• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012

1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian

Sesuai dengan prinsipnya perkawinan itu untuk selama-lamanya dan dilakukan dalam rangka terciptanya keluarga bahagia, sesuai dengan Hadist Riwayat Ibnu Majah, “Sesuatu yang halal yang sangat dibenci adalah perceraian.”56

Walaupun perceraian dibenci, namun jika pernikahan dipaksakan tapi mengakibatkan mudarat yang banyak daripada manfaat dalam rumah tangga, maka perceraian diperbolehkan, disinilah terlihat tujuan perceraian dalam Islam hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan semua pihak.

Dalam Hukum Islam bahkan dikenal ada pesta perceraian yang yang memberi makna bahwa acara tersebut bukanlah perpisahan yang mengakibatkan permusuhan, perceraian hanya perpisahan hubungan suami isteri bukan perpisahan hubungan baik. Karena setelah perceraian hubungan suami isteri itu dapat berubah menjadi hubungan sahabat ataupun kekerabatan, karena perceraian yang terjadi hanya untuk mencari kemaslahatan akibat dari kehidupan rumah tangga yang tidak dapat dilakukan bersama lagi.57

56

E. Hassan Saleh, Kajian Figh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal 320

57

Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013.

(2)

Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian. Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.

Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Putusnya

hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya

Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada alasan bahwa suami isteri tidak dapat rukun sebagai suami isteri.58 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil lagi mendamaikan kedua belah pihak.59

58

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

59

Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(3)

b. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anaknya

Perceraian dalam Hukum Islam tidak menyebabkan hilangnya tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan terserbut, karena hubungan anak dengan orang tua dengan anak tidak pernah putus, anak tersebut tetap menjadi anak dari ayah dan ibunya. Dan seorang ayah tetap berkewajiban bertanggung jawab penuh terhadap anaknya baik dari segi nafkah dan pemeliharaannya, dan wajib membayar upah kepada ibu yang memelihara anak tersebut. Jadi tanggung jawab memelihara dan mendidik anak adalah tetap menjadi kewajiban bersama walaupun terjadi perceraian.60

Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang timbul menurut Undang-Undang adalah :

61

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan member keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat member kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.

Sedangkan menurut pasal 149 Kompilasi Hukum Islam huruf d juncto pasal 156 huruf d berdasarkan inpres Nomor 1 Tahun 1991, Bapak

60

Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013

61

(4)

tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya, sekurang kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri sampai umur 21 Tahun .

Selagi anak belum berusia 18 Tahun atau belum menikah ia berada dibawah kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukumnya didalam dan diluar pengadilan.62 Meskipun memegang kuasa namun orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.63

Dampak dari perceraian meyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, dan bagi anak yang remaja kebutuhan fisik maupun psikis tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalurkan dengan memuaskan, dan akibatnya anak merasa terabaikan. Sehingga tidak menutup kemungkinan menyebabkan anak menjadi kasar, tidak terkendali dan bahkan bisa menjadi sangat agresif dan brutal, hal ini dikarenakan anak tidak mendapat kasih sayang orang tua secara bersamaan, dampak seperti inilah yang sangat dibenci dalam pandangan Islam karena bukan kemaslahatan yang terjadi tetapi kemudharatan.

64

62

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

63

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

64

Wawancara dengan Ulama Ahmad zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013

(5)

B. Hadhanah

1.Pengertian Hadhanah

Alhadhanah berasal dari kata hadhanah-yadhunu-hadhan wa hidhanah wa hadhanah, secara bahasa hadhanah memiliki dua arti pokok. Pertama dari alhidnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan pinggang dari sinilah jika dikatakan Ihtadhana al walad mendekapnya yaitu merengkuh dan meletakkannya didalam dekapan (pelukan). Kedua

al-hidhnu adalah janib asy-syay’i (sisi sesuatu). Jika dikatakan Ihtadhana asy-syay’a artinya meletakkan sesuatu itu disisisnya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari pihak lain. Hal ini seperti sdeekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya sehinga telurnya berada disisinya dan dibawah pemeliharaannya.65

Para ahli hukum Islam mendefenisikan Hadhanah dengan maksud melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar , tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup yang memikul tanggung jawabnya.

66

Menurut Ulama Hanafiyah membagi segala urusan yang

berhubungan dengan anak kecil menjadi dua bagian yaitu kewajiban yang

65

Ash Sha’ani, subulus Salam, (Surabaya : terjemahan Abu bakar Muhammad jilid 3, Al Iklash,1995), hlm 819

66

Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Pendidikan dan Pengasuhan Anak menurut Alqur’an dan Sunnah, (Medan : Perdana Publishing, 2012), hal 3

