ii
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI DAN DINILAI OLEH PANITIA PENGUJI PADA
PROGRAM STUDI ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS UDAYANA
PADA TANGGAL 28 DESEMBER 2017
Berdasarkan SK Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana No. : 215/UN. 14. 1/PP. 05/2016
Tanggal : 13 Desember 2016 Panitia Penguji Skripsi
Ketua : Drs. I Gst Ngr Tara Wiguna, M.Hum Sekretaris : Rochtri Agung Bawono, S.S., M.Hum Anggota : Drs. I Wayan Srijaya, M.Hum
Ida Bagus Sapta Jaya, S.S., M.Si Coleta Palupi Titasari, S.S., M.Si
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Assalamualaikum Wr Wb, Om Swastiastu,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perkembangan Tata Ruang Kota Kolonial Cepu Pada Akhir Abad XIX sampai Awal Abad XX di Kabupaten Blora, Jawa Tengah (Kajian Arkeologi Keruangan Skala Makro)” ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian sarjana (S1) Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis memiliki harapan dapat memberikan sedikit sumbangan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu Arkeologi. Tersusunnya skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam memberikan informasi, bimbingan, serta dorongan semangat untuk terwujudnya skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang selama ini telah membantu.
1. Suprapto, Pujiati, dan Ario Dwi Suprapto, selaku kedua orang tua dan adik penulis yang selalu memberikan dukungan kepada penulis hingga
vi
menyelesaikan masa studi dan tugas akhir skripsi, doa selalu menyertai untuk keluarga kecil penulis.
2. Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana penulis sangat berterima kasih atas kesempatan, perhatian, dan fasilitas yang diberikan selama ini serta memberikan izin selama penelitian berlangsung.
3. Drs I Wayan Srijaya M.Hum, selaku Ketua Program Studi Arkeologi, yang telah memberikan fasilitas, dorongan, serta kebijaksanaannya kepada penulis selama menjadi mahasiswa arkeologi.
4. I Gusti Ngurah Tara Wiguna, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan motivasi, petunjuk, bimbingan dan koreksi yang cepat dan teliti kepada penulis, serta masukan yang sangat bermanfaat terkait dengan struktur penulisan, pembahasan, dan lain sebagainya hingga skripsi ini rampung.
5. Rochtri Agung Bawono, S.S M.Hum selaku Dosen Pembimbing II sekaligus sebagai Pembimbing Akademik yang selalu memberikan perhatian, bimbingan dan koreksi dengan sabar, serta masukan yang bermanfaat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis duduk di bangku perkuliahan. Semoga hubungan baik tetap terjalin untuk selamanya, apabila penulis ada salah mohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh dosen.
vi
7. Pegawai Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, Pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blora, yang telah membantu memberikan sedikit data dan informasi mengenai objek penelitian.
8. Warga Mahasiswa Arkeologi (WARMA) yang telah menjadi tempat bagi penulis untuk bertukar pikiran dan telah memberikan pengalaman dan pengajarah yang luar biasa dalam kehidupan kampus di Fakultas Ilmu Budaya.
9. Teman-teman seperjuangan arkeologi angkatan 2010 Hendy L Winarta, Fondra R. Shaleh, Ngurah Agung Swabawa, I Wayan Gede Saputra K.W , Arya Tri Baruno, Ari Kesuma Puja, Akbar Eka Nugraha, I Made Suwardika, I Gusti Agung Retno Saputra, I Nyoman Purwadita, Bayu Ari Wibowo, Ni Ketut Miasih, Ni Made Dewi Wahyuni, Ni Made Dwi Andriani, Ida Ayu Anom, Ayi Riski, dan Dessy Rismayani, untuk tawa canda serta dorongan motivasi yang kalian berikan selama ini. Semoga kita sukses selalu, yang belum lulus semangat skripsian.
10. Teman-teman Arkeo, Dani Sunjana, Agus Julianto, Kurniawan Anugrah (Boglo), Kinanti Husnun, Risky Yeter, Aditya Iqbal, Fahrizal “Kopong”, Fikri “Ambon”, Topan, Hagim, Agus Juniantara, dan kawan-kawan antropologi dan sejarah Mbok Aik, Aldu, Bang Coy, Nanda, serta kawan-kawan yang tidak bisa disebutkan nama-namanya terima kasih atas waktu nongkrongnya dan waktu canda tawa dan motivasinya.
viii
11. Bapak J.F.X Hoery dan keluarga, terima kasih atas bantuan informasi dan literatur serta sangat berterima kasih atas tumpangan selama penulis melakukan penelitian.
12. Mama Maria Goreti, terima kasih informasi literaturnya dan hiburan lagu-lagunya.
13. Bapak Sholican selaku Sekretaris Kecamatan Cepu atas izin dan rekomendasi selama penelitian serta informasi datanya.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca senantiasa diharapkan untuk menjadikan skripi ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Denpasar, ………2016
x
ABSTRAK
Skripsi ini membahas perkembangan tata ruang kota kolonial Cepu di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah pada akhir abad XIX sampai awal abad XX. Pada penelitian ini dibahas proses perkembangan serta faktor pembentuk tata ruang Kota Cepu dan komponen pendukung kota yang melatarbelakangi berkembangnya tata ruang Kota Cepu. Tujuan umum penelitian ini adalah merekonstruksi sejarah kebudayaan masa lalu dan penggambaran proses perubahan budaya. Selain itu, penelitian ini bertujuan khusus untuk mengetahui perkembangan dan faktor pendukung tata ruang Kota Cepu. Pada tahap analisis data, digunakan analisis komparatif, kontekstual, keruangan, dan SIG (Sistem Informasi Geografis) yang ditelaah dengan menggunakan teori sektor dan teori tata ruang kota.
