• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORITIS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Analisis Wacana

Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antar-kalimat dan suprakalimat maka kita akan sukar dengan tepat satu sama lain (Tarigan 1993:24). Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi (Sobur, 2006:48).

Menurut Littlejohn, meski menulis dan bahkan bentuk-bentuk nonverbal dapat dikatakan sebagai wacana, kebanyakan analisis wacana berkonsentrasi pada percakapan yang muncul secara wajar serta terdapat beberapa untai analisis wacana, bersama-sama menggunakan perhatian (Sobur, 2006:48) :

1. Seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau tipe-tipe pesan lainnya.

2. Wacana dipandang sebagai aksi; ia adalah cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata.

3. Analisis wacana adalah suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari perspektif mereka; ia tidak memperdulikan ciri/sifat

(2)

11

psikologis tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan.

Menurut Littlejohn dari segi analisisnya, ciri-ciri sifat wacana itu dapat dikemukakan sebagai berikut (Syamsuddin, 1992:6):

a. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat (rule of use – menurut Widdowson);

b. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth);

c. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantik (Beller);

d. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done - menurut Labov);

e. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language – menurut Coulthard).

2.1.1.1. Analisis Wacana Teun A. Van Dijk terhadap Film

Dari sekian banyak model analisis wacana, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai dikarenakan van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa diaplikasikan secara praktis. Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi sosial”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh van Dijk. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Disini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu (Eriyanto, 2001:221). Dalam penelitian ini, digunakan model analisis wacana Teun A. van Dijk untuk menganalisis teks/ naskah film.

(3)

12

Dalam analisis wacana van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bagunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti dari analisis van Dijk ini ialah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuhan analisis. Pada dimensi pertama, van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung. Van dijk membagi analisis wacana dalam dimensi teks ke dalam tiga tingkatan, yakni (Eriyanto, 2001:227-232) :

1. Struktur makro.

Struktur makro m erupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks dengan mengamati apa topik utama yang diangkat oleh film Yowis Ben. Tema dalam sebuah film filihat melalui judul dan premis. Menurut KBBI, premis merupakan gagasan yang disampaikan atau ditayangkan untuk membawa kesimpulan (Ismail, 1997:136). Seperti film Yowis Ben, tema dilihat melalui premis. Elemen tematik menunjukkan pada gambaran umum dari suatu teks/naskah film atau sebagai gagasan inti, ringkasan atau yang utama dari suatu teks/naskah. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh penulis skenario dalam sebuah film serta menujukkan informasi yang paling penting atau inti pesan yang akan disampaikan oleh komunikator serta menunjukkan konsep dominan, sentral dan yang paling penting dari isi suatu film.

Menurut kamus perfilman, tema berarti “pesan” penulis yang lahir dari pandangan atas kenyataan yang ada dan bagaimana pandangan moralnya, bagaimana dunia ini sebenarnya. Tema berurusan dengan hal yang bersifat universal seperti, cinta, keberanian, kemerdekaan, kematian, hilangnya rasa kemanusiaan dalam masyarakat modern, dan lainnya (Ismail, 1997:136). Dalam film tema diartikan sebagai salah satu persoalan pokok atau suatu fokus di sekilas mana sebuah film dibangun. Pokok dalam film dibagi menjadi empat bagian yaitu plot, emosi, karakter, dan ide. Teun A. van Dijk menungkapkan bahwa topik menggambarkan tema umum dari suatu teks/ naskah film didukung dengan subtopik satu dan subtopik lainnya yang saling mendukung kemudian terbentuklah topik umum. Subtopik ini juga didukung dengan serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjukkan dan

(4)

13

menggambarkan subtopik, sehingga dengan subbagian yang mendukung antara satu bagian dengan bagian lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh.

2. Superstruktur (Skematik)

Superstruktur kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan. Pada elemen ini akan dipaparkan bagaimana struktur dan elemen wacana disusun dalam teks secara utuh. Dalam sebuah film atau teks umumnya mempunyai skema atau alur pendahuluan sampai akhir. Dimana alur menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Sebelum dicatat hingga menjadi naskah yang siap diproduksi, dilakukan penataan skenario untuk membuat struktur cerita dengan format-format standar.