(6)

diserahkan kepada wali anak dan kepada hadhinah (pengasuh) yaitu tugas mendidik. Sedangkan pengarang kitab Al-ikhtiyar mengenainya; tersebut mengatakan, ketika anak masih kecil dan lemah untuk memperhatikan segala kemaslahatan dirinya maka Allah menjadikan untuk tugas tersebut orang yang membimbing dan mengurusnya sehingga urusan harta

kekayaan dan berbagai macam transaksi (akad) diserahkan kepada laki-laki, sebab mereka lebih kuat dan lebih mampu dalam hal tersebut dan untuk perawatan diserahkan kepada perempuan sebab mereka lebih sayang dan lemah lembut serta lebih mampu untuk memberikan pendidikan dan pengasuhan karena Allah telah memberikan kepada mereka rasa cinta, kasih dan sayang, kemampuan, kesabaran dan ketabahan.67

Jika dilihat dari kaca mata hukum, Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak yaitu seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.68

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 point 2, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.69

Sedangkan menurut Instuksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi hukum Islam dalam pasal 98 ayat (1) menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa

67

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta : Ghalia Indonesi, 2009), hal 183

68

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

69

(7)

adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.70

Sedangkan dalam Hukum Islam tidak memberikan batasan usia yang dimaksud dengan anak, karena selama anak itu belum baliqh dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk masih dianggap anak-anak atau belum dewasa.71

Meskipun banyak rumusan mengenai anak namun perbedaan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan terhadap anak karena mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib, dan mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya yang membinasakan.

Dalam istilah fiqh Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinnya putusnya perkawinan, menurut fiqh hal ini secara praktis antara suami isteri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya.72

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadhanah, adalah masalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin, mendidik, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dirinya sendiri, dan hal ini terjadi apabila dua orang suami isteri bercerai, sedangkan

70

Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, pasal 98 ayat 1

71

Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013

72

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal 327

(8)

keduanya mempunyai anak yang belum mummayyiz (belum menguasai kemaslahatan dirinya).

2. Masa Hadhanah

Para Fukaha berbeda pendapat mengenai waktu dan batas hadhanah, kepada empat kelompok pendapat yaitu :73

a. Fukaha Hanafiyah mengatakan masa pengasuhan berakhir untuk anak laki-laki, ketika ia mencapai umur tujuh tahun atau menurut sebagian lagi Sembilan tahun, sedangkan untuk perempuan berakhir ketika anak mencapai umur sembilan tahun atau menurut sebahagian lagi sebelas tahun, setelah itu maka ayah lebih berhak dari keduanya. Kelompok ini dalam menyempurnakan hadhanah membedakannya dengan kias atau analogi berdasarkan batas usia anak perempuan dan laki-laki sebab

hadhanah, itu merupakan suatu bentuk bimbingan (wilayah), karena

hadhanah merupakan hak ibu sehingga hanya berkahir dengan

kedewasaan anak, seperti hak wilayah (wali) dalam urusan harta kekayaan.

b. Fukaha Imam Malik mengatakan masa pengasuhan anak laki-laki itu berakhir dengan ihtilam (mimpi), sedangkan untuk anak perempuan berakhir dengan sampainya ia menikah. Jika ia sampai pada usia menikah sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ibu lebih berhak terhadap anak putrinya sampai ibu tadi menikah lagi. Jika tidak sedang demikian maka anak tersebut dititipkan kepada ayahnya dan jika ayah tidak ada maka dititipkan kepada wali-walinya. Seperti dari hadis yang diriwayatkan Amr bin Syuaib, bahwa Abu Bakar menentukan terhadap Umar bin Khatab ra, mengenai Ashim, “ibunya lebih berhak dengannya daripada Umar selama ia belum menikah.

c. Fukaha Imam Syafii menyebutkan bahwa masa pengasuhan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan berakhir ketika sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun, dan jika ia telah masuk usia tersebut dan berakal sehat maka ia diperbolehkan untuk memilih antara ayah dan ibunya. Menurut hadis Abu Hurairah ra. Bahwa ada seorang perempuan yuang datang kepada Nabi Muhammad saw, seraya berkata, “Sesungguhnya suamiku datang ingin membawa anakku.”Nabi Muhammad saw. bersabda,”ini ayahmu dan ini ibumu maka peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki”. Ternyata anak itu mengambil tangan ibunya. Menurut hadis ini jika ada kedua orang tua yang bertengkar maka sang anak hendaknya diberi kesempatan untuk memilih siapa yang akan ia pilih

d. Fukaha Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat yang paling masyhur mengatakan masa pengasuhan anak itu berakhir sampai anak tersebut berumur tujuh tahun, jika ia telah mencapai usia tersebut, dan untuk

73

(9)

anak laki-laki dipersilahkan memilih diantara kedua orang tuanya tetapi jika ia perempuan maka ayahnya lebih berhak dengannya dan tidak ada hak memilih baginya.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 105 menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mummayiz, atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang telah

mummayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah ataupun

ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.74

Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa pengasuhan untuk anak laki-laki dan perempuan samapai batas umur tamyiz, setelah melewati batas usia umur tersebut jika anak memilih bersama ibunya maka anak tersebut tidak perlu diambil namun jika anak memilih ayahnya maka ayahnya berhak membawa dan memeliharanya sedangkan jika anak laki-laki yang sudah lewat masa tamyiz lebih memilih ibunya maka sang ayah hendaklah ikut membantu mendidik dan mengajarinya, demikian anak perempuan jika ia memilih dengan ibunya maka anak tersebut boleh tinggal bersama ibunya. Sementara anak yang masih dalam pengasuhan jika ia sakit atau gila maka jika ia seorang perempuan secara mutlak ada ditangan ibunya baik kecil ataupun sudah besar, karena seorang ibu lebih sayang kepadanya.75

