• Tidak ada hasil yang ditemukan

FINAL DESIGN PEDOMAN PENGENDALIAN ISPA.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FINAL DESIGN PEDOMAN PENGENDALIAN ISPA.pdf"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

Kementerian Kesehatan rePUBLiK inDOnesia

PEDOMAN PENGENDALIAN

INFEKSI SALURAN

PERNAFASAN AKUT

(2)

Penyehatan Lingkungan

Pedoman pengendalian infeksi saluran pernapasan akut,-- Jakarta : Kementerian

Kesehatan RI. 2011

isBn : 978-602-235-046-0

1. Judul I. PNEUMONIA II. RESPIRATORY TRACT INFECTIONS

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya maka Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut ini dapat direvisi sesuai dengan perkembangan situasi dan kebutuhan program.

Penyakit Pneumonia adalah penyebab utama kematian Balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut sebagai Pembunuh Balita Yang Terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Untuk mengatasi masalah penyakit Pneumonia di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI bersama seluruh unsur terkait telah melakukan berbagai upaya dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit ini.

Sesuai perkembangan situasi dan ilmu pengetahuan, maka ruang lingkup pengendalian ISPA lebih luas meliputi pengendalian pneumonia Balita, pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun, kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah serta faktor risiko ISPA.

Pedoman ini merupakan hasil revisi ke empat yang merupakan acuan bagi tenaga kesehatan, pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan di semua jenjang administrasi dalam rangka pengendalian penyakit Pneumonia di Indonesia. Semoga pedoman ini bermanfaat bagi upaya pengendalian ISPA di Indonesia.

Jakarta,Februari 2012

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama NIP 195509031980121001

(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENGERTIAN ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Ruang Lingkup Pengendalian ISPA ... 3

C. Dasar Hukum ... 3

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN ISPA ... 5

A. Analisi Situasi Pengendalian ISPA ... 5

B. Tujuan Pengendalian ISPA ... 8

C. Sasaran ... 9

D. Kebijakan ... 9

E. Strategi ... 10

BAB III KEGIATAN POKOK PENGENDALIAN ISPA ... 11

A. Advokasi dan Sosialisasi ... 11

B. Penemuan dan Tatalaksana Pneumonia Balita ... 11

C. Ketersediaan Logistik ... 16

D. Supervisi ... 18

E. Pencatatan dan Pelaporan ... 19

F. Kemitraan dan Jejaring ... 20

G. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia ... 21

H. Pengembangan Program ... 23

I. Autopsi Verbal ... 24

J. Monitoring dan Evaluasi ... 24

BAB IV PERAN JAJARAN KESEHATAN, PEMANGKU KEPENTINGAN DAN MASyARAKAT DALAM PENGENDALIAN ISPA ... 27

BAB V P E N U T U P ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 33

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 35

(6)

DAFTAR bAgAn DAn TAbel

Halaman Bagan 3.1. Klasifikasi Balita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas ... 12 Bagan 3.2. Tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas

umur < 2 Bulan ... 14 Bagan 3.3. Tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas

umur 2 Bulan - <5 tahun ... 15 Tabel 4.1. Peran Jajaran Kesehatan, Pemangku kepentingan dan Masyarakat

(7)

DAFTAR lAmpIRAn

Halaman Lampiran 1 Indikator pengendalian ISPA ... 37 Lampiran 2 Daftar lokasi sentinel surveilans pneumonia di Indonesia ... 38 Lampiran 3 Register Harian Penderita ISPA ... 39 Lampiran 4 Format Laporan Bulanan Program Pengendalian ISPA

Puskesmas ... 40 Lampiran 5 Format Laporan Bulanan Program Pengendalian ISPA

Kabupaten ... 41 Lampiran 6 Format Laporan Bulanan Program Pengendalian ISPA Provinsi ... 42 Lampiran 7 Stempel ISPA ... 43 Lampiran 8 Formulir Pemantapan Cakupan dan Kualitas Tatalaksana

Pengendalian ISPA Puskesmas ... 44 Lampiran 9 Formulir Pemantapan Cakupan dan Kualitas Tatalaksana

Pengendalian ISPA Kabupaten ... 46 Lampiran 10 Formulir Pemantapan Cakupan dan Kualitas Tatalaksana

Pengendalian ISPA Provinsi ... 49 Lampiran 11 Bagan Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernafas

pada Balita ... 52 Lampiran 12 Bagan Pengobatan dan Rujukan ... 57

(8)
(9)

PENGERTIAN

Untuk memudahkan pemahaman dan kesamaan persepsi terhadap pedoman ini, perlu dijelaskan beberapa pengertian istilah dibawah ini yaitu:

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura).

2. Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).

Pneumonia Balita ditandai dengan adanya gejala batuk dan atau kesukaran bernapas seperti napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK), atau gambaran radiologi foto thorax/dada menunjukkan infiltrat paru akut. Demam bukan merupakan gejala yang spesifik pada Balita.

Dalam penatalaksanaan pengendalian ISPA semua bentuk pneumonia seperti bronkopneumonia, bronkiolitis disebut “pneumonia” saja.

3. Influenza

Influenza adalah infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan, disebabkan oleh virus influenza dengan gejala demam ≥380C disertai batuk dan atau sakit tenggorokan.

4. Influenza Like Illness (ILI)

Penyakit yang mempunyai gejala serupa influenza yaitu demam ≥380C disertai batuk dan atau sakit tenggorokan.

5. Episenter Pandemi Influenza

adalah lokasi titik awal terdeteksinya sinyal epidemiologis dan sinyal virologis yang merupakan tanda terjadinya penularan influenza pandemi (influenza baru) antar manusia yang dapat menimbulkan terjadinya pandemi influenza.

6. Sinyal Epidemiologi

Klaster penderita atau klaster kematian karena Pneumonia yang tidak jelas penyebabnya dan terkait erat dengan faktor waktu dan tempat dengan rantai penularan yang berkelanjutan atau Klaster penderita Flu Burung dengan dua generasi penularan atau lebih tanpa hubungan darah antar generasi dan atau adanya penularan kepada petugas kesehatan yang merawat penderita.

7. Severe Acute Respiratory Infection (SARI)

Adalah infeksi pernapasan akut berat sama dengan gejala ILI yang disertai dengan: napas cepat atau sesak napas dan membutuhkan perawatan rumah sakit.

8. Sinyal Virologi

Adanya jenis virus influenza baru yang berasal dari percampuran materi genetik 2 virus influenza atau lebih (reassortment) dan atau berasal dari mutasi adaptif virus influenza unggas atau manusia.

(10)

Untuk jelasnya dapat dibaca pada pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PP & PL, Kementerian Kesehatan Tahun 2008. 9. KLB (Kejadian Luar Biasa)

KLB (Kejadian Luar Biasa) menurut PP Nomor40 tahun 1981 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian secara epidemiologis pada suatu daerah, dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.

10. Wabah

Wabah menurut UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

11. Pandemi Influenza

Adalah wabah penyakit influenza yang menjangkiti banyak negara di dunia yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

12. Surveilans Sentinel Pneumonia

Adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada populasi dan wilayah terbatas untuk mengetahui: besarnya kejadian pneumonia dan faktor risikonya; Ada tidaknya sinyal pandemi Influenza pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas.

13. ISPA akibat polusi

ISPA akibat polusi adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor risiko polusi udara seperti asap rokok, asap pembakaran di rumah tangga, gas buang sarana transportasi dan industri, kebakaran hutan dan lain lain.

14. Care seeking

Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran keluarga balita pneumonia dalam pencarian pelayanan kesehatan.

Kegiatan ini dapat dipadukan dengan tindak lanjut atau pelacakan penderita pneumonia yang tidak kontrol ulang setelah dua hari pengobatan. Pada saat kunjungan ke rumah penderita diharapkan petugas kesehatan/ISPA dapat melaksanakan penyuluhan tentang pneumonia kepada keluarga penderita dan sekitarnya.

