UNIVERSITAS INDONESIA
PERANCANGAN DAN OPTIMASI KOMPOR
GAS-BIOMASSA YANG BEREMISI GAS CO RENDAH
MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR PELET BIOMASSA DARI
LIMBAH BAGAS
SKRIPSI
RESIANA WINATA 0806456783 FAKULTAS TEKNIK TEKNIK KIMIA DEPOK JUNI 2012UNIVERSITAS INDONESIA
PERANCANGAN DAN OPTIMASI KOMPOR
GAS-BIOMASSA YANG BEREMISI GAS CO RENDAH
MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR PELET BIOMASSA DARI
LIMBAH BAGAS
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
RESIANA WINATA 0806456783 FAKULTAS TEKNIK TEKNIK KIMIA DEPOK JUNI 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Makalah yang berjudul “Perancangan dan Optimasi Kompor Gas-Biomassa yang Beremisi Gas CO Rendah dengan Bahan Bakar Pelet Biomassa dari Limbah Bagas” disusun secara sistematis untuk memenuhi mata kuliah spesial skripsi, yang merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) di Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat selesai melalui bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis, ayahanda Wanto Winata dan ibunda Lie Mei Hwa, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan kepada penulis.
2. Ir. Dijan Supramono, M.Sc., selaku pembimbing seminar dan skripsi atas bimbingan, pengarahan, saran, dan kritik membangun kepada penulis.
3. Eva Fathul Karamah, S.T., M.T., selaku pembimbing akademis dari penulis selama empat tahun berkuliah di Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia.
4. Prof. Dr. Widodo Wahyu Purwanto, DEA, selaku ketua Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia.
5. Dr. Ir. Asep Handaya Saputra, M. Eng., selaku Kepala Laboratorium Energi Berkelanjutan.
6. Ir. Yuliusman, M.Eng., sebagai koordinator mata kuliah spesial skripsi Teknik Kimia Universitas Indonesia.
7. Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia yang sudah mengajar dan memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama empat tahun.
8. Adik, Reddy Febrianto Winata, dan cici sepupu, Silviana Stevanni sebagai saudara yang dikasihi oleh penulis.
9. Keluarga besar Winata dan keluarga besar Lie yang merupakan keluarga tercinta dari orang tua penulis.
10. Gembala Sidang GSJA Anugerah, Pdt. Dwi Muryani, beserta dengan keluarga besar GSJA Anugerah Serpong yang selalu memberikan dukungan kepada penulis, dalam bentuk materiil maupun spirituil.
11. Karyawan Departemen Teknik Kimia UI, antara lain Mang Izal, Kang Jajat, Mas Taufik, Mas Sri, Pak Masturo, dan Pak Mugeni yang merupakan karyawan-karyawan yang sangat berkontribusi dalam membantu penelitian, baik penelitian penulis maupun penelitian mahasiswa/i lainnya.
12. Pak Dudi (pihak yang melakukan manufaktur kompor) dan Pak Parlan (pihak yang membantu modifikasi kompor), serta Pak Tahmid (karyawan Balai Mekanisasi Pertanian Serpong) dan istri yang membantu dalam pembuatan pelet biomassa untuk bahan bakar kompor.
13. Farah Inayati, sebagai rekan satu pembimbing dan satu topik penelitian, atas semangat dalam mengusahakan selesainya skripsi ini tepat waktu, perjuangan melakukan penelitian, dan tukar pikiran selama proses penulisan skripsi ini. 14. Henry Septian, atas kenangan baik, janji dan doanya yang senantiasa
memberikan semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 15. Lydia, atas bantuannya dalam memberikan limbah bagas yang dipergunakan
oleh penulis sebagai bahan bakar kompor gas-biomassa dalam penelitian. 16. Matius Wisnu, Dessy, Intan A., Y. M. Togar, dan Nur M. Arifin atas
bantuannya dalam meminjamkan laptop kepada penulis ketika laptop penulis rusak sehingga penulisan skripsi tetap dapat berjalan, atas bantuannya dalam hal transportasi, serta doa dan semangat yang diberikan.
17. Antoni Stefan dan Antonius Chrisnandy, atas bantuannya kepada penulis dalam pembuatan gambar teknik tiga dimensi dari rancangan kompor gas-biomassa dan bantuan dalam bentuk tenaga. Ucapan terimakasih yang spesial, penulis berikan kepada koko Antoni Stefan atas bantuan dalam bentuk tenaga dan transportasi untuk mengantarkan kompor ke tempat modifikasi.
18. Kenny Viriya, Haryo Wibisono, Habib, Santoso Wijaya, Antonius Erick, David Santos, Ivan Merry, Illyin, Raditya, Fakhrian, dan Guntur, terimakasih
buat bantuan kalian yang sangat berarti terutama dalam hal tenaga dan transportasi.
19. Kelompok kecil tercinta (Chakrita T., Ingrid C., dan Vania C.), atas segala doa dan bantuannya, berbagai kenangan manis, serta pertumbuhan rohani yang dialami bersama.
20. Catur N. V. N., Bernadet V., Lolyta R. N., Maylen R. V., Indriani M., dan Tania D., atas segala dukungan sebagai para sahabat perempuan dari penulis. 21. Chandra Hadiwijaya, Marcho Rizal, Nirwanto Honsono, Sukha Adi Putra,
Andry Prasthio, Gregorius Stefanus, Eldo Marbun, dan Gabriel A. M., atas segala dukungan dan bantuan sebagai para sahabat laki-laki dari penulis. 22. Agustina Rahayu, Glifanny R., Dessy C., dan Ichwan Agusta, sebagai
rekan-rekan satu pembimbing skripsi yang berjuang bersama mencapai kelulusan. Terimakasih atas bantuan kalian.
23. Gina A., Maria S., dan teman-teman satu Laboratorium Energi Berkelanjutan lainnya, atas kenangan-kenangan menikmati nge-lab bersama.
24. Teman-teman Rohani Kristen (ROHKRIS) Departemen Teknik Kimia seluruh angkatan, khususnya angkatan 2008, atas semangat dan doa yang diberikan. 25. Seluruh teman Departemen Teknik Kimia 2008, angkatan yang tidak kenal
lelah berjuang bersama-sama menyelesaikan skripsi. Terimakasih buat kenangan suka dan duka selama empat tahun masa perkuliahan.
26. Seluruh pihak, termasuk senior dan junior di Departemen Teknik Kimia, teman-teman di Persekutuan Oikumene Fakultas Teknik, dan pihak lainnya.
Penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Depok, 27 Juni 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Resiana Winata
NPM : 0806456783
Program Studi : Teknik Kimia Departemen : Teknik Kimia Fakultas : Teknik Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
”PERANCANGAN DAN OPTIMASI KOMPOR GAS-BIOMASSA YANG BEREMISI GAS CO RENDAH MENGGUNAKAN BAHAN
BAKAR PELET BIOMASSA DARI LIMBAH BAGAS”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
ABSTRAK
Nama : Resiana Winata Program Studi : Teknik Kimia
Judul : Perancangan dan Optimasi Kompor Gas-Biomassa yang Beremisi Gas CO Rendah Menggunakan Bahan Bakar Pelet Biomassa dari Limbah Bagas
Kompor biomassa konvensional yang ada saat ini masih memiliki permasalahan dengan emisi gas CO yang tinggi dibandingkan kompor LPG. Pada penelitian ini, dirancang suatu kompor gas-biomassa menggunakan prinsip
Top-Lit Up Draft Gasifier yang diharapkan menghasilkan emisi gas CO yang rendah
dengan membakar gas pirolisis dari pelet biomassa. Kompor memiliki diameter dalam sebesar 15 cm, diameter luar 20 cm, tinggi reaktor gasifikasi 51 cm, dan tinggi keseluruhan 95 cm. Kompor menggunakan pelet biomassa dari limbah bagas yang mengandung volatile matter tinggi. Dengan memvariasikan rasio antara laju alir udara sekunder dan udara primer, didapatkan emisi gas CO rata-rata terendah, 16,4 ppm (dengan emisi gas CO maksimum yang diperbolehkan adalah 25 ppm), yang terjadi pada rasio 11:1. Perbandingan antara nilai rasio tersebut menunjukkan suhu api maksimum tertinggi yang dicapai adalah 544,44oC pada rasio 6:1. Menggunakan Water Boiling Test, efisiensi termal tertinggi yang dicapai adalah 55%, dimana waktu tersingkat untuk mendidihkan 1 L air adalah 6 menit. Api kompor berwarna kuning menunjukkan pembentukan jelaga.