3. Syarat-Syarat yang Harus dipenuhi Hadhin dalam Hadhanah

74

Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang kompilasi Hukum Islam

75

(10)

Pemeliharaan atau pengasuhan anak harus memenuhi syarat yang telah ditentukan, bagi ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut :76

a. Sudah Dewasa dan Berakal

Orang yang belum dewasa tidak akan mampuh melakukan tugas untuk mengasuh anak, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya belum memenuhi syarat, dan orag yang tidak mempunyai akal sehat dianggap tidak cakap melakukan tindakan hukum karena untuk mengurus dirinya sendiri tidak mampu apalagi untuk orang lain maka orang tersebut tidak boleh menjadi Hadhin. b. Beragama Islam

Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama karena pengasuhan anak termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh, kalau diasuh oleh orang yang bukan islam maka dikhawtirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya, makanya dalam hal pengasuhan anak kesamaan agama antara hadhin (pengasuh) dengan mahdhun (anak yang dipelihara) sangat penting.

c. Amanah

Orang yang dipandang fasik (durhaka kepada Allah SWT, meninggalkan perintahNya, atau keluar dan melanggar ketentuanNya) tidak berhak atas handhanah karena dapat menimbulkan hal yang bersifat negatif terhadap jiwa anak yang dipeliharanya.

d. Tidak bersuami

76

(11)

Hal ini adalah untuk syarat bagi seorang ibu harus belum menikah dengan lelaki lain, jika telah menikah dengan lelaki lain maka gugurlah haknya menjadi hadhin,kecuali suaminya (ayah tiri) rela untuk melakukan hadhanah tersebut.

e. Tidak Murtad

Tidak kembali kepada agama semulanya dengan keluar dari agama Islam, karena bagaimanapun anak yang diasuh harus seiman dengan orang yang mengasuhnya.

Bertempat tinggal yang sama dengan anak yang diasuh

Menurut ulama Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah maka ibu lebih berhak atas Hadhanah, tetapi bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakan perkawinan maka ibu yang berhak tetapi bila pindah ke tempat lain maka ayahlah yang berhak.

4. Dasar Hukum Hadhanah

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak hukumnya wajib, sebagaimana wajibnya memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan, adapun dasarnya menurut Alqur’an adalah :

a. Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 233, yaitu hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan dan hendaklah menyusuinya, dan kewajiban seorang ayah membiayai anak yang masih kecil dan juga istri.

(12)

b. Berdasarkan surat Luqman ayat 12-19 dan surat Al-Mujadillah(58) ayat 11, yaitu hak untuk diberi pendidikan ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar.

c. Berdasarkan surat An-nisa (4) ayat 2, 6, 10, yaitu hak untuk mewarisi harta kekayaan orang tuanya.

d. Berdasarkan surat Al-Qashas ayat 12 yaitu hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya.

e. Berdasarkan surat At-Tahrim ayat 6 yaitu kewajiban orang tua untuk menyiapkan putra-putrinya sehat, kuat baik psikis maupun fisik.

f. Berdasarkan hadist riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, dalam pertanggungjawaban terhadap kesejahteraan dan kesehatan anak Nabi saw, menjelaskan : “ Setiap kamu adalah penanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipercayakan kepadanya, seorang laki-laki bertanggungjawab atas kehidupan keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban kepadanya. Dan seorang isteri bertanggung jawab atas harta benda dan anak-anak suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban kepadanya.77

Sedangkan dalam konteks hukum di Indonesia hadhanah disebut sebagai pemeliharaan anak yang diatur dalam Undang-Undang sebagai berikut yaitu ;

a. Menurut pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Suami dan Isteri yang mengikatkan diri dalam perkawinan,

77

(13)

dan hanya karena itupun terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka.78

b. Menurut pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadi perceraian ;79

1) Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

2) Pemeliharaan anak yang sudah mummayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibu sebagai pemegang hak pemeliharannya.

