• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

VI. TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA 6.1 Analisis Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga menunjukkan bagaimana arus komoditi mengalir dari tangan produsen (PT. KGU) sampai ke tangan konsumen. Berdasarkan cakupan wilayah, pendistribusian sapi potong PT. KGU mayoritas tersebar di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Jakarta, Cibinong, Cianjur, dan Serang. Wilayah pemasaran/penjualan sapi potong PT. KGU terbesar yaitu di Bogor (36 persen), dimana terdapat daerah Cibinong didalamnya, kemudian diikuti Sukabumi, Bandung, Jakarta, dan lainnya (Tabel 11).

Tabel 11. Rata - Rata Penjualan Sapi Potong PT. KGU menurut Wilayah pada Tahun 2009

No. Wilayah Jumlah (ekor/bln) Persentase (persen)

1 Bogor 443 36 2 Sukabumi 384 31 3 Bandung 184 15 4 Jakarta 114 10 5 lainnya 101 8 Total 1226 100

Jika dilihat dari sisi lembaga tataniaga, secara keseluruhan PT. KGU melakukan penjualan kepada dua lembaga tataniaga, yaitu kepada pedagang pengumpul dan pedagang pemotong. Dari data penjulan per konsumen PT. KGU pada tahun 2009 dengan rata – rata penjualan PT. KGU (1.226 ekor sapi hidup atau 100 persen), sebanyak 76,9 persen dijual kepada pedagang pengumpul dan 23,1 persen dijual langsung kepada pedagang pemotong. Selanjutnya, pedagang pengumpul melakukan penjualan kepada tiga lembaga yaitu pedagang pemotong, pedagang pengecer dan konsumen. Penjualan dari pedagang pengumpul didominasi oleh pedagang pemotong dengan jumlah 87,4 persen sedangkan pedagang pengecer sebesar 7,2 persen dan konsumen sebesar 5,4 persen. Hanya terdapat dua orang pedagang pengumpul yang juga memiliki lapak sendiri di pasar, disamping menjual dalam bentuk sapi hidup ke pedagang pemotong, yaitu di wilayah Bogor dan Sukabumi (Tabel 12).

(2)

Tabel 12. Penjualan Sapi Potong oleh Pedagang pengumpul (dalam ekor/bulan) Konsumen Pedagang Pengumpul

No. Nama Pemotong Pengecer Konsumen Total

1 Waris 98 19 19 136 2 Mamik 158 54 36 248 3 Agus 60 0 0 60 4 H. Ramlan 80 0 0 80 5 Harianto 78 0 0 78 6 H. Budi 300 0 0 300 7 Ade 32 0 0 32 8 Warsito 78 0 0 78 Total 884 73 55 1012 Persentase 87,4 7,2 5,4 100

Volume penjualan pedagang pengumpul diatas tidak hanya dari hasil pembelian sapi dari PT. Kariyana Gita Utama. Pedagang pengumpul juga melakukan pembelian dari berbagai perusahaan feedlot lain seperti PT. Widodo Makmur, PT. Great Giant Livestock, PT. Sinar Cattle, PT. Suntory Lampung dan peternak di daerah Rumpin dan Legok. Pembelian dari perusahaan lain biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul jika persediaan di PT. KGU sedang sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan di pasar. Di samping itu pembelian di perusahaan selain PT. KGU oleh pedagang pengumpul juga dikarenakan kualitas sapi potong, dilihat dari persentase karkas, sedang rendah. Sehingga kualitas dari sapi potong merupakan pertimbangan utama pedagang pengumpul dalam melakukan pembelian sapi potong. Sesama pedagang pengumpul suka melakukan pertukaran informasi mengenai kualitas karkas dari berbagi perusahaan feedlot.

Pedagang pemotong melakukan penjualan kepada dua lembaga tataniaga, yaitu pedagang pengecer dan konsumen akhir. Sebanyak 59,1 persen total penjualan sapi potong dijual kepada pedagang pengecer, sedangkan yang dijual ke konsumen akhir sebanyak 40,9 persen. Selanjutnya pedagang pengecer langsung melakukan penjualan kepada konsumen akhir tanpa melalui perantara (Tabel 13).

(3)

Tabel 13. Penjualan Sapi Potong oleh Pedagang Pemotong (dalam ekor/bulan) Konsumen Pedagang Pemotong

No. Nama Pengecer Konsumen Total

1 Asep 38 26 64 2 Joko 23 15 38 3 Maman Abe 17 51 68 4 Jainudin 42 18 60 5 H. Arifin 12 18 30 6 Ilham 41 27 68 7 Atin 18 12 30 8 Karya 19 19 38 9 Dena 63 27 90 10 Lilik 84 36 120 11 Cece 18 12 30 12 Opik 72 48 120 Total 447 309 756 Persentase 59.1 40.9 100

Pada analisis tataniaga sapi potong PT. KGU, komoditi mengalami perubahan bentuk yaitu dari sapi hidup menjadi karkas dan diterima oleh konsumen dalam bentuk daging segar. Jadi setiap lembaga tidak selalu menerima dalam bentuk sapi hidup. Proses pengolahan dari sapi hidup menjadi karkas (pengkarkasan) dilakukan oleh lembaga tataniaga melalui jasa Rumah Potong Hewan (RPH). RPH berperan dalam setiap saluran tataniaga sapi potong.

Saluran tataniaga sangat berpengaruh dalam menentukan margin tataniaga, biaya pemasaran, dan keuntungan yang diterima setiap lembaga tataniaga. Saluran-saluran ini menggambarkan aliran sapi potong, dari produsen hingga sampai kepada konsumen akhir. Pada saluran-saluran ini para lembaga tataniaga melakukan aktivitasnya yang berupa fungsi-fungsi tataniaga sapi potong. Menurut hasil penelusuran pada tataniaga PT. Kariyana Gita Utama, secara keseluruhan terdapat 6 saluran yang berhasil diientifikasi dalam sistem tataniaga sapi potong PT. KGU (Gambar 4).

(4)

PT. KGU Pedagang Pengumpul Konsumen Pedagang Pengecer Pedagang Pemotong Rumah Pemotongan Hewan (RPH) 76,9% 23,1% 87,4% 7,2% 5,4% 59,1% 40,9% 100% Keterangan :

1) PT. KGU – Pedagang Pengumpul – Pedagang Pemotong – Konsumen

2) PT. KGU – Pedagang Pengumpul – Pedagang Pemotong – Pedagang Pengecer – Konsumen

3) PT. KGU – Pedagang Pemotong – Konsumen

4) PT. KGU – Pedagang Pemotong – Pedagang Pengecer – Konsumen 5) PT. KGU – Pedagang pengumpul – Konsumen

6) PT. KGU – Pedagang pengumpul – Pedagang Pengecer – Konsumen

(5)

Jumlah sebaran sapi potong pada setiap saluran tataniaga PT. KGU yang didasarkan pada penjualan rata – rata PT. KGU pada tahun 2009 (1226 ekor), menunjukkan bahwa jumlah terbesar terdapat pada saluran 2 sebesar 39,7 persen dan saluran 1 sebesar 27, persen dan jumlah terendah yaitu pada saluran 5 dan saluran 6 (Tabel 14).

Tabel 14. Jumlah Sapi Potong per Saluran pada Tahun 2009

Saluran Jumlah (ekor) Persentase (%)

1 337 27.5 2 487 39.7 3 116 9.4 4 167 13.6 5 51 4.2 6 68 5.5 Total 1226 100

Tingginya jumlah sapi potong pada saluran 1 dan saluran 2 karena mayoritas pemasaran perusahaan adalah diluar wilayah sukabumi dan hal tersebut membutuhkan peran dari pedagang pengumpul. Saluran tataniaga yang melalui pedagang pengecer (saluran 2, saluran 4, saluran 6) memiliki jumlah yang lebih banyak daripada yang langsung menjual kepada konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang pemotong lebih banyak menjual daging ke pedagang pengecer dibanding kepada konsumen akhir.

Secara keseluruhan, PT. KGU menjual sapi dalam bentuk sapi hidup (Rp/kg bobot hidup), tidak menjual sapi dalam keadaan karkas. Pada saluran 1, saluran 2, saluran 5, dan saluran 6 penjualan sapi oleh PT. KGU dilakukan melalui pedagang pengumpul untuk disalurkan ke wilayah – wilayah pemasaran, seperti Bogor, Jakarta, Cibinong, dan Bandung. Sedangkan saluran 3 dan saluran 4, pedagang pemotong melakukan pembelian di PT. KGU secara langsung untuk melakukan pemotongan harian. Umumnya pembelian langsung hanya dilakukan oleh pedagang pemotong di wilayah Sukabumi.