Kata kunci: bagas; kompor gas-biomassa; Top-Lit Up Draft Gasifier; pelet biomassa; volatile matter; Water Boiling Test
ABSTRACT
Name : Resiana Winata Study Program : Chemical Engineering
Title : Design and Optimization of Low CO Gas Emission Biomass-Gas Stove Using Biopellet Fuel from Bagasse Waste
Nowadays conventional biomass stoves still have a problem of having high CO gas emission compared to LPG stoves. In this research, a biomass-gas stove has been designed using Top-Lit Up Draft Gasifier principle, which had been expected to have low CO gas emission by burning pyrolysis gas from biopellets. The stove has 15 cm inner diameter, 20 cm outer diameter, 51 cm gasification reactor height, and 95 cm overall height. The stove uses biopellet made of bagasse waste, which have high volatile matters content. By varying the ratio of secondary air flow to primary air flow, it was found that the lowest CO gas emission, 16,4 ppm (with maximum CO gas emission allowable is 25 ppm), occurred at the ratio of 11:1. Comparison of different values of the ratio shows that the highest maximum flame temperature achieved was 544,44oC occurring at the ratio of 6:1. Using Water Boiling Test, the highest thermal efficiency achieved was 55%, which corresponds to the shortest time to boil 1 L of water (6 minutes). The stove has yellow flame that indicates the formation of soot.
Keywords: bagasse; biomass-gas stove; biopellet; Top-Lit Up Draft Gasifier; volatile matter; Water Boiling Test.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah... 7 1.2.1 Rumusan Masalah ... 7 1.2.2 Pendekatan Masalah ... 7 1.2.3 Hipotesis ... 8 1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Ruang Lingkup Masalah ... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Biomassa ... 10
2.1.1 Definisi Biomassa dan Pelet Biomassa... 10
2.1.2 Ketersediaan Biomassa di Indonesia ... 11
2.1.3 Kandungan Biomassa ... 13
2.1.4 Uji Analisis Karakteristik Bahan Bakar Biomassa... 16
2.1.5 Tahap-tahap Pembakaran Biomassa ... 18
2.1.6 Gasifikasi sebagai Konversi Termal Biomassa ... 22
2.2 Kompor Biomassa ... 28
2.2.1 Definisi Kompor Biomassa ... 28
2.2.2 Komponen-komponen Kompor Biomassa ... 28
2.2.3 Perkembangan Berbagai Jenis Kompor Biomassa ... 29
2.2.4 Kompor Gas-Biomassa dengan Prinsip T-LUD Gasifier ... 30
2.2.5 Faktor Pertimbangan Perancangan Kompor Gas-Biomassa ... 37
2.3 Uji Performa dan Evaluasi Operasi Kompor ... 44
2.3.1 Parameter Evaluasi Operasi Kompor ... 44
2.3.2 Uji Efisiensi Termal dengan Metode WBT ... 45
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 47
3.2 Variabel Penelitian ... 48
3.3 Tahapan Penelitian ... 48
3.3.1 Tahap Perancangan Kompor ... 51
3.3.2 Tahap Preparasi Alat dan Bahan ... 54
3.3.3 Tahap Fabrikasi Kompor ... 55
3.3.4 Tahap Preparasi Bahan Bakar ... 55
3.3.5 Tahap Pengujian ... 57
3.3.6 Tahap Analisa dan Evaluasi ... 60
3.4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 60
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61
4.1 Tahap Perancangan Kompor ... 61
4.2 Tahap Fabrikasi Kompor ... 68
4.3 Tahap Preparasi Bahan Bakar ... 72
4.4 Tahap Pengujian ... 73
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
5.1 Kesimpulan ... 95
5.2 Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 97
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia ... 2
Gambar 2. 1 Pelet biomassa ... 10
Gambar 2. 2 Skema proses produksi pelet biomassa ... 11
Gambar 2. 3 Potensi biomassa di Indonesia ... 12
Gambar 2. 4 Pilihan utama teknologi metode pengubahan biomassa ... 22
Gambar 2. 5 Skema proses pembakaran gas producer ... 23
Gambar 2. 6 Skema Up Draft Gasifier ... 24
Gambar 2. 7 Skema Down Draft Gasifier ... 25
Gambar 2. 8 Skema Cross Draft Gasifier ... 26
Gambar 2. 9 Skema Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier ... 27
Gambar 2. 10 Wood-Gas Turbo Stove dengan konveksi alami yang terbuat dari 15 cm riser sleeve (kiri) dan Wood-Gas Turbo Stove dengan konveksi paksa 3 W blower yang menghasilkan 3 kW api (kanan) ... 32
Gambar 2. 11 Champion T-LUD ND (Natural Draft) ... 34
Gambar 2. 12 Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier ... 35
Gambar 2. 13 SPRERI Gasifier Stove ... 36
Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian ... 50
Gambar 3. 2 Pressure pelletizer ... 57
Gambar 3. 3 Gas Analyzer ... 59
Gambar 4. 1 Hasil fabrikasi kompor gas-biomassa awal sebelum modifikasi .... 69
Gambar 4. 2 Hasil fabrikasi kompor gas-biomassa setelah modifikasi (dengan centrifugal blower) ... 71
Gambar 4. 3 Pelet bagas yang dibuat dalam penelitian ... 72
Gambar 4. 4 Emisi gas CO terhadap waktu ... 77
Gambar 4. 5 Suhu api terhadap waktu... 85
Gambar 4. 6 Nyala api berwarna merah pada uji performa ke-2 ... 86
Gambar 4. 7 Warna nyala api kompor gas-biomassa dan kompor LPG ... 89
Gambar 4. 8 Nyala api kompor gas-biomassa dalam penelitian ... 90
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Limbah biomassa di Indonesia ... 13
Tabel 2. 2 Analisis proximate biomassa ... 17
Tabel 2. 3 Analisis ultimate biomassa ... 18
Tabel 2. 4 Data Operasi dan Turunan untuk Bahan Bakar yang Dipilih dalam Pengujian Wood-Gas Turbo Stove ... 33
Tabel 3. 1 Kalor Spesifik dan Energi yang Diperlukan untuk Memasak Suatu Makanan ... 52
Tabel 4. 1 Perbedaan antara desain kompor gas-biomassa dan Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier ... 68
Tabel 4. 2 Perhitungan moisture content dari biomassa bagas ... 73
Tabel 4. 3 Persentase massa char dan abu terhadap massa bahan bakar ... 75
Tabel 4. 4 Hasil pengolahan data laju alir udara dan emisi gas CO ... 78
Tabel 4. 5 Hasil pengolahan data suhu api ... 86
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A. 1 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Secara Umum ... 103
LAMPIRAN A. 2 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Tampak Depan, Samping, dan Atas ... 104
LAMPIRAN A. 3 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Secara Detail ... 105
LAMPIRAN B. 1 Data Emisi Gas CO ... 106
LAMPIRAN B. 2 Data Suhu Api ... 107
LAMPIRAN B. 3 Data Suhu Air... 114
LAMPIRAN B. 4 Data Persentase Massa Char dan Abu... 119
LAMPIRAN C. 1 Data Konversi Satuan Laju alir Udara Primer dan Sekunder120 LAMPIRAN D. 1 Hasil Uji Karakterisasi Bahan Bakar Biomassa oleh BPPT . 121 LAMPIRAN E. 1 Perhitungan Udara Stoikiometrik ... 122
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Salah satu teknologi yang berperan penting sebagai penopang terbesar pemanfaatan energi dalam rumah tangga adalah kompor. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompor didefinisikan sebagai perapian untuk memasak yang menggunakan minyak tanah, gas, atau listrik sebagai bahan bakar. Adapun di Indonesia, pada umumnya masyarakatnya menggunakan kompor berbahan bakar minyak tanah dan LPG untuk memasak. Kompor minyak tanah dan kompor LPG memiliki keunggulan dalam hal efisiensi yang tinggi, emisi yang bersih, aplikasi yang praktis, dan desain kompor yang modern sehingga banyak digunakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang. Akan tetapi, bahan bakar kompor-kompor tersebut merupakan produk pengolahan minyak bumi dan gas alam yang notabenenya merupakan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil termasuk sumber energi tak terbarukan sehingga penggunaan bahan bakar kompor tidak dapat selamanya bergantung pada bahan bakar tersebut. Apalagi, bahan bakar fosil tidak hanya digunakan untuk kebutuhan bahan bakar kompor saja.