3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

c. Menurut bab II pasal 2 sampai dengan pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang mengatur hak-hak anak.80

d. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 45 menyebutkan : kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, dan kewajiban itu sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu terus berlaku meskipun kedua orang tua telah bercerai.81

78

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet xxv. (Jakarta ; Pradya Paramita, 1992), hal 23

79

Pasal 105 Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

80

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak

81

(14)

C. Sebab-sebab Timbulnya Hadhanah dan Akibatnya

Pada prinsipnya masalah hadhanah tidak dipermasalahkan jik kedua orang tua melaksanakan tanggung jawabnya dengan kerjasama dan jika terjadi

perceraian tidak mempermasalahkan pada siapa anak tinggal, Kedua orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

Akan tetapi suatu ketika, sebagai manusia mempunyai berbagai permasalahan dan keterbatasan sehingga terjadi persoalan dalam masalah

hadhanah. Adapun sebab timbulnya masalah hadhanah adalah :

1. Apabila kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban pemeliharaan terhadap anaknya atau kedua orang tua meninggal dunia.

Hal ini dapat diketahui dari isyarat yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (3) yang berbunyi :

“Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu”.82

Pasal ini memberikan pengertian, bahwa salah satu penyebab timbulnya masalah hadhanah adalah karena kedua orang tua si anak tidak mampu menjalankan kewajibannya dalam memelihara anak yang lahir dalam perkawinan.

Menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada alasan-alasan

82

(15)

yang berikut :

2) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. la berkelakuan buruk sekali

3) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Ketentuan yang mengatur tentang kuasa asuh orang tua terhadap anaknya juga terdapat dalam pasal 10 Undang-Undang klesejahteraan Anak nomor 4 tahun 1979 yang menyebutkan :83

1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani , rohani maupun sosial sehingga mengabaikan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasanya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal ini ditunjuk orang atau badan sebagai walinya.

2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk membiayai sesuai dengan kemampuan Penghidupannya dalam pemeliharaan dan pendidikan anaknya.

3) Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim.

4) pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2), (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena

83

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak

(16)

diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.84

Jika diperhatikan secara teliti, ketentuan dalam Kompilasi memang lebih tegas daripada dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, karena dalam Kompilasi Hukum Islam konsennya adalah bagi orang Islam, maka penunjukkan Pengadilan Agama dalam penyelesaian masalah yang timbal akibat dari perwalian adalah dalam rangka kepastian hukum.

Contohnya seorang orang tua yang tidak pernah memberikan anaknya nafkah dan kehidupan yang layak yang dikarenakan orang tua tersebut berada di dalam penjara atau tidak pernah diketahui keberadaannya.

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada kaitan antara hadhanah dengan perwalian. Dalam kasus seorang anak yang tidak lagi memiliki orang tua, atau memiliki orang tua namun dipandang tidak cakap untuk merawat anak, maka keberadaan perwalian menjadi sebuah keniscayaan.

Oleh sebab itu di dalam KHI dijelaskan bahwa, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tuanya dan masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Dan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa urutan pemeliharaan yang pertama sekali adalah pihak ibu, dari pihak ibu (nenek) dst ke atas. Diberikan hak prioritas kepada ibu karena ia yang melahirkan dan menyusukan serta ia

84

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Rajawali, 1986), hal. 216

(17)

lebih cakap dalam hal mengasuh dan merawat anak. Ibu lebih sabar dan dapat menahan hati dalam merawat anak, dibandingkan dengan bapak tidak. Oleh karena itu maka didahulukan ibu daripada bapak dalam urusan mengasuh dan merawat anak, untuk kebaikan masa depan anak.

Apabila urutan pihak ibu tidak ada atau tidak memungkinkan, maka pemeliharaan itu beralih kepada pihak bapaknya dan seterusnya sampai ke atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat urutan-urutan sebagai berikut :85

1) Ibu anak tersebut.

2) Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas 3) Nenek dari pihak ayah

4) Saudara kandung anak perempuan tersebut 5) Saudara perempuan seibu

6) Saudara perempuan seayah

7) Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8) Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 9) Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya 10) Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi) 11) Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi) 12) Anak perempuan dari saudara perempuan seayah.

13) Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 14) Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 15) Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. 16) Bibi yang sekandung dengan ayah.

17) Bibi yang seibu dengan ayah. 18) Bibi yang seayah dengan ayah. 19) Bibinya lbu dari pihak ibunya. 20) Bibinya ayah dari pihak ibunya. 21) Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22) Bibinya ibu dari pihak ayah.

Jika anak tersebut mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas, atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuh anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memilih hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing

85

Syeikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta Timur : Darat-Tauji wa An-Nashr Al-Islamiya, 1999), hal.395

(18)

dalam persoalan waris. Dan pengasuhan anak itu beralih kepada :86 1) Ayah kandung anak itu.

2) Kakek dari pihak ayah dan terus keatas. 3) Saudara laki-laki sekandung

5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. 4) Saudara laki-laki seayah.

6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. 7) Paman yang sekandung dengan ayah. 8) Paman yang seayah dengan ayah

9) Pamanya ayah yang sekandung

10) Pamannya ayah yang seayah dengan ayah.

Jika tidak ada seorangpun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada tetapi bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat

1) Saudara laki-laki seibu

Ayah ibu (kakek) yaitu:

2) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu. 3) Paman yang seibu dengan ayah

4) Paman yang sekandung dengan ibu.

Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.

5) Paman yang seayah dengan ibu.

