• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteran Sosial Anak di Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta,

dan Provinsi Aceh

Editor

Drs. Edi Suharto, Ph.D.

Penulis

Mulia Astuti dkk.

P3KS Press (Anggota IKAPI) Tahun 2013

(2)

Editor:

Drs. Edi Suharto, Ph.D.

Penulis:

1. Dra. Mulia Astuti, M.Si. 2. Ir. Ruaida Murni

3. Drs. Ahmad Suhendi, M.Si.

Design Cover : Kreasi Tata letak: Kreasi Foto Cover: Peneliti

Cetakan Pertama: Desember 2013

ISBN: 978-979-698-365-0

Penerbit : P3KS Press

Alamat Penerbit : Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta - Timur Telp. (021) 8017126

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

PERPUSTAKAAN NASIONAL: KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)

Mulia Astuti, dkk

Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Studi Kasus: Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) di Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta dan Provinsi Aceh; Jakarta 2013.

(3)

PENGANTAR PENERBIT

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan nikmat-Nya, buku hasil Studi Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak) dapat diselesaikan.

Dalam buku ini memuat informasi menarik tentang Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, khususnya terkait implementasi Program Kesejahteraan Sosial Anak. Oleh karena itu buku hasil studi ini layak untuk diterbitkan.

Buku hasil studi ini dapat memberikan manfaat bagi unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia, pemerintah daerah setempat dalam upaya pengembangan kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak, serta pembaca pada umumnya yang berkecimpung dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.

Pada siklus perumusan kebijakan sosial, studi ini sesungguhnya dapat menjadi keharusan dalam upaya mengetahui sejauhmana kebijakan sosial yang dibuat telah menjawab kebutuhan dan permasalahan anak yang dihadapi masyrakat.

Kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan studi ini, diucapkan terima kasih. Diharapkan buku hasil studi ini layak untuk dibaca

Jakarta, November 2013

(4)

PENGANTAR EDITOR

Puji syukur patut kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmatNya, penulisan buku ini dapat selesai pada waktunya. Buku ini, sesuai dengan judulnya, berisi tentang Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak.

Permasalahan anak menjadi perhatian besar sejak lama. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006), jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 jiwa, dan mengalami peningkatan menjadi 85.146.600 jiwa pada tahun 2008. Sementara itu, Kementerian Sosial melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), sejak tahun 2005 sampai 2013, rata-rata baru bisa menangani 3,7% atau sekitar 170.000 anak/tahun.

Pada tahun 2013, penerima manfaat Program Kesejahteraan Sosial Anak sebesar 175.611 anak. Program ini bertujuan mewujudkan pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud.

Program Kesejahteraan Sosial Anak merupakan bagian dari sistem Kesejahteraan Sosial secara luas. Kesejahteraan sosial sendiri adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya (menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial). Dalam konsep kesejahteraan sosial, harus terdapat aspek pencegahan (primer), penanganan resiko (sekunder), maupun penanganan korban (tersier).

Program Kesejahteraan Sosial Anak juga mencakup aspek perlindungan anak. Disini, titik berat ada pada penanganan masalah yang dialami anak. Konsep ini masuk dalam pelayanan tersier. Dalam PKSA, terdapat 5 cluster pelayanan anak. Cluster tersebut adalah, Anak

(5)

Anak Berhadapan dengan Hukum, Anak dengan Kedisabilitasan, dan Anak Memerlukan Perlindungan Khusus.

Buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini berisikan isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak, Lalu, bagaimana respon Kementerian Sosial dan Kementerian/Lembaga lain terhadap isu-isu tersebut. Dan, apakah Program Kesejahteraan Sosial Anak sudah berjalan efektif. Buku ini juga berupaya menyajikan alternatif kebijakan dan rekomendasi kebijakan prioritas dalam kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak.

Kami berharap, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini bermanfaat bagi Kementerian Sosial dalam menjalankan Program Kesejahteraan Sosial Anak. Lebih luas lagi, semoga buku ini berguna bagi masyarakat umum. Terutama, Kementerian/Lembaga lain, Dinas Sosial, dan semua pihak yang bergerak dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.

Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti, dan semua pihak yang telah membantu. Dengan dukungan berbagai pihak, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini dapat tersusun.

(6)

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT ... iii

PENGANTAR EDITOR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

BAB II : KESEJAHTERAN, PENGASUHAN, DAN PERLINDUNGAN ANAK ... 13

A. Kesejahteraan Anak ... 13

B. Pengasuhan Anak ... 14

C. Perlindungan Anak ... 16

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 24

BAB III : MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN, PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK ... 27

A. Masalah Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 27

B. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 52

BAB IV : EFEKTIVITAS PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK ... 75

A. Dampak PKSA terhadap Penguatan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial Anak ... 76

B. Dampak PKSA terhadap Penguatan Tanggung Jawab Orangtua/ Keluarga dalam Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 84

C. Dampak PKSA terhadap Kesejahteraan Anak ... 87

BAB V : ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 93

A. Alternatif Kebijakan ... 93

(7)

BAB VI : REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS ... 97 A. Tujuan Kebijakan ... 97 B. Sasaran ... 97 C. Strategi ... 97 D. Komponen Program ... 98 E. Kelembagaan ... 98 F. Indikator Kebijakan ... 100 DAFTAR PUSTAKA ... 101 INDEK ... 106 SEKILAS PENULIS ... 109

(8)
(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia telah diatur oleh berbagai kebijakan dan program, antara lain mulai dari Undang Undang Dasar 1945, dimana anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak telah mengatur tentang hak anak yaitu “anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar”, dan tanggung jawab orangtua yaitu bahwa “orangtua bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak”.

Pada tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keppres 36/1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dimana substansi inti dari KHA adalah adanya hak asasi yang dimiliki anak dan ada tanggung jawab Negara-Pemerintah-Masyarakat-dan Orangtua untuk kepentingan terbaik bagi anak agar meningkatnya efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak secara optimal. Kemudian KHA dikuatkan dengan terbitnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Anak, serta kewajiban dan tanggug jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua. Di samping itu juga diatur tentang kuasa asuh, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, serta penyelenggaraan perlindungan.

Permasalahan anak telah direspon oleh berbagai Kementerian/ Lembaga terkait, antara lain Kementerian Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kesehatan, Pendidikan, Agama, Dalam Negeri, Tenaga Kerja, Hukum dan HAM, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga donor dan lembaga kesejahteraan sosial

(10)

di tingkat nasional maupun wilayah. Di lingkup Kementerian Sosial (selanjutnya disebut Kemensos) untuk mempercepat penanganan masalah sosial anak, pada tahun 2009 Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak mulai mengembangkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) melalui kegiatan uji coba penanganan anak jalanan di lima wilayah yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta. PKSA dikuatkan melalui kebijakan pemerintah yaitu keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, dimana diperlukan penyempurnaan program bantuan sosial berbasis keluarga khususnya bidang kesejahteraan sosial anak balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan, anak dengan disabilitas, anak yang berhadapan dengan hukum, dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Selanjutnya PKSA dikuatkan lagi dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang menetapkan PKSA sebagai program prioritas nasional yang meliputi PKSA Balita, PKSA Terlantar, PKS-Anak Jalanan, PKS-Anak yang Berhadapan dengan Hukum, PKS-Anak Dengan Kecacatan, dan PKS-Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.

Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden, telah ditetapkan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 15A/HUK/2010 Tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), dan untuk operasionalisasi PKSA telah diterbitkan Pedoman Operasional Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) melalui Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 29/RS-KSA/2011 Tentang Pedoman Operasional PKSA. Mulai tahun 2010, layanan PKSA telah diperluas jangkauan target sasaran maupun wilayahnya. PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus untuk menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon tantangan dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial anak yang berbasis hak. Perwujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial

(11)

mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orangtua/ keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan.

PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak, termasuk memberikan penekanan pada upaya pencegahan melalui lima komponen program yaitu: 1) pemenuhan kebutuhan dasar, 2) aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, 3) pengembangan potensi dan kreativitas anak, 4) penguatan tanggung jawab orangtua, dan 5) penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. Secara konseptual PKSA lebih komprehensif dan berkelanjutan dibandingkan program pelayanan sosial anak pada tahun-tahun sebelumnya karena sudah berdasarkan pendekatan kepada anak, orangtua atau keluarga (family base care), dan kepada masyarakat yaitu lembaga kesejahteraan sosial yang khusus menangani anak (LKSA).

Sebelumnya, pengasuhan anak dan masalah-masalah perlindungan anak hanya difokuskan pada anak. Keluarga dan masyarakat belum banyak disentuh. Misalnya penanganan anak terlantar, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum lebih banyak diserahkan ke lembaga atau panti sosial dimana di dalam penanganannya orangtua atau keluarga pengganti kurang dilibatkan. Anak lebih banyak dicabut dari lingkungan keluarga. Isu ini dipertegas dengan banyaknya jumlah panti asuhan.

Hasil penelitian Save the Children, Depsos RI dan Unicef, 2007, “memperkirakan terdapat 5.250 hingga 8.610 panti asuhan seluruh Indonesia atau terdapat 225.750 hingga 315.000 anak jika jumlah panti sebanyak 5.250 dan 370.230 hingga 516.600 anak jika jumlah panti 8.610”. Walaupun orangtua mereka masih lengkap, karena faktor kemiskinan dan agar anak dapat terpenuhi kebutuhan dasar

(12)

serta memperoleh layanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan) mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan.

Tiga tahun terakhir ini (2010, 2011, dan 2012), jumlah anak yang telah dilayani melalui panti, luar panti, jumlah tenaga, dan jumlah lembaga yang telah diintervensi melalui PKSA adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah anak melalui Panti dan Luar Panti, SDM dan Lembaga yang telah di Intervensi melalui PKSA No. Jenis Pelayanan 2010 2011 2012

1. Pelayanan dalam panti 2.575 2.470 2.460 2. Pelayanan luar panti 138.641 158.015 170.461 3. Sumber daya manusia (Pekerja Sosial) 350 855 1.111 4 Lembaga kesejahteraan sosial 5.833 5.833 6.728

Sumber: Direktorat Kesejahteraan Anak, 2013.

Dari hasil evaluasi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dalam implementasi PKSA masih terdapat kendala antara lain: 1) PKSA belum memiliki data prevalensi yang baik tentang masalah perlindungan anak dan kebijakan perlindungan anak yang komprehensif, 2) Ada beberapa kasus pemanfaatan bantuan yang digunakan tidak mendorong perubahan perilaku seperti digunakan untuk modal usaha, memenuhi kebutuhan keluarga, membayar sewa rumah dan utang serta membeli hewan peliharaan, 3) Belum adanya rumusan indikator tentang orangtua/keluarga yang dapat merawat dan melindungi anak-anak dengan kecacatan, dan 4) Terbatasnya lembaga pelayanan sosial masyarakat, sarana dan prasarananya dalam menangani masalah sosial anak dengan kecacatan.

Pada tahun 2011 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia, dan Bank Dunia telah melakukan kajian yang berfokus pada PKSA yaitu menganalisis proses pelaksanaan program serta kontribusinya terhadap pengembangan pendekatan

(13)

perlindungan. Hasil kajian tersebut menunjukkan antara lain: “PKSA memberikan manfaat yang sangat berharga kepada mereka yang membutuhkan, meskipun pelaksanaan program tersebut masih memiliki banyak kekurangan”. Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa pelaksana PKSA belum memiliki data dasar untuk mengukur keberhasilannya sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan yaitu: 1) Jumlah anak terlantar (termasuk anak balita), anak jalanan, anak-anak berhadapan dengan hukum, anak-anak-anak-anak penyandang cacat, dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang mampu mengakses layanan dasar meningkat. 2) Persentase orangtua atau keluarga yang bertanggung jawab dalam perawatan dan perlindungan anak meningkat. 3) Jumlah anak yang mengalami masalah sosial menurun. 4) Jumlah lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan jasa perlindungan bagi anak-anak meningkat. 5) Jumlah pelayanan yang diberikan LKSA (Lembaga Pelaksana PKSA) meningkat. 6) Jumlah pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial di bidang kesejahteraan sosial meningkat. 7) Jumlah kerangka hukum yang mengatur perawatan dan perlindungan anak sebagai dasar hukum PKSA bertambah. Hasil penelitian ini mengharapkan KEMENSOS dan BAPPENAS harus bekerja dengan lebih terstruktur untuk mempromosikan integrasi perlindungan anak dalam kebijakan Negara di bidang sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian dan bukti yang dapat membantu pengembangan sistem kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak.

Sehubungan dengan masih adanya permasalahan dalam implementasi kebijakan kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak khususnya dalam pelaksanaan PKSA, maka Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial memandang perlu melakukan penelitian kebijakan ini. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan bukti terbaik dalam mendukung pengembangan kebijakan, memperjuangkan penyusunan peraturan yang memadai, berpusat pada anak, keluarga, dan masyarakat serta non diskriminatif.

(14)

Walaupun sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden sampai dengan Keputusan Menteri, namun dalam implementasinya belum didukung oleh sumber daya manusia (SDM), anggaran, sarana dan prasarana serta sistem yang memadai, sehingga masih banyak bermunculan permasalahan pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak. Pada 2011 jumlah Anak Balita Terlantar 1.224.168 jiwa atau sekitar 5,77 persen dari 21,22 juta jiwa anak Balita, Anak Terlantar 3.115.777 jiwa atau 5,36 persen dari 58,17 juta jiwa anak usia 5-17 tahun (Kementerian Sosial RI Dalam Angka 2012), dan anak dengan disabilitas pada tahun 2009 berjumlah 438,39 ribu jiwa atau 0,55 persen dari jumlah seluruh anak (Profil PMKS, 2011). Disamping permasalahan konvensional tersebut, saat ini banyak muncul permasalahan kontemporer seperti anak dengan narkoba atau HIV/AIDS yang belum terakomodir dalam substasi peraturan perundang-undangan. Jumlahnyapun belum terdata secara regular oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi tergantung dari pelaporan keluarga ataupun masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan pokok dalam penelitian adalah:

1. Apa saja masalah/isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak? 2. Bagaimana respon Kemensos dan K/L lain terhadap masalah/

isu-isu tersebut?

3. Bagaimana efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)? Tujuan penelitian yang diharapkan dapat tercapai adalah:

1. Mengetahui masalah/isu-isu anak, keluarga dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak.

(15)

3. Mengetahui efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).

4. Menyusun rekomendasi pengembangan kebijakan kesejahteraan anak yang memadai, yaitu berpusat pada anak dan keluarga, serta masyarakat.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan dan program yang terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak, serta sebagai wacana pengembangan keilmuan, terkait dengan perlindungan Anak.

Untuk menyamakan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan definisi operasional sebagai berikut:

1. Kebijakan adalah suatu ketetapan pemerintah, memuat prinsip-prinsip yang mengarahkan cara-cara bertindak untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Kebijakan Sosial adalah suatu ketetapan pemerintah yang memberi arah atau petunjuk cara-cara bertindak yang diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas hidup. 3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

4. Kesejahteraan Sosial Anak adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial anak agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

5. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas

(16)

pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orangtua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak.

6. Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan Program Kesejahteraan Sosial Anak, yang dibentuk oleh masyarakat atau difasilitasi pemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

7. Pendamping PKSA adalah Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak, atau Relawan Sosial yang memenuhi syarat kompetensi untuk melakukan pendampingan, yang direkrut oleh dan bekerja untuk LKSA, yang fungsinya adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan khusus kepada anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA, serta lingkungan komunitas/ masyarakat.

8. Pengasuhan Anak. Dalam kerangka hak anak, keluarga adalah tempat pengasuhan yang utama. Selain itu dalam kerangka hak anak, pengasuhan bukan karena anak adalah properti/milik orangtua, tetapi lebih karena duty (kewajiban). Dalam kerangka hak anak, pengasuhan tidak hanya ada di tangan orangtua yang melahirkannya, tetapi bisa dilakukan oleh “orangtua” yang lain yang bisa menjamin anak akan tumbuh dan berkembang dengan layak.

