa dibiarkan seperti ini terus. Untuk Ibu Cahyani, memang harus duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan ini.

Yance

5 model penyelesaian konflik sumber daya alam 1. Mekanisme adat, misal lewat damang, dsb.

2. Negosiasi yang berujung pada pemberian fee, ganti rugi dan kesepakatan konservasi, dalam bentuk hutan desa, HTR, pelepasan kawasan

3. Mediasi dan HDR

4. Pengadilan negeri, PTUN, 5. Penanganan khusus agraria Interupsi

Pak Abdurrahman

Saya tidak menganggap kasus Kalteng mekanisme hukum adat, tapi ada perdanya yang memberikan kewenangan. Saya menemukan satu contoh, tapi apakah ini rasional atau layak? Surat keterangan tanah adat dan tata anak sungai di Sungai Sampit, luas yang diberikan ke individu 2400 ha. Itu menjadi masalah.

Yance

Itu harus didiskusikan, jangan sampai kembalinya tanah adat diiringi dengan kembalinya tanah kerajaan (di Kutai). Termin kedua difokuskan untuk membahas ke-5 model di atas untuk memformulasikan ke RUU.

Termin Kedua Mbak Sandra

Secara umum, catatan. Penting untuk dipertanyakan, harusnya ada pemilahan penyelesaian konflik di dalam masyarakat adat itu sendiri dan yang terkait dengan masyarakat adat ketika ia menjadi pihak dalam konflik. Penyelesaian konflik di dalam masyarakat adat bisa jadi melalui hukum adat, tapi bisa juga lewat pengadilan. Kalau tidak bisa diselesaikan lewat adat, ke mana harus pergi? Misal hak waris Batak yang tidak adil gender. Kalau tidak ada konflik yang manifest, misal ketimpangan penguasaan tanah dalam masyarakat adat, siapa yang menyelesaikan? Misal penguasaan oleh elit, Siapa yang bisa melakukan intervensi, apakah oleh BPN? Jadi, selain ada konflik masyarakat adat dengan pihak lain, ada juga dengan sesamanya, dan antara konflik yang manifest dan tidak manifest. Dengan pihak luar, akan berbeda-beda tergantung melawan siapa: dephut, esdm, pemilik HGU?

Soal 5 mekanisme, bisa berlaku di semua pihak, tapi lebih baik untuk penyusunan RUU, perlu ada localizing problems sehingga terlihat jelas lembaga mana yang berwenang. Dalam soal pidana, masih sangat umum. RUU ini bukan hanya RUU sumber daya alam, tapi RUU masyarakat adat.

Febri (Badan Pembinaan Hukum Nasional)

Komentar untuk Knupka; apakah komisi ini mampu mengatasi problematika masyarakat adat karena setelah reformasi banyak komisi di Indonesia, sekitar 82. Tidak sampai 50%-nya efektif. Apakah bisa menjadi jawaban? Terkait problem….permasalahannya kebijakan pemerintah untuk mengatur masalah ini menjadi peraturan UU. Seandainya akan mengajukan RUU, kita harus melalui tahap rapat antardepartemen. Di sana, proses di mana kepentingan2 (di RUU masyarakat adat banyak kepentingan: kehutanan, ESDM, dsb.) bermain. Bagaimana mengatasi konflik kepentingan tersebut? Lalu, untuk masalah peradilan khusus agraria; bagaimanapun masyarakat adat termarjinalkan dan orang-orangnya belum tentu memiliki skill untuk litigasi. Bagaimanapun dalam perundang-undangan, apabila kuat pasti menang, jadi masyarakat adat akan sulit. Jadi kunculnya di perundang-undangan di mana ego sektoral harus diminimalkan untuk keadilan masyarakat.

Eras

Baru diingatkan inisiatif yang dulu ada, yang penting kita pahami: Kunpka adalah gagasan penyelesaian konflik agraria secara tidak biasa karena cara lain tidak efektif. Gagasan ini harus terus diperkuat ke depan terutama mengenai gagasanbahwa hukum itu dalam penyelesaian kasus agraria mestinya berlaku surut agar adil, sebelumnya harus didaftarkan, forum2 apa saja yang bisa digunakan masyarakat untuk menuntut hak atas

(5)

Misal ada negosiasi atau memanfaatkan jasa pihak ketiga, misal pengacara. Masyarakat sulit memonitor apakah mereka betul-betul menyuarakan suara mereka atau justru bermain mata. Harus mendaftar dan menganalisis forum seperti apa yang patut diperjuangkan untuk masyarakat.

