• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pencirian Membran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Pencirian Membran"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

5

disaring-vakum dan diperas sekuat-kuatnya kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang baru.

Serbuk BC kemudian ditambahkan dengan larutan asam asetat glasial-H2SO4 dengan nisbah 100:1 (10:0.1 mL) dan diaduk kuat. Setelah itu, anhidrida asetat dengan nisbah 1:5 ditambahkan dengan pipet tetes sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan batang pengaduk hingga mengental dan didiamkan selama 2 jam terhitung sejak penambahan anhidrida asetat tetesan pertama. Setelah proses asetilasi selesai, suspensi dihidrolisis dengan 2.4 mL larutan asam asetat glasial-air suling (2:1) dan diaduk pada beberapa menit pertama. Larutan kemudian didiamkan selama 30 menit terhitung sejak penambahan asam asetat encer. Selanjutnya, larutan hasil hidrolisis disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 4000 rpm. Supernatan yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi 500 mL air suling dan diaduk sekuat mungkin dengan pengaduk magnet hingga terbentuk serpihan (CA) berwarna putih.

Serpihan CA yang diperoleh disaring-vakum dengan corong Büchner dan dicuci dengan NaHCO3 1N hingga gelembung gas CO2 menghilang, lalu dicuci kembali dengan air suling. Serpihan netral ini diperas lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 50 ºC selama 24 jam hingga CA yang diperoleh benar-benar kering. Produk CA yang dihasilkan selanjutnya dianalisis kadar air dan kadar asetilnya (Lampiran 2).

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembuatan Membran

Pembuatan membran dilakukan dengan modifikasi prosedur Pasla (2006). Tahap pertama, CA kering dilarutkan ke dalam pelarut aseton (sesuai dengan derajat asetilasi yang dihasilkan) menggunakan pengaduk magnet. Nisbah polimer dan pelarut yang digunakan sebanyak 16% (b/v). Larutan tersebut kemudian dituang ke atas pelat kaca. Selanjutnya, larutan dicetak dengan cara menekan lalu menarik larutan menggunakan batang pengaduk hingga diperoleh lapisan tipis yang menempel pada kaca dan dibiarkan selama 15 menit untuk menguapkan pelarut. Penampang kaca tersebut kemudian direndam di dalam air hingga lapisan tipis membran yang menempel pada kaca terlepas.

Pencirian Membran Analisis FTIR

Analisis FTIR dilakukan terhadap serbuk selulosa dan membran selulosa asetat. Masing-masing sampel dipreparasi hingga berbentuk pelet lalu ditempatkan di dalam tempat sampel. Sampel kemudian dianalisis gugus fungsinya dengan alat FTIR di Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Analisis SEM

Analisis dilakukan di laboratorium Penelitian dan Pengembangan Geologi dan Kelautan. Membran CA dipotong kecil lalu ditempelkan pada tempat sampel. Kemudian, sampel ditempatkan dalam sebuah tabung untuk dilapisi permukaannya oleh emas selama 20 menit. Selanjutnya, sampel yang telah dilapisi ditempatkan dalam alat SEM dan dicari perbesaran terbaik agar morfologi permukaannya dapat diamati. Gambar yang diperoleh kemudian difoto dan disimpan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nata de cassava

Penambahan gula pasir sebagai sumber karbon sebanyak 10%, amonium sulfat sebagai sumber nitrogen 0.5%, A. xylinum sebagai starter sebanyak 20%, serta pengaturan pH menjadi 4 dengan penambahan asam asetat glasial merupakan kondisi optimum yang dibutuhkan untuk membuat

nata de cassava dari 1 L limbah cair tapioka

(Avriyani dan Yulimartani 2009). Penambahan gula kurang dari 10% tidak menyediakan sumber karbon yang cukup sehingga mengganggu metabolisme bakteri dan pertumbuhan bakteri pun akan terhambat, sedangkan penambahan gula lebih dari 10% akan menyebabkan media terlalu pekat sehingga kerja bakteri menjadi tidak optimum. Pengaturan pH menjadi 4 bertujuan membuat

A. xylinum lebih unggul dibandingkan dengan

bakteri lain dalam hal mendapatkan nutrien dari media untuk pertumbuhannya sehingga mencegah tumbuhnya bakteri lain yang dapat menganggu pertumbuhan nata.