Adapun persediaan bahan bakar fosil yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya untuk minyak bumi, sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduknya yang amat bergantung terhadap BBM sebagai sumber energi. Menurut www.kamase.com, berdasarkan laporan Department of Energy (DOE) Amerika Serikat pada Oktober 2005, Indonesia sebenarnya sudah menjadi
net-importer bahan bakar minyak bumi sejak tahun 2004. Pada Gambar 1.1 dapat
dilihat bahwa mulai tahun 2004, terjadi titik potong antara volume produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia, di mana setelah tahun 2004 volume produksi minyak bumi lebih rendah dibandingkan volume konsumsi minyak bumi.
Gambar 1. 1 Produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia (www.kamase.com)
Apalagi, menurut ekonomi.kompasiana.com, dana yang dianggarkan untuk subsidi BBM tahun 2011 melonjak dari Rp 92,79 triliun menjadi sebesar Rp 178,59 triliun akibat kenaikan harga minyak mentah dari US$ 80 (patokan dalam APBN) menjadi US$ 113 per barel. Adapun anggaran pemerintah untuk subsidi minyak tanah mencapai Rp 38 triliun pada tahun 2008 (IISD, n.d.).
Selain itu, konversi bahan bakar yang dilakukan oleh pemerintah dari minyak tanah ke LPG dinilai gagal. Hal ini dikarenakan hingga saat ini program pemerintah tersebut belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, terutama untuk kalangan menengah ke bawah. Apalagi sosialisasi program yang kurang dan sulit untuk dimengerti oleh masyarakat tersebut, material konstruksi komponen tabung gas yang kurang aman, dan proses distribusi yang kurang baik, mengakibatkan banyaknya terjadi ledakan tabung LPG 3 kg yang menimbulkan banyak kerugian. Menurut Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) sejak tahun 2008 hingga Juli 2010, di Indonesia telah terjadi kasus ledakan sebanyak 189 kali dalam pemakaian tabung LPG rumah tangga (www.metro.news.viva.co.id).
Selain itu, pemenuhan kebutuhan LPG nasional tersebut pun sebenarnya belum dapat disediakan oleh pemerintah sepenuhnya dari kilang gas dan minyak yang dimiliki oleh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh jumlah permintaan LPG yang lebih besar daripada jumlah penawarannya. Dengan demikian, pemerintah
masih harus melakukan impor LPG untuk memenuhi kebutuhan LPG nasional tersebut, dimana pada tahun 2007 saja impor LPG telah mencapai angka 50.193 metrik ton (IISD, n.d.).
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan tersebut, Indonesia memerlukan suatu energi alternatif terbarukan yang ketersediaannya besar di Indonesia untuk menggantikan bahan bakar fosil tersebut, misalnya biomassa. Energi biomassa adalah energi hijau dan merupakan sumber energi yang potensial di Indonesia (Kong, 2010). Berdasarkan informasi dari www.energiterbarukan.net, Indonesia diestimasi memproduksi 146,7 juta ton biomassa/tahun yang dapat disetarakan dengan sekitar 470 GJ/tahun.
Sebagai Negara Agraris, Indonesia memiliki potensi bahan baku biomassa yang tinggi dan mudah diperoleh, terutama yang berasal dari limbah pertanian. Bagas sebagai salah satu biomassa yang berasal dari limbah pertanian, memiliki potensi yang cukup besar di Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2002 pada www.menlh.go.id, potensi bagas nasional yang dapat tersedia dari jumlah seluruh luas tanaman tebu mencapai 39.539.944 ton per tahun. Potensi bagas yang cukup besar tersebut menunjukkan bagas amat potensial dan tersedia secara ekonomis untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif di Indonesia.
Meskipun persediaan biomassa yang dimiliki oleh Indonesia sangat melimpah, tetapi kompor biomassa yang ada saat ini masih memiliki efisiensi termal yang rendah dan emisi CO yang tinggi sebagai indikasi terjadinya pembakaran yang tidak sempurna (Smith, 2000a, Bhattacharya, 2000). Seperti telah diketahui, kandungan karbon yang tinggi memang merupakan karakteristik dari bahan bakar padat dibandingkan bahan bakar non padat (Handayani, 2009). Berdasarkan data WHO (World Health Organization) 2007, jumlah populasi penduduk Indonesia yang menggunakan bahan bakar padat sebesar 72% dari 217.131 jumlah penduduk Indonesia dan kematian per tahun akibat dari polusi udara di dalam ruangan tertutup mencapai 15.300 jiwa (Colbeck, 2010). Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar gas CO yang melebihi ambang batas di atmosfer mampu menyebabkan hemoglobin dalam darah cenderung mengikat CO dibandingkan O2 sehingga beracun bagi tubuh dan mampu menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, perlu ditemukan suatu solusi untuk mengembangkan kompor biomassa beremisi gas CO rendah sehingga permasalahan energi nasional tentang ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis dan bahaya polusi udara dalam ruangan terhadap kesehatan penduduk Indonesia dapat diatasi.
Penelitian mengenai pengembangan kompor biomassa untuk menanggulangi permasalahan efisiensi termal dan emisi gas CO sebenarnya telah banyak dilakukan, mulai dari kompor biomassa tradisional (traditional
biomass-fired stove) yang memiliki efisiensi termal sangat rendah, yakni berkisar antara
5-20%, kompor biomassa dikembangkan (improved biomass-fired stove), kompor biogas (biogas-fired stove), hingga kompor gas-biomassa (producer gas-fired
stove). Meskipun begitu, kompor gas-biomassa merupakan jenis kompor yang
paling potensial dikembangkan untuk menggantikan kompor yang menggunakan bahan bakar tak terbarukan, seperti kompor LPG dan kompor minyak tanah, karena memiliki efisiensi energi tinggi dan mampu meminimasi emisi gas berbahaya dari kompor (termasuk gas CO) dengan cara membakar gas yang dihasilkan dari pirolisis biomassa (Bhattacharya, & Salam, 2002).
Salah satu kompor gas-biomassa yang telah dirancang adalah Wood-Gas
Turbo Stove atau yang dikenal dengan Reed’s Wood-Gas Campstove. Kompor
tersebut memiliki efisiensi termal lebih besar dari 30% dan mampu menekan emisi gas CO yang tinggi hingga konsentrasi gas CO pada ketinggian 80 cm di atas kompor mencapai 22 ppm. Pada Wood-Gas Turbo Stove, aliran udara primer dan sekunder bergerak secara konveksi alami pada rancangan awal, sedangkan pada rancangan terbarunya, aliran udara primer dan sekunder bergerak secara konveksi paksa namun daya berasal dari penggunaan satu fan yang sama (Reed, et
al., 2000).
Kemudian, SPRERI Gasifier Stove, kompor gas-biomassa yang telah dievaluasi performanya dengan menggunakan biomassa dari jarak pagar. Kompor tersebut mencapai efisiensi termal sebesar 31,10%, dan emisi gas CO sekitar 3-6 ppm yang diukur dengan jarak 1 m dari ketinggian kompor (Panwar, 2010).
Lalu, Anderson merancang Champion T-LUD ND (Natural Draft) Stove yang memanfaatkan konveksi alami, baik untuk aliran udara primer maupun udara
sekunder. Kompor tersebut menghasilkan emisi gas CO sebesar 3,5 g/L (Roth, 2011).
Selanjutnya, Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier yang memanfaatkan aliran konveksi paksa untuk udara primernya dan konveksi alami untuk udara sekundernya. Kompor tersebut merupakan kompor gas-biomassa pertama dengan pembakaran partikel halus limbah biomassa menggunakan prinsip T-LUD
Gasifier yang mampu menghasilkan gasifikasi yang sempurna, menghasilkan
nyala api biru yang konsisten, dan emisi yang rendah, menggunakan biomassa dari sekam padi (Belonio, 2005).