Pak Kurniawarman

Penyelesaian dari Ibu Nurul sistem peradilan 151 sudah menghapus peradilan adat. UU 30 99, posisikan posisi rukun. Di UU itu, penyelesaian sengketa di luar pengadilan bisa mendapatkan eksekutorial kalau didaftarkan ke PN. Yang dikeluhkan eksekusinya tidak bisa dipaksakan. Waktu saya diskusi dengan hakim agung, sepertinya masyarakat adat keberatan dengan UU 30 99 karena kalau begitu pengadilan menjadi tukang stempel. Kalau putusan adat di Bali dibawa ke pengadilan dia tidak mau(kami bukan tukang stempel) sehingga masyarakat adat mendorong mediasi pengadilan. Jadi kalau kita pergi ke pengadilan mau menggunakan mekanisme UU 30 99, dia akan mendorong untuk mendaftarkan sebagai perkara tapi diselesaikan secara damai. Tapi lama lagi prosesnya. Kita bisa mendompleng UU itu. Saya mendorong penyelesaian adat wajib diselesaikan di KAN dan didaftarkan ke PN untuk mendapatkan pengukuhan.

Pak Idham

RUU ini harus mencerminkan sifat protektif terhadap ancaman dari luar. Kesempatan untuk mencerminkan pluralisme hukum untuk menerapkan penyelesaian internal. Tidak semua kesadaran kolektif adat bisa dianggap benar; ada juga ketimpangan di dalamnya. Ke depan harus diatur. Sampai hari ini tidak diakui: penguasaan komunal, yang ada hak menguasai negara yang diterjemahkan ke dalam hak milik, tidak ada ruang bagi hak komunal. Harus dilengkap dengan bacaan sosial-ekonomi masyarakat kita. Mau sosialisme atau neopopulis? Soal Knupka efektif atau tidak? Sulit karena presiden menolak menerapkan knupka. Soal solusi keluar dari model konvensional, ya. Basisnya adalah HAM dan transitional justice, jadi ada dimensi penguatan HAM yang dominan. Misal, pengadilan agraria penting, misal ada orang yang ditangkap memanfaatkan lahan HGU karena tidak makan, dikriminalisasi, tidak ada hukum yang masuk, jadi perlu ada pengadilan agraria.

Pak Martua

Saya pikir model fee tidak membantu dalam memperbaiki ketimpangan stuktur agraria untuk isu tanah dan sumber daya alam. Model ini sudah harus tamat, tidak direkomendasikan. Ini hanya muncul di era 70 dan 80-an dan terlihat seperti passive income dan tidak memperbaiki struktur agraria yang timpang saat ini di Indonesia. Mbak Sandra

Catatan. Pak idham menekankan bahwa pengarilan agraria bukan untuk saat ini. Pengadilan itu untuk saat ini tidak mampu memberikan keadilan. Konsep TJ harus dipahami. Zaman Orba, hukum tidak mampu memberi keadilan, maka berkembang wacana TJ yaitu keadilan dalam masa transisi. Selesai masa transisi, diberlakukanlah sistem2 yang semestinya ada. Dalam istilah hukum, knupka, kkr adalah institusi transisional, seperti KPK. Kalau institusi negara sudah normal, nggak perlu institusi2 transisional. Jadi yang 82 itu institusi yang bertugas menjaga reformasi dan ada institusi yang nantinya harus ada terus. KY juga nantinya nggak perlu, ombudsman mungkin harus tetap perlu. Jadi, knupka dll itu adalah institusi masa transisi.

Yance

Sebenarnya tema ini beriringan dengan inisiatif RUU masyarakat adat untuk menimbang2 perlu tidak memasukkan persoalan penyelesaian konflik. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah mekanisme penyelesaiam konflik bisa menjangkau konflik masa lalu (makanya knupka diangkat), 2) bagaimana relasi lembaga2 penyelesaian konflik, pengadilan adat, PU, PN. Nanti ada diskusi selanjutnya oleh AMAN tentang instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan masyarakat adat. Demikian diskusi kita hari ini

Referensi

Dokumen terkait

Partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam perencanaan pembangunan desa wisata di Desa Lubuk Dagang dapat berjalan dengan lancar dan telah menghasilkan rencana

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, nilai kesalahan (E) yang dihasilkan dari data pelatihan sudah lebih kecil dibandingkan dengan batas kesalahan, sehingga

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di

Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf jika saya

Hasil uji hipotesis menunjukkan t hitung > t tabel (10,087 > 1,661), maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya bahwa program Jamsostek mempunyai hubungan nyata dan

Awalnya Riani tidak setuju dengan rencana Genta tersebut dengan alasan akan berat sekali baginya untuk tidak bertemu keempat sahabatnya itu.. Namun setelah keempat