(11)

DAFTAR SINGKATAN

AI = Avian Influenza

AIDS = Acquired Immune Deficiency Syndrome

APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APD = Alat Pelindung Diri

APEC = Asian Pacific Economy Country

ARI = Acute Respiratory Infection

Balita = Bawah Lima Tahun

Bappeda = Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BBLR = Berat badan lahir rendah

BSL = Bio Security Level

CD = Compact Disc

CDC = Communicable Disease Control

CFR = Case Fatality Rate

DBD = Demam Berdarah Dengue

DHS = Demographic Health Survey

Ditjen PP–PL = Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DVD = Digital Video Disc

FB = Flu Burung

HN = Hemagglutinin, Neuraminidase (contoh H5N1, H1N1)

ICU = Intensive Care Unit

IDAI = Ikatan Dokter Anak Indonesia

ILI = Influenza Like Illness

IMCI = Integrated Management of Childhood Illness

IRA = Infeksi Respiratorik Akut

ISPA = Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Kemenkes = Kementerian Kesehatan

KIE = Komunikasi, Informasi dan Edukasi

KLB = Kejadian Luar Biasa

LP/LS = Lintas Sektor/Lintas Program

LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat

MDGs = Millennium Development Goals

MTBS = Manajemen Terpadu Balita Sakit

Ormas = Organisasi Masyarakat

PHEIC = Public Health Emergency of International Concern

POLRI = Polisi Republik Indonesia

Poskesdes = Pos Kesehatan Desa Posyandu = Pos Pelayanan Terpadu

PP = Peraturan Pemerintah

Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat

(12)

RI = Republik Indonesia Riskesdas = Riset Kesehatan Dasar

RPJPN = Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

RS = Rumah Sakit

RSUD = Rumah Sakit Umum Daerah

RT PCR = Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction

SARI = Severe Acute Respiratory Infection

SARS = Severe Acute Respiratory Syndrome

SDKI = Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

SDM = Sumber Daya Manusia

SK = Surat Keputusan

SKD = Sistim Kewaspadaan Dini

SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga

SPM = Standar Pelayanan Minimal

TGC = Tim Gerak Cepat

TNI = Tentara Nasional Indonesia

TOGA = Tokoh Agama

TOMA = Tokoh Masyarakat

ToT = Training of Trainer

TP PKK = Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga

UNICEF = United Nation International Children’s Emergency Fund

UPK = Unit Pelayanan Kesehatan

UU = Undang-Undang

VCD = Video Compact Disc

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LAtAr BeLAkAng

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%).

Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta Balita meninggal karena Pneumonia (1 Balita/20 detik) dari 9 juta total kematian Balita. Diantara 5 kematian Balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang terlupakan atau “the forgotten killer

of children”(Unicef/WHO 2006, WPD 2011). Di negara berkembang 60% kasus pneumonia

disebabkan oleh bakteri, menurut hasil Riskesdas 2007 proporsi kematian Balita karena pneumonia menempati urutan kedua (13,2%) setelah diare. Sedangkan SKRT 2004 proporsi kematian Balita karena pneumonia menempati urutan pertama sementara di negara maju umumnya disebabkan virus.

Berdasarkan bukti bahwa faktor risiko pneumonia adalah kurangnya pemberian ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (indoor air pollution), BBLR, kepadatan penduduk dan kurangnya imunisasi campak. Kematian Balita karena Pneumonia mencakup 19% dari seluruh kematian Balita dimana sekitar 70% terjadi di Sub Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Walaupun data yang tersedia terbatas, studi terkini masih menunjukkan Streptococcus

pneumonia, Haemophilus influenza dan Respiratory Syncytial Virus sebagai penyebab utama

pneumonia pada anak (Rudan et al Bulletin WHO 2008).

Pengendalian ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam perjalanannya, pengendalian ISPA telah mengalami beberapa perkembangan:

(14)

1. Pra-implementasi telah dilaksanakan 2 kali lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahun 1984 dan 1988.

2. Lokakarya ISPA Nasional 1984, menghasilkan pengembangan sistem dan mengklasifikasikan penyakit ISPA menjadi ISPA ringan, sedang dan berat.

3. Lokakarya ISPA Nasional 1988, disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA dengan tiga klasifikasi: pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia. 4. Lokakarya Nasional III 1990 di Cimacan disepakati menerapkan pola baru tatalaksana

kasus ISPA di Indonesia dengan memfokuskan kegiatan pengendalian pneumonia Balita.

5. Tahun 1997, WHO memperkenalkan Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai model pendekatan tatalaksana kasus terpadu untuk berbagai penyakit anak, yaitu: pneumonia, diare, DBD, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Pada daerah yang telah melaksanakan MTBS, tatalaksana pneumonia diintegrasikan dalam pendekatan MTBS.

6. Dalam pertemuan Review Pengendalian ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan akademisi mulai diperkenalkan istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan istilah bahasa Inggris acute respiratory infection (ARI). Pada dasarnya ISPA sama dengan IRA.

7. Tahun 2007 telah dilaksanakan Seminar Perkembangan ISPA yang dihadiri oleh Ikatan Dokter Ahli Anak Indonesia (IDAI) dan Dokter Spesialis Anak dari 14 Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk merevisi pedoman tatalaksana pneumonia Balita sesuai dengan perkembangan terbaru khususnya perubahan pemberian antibiotika dari 5 hari menjadi 3 hari pengobatan.

8. Review terhadap pedoman ini juga telah dilaksanakan pada tahun 2011 namun tidak mengalami perubahan substansi.

Peningkatan pelaksanaan pengendalian ISPA perlu didukung dengan peningkatan sumber daya termasuk dana. Semua sumber dana pendukung program yang tersedia baik APBN, APBD dan dana kerjasama harus di manfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan program dan target yang telah ditentukan.Sejalan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah maka daerah otonomi harus mempunyai kemampuan menentukan skala prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan setempat serta memperhatikan komitmen nasional dan global. Disamping itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) menyatakan bahwa kabupaten/kota wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai SPM yang telah ditetapkan, salah satunya adalah pneumonia.

Saat ini salah satu penyakit ISPA yang perlu mendapat perhatian juga adalah penyakit influenza, karena penyakit influenza merupakan penyakit yang dapat menimbulkan wabah sesuai dengan Permenkes Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.

Virus influenza mempunyai sifat mudah berubah baik secara mutasi maupun dengan pertukaran materi genetik 2 jenis virus influenza atau lebih (reassortment) membentuk jenis virus influenza baru. Pandemi Influenza berdampak pada kerugian ekonomi yang besar, kelumpuhan pelayanan termasuk kesehatan dan gangguan keamanan dan ketertiban sosial. Pada abad ke

(15)

20 ini terjadi pandemi Flu Spanyol (tahun 1918), Flu Asia (tahun 1957), Flu Hongkong (tahun 1967), dan tahun 2009 pandemi Influenza A Baru (H1N1) menurut WHO mempunyai derajat keparahan sedang. Penyakit menular bersifat tidak mengenal batas wilayah administratif dan sistem pemerintahan, maka perlu dikembangkan pengendalian penyakit menular dan penyehatan lingkungan secara terpadu, menyeluruh/komprehensif berbasis wilayah melalui peningkatan surveilans, advokasi dan kemitraan.

Pelaksanaan pengendalian ISPA memerlukan komitmen pemerintah pusat, pemeritah daerah, dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran serta masyarakat termasuk dunia usaha. Pedoman ini mengulas situasi pengendalian pneumonia, kebijakan dan strategi, kegiatan pokok, peran pemangku kepentingan, tantangan dan pengembangan ke depan sesuai dengan visi misi dan rencana strategis Kementerian Kesehatan.

B. ruAng Lingkup pengendALiAn iSpA

Ruang lingkup pengendalian ISPA pada awalnya fokus pada pengendalian pneumonia balita. Dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami pengembangan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat yaitu:

1. Pengendalian Pneumonia Balita. 2. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun.

3. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah.