Nata de cassava (BC) yang diperoleh pada

penelitian ini berwarna putih dengan ketebalan sekitar 1 cm (Gambar 4). Sebelum diasetilasi, BC direndam dalam NaOH 1% agar struktur selulosa membengkak sehingga serat-seratnya dapat terbuka dan mengurangi ikatan intramolekul hidrogen. Perendaman

(2)

dalam CH3COOH 1% dimaksudkan untuk menetralkan sifat basa dari struktur BC yang telah dimurnikan. Struktur selulosa yang membengkak dapat meningkatkan aksesibilitas gugus –OH pada selulosa terhadap pereaksi asetilasi.

BC kemudian dikeringkan, lalu dihaluskan sehingga diperoleh serbuk berwarna kecokelatan. Serbuk BC yang dihasilkan memiliki struktur yang rapat karena adanya ikatan hidrogen antarmolekul selulosa (Arifin 2004).

Gambar 4 Nata de cassava.

Selulosa Asetat (CA)

Pembuatan selulosa asetat meliputi 4 tahap, yaitu aktivasi, asetilasi, hidrolisis, dan purifikasi. Tahap aktivasi menggunakan asam asetat pekat untuk menarik air yang masih tersisa di dalam serbuk BC karena serbuk BC bersifat higroskopis. Proses perendaman dalam asam asetat juga meningkatkan reaktivitas gugus selulosa karena matriks BC yang sulit dimasuki pereaksi kimia akan dibengkakkan sehingga dapat mempercepat penetrasi anhidrida asetat ke dalam matriks pada saat asetilasi.

Proses asetilasi dimaksudkan untuk menyubstitusi gugus hidroksil BC dengan gugus asetil sehingga terbentuk CA. Asetilasi adalah reaksi yang eksoterm, maka suhu harus dijaga tetap rendah agar tidak terjadi degradasi rantai selulosa dan untuk menghindari penguapan (Winding dan Hasche 1947). Hal ini dapat menurunkan rendemen yang dihasilkan, atau produk CA dapat tidak terbentuk sama sekali. Penambahan anhidrida asetat tetes demi tetes yang diikuti pengadukan selama proses asetilasi dapat menjaga suhu larutan tetap rendah dan menghindari hal tersebut karena penambahan anhidrida asetat dalam jumlah yang signifikan dapat menyebabkan suhu sistem meningkat dengan cepat.

Tahap yang ketiga adalah hidrolisis, yaitu proses penghentian asetilasi dengan penambahan asam asetat encer. Hidrolisis dengan asam asetat encer ini dapat mengurangi kadar asetil serta mengurangi derajat substitusi CA ke nilai yang diinginkan. Hasil reaksi kemudian dimurnikan dengan cara sentrifugasi untuk memisahkan BC yang terasetilasi dan yang tidak. Bagian yang terasetilasi berupa supernatan yang selanjutnya didispersikan ke dalam air suling sehingga diperoleh serpihan berwarna putih kecokelatan yang merupakan selulosa asetat (Gambar 5).

Gambar 5 Serbuk selulosa asetat.

Membran Selulosa Asetat (CA)

Serbuk CA yang dihasilkan mempunyai kadar asetil sebesar 40.38%. CA dengan kadar asetil 37 hingga 42% dapat larut di dalam pelarut aseton (Tabel 2). Oleh karena itu, serbuk CA yang dihasilkan pada penelitian ini dilarutkan dalam aseton untuk membuat membran CA. Pembuatan membran CA dilakukan dengan metode inversi fase. Larutan polimer dicetak di atas pelat kaca yang sisi-sisinya sudah dilapisi dengan selotip. Larutan CA yang telah dicetak dibiarkan 15 menit untuk menguapkan aseton hingga larutan menjadi kering dan membentuk lembaran membran. Lembaran membran ini kemudian direndam dalam air hingga terlepas dari kaca. Membran yang dihasilkan berwarna putih kecokelatan (Gambar 6).