Pada dasarnya, setelah melakukan pembelian sapi hidup dari PT. KGU, pedagang pengumpul dapat memilih untuk melakukan penjualan dalam bentuk sapi hidup atau karkas terhadap pemotong. Namun penentuan penjualan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pedagang pengumpul dan pedagang pemotong,

(6)

tetapi aktivitas pengkarkasan tetap merupakan tanggung jawab pedagang pemotong. Pada saluran 5 dan saluran 6, pedagang pengumpul juga melakukan penjualan dalam bentuk daging dimana di kedua saluran tersebut, pedagang pengumpul memperluas cakupan usaha dengan memiliki lapak di pasar sehingga berhubungan langsung dengan pedagang pengecer dan konsumen akhir.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pedagang pemotong melakukan pembelian sapi dapat melalui pedagang pengumpul dan langsung membeli dari perusahaan. Pedagang pemotong melakukan penjualan kepada pedagang pengecer dan konsumen, dimana penjualan dilakukan dalam bentuk daging segar. Untuk menjual dalam bentuk daging, pemotong harus terlebih dahulu melakukan kegiatan pengkarkasan melalui jasa fasilitas RPH di wilayahnya masing – masing. Sedangkan pedagang pengecer hanya melakukan penjualan ke konsumen.

Jika ditinjau berdasarkan wilayah pemasaran, saluran yang dilalui berbeda pada tiap wilayah. Wilayah Bogor dan Sukabumi terdapat ke-6 saluran tersebut, dimana terdapat pedagang pengumpul yang memiliki lapak di pasar dan pedagang pemotong yang membeli langsung sapi potong dari PT. KGU. Kedekatan jarak antara pasar dan produsen (PT KGU) di kedua wilayah ini memungkinkan pedagang pemotong melakukan pembelian langsung di PT. KGU. Sedangkan wilayah Bandung dan Jakarta hanya terdapat saluran 1 dan saluran 2, yaitu (1) PT KGU → pedagang pengumpul → pedagang pemotong → konsumen, dan (2) PT KGU → pedagang pengumpul → pedagang pemotong → pedagang pengecer → konsumen. Saluran yang terbentuk di kedua wilayah ini turut dipengaruhi oleh jarak antara PT KGU dengan pasar, oleh karena itu sangat diperlukan peran pedagang pengumpul untuk berperan sebagai penyalur sapi potong ke daerah tersebut. Sehingga tidak ada pedagang pemotong yang melakukan pembelian langsung ke PT. KGU, melainkan melakukan pembelian kepada pedagng pengumpul.

6.2 Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga

Lembaga Tataniaga sapi potong meliputi badan usaha, individu, atau pelaku pasar yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses

(7)

memproduksi sapi potong, maupun lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga sapi potong PT. KGU. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diidentifikasi bahwa terdapat empat lembaga tataniaga sapi potong PT. KGU, yaitu:

1. Pedagang pengumpul, merupakan pedagang yang membeli sapi dari produsen dan menjual sapi dalam keadaan hidup dan dalam bentuk daging.

2. Pedagang pemotong, merupakan pedagang yang memotong sapi dan menjual sapi dalam bentuk daging.

3. Pedagang pengecer, merupakan pedagang yang membeli daging dan menjual juga dalam bentuk daging.

4. Rumah Potong Hewan (RPH), merupakan tempat untuk melakukan pemotongan sapi.

Tabel 15. Fungsi dan Aktivitas Produsen dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong pada Tahun 2009

No. Lembaga Fungsi Aktivitas

Pertukaran Pembelian, penjualan

Fisik Penggemukan, penyimpanan,

pengiriman 1. PT. KGU

(Produsen)

Fasilitas Grading, penanggungan risiko Pertukaran Pembelian, penjualan

2. Pedagang

pengumpul Fisik Pengangkutan, penyimpanan Pertukaran Pembelian, penjualan

Fisik Pengakarkasan, pengangkutan, pemotongan, penyimpanan

3. Pedagang Pemotong

Fasilitas Grading potongan daging Pertukaran Pembelian, penjualan 4. Pedagang

pengecer Fisik Pemotongan, penyimpanan 5. Rumah Potong

Hewan (RPH)

Fasilitas Penyediaan jasa penyimpanan dan pengkarkasan

6.2.1 Fungsi Tataniaga PT. Kariyana Gita Utama

PT. KGU, selaku pihak produsen dalam proses tataniaga, turut melakukan fungsi tataniaga. PT. KGU melakukan ketiga fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan meliputi pembelian sapi bakalan dan penjualan sapi potong. Fungsi fisik meliputi proses penggemukan sapi, penyimpanan dan pengiriman. Sedangkan fungsi

(8)

fasilitas yang dilakukan adalah grading/standarisasi sapi potong dan penanggungan risiko saat pengiriman sapi.

Perusahaan melakukan pembelian dua jenis sapi bakalan, yaitu sapi impor jenis Brahman cross dari Australia dan sapi bakalan lokal jenis Pernakan Ongole (PO) dan Sumba Ongole (SO). Pembelian sapi bakalan impor dilakukan satu hingga dua kali dalam satu bulan. Pembelian dilakukan melalui pemesanan kepada agen pengimpor, yang berarti bahwa PT. KGU tidak melakukan seleksi langsung sapi bakalan di Australia. Transaksi dengan agen dilakukan dengan sistem pembayaran tunai dan giro. Sedangkan pembelian bakalan lokal diperoleh dari peternak di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Sapi bakalan impor (jantan dan betina) yang akan dibeli harus sapi kurus dan berusia 2 – 3 tahun, sedangkan untuk sapi bakalan lokal adalah hanya sapi jantan dan memiliki berat minimal 280 kg/ekor. Di samping itu, pembelian bakalan sapi impor dari Australia dibagi menurut tiga kriteria yaitu : (1) feeder, dengan bobot 250 – 350 kg, akan digemukkan selama 90 hari (2) medium, dengan bobot 350 – 400 kg, akan digemukkan antara 45 – 60 hari (3) slaughter, dengan bobot > 400 kg, dimana sapi siap langsung untuk dijual tanpa melalui proses penggemukan. Pada tahun 2009, PT. KGU total mengimpor bakalan sapi sebanyak 22.950 ekor (96,5 persen). Rincian selengkapnya disajikan pada Tabel 16. Sedangkan pembelian bakalan sapi lokal tahun 2009 sebanyak 831 ekor (3,5 persen).

Tabel 16. Pembelian Sapi Bakalan Impor PT. KGU pada Tahun 2009

No. Jenis Persentase (%) Jumlah

1. Bull Feeder 30 6885 2. Bull Medium 12 2754 3. Bull Slaughter 6 1377 4. Steer Feeder 13 2984 5. Steer Slaughter 9 2065 6. Heifer Feeder 18 4131 7. Heifer Slaughter 1 229 8. Cow Slaughter 11 2525 Total 22950

(9)

Pembelian sapi bakalan impor telah diatur oleh pemerintah, dimana tiap perusahaan wajib melakukan proses penggemukan pada sapi bakalan dengan kurun waktu minimal dua minggu dan hanya diperbolehkan melakukan transaksi sapi yang tanpa melalui proses penggemukan (trading), dalam hal ini adalah sapi jenis slaughter, dalam jumlah yang terbatas. Selama tahun 2009 PT. KGU pun turut melakukan pembelian jenis slaughter, dimana jenis pembelian slaughter jenis cow terbanyak (11 persen) dikuti steer (9 persen), bull (6 persen), dan heifer (1 persen).

Sapi bakalan impor harga beli per kg bobot hidupnya cenderung lebih tinggi dibandingkan harga jual setelah digemukkan, sedangkan sapi bakalan lokal harga belinya lebih rendah dibandingkan dengan harga jual setelah proses penggemukkan. Harga beli sapi bakalan impor (USD per kg bobot hidup) tertinggi yaitu jenis heifer (USD 2,9), diikuti steer (USD 2,8), bull (USD 2,7), dan cow (USD 2,3). Oleh karena itu proses penggemukan sapi impor harus dilakukan secara intensif dan optimal agar dapat menutupi biaya pembelian sapi bakalan, dimana pertumbuhan bobot sapi impor ditargetkan mencapai 1 kg – 1,5 kg per hari. Rendahnya harga jual sapi impor dibandingkan dengan sapi lokal disebabkan oleh perbedaan kandungan lemak pada sapi setelah dalam bentuk karkas. Sapi impor memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal.

PT. KGU dalam memasarkan ternak sapi potong menjual dalam keadaan hidup (Rp/kg bobot hidup) dan menerapkan 2 sistem harga jual yaitu: (1) harga loco yaitu harga jual di tempat produsen, sehingga biaya transportasi dibebankan kepada pembeli dan (2) harga franco yaitu harga di pembeli atau harga jual ditambah biaya transportasi. Perusahaan menyediakan jasa transportasi dengan memiliki 2 buah truk berkapasitas 8 ekor dan 13 ekor sapi.

Pada tahun 2009, penjualan rata – rata PT. KGU per bulan adalah 1.226 ekor. Dapat dilihat bahwa penjualan pada bulan september dan november mengalami peningkatan penjualan yang mencapai 42 persen dan 47 persen dari rata – rata penjualan tahun 2009. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut terdapat kegiatan hari raya yaitu bulan puasa dan lebaran qurban sehingga penjualan sapi tinggi karena tingginya permintaan pada saat itu. Sedangkan turunnya angka

(10)

penjualan seperti pada bulan April, Mei, dan Juli dikarenakan persediaan sapi di kandang sedang kurang yang dikarenakan pada bulan – bulan tersebut persediaan bakalan sapi dari Australia sedang mengalami kesulitan (Tabel 17).