Penelitian ini menggunakan metode arkeologi keruangan skala makro dalam bentuk objek wilayah perkotaan dengan membahas hubungan antara masing-masing komponen dan faktor pendukung dalam perkembangan kota Cepu. Pada skala makro mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara benda arkeologi dan situs dalam suatu kawasan. Keseluruhan wilayah kota cepu merupakan kawasan, blok-blok area (wilayah industri DPM/BPM, NIS, Boschwezen, pemukiman pecinan, dan pemukiman pribumi) merupakan situs, dan komponen pembentuk kota merupakan benda-benda arkeologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan tata ruang Kota Cepu menunjukan pola menyebar mengikuti pola jaringan aksesibilitas yang tampak mejauh dari pusat Kota Cepu. Sementara itu, hubungan antarsitus atau antarvariabel berkaitan dengan faktor ekonomi, politik dan sosial.
Kata Kunci : Arkeologi Keruangan Skala Makro, Arkeologi Keruangan, Tata ruang Kota, Cepu
x
ABSTRACT
This Undergraduate thesis is about development of colonial town planning in Cepu at Blora Central Java province end 19th century until early 20th century. Research focus on development process with multifactorial backgrounds and physical components that implicate planning process. Aims of this research are to illuminate cultural process and reconstruct historical events. On the other hand, this research also aim to give clear process how and what kind of factors that implicate spatial planning of Cepu. Comparative analysis were conducted at this research, while also use sectoral and spatial planning theory.
Spatial archaeology macro scale also applied on this research/ city component were analyzed to gather information about relationship between each components of Cepu town. On macro scale distribution analysis between archaeological features and sites at entire complex were also conducted at this research. Entire complex of Cepu city were shown by complex, areas blocks(Industrial Area, DPM/BPM, NIS, Boschwezen, Chinese settlement and local settlement),. Results shows that development of this town show scatter patterns and accessibility, beside that relationship between variables had strong attachment with economic, political, and social factors.
xi
DAFTAR GAMBAR
Judul Halaman
Gambar 2.1 Model Penelitian 30
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Blora provinsi Jawa Tengah 35 Gambar 3.2 Peta Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Jawa
Tengah
36
Gambar 3.3 Peta Kota Cepu 37
Gambar 4.1 Peta Kontur Kecamatan Cepu 55
Gambar 4.2 Genealogis Kesultanan Demak 58
Gambar 4.3 Makam Santri Songo (Kiri) dan Santri Pitu (Kanan) Merupakan Salah Satu Bukti
Keberadaan Kadipaten Jipang Terletak di Desa Jipang Kecamatan Cepu
60
Gambar 5.1 Peta Guna Lahan Pendukung Kota Cepu 75
Gambar 6.1 Peta Persebaran Komponen Pendukung Kota Cepu
89
Gambar 6.2 Kilang Minyak Cepu 91
Gambar 6.3 Kilang Minyak Cepu Sekitar Tahun 1920-1933 92
Gambar 6.4 Masjid Cepu 94
Gambar 6.5 Masjid Jami’ Cepu 96
Gambar 6.6 Tampak Depan Kelenteng Yayasan Ibadah Panti Suci Terdapat Shan Men (Gerbang Utama)
97
Gambar 6.7 Kontruksi Tailiang pada Kelenteng yayasan Ibadan panti Suci
98 Gambar 6.8 Bagian Altar Dengan bentuk Atap Gable Roof
supported by Wooden Truss at the ends (Hsuan Shan)
99
Gambar 6.9 Bentuk Atap gable roof with solid walls at the ends (Ngang Shan)
100 Gambar 6.10 Peta persebaran Penduduk Kota Cepu tahun
1942
102 Gambar 6.11 Peta Kawasan Industri Kota Cepu Tahun 1942 104
Gambar 6.12 Bekas Kantor Perusahaan Migas 105
Gambar 6.13 Rumah Pegawai Perusahaan Migas Cepu 1937 di Kompleks Nglajo
107 Gambar 6.14 Rumah Dinas kepala Pusdiklat Migas di
Kompleks Nglajo
107
xii
Gambar 6.16 Loji Kluntung di Kompleks Ngareng 109
Gambar 6.17 Gedung Sasono Suko 111
Gambar 6.18 Rumah Sakit Migas 112
Gambar 6.19 Rumah Sakit Migas 113
Gambar 6.20 Kantor Administrasi Rumah Sakit (Kiri) dan Lorong Penghubung Kamar Perawatan (kanan)
114
Gambar 6.21 Gereja Kristen Jawa Cepu 114
Gambar 6.22 Kantor NIS 116
Gambar 6.23 Rumah Sakit Pegawai NIS 117
Gambar 6.24 Stasiun Cepu tahun 1910 119
Gambar 6.25 Dipo Lokomotif NIS Cepu 119
Gambar 6.26 Stasiun Cepu Tahun 2003 120
Gambar 6.27 Stasiun Cepu Tahun 2015 120
Gambar 6.28 Bangunan Stasiun Cepu dengan Gaya Amsterdam School
121
Gambar 6.29 Stasiun Cepu Kota tahun 1931 122
Gambar 6.30 Bekas Stasiun Cepu Kota Milik SJS 123
Gambar 6.31 Kantor KPH Cepu 124
Gambar 6.32 Kantor KBM Komersial Kayu Cepu 125
Gambar 6.33 Kantor Polisi Khusus Hutan 126
Gambar 6.34 Rumah Pegawai Perhutani 127