4. Faktor risiko ISPA.

C. dASAr Hukum

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi UU.

7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025

9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 10. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

11. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.

(16)

12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.

13 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota.

14. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

15. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/MENKES/PER/VIII/2004 tentang Sistem

Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.

17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota.

18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.

19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan.

20. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1537A/MENKES/SK/XII/2002 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Penanggulangan Pneumonia Pada Balita.

21. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.

22. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 300/MENKES/SK/IV/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza.

23. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 311/MENKES/SK/V/2009 Tentang Penetapan Penyakit Flu Baru H1N1 (Mexican Strain) Sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah.

24. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 375/MENKES/SK/V/2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025.

25. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/160/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.

26. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.

(17)

BAB II

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN ISPA

A. ANALISIS SITUASI PENGENDALIAN ISPA

1. Pengendalian Pneumonia Balita.

Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada Balita. Menurut hasil Riskesdas 2007, pneumonia merupakan pembunuh nomor dua pada Balita (13,2%) setelah diare (17,2%).

Hasil survei morbiditas yang dilaksanakan oleh subdit ISPA dan Balitbangkes menunjukkan angka kesakitan 5,12%, namun karena jumlah sampel dinilai tidak representatif maka subdit ISPA tetap menggunakan angka WHO yaitu 10% dari jumlah Balita. Angka WHO ini mendekati angka SDKI 2007 yaitu 11,2%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Rudan,et al (2004) di negara berkembang termasuk Indonesia insidens pneumonia sekitar 36% dari jumlah Balita. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap insidens pneumonia tersebut antara lain gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan, cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR.

Sejak tahun 2000, angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara 20%-36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode 2000-2004 adalah 86%, sedangkan periode 2005-2009 adalah 46%-86%.

Rendahnya angka cakupan penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara lain:

• Sumber pelaporan rutin terutama berasal dari Puskesmas, hanya beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.

• Deteksi kasus di puskesmas masih rendahnya karena sebagian besar tenaga belum terlatih.

• Kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari kabupaten/kota ke provinsi.

2. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran pernapasan

lain yang berpotensi wabah

Kasus flu burung (FB) pada manusia di Indonesia pertama kali ditemukan pada Juni 2005. Kasus FB pada manusia kumulatif sudah tersebar di 13 propinsi (Sumut, Sumsel, Sumbar, Lampung, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, DI Yogyakarta, Sulsel dan Bali) dan 53 kabupaten/kota. Klaster terbesar ditemukan di Kabupaten Karo, Sumut dimana 6 orang meninggal dari 7 kasus positif (confirmed). Pada tahun 2011, kasus FB masih ditemukan di 4 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jabar,

(18)

DI Yogyakarta dan Bali. Indonesia masih pada fase 3 pandemi (penularan dari hewan ke manusia), belum ada bukti penularan antar manusia yang efisien. Indonesia adalah yang terbanyak kasus FB di dunia dengan kematian 149 orang dari 181 kasus positif (CFR 82,3%) dan 15 klaster (Oktober 2011).

Walaupun kasus FB di Indonesia tetap ditemukan, namun jumlah kumulatif kasus pertahun sudah menunjukkan penurunan. Disaat Indonesia sedang berupaya menanggulangi kasus flu burung, dunia dikejutkan dengan munculnya virus Influenza A Baru (H1N1) di San Diego, Amerika Serikat dan menyebar ke Mexico pada April 2009, yang menyebar dengan cepat ke berbagai negara di dunia. Sampai dengan Februari 2010, sudah menyebar lebih dari 211 negara dan menyebabkan kematian sekitar 15.000 orang. Sedangkan di Indonesia ditemukan 1.097 kasus positif dan 10 orang (CFR 0.9%) diantaranya meninggal (10 Februari 2010).

Melihat kejadian pandemi sebelumnya, ada kekhawatiran bahwa kemungkinan akan terjadi mutasi virus flu burung atau reassortment (pencampuran genetik 2 virus influenza atau lebih) yang akan menyebabkan timbulnya virus baru yang patogenitasnya tinggi dan menular antar manusia secara efisien. Oleh karena itu semua negara di dunia tetap mewaspadai kemungkinan tersebut dengan penguatan kesiapsiagaan dan respon (core capability) sesuai situasi negara masing-masing.

Indonesia telah menyusun Rencana Strategi Penanggulangan Flu Burung dan Kesiapsiagaan Pandemi Influenza tahun 2005. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan oleh Kemenkes antara lain penyiapan rumah sakit rujukan,penguatan surveilans, laboratorium virologi dan BSL-3, KIE, aspek hukum, logistik, koordinasi LP/LS, kerjasama internasional dan simulasi.

Subdit ISPA bekerjasama dengan LP/LS telah melaksanakan simulasi penanggulangan episenter pandemi influenza di Bali (April 2008) dan Makassar (April 2009),

Table-top Exercise di 6 propinsi (Jabar, Sumut, Jambi, Bengkulu, Sulut dan Sulteng),

penyusunan rencana kontijensi penanggulangan episenter di 11 propinsi (Sumut, Sumsel, Sumbar, Lampung, Riau, Banten, Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Sulsel) dan 80 kabupaten/kota, penyusunan pedoman dan modul, sosialisasi H1N1 ke 33 propinsi dengan melibatkan LP/LS, dll.

Melihat data diatas masih banyak propinsi dan kabupaten/kota yang diharapkan dapat mengadopsi atau mereplikasi sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing.

3. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun

Sejak pertengahan tahun 2007 Pengendalian ISPA telah mengembangkan Surveilans Sentinel Pneumonia di 10 provinsi masing-masing 1 kabupaten/kota (10 Puskesmas, 10 RS). Pada tahun 2010 telah dikembangkan menjadi 20 provinsi masing-masing 2 kabupaten/kota (40 RS, 40 Puskesmas – terlampir). Secara bertahap akan dikembangkan di semua provinsi, sehingga pada 2014 lokasi sentinel menjadi 132 lokasi (66 RS dan 66 Puskesmas). Biaya operasional sentinel ini dibebankan pada anggaran rutin ISPA.

(19)

Tujuan dibangunnya sistem surveilans sentinel pneumonia ini adalah:

• Mengetahui gambaran kejadian pneumonia dalam distribusi epidemiologi menurut waktu, tempat dan orang di wilayah sentinel

• Mengetahui jumlah kematian, angka fatalitas kasus (CFR) pneumonia usia 0 – 59 bulan (Balita) dan ≥ 5 tahun

• Tersedianya data dan informasi faktor risiko untuk kewaspadaan adanya sinyal epidemiologi episenter pandemi influenza

• Terpantaunya pelaksanaan program ISPA

Dalam pelaksanaannya, kendala utama yang dihadapi adalah ketepatan dan kelengkapan laporan. Disamping itu, pengiriman laporan masih bulanan dan hanya beberapa lokasi sentinel yang menggunakan fasilitas internet dan fax sehingga berdampak pada kelambatan deteksi dini, analisis data dan umpan balik.

4. Faktor risiko ISPA

Beberapa wilayah di Indonesia mempunyai potensi kebakaran hutan dan telah mengalami beberapa kali kebakaran hutan terutama pada musim kemarau. Asap dari kebakaran hutan dapat menimbulkan penyakit ISPA dan memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita pneumonia khususnya Balita. Disamping itu asap rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar juga menjadi salah satu faktor risiko pneumonia. Hal ini dapat diperburuk apabila ventilasi rumah kurang baik dan dapur menyatu dengan ruang keluarga atau kamar.

Indonesia juga merupakan negara rawan bencana seperti banjir, gempa, gunung meletus, tsunami, dll. Kondisi bencana tersebut menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk, sarana dan prasarana umum dan kesehatan terbatas. Penularan kasus ISPA akan lebih cepat apabila terjadi pengumpulan massa (penampungan pengungsi). Pada situasi bencana jumlah kasus ISPA sangat besar dan menduduki peringkat teratas.

Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang sangat infeksius dan 90% mengenai Balita. Dikhawatirkan apabila anak Balita menderita penyakit campak dengan komplikasi pneumonia dapat menyebabkan kematian.

Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi, demikian juga sebaliknya. Balita merupakan kelompok rentan terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga apabila kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang infeksi salah satunya pneumonia.

Penanggulangan faktor risiko di atas dilaksanakan oleh unit lain yang terkait baik pusat maupun daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Namun disadari bahwa data mengenai hubungan antara faktor risiko dengan kejadian kasus pneumonia belum tersedia, sehingga pengendalian ISPA belum dilaksanakan lebih komprehensif.

(20)

B. TUJUAN PENGENDALIAN ISPA

1. Tujuan Umum

Menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia

2. Tujuan Khusus

a. Pengendalian Pneumonia Balita.

• Tercapainya cakupan penemuan pneumonia Balita sebagai berikut (tahun 2010: 60%, tahun 2011: 70%, tahun 2012: 80%, tahun 2013: 90%, tahun 2014: 100%)

• Menurunkan angka kematian pneumonia Balita sebagai kontribusi penurunan angka kematian Bayi dan Balita, sesuai dengan tujuan MDGs (44 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup) dan Indikator Nasional Angka Kematian Bayi (34 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup).

b. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah.

• Tersusunnya dokumen Rencana Kontijensi Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza di 33 provinsi pada akhir tahun 2014.

• Tersusunnya Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.

• Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait dengan Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.

• Tersusunnya Pedoman Latihan (Exercise) dalam Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.

c. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun

Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di Rumah Sakit dan Puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33 provinsi pada akhir tahun 2014.

d. Faktor risiko ISPA

Terjalinnya kerjasama/ kemitraan dengan unit program atau institusi yang kompeten dalam pengendalian faktor risiko ISPA khususnya Pneumonia.

(21)

C. SASARAN

1. Pengendalian Pneumonia Balita

• Balita (< 5 tahun)

2. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran pernapasan

lain yang berpotensi wabah.

• Pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan terkait di pusat dan daerah. • Unit-unit esensial, swasta, media massa serta Lembaga Swadaya Masyarakat.

3. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun

• Kelompok umur ≥ 5 tahun di fasilitas pelayanan kesehatan

4. Faktor risiko ISPA

• Lintas program dan lintas sektor • Masyarakat

D. KEBIJAKAN

Untuk mencapai tujuan pengendalian pneumonia dan influenza maka ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut :

1. Advokasi kepada pemangku kepentingan di semua tingkat untuk membangun komitmen dalam pencapaian tujuan pengendalian ISPA.

2. Pengendalian ISPA dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

3. Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana pneumonia Balita sesuai dengan standar di semua fasilitas pelayanan kesehatan.

4. KIE pengendalian ISPA melalui berbagai media sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat.

5. Ketersediaan logistik pengendalian ISPA menjadi tanggung jawab pusat dan daerah. 6. Pengendalian ISPA dilaksanakan melalui kerjasama dan jejaring dengan lintas program,

lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah baik nasional maupun internasional.

7. Meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan kemampuan sumber daya, pembinaan/supervisi, sistem pemantauan dan evaluasi program serta sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat.

8. Autopsi verbal dilakukan dalam rangka menentukan penyebab kematian Balita.

9. Penyusunan rencana kontinjensi kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza di semua tingkat.

(22)

E. STRATEGI

Strategi Pengendalian ISPA di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan di semua tingkat dengan melaksanakan advokasi dan sosialisasi pengendalian ISPA dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan global.

2. Penguatan jejaring internal dan eksternal (LP/LS, profesi, perguruan tinggi, LSM, ormas, swasta, lembaga internasional, dll).

3. Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif.

4. Peningkatan mutu pelayanan melalui ketersediaan tenaga terlatih dan logistik. 5. Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia Balita dan

pencarian pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan. 6. Pelaksanaan Autopsi Verbal Balita di masyarakat.

7. Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza melalui penyusunan rencana kontinjensi di semua jenjang, latihan (exercise), penguatan surveilans dan penyiapan sarana prasana.

8. Pencatatan dan pelaporan dikembangkan secara bertahap dengan sistem komputerisasi berbasis web.

9. Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan berkala.

(23)

BAB III

KEGIATAN POKOK PENGENDALIAN ISPA

Secara rinci kegiatan-kegiatan pokok Pengendalian ISPA dijabarkan sebagai berikut:

A. ADVOKASI DAn SOSIALISASI

Advokasi dan sosialisasi merupakan kegiatan yang penting dalam upaya untuk mendapatkan komitmen politis dan kesadaran dari semua pihak pengambil keputusan dan seluruh masyarakat dalam upaya pengendalian ISPA dalam hal ini Pneumonia sebagai penyebab utama kematian bayi dan Balita.

1. Advokasi

Dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan komitmen dari semua pengambil kebijakan.

2. Sosialisasi

Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, kemandirian dan menjalin kerjasama bagi pemangku kepentingan di semua jenjang melalui pertemuan berkala, penyuluhan/KIE.

B. PEnEMUAn DAn TATALAKSAnA PnEUMOnIA BALITA

1. Penemuan penderita pneumonia

Penemuan dan tatalaksana Pneumonia merupakan kegiatan inti dalam pengendalian Pneumonia Balita.

a. Penemuan penderita secara pasif

Dalam hal ini penderita yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatanseperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit dan Rumah sakit swasta.

b. Penemuan penderita secara aktif

Petugas kesehatan bersama kader secara aktif menemukan penderita baru dan penderita pneumonia yang seharusnya datang untuk kunjungan ulang 2 hari setelah berobat.

Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut: a. Menanyakan Balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas

b. Melakukan pemeriksaan dengan melihat tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK) dan hitung napas.

c. Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur <2 bulan dan 2 bulan - <5 tahun

d. Melakukan klasifikasi Balita batuk dan atau kesukaran bernapas; Pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia.

(24)

Bagan 3.1. Klasifikasi Balita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas KELOMPOK KLASIFIKASI TAnDA PEnYERTA SELAIn BATUK

UMUR DAn ATAU SUKAR BERnAPAS

PnEUMOnIA BERAT Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing)

PnEUMOnIA Napas cepat sesuai golongan umur

2 Bulan – <5 tahun - 2 bulan-<1 tahun : 50 kali atau lebih/menit - 1-< 5 tahun : 40 kali atau lebih/menit

BUKAn PnEUMOnIA Tidak ada napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

PnEUMOnIA BERAT Napas cepat > 60 kali atau lebih per menit atau < 2 Bulan Tarikan kuat dinding dada bagian bawah ke dalam

BUKAn PnEUMOnIA Tidak ada napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

Secara terinci dapat dibaca pada buku Tatalaksana Pneumonia Balita atau Bagan Tatalaksana pneumonia terlampir.

2. Perkiraan jumlah penderita Pneumonia Balita (Perkiraan pneumonia Balita)

Perkiraan jumlah penderita Pneumonia Balita suatu Puskesmas didasarkan pada angka insidens Pneumonia Balita dari jumlah Balita di wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan. Jika angka insidens pneumonia untuk suatu daerah belum diketahui maka dapat digunakan angka perkiraan (nasional) insidens pneumonia Balita di Indonesia yang dihitung 10 % dari total populasi balita.

Jumlah Balita di suatu daerah diperkirakan sebesar 10% dari jumlah total penduduk. Namun jika provinsi, kabupaten/kota memiliki data jumlah Balita yang resmi/riil dari pencatatan petugas di wilayahnya, maka dapat menggunakan data tersebut sebagai dasar untuk menghitung jumlah penderita pneumonia Balita.