87

Penunjukan wali dilakukan sebisa mungkin berasal dari keluarga anak dibawah umur tersebut, yang oleh Undang-Undang ditetapkan wali tersebut haruslah telah dewasa, berpikiran sehat, berkelakuan adil, jujur dan bertindak baik.88

Akan tetapi meskipan demikian wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua

86

Ibid, hal.396

87

Ibid, hal. 395

88

(19)

yang menjalankan kekuasaan orang tua, yang dilakukan sebelum orang tua si anak tersebut meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.89

Setelah ditunjuk, wali akan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang di bawah penguasaannya beserta harta benda anak dibawah umur yang berada dalam pengasuhannya tersebut dengan sebaik-baiknya dan dengan menghormati agama serta kepercayaan anak tersebut.90 Terhadap harta kekayaan si anak yang berada dibawah kekuaasaannya, wali mempunyai kewajiban untuk:91

1. Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.

2. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya.

3. Mempertanggung jawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dan kelalaian dan kesalahan wali

4. Dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada dibawah kekuasaan wali, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Selama melaksanakan kekuasaannya, wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak tersebut, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.92 Jika terjadi kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dan kesalahannya, maka wali dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap harta si anak yang berada di bawah perwaliannya tersebut.93

Alasan lain dari penunjukkan wali, termasuk wewenangnya untuk mengalihkan barang kekayaan anak yang berada dalam perwaliannya, hanya

89

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahim 1974 tentang Perkawinan

90

Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

91

Pasal 51 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

92

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

93

(20)

diperbolehkan jika kepentingan anak menghendakinya (Pasal 48 jo.Pasal 52 UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila dalam, kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik atau dengan indikasi-indikasi tertentu kelihatan beritikad tidak baik, maka hak perwaliannya dapat dicabut. Prosedur dan tatacaranya dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan atau Pengdilan Agama untuk mencabutnya. Menurut Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 :

(1) Wali dapat dicabut kekuasaanya, dalam hal-hal yang tersebut di dalam Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. (2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 dikuatkan dalam Pasal 109 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Jika terjadi pencabutan kekuasaan seorang wali karena ia melalaikan kewajibannya atau ia berkelakuan tidak baik, hakim dengan keputusannya dapat menunjuk orang lain menjadi wali atas anak yang berada di bawah perwaliannya. Hal ini dilakukan Hakim apabila si anak tidak lagi mempunyai keluarga yang lain atau apabila Hakim memandang keluarga si anak tidak layak menjadi seorang wali karena alasan-alasan tersebut.

(21)

Seorang yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama untuk menjadi wali dan ia menerima penunjukan tersebut wajib menjalankan kekuasaan perwaliannya untuk kepentingan si anak dengan sebaik-baiknya.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perwalian ini

mempunyai beberapa asas. Pertama asas tidak dapat dibagi-bagi, kedua asas persetujuan dari keluarga, ketiga orang-orang yang dipanggil menjadi wali atau yang diangkat menjadi wali.94

2.Perceraian antara Ayah dan Ibu Anak

Perceraian yang menjadi sentral kajian dalam tulisan ini adalah cerai hidup yang terjadi antara suami isteri, sebab keduanya baik syah maupun ibu dari si anak merasa lebih berhak dan lebih pantas memelihara anaknya.

Hal ini disebabkan karena masing-masing pihak merasa lebih sayang kepada anaknya, dan masing-masing pihak merasa tidak percaya kepada pihak lainnya, atau masing-masing pihak merasa dialah yang lebih mampu memberikan kebutuhan kehidupan si anak, maka masing-masing pihak mempertahankan alasannya agar dipandang lebih berhak untuk melaksanakan

hadhanah atas anak yang mereka miliki.

Apabila terjadi perceraian antara suami isteri, baik dengan jalan talaq, khulu’ atau fasakh sedang keduanya mempunyai anak, laki-laki atau perempuan yang masih berumur kurang dari tujuh tahun, maka anak itu dipelihara dan diasuh oleh ibunya karena dialah yang penyayang dan sesuai untuk mengasuh anak. Dan kemudian itu ibu dari ibu dan demikian itulah

94

R.Subekti dalam Soedharyo Soimin, Hukum orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 55.

(22)

seterusnya sampai ke atas.95

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri. Di dalam Pasal 41 Undang-Undang tersebut hanya dijelaskan kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak sehingga anak akan menjadi objek rebutan antara kedua orang tua.

Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-Undang, bahwa untuk nenentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan kepentingan anak apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya harus mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik untuk kehidupan dimasa yang akan datang.96

D. Karakter Hadhanah pada Putusan Pengadilan Agama Medan

Dalam memutuskan perkara Hadhanah hakim menggunakan Kompilasi

95

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakara : AI-Hidayah, 1968), hal. 146.

96

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Haspar Pulungan, pada tanggal 30 Mei 2013.