Gambar 6.35 Peta Jaringan Jalan dan Jalur Kereta Api Kota Cepu Tahun 1931
129 Gambar 6.36 Jembatan Cepu Penghubung Cepu – Padangan 131 Gambar 6.37 Jembatan Penghubung Jalur Kereta Api Cepu –
Padangan
132 Gambar 6.38 Bangunan Ruko (Shop House) di ujung utara
jalan raya pasar
134 Gambar 6.39 Gereja katolik Santo Willibroddus Tahun 1990 135 Gambar 6.40 Fasad Gereja Willibroddus Sebelum di Pugar 136 Gambar 6.41 Fasad Gereja Willibroddus Setelah di Pugar 136
Gambar 6.42 Kantor Polisi Tahun 2003 138
Gambar 6.43 Kantor Polisi 138
Gambar 6.44 Kantor Koramil Cepu 139
Gambar 6.45 Kantor Pos Cepu 141
Gambar 6.46 Tampak Depan Kantor Pos 141
Gambar 6.47 Bangunan Pegadaian Cepu 143
Gambar 6.48 SDN III Cepu 144
Gambar 6.49 Makam Belanda dengan Prasasti yang
menunjukan Angka Tahun 1888 – 1913 (Kiri), makam Belanda yang tersisa tanpa prasasti
146
Gambar 6.50 Kompleks Makan Cina 147
Gambar 6.51 Makam Gedong Ageng Jipang 147
Gambar 6.52 Rumah Kapten Cina di jalan pemuda Kota Cepu
xii
Gambar 6.53 Rumah Penduduk Cina di Jalan Pemuda Kota Cepu
150 Gambar 6.54 Peta Persebaran Kawasan Pecinan Kota Cepu 152
Gambar 6.55 Pemukiman Masyarakat Pribumi 153
Gambar 6.56 Peta Persebaran Pemukiman Pribumi Kota Cepu Tahun 1942
154 Gambar 6.57 Peta Persebaran Komponen Pembentuk Kota
Padangan
161 Gambar 6.58 Bekas Rumah dan Ruko di Pecinan Padangan 162
Gambar 6.59 Kawasan Pecinan Padangan 163
Gambar 6.60 Bangunan Ruko Penduduk Etnis Cina yang Berdekatan dengan Pasar (Kiri), Bangunan Pasar yang sudah di Renovasi (Kanan)
164
Gambar 6.61 Rumah dengan Arsitektur Kolonial 166
Gambar 6.62 Bagian belakang Rumah Belanda 167
Gambar 6.63 Kantor Polsek Padangan 168
Gambar 6.64 Kantor Pegadaian Padangan 169
Gambar 6.65 Rumah Panggung 170
Gambar 6.66 Garupa Masjid yang masih tersisa hingga sekarang
171
Gambar 6.67 Bekas Stasiun Padangan 172
xvii
DAFTAR TABEL
Judul Halaman
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Cepu 49
Tabel 5.1 Koordinat Titik Komponen Pendukung Kota Cepu Kab. Blora, Jawa Tengah
87 Tabel 6.1 Koordinat Titik Komponen Pendukung
Kota Padangan Kab. Bojonegoro, Jawa Timur
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Judul Halaman
Lampiran 1 Pedoman Wawancara 186
Lampiran 2 Daftar Informan 187
Lampiran 3 Peta Kawasan Karisidenan Rembang Tahun 1858
189 Lampiran 4 Peta Hidrologi Wilayah Karisidenan
Rembang
190
Lampiran 5 Peta Cepu Tahun 1999 191
xviii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR HALAMAN JUDUL ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iv
UCAPAN TERIMAKASIH ... v
ABSTRAK ... ix
ABSTRACK ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv DAFTAR ISI ... xv BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 12 1.3 Tujuan Penelitian ... 13 1.3.1 Tujuan Umum ... 13 1.3.2 Tujuan Khusus ... 14 1.4 Manfaat Penelitian ... 14 1.4.1 Manfaat Teoretis ... 14 1.4.2 Manfaat Praktis ... 15
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 15
1.5.1 Ruang Lingkup Objek ... 15
1.5.2 Ruang Lungkup Permasalahan ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ... 17
xviii
2.2 Konsep ... 21
2.2.1 Perkembangan Tata Ruang Kota ... 21
2.2.2 Kota Kolonial ... 24
2.2.3 Kota Akhir Abad XIX sampai Awal Abad XX ... 25
2.2.4 Arkeologi Keruangan Skala Makro ... 26
2.3 Landasan Teori ... 27
2.3.1 Teori Sektor ... 27
2.3.2 Teori Tata Ruang Kota ... 28
2.4 Model Penelitian ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 33
3.1 Rancangan Penelitian ... 33
3.2 Lokasi Penelitian ... 34
3.3 Jenis Sumber Data ... 38
3.3 Instrumen Penelitian ... 39
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 39
3.5.1 Observasi ... 39
3.5.2 Studi Pustaka ... 40
3.5.3 Wawancara ... 41
3.5.4 Studi Dokumen (Arsip) ... 41
3.5.5 Pengambilan Tititk koordinat (Plotting)... 42
3.6 Teknik Analisis Data ... 43
3.6.1 Analisis Komparatif ... 43
3.6.2 Analisis Kontekstual ... 43
3.6.3 Analisis Keruangan ... 44
3.6.4 Analisis Sistem Informasi Geografis ... 44
3.7 Penyajian Hasil Data ... 46
BAB IV TINJAUAN UMUM KOTA CEPU ... 49
4.1 Kondisi Geografis Kota Cepu ... 49
4.2 Kondisi Lingkungan Kota Cepu ... 51
4.2.1 Kondisi Lingkungan Fisik ... 51
xviii
4.3 Latar Belakang Sejarah Kota Cepu ... 56
4.3.1 Cepu Masa Kerajaan Demak ... 56
4.3.2 Cepu Masa Kolonial Belanda ... 61
BAB V POLA TATA RUANG DAN FAKTOR PEMBENTUK KOTA KOLONIAL CEPU ... 68
5.1 Deskripsi Tata Ruang Kota Cepu ... 68
5.2 Faktor Pembentuk Kota Cepu ... 76
5.2.1 Faktor Ekonomi ... 76
5.2.2 Faktor Politik ... 78
5.2.3 Faktor Sosial ... 83
BAB VI KOMPONEN PEMBENTUK TATA RUANG KOTA KOLONIAL CEPU AKHIR ABAD XIX SAMPAI AWAL ABAD XX ... 86
