• Tidak ada hasil yang ditemukan

ICASERD WORKING PAPER No.24

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ICASERD WORKING PAPER No.24"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ICASERD WORKING PAPER No.24

Karakteristik Petani Miskin Berlahan Sempit

dan Analisa Usahatani Tembakau Pada

Lahan Tadah Hujan

(KASUS : KABUPATEN BOJONEGORO)

Valeriana Darwis

Januari 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(2)

ICASERD WORKING PAPER No.24

Karakteristik Petani Miskin Berlahan Sempit

dan Analisa Usahatani Tembakau Pada Lahan

Tadah Hujan

(KASUS : KABUPATEN BOJONEGORO)

Valeriana Darwis

Januari 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari dan Agus Suwito. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(3)

Karakteristik Petani Miskin Berlahan Sempit dan Analisa Usahatani Tembakau Pada Lahan Tadah Hujan

(Kasus : Kabupaten Bojonegoro) Valeriana Darwis

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

There are some criteria of the poor families, i.e ; low education, less income, limited living facilities and mostly working on agricultural sector and observation was made in a tobacco production centre in Indonesia. Data showed that, the education level of the people just only Primary School ; the area of agricultural land even less then 0,4 Ha perhousehold, which they got it from their parents and housing condition is very simple and small. The purpose of this study are to see the characteristics of the poor farmers and to analized the tobacco farms business in the location. The analysis results showed that the income of the tobacco farmer’s were decrease, which represented by the decreasing of B/C Ratio of their farmers business from 1,4 in 1984 to 0,09 in 1992 and 0.008 in 2002. On the last year this situation were caused by the low prices, unsuitable climate, whish reduced the motivation of the farmers to use suitable technologies

ABSTRAK

Ada beberapa kriteria yang melekat pada keluarga miskin, antara lain : pendidikan rendah, pendapatan rendah, terbatasnya kepemilikan asset produktif dan bekerja pada sektor pertanian. Kondisi yang sama juga terjadi di salah satu sentra produksi tembakau di Indonesia. Dari hasil survay menunjukan tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar, memililki lahan pertanian rata-rata 0,4 Ha perrumahtangga dan lahan tersebut diperoleh dari warisan serta kondisi perumahan yang kecil dan sangat sederhana. Tulisan ini tujuannya ingin melihat karakteristik keluarga miskin dan analisa usahatani tembakau pada lahan yang dimiliki. Hasil analisa menunjukan terjadinya penurunan pendapatan keluarga petani tembakau, hal ini direpresentasikan dari penurunan B/C Ratio dari 1,4 tahun 1984 menjadi 0,9 tahun 1992 dan 0,008 tahun 2002. Penurunan untuk tahun terakhir disebabkan oleh rendahnya harga, anomali iklim dan kondisi ini menyebabkan menurunnya motivasi petani dalam penerapan teknologi.

Latar Belakang

Ada beberapa kriteria yang melekat pada keluarga miskin, antara lain pendidikan yang rendah, pekerjaan utama di sektor pertanian dan kepemilikan asset produktif termasuk didalamnya lahan garapan. Kemiskinan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa klasifikasi : (1) kemiskinan absolut : apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. (2) kemiskinan relatif : adalah bila seseorang yang mempunyai penghasilan diatas garis kemiskinan, tapi relatif lebih

(4)

rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. (3) kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang berupaya membantu. (4) kemiskinan kronis, disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian serta rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dan ketidak berdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. (5) kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya : perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat (Sumodiningrat. 1999). Lebih lanjut Kartasasmita (1986), Todaro (1989) dan Paul Glewe (1990) menjelaskan profil keberadaan rumahtangga miskin yang dirinci sebagai berikut : paling banyak berada di pulau Jawa (57,3 persen) dan penghasilan terbesar bersumber dari pertanian (79,5 persen). Data BPS 1999, menunjukan bahwa lebih dari 62 persen angkatan kerja rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian disusul pada kegiatan di sektor perdagangan (10 persen), industri rumah tangga (7 persen ) dan jasa (6 persen).

Data dari Sensus Pertanian 1993 memperlihatkan bahwa rumah tangga petani yang menguasai lahan sempit (< 0,25 Ha), sebagian besar (56 persen) masih menjadikan usahatani sebagai sumber utama pendapatan. Oleh karena itu sangat beralasan bila ketimpangan pendapatan rumah tangga di pedesaan yang berbasis pertanian erat kaitannya dengan ketimpangan struktur penguasaan lahan (Nurmanaf,

2001)

Sementara Salim (1982) mengemukakan ada lima ciri penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan yaitu pertama, tidak menguasai faktor produksi seperti tanah, modal, ataupun ketrampilan, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan terbatas. Kedua, tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produktif dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat pendidikan umumnya rendah, karena waktu tersita untuk mencari nafkah untuk mendapatkan penghasilan. Keempat, kebanyakan tinggal di pedesaan. Kelima, yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak di dukung oleh ketrampilan yang memadai.