9. Pelayanan Pengasuhan adalah berbagai jenis pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan anak akan pengasuhan, baik dalam keluarganya maupun keluarga pengganti.

10. Pengasuhan Alternatif adalah pengasuhan yang diberikan oleh pihak selain keluarga inti kepada anak, akibat ketidakmampuan keluarga inti dalam menyediakan pengasuhan yang baik untuk anak. Pengasuhan ini dapat dilakukan melalui orangtua asuh, perwalian, dan adopsi.

(17)

11. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus pada PKSA. Lokasi penelitian ditentukan di tiga provinsi. Sesuai dengan hasil konsulatasi dengan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, dipilih lokasi dimana PKSA sudah dilaksanakan untuk semua kluster yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan DKI Jakarta. Pada masing-masing provinsi ditentukan dua kabupaten/kota. Pada masing-masing kabupaten/kota ditentukan informan yaitu penerima PKSA (anak dan orangtua), pendamping, LKSA, dan tokoh masyarakat.

Selain itu juga ada beberapa informan dari pemangku kepentingan antara lain: Pada tingkat pusat: Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Direktur Kesejahteraan Sosial Anak, Direktur Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

UNICEF, Komnas Perlindungan Anak, dan Komite Perlindungan

Anak Indonesia (KPAI). Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota: Dinas Sosial Provinsi, Dinas Sosial kabupaten/kota, Anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, Bappeda provinsi dan kabupaten/ kota, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan, Kepolisian RI, Pengadilan Anak, Forum LKSA, TPA/KB, Rumah Singgah, FKKADK, PSAA, Pendamping PKSA, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), Tokoh Masyarakat, Orangtua/anak, Seksi Sosial Kecamatan, dan unsur terkait lainnya.

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam secara perorangan dan kelompok (FGD), observasi, dan studi

(18)

kepustakaan/dokumentasi dengan menggunakan pedoman. Secara rinci jumlah informan yang terkait dengan penerima PKSA dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Jumlah Informan Berdasarkan Lokasi dan Fokus Penelitian

Lokus Fokus Informan Jumlah Keterangan Aceh:

xKabupaten Aceh Besar xKota Banda Aceh

xABT xABH xADK xAntar Anak Orangtua LKS Pendamping Pengawas kab & prov Tokoh masyarakat 8 orang 8 orang 4 orang 4 orang 3 orang 4 orang Masing-masing fokus 2 anak+ 2 Ortu + 1 SP +1 LKS +1 petugas prov + 2 petugas kab/kota + tokoh masyarakat 4 DKI: xJakarta Timur xJakarta Pusat xABH xAMPK xABT xAnjal Anak Orangtua LKS Pendamping Pengawas kab & prov Tokoh masyarakat 8 orang 8 orang 4 orang 4 orang 3 orang 4 orang

Jumlah di setiap lokus (prov) 31 orang DIY: xKabupaten Sleman xKota Yogyakarta xAntar xAMPK xADK xAnjal Anak Orangtua LKS Pendamping Pelaksana kab & prov Tokoh masyarakat 8 orang 8 orang 4 orang 4 orang 3 orang 4 orang Jumlah keseluruhan 93 orang

Dalam pelaksanaan pengumpulan data terdapat berbagai hambatan antara keterbatasan waktu di lapangan sehingga tidak semua informan yang direncanakan dapat dihubungi dan terkait dengan informan yang sulit dihubungi karena kesibukan mereka sebagai pelaksana kebijakan, baik di tingkat nasional maupun di provinsi dan kabupaten/kota.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis retrospektif yaitu mengkaji kebijakan sosial setelah kebijakan itu diimplementasikan. Fokus kajian menggunakan model analisis dampak yaitu mengevaluasi efektivitas kebijakan sosial berdasarkan tujuan atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut. Penelitian ini mengkaji kebijakan kesejahteraan dan perlindungan

(19)

anak yang sudah diimplementasikan dengan studi kasus mengevaluasi pelaksanaan PKSA selama 3 tahun terakhir (2010-2012).

Data yang telah terkumpul dilakukan pengelompokan, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan model analisis sebagai berikut:

(20)
(21)

BAB II

KESEJAHTERAN, PENGASUHAN,

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak adalah tiga konsep yang tidak terpisahkan dimana untuk mencapai kesejahteraan, anak membutuhkan pengasuhan dan perlindungan. Bab ini menguraikan tentang ketiga konsep tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

A. Kesejahteraan Anak

Sebagaimana diuraikan dalam Child and Family Services Review

process, ada tiga variabel kesejahteraan. Tiga variabel kesejahteraan

dikonseptualisasikan dalam kerangka berikut yaitu: Pertama, kesejahteraan dalam arti keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Konsep ini mencakup pertimbangan kebutuhan dan pelayanan kepada anak-anak, orangtua, dan orangtua asuh serta keterlibatan anak-anak-anak, remaja, dan keluarga dalam perencanaan pemecahan masalah. Dalam hal ini kunjungan pekerja sosial dengan anak-anak dan orangtua merupakan hal yang penting, karena hasil penelitian pada 52 negara bagian dan teritori telah menemukan hubungan yang kuat dan positif yang signifikan secara statistik antara kunjungan petugas sosial dengan anak-anak dan hasil keselamatan dan/kesejahteraan anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Biro Anak, ada nilai "kekuatan" untuk kunjungan petugas sosial dengan anak yang berkaitan secara bermakna dengan nilai “pencapaian substansial” untuk peringkat kelima dari tujuh hasil (www.acf.hhs.gov/program/

cb, diambil September 28, 2004). Kedua, kesejahteraan dalam

arti: anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, kesejahteraan dalam arti: anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental

(22)

mereka. (CHILD WELFARE, For The Twenty-First Century, 2005) Dalam kenyataannya, yang pertama adalah yang paling umum dan paling luas cakupannya.

Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979, diamanatkan bahwa Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan

penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

B. Pengasuhan Anak

Pengasuhan adalah sebuah proses mengasuh, merawat, membimbing, dan mendukung anak baik secara fisik, sosial, intelektual, dan beragam aspek perkembangan lainnya. Sebesar apa sense of giving pelaku pengasuhan menjadi kunci yang akan menentukan kualitas proses pengasuhan yang didapatkan anak (Goldenline, STIF in Padang, 10_12_2013). Anak merupakan anugerah yang tidak dapat dinilai oleh apapun bagi pasangan suami isteri yang membentuk dalam suatu keluarga. Karena tidak setiap pasangan suami isteri diberikan keturunan berupa anak. Setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini harus mendapatkan kehidupan yang layak. Sampai seorang Aristoteles, mengatakan bahwa “anak layaknya

bagian tubuh orangtuanya, oleh sebab itu orangtua memiliki hak atas pengasuhan anaknya”. Pendapat senada juga dikemukakan oleh John

Lock, yang mengatakan “anak diproduksi atas jerih payah orangtua, oleh sebab itu orangtua punya hak atas pengasuhan anaknya”. Bahkan menurut teori property dikatakan, bahwa anak adalah milik orangtua. Oleh karena itu, anak wajib diasuh dengan sebaik-baiknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan semestinya.

Menurut Mohamad Afrizal, pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama pada masa kritis yaitu usia 0-8 tahun. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orangtua,

(23)

baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam dan berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologisnya. Dengan demikian, kehilangan atau berpisah dari keluarga ini akan meningkatkan risiko kesehatan, perkembangan, dan kesejahteraan anak secara keseluruhan. Risiko ini akan meningkat, apabila kehilangan ini terjadi dalam masa kritis pertumbuhan anak, yaitu masa awal kanak-kanak. Akibat bencana alam, perang, perceraian, kematian orangtua dan anggota keluarga lainnya, dan kelahiran tak dikehendaki seorang anak dapat mengalami kesulitan berkembang menjadi manusia dewasa seutuhnya.