Adapun kompor-kompor gas-biomassa tersebut menggunakan prinsip
Inverted Down Draft (IDD) atau Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier. Prinsip ini
pada dasarnya adalah memproduksi gas-gas yang dapat terbakar, terutama gas CO dan asap hidrokarbon, melalui proses pirolisis pada suhu tinggi (udara primer yang diperlukan dalam jumlah terbatas) untuk selanjutnya seluruh gas tersebut dibakar sempurna di bagian atas dengan udara sekunder berlebih sehingga dihasilkan emisi yang bersih. Jadi, bahan bakar dinyalakan mulai dari bagian atas kompor sehingga timbul api di bagian atas (top lit). Api pada penyalaan awal tersebut akan memicu pelet pada lapisan paling atas untuk mengeluarkan volatile
matter karena menerima panas dari api secara radiasi dan konveksi. Volatile matter yang keluar terus-menerus dari biomassa tersebut menghalangi oksigen
(oksigen disuplai dari aliran udara primer yang bergerak ke atas) untuk berpenetrasi ke partikel biomassa sehingga terjadilah pirolisis yang memproduksi gas-gas pirolisis dan panas. Panas tersebut akhirnya membentuk api pirolisis di sekitar partikel pelet biomassa ketika oksigen berpeluang berpenetrasi ke partikel pelet biomassa. Zona dimana api pirolisis berada itulah yang disebut dengan zona
flaming pyrolisis. Posisi zona ini bergerak turun, sementara bahan bakar tetap
(fixed bed). Dengan demikian, api pirolisis tersebut akan bergerak ke bawah dan terus-menerus menyebabkan biomassa mengeluarkan volatile matter-nya hingga habis dan hanya tersisa char-nya saja. Sedangkan volatile matter yang keluar dari biomassa tersebut selanjutnya akan bergerak ke atas, sama seperti aliran udara primer (up draft), untuk dibakar dengan udara sekunder (Roth, 2011).
Meskipun kompor-kompor dengan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD)
Gasifier tersebut sudah cukup berhasil dalam menurunkan emisi gas CO, dimana
masih termasuk batas emisi gas CO yang diperbolehkan dalam atmosfer oleh Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia sebesar 25 ppm (Supramono, 2009), namun masih memiliki beberapa kekurangan. Kekurangannya ialah terutama pada masalah pergerakan aliran udara, optimasi teknik pembakaran, dan karakteristik dari bahan bakar biomassa yang dipergunakan. Pada beberapa kompor gas-biomassa seperti Wood-Gas Turbo Stove, pencampuran gas-udara (turbulensi) masih kurang baik sehingga menimbulkan warna kuning pada api. Hal ini mungkin disebabkan oleh aliran udara yang bergerak secara konveksi alami sehingga amat bergantung pada aliran udara di lingkungan sekitarnya, dan pengaturan udara primer dan sekunder belum dilakukan secara independen dari dua sumber daya yang berbeda. Selain itu, masih ada char yang ikut terbakar yang menandakan bahwa flaming pyrolisis dan glowing pyrolisis terjadi pada waktu yang beririsan. Sedangkan masalah karakteristik biomassa, yaitu mengenai optimasi dengan biomassa yang tepat (kandungan volatile matter tinggi) yang belum dilakukan terhadap kompor (Reed, et al., 2000) dan penggunaan biomassa dari jarak pagar yang memiliki kadar keabuan tinggi pada SPRERI Gasifier Sove sehingga menimbulkan masalah tingginya emisi partikulat (Panwar, 2010).
Berdasarkan peluang yang tersedia tersebut, maka penelitian ini dilakukan terutama untuk mengembangkan rancangan kompor gas-biomassa guna memperbaiki kelemahan kompor gas-biomassa yang sudah ada dan mengoptimasi performa kompor dengan memilih biomassa yang memiliki kandungan volatile
matter tinggi (sesuai dengan prinsip perancangan kompor), seperti bagas.
Tujuannya ialah untuk memperoleh kompor dengan nyala api biru seperti kompor LPG dengan parameter yang digunakan adalah emisi gas CO yang serendah mungkin. Oleh karena itu, dapat dirancang kompor gas-biomassa baru dengan menggunakan prinsip serupa, yakni prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier, dimana desain kompor yang menjadi acuan utama adalah desain Belonio’s Rice
Husk T-LUD Gasifier yang merupakan kompor gas-biomassa pertama yang
dinilai mampu menghasilkan nyala api biru secara konsisten dan memiliki emisi yang rendah. Selain itu, kompor gas-biomassa tersebut harus dirancang dengan
udara devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder) mengalir secara konveksi paksa menggunakan blower yang independen agar gasifikasi yang dicapai dapat lebih sempurna lagi sehingga dapat menghasilkan nyala api biru. Adapun timbulnya warna biru pada nyala api disebabkan oleh adanya radikal CH dan C2 yang tereksitasi. Radikal-radikal yang tereksitasi
tersebut mengemisikan gelombang elektromagnetik, dimana CH dan C2
mengemisikan gelombang hijau dan biru (Ballester, & Armingol, 2010).
Dengan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier, maka emisi gas CO kompor dapat dikurangi hingga konsentrasi sangat rendah dan mampu menghasilkan nyala api berwarna biru yang dapat disetarakan dengan kompor LPG yang sekarang banyak digunakan. Dengan demikian, kompor gas-biomassa dapat dikatakan sebagai interface antara kompor biomassa dan kompor LPG.
1.2 Perumusan Masalah 1.2.1 Rumusan Masalah
Masalah yang dirumuskan untuk diselesaikan dalam penelitian yang akan dilakukan, antara lain:
desain kompor gas-biomassa dengan prinsip Inverted Down Draft (IDD) atau
Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier yang mampu meminimasi emisi gas CO
sehingga mampu menghasilkan nyala api biru, dan
mencapai performa kompor yang optimum dari kompor gas-biomassa melalui penggunaan bahan bakar pelet biomassa dari limbah bagas yang memiliki kandungan volatile matter tinggi.
1.2.2 Pendekatan Masalah
Hingga saat ini, para peneliti sudah tertuju pada penyelesaian masalah dalam mengembangkan desain kompor biomassa yang mampu menurunkan emisi gas CO, namun hasilnya tidak semua memuaskan. Mengacu pada emisi gas CO yang dihasilkan oleh Wood-Gas Turbo Stove sebesar 22 ppm pada ketinggian 80 cm dan SPRERI Gasifier Stove sebesar 3-6 ppm pada ketinggian 1 m di atas kompor, dimana kompor masih memiliki berbagai kelemahan yang harus diperbaiki, antara lain ketidakstabilan warna api karena ketidaksempurnaan
pencampuran gas-udara, serta desain kompor dan kandungan bahan bakar yang belum mampu mengoptimasi proses gasifikasi (Reed, et al., 2000, Panwar, 2010). Adapun Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier mampu mencapai emisi CO rendah dan nyala api biru secara konsisten. Hasil tersebut diperoleh untuk kompor gas-biomassa yang menggunakan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier. Maka, penelitian sekarang berusaha merancang kompor gas-biomassa beremisi gas CO rendah dengan prinsip yang sama dan mengoptimasi performanya dengan biomassa yang mengandung volatile matter tinggi, seperti bagas.
1.2.3 Hipotesis
Melalui devolatilisasi dari biomassa yang menghasilkan gas-gas pirolisis dengan bantuan udara primer terbatas (salah satunya gas CO) dan melalui pembakaran sempurna gas-gas pirolisis tersebut di bagian atas dengan udara sekunder berlebih, dimana pembakaran sempurna gas-gas pirolisis tersebut di bagian atas harus terjadi lebih cepat dibandingkan pembakaran char dari pelet biomassa yang terbentuk (Depner, & Jess, 1999), maka dapat diduga bahwa rancangan kompor gas-biomassa akhir dalam penelitian ini memiliki nyala api yang berwarna biru sebagai akibat emisi gas CO yang sangat rendah.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah merancang kompor gas-biomassa untuk penggunaan rumah tangga yang beremisi gas CO rendah dan memiliki nyala api biru seperti kompor LPG, dengan bahan bakar pelet biomassa dari limbah bagas.
1.4 Ruang Lingkup Masalah
Adapun ruang lingkup masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: Perancangan kompor gas-biomassa dengan ukuran, bentuk, dan bahan
fabrikasi tertentu dengan menggunakan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD)
Gasifier yang mayoritas diadopsi dari Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier.
Bahan bakar yang digunakan adalah 100% biomassa dari limbah bagas yang dikompakkan menjadi pelet dengan moisture content sebesar 10%;
Penggunaan dua buah blower untuk sistem konveksi paksa aliran udara devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder) secara independen.
Emisi gas CO serendah mungkin dijadikan sebagai parameter kuantitatif dan pengamatan visual warna api dijadikan sebagai parameter kualitatif dari nyala api biru yang diharapkan dari kompor gas-biomassa yang dirancang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa
2.1.1 Definisi Biomassa dan Pelet Biomassa
Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berasal dari derivat ternak maupun tumbuhan (dapat ditanam ulang) dan dikenal sebagai energi hijau (Kong, 2010). Biomassa merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai jenis bahan organik dalam bentuk padat yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, seperti kayu, arang, kotoran hewan, limbah pertanian, dan limbah padat lainnya yang dapat terbiodegradasi (Fisafarani, 2010).