6.1 Komponen Pembentuk Kota Cepu ... 86
6.2 Komponen Pembentuk Kota Cepu Pada Akhir Abad XIX ... 90
6.2.1 Komponen Pendukung Industri Kota Cepu ... 90
6.2.2 Komponen Pendukung Sebagai Fasilitas Umum Kota ... 93
6.2.2.1 Pasar ... 93
6.2.2.2 Masjid ... 94
6.2.2.3 Kelenteng ... 96
6.2.3 Pemukiman Penduduk Kota Cepu ... 100
6.3 Komponen Pembentuk Kota Cepu Pada Awal Abad XX ... 103
6.3.1 Komponen Pendukung Industri Kota Cepu ... 103
6.3.1.1 Kantor Perusahaan Migas ... 105
6.3.1.2 Rumah Dinas Pegawai Migas ... 106
6.3.1.3 Gedung Hiburan dan Gedung Pertemuan ... 110
6.3.1.4 Rumah Sakit ... 112
6.3.1.5 Gereja ... 114
6.3.1.6 Kantor dan Rumah Dinas Pegawai Kereta Api ... 115
6.3.1.7 Stasiun Kereta Api ... 118
6.3.1.8 Kantor dan Rumah Dinas Pegawai Boschwezen ... 123
xviii
6.3.2 Komponen Pendukung Sebagai Fasilitas Umum Kota ... 132
6.3.2.1 Pasar ... 133 6.3.2.2 Gereja... 135 6.3.2.3 Kantor Polisi ... 137 6.3.2.4 Kantor Koramil ... 139 6.3.2.5 Kantor Pos ... 140 6.3.2.6 Kantor Pegadaian ... 142 6.3.2.7 Bangunan Sekolah ... 143 6.3.2.8 Kompleks Makam ... 145
6.3.3 Pemukiman Penduduk Kota Cepu ... 148
6.3.3.2 Pemukiman Penduduk Etnis Cina (Pecinan) ... 148
6.3.3.3 Pemukiman Penduduk Pribumi ... 153
6.4 Tata Ruang Kota Padangan Sebagai Pembanding ... 155
6.4.1 Lokasi ... 155
6.4.2 Pola Tata Ruang Kota Padangan ... 156
6.5 Komponen Pembentuk Kota Padangan ... 158
6.5.1 Pemukiman Etnis Cina (Pecinan) ... 162
6.5.2 Pasar ... 164
6.5.3 Bangunan Rumah Belanda ... 165
6.5.4 Kantor Polisi ... 168
6.5.5 Kantor Pegadaian ... 169
6.5.6 Pemukiman Pribumi ... 170
6.5.7 Masjid ... 171
6.5.8 Stasiun ... 172
6.5.9 Jaringan Jalan dan Jalur Kereta ... 173
6.6 Perbandingan Tata Ruang Kota Cepu dan Padangan ... 175
BAB VII PENUTUP ... 178
a. Simpulan ... 178
b. Saran ... 180
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota merupakan gabungan antarlingkungan perumahan, atau tempat dimana orang bekerja bersama untuk kepentingan umum. Jenis daerah perkotaan beragam dengan berbagai kegiatan yang dilakukan pada wilayah perkotaan seperti perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan jasa, atau gabungan dari semua aktivitas tersebut. Kota adalah tempat mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan aktivitas-aktivitas serta rancangan kota merupakan ekspresinya (Gallion dan Eisner, 1992:64). Kota merupakan sebuah bentuk pemukiman yang memiliki struktur dan fungsi yang lebih tinggi serta bentuk pemukiman yang lebih kompleks dari bentuk pemukiman yang lebih kecil. Kota juga merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik memiliki pola bentuk tata ruang dan terdapat berbagai bentuk bangunan dan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
Kota dalam arkeologi merupakan salah satu tinggalan yang menjadi objek kajian penelitian. Penelitian arkeologi perkotaan (urban archaeology), mulai berkembang dengan dilatar-belakangi alasan-alasan lokasional, dukungan atas keberadaan kota, serta proses adaptasi masyarakat kota (Mulyati, 1996:10). Penelitian arkeologi mengenai kota-kota sudah banyak dilakukan, beberapa penelitian tersebut antara lain Kota Banten Lama oleh Hasan Muarif Ambary tahun 1980, Kota Trowulan oleh Soejatmi Satari tahun 1980, permukiman Giri
2
oleh Nurhadi tahun 1983, pemukiman di tepi Sungai Batanghari oleh Bambang Budi Utomo tahun 1983 (Mundardjito, 1990:21), penelitian lainnya seperti mengenai arkeologi kota di Gresik oleh Novida Abbas tahun 1995, dan Pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram-Islam oleh Inajati Adrisijanti tahun 1997.
Penelitian arkeologi mengenai kota biasanya mengkaji mengenai tata kota, hubungan antarkomponen pembentuk atau penyusun kota, pola perkembangan kota, arsitektur bangunan-bangunan penyusun kota, masyarakat pendukung kota atau pemukiman tersebut. Penelitian mengenai perkotaan atau pemukiman di Indonesia dilakukan oleh para peneliti pada situs-situs yang diduga/dianggap sebagai sebuah wilayah pusat aktivitas manusia pada masa lalu. Perkembangan kota-kota kuna tersebut dapat dikaji dalam arkeologi atau ilmu yang mempelajari aktivitas manusia yang ditinjau dari hasil-hasil kebudayaannya. Hasil kebudayaan manusia dalam suatu wilayah atau kota dapat dilihat dari sisa-sisa bangunan atau reruntuhan yang dapat digunakan untuk mengungkap sejarah kebudayaan pada kota tersebut, mengungkap perubahan pola kota yang berkembang, serta aktivitas masyarakat kota pada masa lalu sehingga terjadi proses perubahan budaya.