(5)

Bojonegoro merupakan salah satu sentra penghasil tembakau dan lebih terkenal dengan tembakau Virginianya. Tembakau jenis ini mulai diusahakan di Bojonegoro pada tahun 1928 dan sejak tahun 1970 mulai berkembang ke Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan. Adapun kegunaan tembakau ini untuk bahan rokok putih (bentuk krosok) dan campuran rokok kretek (rajangan).

Dengan mengacu pada salah satu indikator kemiskinan berupa kepemilikan lahan, maka tulisan ini ingin melihat karakteristik dan kepemilikan aset rumah tangga serta analisa usahatani tembakau yang merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga miskin.

METODOLOGI

Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian Biro Perencanaan Departemen Pertanian yang diberi judul “Studi Perencanaan Model Penanggulangan Kemiskinan

Petani Berlahan Sempit”. Penelitian dilakukan tahun 2002 dan survai ke lokasi penelitian

pada bulan Oktober di Kabupaten Bojonegoro yang mewakili daerah sawah tadah hujan. Kabupaten dan desa dipilih berdasarkan lokasi yang mempunyai sawah tadah hujan terluas. Dari kriteria tersebut terpilih Desa Drokilo yang terletak di Kecamatan Kedungadem. Pemilihan responden berdasarkan keluarga yang mempunyai garapan sawah tadah hujan yang sempit (paling luas 0,4 ha) dan diwakili oleh 20 keluarga yang dipilih secara acak.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder yang berasal dari Dinas Pertanian Kabupaten, Badan Perencanaan Daerah, serta instansi terkait yang ada di kabupaten dan desa. Data primer berasal dari hasil wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan kuesioner. Data-data yang terkumpul dianalisa dengan metode deskriptif dan tabulasi silang. Untuk analisa usahatani dipergunakan perhitungan B/C Ratio

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Pertanian dan Sarana Pendukungnya di Kabupaten Bojonegoro

Lahan yang tersedia di kabupaten ini terdiri dari lahan sawah yang terdiri dari sawah irigasi (28.878 ha) dan sawah tadah hujan (46.213 ha) ; serta lahan kering (155.615 ha) dimana pada lahan kering ini sebagian besar hutan negara (98.275 ha). Dalam lima tahun terakhir (1997 – 2001) telah terjadi perubahan lahan di kabupaten ini, antara lain penambahan luas lahan sawah irigasi dari 27.902 ha pada tahun 1997

(6)

menjadi 28.878 ha di tahun 2001. Kebalikannya lahan sawah tadah hujan mengalami penurunan dari 46.770 ha pada tahun 1997 menjadi 46.213 ha tahun 2001. Untuk lahan kering penambahan lahan terjadi di hutan rakyat dan pekarangan/bangunan yaitu masing-masing penambahannya adalah 168 ha dan 36 ha. Lahan yang tidak mengalami perubahan adalah lahan yang diperuntukan untuk hutan negara dengan luas 98.275 ha, untuk lebih lengkapnya tentang perubahan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 : Perkembangan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bojonegoro

No Jenis Penggunaan 1997 1998 1999 2000 2001 1. 2. Sawah. - Irigasi - Tadah hujan Lahan Kering - Pekarangan/Bangunan - Tegal/kebun - Ladang/Huma - Rawa - Padang rumput - Kolam/ empang/waduk - Lahan tidur - Hutan rakyat - Hutan negara - Perkebunan - Lainnya 74.672 27.902 46.770 156.034 23.980 26.737 -400 -29 -478 98.275 26 6.109 74.187 27.447 46.740 155.519 23.984 26.771 -400 -57 -474 98.752 -5.609 75.590 27.146 48.444 154.809 23.950 25.844 -400 -426 -426 98.274 -5.857 75.191 28.849 46.342 155.515 23.950 26.242 -404 -62 -426 98.275 304 5.670 75.091 28.878 46.213 155.615 24.016 26.169 -344 -64 -646 98.275 100 6.001 Jumlah 230.706 230.706 230.706 230.706 230.706

Sumber : Laporan Tahunan 2001 Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro

Sektor usaha yang ada di kabupaten ini yang paling banyak dan paling besar mempekerjakan karyawannya adalah perusahaan rokok dan tembakau (Tabel 2). Ini membuktikan bahwa Kabupaten Bojonegoro termasuk sentra penghasil tembakau di Jawa Timur. Jumlah karyawan yang bekerja di sektor ini adalah 16.638 orang. Kemudian di ikuti oleh usaha di bidang perkayuan, untuk sektor pertanian dan perkebunan hanya ada 4 perusahaan. Walaupun dari jumlah perusahaan sedikit, tetapi dari jumlah karyawan justru sektor pertanian dan perkebunan lebih banyak dari pada sektor perkayuan. Jumlah tenaga kerja untuk masing-masing sektor itu adalah 3.798 orang dan 920 orang.