Lebih lanjut dikatakan dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang, maka secara konseptual pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asah, asih, dan asuh) terpenuhi dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Akan tetapi, praktiknya tidaklah sesederhana itu karena praktik ini berjalan secara informal, sering dibumbui dengan hal-hal yang tanpa disadari dan tanpa disengaja serta lebih diwujudkan oleh suasana emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi dalam bentuk interaksi antara orangtua dan anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan inter dan intra personal orang-orang di sekitar anak tersebut dan anak itu sendiri sangat memberi warna pada praktik pengasuhan anak.

Menurut Sunarwati dalam Mohamad Afrizal (2007), pengasuhan anak oleh substitusi ibu, baik yang paruh waktu (misalnya di tempat penitipan anak) maupun yang punya waktu (misalnya oleh pramusiwi) harus selalu memperhatikan hal-hal tersebut di atas yaitu pada dasarnya agar prinsip asah, asih, dan asuh didapatkan anak dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dalam pengasuhan anak ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu bahwa setiap anak

(24)

kandung yang dimilikinya, di dalam rumah mereka sendiri, dan di dalam lingkungan yang mendukungnya (http://mohamadafrizal. wordpress.com/paud/pengasuhan-anak/, diunduh 10_12_2013). C. Perlindungan Anak

Di Indonesia, Perlindungan Anak diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Azas dan Tujuan Perlindungan Anak

Penyelenggaraan perlindungan anak berazaskan Pancasila dan berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

(25)

Sejalan dengan tujuan tersebut, maka hakekat perlindungan anak Indonesia adalah perlindungan keberlanjutan, karena merekalah yang akan mengambil alih peran dan perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Layanan Perlindungan Anak (Child Protective Services/ CPS) Program layanan perlindungan anak ( CPS) merupakan program inti di semua lembaga kesejahteraan anak yang mengupayakan keselamatan anak bekerjasama dengan lembaga masyarakat. Lebih luas, CPS “mengacu pada perangkat hukum yang sangat khusus, mekanisme pendanaan, respon lembaga bersama pemerintah untuk melaporkan penyalahgunaan dan penelantaran anak” (Waldfogel, 1999). Dasar program CPS berasal dari hukum yang dibentuk di setiap negara yang mendefinisikan kekerasan dan penelantaran anak serta menentukan bagaimana lembaga CPS harus menanggapi laporan penganiayaan anak. Pekerja sosial di lembaga-lembaga CPS memiliki tanggung jawab untuk mengatasi efek dari penganiayaan, menerapkan respon layanan yang akan menjaga anak-anak dan remaja aman dari penyalahgunaan dan penelantaran, serta bekerjasama dengan keluarga untuk mencegah kemungkinan terjadinya penganiayaan di masa yang akan datang (Depanfilis & Salus 2003, Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia US, 1988).

Dalam mendukung kesejahteraan anak dan remaja para penulis (Altman; Cohen, Hornsby, and Priester; Kemp, Allen- Eckard, Ackroyd, Becker, and Burke; and Chahine and Higgins) dalam tulisannya Systemic Issues in Child Welfare, fokus pada beberapa faktor kunci dalam bekerja dengan keluarga yaitu melibatkan anak dan remaja, keluarga dan masyarakat dalam proses asesmen melalui konfrensi tim. Filosofi layanan perlindungan anak menurut De Panfilis dan Salus 2003, Lembaga Layanan Perlindungan Anak

(26)

bekerja berdasarkan keyakinan filosofis bahwa setiap anak memiliki hak untuk pengasuhan dan pengawasan yang memadai dan bebas dari penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi. Hukum melindungi anak-anak dan remaja, menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab orangtua untuk memperhatikan kebutuhan fisik, mental, emosional, dan kesehatan anak-anak mereka terpenuhi secara memadai. Asumsi lainnya adalah bahwa Layanan Perlindungan Anak harus campur tangan ketika orangtua meminta bantuan atau gagal, atau lalai dalam memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan menjaga mereka agar aman dari penyalahgunaan atau penelantaran, seperti yang didefinisikan oleh undang-undang negara sipil (Gerald P. Mallon and Peg Mc Cartt Hess, 2005).

Penyalahgunaan dan Penelantaran Anak

Penelantaran dapat didefinisikan sebagai kelalaian dalam pengasuhan oleh orang yang bertanggung jawab (misalnya, orangtua atau pengasuh lainnya), yang mengakibatkan kerugian signifikan atau risiko bahaya yang signifikan terhadap anak dan remaja (Dubowitz, 2000). Penelantaran lebih lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak dalam perawatan fisik, pengawasan, dan perlindungan, pemeliharaan, pendidikan, dan kesehatan.

Kekerasan fisik dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak atau remaja itu, yang mengakibatkan cedera fisik yang signifikan atau risiko cedera tersebut (Dubowitz, 2000). Contoh tindakan yang ditimbulkan termasuk meninju, memukul, menendang, menggigit, mengguncangkan, melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau memukul dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain (Goldman & Salus, 2003).

Pelecehan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan seksual tanpa kesepakatan, motivasi perilaku seksual yang melibatkan anak

(27)

dan remaja, atau eksploitasi seksual terhadap anak (Berliner, 2000) oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Pelecehan seksual anak termasuk perilaku yang lebih luas, seperti oral, anal penetrasi penis, atau alat kelamin, digital anal atau genital atau penetrasi lain, kontak kelamin dengan non intrusi, cumbuan payudara anak atau pantat, penampilan senonoh, supervisi yang tidak memadai atau tidak dari kegiatan sukarela seksual anak, dan penggunaan anak atau remaja dalam prostitusi, pornografi, kejahatan internet, atau kegiatan seksual eksploitatif lainnya (Goldman & Salus, 2003).

Penganiayaan psikologis dapat didefinisikan sebagai pola berulang dari perilaku atau kejadian ekstrim oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak yang menyampaikan kepada anak bahwa ia tidak berharga, cacat, tidak dicintai, tidak diinginkan, terancam, atau hanya bernilai jika menemukan orang lain yang membutuhkan, oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Masyarakat profesional Amerika tentang Penyalahgunaan Anak, 1995). Penganiayaan psikologis meliputi baik tindakan pelecehan terhadap anak atau remaja dan kelalaian dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk penolakan secara angkuh (misalnya, perilaku bermusuhan menolak dan merendahkan); teror (misalnya, ancaman untuk menyakiti anak atau seseorang yang penting untuk anak), mengeksploitasi atau merusak (misalnya, mendorong anak atau remaja untuk berpartisipasi dalam merusak diri sendiri atau perilaku kriminal); menyangkal respon emosional (misalnya, mengabaikan atau gagal untuk mengekspresikan kasih sayang), dan mengisolasi (misalnya, membatasi anak mendapatkan pengalaman sesuai dengan tahapan perkembangan) (Brassard & Hart, 2000).

Tahapan proses Layanan Perlindungan Anak

Untuk memenuhi tujuan perlindungan anak, CPS menerima laporan penganiayaan anak yang dicurigai, menilai risiko

(28)

dan keamanan anak-anak dan remaja, dan menyediakan atau mengatur layanan untuk meningkatkan keamanan, kestabilan dan kesejahteraan anak-anak dan remaja yang telah disalahgunakan atau diabaikan atau yang beresiko disalahgunakan atau ditelantarkan. Setiap penanganan masalah dilakukan melalui satu atau lebih rangkaian tahapan proses CPS yaitu: (1) penerimaan, (2) asesmen awal/investigasi, (3) penilaian keluarga, (4) perencanaan intervensi, (5) penyediaan layanan, (6) Evaluasi kemajuan kasus, dan (7) penutupan kasus. Keputusan kunci bervariasi pada masing-masing tahapan proses (De Panfilis & Salus, 2003).

Intake (penerimaan)

CPS bertanggung jawab untuk menerima dan menanggapi

laporan pelecehan dan penelantaran anak yang dicurigai. Keputusan kunci pada tahap ini adalah: (1) menentukan apakah informasi yang dilaporkan sesuai kriteria yang ada dalam pedoman lembaga untuk penganiayaan anak yang didasarkan hasil kontak tatap-muka dengan anak atau remaja dan keluarganya dan (2) untuk menentukan urgensinya, lembaga harus menanggapi laporan tersebut. Petugas penerimaan mewawancarai orang yang menelepon tentang laporan pelecehan atau penelantaran anak yang dicurigai untuk membuat keputusan.