(3)

7

Kadar Air dan Kadar Asetil CA

Kadar asetil menunjukkan banyaknya gugus –OH pada BC yang sudah terasetilasi atau banyaknya gugus asetil yang terdapat pada CA. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya kadar asetil adalah metode pengeringan selulosa, konsentrasi NaOH pada tahap merserisasi atau pemurnian selulosa, dan nisbah antara bobot selulosa dan volume anhidrida asetat (Pasla 2006). Faktor-faktor di atas telah dioptimisasi oleh Arifin (2004) dan Yulianawati (2002).

Selulosa bakteri yang diperoleh diusahakan mengandung kadar air yang rendah karena kadar air dapat memengaruhi jalannya reaksi asetilasi. Gugus –OH pada air lebih mudah bereaksi dengan anhidrida asam asetat dibandingkan dengan gugus –OH pada selulosa. Oleh karena itu, aksesibilitas yang tinggi pada gugus –OH selulosa diperlukan untuk mempermudah terjadinya reaksi asetilasi oleh pereaksi anhidrida asam asetat. Semakin tinggi aksesibilitas –OH pada selulosa, kadar asetil pun akan semakin tinggi. Kadar asetil CA yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 40.38%. Nilai kadar asetil ini setara dengan derajat substitusi 2.51. Derajat substitusi (DS) adalah jumlah rerata atom H pada gugus hidroksil (-OH) yang diubah menjadi gugus asetil dalam setiap residu anhidroglukosa. DS ini berhubungan dengan aplikasi CA dalam industri. Menurut Fengel dan Wegener (1984), CA dengan DS 2.2 sampai 2.7 dapat diaplikasikan sebagai benang dan film. Perhitungan penentuan kadar asetil dapat dilihat di Lampiran 3.

CA dengan kadar asetil sebesar 40.38% dapat larut dalam aseton (Kirk dan Othmer 1993). Oleh karena itu, pelarut yang digunakan untuk membuat membran CA pada penelitian ini adalah aseton. Menurut Wenten (1999), semakin tinggi kadar asetil, ukuran pori-pori membran akan semakin kecil dan permeabilitas air akan semakin berkurang. Berdasarkan pernyataan tersebut, CA yang diperoleh pada penelitian ini memiliki pori-pori yang cukup kecil dan permeabilitas air yang cukup rendah dilihat dari nilai kadar asetilnya yang cukup tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil analisis SEM pada permukaan membran CA yang menunjukan kisaran ukuran pori membran (Gambar 8).

Kadar air CA yang diperoleh adalah 21.49% (Lampiran 3). Besarnya kadar air tersebut dapat disebabkan oleh waktu proses pengeringan CA yang kurang lama saat di oven sehingga belum diperoleh bobot yang

benar-benar konstan. Selain itu, kebersihan wadah dan tempat pengukuran pun dapat berpengaruh karena dapat menambah bobot yang ditimbang. Nilai kadar air ini diperlukan untuk menghitung kadar asetil CA.

Analisis Spektrum FTIR

Analisis spektrum FTIR dilakukan pada selulosa nata de coco, serbuk nata de cassava, dan CA. Selulosa nata de coco ini merupakan hasil pembiakan bakteri A. xylinum pada media air kelapa tanpa penambahan apapun.

Pada spektrum FTIR serbuk nata de

cassava (Gambar 8) terdapat pita serapan

pada daerah bilangan gelombang 3394.46 cm -1

yang merupakan pita serapan ulur dari gugus –OH serta pada daerah bilangan gelombang 1059.15 cm-1 yang merupakan pita serapan ulur dari gugus C-O. Selain itu, terdapat pula pita serapan untuk gugus C-H ulur pada daerah bilangan gelombang sekitar 2900– 3000 cm-1. Nilai serapan yang tidak jauh berbeda juga terdapat pada spektrum FTIR selulosa nata de coco (Gambar 7), yaitu 3367.85 cm-1 untuk gugus –OH, 1059.21 cm-1 untuk gugus C-O, serta sekitar 2900–3000 cm -1

untuk gugus C-H ulur. Hal ini menunjukkan bahwa struktur penyusun yang terdapat pada serbuk nata de cassava sama dengan struktur penyusun pada selulosa nata de coco. Oleh karena itu, berdasarkan spektrumnya, serbuk

nata de cassava dapat dikatakan sebagai

selulosa walaupun masih terdapat adanya zat lain yang kemungkinan adalah pengotor.