(7)

Tabel 2. Jumlah Perusahaan dan Jumlah Tenaga Kerjanya

Tenaga kerja

Sektor usaha Jumlah

perusahaan Laki Wanita Total 1. Pertanian dan perkebunan

2. Minyak, gas bumi dan pertambangan 3. Rokok dan tembakau

4. Makanan dan minuman 5. Tekstil dan sandang 6. Perkebunan

7. Logam dan keramik

8. Assembling mesin dan bengkel 9. Elektronik 4 5 282 19 7 65 16 18 15 3.758 538 3.150 582 63 610 967 487 240 40 12 14.488 31 16 340 80 107 17 3.798 550 16.638 613 79 920 1.047 597 257 Sumber : Bojonegoro dalam angka 2001

Karakteristik Responden

Ada beberapa indikator yang melekat pada keluarga miskin antara lain berpendidikan rendah, bekerja pada sektor pertanian dan pengusaan aset yang kecil. Hal yang sama juga terjadi di desa ini. Menurut potensi desa dari 2.873 penduduk tingkat pendidikan yang ditempuh 547 orang menamatkan SD, 375 orang menamatkan SLTP, 126 orang menamatkan SLTA dan hanya 5 orang yang berhasil menamatkan Perguruan Tinggi. Para penduduk di lokasi ini umumnya menggantungkan sumber pendapatan dari sektor pertanian, hal ini tergambar dari jumlah lahan yang ada, 62,13 persen lahan tersebut merupakan lahan sawah tadah hujan dan 26,37 persen merupakan lahan tegalan/ladang. Secara keseluruhan luas wilayah ini 510,9 ha dan kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada maka rata-rata satu keluarga di Desa Drokilo hanya bisa mengusahakan lahan sawah tadah hujan hanya 0,107 ha. Kondisi seperti itu tentunya untuk saat ini luasan tersebut tidak bisa memberikan pendapatan yang layak

Kondisi yang sama juga terjadi dilokasi penelitian, walaupun dari segi umur masih produktif tetapi dari segi pendidikan masih banyak yang berpendidikan rendah (Tabel 3). Pasangan suami istri responden rata-rata hanya berpendidikan 6,25 tahun saja. Sebaliknya anggota rumah tangga dalam usia kerja, tetapi mereka belum tentu bekerja rata-rata sempat menikmati bangku pendidikan selama 6,45 tahun, tidak begitu berbeda jauh dengan pasangan suami istri responden. Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara orang tua dan anaknya dalam menikmati dunia pendidikan. Hal ini bisa terjadi karena umumnya mereka beranggapan tidak perlu berpendidikan tinggi, yang penting sudah bisa membaca dan menulis. Alasan ini tidak beralasan untuk dipertahankan, seharusnya apabila ingin maju tingkat pendidikan hendaknya diprioritaskan.

(8)

Tabel 3. Karakteristik Rumah Tangga Responden

No Karakteristik %

1 Rataan umur anggota rumah tangga (thn) 27.49 2 Rataan pendidikan (thn)

a. suami/istri

b. usia kerja (10 – 60 thn) c. usia kerja yang bekerja

6.25 6.45 6.56 3 Persentase ART berdasarkan pekerjaan utama menurut alokasi

waktu kerja (%) a. Petani b. Buruh tani c. Buruh bangunan d. Jasa e. Profesional 84.38 12.50 -3.13 -4 Jumlah ART yang membantu kegiatan usahatani (%)

a. Yang membantu b. Yang berumur < 10 thn c. Yang sekolah dan membantu

31 -7 Selain pendidikan, indikator lain yang melekat di keluarga miskin adalah lapangan pekerjaan, dimana pada umumnya mereka menggantungkan sumber pendapatan pada sektor pertanian, baik sebagai pelaku utama (penggarap) atau sebagai pelengkap dari kegiatan di sektor pertanian itu sendiri ( buruh tani). Pendapat ini tidak berbeda dengan kondisi yang terjadi dilokasi penelitian, dimana hampir 85 persen keluarga responden mengalokasikan waktunya untuk mencari pendapatan sebagai petani dan 12,50 persen sebagai buruh tani. Untuk tenaga kerja jasa, khususnya sebagai TKI (antara lain sebagai pembantu rumah tangga) di luar negeri masih sedikit, hanya 3,13 persen. Kecenderungan untuk bekerja disektor jasa di lokasi ini kecenderungan meningkat, hal ini dikarenakan harga tembakau hampir dua tahun belakangan ini terus mengalami penurunan. Untuk mencari tambahan pendapatan mereka memilih untuk bekerja di negeri orang, sambil menunggu harga tembakau kembali membaik, sementara hasil dari negeri orang dapat menambah lahan garapan.

Sektor pertanian bukan merupakan pilihan utama bagi anggota keluarga responden, hal ini tergambar 31 persen anggota keluarga yang membantu mengusahakan lahan orang tuanya dan hanya 5 persen anggota keluarga yang masih sekolah dan ikut membantu di lahan sawah. Sisanya lebih baik mencari tambahan dengan bekerja di kegiatan non pertanian.