(23)

Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagai dasar dalam menyelesaikan masalah. Setiap perkara yang masuk khususnya mengenai hadhanah berbeda-beda pokok perkaranya yang menyebabkan putusan

hadhanah itu memiliki karakter yang berbeda dalam setiap putusan.

Dalam hal ini karakter hadhanah pada putusan di Pengadilan Agama Medan dapat dibagi yaitu :97

1. Kondisi anak

Yang dimaksud dengan kondisi anak adalah batas usia anak dan kepentingan anak. Karena setiap perkara hadhanah anak yang dijadikan objek sengketa berbeda-beda usianya dan kepentingan anak tersebut sesusai dengan keadaan fisik dan mentalnya. Maka, dalam hal ini hakim mengkategorikannya bahwa dari :

a. Batas usia anak, didasarkan pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam : 1) Belum mummayiz yaitu anak yang belum berusia dibawah 12 (dua

belas) tahun, maka hak asuhnya ada pada ibu.

2) Sudah mummayiz yaitu anak yang sudah berusia diatas 12 (dua belas0 tahun, maka dalam hal ini hakim dapat menjadikan keterangan anak sebagai acuan untuk memutuskan penetapan hadhanah.

b. Kepentingan anak 1) Kebutuhan jasmani

Kebutuhan jasmani yaitu seperti makanan, pakaian, perumahan,

97 Ibid,

(24)

kesehatan. Hal ini merupakan tanggung jawab seorang ayah dalam hal pembiayaannya. Berdasarkan Pasal 104 (1) Kompilasi Hukum Islam sehingga biaya penetapan hadhanah

Pada anak yang belum mummayiz belum dapat membedakan mana yang bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya, masih sangat membutuhkan pengasuhan seorang ibu. Karena ibu memiliki kesabaran, ketelatenan, dan sikap lemah lembut dibanding seorang ayah sehingga. Pemeliharaan anak lebih diyakini terjamin pada ibu oleh karenanya hadhanah ada pada ibu, seperti contoh seorang bayi yang masih membutuhkan air susu ibunya dan tidak dapat digantikan dengan susu instan, sehingga anak tersebut tidak dapat hidup tanpa ASI maka demi kemaslahatan anak tersebut walaupun seorang ibu telah gugur hak asuhnya, seperti murtad, menikah lagi dengan orang lain namun hak asuh tersebut tetap dapat dimiliki oleh ibunya.

selalu ditetapkan kepada ayah oleh hakim.

2) Kebutuhan jiwa

Kebutuhan jiwa yaitu kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, perlindungan. Dalam hal ini pada anak yang belum mummayiz, seorang ibu dianggap lebih mampu memberikan kebutuhan jiwa tersebut sedangkan pada anak yang sudah mummayiz, telah mengetahui kebutuhan akan jiwanya, orang tuanya yang manakah lebih mengetahuinya, siapakah yang lebih memperhatikannya,

(25)

menyayanginya dan pada siapakah dia merasa nyaman, maka pernyataannya merupakan pertimbangan bagi hakim.

2. Kondisi orang tua (ibu)

a. Ibu yang tidak cacat hukum yaitu seorang ibu yang memenuhi seluruh syarat dan pemegang hadhanah yaitu sudah dewasa, berakal, beragama Islam, amanah, memiliki kepribadian yang baik yang dapat menjadi contoh terhadap anak-anaknya.

Anak yang belum mummayiz, hak asuhnya selalu ada pada seorang ibu yang tidak cacat hukum, kecuali ibu yang tidak cacat hukum tersebut mendapat penyakit atau cacat badan sehingga ia tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai ibu untuk mengurus anak-anaknya. Sedangkan jika anak tersebut sudah mummayiz maka walaupun ibu tidak cacat hukum tapi haknya dalam memilih diantara kedua orang tuanya tetap dipertimbangkan.

b. Ibu yang cacat hukum

Seorang ibu yang cacat hukum tidak dapat memiliki hak asuh pada anak belum mummayiz dan sudah mummayiz

Cacat hukum yang dimaksud adalah :

2) Apabila seorang ibu terbukti melakukan perbuatan tercela seperti berjudi, pemabuk, berbuat zinah, berdasarkan Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.

(26)

anak-anaknya baik kekerasan fisik maupun mental yang dapat merusak pertumbuhan anak.

4) Apabila seorang ibu mendapat hukuman penjara akibat perbuatannya. 5) Apabila seorang ibu murtad yang mengakibatkan dia tidak seiman

dengan anak yang dilahirkannya, maka hak asuhnya gugur karena anak yang dilahirkan secara Islam harus dibesarkan secara Islam juga sehingga orang yang mengasuh anak tersebut harus seiman dengan anak tersebut. Dalam hal ibu berpindah agama, jika pindah agama sebelum proses hadhanah harus digugat dan dibuktikan gugatannya bahwa istri pindah agama dan bila berpindah agama setelah proses

hadhanah maka suami ajukan gugatan hak dengan alasan istrinya

murtad, dalam hal ini hakim memberikan hak hadhanah pada ayah. 6) Apabila seorang ibu terbukti menelantarkan anaknya menyia-nyiakan

anaknya, tidak memeliharanya, merawat dan mendidiknya, padahal b iaya hadhanah tetap diberikan ayahnya, maka hak hadhanah dapat dipindahkan hakim kepada ayahnya.