Dalam strutur terdapat berbagai hal seperti inti cerita yang akan dibagi menjadi dasar membentuk plot cerita (plotline), plot sebagai jalan cerita atau alur cerita dari awal, tengah dan akhir serta struktur drama yang dibagi dalam beberapa babak. Jika sebuah film akan dibuat, maka struktur yang penting untuk dicermati yaitu pembagian cerita (squence), pembagian adegan (scene), jenis pengambilan cerita (shoot), adegan pembuka (opening), alur cerita dan contunity, intik, anti klimaks (penyelesaian masalah), dan ending (penutup). Skematik dalam istilah perfilman disebut struktur tiga babak, yang merupakan fondasi yang membentuk skenario solid (Set dan Sita, 2003:26).

3. Struktur Mikro

Struktur mikro adalah makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. Struktur mikro diamati melalui empat hal yakni semantik, sintaksis, stilistik, retoris.

a. Semantik yaitu makna yang ingin ditekankan. Dalam hal ini informasi yang disampaikan dalam film disampaikan melalui beberapa strategi diantaranya pemilihan latar, detail informasi yang ditampilkan oleh komunikator, dan penguraian informasi secara eksplisit dan jelas. Tujuan akhir dari semantik

(5)

14

yakni menguntungkan komunikator sehingga pesan yang disampaikan dalam film harus eksplisit dan jelas. Hal ini dapat dilihat melalui dialog dalam sebuah scene. Strategi dalam sebuah film dapat dilihat melalui tematiknya, berapa kali diucapkan atau seberapa penting pesan itu disampaikan oleh penulis.

b. Sintaksis yaitu bagaimana pendapat disampaikan melalui film. Strateginya, informasi disampaikan secara koheren (pengaturan secara rapi), logika kausalitas (cara berpikir logis), dan penggunaan kata ganti (manipulasi bahasa) untuk menciptakan imajinasi. Sintaksis dapat ditelusuri melalui dialog atau adegan dalam film.

c. Stilistik yaitu pilihan kata apa yang digunakan dalam film tersebut. Pusat perhatian stilistik adalah style, yaitu cara yang digunakan penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Gaya bahasa menyangkut diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas, dan citraan. Stilistik dapat dilihat melalui mudah/ tidaknya serta baku/tidaknya dalam naskah film.

d. Retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan pesan moral dilakukan. Fungsi retoris adalah sebagai persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu disampaikan kepada khalayak dengan menggunakan repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata yang sama bunyinya seperti sajak), sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau menekankan isi tertentu agar menjadi perhatian. Bentuk gaya lain dari retoris adalah ejekaan (ironi), bertujuan untuk melebihkan suatu yang positif mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan lawan. Selain itu terdapat pula bentuk gaya interaksi yakni bagaimana pembicara menempatkan/ memposisikan dirinya diantara khalayak. Kemudian gaya berikutnya adalah ekspresi untuk membantu menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks/ naskah yang disampaikan. Wacana terakhir yang menjadi strategi level retoris ini adalah menyampaikan Visual Image yakni dengan

(6)

15

menggambarkan detail berbagai hal yang ingin ditonjolkan. Untuk melihat retoris sebuah film dapat dianalisis melalui pengulangan dialog dalam film (Sobur, 2006:77).

Kemudian pada dimensi kedua, yaitu kognisi sosial. Analisis wacana dari dimensi kognisi sosial adalah titik kunci dalam memahami sebuah produksi teks atau cerita, maksudnya adalah selain meneliti teks, penulis juga meneliti proses terbentuknya teks. Proses terbentuknya suatu teks ini tidak hanya bermakna bagaimana suatu teks itu dibentuk, tetapi juga proses ini memasukkan informasi yang digunakan untuk menulis dari suatu bentuk wacana tertentu (Eriyanto, 2001:266).

Dimensi ketiga yaitu konteks sosial. wacana yang terdapat dalam sebuah teks adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneiti suatu teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:271).