Pelet telah diproduksi sejak seabad yang lalu dengan menggunakan panas dan tekanan sehingga pelet berbentuk silindris, dapat diproduksi dari berbagai macam materi untuk tujuan yang berbeda-beda. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pelet adalah densitasnya yang maksimal sekitar 40 lbs/ft3, mengalir seperti cairan dan ideal dipergunakan untuk sistem yang otomatis, dapat digunakan pada kompor dan boiler, dapat digunakan dalam aplikasi berskala kecil maupun besar, mudah untuk ditangani, disimpan, dan ditransportasikan, serta meningkatkan karakteristik pembakaran dari bahan baku yang dipergunakan (www.pelheat.com). Penampilan fisik pelet biomassa dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2. 1 Pelet biomassa (www.pelheat.com)
Peletisasi biomassa merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan penanganan, transportasi, pengubahan yang lebih mudah, dan penyimpanan sewaktu-waktu (Erlich, 2005). Untuk menghasilkan pelet biomassa yang memiliki
kualitas yang baik, tahapan prosesnya dideskripsikan dalam skema pada Gambar 2.2 sebagai berikut:
Gambar 2. 2 Skema proses produksi pelet biomassa (www.pelheat.com)
Dalam penelitian ini, biomassa yang digunakan adalah 100% biomassa yang berasal dari limbah bagas dan karakterisasi utama yang dilihat ialah kandungan volatile matter yang tinggi (karena volatile matter dari biomassa tersebutlah yang menjadi bahan bakar dari kompor gas-biomassa yang dirancang). Untuk digunakan sebagai bahan bakar, limbah bagas dikompakkan dalam bentuk pelet. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Erlich (2005) dengan membandingkan antara pelet bagas berdiameter 6 mm dan 12 mm, semakin besar ukuran diameter pelet bagas maka semakin tinggi tingkat kerapuhan dan semakin tinggi char yang dihasilkan. Char yang tinggi akan membentuk lapisan tebal pada
char zone sehingga mencegah udara atau gas untuk melewatinya.
2.1.2 Ketersediaan Biomassa di Indonesia
Sumber daya biomassa di Indonesia sangat melimpah. Salah satu penyebabnya adalah Indonesia yang termasuk negara beriklim tropis dengan wilayah yang cukup luas. Berikut ini merupakan peta persebaran potensi biomassa di Indonesia pada Gambar 2.3, dimana pada Pulau Jawa dan Sumatra, limbah dari penggilingan tebu menempaatai persentasi dengan urutan tertinggi.
Reduksi
Ukuran Pengeringan Pencampuran Persiapan
Pembuatan Pelet Pengayakan
Pendinginan Pengemasan
Gambar 2. 3 Potensi biomassa di Indonesia (ZREU, 2000)
Berdasarkan peta persebaran potensi biomassa di Indonesia tersebut, dapat diamati bahwa salah satu sumber daya biomassa yang memiliki potensi yang cukup tinggi di Indonesia adalah tebu. Potensi yang besar tersebut disebabkan oleh fungsi tebu sebagai bahan baku utama industri pembuatan gula yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan biomassa dari limbah bagas yang merupakan limbah dari penggilingan tebu di pabrik gula.
Adapun jumlah limbah biomassa di Indonesia (termasuk bagas) per tahun beserta dengan potensi energinya disajikan dalam Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2. 1 Limbah biomassa di Indonesia Sumber Biomassa Limbah Rasio Limbah (%) Jumlah Limbah (juta ton/tahun) LHV (MJ/kg) Potensi Energi (juta GJ/tahun) Crude Oil Equivalent (106 toe/tahun) Tebu Bagas 32 8,5 18,1 78,00 1,87 Daun dan Pucuk Tebu 30 1,3 15,81 20,55 0,49 Kelapa Sawit TKKS 27 12,9 8,16 105,26 2,53 Serat 15 6,7 11,34 75,98 1,82 Tempurung 9 3,5 18,83 65,91 1,58 Pohon Karet Limbah Kayu Karet - 2,8 - 46,45 1,11 Kelapa Serabut - 6,7 18,62 124,75 2,99 Tempurung 16 3 16,78 50,34 1,21 Padi Sekam Padi 23 13,5 12,69 171,32 4,11 Jerami 40 49 10,9 534,10 12,82 Ubi Kayu Limbah Cair Pabrik Tapioka - 7,3 - 133,13 3,20 Industri Kayu Limbah Kayu - 8,3 - 70,11 1,68 JUMLAH 1.475,90 35,42
(FAO 1998; Febijanto 2007; Priyanto 2007; ZREU 2000)
2.1.3 Kandungan Biomassa
Menurut Kong (2010), terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan biomassa, yakni selain aspek ketersediaan biomassa yang telah dibahas sebelumnya dan rantai suplai biomassa ialah aspek nilai kalori dan kandungan dari biomassa tersebut (moisture content,
ash content, volatile matter, unsur klorin, dan sebagainya). Dengan mengetahui
jalur konversi termal (pembakaran langsung, pirolisis, gasifikasi, atau fermentasi) yang paling cocok untuk jenis biomassa tersebut.
Misalnya, kadar air atau moisture content yang tinggi mengakibatkan biomassa menjadi sulit terbakar karena dibutuhkan sejumlah kalor laten untuk menguapkan air yang terkandung dalam biomassa tersebut dan kalor sensibel untuk menaikkan suhu. Sedangkan, kadar abu atau ash content yang tinggi berpengaruh terhadap perancangan garangan (grate) dari kompor. Hal ini juga akan mengakibatkan timbulnya emisi partikulat yang tinggi dalam pembakaran sehingga perlu penanganan khusus untuk abu dan partikulat yang dihasilkan. Selain itu, abu bersifat inert sehingga mampu mengurangi efisiensi kalor yang dihasilkan dari bahan bakar (Chigier, 1981). Volatile matter yang tinggi menunjukkan bahwa biomassa tersebut lebih mudah menyala dan lebih cepat terbakar (Fisafarani, 2010). Kandungan zat volatil ini dapat menguntungkan dalam hal penyalaan biomassa karena kandungan zat volatil (campuran dari uap dan gas yang keluar saat proses pirolisis dari biomassa) tersebut dapat melepaskan kalo secara konveksi maupun radiasi, serta membentuk pori pada permukaan ketika zat volatil lepas dari permukaan biomassa. Sedangkan, karbon tetap (fixed
carbon) yang tinggi menyebabkan semakin tinggi nilai kalori dari suatu biomassa.
Karbon tetap bertindak sebagai pembangkit utama panas selama pembakaran. Biomassa merupakan produk reaksi fotosintetik dari karbon dioksida denga air, yang terdiri dari karbon, oksigen, dan hidrogen, yang terdapat dalam bentuk polimerik makroskopik kompleks. Oleh karena itu, selain kandungan-kandungan biomassa yang telah diuraikan di atas, kandungan-kandungan yang juga patut diperhatikan adalah kandungan biopolimer dari biomassa yang terdiri dari hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Jumlah kandungan dan sifat struktur dari ketiga komponen biomassa tersebut menjadi penting untuk diketahui karena dalam prinsip kompor gas-biomassa yang dirancang melibatkan proses pirolisis biomassa. Pirolisis biomassa terbagi menjadi empat tahap, yaitu perubahan
moisture content, dekomposisi hemiselulosa, dekomposisi selulosa, dan
dekomposisi lignin.