3. Isi putusan hadhanah

Dalam kasus hadhanah hakim biasanya memutuskan penetapan hadhanah pada ibu dan penetapan biaya hadhanah ada pada ayah, namun putusan yang ditetapkan hakim tergantung pada permohonan penggugat, dalam hal ini yaitu: a. Penetapan hadhanah

Biasanya penetapan hadhanah belum mummayiz ada pada ibu, apabila ibu tersebut cacat hukum maka dapat beralih pada ayah. Jika penggugat

(27)

seorang ibu hanya memohon penetapan hadhanah saja biasanya ibu tersebut mampu secara finansial sehingga ia tidak memerlukan bantuan mantan suaminya dan memohonkan kepada hakim untuk penetapan biaya

hadhanah. Jika penggugat seorang ayah, maka dia tidak dapat

memohonkan penetapan biaya hadhanah karena hal itu merupakan kewajibannya (berdasarkan Pasal 105 huruf C Kompilasi Hukum Islam). Tetapi seorang ayah dapat juga menuntut penetapan sebagai hadhanah apabila dia mampu membuktikan bahwa ibu dari anaknya tidak mampu untuk mengurus anaknya, dalam hal ini cacat hukum.

b. Penetapan biaya hadhanah

Hakim selalu memutuskan penetapan biaya anak pada seorang ayah sesuai pasal 156 Huruf d dan Huruf e Kompilasi Hukum Islam, namun jumlah biaya yang dimohonkan penggugat selalu dipertimbangkan hakim dengan kemampuan tergugat yaitu harus memenuhi rasa keadilan seperti yang dimaksud pada Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam.

Permohonan penetapan biaya hadhanah ini biasanya dimohonkan tergugat karena hilangnya tanggung jawab seorang ayah setelah perceraian dan penggugat (ibu) secara finansial kurang mampu membiayai sendiri kebutuhan anak-anaknya.

(28)

Dalam pandangan hukum Islam maka karakter hadhanah adalah :98 a. Kondisi anak

Dalam hukum Islam tidak ada batas usia hadhanah ditentukan seperti didalam Undang-Undang, namun kedewasaan anak hanya dilihat dari balighnya seorang anak tersebut baik itu laki-laki maupun perempuan, jika anak masih belum baligh dan belum dapat membedakan kebaikan dan keburukan untuk dirinya, maka anak tersebut adalah hak seorang ibu dalam mengasuhnya, tetapi jika sudah baligh maka dapat ditanyakan kepada anak tersebut untuk memilih dengan siapa anak tersebut ikut “bahwasannya Nabi Muhammad SAW, telah menyuruh seorang anak yang sudah mengerti untuk memilih tinggal bersama bapaknya atau ibunya” (Riwayat Ibnu majah dan Tirmizi). Namun dalam Islam tanggung jawab penuh memelihara dan membiayai kehidupan anaknya adalah seorang ayah (berdasarkan Q.S. At. Tahrim : 6), artinya, memelihara dan mengasuh anak merupakan kewajiban ayah namun jika ia dapat melakukannya maka ia wajib membayar upah kepada wanita yang mengasuh anaknya tersebut.

Ajaran Islam bertujuan mempersiapkan anak menjadi qurratu a’yun

(penyejuk hati) karena anak merupakan karunia dan amanah yaitu anak sebagai fitrah dalam hidup (yang diatur dalam QS Al-kahfi), anak sebagai hiasan dalam keluarga (yang diatur dalam QS Al-Taghabun), dan anak sebagai penyejuk hati (QS Al-Furqon).

Berdasarkan hal di atas maka dalam sengketa hadhanah kemaslahatan

98

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 Juli 2013.

(29)

anak yang paling diutamakan. b. Kondisi ibu

a. Ibu yang hadhanahnya tidak gugur

Seorang ibu dapat tetap memiliki hak asuh terhadap anaknya apabila syarat-syaratnya sebagai hadhin terpenuhi, antara lain : dewasa, berakal, beragama Islam amanah, bertempat tinggal yang sama dengan anaknya.

b. Ibu yang hadhanah nya gugur yaitu :

1) Apabila ibu fasik atau pengetahuan agamanya kurang. Hak seorang ibu mengurus anaknya gugur jika ia fasik dan pengetahuan agamanya kurang karena ibu tersebut dianggap tidak akan dapat mendidik anaknya dengan baik.

2) Jika ibu kafir (telah berpindah agama) 3) Jika ibu sudah menikah lagi

Sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW “Engkau lebih berhak mengasuhnya, selama engkau belum kawin dengan lelaki lain” (HR Tarmizi, Al-Bahaqi dan Al-Hakim).