Asesmen awal

Setelah menerima laporan, CPS melakukan penilaian awal/ penyelidikan dengan mewawancarai anak atau remaja, saudara, orangtua atau pengasuh lainnya, dan individu lain yang mungkin memiliki informasi mengenai dugaan penganiayaan. Jika informasi menunjukkan bahwa kejahatan mungkin telah dilakukan, kontak-kontak dengan CPS biasanya dikoordinasikan dengan penegak hukum. Dua penilaian utama yang dilakukan pada tahap ini adalah penilaian terhadap keselamatan anak (misalnya, apakah ada risiko besar akan kerusakan parah) dan penilaian risiko penganiayaan

(29)

(yaitu, kemungkinan penganiayaan anak di masa depan).

Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan: (1) apakah penganiayaan anak terjadi seperti yang didefinisikan oleh hukum negara, (2) apakah kelangsungan keselamatran anak atau pemuda mengkhawatirkan dan, jika demikian, intervensi yang akan dilakukan untuk menjamin perlindungan anak, (3) apakah ada risiko penganiayaan masa depan dan tingkat resikonya, dan (4) apakah jasa keagenan terus diperlukan untuk membantu keluarga menjaga keamanan anak, mengurangi risiko penganiayaan di masa depan, dan mengatasi efek penganiayaan anak. Beberapa kasus ditutup pada tahap ini jika tidak ada dasar untuk memberikan layanan kepada anak atau remaja dan keluarga.

Asesmen keluarga

Asesmen keluarga adalah suatu proses yang komprehensif untuk mengidentifikasi, mengingat, dan mencari faktor yang mempengaruhi keselamatan, kestabilan dan kesejahteraan anak atau remaja. Tujuan dari asesmen ini adalah untuk mengembangkan kemitraan dengan keluarga, rencana pelayanan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak (Department Kesehatan dan Layanan Manusia US, 2000). Pada tahap ini, pekerja CPS melibatkan anggota keluarga dalam proses untuk memahami kekuatan, risiko, dan kebutuhan intervensi.

Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan: (1) faktor risiko yang menyebabkan kekhawatiran bahwa anak dapat dianiaya di masa depan, (2) faktor-faktor protektif atau kekuatan yang dapat mengurangi kemungkinan penganiayaan masa depan, (3) efek penganiayaan yang diamati pada anak dan/atau anggota keluarga lainnya, dan (4) tingkat motivasi atau kesiapan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam intervensi yang akan mengurangi risiko penganiayaan dan mengatasi efek penganiayaan.

(30)

Rencana Intervensi

Untuk mencapai hasil program CPS yaitu, keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak, serta keluarga, intervensi harus direncanakan dan bertujuan. Hasil ini dicapai melalui tiga jenis rencana: (1) rencana keselamatan, yang dikembangkan berdasarkan bahwa anak berada pada risiko kerusakan parah dalam waktu dekat, (2) rencana kasus, yang mengikuti asesmen keluarga dan menetapkan hasil dan tujuan dan menjelaskan bagaimana keluarga bekerja menuju hasil tersebut, dan (3) jika seorang anak atau remaja telah ditempatkan dalam pengasuhan luar rumah

(out-of-home care), dalam waktu bersamaan disusun rencana kasus dengan

mengidentifikasi bentuk-bentuk alternatif bagaimana penyatuan kembali atau keajekan dengan orangtua baru dapat tercapai jika usaha untuk menyatukan kembali gagal.

Keputusan penting pada tahap perencanaan kasus adalah untuk menentukan: (1) hasil kasus yang menjadi target intervensi (misalnya, fungsi keluarga ditingkatkan, mengontrol perilaku emosi, meningkatkan harga diri, meningkatkan interaksi orangtua-anak), (2) tujuan kasus yang akan membantu anggota keluarga berhasil, (3) intervensi terbaik yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan dan hasil, dan (4) penyedia terbaik intervensi.

Penyediaan layanan

Tahap di mana rencana kasus diimplementasikan. Pada tahap ini peran pekerja CPS adalah untuk mengatur, memberikan, dan/atau mengkoordinasikan pelayanan kepada anak-anak yang teraniaya, orangtua atau pengasuh lainnya, serta keluarga. Pelayanan selektif untuk membantu keluarga mencapai manfaat dan tujuan berdasarkan kesesuaian pelayanan dengan tujuan dan prinsip-prinsip praktak terbaik. Keputusan penting pada tahap ini meliputi: (1) mengidentifikasi layanan khusus yang akan diberikan dan intensitas serta durasi pelayanan, (2) menentukan siapa yang

(31)

terbaik diposisikan untuk memberikan layanan ini, (3) menentukan interval yang tepat untuk mengevaluasi kemajuan keluarga, dan (4) menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasikan para penyedia layanan (misalnya, mengembangkan berbagi informasi, jadwal pertemuan tim).

Evaluasi kemajuan

Penilaian adalah proses yang berkelanjutan yang dimulai dengan kontak dengan klien dan berlanjut sepanjang penanganan kasus. Kemajuan pencapaian hasil dan tujuan harus dievaluasi secara resmi setidaknya setiap 3 bulan. Keputusan kunci yang harus dibuat selama tahap proses ini mencakup penilaian: (1) status keamanan anak atau remaja saat ini, (2) tingkat pencapaian manfaat keluarga, (3) tingkat pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas sesuai rencana kasus, (4) perubahan risiko dan faktor perlindungan yang telah diidentifikasi, dan (5) tingkat keberhasilan dalam mengatasi salah satu dari efek penganiayaan pada anak atau remaja dan anggota keluarga lainnya. Penutupan kasus

Proses mengakhiri hubungan antara pekerja CPS dan keluarga dengan melibatkannya dalam proses penilaian kemajuan kasus sejak dari awal, tengah, dan akhir. Secara optimal kasus ditutup ketika keluarga telah mencapai manfaat dan tujuan mereka, yaitu anak-anak atau remaja aman, dan risiko penganiayaan telah dikurangi atau dihilangkan. Kasus kadang-kadang ditutup, namun keluarga masih membutuhkan bantuan. Bila kebutuhan masih jelas, upaya lain dilakukan untuk membantu keluarga menerima layanan melalui lembaga masyarakat yang sesuai. Untuk mengukur keberhasilan perlindungan anak menurut ASFA (1997) lembaga CPS merancang pengukuran pencapaian hasil program perlindungan anak yaitu: 1) anak dan remaja dalam keadaan aman, 2) anak dan remaja stabil hidup dalam keluarga, 3) anak dan remaja sejahtera, dan 4) keluarga sejahtera (Courtney, 2000).

(32)

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak antara lain: pelaksanaan peran dan fungsi keluarga atau keluarga pengganti, dan keberfungsian lembaga perlindungan anak dan penerapan sanksi terhadap pelaku perlakuan salah terhadap anak. Setiap keluarga memiliki sejumlah peranan yang mesti dilaksanakan. Menurut Jhonson (1988), peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut: 1) Ayah sebagai suami dan ayah dari anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2) Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 3) Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Selain memiliki peranan, setiap keluarga juga memiliki sejumlah fungsi yang mesti dilaksanakan. Menurut Zastrow (1999), beberapa fungsi keluarga, yaitu: 1) Replacement of the population. Replacement yang berarti adanya fungsi regenerasi. 2) Care of the young, yang berarti pengasuhan dan perawatan, sampai anak memasuki usia remaja. Dalam posisi seperti ini keluarga merupakan meta institusi di dalam kehidupan anak. 3) Sosialization of new members, fungsi untuk mensosialisasikan nilai-nilai budaya, norma, bahasa, dan

(33)

lain-lain kepada anggota keluarga. 4) Regulation of Sosial behavior, fungsi pengaturan perilaku sosial. Kegagalan pengaturan perilaku sosial akan menghasilkan ketidakcocokan dengan harapan yang diinginkan. 5) Source of affection. Fungsi untuk memberikan kasih sayang, cinta yang tulus kepada semua anggota keluarga. Bilamana hal ini mengalami kegagalan, maka keluarga akan menjadi kurang harmonis.