Kota-kota kuna di Indonesia terbentuk sejak masa sejarah hingga masa kolonial dan berlanjut hingga saat ini. Menurut Koentjaraningrat, kota-kota pada masa sejarah bermula sejak adanya kota-kota istana, kota-kota pusat keagamaan, dan kota kota-kota pelabuhan (Menno dan Alwi, 1991:21). Kota-kota istana adalah kota yang berada di areal atau mengelilingi wilayah istana atau kerajaan. Kota-kota pusat keagamaan adalah kota-kota yang mengacu pada pusat areal suci, sehingga bangunan-bangunan pembentuk kota mengelilingi areal suci tersebut.
3
Kota-kota pelabuhan merupakan kota yang terbentuk di areal pelabuhan, serta terdapat tempat permukiman para nelayan dan pedagang-pedagang asing sehingga membentuk sebuah areal wilayah perkotaan.
Selain jenis kota yang dipaparkan di atas, terdapat juga kota-kota benteng (pertahanan) dan kota industri. Kota-kota benteng (pertahanan) merupakan bentuk kota yang berfungsi sebagai pusat pertahanan dari serangan-serangan luar. Kota industri terbentuk setelah adanya kegiatan industri atau proses berkembangnya teknologi. Awalnya kota industri muncul setelah terjadinya Revolusi Industri pada tahun 1760-1830 M yang dimulai dari Britania Raya dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat hingga wilayah Amerika Utara (Ashton, 1948:2). Kota industri banyak berkembang di Indonesia yang dapat dilihat dari tinggalan bekas pabrik atau industri pada masa kolonial Belanda. Belanda mendirikan pabrik atau industri di Indonesia dengan tujuan untuk mengolah hasil sumber daya alam sehingga dapat dijadikan sebagai komoditi perdagangan di wilayah Hindia Belanda.
Peter J. M Nas menjelaskan dalam artikelnya yang berjudul “Introduction: A General View on The Indonesian Town" (1986), kota-kota di Indonesia berkembang melalui 4 tahapan, yaitu kota Indonesia awal (sekarang disebut kota tradisional), kota Indishce, kota kolonial, dan kota modern. Kota-kota tradisional di Indonesia berpusat dari suatu kerajaan. Pusat dari suatu kerjaan berdiri sebuah keraton yang menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya serta menjadi sebuah pusat dari kota atau kerajaan untuk menjalankan sistem pemerintahan di daerah kekuasaannya. Menurut Widya Nayati (1996), komponen pembentuk kota
4
tradisional di Jawa semua sama, dalam pemenuhannya menyesuaikan dengan kondisi geografis, kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Komponen-komponen kota tersebut yaitu, keraton sebagai pusat kerajaan atau kota, alun-alun, masjid, pasar dan pemukiman. Susunan tata ruang kota yang bercorak Islam, alun-alun berada di tengah dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan penting di kota tersebut. Di sebelah barat alun-alaun terdapat masjid, sebelah utara atau selatan terdapat pasar. Keraton akan selalu menghadap alun-alun, sehingga raja akan dengan mudah memantau kondisi di luar kerajaan. Alun-alun juga difungsikan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat apabila ada hal penting yang akan disampaikan atau acara besar dari kerajaan. Jalan-jalan akan saling memotong sehingga membentuk bujur sangkar atau persegi/persegi panjang. Pemukiman masyarakat tersebar di sekitar areal alun-alun. Pada kota tradisonal di Indonesia pengelompokan pemukiman terlihat jelas, hal ini terjadi dikarenakan banyaknya etnis atau perbedaan kedudukan sosial yang terjadi pada masyarakat, misal pemukiman orang-orang Arab, Cina, kaum priyayi, dan kaum pribumi biasa.
Abad XVI bangsa Belanda hadir awalnya hanya untuk berdagang, kemudian menjadi penguasa yang ingin menguasai Nusantara. Wilayah Nusantara akhirnya dikenal sebagai Hindia Timur oleh para kaum pedagang. Pada Awalnya mereka mendirikan gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangannya (Soekiman, 2011: 1). VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) merupakan perusahaan dagang Belanda yang memiliki modal besar untuk mendirikan gudang penyimpanan di Nusantara. Pada saat pendirian gudang-gudang penyimpanan, VOC membangun pula benteng untuk pertahanan dan rumah tinggal. Sebelum
5
VOC mengalami keruntuhan, pembangunan kota-kota di Hindia Belanda berkembang dengan meniru kota-kota di Belanda yang diperkuat dengan pembangunan benteng pertahanan. Pembangunan ini berkembang hampir di seluruh Hindia Belanda. Pembangunan kota pada awalnya berada di dalam benteng pertahanan, kemudian para penguasa membangun kota di luar benteng untuk memperluas wilayah. Meskipun demikian, semua kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi Belanda berada di dalam Benteng.
Pembangunan wilayah di luar benteng mengakibatkan perpaduan dua kebudayaan yang berbeda. Perpaduan dua kebudayaan ini mempengaruhi kebudayaan pribumi yang diperkaya dengan kebudayaan bangsa Belanda. Lambat laun pengaruh kebudayaan tersebut semakin besar dan mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan (Soekiman, 2000:19-20). Perpaduan dua kebudayaan antara kebudayaan pribumi yang diperkaya dengan kebudayaan dari bangsa Belanda, dalam bentuk kota sering disebut sebagai kota Indische. Kota ini masih dalam bentuk lingkungan pedesaan yang memiliki bentuk fisik tidak mencerminkan bentuk kota di Eropa atau Indonesia. Perpaduan dua kebudayaan ini disebut sebagai kebudayaan Indische.