Rumus perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita di suatu wilayah kerja per tahun adalah sebagai berikut :

a. Bila jumlah Balita sudah diketahui

Insidens pneumonia Balita = 10% jumlah balita Contoh:

Jumlah Balita di Puskesmas Rembulan = 10.000 Balita Maka perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita = 10% x 10.000 = 1.000 Balita

Atau :

b. Bila jumlah Balita belum diketahui

(25)

Contoh:

Angka insidens Pneumonia Balita =10%

Perkiraan jumlah Balita = 10% jumlah penduduk

Jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Melati = 30.000 orang Maka:

Perkiraan jumlah penderita pneumonia di wilayah kerja tersebut per tahun adalah:

10% x 10% x 30.000 = 300 Balita/tahun

Perkiraan Jumlah penderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Melati per bulan adalah :

10% x 10% x 30.000 = 25 Balita/bulan

12

Perhitungan per bulan bermanfaat untuk pemantauan dalam pencapaian target penderita pneumonia Balita.

3. Target

Target penemuan penderita pneumonia Balita adalah jumlah penderita pneumonia Balita yang harus ditemukan/dicapai di suatu wilayah dalam 1 tahun sesuai dengan kebijakan yang berlaku setiap tahun secara nasional.

Contoh:

Kebijakan tahun 2011 target penemuan penderita pneumonia Balita = 70% Maka Puskesmas Melati:

Jumlah (minimal) penderita pneumonia Balita yang harus dicapai adalah : 70% x 300 penderita pneumonia Balita = 210 Balita/tahun

70% x 210 penderita pneumonia Balita = 17-18 Balita/bulan 12

Bila Puskesmas Melati dalam setahun menemukan 180 penderita maka pencapaian target penemuan adalah:

180 x 100% = 60% 300

Berarti Puskesmas Melati tidak mencapai target 70%, oleh karena itu perlu dianalisis penyebab permasalahannya sehingga dapat diketahui pemecahan masalah dan dapat ditindaklanjuti untuk tahun berikutnya.

(26)

4. Tatalaksana pneumonia Balita

Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA untuk pengendalian pneumonia pada Balita didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi Indonesia.

Bagan 3.2. Tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas umur < 2 Bulan

Setelah penderita pneumonia Balita ditemukan dilakukan tatalaksana sebagai berikut:

a. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: kotrimoksazol, amoksisilin selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti parasetamol, salbutamol (dosis dapat dilihat pada bagan terlampir).

b. Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu penderita 2 hari setelah mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan.

(27)

Bagan 3.3. Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan - < 5 Tahun.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang tatalaksana penderita ISPA ini dapat dipelajari:

a. Buku Tatalaksana Pneumonia Balita oleh Direktorat Jenderal PP & PL Kementerian Kesehatan, 2010;

b. Modul Pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) oleh Departemen Kesehatan 2008;

c. DVD Tatalaksana pneumonia Balita oleh Direktorat Jenderal PP & PL Kementerian Kesehatan, 2010;

d. Bagan Tatalaksana Penderita Batuk dan Kesukaran Bernapas Pada Balita (terlampir).

(28)

C. KETERSEDIAAn LOGISTIK

Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan pengendalian ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau contoh logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk pelayanan kesehatan. Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban memenuhi kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik yang dibutuhkan antara lain:

1. Obat

• Tablet Kotrimoksazol 480 mg • Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml • Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml • Tablet Parasetamol 500 mg • Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml.

Pola penghitungan jumlah obat yang diperlukan dalam satu tahun di suatu daerah didasarkan pada rumus berikut :

• Kebutuhan tablet Kotrimoksazol 480 mg setahun = Cakupan tahun sebelumnya x perkiraan

pneumonia Balita x 6 tablet + 10% bufferstock

• Kebutuhan sirup Kotrimoksasol 240mg/5ml setahun = Cakupan tahun sebelumnya x perkiraan

pneumonia Balita x 2 botol + 10% bufferstock • Kebutuhan sirup Amoksisilin 125mg/5ml setahun =

Cakupan tahun sebelumnya x perkiraan pneumonia Balitax 2 botol + 10% bufferstock • Kebutuhan tablet Parasetamol 500 mg setahun =

Cakupan tahun sebelumnya x perkiraan

pneumonia Balita x 6 tablet + 10% bufferstock

Obat-obat tersebut di atas merupakan obat yang umum digunakan di Puskesmas untuk berbagai penyakit sehingga dalam penyediaannya dilakukan secara terpadu dengan program lain dan proporsi sesuai kebutuhan. Jika memungkinkan dapat disediakan antibiotik intramuskular: Ampisilin dan Gentamisin.

Untuk menghindari kelebihan obat maka perhitungan kebutuhan obat berdasarkan hasil cakupan tahun sebelumnya dengan tambahan 10% sebagai buffer stock.

(29)

Contoh penghitungan kebutuhan obat: Target cakupan tahun 2011 = 70% Pencapaian cakupan tahun 2010 = 30%

Perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita = 300 Balita/tahun Kebutuhan tablet Kotrimoksazol 480 mg setahun

= hasil cakupan tahun sebelumnya x perkiraan pneumonia balita x 6 tablet + 10% bufferstock

= (30% x 300 x 6 tablet ) + 10% (30% x 300 x 6 tablet ) = 540 tablet + 54 tablet = 594 tablet

2. Alat

a. Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI Soundtimer)

Digunakan untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit. Alat ini memiliki masa pakai maksimal 2 tahun (10.000 kali pemakaian).

Jumlah yang diperlukan minimal: i. Puskesmas • 3 buah di tiap Puskesmas • 1 buah di tiap Pustu • 1 buah di tiap bidan desa, Poskesdes, Polindes, Ponkesdes ii. Kabupaten • 1 buah di dinas kesehatan kabupaten/kota • 1 buah di rumah sakit umum di ibukota kabupaten/kota iii. Provinsi • 1 buah di dinas kesehatan provinsi • 1 buah di rumah sakit umum di ibukota provinsi. b. Oksigen konsentrator

Untuk memproduksi oksigen dari udara bebas. Alat ini diperuntukkan khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rawat inap dan unit gawat darurat yang mempunyai sumber daya energi (listrik/ generator).

c. Oksimeter denyut (Pulseoxymetry)

Sebagai alat pengukur saturasi oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki oksigen konsentrator.

3. Pedoman

Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas masing-masing minimal memiliki 1 set buku pedoman Pengendalian ISPA, yang terdiri dari:

a. Pedoman Pengendalian ISPA

b. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita c. Pedoman Autopsi Verbal

d. Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza e. Pedoman Respon Nasional menghadapi Pandemi Influenza

(30)

4. Media KIE (Elektronik dan Cetak)

a. DVD Tatalaksana pneumonia Balita.

Media ini berisi cara-cara bagaimana memeriksa anak yang menderita batuk, bagaimana menghitung frekuensi napas anak dalam satu menit dan melihat tanda penderita Pneumonia berat berupa tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing).

b. TV spot dan Radio Spot tentang pneumonia Balita.

c. Poster, Lefleat, Lembar Balik, Kit Advokasi dan Kit Pemberdayaan Masyarakat.

5. Media pencatatan dan pelaporan

• Stempel ISPA

Merupakan alat bantu untuk pencatatan penderita pneumonia Balita sebagai status penderita.

• Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel) • Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)

Pemantauan logistik dilaksanakan sampai di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (dengan menggunakan formulir supervisi) yang dilakukan oleh petugas pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Di semua tingkat pemantauan dilakukan sesuai dengan ketentuan pengelolaan barang milik pemerintah (UU No.19 tahun 2003 tentang badan usaha milik negara).

Penilaian kecukupan logistik dapat dilihat dari indikator logistik pengendalian ISPA.