Gambar 7 Spektrum FTIR selulosa nata de

coco. 4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0 8.0 10 12 14 16 18 20 22 24 25.5 cm-1 %T

Laboratory Test Result

Laboratory Test Result 3840.12 3752.08 3736.53 3673.01 3650.07 3367.85 1650.78 1059.21 670.11 O-H C-H C–O

(4)

8

Gambar 8 Spektrum FTIR serbuk nata de

cassava.

Serbuk nata de cassava dibandingkan spektrum FTIRnya dengan membran CA untuk melihat keberhasilan proses asetilasi yang telah dilakukan. Pada spektrum FTIR membran CA (Gambar 9) terdapat pita serapan yang khas untuk gugus karbonil atau C=O, yaitu pada daerah bilangan gelombang 1754.81 cm-1. Selain itu, terdapat pita serapan untuk gugus C-O asetil pada daerah bilangan gelombang 1042.34 cm-1. Hal ini menandakan sudah terbentuknya gugus asetil pada selulosa

nata de cassava setelah diasetilasi sehingga

menjadi CA. Adanya pita serapan untuk gugus –OH pada daerah 3445.12 cm-1

menunjukkan bahwa ada sebagian gugus hidroksil pada setiap residu anhidroglukosa yang belum terasetilasi. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai DS pada CA yang tidak mencapai nilai maksimumnya, yaitu 3.

Gambar 9 Spektrum FTIR membran CA.

Analisis Membran CA dengan SEM

Pencirian dengan SEM bertujuan mengamati morfologi permukaan membran, yaitu dengan melihat keberadaan dan ukuran pori-pori membran serta penampang lintangnya. Dari hasil pengamatan tersebut, jenis membran yang sedang dianalisis dapat diketahui.

Pengamatan dilakukan pada 2 bagian membran, yaitu bagian permukaan dan penampang lintangnya. Hasil SEM dengan perbesaran 5000x pada permukaan membran memperlihatkan adanya pori-pori yang menyebar pada membran (Gambar 10). Diameter pori-pori tersebut sekitar 0.37-0.95 µm. Hal ini menunjukkan bahwa membran tersebut dapat menahan partikel yang berukuran lebih besar dari 0.95 µm. Dengan kata lain, permeat yang terbentuk terdiri atas partikel yang berukuran ≤0.95 µm sedangkan rentetatnya berupa partikel berukuran ≥0.95 µm. Menurut Mulder (1996), membran yang memiliki ukuran pori 0.1-10.0 µm tergolong sebagai membran mikrofiltrasi. Oleh karena itu, membran CA yang dihasilkan merupakan membran mikrofiltrasi.

Gambar 10 Permukaan membran CA dengan perbesaran 5000 kali.

Berdasarkan morfologinya, pengamatan penampang lintang membran dengan perbesaran 2500 kali (Gambar 11) menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan termasuk membran asimetrik karena tersusun oleh beberapa lapisan. Struktur membran asimetrik terdiri atas lapisan yang sangat padat dan lapisan berpori sebagai penyangga. Pada membran asimetrik, 4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0 5.0 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16.0 cm-1 %T Membrane CA selulosa Laboratory Test Result

3394.46

1650.74 1059.15 670.02

(5)

9

permeasi terjadi pada lapisan padat yang mempunyai tahanan perpindahan massa yang besar (Lindu et a.l 2008).