Tabel 17. Penjualan Sapi Potong PT. KGU Tahun 2009 (dalam ekor)

Bulan Penjualan Januari 1.256 Februari 957 Maret 1.384 April 822 Mei 974 Juni 1.184 Juli 879 Agustus 1.070 September 1.744 Oktober 1.319 November 1.806 Desember 1.322 Rata - rata 1.226

Lembaga yang terlibat langsung dalam pembelian sapi potong PT. KGU terdiri dari pembeli tetap dan tidak tetap. Pembeli tetap merupakan pihak yang melakukan pembelian secara rutin dan telah terjalin lama dengan perusahaan. Pembeli tetap lebih diutamakan karena sangat berpengaruh terhadap kelangsungan tataniaga sapi potong perusahaan. hal yang membedakan antara pembeli tetap dan tidak tetap adalah pelayanan dari PT. KGU. Pembeli tetap lebih mudah dalam melakukan pembelian sapi pada saat persediaan ternak sapi sedikit. Sedangkan pembeli tidak tetap lebih susah melakukan pembelian. Pembeli tetap juga sedikit lebih dimudahkan dalam hal pembayaran sapi yang dibeli, dimana pembayaran bisa dilakukan tanpa tunai di muka. Sedangkan pembeli tidak tetap harus melakukan pembayaran secara tunai tiap melakukan pembelian sapi potong.

Harga jual sapi potong dibedakan sesuai dengan jenis sapi, umur, dan jenis kelamin dari sapi. Sapi jenis Bull merupakan jenis sapi yang memiliki harga jual tertinggi jika dibanding dengan jenis sapi lainnya yaitu steer, heifer, dan cow. Selisih harga berkisar antara Rp 500 – 1.000/ kg bobot hidup dari setiap jenis. Penentuan harga jual sapi dipengaruhi oleh: 1) harga bakalan, 2) biaya produksi,

(11)

3) perubahan nilai tukar rupiah, 4) prestasi/kualitas sapi, 5) frekuensi pembelian, dan 6) keseimbangan antara permintaan dan penawaran.

Sapi potong hasil penggemukan yang akan dijual harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1) masa penggemukan (fattening period) minimal 60 hari, dan 2) sapi dalam kondisi gemuk dan siap dipotong. Apabila sapi sudah digemukkan melebihi masa penggemukan (90 hari) tetapi masih kurus, maka sapi tetap akan dijual, namun dalam status sapi afkir. Sapi yang belum mencapai masa fattening period 60 hari boleh dijual apabila jumlah persediaan penjualan habis dan biasanya hanya dijual kepada pembeli tetap.

Tahapan fungsi fisik dan fungsi fasilitas yang dilakukan perusahaan dimulai pada saat sapi diterima di kandang. Sebelumnya, sapi dari Australia diterima oleh PT. KGU di Pelabuhan Tanjung Priuk dan dilanjutkan dengan proses penimbangan. Penimbangan sapi bakalan dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priuk untuk memperoleh bobot badan total. Penimbangan dilakukan per mobil pengangkut (truk) milik jasa ekspedisi dengan isi sapi bakalan 13 – 15 ekor, sehingga didapatkan berat bruto dengan tingkat penyusutan berat ± 3 persen. Sedangkan untuk mengetahui bobot badan sapi per ekor dilakukan penimbangan di kandang. Pengangkutan sapi bakalan dilakukan oleh jasa ekspedisi, dengan penanggungan risiko dibebankan kepada pihak ekspedisi. Dalam hal ini risiko yang dimaksud seperti kematian sapi, patah kaki, dan risiko lainnya yang memungkinkan merugikan sapi. Pengangkutan yang dimaksud adalah kegiatan pengangkutan sapi dari Pelabuhan Tanjung Priuk ke lokasi kandang di Cicurug, Sukabumi.

Saat tiba di kandang, sapi dikumpulkan di cattle yard lalu dilakukan penimbangan untuk dilakukan grading menurut umur dan jenis kelamin. Lebih lanjut grading/klasifikasi tersebut sangat menentukan harga jual dari sapi tersebut. Grading sapi yang dilakukan PT. KGU dapat dilihat di Tabel 17. Kelas bull merupakan mutu sapi yang tertinggi jika dilihat dari sisi harga jual diikuti steer, heifer, dan cow. Rata – rata dalam setiap periode penggemukan, proporsi grading sapi tersebut masing – masing secara berurut yaitu bull, steer, heifer, dan, cow sebesar 50 persen, 25 persen, 15 persen, dan 10 persen. Komposisi tersebut merupakan pola yang dianggap terbaik oleh perusahaan berdasarkan pengalaman

(12)

pola penggemukan yang selama ini sudah dilakukan. Dan tentunya, komposisi tersebut juga disesuaikan dengan kemampuan daya beli dan permintaan konsumen secara umum. Setelah dilakukan grading, sapi dipasangkan ear tag untuk menjadi penanda sapi dan untuk memudahkan dalam inventaris data sapi yang digemukkan dan juga agar bisa terekam historis sapi selama periode penggemukan. Kemudian bakalan sapi tersebut masuk dalam periode penggemukan. Dalam masa penggemukan, sapi dikelompokan per paddock sesuai dengan kelas mutu/grading agar memudahkan dalam pengawasan dan mencegah terjadinya kebuntingan pada sapi betina.

Tabel 18. Klasifikasi Menurut Umur dan Jenis Kelamin

No. Kelas Mutu Jenis Kelamin Berat Sapi (Kg)

1. Bull Jantan 550 – 650

2. Mini Bull Jantan 400 – 550

3. Steer Jantan 330 – 550

4. Heifer Betina 300 – 380

5. Cow Betina 370 – 500

Proses penggemukan dibagi mejadi dua periode. Periode pertama merupakan periode untuk sapi dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan kandang sehingga sehat dan tidak stress. Periode ini berlangsung selama dua minggu dengan target mengembalikan jumlah bobot badan yang susut selama masa pengiriman dari Australia ke Indonesia. Bakalan sapi dikumpulkan per paddock dan mulai diberi pakan berupa jerami secara penuh tanpa campuran lain selama dua hari pertama. Kemudian secara berangsur mulai diberi pakan tambahan berupa konsentrat dan tetes tebu hingga hari ke-14 dengan target pada hari tersebut sapi telah siap untuk dikondisikan diberi pakan dengan komposisi konsentrat sebesar 85 persen dan amoniasi jerami sebesar 15 persen dan masuk ke periode penggemukan. Periode kedua merupakan periode penggemukan sapi yang dilakukan selama 3 bulan. Target peningkatan bobot yaitu 1 – 1,5 kg per hari. Pakan jerami diberikan 2 kali dalam sehari sedangkan konsentrat diberi terus menerus.

Risiko yang biasa dialami oleh perusahaan adalah macetnya pembayaran yang dilakukan oleh pembeli. Selain itu risiko yang dialami adalah terjadi

(13)

asalnya yaitu Australia. Risiko di perjalanan yang biasa terjadi adalah patah kaki pada sapi dan kecelakaan mobil yang menyebabkan sapi lepas ketika di perjalanan, tetapi risiko tersebut ditanggung oleh jasa ekspedisi.

6.2.2 Fungsi Tataniaga Pedagang pengumpul

Pedagang pengumpul hanya melakukan dua fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Pedagang pengumpul, biasa disebut bandar, terdapat di setiap daerah pemasaran sapi potong PT. KGU yang berperan dalam penyaluran sapi dalam keadaan hidup dari kandang ke daerah – daerah konsumen yaitu Sukabumi, Bogor, Jakarta, Bandung, cibinong dan sekitarnya. Pedagang pengumpul juga berfungsi untuk menjaga permintaan agar tetap stabil. Umumnya pedagang pengumpul membeli dari PT. KGU dalam bentuk sapi hidup dan menjual dalam bentuk sapi hidup kepada pedagang pemotong. Tetapi ada juga yang menjual dalam bentuk daging karena juga memiliki lapak di pasar untuk penjualan daging.

Pedagang pengumpul terbanyak yang membeli sapi potong dari PT. KGU adalah pedagang pengumpul di wilayah Bogor, termasuk di dalamnya pedagang pengumpul di wilayah Cibinong. Untuk wilayah Bogor, pedagang pengumpul rata – rata membeli sapi potong jenis bull, mini bull, dan steer, dikarenakan permintaan sapi untuk dipotong cukup tinggi. Pedagang pengumpul melakukan seleksi langsung sapi yang akan dibeli di PT. KGU. Harga jual yang ditentukan oleh PT. KGU adalah harga loco. Dalam melakukan pengiriman sapi, pengirim biasanya memakai jasa transportasi dari PT. KGU dengan dikenakan biaya Rp 350.000,- untuk kendaraan jenis FUSO (kapasitas 13 ekor) dan Rp 250.000,- untuk kendaraan jenis Colt Diesel (Kapasitas 8 ekor). Pedagang pengumpul daerah Bogor juga melakukan pembelian sapi potong dari peternak lain, yaitu PT. Sinar Cattle, PT. Widodo Makmur, PT. Great Giant Livestock (GGLC), Peternak Rumpin dan Legok. Sedangkan Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong biasanya membeli sapi jenis steer dan heifer. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tetap dari PT. KGU. Pedagang pengumpul ada yang melakukan seleksi langsung di PT. KGU dan ada yang hanya melakukan pemesanan lewat sarana telekomunikasi. Harga jual yang ditetapkan adalah harga franco. Pedagang

(14)

pengumpul hanya membeli sapi dari PT. KGU dan tidak membeli dari peternak lain kecuali persediaan dari PT. KGU sedang kurang.