Kota-kota di Hindia Belanda mulai berkembang dengan adanya pengaruh arsitektur dan sistem perkotaan Belanda, kota ini dikenal sebagai kota kolonial. Tujuan Belanda mengembangkan kota di Hindia Belanda merupakan salah satu bentuk eksploitasi sumber daya alam dan difungsikan sebagai kota komersial. Kota ini dibentuk dari perpaduan urban-urban dari bangsa Belanda dengan penduduk pribumi setempat. Beberapa kota yang dibangun oleh bangsa Belanda
6
di Indonesia seperti Batavia (Jakarta), Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan kota besar di Indonesia.
Selain beberapa kota besar di atas, Belanda juga membuat kota-kota kecil di daerah pesisir dan pedalaman sesuai dengan pembagian wilayah pemerintahan Kolonial Belanda. Kota di daerah pesisir berhubungan dengan kota pelabuhan dimana memiliki peran penting terhadap budaya asing yang masuk. Kota di daerah pedalaman, merupakan kota dengan memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah, sehingga Belanda dapat memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk kebutuhan di Indonesia ataupun negara asalnya salah satunya Kota Cepu yang merupakan pusat aktivitas penduduk di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Pada Masa Kolonial Belanda, Cepu merupakan sebuah wilayah Onderdistricten bagian dari Districten Panolan yang dikontrol oleh Controlingen Afdeelingen/Regentschappen Blora dalam wilayah Residentie Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Cepu merupakan wilayah kecamatan yang berkembang pesat dengan menjadi sebuah kota kecil yang berada di daerah pedalaman Regent/Kabupaten Blora. Kondisi geografis Cepu yaitu wilayah dataran rendah yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan dengan potensi kayu jati dan pertambangan minyak serta berada di samping aliran Sungai Bengawan Solo. Hal ini mendasari pemerintah Regent Blora membentuk Cepu sebagai wilayah Onderdistricten/kecamatan yang perlu untuk dikembangkan wilayahnya menjadi sebuah kota kecil. Konsistensi keberadaan Cepu hingga saat ini masih terjaga, sejak awal dibentuk kota, Cepu tentu sudah banyak mengalami perkembangan.
7
Pada tahun 1894, perusahaan swasta Belanda yakni Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM) mengetahui potensi tambang minyak bumi di wilayah Cepu. Pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu antara tahun 1885 – 1890 telah terjadi beberapa penemuan sumber minyak bumi di daerah lainnya di Indonesia, seperti di Desa Ledok Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah, Desa Minyak Hitam Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, dan di Riam Kiwa dekat Sanga-Sanga, Provinsi Kalimantan Timur. Belanda mulai melihat potensi pertambangan yang sangat besar di Hindia Belanda, hal ini didasari dengan adanya Pulau Bangka dan Belitung sebagai penghasil timah yang sangat besar. Pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi politik yang bertujuan untuk memanfaatkan kekayaan alam berupa potensi hasil tambang yang dapat menambah devisa negara. Penambahan devisa negara ini dengan dibentuknya perusahaan swasta milik Belanda yakni Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM) yang muncul dari sumur minyak di Cepu Jawa Tengah, dan De Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Eksplotatie van Petroleum Bronne in Nederlandsche Indie (KNMEPBNI) yang muncul dari sumur minyak di Langkat, Sumatera Utara. (W.H.A Wesselink, dalam Suryagung, 2003: 1-3). Pengeboran minyak tersebut diprakarsai oleh Ir. Ardian Stoop pada tahun 1893 dan dilanjutkan oleh perusahaan swasta DPM pada tahun 1894.
Setelah ditemukannya potensi minyak dan berkembangnya industri minyak pada tahun 1894, pembangunan Cepu berkembang pesat yang diawali dengan pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung perindustrian. Fasilitas tersebut digunakan untuk para petinggi dan pegawai perusahaan industri. Bangunan–
8
bangunan kantor dan rumah dinas dibangun dengan kondisi lingkungan Cepu. Selain kantor dan rumah-rumah dinas, dibangun juga fasilitas lain seperti bangunan keagamaan, rumah sakit, dan fasilitas umum lain yang juga bisa dimanfaatkan oleh penduduk Kota Cepu. Bangunan yang dibuat memiliki ciri-ciri perpaduan antara bentuk bangunan Belanda dengan rumah tradisional oleh Berlage disebut dengan istilah Indo-Europeesche, oleh Van de Wall disebut dengan Indische Huizen, dan Pramono Atmadi menyebutnya Arsitektur Indis (Soekiman, 2011: 3). Pada abad akhir XIX sampai awal abad XX tepatnya tahun 1890 – 1915 pembangunan komponen-komponen pembentuk kota sudah banyak mengalami perubahan seiring dengan perkembangan kondisi masyarakatnya. Perubahan-perubahan misal pada modernisasi dengan penemuan baru dalam bidang teknologi dan perubahan sosial akibat dari kebijakan politik pemerintah Belanda pada waktu itu juga mempengaruhi perubahan bentuk dan gaya arsitektur (Handinoto, 2012: 124). Arsitektur Indis atau Indo-Europeecshe merupakan masa arsitektur yang berkembang pada abad XVIII hingga abad XIX, Kota Cepu berkembang pada akhir abad XIX hingga abad XX. Arsitektur yang berkembang di Kota Cepu pada masa peralihan arsitektur Indis menuju pada arsitektur Kolonial Modern. Masa peralihan ini terjadi pada tahun 1890 sampai 1915 yang dikenal arsitektur masa transisi dan setelah itu arsitektur kolonial modern berkembang (setelah tahun 1915). Perkembangan arsitektur di Indonesia pasca kemerdekaan antara tahun 1950-1960 timbul gaya baru yang disebut Arsitektur Jengki yang kurang dikenal (Handinoto, 2012: 125).
9
Perubahan ini dapat dilihat pada salah satunya dari model arsitektur bangunan yanag berkembang di Cepu. Bangunan-bangunan di Kota Cepu memiliki beberapa gaya arsitektur bangunan antara lain arsitektur Indische, arsitektur masa transisi/peralihan, dan arsitektur kolonial modern. Beberapa arsirtektur yang berkembang di Kota Cepu memberikan warna terhadap komponen-komponen pembentuk Kota Cepu. Bangunan–bangunan tersebut sebagai komponen dari Kota Cepu banyak dipengaruhi gaya arsitektur masa transisi dan kolonial modern, tidak menutup kemungkin gaya arsitektur Indishce memberikan pengaruh sedikit pada gaya arsitektur di Kota Cepu. Sebagai kota kecil yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda, Cepu memiliki komponen-komponen pokok sebuah kota yang terdiri atas, industri pertambangan, rumah dinas pegawai industri pertambangan, gereja, rumah hunian, rumah sakit, pasar dan kampung pecinan, sekolah, stasiun dan jalur kereta, kantor pelayanan (kantor polisi, kantor koramil, kantor pos, kantor pegadaian, kantor perhutani), gedung pertemuan dan jembatan.
Pembangunan komponen pembentuk Kota Cepu hampir tersebar di wilayah Kota Cepu. Pemukiman merupakan salah satu komponen pembentuk kota. Pemukiman di Kota Cepu hampir sama dengan pemukiman di kota – kota lain di Indonesia yang diletakkan berdasarkan kelompok etnis atau strata sosial. Pada kota kolonial di Indonesia, bangsa Belanda membagi menjadi 3 kelompok pemukiman, yaitu pemukiman kolonial yang dibangun dengan sistem nilai yang berlaku di Eropa, pemukiman imigran asing yang dibangun dengan sistem nilai sesuai dengan masing-masing etnis misalnya etnis Cina, pemukiman pribumi yang
10
dibangun tersebar di areal pemukiman kolonial ataupun pemukiman etnis. Pemukiman pribumi terkadang kurang diperhatikan sehingga pemukiman pribumi terkesan pemukiman kumuh. Pemukiman di Kota Cepu dapat dilihat dari sebaran tinggalan bangunan masih dijaga keberadaannya, misalnya rumah-rumah dinas pegawai kereta api, pegawai industri pertambangan ataupun pegawai perhutani, pemukiman etnis Cina atau pecinan akan lebih menonjol terlihat di areal pasar. Pemukiman pribumi tersebar di sekitar areal pemukiman yang lain, pada kota kolonial akan terlihat perbedaan status sosial dan etnis.
Pembangunan Kota Cepu terlihat juga dari jaringan jalan dan jalur kereta atau lori yang dibangun untuk mempermudah akses transportasi dan pengiriman hasil sumber daya alam di Cepu ke wilayah lainnya. Pembangunan bangunan-bangunan berorientasi pada jaringan jalan. Jaringan jalan dan jalur kereta di Kota Cepu menghubungkan wilayah lain yang dahulu berada di Karesidenan Rembang, yaitu sebelah timur menghubungkan ke wilayah Bojonegoro sampai ke Surabaya, untuk wilayah barat menghubungkan ke wilayah Grobogan hingga ke Semarang, untuk wilayah utara menghubungkan ke wilayah Regent Blora hingga ke Resident Rembang. Hubungan bangunan-bangunan yang dibangun oleh pemerintah Belanda melatarbelakangi kondisi dan situasi Kota Cepu pada masa lampau. Hubungan-hubungan ini dapat dikaitkan dengan beberapa aspek penelitian arkeologi perkotaan dalam arkeologi ruang.
Kajian arkeologi perkotaan dalam arkeologi ruang merupakan salah satu jenis kajian yang menitikberatkan pada sebuah kawasan hunian manusia yang berkembang pada suatu wilayah serta menjelaskan mengenai letak lokasi, faktor
11
pendukung dari sebuah kota dan proses adaptasi manusia terhadap sebuah kota. Kajian dari arkeologi perkotaan pada dasarnya mengarah kepada totalitas kota sebagai situs hunian yang menjelaskan alasan-alasan lokasional, dukungan atas keberadaan kota, serta proses adaptasi masyarakat kota. Tujuan penggunaan kajian arkeologi keruangan dengan perkotaan akan dapat membantu menjelaskan proses tata ruang kota serta persebaran pada perkembangan kota dari berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk peta persebaran permukiman dalam kota, persebaran aktivitas masyarakat kota.
Penelitian perkotaan atau permukiman dapat dikaji dengan menggunakan arkeologi keruangan (spatial archaeology). Kutipan Mundardjito (1999: 1), arkeologi keruangan merupakan istilah yang diciptakan oleh David L. Clarke (1977) untuk memberi arti kepada suatu jenis pendekatan arkeologi yang memberi tekanan perhatian pada dimensi ruang dari benda-benda arkeologi dan situs. Arkeologi keruangan pada dasarnya merupakan kajian dalam arkeologi yang mempelajari ruang tempat ditemukannya hasil-hasil kegiatan manusia masa lampau, sekaligus mempelajari pula hubungan antarruang dalam satu situs, sistem situs, beserta lingkungannya. Arkeologi keruangan menitikberatkan pada sebaran dan hubungan keruangan pada pusat aktivitas manusia, baik dalam skala mikro (micro), meso (semi-micro) dan makro (macro). Hal tersebut dipertegas dalam makalah Mundardjito (1995:3) skala mikro mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara benda arkeologi dan ruang-ruang dalam suatu bangunan atau fitur, dan skala meso (atau semi-micro) mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara artefak-artefak dan fitur-fitur dalam suatu situs, skala makro
12
(macro) mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara benda-benda arkeologi dan situs-situs dalam suatu kawasan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori dan komparasi dengan kondisi kota yang memiliki kedekatan atau kesaman dengan Kota Cepu sehingga dapat membantu mengungkap perkembangan tata ruang kota kolonial Cepu. Kota Cepu merupakan objek yang menarik untuk dikaji, tulisan-tulisan (buku, artikel), karya ilmiah, dan penelitian mengenai Kota Cepu masih sangat terbatas, akibatnya gambaran tentang terbentuknya Kota Cepu belum dapat
diungkap. Kota Cepu masih memiliki beberapa bangunan tinggalan bersejarah pada masa kolonial Belanda baik berupa bangunan rumah tinggal,
rumah ibadah, rumah sakit, pecinan, gedung pertemuan, stasiun dan jalur kereta, kantor pelayanan, lokomotif, industri pertambangan, yang masih utuh sehingga diperkirakan dapat menceritakan dan menggambarkan dinamika Kota Cepu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sedikit membantu menjadi refrensi untuk mengkaji lebih dalam mengenai kota pedalaman di Cepu, Kabupaten Blora Jawa Tengah.