(9)

Keragaan Asset Aset Lahan

Lokasi yang dipilih adalah lokasi sawah tadah hujan pada dataran rendah, sehingga kepemilikan lahan yang umum untuk lokasi penelitian ini adalah sawah tadah hujan dan tegalan. Rata-rata satu keluarga mempunyai satu persil lahan sawah tadah hujan dan satu persil lahan untuk tegalan, yaitu masing-masing dengan luasan 0,37 ha dan 0,25 Ha (Tabel 4 ). Untuk lahan sawah tadah hujan yang dimiliki, 65 persen perolehannya berasal dari warisan orang tua, 30 persen dibeli dan sisanya 5 persen hibah dari orang lain. Lahan tersebut hampir seluruhnya berada dalam desa. Untuk lahan tegalan seluruhnya mereka dapatkan dari warisan orang tua. Serta lokasi lahan tersebut seratus persen di dalam desa dan tidak ada sama sekali lokasi lahannya berada di luar desa. Dengan kondisi ini terlihat rendahnya kemampuan untuk menambah lahan yang ada, hal ini bisa disebabkan ketidakmampuan dari segi modal atau lahan tersebut tidak mencukupi sebagai sumber pendapatan keluarga.

Tabel 4. Rataan Pemilikan Asset Lahan Pada Rumah Tangga Responden

Uraian Sawah tadah hujan Tegalan pekarangan

1 Luas (Ha) 0,371 0,250 -2 Persil (buah) 1,053 1 -3 Sumber Perolehan (%) a. Warisan b. Beli c. Hibah 65 30 5 100 100 4 Lokasi (%) a. dalam desa b. luar desa c. lainnya 95 5 -100 100

Lahan pekarangan di lokasi ini umumnya tidak jelas statusnya. Bahkan tidak jarang antara rumah yang satu dengan yang lainnya tidak dibatasi oleh pagar. Dulunya lahan pekarangan itu ada, tetapi karena ada salah satu keluarga yang sudah kawin atau ingin hidup di luar keluarga inti, maka lahan yang ada dipergunakan untuk membangun rumah tempat tinggal untuk pasangan tersebut, sehingga lahan yang ada semakin sempit saja.

(10)

Aset Rumah dan Peralatannya

Salah satu aset tetap yang dimiliki oleh keluarga responden (miskin berlahan sempit) adalah rumah. Walaupun semua responden mempunyai rumah sendiri, tetapi rata-rata luas bangunan rumah sangat sempit (tidak sampai 75 m2) (Tabel 5) bila dibandingkan dengan rata-rata rumah keluarga lainnya yang ada di lokasi penelitian. Rumah tempat tinggal seluruhnya sudah mempergunakan genteng sebagai atap dan 75 persen mempergunakan papan sebagai dinding rumahnya, tapi masih ada 20 persennya masih memanfaatkan bilik (bahan yang terbuat dari bambu). Keluarga responden yang belum mempergunakan bahan apapun untuk lantai rumahnya atau tanah yaitu 75 persen. Baru lima belas persen yang sudah di keramik dan lima persen lainnya mempergunakan papan dan semen saja.

Tabel 5. Rataan Pemilikan Asset dan Keragaan Tempat Tinggal Responden

No Uraian %

1 Rataan ukuran rumah (m2) 74.90

2 Status tanah dan rumah (%) a. Milik b. Sewa c. Numpang 100 -3 Jenis atap rumah (%)

a. Seng b. Rumbia c. Genteng d. Asbes -100 -4 Bahan dinding rumah dominan (%)

a. Tembok b. Papan c. Bilik d. Semen 5 75 20 -5 Bahan lantai rumah dominan (%)

a. Keramik b. Semen c. Tanah d. Papan/bambu 15 5 75 5 6 Fasilitas MCK (%) a. Milik sendiri b. Milik umum c. Di alam terbuka

d. Milik umum dan di alam terbuka

50 -35 15 7 Sumer air minum (%)

a. PAM

b. Sumur milik sendiri c. Sumur milik umum d. Mata air e. Sungai f. Irigasi 10 55 25 5 5 -8 Penerangan Rumah (%) a. Listrik (PLN) b. Listrik Non PLN c. Compor d. Petromak 100

(11)

-Masalah sanitasi pada lokasi penelitian cukup mengembirakan, dalam arti mereka sudah memahami arti kebersihan. Hal ini terlihat dari 50 persen lebih keluarga responden sudah mempunyai MCK sendiri. MCK milik umum tidak ada sehingga mereka lebih banyak memanfaatkan alam bebas untuk sebagai tempat membuang kotoran. Fasilitas lainnya seperti pemakaian air minum, paling banyak berasal dari sumur, baik punya sendiri (55%) maupun fasilitas umum (25%). Bagi petani responden yang jauh dari sumur umum mencari air ke sumber mata air dan sungai. Untuk penerangan sudah seluruh keluarga responden mempergunakan listrik dari PLN.

Peralatan rumah tangga yang dimiliki responden dalam mengisi ruangan yang ada di rumahnya terdiri dari alat-alat elektronik dan meubeul (Tabel 6). Adapun alat - alat rumah tangga tersebut berupa radio/tape yang dimiliki oleh 55 persen responden dan hanya 30 persen yang memiliki televisi. Untuk perlatan meubeul berupa lemari pakaian dan tempat tidur sudah dimiliki oleh seluruh responden, walaupun dalam kenyataannya sudah tidak layak pakai. Untuk peralatan lainnya sedikit sekali responden yang memilikinya seperti meja/kursi makan (45%), sofa (35%) dan lemari makan (30%).