Pedagang pengumpul di wilayah Sukabumi rata – rata melakukan pembelian sapi potong jenis heifer dan cow, serta jenis steer ketika permintaan daging sedang tinggi. Harga beli yang ditentukan adalah harga franco. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai dan pembayaran di muka. Pedagang pengumpul juga melakukan seleksi langsung sapi yang akan dibeli dan juga melalui sarana telekomunikasi. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tetap dari PT. KGU dan hanya melakukan pembelian dari PT. KGU saja.

Pedagang pengumpul di wilayah Bandung melakukan pembelian sapi potong dari PT. KGU rata – rata 10 ekor per hari dengan jenis bull dan steer. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tetap di PT. KGU. Pedagang pengumpul juga melakukan pembelian sapi dari PT. Widodo Makmur di Cianjur dan PT Great Giant Livestock (GGLC) di Lampung. Harga beli yang ditentukan adalah harga franco. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran dimuka dan sisanya akan dibayar setelah sapi terjual. Pedagang pengumpul tidak melakukan seleksi langsung ke kandang tetapi hanya melakukan pemesanan melalui sarana telekomunikasi.

Pedagang pengumpul di wilayah Jakarta melakukan pembelian sapi potong dari PT. KGU jenis bull, mini bull, dan steer. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tidak tetap di PT. KGU. Pedagang pengumpul juga melakukan pembelian sapi dari PT. Lembu Jantan Perkasa, PT Great Giant Livestock (GGLC), PT. Suntory Lampung, PT. Sinar Cattle dan PT. Widodo Makmur. Harga beli yang ditentukan adalah harga franco. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran tunai. Pedagang pengumpul melakukan seleksi langsung ke kandang dan melakukan pemesanan melalui saran telekomunikasi.

Pedagang pengumpul di wilayah Bogor melakukan penjualan sapi potong di RPH Kota Bogor setiap hari dalam bentuk sapi hidup, di mana pedagang pemotong datang langsung ke tempat penampungan RPH. Potongan hasil sampingan seperti kulit, kaki, kepala, jeroan, lemak, dan tetelan diberikan kepada

(15)

pemotong berbeda, disesuaikan dengan frekuensi pembelian, lama berlangganan, dan persentase pemotongan karkas. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai tidak langsung, dimana pedagang pemotong baru akan membayar sapi setelah daging habis terjual di pasar pada hari tersebut.

Sedangkan Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong dan Sukabumi relatif sama, dimana melakukan penjualan dalam bentuk karkas, dan pedagang pemotong mengambil karkas tersebut di RPH. Hasil sampingan juga diberikan kepada pedagang pemotong. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai tidak langsung, dimana pedagang pemotong baru akan membayar sapi setelah daging habis terjual di pasar pada hari tersebut.

Pedagang pengumpul di Wilayah Bandung melakukan penjualan di RPH milik sendiri setiap hari. Penjualan sapi dalam bentuk sapi hidup dan karkas, tergantung pada kesepakatan dengan pedagang pemotong. Hasil sampingan selain kulit diberikan kepada pedagang pemotong, dan kulit diberikan kepada pedagang pengumpul yang akan diolah kembali. Penentuan harga dalam bentuk sapi hidup ditentukan berdasarkan frekuensi pembelian dan lama berlangganan, sedangkan penentuan harga dalam bentuk karkas ditetapkan berdasarkan harga yang diterima dari PT. KGU dibagi dengan persentase karkas. Umunya, sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai tidak langsung, dimana pedagang pemotong baru akan membayar sapi setelah daging habis terjual di pasar pada hari tersebut.

Pedagang pengumpul di wilayah Jakarta melakukan penjualan sapi potong di RPH Pulo Gadung Dan RPH Cakung setiap hari. Penentuan harga jual ditentukan sendiri oleh Pedagang pengumpul. Penjualan sapi dalam bentuk karkas, sedangkan untuk kulit, kaki, kepala, lemak, dan jeroan diberikan kepada pedagang pemotong sebagai pengganti tulang. Harga jual yang diberikan untuk masing – masing pedagang berbeda, disesuaikan dengan frekuensi pembelian, lama berlangganan, dan sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pemotong.

Fungsi fisik dilakukan oleh pedagang pengumpul meliputi kegiatan pengangkutan dan penyimpanan. Pedagang pengumpul umumnya tidak melakukan kegiatan pengangkutan sapi karena pengangkutan dilakukan oleh jasa pelayanan transportasi dari PT. KGU. Tetapi pedagang pengumpul yang memiliki

(16)

lapak di pasar, seperti dalam penelitian ini ditemukan di wilayah Bogor dan Sukabumi, melakukan pengangkutan hasil potongan sapi sendiri dari RPH menuju pasar tempat Pedagang pengumpul berjualan.

Fungsi penyimpanan dilakukan untuk menyimpan barang sebelum dikonsumsi atau menunggu diangkut ke daerah pemasaran. Pedagang pengumpul di wilayah Bogor melakukan penyimpanan sapi di tempat penampungan yang berada di lokasi RPH terpadu Kota Bogor. Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong melakukan penyimpanan di RPH pemda Cibinong. Pedagang pengumpul di wilayah bandung menyimpan sapi di tempat penampungan Pejagalan VIRGO milik PD Ikhlas. Dan Pedagang pengumpul di wilayah Jakarta melakukan penyimpanan di holding ground milik pengelola RPH PD Dharma Jaya yang berlokasi di area RPH. Penyimpanan sapi potong di Wilayah Bogor, Cibinong, Jakarta, dan Bandung dilakukan minimal satu hari. Tujuan dari penyimpanan tersebut adalah untuk memulihkan kondisi sapi dan mengurangi penyusutan bobot badan akibat pengiriman agar tidak mengurangi kualitas karkas. Selama penyimpanan juga dilakukan perawatan terhadap sapi dengan cara memberi minum dan pakan berupa konsentrat dan rumput.

Pedagang pengumpul di wilayah Sukabumi juga berfungsi sebagai feeding custom, yaitu membeli ternak sapi potong kemudian disimpan di PT. KGU. Penyimpanan ternak dilakukan hanya terhadap sapi yang masih kurus dan dikenakan biaya sebesar Rp 10.000/ekor/hari. Selain itu, Pedagang pengumpul juga melakukan penyimpanan di RPH di wilayah Sukabumi.

Pedagang pengumpul yang memiliki lapak sendiri, yang terdapat di Bogor dan Sukabumi, melakukan pemotongan sapi di RPH, kemudian hasil potongannya dijual kepada pedagang pengecer dan konsumen. Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong, Bandung, dan Jakarta tidak melakukan fungsi pengolahan karena pemotongan sapi dilakukan sendiri oleh pedagang pemotong.

Risiko yang biasa dialami oleh pedagang pengumpul di setiap wilayah cukup seragam, yaitu macetnya pembayaran oleh pedagang pemotong dan pedagang pengecer bagi Pedagang pengumpul yang memiliki lapak sendiri. Karena hampir semua pedagang melakukan pembayaran secara tidak langsung,

(17)

habis terjual di pasar. Hal ini dikarenakan pedagang pemotong dan pedagang pengecer masih mempunyai hubungan sodara dan telah terjalin hubungan sejak lama. Di samping macetnya pembayaran, keterlambatan pembayaran juga sering terjadi. Apabila pembayaran yang tidak tepat waktu sering dilakukan oleh pedagang pemotong maka penjualan terhadap pedagang tersebut bisa dihentikan.

Informasi mengenai harga dan kualitas sapi diperoleh dari sesama pedagang pengumpul pada satu wilayah yang melakukan pembelian sapi di tempat lain. Karena pedagang pengumpul sangat mengutamakan harga beli sapi dan kualitas sapi yang dapat dilihat dari persentase karkas setelah dipotong.

6.2.3 Fungsi Tataniaga Pedagang Pemotong

Pedagang pemotong melakukan ketiga fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran meliputi pembelian sapi hidup dan penjualan daging. Fungsi fisik meliputi kegiatan pengkarkasan, pengangkutan, pemotongan daging dan penyimpanan. Sedangkan fungsi fasilitas berupa standarisasi/grading potongan sapi. Namun fungsi fasilitas, berupa grading, tidak dilakukan oleh setiap pedagang pemotong di setiap wilayah pemasaran.