D. SUPERVISI

Supervisi dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pengendalian ISPA berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan/ditetapkan dalam pedoman baik di provinsi, kabupaten/kota, Puskesmas dan rumah sakit menggunakan instrumen supervisi (terlampir). Supervisi dilakukan secara berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota, Puskesmas yang:

• pencapaian cakupan rendah • pencapaian cakupan tinggi namun meragukan • kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik

1. Pelaksana supervisi:

a. petugas pusat, b. petugas provinsi, c. petugas kabupaten/kota, d. petugas Puskesmas.

2. Alat:

Formulir (checklist) untuk supervisi mencakup aspek manajemen program (pencapaian target, pelatihan, logistik) dan aspek tatalaksana.

(31)

3. Luaran

Luaran dari kegiatan supervisi dan bimbingan teknis pengendalian ISPA adalah : • data umum wilayah

 data pencapaian target program  data pelatihan

 data logistik

 identifikasi masalah  cara pemecahan masalah  langkah tindak lanjut, dan

 laporan supervisi dan bimbingan teknis.

E. PEnCATATAn DAn PELAPORAn

Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat.

Data dasar atau informasi tersebut diperoleh dari :

a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke pusat setiap bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya bersumber dari Puskesmas saja tetapi dari semua fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah. b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari lokasi sentinel

setiap bulan.

c. Laporan kasus influenza pada saat pandemi

Disamping pencatatatan dan pelaporan tersebut di atas, untuk memperkuat data dasar diperlukan referensi hasil survei dan penelitian dari berbagai lembaga mengenai pneumonia. Data yang telah terkumpul baik dari institusi sendiri maupun dari institusi luar selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan baik oleh Puskesmas, kabupaten/kota maupun provinsi. Di tingkat Puskemas pengolahan dan analisis data diarahkan untuk tujuan tindakan koreksi secara langsung dan perencanaan operasional tahunan. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota diarahkan untuk tujuan bantuan tindakan dan penentuan kebijakan pengendalian serta perencanaan tahunan/5 tahunan di wilayah kerjanya masing-masing.

Melalui dukungan data dan informasi ISPA yang akurat menghasilkan kajian dan evaluasi program yang tajam sehingga tindakan koreksi yang tepat dan perencanaan tahunan dan menengah (5 tahunan) dapat dilakukan. Kecenderungan atau potensi masalah yang mungkin timbul dapat diantisipasi dengan baik khususnya dalam pengendalian Pneumonia.

Data dan kajian perlu disajikan dan disebarluaskan/diseminasi dan diumpan balikan kepada pengelola program dan pemangku kepentingan terkait di dalam jejaring.

Diseminasi di tingkat Puskesmas dilakukan pada forum pertemuan rutin, lokakarya mini Puskesmas, rapat koordinasi kecamatan dan sebagainya.

Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, diseminasi dilakukan pada forum pertemuan teknis di dinas kesehatan, rapat koordinasi di tingkat kabupaten/kota, provinsi, forum dengar pendapat

(32)

serta diskusi dengan DPRD dan sebagainya, serta dituangkan dalam bentuk buletin, laporan tahunan ataupun laporan khusus.

Dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA di Indonesia diagnosis tidak dianggap sama dengan klasifikasi tatalaksana sehingga timbul kerancuan dalam pencatatan dan pelaporan. Oleh karena itu dalam klasifikasi “Bukan Pneumonia” tercakup berbagai diagnosis ISPA (non Pneumonia) seperti: common cold/ selesma, faringitis, Tonsilitis, Otitis, dsb. Dengan perkataan lain “Batuk Bukan Pneumonia” merupakan kelompok diagnosis.

F. KEMITRAAn DAn JEJARInG

1. Kemitraan

Kemitraan merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program pembangunan. Kemitraan dalam program Pengendalian ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, lintas program, lintas sektor terkait dan pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan dapat lebih ditingkatkan, sehingga pendekatan pelaksanaan pengendalian ISPA khususnya Pneumonia dapat terlaksana secara terpadu dan komprehensif. Intervensi pengendalian ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja tetapi terhadap faktor risiko (lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten.

Kegiatan kemitraan meliputi pertemuan berkala dengan: • lintas program dan sektor terkait; • organisasi kemasyarakatan, • lembaga swadaya masyarakat, • tokoh masyarakat, • tokoh agama, • perguruan tinggi, • organisasi profesi kesehatan, • sektor swasta

2. Jejaring

Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku kepentingan. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring antara lain pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan, dukungan, membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian pneumonia di semua tingkat. Jejaring dapat dibangun dengan berbagai pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik sektor pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga/organisasi non pemerintah, dll.

Jejaring dapat dibangun melalui pertemuan atau pembuatan kesepahaman (MOU). Untuk menjaga kesinambungan jejaring, maka komunikasi perlu secara intensif melalui pertemuan-pertemuan berkala dengan mitra terkait.

(33)

G. PEnInGKATAn KAPASITAS SUMBER DAYA MAnUSIA

Aspek pelatihan merupakan bagian penting dari Pengendalian ISPA dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya dalam penatalaksanaan kasus dan manajemen program. Ada beberapa jenis pelatihan untuk tenaga kesehatan, yaitu :

1. Pelatihan pelatih (TOT)

TOT Tatalaksana Pneumonia Balita, Manajemen Pengendalian ISPA dan Pandemi Influenza.

Tujuan:

Tersedianya tenaga fasilitator/pelatih pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pengendalian ISPA

Sasaran:

• Pengelola ISPA Pusat • Pengelola ISPA Provinsi

• Pengelola ISPA Kabupaten/Kota

2. Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan

a. Tatalaksana ISPA Tujuan:

Peserta latih memahami dan mampu mempraktekkan tatalaksana penderita Pneumonia sesuai standar di tempat kerjanya masing-masing.

Sasaran: • Paramedis Puskesmas, Polindes dan Bidan desa • Dokter Puskesmas • Dokter Rumah Sakit • Paramedis Rumah Sakit • Pengelola Program ISPA kabupaten dan provinsi Materi: • Buku/modul Tatalaksana PneumoniaBalita • Bagan Tatalaksana Penderita Batuk dan Kesukaran Bernapas Pada Balita • DVD Tatalaksana Pneumonia Balita Penyelenggaraan: • Jumlah peserta optimal: 30 orang per kelas • Rasio fasilitator termasuk MOT dengan peserta diupayakan 1:5 Lama pelatihan: 4 hari

b. Pelatihan Manajemen Program Pengendalian ISPA Tujuan:

Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan manajemen program Pengendalian ISPA secara efektif sesuai kebijakan program Pengendalian ISPA Nasional dan situasi spesifik setempat.

(34)

Sasaran:

• Pengelola program ISPA provinsi

• Pengelola program ISPA kabupaten/kota • Pengelola program ISPA Puskesmas Materi:

• Pedoman/modul Pelatihan Manajemen Pengendalian ISPA terbitan Kementerian Kesehatan.

Penyelenggaraan:

• Jumlah peserta maksimal: 30 orang per kelas • Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5 Lama Pelatihan: 4 hari

c. Pelatihan Promosi Pengendalian Pneumonia Balita Tujuan:

Peserta latih memahami dan mampu mengembangkan promosi penanggulangan Pneumonia melalui advokasi, bina suasana dan penggerakan masyarakat.

Sasaran: • Pengelola program ISPA provinsi, kabupaten/kota • Pengelola program Promosi Kesehatan provinsi, kabupaten/kota Materi: • Buku Pedoman/modul Promosi Pengendalian Pneumonia Balita. Penyelenggaraan: • Jumlah peserta maksimal: 30 orang per kelas • Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5 Lama pelatihan: 4 hari

3. Pelatihan Autopsi Verbal

Tujuan:

Petugas kesehatan mampu mengumpulkan gejala-gejala pada Balita menjelang kematian melalui metode wawancara yang dilakukan antara 1-3 bulan setelah kematian dan mampu membuat klasifikasi penyakit yang diderita anak umur <5 tahun menjelang kematiannya.