Berdasarkan uraian tentang konsep kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak dan remaja sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dalam merumuskankan kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak seyogyanya memperhatikan kaidah-kaidah dari konsep tersebut.

(34)
(35)

BAB III

MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN,

PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Anak merupakan anggota masyarakat yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kelangsungan hidup bangsa. Anak yang tumbuh kembang secara wajar dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan pembangunan bangsa. Sebaliknya jika mereka mengalami berbagai hambatan dalam tumbuh kembangnya akan menjadi beban bagi masyarakat dan Negara. Hambatan dalam tumbuh kembang anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain tidak terpenuhi hak-haknya oleh orangtua, keluarga, msyarakat, dan pemerintah.

Bab tiga ini menguraikan tentang masalah/isu-isu dalam kontek kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak serta kebijakan Kementerian Sosial RI dan K/L lainnya dalam merespon masalah/isu-isu tersebut. Masalah dan kebijakan yang disajikan merupakan hasil kajian data sekunder maupun primer hasil penelitian lapangan.

A. Masalah Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak Masalah/isu-isu yang terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi. Kesejahteraan sosial anak sangat dipengaruhi oleh kewajiban orangtua dalam pengasuhan anak, dan kewajiban orangtua, keluarga, masyarakat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya melindungi anak dari tindak kekerasan dan perlakuan salah. Ditinjau dari kesejahteraan sosial, permasalahan anak disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan anak baik jasmani, rohani, dan sosial sehingga akan mempengaruhi tumbuh kembang anak secara wajar. Bila dilihat dari konvensi hak anak, permasalahan anak disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak anak yaitu 1) Hak sipil dan kebebasan fundamental, 2) Kesehatan,

(36)

gizi, air dan sanitasi lingkungan, 3) Lingkungan keluarga dan perawatan alternatif, 4) Pendidikan, waktu bersantai dan main & kegiatan budaya, dan 5) Perlindungan khusus.

Permasalahan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak dapat bersumber dari berbagai pihak yaitu anak itu sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas lagi yaitu kemajuan teknologi komunikasi dan globalisasi. Dalam tulisan ini masalah/isu-isu tentang anak dilihat dalam konteks kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak diuraikan berikut ini.

1. Masalah/Isu-isu dalam konteks Kesejahteraan Anak

Dalam konteks kesejahteraan sosial anak, permasalahannya adalah belum terpenuhinya hak-hak dasar anak seperti hak sipil dan kebebasan fundamental, kesehatan, gizi, air dan sanitasi lingkungan, dan pendidikan. Kondisi anak yang demikian kita kenal dengan keterlantaran pada anak, baik pada anak Balita maupun pada anak usia 6-17 tahun. Kondisi Balita terlantar di Indonesia dapat dilihat pada uaraian berikut.

Jumlah Balita di Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan 21,22 juta jiwa (Susenas, 2009). Persentase Balita Terlantar tercatat 5,77 persen, hampir terlantar 20,17 persen, dan tidak terlantar 74,06. Kebanyakan mereka barada di Perdesaan yaitu 6,25 persen dan di Perkotaan 5,23 persen.

Sumber: BPS RI - Susenas MSPB 2009

Diagram 1. Perkiraan Persentase Balita menurut Kategori Keterlantaran

(37)

Menurut Profil PMKS (2011:h.104), Anak Balita Terlantar adalah “anak berumur 0-4 tahun yang karena suatu sebab, orangtuanya melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhannya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani, maupun sosial”. Kriteria keterlantaran pada Balita antara lain: 1) Balita yang tidak pernah diberi air susu ibu (ASI), 2) Balita tidak mempunyai bapak/ibu kandung, 3) Frekunsi makan makan pokok Balita, 4) Frekuensi makan lauk pauk berprotein tinggi, 5) Ibu Balita yang bertanggung jawab, bekerja, 6) Balita sakit tidak diobati, dan 7) Pengasuh Balita.

Balita terlantar menurut BPS dalam Pusdatin 2011, pada Tahun 2009 kondisinya adalah sebagai berikut:

a. Balita yang tidak diberi ASI selama seminggu terakhir 74,44 persen.

b. Sebagian besar yaitu 97,72 persen Balita Terlantar masih punya orangtua. Balita yang orangtuanya tidak lengkap persentasenya cukup kecil yaitu 2,28 persen yang terdiri dari yatim 1,16 persen dan piatu 0,62 persen, dan yatim piatu 0,41 persen.

c. Balita terlantar yang makan makanan pokok kurang dari 14 kali sebesar 83,33 persen.

d. Persentase Balita terlantar yang makan makanan berprotein tinggi nabati kurang dari 4 kali seminggu adalah 84,65 persen, sedangkan untuk protein hewani yang kurang dari dua kali seminggu berjumlah 82,80 persen. Hal ini diduga karena ketidakmampuan orangtua/penanggung jawab Balita untuk membeli pangan yang harganya cukup mahal.

e. Persentase Balita terlantar yang sakit, namun tidak diobati relatif masih tinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 17,05 persen.

f. Sebanyak 63,15 persen Balita terlantar memiliki ibu kandung/ penanggung jawab yang aktifitas utamanya bekerja dan 34,99 persen yang aktifitasnya mengurus rumah tangga dan

(38)

mayoritas lapangan usaha utamanya adalah di sektor pertanian (42,79 persen), perdagangan (22,19 persen), dan jasa (19,87 persen). Sebagian besar Balita terlantar memiliki ibu kandung/ penanggung jawab, bekerja sebagai pekerja tidak dibayar (33,05 persen), buruh/karyawan 32,21 persen, dan berusaha sendiri 16, 77 persen.

Peran ibu dalam proses kehidupan Balita sangat dominan. Ibulah yang berperan besar dalam tumbuh kembang Balita. Sejak bayi lahir, ibu yang menyusui dan menyuapi makanan ke mulut bayi. Pada masa Balita, anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Namun pada kenyataannya masih banyak anak Balita yang terlantar karena kemiskinan sehingga ibu bekerja. Akibatnya ibu kurang mengurus anak dan bila sakit tidak memeriksakannya ke dokter/Puskesmas bahkan ke Posyandu pun belum pernah dibawa. Hal ini bisa dilihat dari hasil wawancara berikut:

“... anak saya terlepas dari bersih atau belum bersih mandi sendiri dan mengambil baju sendiri yang sudah disiapkan di lemari. Saya hanya menyiapkan peralatan mandi dan mengawasi. Ketika anak sakit, saya memberi obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh. Sampai saat ini saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika anak sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter, karena takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak punya kartu KJS karena saya bukan penduduk DKI, dan sampai saat ini saya belum pernah memberikan vitamin kepada anak”.

Keluarga ini tinggal di rumah kontrakan Rp. 250.000/bulan, dengan ukuran 3x3 m, tidak memiliki ruang dapur, ruang tidur, dan lain-lain (satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga kecuali masak di luar rumah/di teras). Sumber air sumur pompa, MCK umum (bersama) dengan para warga yang mengontrak rumah. Frekuensi makan makanan pokok dan lauk pauk berprotein tinggi, melihat penghasilan keluarga masih dirasakan kurang belum mencukupi. Anak mandi sendiri bahkan sudah bisa memandikan adiknya yang berusia 3,5 tahun, karena kesibukan orangtua mencari

(39)

nafkah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk membawa ke Puskesmas atau dokter.

Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang, tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami oleh beberapa keluarga penerima manfaat Taman Anak Sejahtera (PKS ABT).

Demikian pula halnya dengan Anak Terlantar yaitu “anak yang berusia 5-17 tahun tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial” (Profil PMKS, 2011:h.104).

Berdasarkan pendekatan kebutuhan minimum, baik kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial, jumlah anak usia 5-17 tahun berjumlah 58,17 juta anak. Dilihat dari kategori keterlantaran jumlah anak dengan kategori terlantar sebanyak 3,1 juta anak (5,36 persen) dan hampir terlantar 7,2 juta anak (12,23 persen).