Gambar 11 Penampang lintang membran CA dengan perbesaran 2500 kali.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Limbah cair tapioka dapat dibuat menjadi

nata de cassava. Hal ini dibuktikan dari

kesamaan spektrum selulosa dari nata de

cassava dengan nata de coco. Selulosa nata de cassava dapat diasetilasi, kemudian CA

yang dihasilkan dibuat menjadi membran dengan teknik inversi fase menggunakan pelarut aseton. Terbentuknya CA ditunjukkan dengan hasil analisis FTIR pada membran CA yang menunjukkan adanya pita serapan C=O pada daerah bilangan gelombang 1754.81 cm -1

serta C-O asetil pada daerah 1042.34 cm-1. CA yang diperoleh mempunyai kadar air sebesar 21.49% dan kadar asetil sebesar 40.38% (setara dengan kisaran derajat substitusi 2.51). Pengamatan SEM pada membran CA memperlihatkan bahwa membran yang dihasilkan merupakan jenis membran mikrofiltrasi (berdasarkan fungsi) dan asimetrik (berdasarkan morfologi).

Saran

Kadar air dan α-selulosa BC harus ditentukan untuk mengetahui tingkat kemurnian selulosa yang terbentuk. Pengujian lain juga perlu dilakukan untuk mengetahui kinerja membran lebih lanjut, seperti nilai fluks air dan indeks rejeksi. Berkaitan dengan hasil SEM yang menunjukkan ukuran pori

yang tidak seragam pada membran CA, penambahan suatu zat aditif dalam pembuatan membran perlu dilakukan untuk mengatur ukuran pori agar lebih seragam.

DAFTAR PUSTAKA

Andriansyah M. 2006. Sifat-sifat membran yang terbuat dari sari kulit buah nanas [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Arifin B. 2004. Optimasi kondisi asetilasi selulosa bakteri dari nata de coco [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Arviyanti E, Yulimartani N. 2009. Pengaruh penambahan air limbah tapioka pada proses pembuatan nata [skripsi]. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Dipenogoro.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tabel Luas Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman Ubi Kayu Seluruh Propinsi [terhubung berkala]. http://www.bps.go.id [24 Juli 2011].

Desiyarni. 2006. Perancangan proses pembuatan selulosa asetat dari selulosa mikrobial untuk membran ultrafiltrasi. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Fengel D, Wegener G. 1984. Wood:

Chemistry, Ultrastructure, Reaction.

Berlin: Walter de Gruyter.

Gosh R. 2003. Protein Bioseparation Using

Ultrafiltration Theory, Application, and New Development. Oxford: Imperial

College Press.

Hanifah TA, Saeni MS, Adijuwana H, Bintoro HMH. 1999. Evaluasi kandungan logam berat timbal dan kadmium dalam ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) yang dipupuk sampah kota. Buletin Ilmiah

Gaku-ryoku 1:38-45.

Hart H, Craine LE, Hart DJ. 2003. Kimia

Organik. Achmadi SS, penerjemah;

Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry.

Gambar

Gambar 5  Serbuk selulosa asetat.
Gambar  7    Spektrum  FTIR  selulosa  nata  de  coco. 4000.03000 2000 1500 1000 450.08.0101214161820222425.5cm-1%T
Gambar 9  Spektrum FTIR membran CA.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana fungsi manajemen (perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan) di Badan Futsal Banjarnegara. Tujuan dari

sosial para penganut tarekat; atau struktur dalam pengertian Giddens yang meliputi. aspek signifikansi, dominasi dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ikan sidat yang sehat mempunyai nilai leukosit yang lebih kecil (3.453 sel/mm3) dibandingkan ikan sidat yang telah diinfeksi

Hal tersebut terjadi karena kebijaksanaan Bupati untuk memberikan bantuan kepada Partai Politik tidak mendasarkan jumlah bantuan untuk tiap-tiap kursi dan tidak

This study aims at finding out the difficulties faced by Libyan students in comprehending reading explanation texts.Specifically, the objectives of the study is to describe

Berdasarkan pada kesimpulan diatas, saran bagi guru adalah sebagai berikut: (1) Penggunaan model pembelajaran course review horay dalam pembelajaran matematika di

Berkaitan dengan permasalahan yang dialami oleh siswa SDLB tunarungu kelas 5 di SLB Negeri Surakarta dalam belajar penguasaan kosa kata bahasa Indonesia tersebut

From฀the฀mid-1960s฀to฀the฀present,฀the฀archaeological฀study฀of฀Corinth฀