Adapun hemiselulosa, selulosa, dan lignin memiliki komposisi yang bervariasi untuk setiap spesies tumbuhan. Pada umumnya, dalam setiap basis
kering biomassa mengandung 20-40% berat hemiselulosa, 40-60% berat selulosa, dan 10-25% berat lignin.Berdasarkan analisis menggunakan FTIR, spektrum infra merah ketiga komponen biomassa tersebut mayoritas terdiri dari alkena, ester, aromatik, keton, alkohol, dengan gugus fungsional, antara lain OH (3400-3200 cm-1), C=O (1765-1715 cm-1), C-O-C (1270 cm-1), C-O-(H) (~1050 cm-1), dan lain-lain. Ketiga komponen tersebut memiliki perilaku pirolisis yang berbeda-beda. Berikut ini merupakan uraian mengenai masing-masing ketiga komponen tersebut:
a. Hemiselulosa [(C5H8O4)y]
Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula. Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa, hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon lima (C-5) dan enam (C-6). Dekomposisi hemiselulosa terjadi paling mudah dan paling awal di antara komponen lainnya, di mana dekomposisi terjadi pada suhu 220-315oC dengan menghasilkan CO dan CO2 lebih tinggi, senyawa organik (C=O, C-O-C, dan sebagainya), dan sedikit
CH4 sebagai gas pirolisis yang dilepaskan (Tanto, 2011; Yang, 2007).
b. Selulosa [(C6H10O5)x]
Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang. Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah unit glucan di dalam polimer yang disebut dengan derajat polimerisasi, di mana pada umumnya terdapat sekitar 2.000-27.000 unit glucan dalam selulosa. Selulosa terdekomposisi pada suhu pirolisis 315-400oC dengan melepaskan CO dan CO2
dalam jumlah sedikit, senyawa organik (C=O, C-O-C, dan sebagainya), dan sedikit CH4, dengan hasil residu padatan yang paling rendah (Tanto, 2011; Yang,
2007).
c. Lignin [(C9H10O3(CH3O)0,9-1,7)y]
Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari unit phenylphropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Lignin adalah material yang paling
kuat dalam biomassa. Lignin memiliki titik leleh yang cukup rendah, yaitu pada suhu 140oC. Lignin bersifat sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia. Lignin memiliki rasio C dan O serta rasio H dan O yang lebih besar daripada fraksi karbohidrat lainnya dalam biomassa. Hal inilah yang membuat lignin lebih potensial untuk proses oksidasi dibandingkan dengan yang lainnya. Adapun lignin terdekomposisi pada suhu pirolisis 150-900oC, di mana tidak ada CO dan senyawa organik yang dihasilkan sebagai gas pirolisis, melainkan CH4 dalam jumlah tinggi, dengan residu padatan yang
dihasilkan paling tinggi dibandingkan dengan komponen biopolimer lainnya (Tanto, 2011; Yang, 2007).
2.1.4 Uji Analisis Karakteristik Bahan Bakar Biomassa
Supaya pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar menjadi optimal, perlunya untuk mengetahui karakteristik biomassa yang digunakan untuk mendesain ruang bakar yang sesuai bagi proses pembakaran biomassa. Adapun untuk mengetahui karakteristik dari suatu biomassa perlu dilakukan uji analisis. Secara umum, metode untuk menganalisis kandungan biomassa diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu analisis proximate dan analisis ultimate.
Analisis proximate merupakan analisis yang menunjukkan nilai kuantitatif (dalam persen berat) dari fixed carbon, volatile matter, ash content, dan moisture
content dalam suatu biomassa. Analisis proximate terhadap biomassa yang
digunakan dalam penelitian ini penting untuk dilakukan, terutama guna mengetahui kandungan volatile matter yang dimiliki oleh biomassa tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, prinsip kompor gas-biomassa yang dirancang dalam penelitian ini adalah membakar volatile matter yang telah keluar dari biomassa dan mengalami pirolisis menjadi gas. Oleh karena itu, pemilihan jenis biomassa untuk bahan bakar kompor gas-biomassa didasarkan pada kandungan
volatile matter yang tinggi.
Analisis ultimate ialah analisis untuk menentukan berbagai macam kandungan kimia berupa unsur-unsur, seperti karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dan lain-lain dalam suatu biomassa. Analisis ini berguna untuk menentukan jumlah udara yang diperlukan dalam suatu proses pembakaran dan komposisi dari
gas pembakaran. Tidak seperti analisis proximate yang dapat dilakukan dengan peralatan sederhana, analisis ultimate harus dilakukan di laboratorium dengan peralatan yang lengkap oleh ahli kimia yang terampil (Tanto, 2011).
Adapun analisis proximate dan ultimate untuk biomassa dari bagas yang diperoleh dari literatur, dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Menurut hasil karakterisasi biomassa yang dilakukan oleh Fisafarani (2010), bagas memiliki kandungan hemiselulosa, selulosa, dan lignin secara berurutan sebesar 27,63%, 39,29%, dan 21,98% berdasarkan persentase berat keringnya. Sedangkan, hasil uji karakterisasi bahan bakar biomassa dari bagas yang digunakan dalam penelitian (analisis proximate, ultimate, dan nilai kalori) yang dilakukan oleh Balai Besar Teknologi Energi yang terdapat di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, dapat dilihat pada LAMPIRAN.
Tabel 2. 2 Analisis proximate biomassa
Biomass Moisture Content Content Ash Volatile Matter Carbon Fixed
%, adb %, adb %, adb %, adb
Straw 11.98 17.42 56.48 14.12 Rice Husk 7.78 21.84 57.05 13.33 Kamper Wood 15.52 1.21 68.22 15.05 Rubber Wood 10.85 4.29 69.76 15.1 Coconut Fiber 10.27 3.27 62.64 23.82 EFB 10.45 3.43 68.67 17.45 Bagasse 8.76 1.34 75.94 13.96 (Purwanto, 2010)
Tabel 2. 3 Analisis ultimate biomassa
Biomass C H N S O
% adb
Straw 36.48 4.7 0.61 0.09 40.7
Rice Husk 35.18 4.46 0.15 0.01 38.36
Kamper Wood 45.67 5.74 0.12 Trace 47.26
Rubber Wood 45.62 5.57 0.72 0.04 43.76
Coconut Fiber 46.87 5.77 0.04 0.08 43.97
EFB 44.06 6.06 0.29 0.11 46.05
Bagasse 46.1 6.1 0.11 0.17 46.18
(Purwanto, 2010)
2.1.5 Tahap-tahap Pembakaran Biomassa
Untuk dapat mengontrol dan mengoptimasi suatu proses pembakaran, pertama-tama hal yang perlu diketahui adalah kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap pembakaran tersebut. Kondisi-kondisi yang dimaksud di sini adalah terkait dengan setiap tahap yang berlangsung secara terpisah dan kronologis seiring dengan kenaikan suhu dari material yang digunakan sebagai bahan bakar. Berikut ini merupakan uraian secara rinci mengenai setiap tahap yang terjadi dalam pembakaran biomassa:
a. Pengeringan
Dalam tahap ini, air yang terkandung dalam biomassa menguap. Seperti diketahui dalam proses pengeringan, keberadaan air dalam suatu bahan bakar padat terdiri dari dua bentuk, yaitu air bebas (air yang terdapat dalam pori-pori pada permukaan luar suatu bahan bakar padat dan jenis air ini mudah untuk menguap) dan air terikat (air yang berada di struktur permukaan dalam atau internal dari bahan bakar padat, memiliki gaya ikat atau adhesi yang cukup kuat dengan partikel bahan bakar padat tersebut, dan lebih sulit untuk menguap sehingga memerlukan energi yang berlebih jika ingin menguapkan jenis air tersebut). Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mengubah seluruh air menjadi uap air bergantung pada moisture content yang dimiliki oleh biomassa yang digunakan. Semakin rendah moisture content, semakin singkat waktu pengeringan dan semakin besar energi yang dihasilkan untuk pembakaran.
Menurut www.pellheat.com, target untuk moisture content dalam pelet yang telah menjadi produk jadi sebaiknya di bawah 10%, karena jika lebih dari 10% maka membutuhkan energi yang lebih besar untuk membakarnya. Sedangkan, menurut Roth (2011), moisture content 8-20% adalah yang terbaik untuk pelet, meskipun pada kompor yang menggunakan sistem aliran konveksi paksa (seperti kompor gas-biomassa yang dirancang dalam penelitian ini) masih dapat membakar bahan bakar dengan moisture content hingga 30%. Berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh dari data literatur tersebut, dengan demikian pelet bagas yang digunakan dalam penelitian ini diatur untuk memiliki moisture
content sebesar 10% agar tidak meningkatkan biaya untuk efisiensi pembakaran.
b. Devolatilisasi (Pirolisis)
Jika pengeringan partikel-partikel dalam biomassa telah selesai terjadi, maka suhu akan meningkat. Ketika suhu naik dan panas diabsorpsi oleh partikel biomassa, biomassa terdekomposisi melalui tahapan secara lengkap (dimulai dari hemiselulosa, selulosa, dan lignin). Sebagai akibatnya, biomassa melepaskan
volatile matter dan menyisakan produk padatan (char). Adapun dalam proses
dekomposisi biomassa tersebut, sebenarnya antara pelepasan volatile matter atau produk gas pirolisis dan pembentukan produk padatan (char) terjadi secara terpisah. Bila dipandang dari sisi pelepasan volatile matter dari biomassa, fenomena ini disebut dengan devolatilisasi. Sedangkan, dipandang dari sisi pembentukan char, fenomena ini dikenal dengan nama karbonisasi (Roth, 2011).