Secara umum, pembelian yang dilakukan oleh pedagang pemotong di setiap wilayah digolongkan berdasarkan jenis kelamin dan bobot badan, atau berdasarkan standarisasi yang telah dilakukan oleh PT. KGU. Jenis sapi yang biasa dibeli pedagang pemotong di wilayah Bogor, Bandung, Jakarta adalah jenis bull, mini bull, dan steer karena menghasilkan daging yang lebih banyak yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Jenis sapi yang biasa dibeli pedagang pemotong di wilayah Sukabumi dan Cibinong adalah jenis heifer dan cow karena harganya lebih murah.

Pedagang Pemotong di wilayah Bogor melakukan pembelian dengan cara datang langsung dan memilih sapi ke RPH Bogor. Pedagang pemotong membeli sapi dalam bentuk sapi hidup dengan frekuensi rata – rata 2 ekor/hari. Namun untuk hari tertentu jumlah pembelian meningkat menjadi 3 ekor, misal untuk hari sabtu-minggu dan juga hari libur nasional. Harga beli yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul adalah Rp/kg bobot hidup, dengan menggunakan bobot

(18)

badan sapi pada saat penimbangan di PT. KGU. Penjualan potongan hasil sapi dilakukan di Pasar Bogor dan Pasar Anyar. Penjualan dilakukan dalam bentuk daging, tulang, jeroan, dan tetelan, sedangkan untuk kulit dijual kepada penampung kulit asal Garut. Rata – rata, mayoritas penjualan daging oleh pedagang pemotong adalah kepada pedagang pengecer (30 – 45 kg/hari) dan sisanya dijual langsung ke konsumen.

Pedagang pemotong di wilayah Sukabumi melakukan pembelian dengan beberapa cara. Pertama pembelian dilakukan dengan mengambil langsung sapi di kandang PT. KGU, kedua pembelian dilakukan di RPH kepada pedagang pengumpul dalam bentuk karkas. Pemotong rata – rata melakukan frekuensi pembelian sebanyak 1-2 ekor/hari. Pemotong melakukan penjualan di pasar, baik itu penjualan terhadap konsumen maupun kepada pengecer.

Pedagang pemotong di wilayah Jakarta melakukan pembelian dengan cara datang langsung dan memilih sapi ke RPH PD Dharma Jaya. Pemotong melakukan pembelian dalam bentuk karkas setiap hari dengan frekuensi rata – rata 2 ekor/hari, untuk hari sabtu dan minggu atau hari libur nasional frekuensi pembelian tetap 2 ekor/hari namun dengan bobot badan yang lebih besar. Sama halnya dengan pemotong di wilayah Bandung, dimana pemotong melakukan pembelian di tempat penjagalan dan hasil potongan dijual di pasar. Konsumen utama dari pedagang pemotong adalah pedagang bakso dan pedagang sayuran.

Pedagang pemotong di setiap wilayah tidak melakukan penyimpanan sapi potong karena pembelian ternak sapi potong dilakukan di RPH dan langsung di lakukan pemotongan setelah transaksi pembelian selesai dilakukan. Pedagang pemotong juga tidak melakukan penyimpanan terhadap hasil potongan sapi karena setelah selesai dilakukan pemotongan, maka hasil pemotongan langsung diangkut ke pasar untuk dipasarkan. Penyimpanan dilakukan apabila daging tidak habis terjual di pasar, penyimpanan dilakukan di dalam freezer/pendingan atau dengan menggunakan balok es.

Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pemotong di wilayah Sukabumi dilakukan satu kali yaitu dari RPH ke pasar dengan menggunakan mobil pick-up milik sendiri. Pemotong di wilayah Bogor dan Jakarta, dalam hal

(19)

Untuk RPH Kota Bogor dikenakan biaya sebesar Rp 35.000/ekor dan untuk RPH PD Dharma Jaya, Pulo Gadung sebesar Rp 50.000/ekor. Sedangkan pemotong di wilayah Cibinong dan Bandung, pengangkutan dilakukan dengan menggunakan jasa pengangkutan yang berkerja di RPH dan dikenakan biaya sebesar Rp 50.000/ekor. Pedagang pemotong di setiap wilayah tidak melakukan pengepakan secara khusus, melainkan hanya dilakukan pengepakan secara sederhana yaitu dengan menggunakan plastik.

Standarisasi yang dilakukan pedagang pemotong adalah terhadap hasil potongan karkas dimana hasil potongan sapi bagian belakang dihargai lebih tinggi dari hasil potongan sapi depan. Hal ini dikarenakan kualitas daging sapi bagian belakang lebih tinggi kualitas dagingnya. Standarisasi terhadap potongan tersebut atau daging yang dijual di pasar dilakukan oleh pedagang pemotong di wilayah Bogor, Bandung, dan Cibinong, dimana daging hasil potongan sapi bagian belakang lebih mahal dari hasil potongan sapi bagian depan dengan selisih rata – rata Rp 2000,-. Pedagang di wilayah Sukabumi tidak membedakan harga jual potongan bagian belakang dan bagian depan.

Risiko yang biasa dialami oleh pedagang adalah rendahnya persentase karkas, hal ini dialami oleh pedagang pemotong yang membeli sapi dalam bentuk sapi hidup dari pedagang pengumpul. Risiko ini biasa dialami oleh pemotong yang kurang berpengalaman dalam memperkirakan persentase kaskas dari sapi hidup. Risiko secara umum yang dialami oleh pedagang pemotong adalah macetnya pembayaran oleh pedagang pengecer. Selain itu juga risiko terhadap daging yang tidak habis terjual di pasar, namun hal ini dapat ditanggulangi dengan melakukan penyimpanan di lemari pendingin yang akan dijual kembali dengan harga yang lebih murah atau dengan menurunkan frekuensi pemotongan hingga daging yang tersisa habis terjual.

6.2.4 Fungsi Tataniaga Pedagang Pengecer

Pedagang pengecer melakukan dua fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran yang meliputi pembelian dan penjualan hasil potongan sapi berupa daging dan hasil sampingan sapi, sedangkan fungsi fisik yang dilakukan meliputi pemotongan daging dan penyimpanan.

(20)

Pedagang pengecer di setiap wilayah cukup seragam. Pembelian dan penjualan dilakukan langsung di pasar, dimana pengecer membeli dari pedagang pemotong dan menjual langsung kepada konsumen. Pembelian tersebut dalam bentuk daging, jeroan, dan tetelan. Penjualan yang dilakukan di pasar dalam bentuk daging paha depan, daging paha belakang, hati, limfa, jantung, babat, dan tetelan. Sistem pembayaran dilakukan dengan cara tidak langsung, yaitu pengecer baru membayar daging kepada pemotong setelah daging terjual.

Pedagang pengecer melakukan pengolahan berupa pemotongan daging. Daging yang tidak habis terjual biasanya disimpan di lemari pendingin dan ada juga yang mengembalikan kembali daging tersebut ke pedagang pemotong. Konsumen utama dari pedagang pengecer adalah pedagang sayuran dan ibu rumah tangga.

6.2.5 Fungsi Tataniaga Rumah Pemotongan Hewan (RPH)

Rumah potong hewan (RPH) memiliki peranan yang cukup vital bagi keberlangsungan tataniaga sapi potong. RPH merupakan lembaga penyedia jasa, dimana hanya melakukan satu fungsi tataniaga yaitu fungsi fasilitas. Fungsi fasilitas tersebut yaitu menyediakan tempat untuk dilakukan pemotongan hewan yang bersertifikat dan tempat penyimpanan sapi yang siap dipotong. Disamping itu RPH juga menjadi tempat dilakukannya proses jual beli oleh pedagang pengumpul dengan pedagang pemotong.

Masyarakat tidak boleh sembarang dalam mendirikan RPH atau tempat penjagalan. RPH harus mendapat izin dari Dinas Pertanian setempat dalam hal pengoperasiannya, hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan masyarakat akan konsumsi daging yang aman, sehat, dan halal. Oleh karena itu, pemerintah melakukan pemberian grade/level pada setiap RPH berdasarkan pada kualitas dan fasilitas yang diberikan RPH tersebut, antara lain berdasarkan persentase karkas, kebersihan, sistem pembuangan limbah yaitu darah. Proses penilaian tersebut dilakukan oleh pemerintah secara berkala, dengan tujuan untuk tetap menjaga kestabilan kualitas dari setiap RPH. Pengaturan tersebut juga dilakukan untuk menjaga suplai daging yang beredar di masyarakat. RPH juga harus terdapat

(21)

ante mortem dan post mortem. Sedangkan harga atau retribusi yang ditetapkan pada RPH merupakan kewenangan pemerintah kota atau daerah masing – masing dan pengelola RPH, jika dikelola oleh pihak swasta.

6.3 Analisis Marjin dan Biaya Tataniaga

Pelaksanaan tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga disertai dengan biaya pemasaran. Besar biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh setiap lembaga berbeda. Hal ini tergantung dari nilai tambah yang diberikan terhadap komoditi oleh setiap lembaga tataniaga. Nilai tambah tersebut meliputi nilai guna, bentuk, waktu, tempat, dan kepemilikan.