2.1.2. Film

Film adalah teknik audio visual yang sangat efektif dalam mempengaruhi penonton-penontonnya selain itu film juga merupakan kombinasi dari drama dengan paduan suara dan musik, serta drama dengan paduan dari tingkah laku dan emosi yang dapat dinikmati oleh penontonnya sekaligus dengan mata, telinga dan di ruang yang gelap dan terang (Widjaja, 2008:84). Selain dapat menyampaikan pesan, melalui film orang buta huruf dapat ikut menikmatinya dibandingkan media cetak. Mimik dalam film dapat diperlihatkan dengan jelas dengan melakukan big close up pada wajah. Begitu juga dengan gerak-gerik dan teknik suara yang diperlihatkan.

Oey Hong Lee mengungkapkan bahwa film sebagai alat komunikasi massa kedua yang muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik,

(7)

16

ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 (Sobur, 2006:129).

Bagi kebanyakan orang, wacana hanya dimaknai sebagai bentuk komunikasi tulisan. Padahal titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi bahasa atau pemakaian bahasa. (Eriyanto, 2001:4). Guy Cook menyatakan bahwa teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua bentuk ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya (Sobur, 2006:56). Maka dapat disimpulkan bahwa film juga bisa dimasukkan dalam kategori wacana. Hal ini didasari oleh karena di dalam film, juga terdapat semua bentuk ekspresi komunikasi.

2.2. Penelitian Terdahulu

Dibawah ini akan diuraikan tiga penelitian yang dijadikan rujukan untuk penelitian yang akan dilakukan. Ketiga penelitian tersebut yaitu :

Penelitian terdahulu yang pertama dilakukan oleh Fransiska Ayu Rosalina Nugraheni dengan judul penelitian “PENGGUNAAN BAHASA JAWA DI TV LOKAL (Analisis Wacana Kritis Program Acara Kuthane Dewe Dan Campursarinan Kompas Tv Jawa Tengah)” pada tahun 2017. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan empat metode menurut Haryatmoko dan analisis wacana kritis Fairclough baik teks, praktik diskursif dan praksis sosial digunakan untuk megetahui alasan pemilihan dasar penggunaan bahasa Jawa dalam produksi program acara Kuthane Dhewe dan Campursarinan di Kompas TV Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat tidak terbiasa menggunakan dan mengapresiasi budaya mereka sehingga ketika masyarakat tidak mengetahui budaya mereka, masyarakat akan mulai menjauh dari budaya lokal tersebut dalam hal ini bahasa Jawa ngoko Semarangan, ini disebut sebagai ketidakberesan sosial. Dengan penggunaan bahasa Jawa ngoko Semarangan di program acara Kuthane Dhewe dan Campursarinan, Kompas TV Jawa Tengah turut melestarikan bahasa lokal yang ada dan juga turut memperkenalkan ke masyarakat bahwa bahasa lokal juga patut untuk dijaga dan diapresiasi keberadaannya (Nugraheni, 2017).

(8)

17

Penelitian berikutnya oleh Sukasih Nur berjudul “ANALISIS WACANA PESAN MORAL DALAM FILM NAGA BONAR KARYA ASRUL SANI” pada tahun 2008. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pesan-pesan moral yang disajikan film Naga Bonar dari teks (struktur makro, superstruktur, struktur mikro, kognisi sosial, dan konteks sosial. Penelitian deskriptif kualitatif dan metode analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk ini memperoleh hasil penelitian bahwa Film Naga Bonar sarat dengan pesan moral. Hal ini bisa ditijau dari struktur makro film ini yang termuat dalam tema utama yaitu tema perjuangan serta didukung dengan subtopik seperti keberanian, kepemimpinan, persahabatan, kecintaan, kesetiaan dan kepasrahan. Sedangkan dalam skematik film Naga Bonar sangat menarik karena dalam menyajikan isi cerita, penulis cerita film lebih memberikan motivasi dan memberikan pengalaman bagi penonton melalui berbagai gambaran visual yang jelas tentang pertempuran hidup. Dari bahasa cara penyampaian informasi dan pesan-pesannya dikemas gaya populer yang sangat ekspresif dengan bahasa propagandis dan pedagogis dan dalam bentuk komedi, sehingga mudah diterima oleh masyarakat. sedangkan dalam konteks sosial dan kognisi sosial pengarang, film ini memberikan inspirasi kepada masyarakat ketika mulai leburnya identitas bangsa, kurangnya rasa nasionalisme (Nur, 2008)