Tabel 6. Keragaan Asset Rumah Tangga Responden

No Uraian % 1 2 3 4 5 6 7 Radio/tape Televisi Meja/kursi makan Sofa Lemari makan Lemari pakaian Tempat tidur 55 30 45 35 30 100 100 Pengolahan Tembakau

Tembakau Virginia pada awalnya adalah sebagai salah satu bahan baku rokok putih, tetapi akhirnya tembakau ini juga merupakan bahan baku rokok kretek yang cukup penting. Untuk keperluan pembuatan rokok putih, tembakau Virginia harus diolah terlebih dahulu menjadi krosok f.c (flue cured) yaitu dengan cara pengomprongan. Sedangkan untuk rokok kretek bahan bakunya diperoleh dari tembakau olahan rajangan atau krosok Krosok

Pada prinsipnya untuk mengolah tembakau Virginia menjadi krosok melalui lima tahap yaitu : a) persiapan, b) pengisian omprongan dengan daun hijau, c) proses pengolahan, d) pengeluaran krosok dari omprongan, e) sortasi dan pengemasan.

(12)

Tahap persiapan yang perlu dilakukan adalah pembuatan bangunan omprongan yaitu bangunan tembok dengan atap seng yang dilengkapi lubang udara (ventilasi), rak tempat gelantang dan ruang pemanas. Selanjutnya pengadaan peralatan antara lain kompor, bahan bakar, gelantang, sujen, tali alat pengukur suhu dan kelembaban.

Untuk pengisian omprongan, pertama-tama daun tembakau hasil panenan disortir menurut tingkat kemasakannya dan kemudian dilakukan penyujenan. Sujen adalah belahan bambu yang ujungnya runcing berukuran panjang sekitar 25 – 30 cm dengan kegunaan untuk menusuk daun yang akan diomprong. Satu sujen rata-rata berisi 20 lembar daun dengan posisi dan tingkat kemasakan yang sama. Daun yang telah disujen diikat pada gelantang atau potongan bambu/kayu dengan ukuran panjang 100 – 125 cm dan garis tengah 2,5 – 3,0 cm. Satu gelantang berisikan 6 – 8 sujen. Kapasitas satu omprongan dengan ukuran 6 x 6 x 7 meter adalah sekitar 3,5 – 4,0 ton daun basah (650 – 800 gelantang).

Selanjutnya dalam proses pengolahan terdapat tiga fase kegiatan yaitu penguningan, pengikatan warna dan pengeringan. Pada fase penguningan waktu yang diperlukan adalah sekitar 33 – 42 jam dengan pengaturan suhu antara 27 – 43 0C dan kelembaban dari 90 persen menjadi 80 persen. Fase pengikatan warna ditujukan untuk melanjutkan penguningan bagian daun yang masih hijau atau pengeringan daun yang sudah menguning, sehingga tidak terjadi perubahan warna. Pada fase ini suhu ditingkatkan secara bertahap dari 43 – 49 oC dengan penurunan kelembaban dari 70 persen menjadi 50 persen. Waktu yang diperlukan sekitar 15 – 35 jam. Pada fase terakhir yaitu pengeringan, waktu yang diperlukan adalah sekitar 29 – 34 jam dengan peningkatan suhu secara bertahap yaitu dari 49 – 72 oC dan pengaturan kelembaban serendah mungkin.

Pada tahap proses pengomprongan ini, kondisi penyimpangan seperti daun tebal dan hijau, musim basah atau kering perlu mendapatkan perlakuan khusus. Untuk daun tebal dan hijau waktu yang diperlukan untuk penguningan lebih lama (40 – 60 jam). Pada kondisi musim basah, kelembaban dikurangi dengan cara pengaturan ventilasi setiap 1 – 2 jam sekali. Sedangkan pada kondisi musim kering diperlukan penyiraman lantai omprongan untuk mengatur kelembaban.

Setelah proses pengomprongan selesai, krosok dibiarkan dalam omprongan selama lebih kurang 24 jam agar daun menjadi lemas dan tidak hancur pada waktu pengeluaran. Kemudian setelah dikeluarkan dari omprongan, dilakukan sortasi untuk

(13)

ditandai warna kekuningan dengan pegangan halus sampai sedang, rasa ringan dan berbau harum khas.

Tahap terakhir dari proses pengolahan ini adalah pengepresan dan pengemasan yang siap untuk dipasarkan. Tembakau krosok Virginia biasanya dikemas dalam tikar yang diikat (bal) dengan klasifikasi mutu (grade) tertentu. Berat satu kemasan rata-rata adalah sekitar 100 kg.

Rajangan

Secara umum proses pengolahan tembakau Virginia menjadi rajangan yaitu : a) pembuangan gagang atau tulang daun, b) pemeraman, c) penggulungan, d) perajangan, e) penjemuran dan f) pengemasan. Pembuangan gagang atau tulang daun dilakukan ketika selesai pemetikan sebelum diperam. Akan tetapi ada juga pelaksanaannya setelah selesai pemeraman, karena pada dasarnya tujan pekerjaan ini adalah untuk memudahkan penggulungan agar tidak rusak.