Sumber: BPS RI-Susenas Modul 2009

Bila dilihat dari jenis kelamin, proporsi anak terlantar laki-laki lebih besar dibanding anak terlantar perempuan (5,82 persen dibanding 4,85 persen). Tempat tinggalnya lebih banyak di perdesaan dibanding perkotaan (7,62 persen berbanding 2,69 persen).

Diagram 2. Perkiraan Persentase Anak 5-17 Tahun menurut Kategori Keterlantaran 2009

(40)

Ketelantaran pada anak (Profil PMKS, 2011) dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:

a. Pendidikan anak terlantar

Pendidikan dasar dimulai sejak usia 7 tahun sebagai awal usia program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan Pemerintah. Untuk itu anak yang berumur 7 tahun harus sekolah. Salah satu penentu derajat keterlantaran anak adalah tingkat partisipasi sekolah. Anak dikatakan tidak bersekolah apabila tidak/belum pernah sekolah atau sudah tidak sekolah lagi. Pada tahun 2009, tingkat partisipasi sekolah anak 66,04 persen yang tidak/belum pernah sekolah sama sekali 8,99 persen dan tidak bersekolah lagi 24,96 persen. Adapun alasan anak terlantar tidak/belum pernah atau tidak sekolah lagi sebagian besar adalah tidak ada biaya, kemudian tidak suka/malu, bekerja, dan sekolah jauh.

b. Kesehatan anak terlantar

Sehat merupakan hak setiap manusia termasuk anak. Pada tahun 2009 persentase anak terlantar yang mengalami keluhan kesehatan selama sebulan terakhir menurut jenis keluhan adalah panas (53,27 persen), batuk (53,80 persen), dan pilek (53,48 persen) merupakan keluhan yang paling banyak dirasakan. Kemudian sakit kepala berulang (15,71 persen), sakit gigi (6,26 persen), dan diare (6,25 persen).

c. Kegiatan ekonomi anak terlantar

Anak usia 7-17 tahun seyogyanya masih menikmati dunia bermain dan sekolah. Namun beberapa anak terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah karena situasi dan kondisi keuangan keluarga tidak mencukupi untuk dapat mengakses pendidikan, sehingga anak kehilangan kesempatan untuk memperoleh haknya bersekolah. Kebutuhan hidup sehari-hari semakin meningkat dan semakin sulit untuk dipenuhi menjadi

(41)

penyebab orangtua merelakan anaknya membantu mencari nafkah, sehingga harus meninggalkan bangku sekolah.

Pada tahun 2009 persentase terbesar anak usia 10-14 bekerja kurang dari 15 jam seminggu terakhir adalah 41,08 persen, dan 15–28 jam sebesar 35,22 persen, dan anak terlantar usia 15-17 tahun sebagian besar (32,56 persen) bekerja lebih atau sama dengan 35 jam perminggu.

d. Kegiatan sosial budaya anak terlantar

Seorang anak selayaknya melakukan aktivitas sosial dan budaya bahkan proporsi yang lebih besar dari pada bekerja seperti akses terhadap media massa. Sebagian besar (70,84 persen) anak terlantar mengases televisi, kemudian radio 13,15 persen, dan surat kabar/majalah paling sedikit diakses.

Kondisi anak terlantar sebelum masuk panti menurut anak adalah sebagai berikut:

Kasus di atas menujukkan keterlantaran hanya disebabkan tidak punya ayah (anak yatim). Dari segi pendidikan sebelum masuk panti anak sudah akses ke pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari umur dan kelas yang yang diduduki yaitu 14 tahun di kelas 3 M.Ts (setingkat SMP). Kelihatannya orangtua hanya tidak mampu menyekolahkannya karena ayahnya meninggal, ibunya takut anaknya putus sekolah. Jadi anak diserahkan pengasuhannya ke LKSA karena faktor kemiskinan dan untuk akses anak ke pendidikan.

“ ... saya anak yatim yaitu anak ke 4 dari 5 bersaudara, usia saya 14 tahun, saat ini tinggal di panti sejak 3 tahun yang lalu. Sebelumnya saya tinggal di Bekasi bersama dengan ibu kandung dan saudara-saudara. Tiga tahun lalu bapak saya meninggal dunia. Saya sudah memiliki akte kelahiran sejak kecil.

(42)

Kasus Anak Terlantar Luar Panti yang tinggal bersama orangtuanya, permasalahannya sebagian besar karena kemiskinan orangtua. Hal ini digambarkan oleh hasil wawancara dengan anak dan observasi sebagai berikut:

Anak akses terhadap sistem pendidikan dan kesehatan, namun demikian kadang-kadang terlibat dalam membantu orangtua mencari nafkah seperti hasil wawancara berikut:

Kasus LA menggambarkan anak rawan terlantar, karena kemiskinan orangtua, (pekerjaan orangtua sebagai pemulung) dan tempat tinggal yang kurang layak huni di daerah kumuh, dan anak kadang-kadang terlibat dalam pekerjaan memulung. Anak jalanan merupakan bagian dari anak terlantar dapat dikelompokkan menjadi empat kategori. Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap

... Saat saya tinggal di Kampung Jawa Lr. 5 Dusun Tengku Muda bersama dengan kedua orang tua dan ketiga adik-adik, tinggal di area/lokasi sebuah penampungan barang-barang bekas. Memiliki rumah yang sangat sederhana terbuat dari kayu bekas, dinding kayu campur bekas kardus, atap yang terdiri dari berbagai jenis atap (asbes, genteng, seng plastik bekas, dan lain-lain). Ruangan yang ada terdiri dari 1 ruang yang disekat menjadi 2 ruang, 1 ruang makan merangkap ruang tidur anak ruang istirahat ruang tamu dan lain-lain, 1 ruang tidur orang tua.

Saat ini anak sekolah di SD kelas 2, anak tidak pernah meninggalkan sekolah kecuali sedang sakit. Setiap tiga kali seminggu anak ikut bimbingan belajar dengan Open Kommuniti yang diadakan oleh Mahasiswa dan instansi lain (anak dan orang tua tidak tau dari instansi mana). Anak tidak bekerja, sesekali ikut orang tua menjadi pemulung, saat libur sekolah, atau hari minggu.

(43)

hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang, baik berkala ataupun dengan jadual yang tidak rutin. Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kategori keempat adalah anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari (http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan). Menurut Pusdatin Kementerian Sosial RI anak jalanan pada tahun 2011 berjumlah 135.983 jiwa.

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan informan anak jalanan diketahui bahwa Rudi (nama samaran) adalah tergolong kategori tiga yaitu anak jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kondisi ini terjadi karena bapaknya meninggal. Hal ini tergambar dari hasil wawancara berikut:

Kasus selanjutnya adalah Ratna (nama samaran) menurut orangtuanya permasalahan Keluarga Ratna adalah sebagaimana tergambar dari hasil wawancara berikut ini.

“... saya anak ketiga dari 3 bersaudara, kedua kakak (laki-laki dan perempuan) telah berkeluarga. Pada tahun 2006 ayah kami meninggal dunia, pada saat itu saya duduk di kelas 1 SMP, berhenti sekolah. Ibu berusia 60 tahun menjadi pengemis dan pengamen di jalanan. Rifki juga ikut mengamen di jalanan.

(44)

Kasus Ratna dapat dikategorikan anak yang rentan menjadi anak jalanan, karena orangtua miskin, tinggal di daerah di pinggiran kota yang padat penduduk, ibu bekerja sebagai pemulung.

Data di atas menunjukkan bahwa masalah/isu-isu anak dalam kontek kesejahteraan terkait dengan kurang terpenuhinya kebutuhan pangan, pendidikan kesehatan, karena faktor kemiskinan dan orangtua/orangtua pengganti sebagai pengemban tugas pengasuhan sibuk bekerja. Hal ini sesuai dengan konsep kesejahteraan anak yang diuraikan pada bab dua yaitu Pertama, kesejahteraan dalam arti: Keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Kedua, Kesejahteraan dalam arti: Anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, Kesejahteraan dalam arti: Anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental mereka.