Penelitian yang terakhir dilakukan oleh Godwin Olifried Wattilete dengan judul penelitian “REPRESENTASI BUDAYA JAWA TIMUR DALAM FILM “YOWIS BEN”” pada tahun 2018. Tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui representasi Budaya Jawa dalam film „YOWIS BEN‟. Penelitian dengan metode deskriptif kualitatif dan dianalisis menggunakan teori semiotika Roland Barthes berdasarkan adegan dengan melihat representasi budaya Jawa ini memperoleh hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa representasi dalam film ini berisi budaya Jawa, dan dalam konteks ini adalah budaya Jawa Timur yang dikemas dengan menarik serta aspek yang dilambangkan menunjukkan unsur-unsur budaya Jawa sedangkan dari segi aspek konotasi bahasa daerah yang menjadi sorotan (Wattilete, 2018)

Penelitian ini menggunakan Analisis Wacana dengan pendekatan Teun A. van Dijk. Dalam penelitian sebelumnya, teori ini telah digunakan untuk mebedah penelitian tentang

(9)

18

Analisis Wacana Pesan Moral Dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sani dapat menjadi pengetahuan bagi peneliti untuk melihat bagaimana teori ini membedah suatu unit analisa. Selain itu untuk penelitian Penggunaan Bahasa Jawa Di Tv Lokal (Analisis Wacana Kritis Program Acara Kuthane Dewe Dan Campursarinan Kompas Tv Jawa Tengah), peneliti melihat dari segi fokus penelitian mengenai penggunaan bahasa jawa di media massa. Yang terakhir penelitian Representasi Budaya Jawa Timur Dalam Film “Yowis Ben” sebagai referensi penulis bahwa terdapat penelitian sebelumnya yang juga meneliti film “Yowis Ben”.

Dari ketiga penelitian di atas, terlihat bahwa ada kesaman metode analisis wacana yang digunakan, kajiannya tentang budaya jawa khususnya dari segi bahasa, dan kesamaan film yang menjadi bahan analisis. Yang menjadi pembeda dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini akan fokus pada analisis wacana Teun A. van Dijk untuk menganalisis makna pesan Bahasa Jawa dalam sebuah film nasional “Yowis Ben”.

(10)

19 2.3. Kerangka Pikir

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam film nasional yang berjudul “Yowis Ben” akan dianalisis secara kualitatif deskriptif guna menjelaskan secara rinci makna pesan Bahasa Jawa dalam film tersebut dianalisis menggunakan metode analisis wacana Teun A. Van Dijk dengan tiga dimensi/bangunan yakni teks (struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro), kognisi sosial, dan konteks sosial.

Pesan Makna Bahasa Jawa dalam film “Yowis Ben”

Film “Yowis Ben”

Analisis Wacana Teun A. Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan :

1. Teks (struktur makro, superstruktur, struktur mikro),

2. Kognisi sosial, dan 3. Konteks sosial. Film

Analisis wacana makna pesan Bahasa Jawa dalam film “Yowis Ben”

Referensi

Dokumen terkait

(Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Makna Persahabatan Dalam Film 3

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu yang Bersujud dengan berdasarkan pada teori semiotika Roland Barthes

Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah Representasi, Film Sebagai Media Massa, Semiotika Roland Barthes, Mitologi Roland Barthes, Pengkultusan, Legitimasi

“Representasi Kekerasan Verbal dan Nonverbal Pada Iklan Qtela 2020 Versi Drama #ParodiKuMenangis (Analisis Semiotika Roland Barthes)” sebagai syarat kelulusan dalam

REPRESENTASI MAKNA BELA NEGARA DALAM FOTO KEGIATAN “FISIP CARE 2019” PADA INSTAGRAM BEM FISIP UPNVJ (Studi Analisis Semiotika Roland Barthes).. UPN Veteran Jakarta, Fakultas

Untuk itulah penulis akan melakukan penelitian tentang representasi metroseksual pada fashion balita dengan analisis semiotika Roland Barthes terhadap foto Daffa

Proses analisis dilakukan secara deskriptif dan menggunakan metode analisis teori semiotika Roland Barthes dengan signifikasi makna denotasi dan konotasi yang sekaliguas menghasilkan

Representasi Maskulinitas Dalam Film Aquaman Analisis Semiotika Roland Barthes Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta.. Representasi Maskulinitas Tokoh Utama Dalam