4) Jika ibu tersebut pergi ke tempat yang jauh

Hal ini menyebabkan gugurnya hadhanah karena jika ibu pergi jauh, menyebabkan ayah anak yang diasuh tidak dapat mengunjungi anaknya sehingga anak juga dapat merasakan kehilangan kasih sayang seorang ayah.

(30)

Jika ibu mengidap penyakti yang membahayakan haknya dalam

hadhanah gugur karena bisa membahayakan anak yang diasuhnya

bahkan dirinya sendiri belum tentu ia mampu mengurusnya akibat penyakitnya tersebut, sudah tentu untuk merawat anaknya akan menjadi beban baginya.

6) Jika ibu tersebut gila atau idiot

Jika hak hadhanah ibu gugur maka ayah dapat mengasuh anaknya dengan syarat didampingi wanita lain yang dapat membantunya dan mempunyai kaf’ah dalam mengasuh anak yaitu Islam, baligh, waras akalnya, amanah, mampu mendidik anaknya.

Menurut pendapat ulama hadhanah yang telah gugur itu dapat kembali kepada ibu yakni sesuai dengan pendapat :99

1. Ulama Malikiyyah dalam pendapat yang masyhur berkata, “Jika hak seorang ibu telah gugur karena adanya uzur, seperti sakit, tempat yang membahayakan, pergi atau pindah tempat, dan pergi untuk menunaikan, ibadah haji, kemudian uzur itu hilang karena sembuh dari penyakit atau tempatnya sudah aman, atau pulang dari bepergian maka haknya dalam

hadhanah kembali lagi. Karena, uzur atau penghalang yang menggugurkan

haknya telah hilang. Kaidahnya menyebutkan, “Jika penghalangnya lenyap maka sesuatu yang tadinya terlarang menjadi tidak.

Adapun jika seorang ibu menikah lagi dengan seorang lelaki lain yang bukan mahram dan melakukan hubungan suami istri, atau ia pergi jauh tanpa uzur, namun kemudian menjanda lagi baik karena cerai, nikahnya batal, maupun cerai mati, atau ia kembali lagi dari perjalanan jauh yang tidak ada uzur maka haknya untuk mengurus anak tidak kembali lagi meskipun penghalangnya sudah tidak ada. Alasannya karena gugurnya hak hadhanah itu dari dirinya sendiri dan tidak ada uzur.

2. Ulama Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat, “Jika hak ibu gugur karena ada penghalang, namun kemudian penghalang itu lenyap maka

hak hadhanah itu kembali lagi kepadanya, baik penghalang itu karena

terpaksa seperti sakit, atau penghalang itu karena keinginan sendiri seperti

99

Ad-Durrul Mukhtaar, Vol. 2, hlm. 880, ; asy-Syarhush Shaghiir, Vol.2, hlm. 763 ; Mughnil Muhtaaj, Vol.3, hlm. 456 ; Kasysyaaful Qinaa’, Vol. 5, hlm. 580.

(31)

nikah, bepergian, dan fasik.” Akan tetapi, menurut Hanafiyyah hal itu harus langsung tanpa menunda-nunda waktu bagi perempuan yang

3.

dicerai ba'in meski sebelum selesai iddahnya, namun jika dicerai ba’in meski sebelum selesai iddahnya, namun jika dicerai raj’i maka ia harus menunggu masa iddahnya dulu.

4.

Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa wanita yang dicerai masih berhak mengurus hadhanah anaknya secara langsung sebelum selesai iddahnya, dengan syarat mendapat izin atau ridha dari suami. Namun jika suami tidak memberi izin atau tidak ridha maka wanita itu tidak berhak atas hadhanah anaknya.

Ulama Hanabilah sendiri menetapkan bahwa wanita yang dicerai tetap berhak mengurus hadhanah anaknya, meskipun cerai raj'i dan belum selesai masa iddahnya.

Referensi

Dokumen terkait

Belajar bermakna adalah proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang.. Selanjutnya

Instruksi kerja ini hanya berlaku untuk pekerjaan yang dilaksanakan PPK Irigasi dan Rawa SNVT Pelaksanaan.. Jaringan Pemanfaatan

antara hasil latihan kelincahan dengan hasil belajar sepakbola dapat dilihat pada.

Dari data yang sudah diinterpretasi dan dianalisis, maka disimpulkan bahwa karena pencipta lagu melihat masyarakat Indonesia sudah mulai kehilangan rasa nasionalisme, maka

Negara Indonesia dan Negara Turki sebagai negara yang memiliki landasan ideologi yang berbeda dan sistem hukum yang berbeda pula, zina menurut hukum pidana

Demikian berdasarkan hasil post intervensi pada kelompok yang hanya mendapatkan terapi generalis menunjukan penurunan perilaku kekerasan dalam respon fisik skor

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selama ini telah memeberikan cinta kasih-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan

Namun apabila Surat Pemberitahuan tersebut tidak disampaikan sesuai dengan batas waku yang telah ditentukan, maka wajib pajak. akan dikenai sanksi administrasi