1.2 Rumusan Masalah Penerapan kajian arkeologi perkotaan di Indonesia sudah cukup lama
dibahas, akan tetapi masih banyak kota-kota yang belum dibahas atau dikaji sebagai objek penelitian. Kota-kota di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus yang menjadikan wilayah tersebut wilayah perkotaan yang berkembang pada masa lampau. Permasalahan pada penelitian tata ruang Kota Cepu pada akhir abad XIX sampai dengan awal abad XX sebagai berikut.
13
1. Bagaimana perkembangan tata ruang dan faktor-faktor pembentuk Kota Cepu pada akhir abad XIX sampai dengan awal abad XX ? 2. Komponen-komponen apa saja yang membentuk dan melatarbelakangi
berkembanganya tata ruang Kota Cepu ?
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian dilandasi oleh suatu tujuan yang ingin dicapai. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian arkeologi untuk mengungkap kebudayaan masa lampau melalui hasil-hasil kebudayaan yang sudah diinterpretasikan. Mengacu pada tujuan arkeologi yang dikemukan oleh Lewis Binford, tujuan umum arkeologi antara lain (1) merekontruksi sejarah kebudayaan, (2) merekontruksi cara-cara hidup, dan (3) penggambaran proses perubahan budaya (Mundardjito, 1990:20). Tujuan pada penelitian ini sesuai yang dikemukakan oleh Lewis Binford yaitu merekontruksi sejarah kebudayaan dan penggambaran proses perubahan budaya. Sementara itu, Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai perkembangan kota yang berkembang di Indonesia melalui perkembangan Kota Cepu serta memberikan sumbangan pemikiran, membantu mengembangkan, dan mengaitkan ilmu arkeologi dengan ilmu bantu lainnya.
14
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini untuk memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan khusus penelitian ini untuk memberikan gambaran proses perkembangan tata ruang Kota Cepu dan mengetahui komponen serta faktor-faktor pembentuk pendukung kota di Kecamatan Cepu pada akhir abad XIX sampai awal abad XX. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemikiran dan kegiatan yang dilakukan masyarakat di masa lalu sehingga dapat membentuk sebuah wilayah permukiman kota di pedalaman Pulau Jawa.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ada dua yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Adapun manfaat penelitian tersebut sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian di bidang ilmu khususnya ilmu arkeologi yang berkaitan dengan sejarah sosial dan bentuk tata ruang kota serta arsitektur kolonial. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahui tata ruang Kota Cepu pada masa lalu sebagai acuan untuk pemanfaatan dan pelestarian kota kolonial. Hasil penelitian ini tentu juga diharapkan bermanfaat sebagai inventarisasi dan dapat memberikan informasi bagi dunia kearkeologian serta dapat digunakan sebagai bahan studi banding dalam penelitian mengenai perkembangan tata ruang kota kolonial di Indonesia mengenai informasi perkembangan tata ruang kota kolonial pada akhir abad XIX sampai awal abad XX.
15
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis pada penelitian ini mampu memberi manfaat bagi berbagai pihak diantaranya dapat memberikan pengetahuan, wawasan, dan kebanggaan bagi masyarakat Cepu pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai pewaris tinggalan masa lalu yang merupakan saksi bisu sejarah terbentuknya wilayah kota kuna pada masa kolonial Belanda dan hasil penelitian dapat dipergunakan sebagai referensi untuk dilakukannya pemugaran dan pemanfaatan dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, serta pariwisata terhadap wilayah kota kolonial di Kecamatan Cepu.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian sangat penting untuk memberikan batasan pembahasan sebuah objek dan permasalahan yang akan diteliti. Hal ini perlu dilakukan karena akan memberikan hasil penelitian yang optimal. Ruang lingkup dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ruang lingkup objek dan ruang lingkup permasalahan. Kedua ruang lingkup tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
1.5.1 Ruang Lingkup Objek
Ruang lingkup objek penelitian mencakup objek yang akan diteliti. Adapun objek tersebut yaitu tata ruang kota dan bangunan pada akhir abad XIX sampai awal abad XX di Kota Cepu, Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. Tata ruang kota yang digunakan adalah tata ruang Kota Cepu atau wilayah administratif Kota Cepu serta bangunan-bangunan yang ada di wilayah
16
Kecamatan Cepu seperti industri pertambangan, rumah dinas pegawai industri pertambangan, gereja, rumah hunian, rumah sakit, pasar dan kampung pecinan, sekolah, stasiun dan jalur kereta, kantor pelayanan (kantor polisi, kantor koramil, kantor pos, kantor pegadaian, kantor perhutani), gedung pertemuan, dan jembatan. 1.5.2 Ruang lingkup Permasalahan
Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini mencakup permasalahan yang diajukan pada penelitian, yaitu terkait dengan perkembangan tata ruang Kota Cepu, Khususnya mengenai komponen serta faktor-faktor pembentuk kota yang melatar-belakangi berkembangnya tata ruang Kota Cepu pada akhir abad XIX sampai dengan awal abad XX dan perkembangan tata ruang Kota Cepu.