Untuk mengatasi masalah anak tersebut perlu memperhatikan peningkatan kapasitas keluarga untuk memenuhi hak-hak mereka sesuai Konvensi Hak Anak, baik kapasitas di bidang ekonomi, pengasuhan dan perlindungan terhadap anak-anak mereka.

Ratna lahir di Sleman, 11 Juni 1998 anak ke 2 dari dua bersaudara. Jumlah anggota keluarga 4 orang, hubungan anak dengan kepala keluarga anak angkat. Sejak bayi diangkat oleh seorang perempuan/ ibu istri dari bapak N dan diberi nama Ratna. Pada usia 1,5 tahun ibu angkat Ratna meninggal dunia. Kemudian bapak N menikah lagi dengan seorang perempuan bernama P yang telah mempunyai satu orang anak perempuan. Jadi pasangan ini mengasuh dua orang anak perempuan. Keduanya anak tiri dari N. Saya bekerja sebagai pemulung dan P sebagai penarik becak dan buruh serabutan dan tinggal di daerah pinggir dimana akses ke air bersih tidak ada. Semuanya dilakukan di sungai.

(45)

2. Masalah/isu-isu dalam Konteks Pengasuhan Anak

Dalam konteks pengasuhan anak, permasalahan dilihat dari pelaksanaan kewajiban orangtua atau orangtua pengganti dan lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) dalam pengasuhan anak. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa keterlantaran disebabkan oleh pengabaian kewajiban orangtua/orangtua pengganti dalam pemenuhan hak-hak dasar anak. Anak adalah amanah yang dititipkan pada orangtua untuk dijaga dan diasuh, serta dididik dengan layak. Akan tetapi seiring dengan mobilitas kedua orangtua, maka menjadikan anak diasuh bukan oleh kedua orangtuanya. Banyak alternatif yang dipilih oleh orangtua dalam mencari pengasuh pengganti selama orangtua bekerja atau beraktivitas. Pada tahun 2009 mayoritas pengasuhan Balita terlantar yang ibu kandung/ penanggung jawabnya bekerja di luar rumah adalah dititipkan atau diasuh oleh pihak lainnya (33,28 persen) yaitu diasuh tetangga, baby sitter, pembantu, penitipan anak dan ditinggal sendiri. Kemudian dititipkan ke family (25,99 persen) dan dibawa serta bekerja/ beraktivitas (21,96 persen). Pertanyaannya adalah apakah orangtua pengganti selama ibu bekerja faham dengan konsep pengasuhan pada anak?

Kondisi anak Balita terlantar temuan lapangan hasil wawancara dengan ibu (Penerima PKSA Balita Terlantar) adalah: orangtua mereka berasal dari keluarga miskin dimana kedua orangtua bekerja di luar rumah. Hal ini dikemukakan oleh informan orangtua yaitu:

Keluarga ini tinggal di rumah kontrakan Rp.250.000/bulan, dengan ukuran 3x3 m, tidak memiliki ruang dapur, ruang tidur dan lain-lain (satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga kecuali

“… saya bekerja sebagai pengupas bawang dan bapaknya dagang sayur di pasar induk dengan penghasilan kami berdua Rp.800.000,- per bulan”.

(46)

umum (bersama dengan para warga yang mengintrak rumah). Frekuensi makan makanan pokok dan lauk pauk berprotein tinggi, melihat penghasilan keluarga masih dirasakan kurang belum mencukupi. Hal ini terungkap dari pernyataan informan:

Anak juga mandi sendiri bahkan sudah bisa memandikan adiknya yang berusia 3,5 tahun, karena kesibukan orangtua mencari nafkah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk membawa ke Puskesmas atau dokter. Gambaran ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut:

Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang, tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami

“... anak makan 3 kali sehari dengan menu makan nasi, sayur, kadang-kadang pakai daging, atau ikan sekali-sekali ada buah. Saya menyiapkan makanan, kadang-kadang mendampingi, sering membiarkan kedua anak makan sendiri karena kedua orang tua bekerja di pasar induk, berangkat pagi-pagi. Sedangkan anak kadang-kadang tidak mau diajak ke pasar, sehingga anak harus mengambil sendiri makanannya, dan mengambilkan makan untuk adiknya”.

“... anak saya terlepas dari bersih atau belum bersih dan mengambil baju sendiri yang sudah disiapkan di lemari. Saya hanya menyiapkan peralatan mandi dan mengawasi. Ketika anak sakit saya memberi obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh. Sampai saat ini saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika anak sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter, karena takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak punya kartu KJS karena saya bukan penduduk DKI dan sampai saat ini saya belum pernah membrikan vitamin kepada anak”.

(47)

oleh beberapa keluarga yang mengakses Taman Anak Sejahtera (PKS ABT).

Selanjutnya pada anak terlantar usia 6-17 tahun juga terjadi permasalahan pengasuhan oleh orangtua inti atau orangtua penggati. Keberadaan orangtua kandung sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak terutama perkembangan kepribadian dan perilakunya. Tetapi tidak semua anak beruntung diasuh oleh kedua orangtua mereka dalam masa tumbuh kembangnya. Keberadaan orangtua kandung anak terlantar pada tahun 2009, sebagian besar anak terlantar masih memiliki orangtua lengkap (97,72 persen), 1,16 persen adalah anak yatim, 0,62 persen piatu, dan 0,41 yatim piatu. Aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh anak terlantar adalah menonton televisi dan makan bersama. Menurut BPS dari jumlah anak terlantar 3,1 juta anak (5,36 persen), sebagian besar masih memiliki orangtua lengkap (97,72 persen). Anak terlantar banyak dikirim atau ditempatkan pada panti asuhan. Isu ini dipertegas lagi dengan banyaknya jumlah panti asuhan. “Diperkirakan terdapat 5.250

hingga 8.610 panti asuhan seluruh Indonesia. Walaupun orangtua mereka masih lengkap, karena faktor kemiskinan dan agar anak dapat terpenuhi kebutuhan dasar dan akses ke pendidikan mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan”. Masalah pengasuhan yang

dilakukan oleh LKSA, beberapa temuan inti dari penelitian Save

the Children bekerjasama dengan Departemen Sosial RI dan Unicef

adalah:

a. Panti Sosial Asuhan Anak lebih berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan akses pendidikan kepada anak dari pada sebagai lembaga alternatif terakhir pengasuhan anak yang tidak dapat diasuh oleh orangtua atau keluarganya.

b. Anak-anak yang tinggal di panti umumnya (90 persen) masih memiliki kedua orangtua dan dikirim ke panti dengan alasan utama untuk melanjutkan pendidikan.

Gambar

Tabel 2.  Jumlah Informan Berdasarkan Lokasi dan Fokus  Penelitian
Gambar 1.  Model Analisis Kebijakan
Diagram 3.  Populasi PMKS anak
Diagram 4.  Penerima Manfaat PKSA 2011-2013
+2

Referensi

Dokumen terkait

base harus mencakup seluruh data serta hubungan antar data yang dibutuhkan oleh pengguna sistem.. • Relevan (relevance),

Pengamatan uji vigoritas dan viabilitas benih dilakukan dengan menggunakan metode tanam pada kapas. Umumnya metode tanam pada kertas menggunakan cawan Petri sebagai

Gen-gen dominan lebih banyak terdapat di dalam genotipe IPBC120 pada karakter bobot buah per tanaman, IPBC2 pada karakter tebal daging buah, IPBC159 pada karakter diameter

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan penambahan asam fitat yang paling efektif dalam menyerap logam berat berupa tembaga (Cu) adalah 14 ml, variasi waktu 60 menit

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Upaya

Tabel 4.16 Pengaruh Variabel Jumlah Penduduk Terhadap Tingkat Kemiskinan 76. Tabel 4.17 Pengaruh Variabel PDRB per Kapita Terhadap Tingkat Kemiskinan

dengan hasil pengujian yang menggunakan roti yang memiliki perubahan lebar selama pemanggangan (pengujian pemanggangan roti dengan berat 65 g), pada

Pengaruh Kecerdasan Intelektual terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Bontonompo Kabupaten Gowa.