Sasaran:

• Pengelola ISPA dan surveilans provinsi, kabupaten/kota dan Puskesmas. • Tenaga kesehatan (keperawatan dan kebidanan) Puskesmas, Pustu dan

Polindes. • Pengelola program ISPA Puskesmas. Materi: • Modul pelatihan Autopsi Verbal kematian Balita • Formulir wawancara Penyelenggaraan: • Jumlah peserta diupayakan maksimal: 30 orang per kelas • Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 8-10

(35)

4. Pelatihan Pengendalian ISPA Bagi Tenaga non Kesehatan

Keberhasilan Pengendalian ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat baik untuk menggerakkan masyarakat dalam berperan untuk melaksanakan program (kader, TOMA, TOGA dan sebagainya) maupun dalam menggerakkan masyarakat untuk memanfaatkan sarana dan pelayanan kesehatan. Dalam mengembangkan dan meningkatkan peranan masyarakat dalam Pengendalian ISPA dilaksanakan pelatihan Pengendalian ISPA bagi tenaga non petugas kesehatan. Tujuan:

Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan kegiatan promosi pengendalian Pneumonia Balita melalui penyampaian informasi Pneumonia yang benar kepada orang tua/pengasuh Balita dan masyarakat umum.

Sasaran: • Kader • TP PKK desa dan kecamatan • TOMA • TOGA Materi: • Buku pemberdayaan kader Penyelenggaraan: • Jumlah peserta diupayakan maksimal: 30 orang per kelas • Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 10

Lama pelatihan: 1 hari

H. PEnGEMBAnGAn PROGRAM

1. Kesiapsiagaan dan respon Pandemi influenza

Kegiatan meliputi:

• Penyusunan pedoman

• Pertemuan lintas program dan lintas sektor

• Latihan (exercise) seperti desktop/tabletop, simulasi lapangan

2. Sentinel surveilans pneumonia

• Kegiatan di Puskesmas dan RS sentinel meliputi:

 Penemuan dan tatalaksana pneumonia semua golongan umur.  Pengumpulan data pneumonia untuk semua golongan umur.

 Pelaporan dari Puskesmas dan RS sentinel langsung ke Subdit P ISPA dengan tembusan ke kab/kota dan propinsi.

 Pengolahan dan analisis data dilakukan di semua jenjang.

 Umpan balik dari Pusat ke Puskesmas dan RS sentinel dan tembusan ke kab/kota dan propinsi.

(36)

3. Kajian/pemetaan

• Pengetahuan, sikap dan perilaku (KAP) yang terkait pneumonia. • Kesakitan (termasuk faktor risiko) dan kematian. • Pengendalian pneumonia di fasilitas kesehatan. • Penggunaan dan pemeliharaan logistik ISPA • Terapi oksigen dalam tatalaksana kasus pneumonia

I. AUTOPSI VERBAL (AV)

Autopsi verbal Balita merupakan kegiatan meminta keterangan atau informasi tentang berbagai kejadian yang berkaitan dengan kesakitan dan/atau tindakan yang dilakukan pada Balita sebelum yang bersangkutan meninggal dunia, guna mencari penyebab kematian serta faktor determinan yang sangat esensial dalam pengelolaan kesehatan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara kepada ibu atau pengasuh Balita yang dianggap paling tahu terhadap keadaan anak menjelang meninggal. Petugas yang akan melaksanakan AV adalah petugas yang sudah mengikuti pelatihan Autopsi Verbal Kematian Pneumonia Balita.

Peran aktif petugas ISPA/Puskemas sangat penting dalam memantau kematian Balita di wiliyah kerja Puskesmas, baik yang datang maupun tidak datang ke sarana pelayanan kesehatan setempat. Dari hasil AV akan didapat data kematian Balita berdasarkan waktu, tempat dan orang sebagai sumber informasi manajemen dalam menentukan intervensi yang efisien dan efektif.

Data kematian Balita bermanfaat sebagai:

• Alat monitoring dan intervensi program kesehatan yang dilaksanakan. • Bahan perencanaan penganggaran dan kegiatan kesehatan. • Audit kasus kematian untuk upaya pembinaan. • Audit manajemen kasus dan kesehatan masyarakat • Penentu prioritas program • Data sasaran program menurut umur.

J. MOnITORInG DAn EVALUASI

Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses pelaksanaan sudah sesuai dengan jalur yang ditetapkan sebelumnya. Apabila terdapat ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan dengan segera. Monitoring hendaknya dilaksanakan secara berkala (mingguan, bulanan, triwulan).

Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output yang diperlukan untuk koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6 bulan, tahunan dan lima tahunan. Keberhasilan pelaksanaan seluruh kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan bagi perencanaan tahun/periode berikutnya.

(37)

1. Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam Pengendalian ISPA

Beberapa komponen yang dapat dipantau/evaluasi adalah: a. Sumber Daya Manusia

i. Tenaga Puskesmas terlatih dalam manajemen program dan teknis

ii. Tenaga pengelola Pengendalian ISPA terlatih di kabupaten/kota dan provinsi b. Sarana dan Prasarana

i. RS Rujukan (FB/AI, Influenza Pandemi) yang memiliki ruang isolasi, ruang rawat intensif/ ICU dan ambulans sebagai penilaian core capacity penanggulangan pandemi influenza.

ii. Ketersediaan alat komunikasi baik untuk rutin maupun insidentil (KLB). c. Logistik i. Obat: • Ketersediaan antibiotik • Ketersediaan antiviral (oseltamivir) • Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll) ii. Alat: • Tersedianya ARI sound timer • Oksigen konsentrator

• Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium, Puskesmas dan lapangan

iii. Pedoman (ketersedian dan kondisi sesuai standar) iv. Media KIE dan media audio visual

v. Tersedianya formulir pencatatan dan pelaporan

2. Indikator masukan

a. Sumber Daya Manusia

• Tenaga fasilitas pelayanan kesehatan yang terlatih dalam manajemen program dan teknis pengendalian ISPA.

Proporsi Puskesmas dengan Tenaga Terlatih Pembilang (a):

Jumlah Puskesmas dengan tenaga terlatih yang ada di suatu wilayah tertentu.

Penyebut (b):

Jumlah seluruh Puskesmas yang ada di wilayah tersebut Cara perhitungan: a x 100%

b

• Tenaga pengelola Pengendalian ISPA terlatih di kabupaten/kota dan provinsi b. Sarana dan Prasarana

• Jumlah RS Rujukan (FB/AI, Influenza Pandemi) yang memiliki ruang isolasi, ruang rawat intensif/ICU dan ambulans.

(38)

c. Logistik

• Tersedianya alat: sound timer dan oksigen konsentrator

Proporsi Puskesmas yang memiliki Alat Bantu Hitung napas atau Sound Timer

Pembilang (a):

Jumlah Puskesmas yang memiliki sound timer di suatu wilayah tertentu. Penyebut (b) :

Jumlah semua Puskesmas yang ada di wilayah tersebut. Cara perhitungan: a x 100%

3b • Ketersediaan antibiotik

• Ketersediaan antiviral (oseltamivir)

• Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)

• Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium, Puskesmas dan lapangan.

• Ketersediaan pedoman

• Media KIE dan media audio visual

3. Indikator luaran (Evaluasi)

a. Cakupan penemuan Pneumonia Balita Pembilang (a):

Jumlah kasus Pneumonia Balita yang ditemukan di suatu wilayah kerja Puskesmas dalam 1 tahun.

Penyebut (b):

Perkiraan jumlah penemuan Pneumonia Balita di wilayah kerja Puskesmas tersebut dalam 1 tahun (10% dari jumlah Balita).