Volatile matter sendiri diyakini berasal dari spesi turunan dari putusnya
ikatan -H2, -CH, -CH2, -CH3, dan -OH yang terdapat di sekeliling biomassa, di
mana spesi-spesi tersebut memiliki berat molekul yang ringan (Tanto, 2011) Pada saat devolatilisasi terjadi, volatile matter mengalir keluar dari pori-pori partikel biomassa sehingga oksigen dari luar tidak dapat berpenetrasi ke dalam partikel. Oleh karena itu, fenomena devolatilisasi ini sering juga disebut dengan tahap pirolisis (Borman, & Ragland, 1998). Pirolisis merupakan destruksi termal dari material organik tanpa keberadaan oksigen (Demirbas, 2004).
Selanjutnya, produk gas pirolisis akan menyala dan membentuk api yang mengelilingi sekitar partikel sebagai akibat dari oksigen yang berdifusi ke produk
gas pirolisis. Kemudian, api tersebut memberikan panas ke partikel sehingga pelepasan volatile matter dari biomassa terulang kembali dan demikianlah devolatilisasi terjadi terus-menerus hingga volatile matter dalam biomassa tersebut habis dan hanya tertinggal padatan (char) biomassa saja.
Karena adanya energi panas yang dilepaskan seiring dengan pelepasan
volatile matter itulah, semakin banyak kandungan volatile matter, maka semakin
rendah suhu penyalaan yang dibutuhkan (Tanto, 2011). Apalagi, jika volatile
matter dalam jumlah banyak tersebut mengalami devolatilisasi, maka pada saat volatile matter tersebut telah terbakar habis akan mengakibatkan porositas char
yang terbentuk semakin besar dan hal ini berperan dalam pembakaran char yang terjadi selanjutnya. Membesarnya porositas char menyebabkan aliran udara yang melewati partikel char menjadi semakin turbulen sehingga menimbulkan ulakan (eddy) yang mempermudah oksigen berdifusi lebih lanjut ke permukaan internal
char (Singh, et al., 2009). Dengan demikian, pembakaran pun menjadi semakin
sempurna dan efisien. Adapun laju dari devolatilisasi dan produk pirolisis bergantung pada suhu dan jenis bahan bakar (Borman, & Ragland, 1998; Tanto, 2011).
c. Pembakaran Gas
Biomassa mengandung komponen penyusun yang sangat kompleks dimana volatile matter yang ada di dalamnya berbeda untuk setiap jenis biomassanya. Berikut ini merupakan reaksi pembakaran sederhana dari volatile
matter yang seringkali terjadi pada proses pembakaran bahan bakar padat
(Fisafarani, 2010): + → QP = +242 kJ/mol (2.1) + → QP = +283 kJ/mol (2.2) + → + QP = +35,7 kJ/mol (2.3) + → + QP = -206 kJ/mol (2.4) + → + QP = +41,1 kJ/mol (2.5)
Diman QP sama dengan –ΔH (Glassman, 1996). Adapun panas yang dihasilkan
oleh reaksi eksotermis sangat penting dalam pelepasan volatile matter dan penyalaan api pada char.
d. Pembakaran Padatan (Char) Biomassa
Tahap akhir dalam proses pembakaran suatu bahan bakar padat adalah pembakaran char. Ketika devolatilisasi selesai terjadi, maka yang tersisa adalah
char dan abu saja. Char merupakan bahan residu yang kaya akan karbon namun
miskin akan oksigen dan hidrogen. Partikelnya memiliki patahan dan lubang yang disebabkan oleh hilangnya gas dan volatile matter sehingga ukurannya membesar dari sebelumnya. Oleh karena itu, pada umumnya char memiliki tingkat porositas yang tinggi. Porositas untuk char yang berasal dari biomassa kayu adalah sekitar 0,9 (90% voids) dengan luas permukaan internalnya sekitar 10.000 m2/g.
Ketika volatile matter keluar dari biomassa dan meninggalkan char, terdapat lubang-lubang yang menyebabkan char memiliki pori yang besar sehingga oksigen dapat berdifusi melalui boundary layer yang terdapat pada sekitar lubang-lubang berpori partikel dan masuk ke dalam partikel char tersebut. Oleh karena itu, laju pembakaran char amat bergantung pada laju reaksi kimia, yakni reaksi heterogen antara karbon dalam char dan oksigen yang terjadi pada permukaan keduanya (gas-solid interface). Produk utama dari reaksi permukaan ini terutama berupa gas CO. Selanjutnya, gas CO tersebut akan bereaksi di luar partikel untuk membentuk CO2. Reaksi pembentukan CO2 tersebut sangat eksotermis sehingga
mampu meningkatkan suhu char 100-200oC di atas suhu gas luar. Tahap ini relatif lebih lama dibandingkan devolatilisasi.
Adapun reaktivitas char bergantung pada jenis biomassanya, suhu gas, tekanan, bilangan Reynold, karakteristik char (ukuran, porositas, luas permukaan, dan lain-lain), dan konsentrasi oksigen. Konsentrasi oksigen dan laju difusi oksigen tersebut melewati boundary layer dan masuk ke dalam partikel char juga merupakan faktor penting dalam laju pembakaran char, selain laju reaksi kimia yang telah dijelaskan (Borman, & Ragland, 1998; Tanto, 2011).
2.1.6 Gasifikasi sebagai Konversi Termal Biomassa 2.1.6.1 Definisi Gasifikasi
Gasifikasi merupakan salah satu proses pengubahan bertahap dari bahan bakar padat dengan ketersediaan oksigen yang terbatas sehingga gas yang dihasilkan masih berpotensi untuk terbakar, dimana hampir semua bahan organik dari biomassa diubah menjadi gas bakar yang bersih dan netral (Faaij, 2006). Posisi gasifikasi di antara berbagai malam jalur konversi biomassa dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini.
Gambar 2. 4 Pilihan utama teknologi metode pengubahan biomassa (Faaij, 2006)
Gasifier biomassa adalah suatu sistem yang mengubah biomassa padat
menjadi gas dan membakarnya dengan cara yang dapat dikontrol melalui pengaturan suplai udara (Roth, 2011). Sistem tersebut memanfaatkan teknologi gasifikasi untuk mengubah biomassa secara termokimia menjadi gas yang dapat dibakar. Gasifikasi sebenarnya merupakan suatu bentuk pirolisis pada suhu tinggi untuk mengoptimasi gas yang dihasilkan. Gas pirolisis yang dihasilkan disebut dengan gas producer (merupakan campuran gas yang didominasi oleh gas CO, H2, dan CH4, bersama dengan CO2 dan N2) (Demirbas, 2004). Teknologi
teknologi ini menawarkan kelebihan berupa efisiensi yang tinggi dan emisi yang bersih (Agung, et al., 2010). Hal ini disebabkan oleh gas pirolisis yang dihasilkan selanjutnya dibakar secara sempurna. Pada Gambar 2.5 berikut ini adalah skema proses yang terjadi dalam suatu gasifier.
Gambar 2. 5 Skema proses pembakaran gas producer (Roth, 2011)
2.1.6.2 Jenis Gasifier
Pada umumnya, ada dua jenis gasifier, yaitu fixed bed gasifier dan
fluidized bed gasifier. Adapun untuk kompor gas-biomassa yang dirancang dalam
penelitian, jenis fixed bed gasifier dianggap lebih sesuai untuk diterapkan dengan susunan bahan bakar padat yang tetap.
a. Fixed Bed Gasifier
Fixed bed gasifier merupakan jenis gasifier yang memiliki garangan
(grate) yang dikonstruksikan untuk menopang bahan bakar dan mempertahankan unggun bahan bakar dalam keadaan tetap atau tidak bergerak seperti fluida. Jenis gasifier ini relatif mudah untuk didesain dan dioperasikan, namun memiliki kapasitas yang terbatas. Oleh karena itu, fixed bed gasifier lebih banyak
digunakan untuk aplikasi skala kecil hingga sedang, dimana kalor yang diperlukan mencapai 1 MW (Akudo, 2008).