Seperti telah disinggung sebelumnya, pedagang pengumpul dan pedagang pemotong melakukan pembelian sapi potong berdasarkan permintaan pada tiap wilayah, sehingga terdapat kebiasaan pembelian oleh lembaga tersebut dalam hal jenis sapi di PT. KGU yang terbagi menjadi lima kelas (bull, mini bull, steer, heifer, dan cow). Perbedaan kebiasaan pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pemotong sangat berpengaruh terhadap biaya tataniaga yang terbentuk, yang dikarenakan oleh perbedaan harga beli dari produsen (PT. KGU). Perbedaan harga dipengaruhi oleh kelas sapi tersebut yang dilihat dari persentase karkas dan bobot hidup dari sapi, serta akibat lama proses penggemukan yang berbeda - beda. Data mengenai bobot hidup, persentase karkas, dan harga beli lembaga tataniaga disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Rata – Rata Bobot Hidup, Persentase, Harga Beli, dan Lama Penggemukan Sapi Potong PT. KGU Berdasarkan Jenis/Kelas Mutu Sapi Pada Tahun 2009

Jenis Sapi / Kelas mutu Rata – Rata Bobot Hidup (kg) Persentase

Karkas (%) Pengumpul (Rp/kg Rataan Harga Beli bobot Hidup)

Rataan Harga Beli Pemotong (Rp/kg bobot Hidup) Lama Penggemu-kan (bulan) Bull 622,83 53,88 23,017 23.400 3 Mini Bull 449,94 52,03 22.743 23.140 2 – 3 Steer 431,59 52,06 22.414 22.867 2 – 3 Heifer 338,41 51,15 21.700 22.633 2 – 3 Cow 362,53 49,85 21.133 21.500 -

Tabel 19 menunjukkan bahwa rata – rata bobot hidup dan persentase karkas tertinggi yaitu pada kelas bull, sehingga harga yang terbentuk pada bull paling tinggi. Harga terendah yaitu pada kelas cow (Rp 21.133,-), dimana cow

(22)

memiliki persentase karkas terendah. Hal ini menunjukkan bahwa persentase karkas berbanding lurus dengan harga sapi potong yang terbentuk, dimana semakin tinggi persentase karkas maka semakin tinggi harga yang terbentuk. Di samping itu lama penggemukan juga berpengaruh pada prestasi sapi potong. Tabel 19 juga menunjukkan bahwa rata – rata harga beli yang terbentuk berbeda antara pedagang pemotong dan pedagang pengumpul, dimana pedagang pemotong membeli sapi dengan harga yang lebih tinggi dari pedagang pengumpul. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada struktur biaya tataniaga yang terbentuk, dan akhirnya mempengaruhi margin tataniaga.

Namun, dalam penelitian ini terdapat keterbatasan data yang dimiliki, dimana tidak dapat dideteksi dengan pasti jumlah pembelian tiap kelas sapi dalam volume pembelian total pedagang pengumpul dan pedagang pemotong. Dengan keterbatasan tersebut, perhitungan margin tataniaga tidak dapat dilakukan berdasarkan kelas sapi pada tiap saluran, karena tidak dapat menghitung satuan biaya per satuan bobot sapi potong. Oleh karena itu perhitungan struktur biaya yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat rataan seluruh kelas sapi tersebut dan dibahas per saluran tataniaga.

Dalam sistem tataniaga sapi potong PT. KGU terdapat 6 saluran. Ke-6 saluran tersebut semuanya menyalurkan sapi potong dari PT. KGU, selaku produsen pada setiap saluran, hingga akhirnya menjadi daging yang diterima oleh konsumen akhir. Struktur biaya yang dihitung pada penelitian ini menggunakan satuan Rp/kg karkas, sehingga harga dan biaya – biaya yang menyangkut sapi dalam keadaan hidup semua dikonversikan menjadi satuan tersebut. Nilai faktor konversi adalah 1,9204. Nilai tersebut didapat dari pembagian antara rata – rata bobot hidup sapi PT. KGU (441,06 kg/ekor) dengan rata – rata hasil karkas sapi PT. KGU (229,67 kg/ekor). Perhitungan berdasarkan bobot karkas dilakukan karena perilaku pedagang pemotong di pasar yang melakukan penjualan semua hasil potongan dari karkas. Struktur biaya dan besar biaya setiap saluran selengkapnya disajikan pada Tabel 20.

(23)

Tabel 20. Struktur Biaya dan Margin Tataniaga pada Setiap Saluran dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong PT. KGU pada Tahun 2009

Saluran 1 Saluran 2 Lembaga Tataniaga (Rp/kg bobot

karkas) (%) (Rp/kg bobot karkas) (%) PT. KGU 1. Harga Jual Pedagang pengumpul 1. Harga Beli Biaya Tataniaga

a.) Biaya Pengiriman b.) Biaya Penyimpanan c.) Biaya Pakan d.) Biaya Lainnya e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan

4. Harga Jual

Pedagang Pemotong

1. Harga Beli Biaya Tataniaga

a.) Retribusi Pemotongan b.) Jasa Tukang Potong c.) Biaya Pengangkutan d.) Jasa Tukang Angkut e.) Retribusi Pasar f.) Biaya Sewa Lapak g.) Penyusutan Peralatan h.) Biaya Listrik i.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan

4. Harga Jual

Pedagang Pengecer

1. Harga Beli Biaya Tataniaga

a.) Retribusi Pasar b.) Biaya Sewa Lapak c.) Penyusutan Peralatan d.) Biaya Listrik e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual 42,542.62 42,542.62 123,50 43.54 76.01 12.92 91.23 347.22 904.88 43,794.72 43,794.72 151.42 266.08 188.68 53.22 26.81 60.11 4.37 13.78 387.40 1,151.86 12,664.53 57,611.11 73.85 73.85 0.60 1.57 76.02 76.02 1.99 21.98 100.00 42,542.62 42,542.62 123,50 43.54 76.01 12.92 91.23 347.22 904.88 43,794.72 43,794.72 151.42 266.08 188.68 53.22 26.81 60.11 4.37 13.78 387.40 1,151.86 10,108.97 55,055.56 55,055.56 314.56 592.13 31.71 91.19 797.45 1,827.03 974.55 57,857.14 73.53 73.53 0.60 1.56 75.69 75.69 1.99 17.47 95.16 3.16 1.68 100.00 Margin Tataniaga 15,068.49 26.15 15,314.52 26,47

Tabel 20 menunjukkan bahwa harga jual PT. KGU yang diterima oleh setiap lembaga tataniaga berbeda. Dapat dilihat bahwa harga tertinggi diterima oleh pedagang pemotong (saluran 3 dan saluran 4), yaitu sebesar Rp 43.424,22, selanjutnya pedagang pengumpul pada saluran 5 dan saluran 6 sebesar Rp 42.767,31 dan harga terendah diterima oleh pedagang pengumpul pada saluran 1 dan saluran 2, sebesar Rp 42.542,62. Perbedaan harga jual tersebut dikarenakan

(24)

perbedaan volume pembelian dimana pedagang pemotong (saluran 3 dan saluran 4) melakukan pembelian untuk pemotongan harian, berjumlah 1 – 2 ekor. Sedangkan pedagang pengumpul melakukan pembelian dalam jumlah yang banyak karena untuk disebar kembali ke masing – masing wilayah pemasaran. Hal ini memperlihatkan bahwa volume pembelian berpengaruh pada penentuan harga jual perusahaan, karena pengelolaan per satuan unit (sapi potong) tetap.

Tabel 20. Struktur Biaya dan Margin Tataniaga pada Setiap Saluran dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong PT. KGU pada Tahun 2009 (Lanjutan)

Saluran 3 Saluran 4 Lembaga Tataniaga (Rp/kg bobot

karkas) (%) (Rp/kg bobot karkas) (%) PT. KGU 1. Harga Jual Pedagang Pemotong 1. Harga Beli Biaya Tataniaga

a.) Biaya Pengiriman b.) Retribusi Pemotongan c.) Jasa Tukang Potong d.) Biaya Pengangkutan e.) Jasa Tukang Angkut f.) Retribusi Pasar g.) Biaya Sewa Lapak h.) Penyusutan Peralatan i.) Biaya Listrik j.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan

4. Harga Jual

Pedagang Pengecer

1. Harga Beli Biaya Tataniaga

a.) Retribusi Pasar b.) Biaya Sewa Lapak c.) Penyusutan Peralatan d.) Biaya Listrik e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual 43,324.22 43,324.22 43.54 94.34 253.99 115.73 65.31 25.80 85.27 6.21 11.57 586.82 1,288.58 12,053.87 56,666.67 76.45 76.45 2.27 21.27 100.00 43,324.22 43,324.22 43.54 94.34 253.99 115.73 65.31 25.80 85.27 6.21 11.57 586.82 1,288.58 9,720.53 54.333,33 54.333,33 314.56 592.13 31.71 91.19 797.45 1,827.03 1,696.77 57,857.14 74.88 74.88 2.27 22.18 93.91 93.91 3.16 1.68 100.00 Margin Tataniaga 13,342.45 23.55 14,532.92 25.12

Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pedagang pengumpul pada saluran 1 dan saluran 2 adalah biaya pengiriman, yakni Rp 123,50. Hal ini menyangkut fungsi dari pedagang pengumpul yaitu sebagai penyedia sapi potong untuk wilayah – wilayah pemasaran PT. KGU seperti Bogor, Bandung, dan

(25)

Di samping itu, Pedagang pengumpul juga mengeluarkan biaya penyimpanan dan biaya pakan serta gaji pegawai. Hal ini dilakukan di tempat penampungan pada RPH di setiap wilayah pemasaran dengan pengelolaan dari pegawai tersebut. Pedagang pengumpul pada saluran 5 dan saluran 6, dimana Pedagang pengumpul juga berfungsi sebagai pemotong atau memiliki lapak di pasar, memiliki komponen biaya lebih banyak menyangkut kegiatan pemotongan dan penjualan di pasar.