Selanjutnya daun tembakau disusun di dalam rak di tikar atau dedaunan kering untuk proses pemeraman. Lama pemeraman tergantung daun dan warna rajangan yang dikehendaki. Daun bawah pemeramannya cukup 2-3 hari, sampai warna daunnya menjadi hijau kekuningan. Daun tengah diperam 4 – 6 hari, sampai warnanya menjadi kuning merata atau sedikit berwarna coklat pada ujung dan tepi daun. Daun atas pemeramannya 7 - 9 hari, sampai warnanya coklat kehitaman. Tembakau rajangan dengan warna agak kekuningan memerlukan pemeraman pendek yaitu rata-rata 2 – 3 hari. Tembakau rajangan warna kuning terang, coklat terang dan coklat tua sampai kehitaman, memerlukan pemeraman masingmasing selama 4 – 5 hari, 5 6 hari dan 7 -9 hari.

Daun yang berasal dari pemeraman dipilih menurut derajat kemasakannya dan digulung setiap 20 – 25 helai untuk dirajang. Proses perajangan harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya untuk menghindari reaksi kimiawi yang timbul berlebihan. Perajangan biasanya dilakukan dinihari, terutama untuk kapasitas yang besar. Sekitar pukul 02.00 atau 03.00 dinihari perajang sudah memulai pekerjaannya dan selesai menjelang pukul 07.00 pagi. Hingga saat ini proses perajangan masih dilakukan secara manual (non mesin) dengan peralatan utama berupa pisau pemotong/perajang dan alat-alat lainnya.

Tembakau yang telah dirajang diaduk supaya tercampur dengan baik, sehingga mutunya homogen. Hasil rajangan ini diatur secara tipis dan merata di atas anyaman

(14)

bambu untuk penjemuran. Penjemuran berlangsung sekitar 3 – 5 jam sampai kering dalam cuaca cerah. Sedapat mungkin tembakau rajangan ini harus kering dalam sehari atau paling lama dalam dua hari. Tembakau rajangan yang baik adalah yang berwarna cerah dan seragam.

Tembakau rajangan yang sudah kering diinapkan semalam lagi (pengembunan) supaya elastis. Selanjutnya digulung dan dibungkus dengan kertas dalam kemasan anyaman bambu dalam klasifikasi mutu tertentu. Berat rata-rata satu kemasan tembakau rajangan Virginia adalah sekitar 40 – 50 kg.

Analisa Usahatani

Tembakau merupakan kebanggaan dari masyarakat Desa Drokilo terutama jenis Virginia. Lokasi ini termasuk sentra penghasil tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Para petani sudah menanam komoditas ini dari jaman dahulu, dan mereka beranggapan bahwa komoditas ini merupakan komoditas turunan. Adapun pola tanam yang umum dilakukan adalah padi - tembakau, padi – palawija atau padi – palawija - tembakau. Tanaman padi biasanya untuk kebutuhan pangan sehari-hari dan tanaman lainnya sebagai sumber pendapatan keluarga.

Pada saat musim hujan bulan (Oktober/November) hampir semua petani menanam padi, kemudian sekitar 50 persen dari jumlah petani tersebut menanam bawang merah atau cabe merah, sekitar 20 persen menanam jagung dan 10 persen menanam kedelai (Maret/April), setelah itu hampir seluruh petani menanam komoditas tembakau (Juni/Juli). Tembakau Virginia membutuhkan curah hujan sedikit pada waktu mudanya (akhir musim hujan) dan sinar matahari yang cukup pada saat panen atau pemetikan daun (musim kemarau). Atau dengan kata lain tanaman ini perlu air pada saat tanam dan tidak memerlukan sama sekali air pada saat mau panen. Apabila kondisi alamnya berlaku lain, maka tanaman ini tidak akan berproduksi baik. Dengan keadaan iklim normal biasanya hasil panen basahnya setiap hektar adalah 7 ton. Bila dibandingkan dengan hasil padi perhektarnya hanya 3 – 4 ton, maka sudah sewajarnya yang menjadi andalan mereka didalam mendapatkan pendapatan keluarga adalah komoditas tembakau .

Pada saat melakukan survai, rata-rata responden menanam lahan seluas 0,25 hektar baik pada musim kemarau pertama maupun pada musim kemarau ke dua (Tabel 7). Dalam pemakaian pupuk lebih banyak pada musim kemarau kedua dibandingkan

(15)

padi. Tetapi secara umum pemakaian pupuk tersebut di kedua musim masih jauh dari pemakaian pupuk yang seharusnya. Walaupun daerah ini banyak keluarga yang memelihara ternak, tetapi tidak satupun dari mereka yang memanfaatkan pupuk kandang untuk budidaya tembakau. Sedangkan pemakaian benih lebih banyak pada musim pertama karena masa tanam dilakukan pada saat masih turun hujan.

Dalam satu tahun terakhir produksi tembakau sangat rendah, untuk luasan rata-rata 0,256 hektar produksi yang didapat hanya 567 kilo pada musim kemarau pertama dan 394 pada musim kemarau kedua. Kalau dihektarkan berkisar antara 2,268 ton dan 1,576 ton, produksi ini jauh dari produksi normal yang bisa 6 sampai 7 ton. Ada beberapa penyebab dari berkurangnya produksi ini, pertama animo petani yang sudah berkurang karena harga yang rendah, kedua penerapan teknologi yang tidak tepat khususnya mengatur jarak tanam dan dosis pemakaian pupuk, ketiga adanya anomali iklim.