Cara penghitungan: a x 100% b

b. Jumlah Kasus dan CFR di rumah sakit

c. Cakupan profilaksis massal pada penanggulangan episenter pandemi

4. Indikator Kinerja Pengendalian ISPA

a. Jumlah propinsi sentinel mencapai 33 provinsi (66 Puskesmas dan 66 RS) tahun 2014.

b. Rencana Kontinjensi Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza: 33 provinsi tahun 2014.

c. Kelengkapan laporan: 100% d. Ketepatan laporan: 80%

(39)

BAB IV

PERAN JAJARAN KESEHATAN, PEMANGKU KEPENTINGAN

DAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN ISPA

Pengendalian ISPA tidak dapat dilaksanakan hanya dari jajaran kesehatan saja namun harus didukung pemangku kepentingan dan masyarakat agar dapat mencapai tujuan.

Dukungan tersebut diperlukan dalam berbagai kegiatan pengendalian ISPA baik sarana, prasarana, sumber daya manusia dan dana sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Peran jajaran kesehatan, pemangku kepentingan dan masyarakat dalam pengendalian ISPA dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1.

PERAN JAJARAN KESEHATAN, PEMANGKU KEPENTINGAN DAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN ISPA

INSTANSI

NO

KEGIATAN

1 Melakukan advokasi ke berbagai pihak (pemangku

kepentingan) di setiap jenjang untuk mendapatkan V V V V V V dukungan dalam pengendalian pneumonia dan

kesiapsiagaan menghadapi episenter PI dan PI. 2 Membangun komitmen dan kerjasama tim dalam

pengendalian pneumonia dan kesiapsiagaan V V V V V V V V

menghadapi episenter dan PI.

3 Melakukan sosialisasi dalam tatalaksana standar. V V V V V V V 4 Penyebarluasan informasi melalui forum koordinasi, V V V V V V V lokakarya disemua tingkat.

5 Deteksi dini kasus-kasus pneumonia dan klaster V V V V V V

6 Tatalaksana kasus pneumonia sedini mungkin V V V V V V

7 Tatalaksana kasus pneumonia berat sesuai standard V V V

8 Kunjungan rumah bagi kasus yang tidak melakukan V V V V

kunjungan ulang

9 Merujuk kasus pneumonia berat ke RS V

10 Melakukan pemulasaraan jenazah sesuai dengan V V V standar.

11 Penyuluhan/KIE/Komunikasi risiko V V V V V V V

PEMANGKU KEPENTINGAN DINKES KAB/KOTA

PUSKESMAS RUMAH SAKIT RS RUJUKAN DINKES PROV

PUSAT PEMDA

(40)

INSTANSI NO

KEGIATAN

12 Menerapkan kewaspadaan universal dalam

tatalaksana kasus pneumonia yang di duga karena V V V FB/AI dan Influenza Pandemi

13 Membantu Penanggulangan Episenter Pandemi

Influenza yang dilakukan Dinkes Kab/kota V V V V V

14 Membantu kegiatan surveilans dan observasi

kontak kasus klaster pneumonia V V V V V

15 Melaksanakan kegiatan SKD KLB V V V V

16 Memfasilitasi dinas kesehatan provinsi dan

kabupaten/kota dalam PE dan penanggulangan. V V

17 Bekerjasama dengan dinas terkait setempat untuk

penyelidikan dan penanggulangan faktor risiko V V V V V V V

18 Menyediakan anggaran untuk pengendalian pneumonia dan kesiapsiagaan menghadapi

episenter PI dan PI termasuk penyusunan rencana V V V V V V V V kontijensi.

19 Menyusun pedoman pengendalian ISPA dan

pedoman penanggulangan episenter PI dan PI V V V V V V V V V 20 Menetapkan kebijakan nasional pengendalian

pneumonia, kesiapsiagaan menghadapi episenter V V V V V V V V V PI dan PI.

21 Memfasilitasi pembentukan posko dan

kesiapsiagaan pandemi influenza V V V V

22 Menetapkan peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, kebijakan dan pedoman yang

mendukung pelaksanaan program pengendalian V V V V

ISPA

23 Menyediakan anggaran untuk logistik ISPA

(sound timer, oksigen konsentrator, pedoman, V V V V

bahan KIE, formulir ISPA, dll).

24 Bantuan transportasi dalam pendistribusian

logistik essensial. V V V V V

25 Penyediaan sarana dan prasarana terutama dalam

penyediaan rumah sakit lapangan, dapur umum, V V V V

dan lain-lain.

26 Pengamanan infra struktur/sarana vital (air, listrik,

makanan, obat-obatan, dll) pada saat episenter V V

maupun pandemi.

27 Melakukan supervisi dan bimbingan teknis

berjenjang. V V V V

PEMANGKU KEPENTINGAN DINKES KAB/KOTA

PUSKESMAS RUMAH SAKIT RS RUJUKAN DINKES PROV

PUSAT PEMDA

(41)

PEMANGKU KEPENTINGAN DINKES KAB/KOTA

PUSKESMAS RUMAH SAKIT RS RUJUKAN DINKES PROV

PUSAT PEMDA

TNI & POLRI MASYARAKAT LSM/NGO

INSTANSI

NO

KEGIATAN

28 Pelaporan berjenjang dalam 24 jam sejak

terdeteksi kasus klaster pneumonia V V V V V V 29 Melakukan Pencatatan dan Pelaporan bulanan V V V V V V 30 Menyajikan dan menganalisis data dalam bentuk

tabel, grafik, peta, dll V V V V V V

31 Menggunakan data untuk perencanaan

program ISPA V V V V V V V

32 Mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi

data serta mengambil tindakan atau keputusan V V V V V V berdasarkan data tersebut.

33 Memberikan umpan balik pelaporan dan

pencapaian kinerja. V V V

34 Memfasilitasi pengembangan sistem surveilans, sistem informasi/pelaporan, serta sistem

kesiapsiagaan dan penanggulangan episenter PI V V dan Pandemi Influenza.

35 Koordinasi dengan Camat, Lurah,RT dan RW dalam

upaya penanggulangan faktor risiko V V V

36 Koordinasi dengan RS Rujukan (FB/AI,

Influenza Pandemi) V V V

37 Koordinasi penanggulangan dan pelaporan dengan

Dinkes Kab/kota, prov dan pusat. V

38 Menyelenggarakan pertemuan berkala Lintas

Program untuk memantau kemajuan program serta V V V V V V pemecahan masalah yang timbul.

39 Kerjasama dengan lembaga regional dan

internasional dalam pengendalian pneumonia dan

kesiapsiagaan menghadapi episenter PI dan V

Pandemi Influenza

40 Melatih kader kesehatan, desa siaga & Posyandu

dalam mengenal tanda pneumonia dan upaya V V V

pencegahannya.

41 Menyiapkan Tim penanggulangan Episenter PI dan kesiapsiagaan PI di RS Rujukan atau

mendayagunakan Tim Pengendalian Infeksi yang V V V V sudah ada.

42 Menyelenggarakan pelatihan tatalaksana kasus

standard pneumonia bagi petugas kesehatan. V V 43 Menyelenggarakan pelatihan manajemen program

Referensi

Dokumen terkait

• Bilangan yang mengisi field type (lihat halaman 7) selalu lebih besar dari 1518 • Panjang maksimum frame Ethernet adalah 1518 bytesY.  Bila isi field type/length merupakan

Pada zaman keemasan raja Anak Wungsu, kegiatan yang paling terkenal dari kerajaan ini adalah perdagangan, dengan barang dagangan berupa; beras; asam; kemiri; dan

Upaya untuk memenuhi permintaan pasar tersebut, maka selain upaya peningkatan produksi dan pendapatan petani serta meminimalkan risiko usahatani rumput laut, maka

Dalam kegiatan belajar mengajar salah satu strategi yang digunakan agar siswa tidak merasa bosan pada saat pembelajaran adalah dengan menggunakan strategi active

[r]

kawasan hutan dalam hal ini penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada huruf b, perlu melimpahkan kewenangan Menteri Kehutanan kepada Direktur Jenderal

Elektronik Banking Pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Surabaya”..

Simpulan dari penelitian pengembang- an ini adalah: (1) dihasilkan modul pem- belajaran menggunakan learning content development system (LCDS) tervalidasi sebagai