1) Up Draft Gasifier
Pada jenis gasifier ini, udara disuplai dari bagian bawah. Api juga dinyalakan dari bawah. Sedangkan, gas panas bergerak mengalir ke atas dan kemudian keluar menuju atmosfer, sementara bahan bakar terus-menerus bergerak ke bawah secara berkelanjutan sebagai akibat pirolisis volatile
matter. Karena gerakan yang berlawanan tersebut, jenis gasifier ini sering
disebut dengan Countercurrent Gasifier. Jenis gasifier ini memiliki kelebihan, yaitu sederhana, suhu keluaran gas relatif rendah, efisiensi termal tinggi, dan masih dapat melakukan pembakaran meskipun moisture content dari biomassa mencapai 60%. Akan tetapi, jenis gasifier ini tidak cocok untuk diaplikasikan pada kompor gas-biomassa yang dirancangan karena menghasilkan tar dan asap hidrokarbon dalam kadar yang tinggi (Akudo, 2008; Belonio, 2005). Skema Up Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.6 sebagai berikut.
Gambar 2. 6 Skema Up Draft Gasifier (Belonio, 2005)
2) Down Draft Gasifier
Pada Down Draft Gasifier, udara disuplai dari atas secara kontinu dan bergerak mengalir ke bawah sehingga membawa gas yang keluar untuk ikut mengalir ke bawah menuju zona gasifikasi hot-char, menyalakan api, dan membakar tar. Dengan demikian, emisi yang dihasilkan sangat bersih.
Sementara itu, bahan bakar juga bergerak ke bawah, seperti gas pirolisis, sehingga dikenal dengan Co-current Gasifier. Meskipun begitu, jenis gasifier ini memiliki efisiensi keseluruhan yang lebih rendah serta penanganan yang sulit untuk biomassa dengan moisture content dan kandungan abu yang tinggi daripada Up Draft Gasifier. Pada jenis gasifier ini juga amatlah penting untuk memperhatikan distribusi suhu tinggi yang merata di seluruh area dalam reaktor gasifikasi. Oleh karena itu, Down Draft Gasifier terbatas hanya untuk
range daya kurang dari 1 MW (Akudo, 2008; Belonio, 2005). Skema Down Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.7 sebagai berikut.
Gambar 2. 7 Skema Down Draft Gasifier (Belonio, 2005)
3) Cross Draft Gasifier
Pada jenis gasifier ini, udara mengalir dari samping reaktor gasifikasi dan bergerak melewati bahan bakar bersama dengan gas pirolisis yang dihasilkan. Zona pembakaran menyilang dalam reaktor dan berada dalam arah menuju keluaran gas. Jenis gasifier ini dioperasikan secara kontinu dengan penyalaan awal bahan bakar dapat dimodifikasi untuk meminimasi asap yang dihasilkan (Belonio, 2005). Skema Cross Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.8 sebagai berikut.
Gambar 2. 8 Skema Cross Draft Gasifier (Belonio, 2005)
4) Inverted Down Draft atau Top Lit Up Draft (TLUD) Gasifier
Jenis gasifier ini dioperasikan secara batch sehingga pengisian bahan bakar pada saat gasifier beroperasi tentunya dapat mengganggu proses gasifikasi. Pada jenis gasifier ini, bahan bakar dinyalakan dari bagian atas setelah reaktor gasifikasi diisi oleh bahan bakar tersebut. Bahan bakar tetap, sedangkan zona flaming pyrolisis (zona dimana biomassa terdekomposisi menjadi gas pirolisis dan char) yang bergerak menurun. Sedangkan, gas pirolisis yang dihasilkan mengalir ke atas. Baik desain penyalaan awal yang dilakukan di atas maupun gas pirolisis yang mengalir ke atas, tujuannya adalah kemudahan aktivitas memasak dan efektivitas perpindahan kalornya (Belonio, 2005; Roth, 2011). Skema Top-Lit Up Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.9 sebagai berikut.
Gambar 2. 9 Skema Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier (Belonio, 2005)
b. Fluidized Bed Gasifier
Fluidized Bed Gasifier dikembangkan untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi pada Fixed Bed Gasifier. Jenis gasifier ini cocok untuk kapasitas yang besar, seperti untuk keperluan institusi atau skala industri, dimana biaya yang diperlukan untuk peralatan ini sudah ditetapkan. Pada jenis gasifier ini, bahan bakar mengalami pergerakan di dalam reaktor. Oleh karena itu, diperlukan kipas (fan) bertekanan tinggi untuk mendorong pergerakan partikel bahan bakar tersebut. Bahan bakar dimasukkan ke dalam reaktor gasifikasi dan bercampur dengan cepat bersama material unggun dalam reaktor yang mengalir seperti fluida. Dengan karakterisai turbulensi yang tinggi, pirolisis terjadi dengan cepat dan menghasilkan gas pirolisis dalam jumlah banyak. Kekurangan dari jenis gasifier ini adalah menghasilkan kandungan tar yang tinggi, pembakaran karbon yang tidak sempurna, dan permasalahan dalam pengisian bahan bakar (Akudo, 2008; Belonio, 2005).
2.1.6.3 Reaksi Gasifikasi
Berikut ini merupakan reaksi yang terjadi pada suatu proses gasifikasi bahan bakar biomassa (Kythavone, n.d.):
a. Gasifikasi dengan oksigen
b. Pembakaran dengan oksigen
+ → (2.7)
c. Gasifikasi dengan karbon dioksida
+ → 2 (2.8)
d. Gasifikasi dengan uap air
+ → + (2.9)
e. Gasifikasi dengan hidrogen
+ 2 → (2.10) f. Water-gas shift + → + (2.11) g. Metanasi + 3 → + (2.12) 2.2 Kompor Biomassa
2.2.1 Definisi Kompor Biomassa
Kompor biomassa adalah sistem yang membakar bahan biomassa untuk memproduksi kalor melalui pembakaran untuk penggunaan proses memasak domestik atau tujuan perancangan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakai (Rizqiardihatno, 2008). Kompor gas-biomassa yang dirancang dalam penelitian merupakan kompor biomassa yang dikembangkan untuk memiliki karakteristik seperti kompor LPG, yaitu membakar gas untuk memperoleh emisi yang rendah dan nyala api biru.
2.2.2 Komponen-komponen Kompor Biomassa
Pada umumnya, suatu kompor biomassa memiliki komponen-komponen yang terdiri dari:
a. kotak api/ruang pembakaran, sebagai tempat proses pembakaran terjadi; b. garangan (grate), untuk mendistribusikan udara ke bagian bawah bahan bakar
secara lebih merata sehingga meningkatkan performa kompor dan keekonomisan bahan bakar, dimana dalam penelitian udara yang didistribusikan melalui garangan adalah udara devolatilisasi (udara primer);
c. lubang panci (pot hole), sebagai tempat panci diletakkan yang didesain sehingga gas buang tidak keluar melalui celah bawah panci;
d. cerobong (chimney), sebagai jalur keluar gas buang, dimana sirkulasi cerobong (chimney draught) merupakan salah satu daya pendorong (selain
buoyancy force dan frictional force) terbentuknya aliran fluida (bergantung
pada perbedaan suhu antara fluida pada dasar cerobong dengan lingkungan luar dan tinggi dari cerobong);
e. penghalang (baffle), sebagai penghalang lintasan aliran gas buang di bawah panci untuk meningkatkan laju alir aliran gas buang sehingga laju perpindahan kalor juga meningkat;
f. sambungan (connecting tunnels), untuk menyambungkan ruang-ruang dalam kompor jenis multi-pot;
g. pengatur api (damper), untuk mengatur induksi udara dalam kompor sehingga daya keluaran dapat diatur.
Komponen yang terdapat pada rancangan kompor gas-biomassa dalam penelitian, antara lain ruang pembakaran (dalam rancangan kompor lebih tepat disebut reaktor gasifikasi), garangan, lubang panci, dan penghalang. Beberapa penambahan komponen dilakukan sebagai modifikasi, antara lain ruang char (char chamber), blower untuk aliran udara secara konveksi paksa, dan burner (zona pembakaran gas dengan udara sekunder).
2.2.3 Perkembangan Berbagai Jenis Kompor Biomassa
Kompor biomassa diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu antara lain kompor biomassa tradisional (traditional biomass-fired stove), kompor biomassa dikembangkan (improved biomass-fired stove), kompor biogas (biogas-fired
stove), dan kompor gas-biomassa (producer gas-fired stove).
Adapun kompor biomassa tradisional memiliki bentuk, ukuran, dan material konstruksi yang variatif, serta efisiensi energi yang sangat rendah, yakni berkisar antara 5-20% saja, dan emisi gas CO yang dihasilkan pun masih tinggi, yaitu antara 13-426 g udara / kg bahan bakar kering.
Selanjutnya, kompor biomassa tradisional dikembangkan kembali untuk meningkatkan efisiensi energinya dan meminimasi emisinya yang kemudian