Tabel 7. Analisa Usahatani Tembakau per 0,256 Ha dan 1 Ha

0,256 Ha 1 Ha

MK I MK II MK I MK II

Uraian

Unit Rp Unit Rp Unit Rp Unit Rp

Benih (rumpun) 4200 32500 3900 20000 16800 130000 15600 80000 Pupuk (kg) - UREA - ZA - TSP/SP36 - KCL - PPC/ZPT - P.kandang 11 33 20 0 0 0 14500 37500 45000 0 0 0 33 38 28 18 0 0 48714 38500 40714 58750 0 0 44 132 80 0 0 0 58000 150000 180000 0 0 0 132 152 112 72 0 0 194856 154000 162856 235000 0 0 Pestisida - cair (ltr) - Tepung/butiran (kg) 0 1 0 12000 0 0 0 0 0 4 0 48000 0 0 0 0 Tenaga Kerja (Rp) 45833 61250 183332 245000 Total Biaya (Rp) 187333 267928 749332 1071712 Produksi (kg) 567 394 2268 1576 Penerimaan (Rp) 188811 141840 755244 567360 Pendapatan (Rp) 1478 - 126088 5912 - 504352 B/C Ratio 0.008 - 0.471

Selain produksi yang sangat rendah para petani sudah terbiasa menjual tembakau dalam bentuk daun hijau, sementara harganya yang sangat rendah, yaitu berkisar antara Rp 333 – Rp 360 perkilo basahnya, menyebabkan pendapatan petani jauh dari yang diharapkan, bahkan pada musim kemarau kedua petani mengalami kerugian. Dari analisa dipresentasikan hasil B/C Ratio sebesar 0,008 pada kemarau pertama dan – 0,471 pada kemarau kedua. Sementara itu hasil B/C Ratio pada penelitian Kelayakan Teknologi Tembakau Virginia di Bojonegoro (A.Suparman dan A.Djatiharti) pada tahun 1984, yaitu 2,1 pada tembakau dengan kualitas baik dan 1,4

(16)

pada kualitas rendah. Selanjutnya hasil penelitian Pola Perdagangan Wilayah Komoditas Tembakau Di Indonesia (1993) yang salah satu lokasinya adalah kabupaten Bojonegoro menghasilkan analisa B/C Ratio pada musim tanam 1992 sebesar 0,09.

Dari hasil analisa ini tergambar bahwa budidaya tembakau terus mengalami penurunan pendapatan bagi keluarga petani. Di lokasi penelitian hal ini sudah dirasakan sejak dua tahun belakang ini, dimana para petani tembakau dirugikan karena harga jual yang sangat rendah. Petani tidak menghiraukan teknologi yang semestinya dan bertindak semaunya, yang tercermin antara lain dari pemupukan. Tembakau tidak begitu memerlukan unsur N tetapi petani tetap mempergunakannya, dan berakibat daun tembakau tersebut banyak mengandung air. Selain itu petani tidak memperhatikan kualitasnya, tetapi lebih memperhatikan pada kuantitasnya dengan cara menanam dalam jarak yang dekat (tidak semestinya). Pabrik mengurangi pembelian karena masih ada stok dari tahun lalu, dan mereka juga sempat dikecewakan oleh ulah petani yang sudah menjadi mitra mereka. Ini terjadi pada saat pabrik melakukan kerjasama dalam pengadaan tembakau dan petani dibimbing dengan teknologi yang diinginkan oleh pabrik, tetapi pada saat panen dan hasilnya bagus mereka menjual ke pabrik lain.

Tempat satu-satunya yang bisa menampung hasil panen petani adalah pabrik rokok, sehingga petani tidak dapat menjual selain ke pabrik tersebut. Akibatnya petani tidak mempunyai kekuatan untuk tawar menawar dengan harga yang ditentukan oleh pabrik. Harga yang rendah ini menurut pabrik disebabkan oleh kualitas dari tembakau petani yang rendah dan tidak konsisten. Selain itu pabrik sudah menyediakan cadangan tembakau untuk dua tahun kedepan. Mereka membeli dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, karena tembakau tersebut sebenarnya tidak diperlukan dalam waktu yang dekat. Mereka menyarankan ke petani untuk mencoba menahan beberapa bulan/tahun di rumah, baru menjual ke pabrik. Keuntungannya harga akan lebih baik dan sebenarnya tembakau yang ditahan tersebut harganya jauh lebih mahal dibandingkan tembakau basah atau tembakau kering versi petani.

Tembakau merupakan tambang emas bagi penduduk di Desa Drokilo ini, khususnya pada masa 4 - 5 tahun yang lalu. Dengan harga yang wajar mereka dapat menghidupi keluarga jauh diatas pendapatan waktu sekarang ini. Tidak jarang dari mereka menyisihkan pendapatan dari menjual tembakau untuk dipergunakan dalam pembangun fasilitas umum, seperti pengaspalan jalan, mesjid, sekolah, dan sarana umum lainnya.