Tabel 20. Struktur Biaya dan Margin Tataniaga pada Setiap Saluran dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong PT. KGU pada Tahun 2009 (Lanjutan)

Saluran 5 Saluran 6 Lembaga Tataniaga (Rp/kg bobot

karkas) (%) (Rp/kg bobot karkas) (%) PT. KGU 1. Harga Jual Pedagang pengumpul 1. Harga Beli Biaya Tataniaga

a.) Biaya Pengiriman b.) Biaya Penyimpanan c.) Biaya Pakan

d.) Retribusi pemotongan e.) Jasa Tukang Potong f.) Biaya Pengangkutan g.) Jasa Tukang Angkut h.) Retribusi Pasar i.) Biaya Sewa Lapak j.) Penyusutan Peralatan k.) Biaya Listrik l.) Biaya Lainnya m.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan

4. Harga Jual

Pedagang Pengecer

1. Harga Beli Biaya Tataniaga

a.) Retribusi Pasar b.) Biaya Sewa Lapak c.) Penyusutan Peralatan d.) Biaya Listrik e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual 42,767.31 42,767.31 80.38 32.66 75.11 97.97 370.09 82.78 32.66 10.08 17.70 3.36 9.16 6.08 246.50 1,311.02 13,421.67 57,500.00 74.38 74.38 2.28 23.34 100.00 42,767.31 42,767.31 80.38 32.66 75.11 97.97 370.09 82.78 32.66 10.08 17.70 3.36 9.16 6.08 246.50 1,311.02 10,921.67 55,000.00 55,000.00 314.56 592.13 31.71 91.19 797.45 1,827.03 1,030.11 57,857.14 73.92 73.92 2.27 18.88 95.06 95.06 3.16 1.68 100.00 Margin Tataniaga 14,732.69 25.62 15,089.83 26.08

(26)

Pedagang pemotong memiliki komponen biaya yang sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga tataniaga. Biaya retribusi pemotongan dan jasa tukang potong dikeluarkan untuk kegiatan pengkarkasan sapi dimana memberikan nilai tambah pada komoditi berupa nilai guna dan bentuk. Biaya pengangkutan dikeluarkan untuk mengangkut karkas dari RPH ke pasar tempat pemotong berjualan. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pedagang pemotong adalah gaji pegawai. Hal ini dikarenakan rata – rata pegawai pada setiap lapak berjumlah 4 – 5 orang. Pedagang pemotong pada saluran 3 dan saluran 4, dimana pemotong melakukan pembelian langsung di PT. KGU mengeluarkan biaya tambahan yaitu biaya pengiriman sebesar Rp 43.54.

Pedagang pengecer pada setiap saluran memiliki struktur biaya yang relatif tinggi, karena jumlah transaksi yang dilakukan oleh pengecer rendah sehingga satuan biaya yang terbentuk cenderung tinggi. Total biaya tataniaga pedagang pengecer adalah Rp 1,827.03 dan nilai tersebut tertinggi diantara lembaga lainnya. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pengecer adalah gaji pegawai yaitu Rp 797.45. Pedagang pengecer tidak mengeluarkan biaya pengangkutan karena transaksi dilakukan di pasar.

Keuntungan yang didapat oleh lembaga pada setiap saluran berbeda – beda. Tingkat keuntungan tertinggi yaitu diperoleh oleh lembaga yang melakukan pemotongan sapi dan penjualan di lapak, yaitu pedagang pemotong dan pedagang pengumpul pada saluran 5 dan saluran 6, dengan selisih yang cukup besar dengan pedagang pengumpul (saluran 1 dan saluran 2) dan pedagang pengecer. Tingkat keuntungan terbesar yaitu diterima pedagang pengumpul pada saluran 5 yaitu Rp 13,421.67. Tingginya keuntungan tersebut dikarenakan pedagang pengumpul melakukan dua fungsi yaitu sebagai Pedagang pengumpul dan pemotong sehingga biaya yang terbentuk relatif lebih kecil dan dapat mengelola kegiatan dengan jangkauan yang lebih luas. Pedagang pengecer juga memiliki tingkat keuntungan yang lebih besar dibanding pedagang pengumpul pada saluran 1 dan saluran 2 (Rp 904.88). Keuntungan pedagang pengecer terbesar terdapat pada saluran 4 yaitu Rp 1,696.77.

(27)

Sedangkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio L/C, biaya tataniaga, dan keuntungan masing – masing saluran tataniaga sapi potong di PT. KGU ditunjukkan pada Tabel 21.

Tabel 21. Margin Tataniaga, Farmer’s Share, Rasio L/C, Biaya Pemasaran dan Keuntungan Saluran Tataniaga Sapi Potong di PT. KGU

Saluran

Margin Tataniaga

(%)

Farmer's

Share (%) Rasio L/C Biaya Keuntungan

1 26.15 73.85 9.05 1499.08 13569.41 2 26.47 73.53 3.60 3326.11 11988.41 3 23.55 76.45 9.35 1288.58 12053.87 4 25.12 74.88 3.67 3115.61 11417.30 5 25.62 74.38 10.24 1311.02 13421.67 6 26.08 73.92 3.81 3138.06 11951.78

Berdasarkan Tabel 21, saluran 2, saluran 4, dan saluran 6 memiliki biaya tataniaga yang relatif lebih tinggi dibandingkan saluran yang lain. Hal ini dikarenakan pada saluran – saluran tersebut melibatkan pedagang pengecer. Pedagang pengecer memiliki struktur biaya yang lebih tinggi dibanding lembaga lain karena frekuensi penjualan daging per harinya yang jauh lebih kecil dibandingkan lembaga lainnya. Margin keuntungan yang terbesar terdapat pada saluran 1, hal ini dikarenakan pedagang pemotong pada saluran ini mengambil keuntungan yang cukup besar karena langsung menjual daging kepada konsumen akhir.

Tabel 21 menunjukkan bahwa margin tataniaga terbesar pada setiap saluran adalah saluran 2, diikuti oleh saluran 1, saluran 6, saluran 5, saluran 4, dan yang terkecil yaitu saluran 3. Tingginya margin tataniaga pada saluran 2 sebesar 26,15 persen (Rp 15.314,52) disebabkan oleh pola saluran yang terbentuk paling panjang diantara saluran lainnya. Saluran 2 melibatkan semua lembaga tataniaga yaitu PT. KGU, pedagang pengumpul, pedagang pemotong, dan pedagang pengecer. Hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang rantai tataniaga maka harga yang harus dibayarkan oleh konsumen semakin tinggi. Nilai tersebut juga menggambarkan bahwa setiap lembaga tataniaga yang terlibat berusaha melakukan fungsi – fungsi tataniaga sehingga biaya tataniaga yang dikeluarkan semakin besar. Saluran 3, dimana memiliki margin tataniaga terkecil yaitu sebesar

(28)

23,55 persen (Rp 13.342,45), hal ini dikarenakan hanya terdapat 2 lembaga yaitu pihak produsen dan pedagang pemotong.

Bagian yang diterima oleh produsen di setiap saluran dari harga yang dibayarkan oleh konsumen (farmer’s share) berbeda – beda, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20. Perbedaan tersebut ditinjau berdasarkan saluran yang dilalui. Farmer’s share terbesar terdapat pada saluran 3 yaitu sebesar 76,45 persen, artinya produsen menerima harga sebesar 76,45 persen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen yaitu sebesar Rp 56.666,67/kg daging, sedangkan sisanya dinikmati oleh lembaga pemasaran yang terlibat. Sedangkan farmer’s share terendah terdapat pada saluran 2 yaitu sebesar 73,53 persen dari harga yang dibayarkan konsumen sebesar Rp 58.777,78/kg daging.

Dengan demikian, berdasarkan analisis margin tataniaga dan farmer’s share, saluran 3 merupakan saluran yang paling efisien dibanding saluran yang lain. Saluran 3 memiliki nilai margin tataniaga yang terkecil dan farmer’s share terbesar. Sedangkan saluran yang paling tidak efisien adalah saluran 2, karena memiliki nilai margin tataniaga terbesar dan nilai farmer’s share terkecil diantara semua saluran. Hasil ini dapat memberikan masukan bagi perusahaan agar dapat meningkatkan volume penjualan pada saluran 3 dan juga saluran 4.

Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan nilai dari keuntungan yang diterima dibandingkan dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga. Berdasarkan analisis rasio keuntungan dan biaya tataniaga (L/C), maka saluran yang memiliki rasio terbesar adalah saluran 5 yaitu sebesar 10,24. Hal ini berarti untuk setiap satu rupiah biaya tataniaga yang dikeluarkan akan memberikan keuntungan sebesar 10,24 rupiah. Sedangkan saluran 2 merupakan saluran tataniaga yang paling kecil nilai rasio keuntungan dengan biaya tataniaganya, yaitu sebesar 3,60. Hal ini berarti bahwa setiap satu rupiah biaya tataniaga yang dikeluarkan hanya memberikan keuntungan sebesar 3,60 rupiah.

6.4 Analisis Struktur Pasar

(29)

pasar yang mempengaruhi sifat proses persaingan dan dapat diukur dengan menganalisis konsentrasi, jumlah kelompok penjual dan pembeli dalam suatu industri, karakteristik dari produk tersebut (homogen atau diferensiasi), dan kondisi keluar masuk pasar. Hal tersebut dapat menentukan bagaimana pembentukan harga di pasar, struktur biaya, dan keuntungan yang diperoleh setiap lembaga yang terlibat dalam aktifitas pasar.

Keadaan pasar sapi potong PT. Kariyana Gita Utama secara umum mulai dari produsen sampai ke pedagang pengecer cenderung terintegrasi. Hal ini dikarenakan setiap lembaga tataniaga yang terlibat relatif tidak berubah (berlangganan) dari setiap pedagang di hulunya. Hubungan jual beli yang terjadi antar lembaga tataniaga juga sudah terjalin cukup lama.

Struktur pasar yang dihadapi PT. Kariyana Gita Utama adalah mendekati pasar oligopoli. Saat ini, industri penggemukan sapi potong di Indonesia belum terdapat banyak perusahaan yang mampu berproduksi dalam jumlah kapasitas besar. Dengan kondisi tersebut, PT. KGU memiliki kekuatan untuk menentukan harga jual. Namun PT. KGU juga mempertimbangkan harga jual yang ditetapkan oleh para pesaingnya. Penentuan harga oleh PT. KGU didasarkan pada 1) biaya pembelian bakalan, 2) biaya produksi, 3) jenis sapi, dimana untuk sapi pejantan afkir (bull) memiliki harga lebih tinggi dibandingkan sapi jenis lain seperti jantan (steer), betina (heifer), dan betina afkir (cow) karena kualitas dan persentase karkas yang dimiliki lebih tinggi, 4) status pelanggan, 5) frekuensi atau volume pembelian. Penentuan harga jual antara PT. KGU dengan pedagang juga ditentukan melalui proses tawar – menawar, namun posisi tawar PT. KGU lebih kuat. Harga yang telah ditetapkan PT. KGU sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga selanjutnya oleh pedagang pengumpul dan akhirnya juga berpengaruh di tingkat pasar yaitu pedagang pemotong dan pedagang pengecer.

Produk yang dihasilkan PT. KGU bersifat homogen. Sapi potong yang diproduksi oleh PT. KGU sebagian besar adalah sapi impor (Brahman cross) dan hanya sedikit sapi lokal. Penjualan yang dilakukan oleh PT. KGU adalah dalam bentuk ternak hidup. Sistem grading/klasifikasi PT. KGU secara umum juga dilakukan oleh perusahaan sejenis. PT. KGU melakukan penjualan kepada dua lembaga, yaitu pedagang pengumpul dan pedagang pemotong. Pedagang

(30)

pengumpul terdiri dari pembeli tetap dan tidak tetap, namun jumlah pembeli tetap jauh lebih banyak. Umumnya pedagang pengumpul merupakan langganan tetap yang telah terjalin hubungan dagang cukup lama sehingga PT. KGU harus dapat menjaga keberadaan pedagang pengumpul agar penjualan yang stabil dapat tercapai. Kerjasama antara produsen dan pedagang pengumpul adalah penukaran informasi mengenai persentase karkas yang dihasilkan. Hal ini dilakukan dengan cara berkomunikasi dengan pedagang pengumpul untuk melakukan evaluasi hasil produksi sapi potong. Hasil evaluasi tersebut digunakan untuk melihat kinerja yang dilakukan perusahaan dan untuk terus meningkatkan kualitas karkas. Di samping itu, evaluasi tersebut merupakan hal yang sangat penting karena untuk menjaga agar pedagang pengumpul tetap melakukan pembelian pada PT. KGU. Hal tersebut dikarenakan persentase hasil karkas merupakan hal yang menjadi dasar kepuasan dan pertimbangan utama dari pedagang pengumpul dan juga pedagang pemotong dalam melakukan pembelian.

Hambatan yang dialami oleh produsen adalah diperlukannya modal yang sangat besar, analisis yang tajam karena sifatnya akan lebih efisien jika dikembangkan dalam skala besar karena dapat menekan biaya produksi per kilogram sapi potong. Produsen juga harus mempunyai pelanggan tetap dalam memasarkan produknya.

Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul, pedagang pemotong, dan pedagang pengecer cenderung sama, yaitu mendekati pasar oligopoli. Pedagang pengumpul memliki pelanggan tetap masing – masing dalam menjual sapi hidup kepada pedagang pemotong. Pedagang pengumpul dalam melakukan penjualan kepada pedagang pemotong, melakukan proses tawar menawar dalam menentukan harga. Namun posisi pedagang pengumpul sedikit lebih kuat. Pedagang pemotong dalam melakukan penjualan juga memiliki pelanggan masing – masing, di tingkat pedagang pengecer maupun konsumen akhir. Penentuan harga jual yang dilakukan pedagang pemotong dan pengecer adalah berdasarkan harga yang terbentuk pada Pusat Informasi Harga (PINSAR), sehingga kedua lembaga tersebut memiliki kekuatan yang rendah dalam menentukan harga.

(31)

bagi pengumpul yang memiliki lapak di pasar, sedangkan penjualan yang dilakukan oleh pedagang pemotong dan pedagang pengecer adalah dalam bentuk daging, jeroan, kaki, kulit, dan kepala.

Sistem pembayaran yang diterapkan oleh pedagang pengumpul kepada pedagang pemotong sebagian besar adalah tidak tunai atau dibayarkan keesokan harinya setelah daging habis tejual di pasar. Hal ini juga berlaku pada pedagang pemotong dengan pedagang pengecer. Sistem pembayaran kredit diterapkan kepada pedagang yang sudah berlangganan cukup lama.

Hambatan yang dialami oleh setiap lembaga tataniaga baik itu pedagang pengumpul, pedagang pemotong, dan pedagang pengecer adalah modal yang cukup besar. Selain itu pedagang juga harus mempunyai keahlian dalam menaksir kualitas sapi jika dilihat dari persentase karkas, mengingat keahlian ini tidak dalam waktu singkat didapat.

Dengan demikian, secara keseluruhan struktur pasar yang dihadapi pelaku pasar/lembaga tataniaga sapi potong pada PT. KGU cenderung bersifat pasar oligopoli. Hal ini dikarenakan pasar terdiri dari beberapa penjual yang peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga penjual lain dan menjual produk yang bersifat homogen serta standar. Hambatan keluar masuk industri cukup tinggi yang disebabkan oleh kebutuhan modal yang besar, pengetahuan yang bersifat perorangan, dan keeratan hubungan antara pembeli dan penjual yang susah untuk diubah.

Gambar

Tabel 12. Penjualan Sapi Potong oleh Pedagang pengumpul (dalam ekor/bulan)  Konsumen Pedagang Pengumpul
Tabel 13. Penjualan Sapi Potong oleh Pedagang Pemotong (dalam ekor/bulan)  Konsumen Pedagang Pemotong
Tabel 17. Penjualan Sapi Potong PT. KGU Tahun 2009 (dalam ekor)
Tabel 20. Struktur Biaya dan Margin Tataniaga pada Setiap Saluran dan Lembaga  Tataniaga Sapi Potong PT
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan aklimatisasi sapi bali pada minggu I pada bulan April dan Mei lebih baik daripada sapi PO, ini dapat dilihat dari posisi kemiringan garis linear respons

Diperoleh data bahwa selama bulan April 2009 perusahaan memperoleh laba Rp 653.670.639 dan direncanakan peningkatan sebesar 25% untuk Mei 2009. Secara ringkas jumlah

[r]

Kemampuan aklimatisasi sapi bali pada minggu I pada bulan April dan Mei lebih baik daripada sapi PO, ini dapat dilihat dari posisi kemiringan garis linear respons

Berapa kilogram rata-rata pakan hijau yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan untuk sapi perah laktasi selama tiga bulan terakhir (Maret, April, dan Mei).. Bulan

Hasil peninjauan dilapangan dan data yang diperoleh, menunjukkan perkembangan proses IB pada ternak sapi akseptor tahun 2018 di bulan Juli sampai dengan September memperlihatkan