(17)

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu sentra industri tembakau di Indonesia, yang dipresentasikan dari banyaknya industri rokok dan tembakau, sementara industri ini lebih besar menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor usaha lainnya. 2. Karakteristik yang melekat erat di keluarga miskin adalah rendahnya pendidikan baik

kepala keluarga maupun anggota keluarga. Indikator yang lain adalah bekerja pada sektor pertanian serta berharap banyak dari hasil pertanian sebagai sumber pendapatan keluarga.

3. Kemiskinan ini tergambar dari kepemilikan asset, dimana lahan yang mereka punya tidak sampai 0,4 ha dan lahan tersebut umumnya berada di dalam desa serta diperoleh dari warisan orang tua. Walaupun sudah mempunyai rumah tetapi lahannya sangat kecil dan kondisinya masih memprihatinkan. Untuk fasilitas lainnya seperti MCK, air, dan listrik sudah terpenuhi

4. Dari tahun ke tahun pendapatan petani tembakau terus turun, yang terlihat dari hasil analisa B/C Ratio antara 2,1 – 1,4 pada tahun 1984, turun menjadi 0,09 tahun 1992 dan turun lagi menjadi 0,008 pada musim kemarau pertama, bahkan – 0,471 pada musim kemarau kedua tahun 2002. Hal ini disebabkan oleh iklim yang tidak normal ; petani tidak menghiraukan teknologi yang sebenarnya, berupa penggunaan pupuk dan jarak tanam ; kurangnya motivasi petani karena harga tembakau sangat rendah. dan pabrik mengurangi pembelian tembakau karena masih ada stok dan rendahnya kualitas tembakau petani.

5. Berdasarkan temuan ini disarankan agar pemerintah meningkatkan kegiatan penyuluhan, khususnya budidaya tembakau. Dibentuk lembaga yang membeli hasil tembakau agar petani memiliki alternatif menjual tidak hanya ke satu konsumen.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemarjan, Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai, Jakarta : Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1980.

Suparman, A. dan A.Djatiharti. Kelayakan Teknologi Tembakau Virginia Di Bojonegoro – Jawa Timur. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1984

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonegoro, 2002. Bojonegoro Dalam Angka 2001 Biro Pusat Statistik, Indikator Kesejahteraan Rakyat 1995, Jakarta BPS. 1996

Santoso, B. Hutabarat, B. Hendayana, R. Iqbal,M. Gunawan,M. Hadimuslihat, A,S. dan Muslim,C. Pola Perdagangan Wilayah Komoditas Tembakau Di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1993

Salim. E, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Jakarta : Yayasan Idayu, 1980

Las Irsal, A. M. Makarim, H. M. Toha, A. Gani, H.Pane dan S. Abdurachman dalam, Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu padi Sawah Irigasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2002.

Kartasasmita, Ginanjar, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta : PT Pustaka CIDESINDO, 1966

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Dinas Pertanian. Bojonegoro-Jawa Timur. 2002 . Laporan Tahunan 2001

Nurmanaf, A.R. 2001. An Analysis of Economic Inequalities Between Households in Rural Indonesia. Dissertation Findings in Brief. Faculty of Business and Computing. Southern Cross University, Coff Harbour Campus, Australia

Quibria, M.G and T.N. Srinivasan, 1993, Rural Poverty in Asia. Oxford University Press. Hongkong

Kabupaten Bojonegoro 2002. Rencana Startegis Kabupaten Bojonegoro 2002-2006. Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro, Bojonegoro 2002. Rencana Strategis Tahun

2002 – 2006

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro 2002. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) Kabupaten Bojonegoro tahun 2002,

Gambar

Tabel 1 : Perkembangan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bojonegoro
Tabel 2. Jumlah Perusahaan dan Jumlah Tenaga Kerjanya
Tabel 3. Karakteristik Rumah Tangga Responden
Tabel 4. Rataan Pemilikan Asset Lahan Pada Rumah Tangga Responden
+4

Referensi

Dokumen terkait

• Sama-sama terdapat argumen atau alasan-alasan untuk mencapai kesepakatan. Alasan teks negosiasi seperti baru tiga bulan bekerja. Tidak bisa memberi biaya sekolah anak

Grafik Efiniensi Penggunaan Ransum Kelinci R e x pada Tingkat Pakan dan Umur Potong yang Berbeda... Hal i n i

“Husukon maho sahali nai ise do ho?” Dungi dialusi si piso sumalim na palsu ma “ai sitakal tabu do ahu tulang”, dungi disukun tulangna muse tu ibana “jadi boasa margabus

Perwakilan BPKP Provinsi Banten adalah salah satu entitas akuntansi di bawah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi

Semakin besar jumlah pengeluaran pembangunan yang harus dipenuhi oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka penyediaan dana untuk

Praktikum konservasi pada sistem beban tidak seimbang yang telah dilakukan, dengan tujuan praktikum yaitu untuk mengevaluasi sistem kelistrikan dilihat dari keseimbangan beban yang

Hal ini ditunjukkan dari kronologi kasus Satyam, dimana pada mulanya Raju melakukan konspirasi untuk menggelembungkan laba, terlihat adanya kelemahan kontrol internal

Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman