• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Hasil Pemeriksaan Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Hasil Pemeriksaan Psikologi"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI PRAKTEK KERJA MAJORING KLINIS

KASUS II

I. IDENTITAS

1. Identitas Subjek

Nama : RM

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl. Lahir : Sumedang / 27 Maret 1979 (31 tahun) Suku Bangsa : Sunda

Agama : Islam

Anak ke : 3 dari 5 bersaudara Status Perkawinan : Kawin

Pendidikan : SMEA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Jl. S S II rt 05/10 Kota B 2. Identitas Ayah

Nama Ayah : DK (alm) Suku Bangsa : Sunda

Agama : Islam

Pekerjaan :

-Alamat :

-3. Identitas Ibu

Nama Ibu : AR

Suku Bangsa : Sunda

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Sumedang

4. Identitas Pemeriksa Nama Pemeriksa : Junaidi

NPM : 190420080022

Tujuan Pemeriksaan: Konsultasi Psikologi

Tempat Pemeriksaan : RS. Hasan Sadikin Bandung Pembimbing : Dr. Ratna Hartanto, M.Si

(2)

Pemeriksaan yang dilakukan: No. Tanggal Pemeriksaan Kegiatan 1. 02 Februari 2010 Pertemuan I • Menyampaikan keluhan • RH 2. 03 Februari 2010 Pertemuan II • Anamnesa • WZT dan Grafis 3. 17 Februari 2010 Pertemuan III

• Anamnesa • WB 4. 02 Maret 2010 Pertemuan IV • SSCT • Anamnesa 5. 22 Maret 2010 Pertemuan V • Rorschach • Anamnesa II. KELUHAN

Pada saat pertama sekali datang kepoli psikologi S memiliki beberapa keluhan yaitu :

(1) Merasa memiliki sakit kepala yang selalu muncul setiap pagi dan tidak pernah sembuh ;

(2) S juga merasakan akhir-akhir ini hubungan dengan suaminya semakin memburuk.

III. RIWAYAT KELUHAN

S datang ke poli Psikologi RSHS atas saran dokter dibagian syaraf, menurut diagnosa dokter saat ini ia mengalami gangguan depresi. Setelah bertemu dengan pemeriksa S mulai menceritakan keluhan yang ia alami kemudian S juga menerangkan bahwasanya ia sudah beberapa kali memeriksakan diri ke dokter umum dibeberapa tempat namun dokter umum hanya memberikan obat untuk menghilangkan rasa sakit dikepalanya saja dan bila obatnya habis maka ia selalu rutin kedokter untuk memeriksakan kembali. S menyatakan bahwa ia juga

(3)

pernah periksa ke dokter spesialis mata di Cicendo, karena dia pikir kemungkinan ada pengaruh dari penglihatannya yang terkadang suka kabur. Hasil pemriksaan dari RS mata di cicendo menyatakan bahwa matanya baik-baik saja. Akhirnya karena tidak ada kemajuan ia memeriksakan diri kebagian spesialis syaraf di RSHS dengan keluhan yang sama yaitu sakit dibagian kepala, karena menurutnya ia merasa yakin pasti ada gangguan dibagian kepalanya sehingga tidak kunjung sembuh. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter dan hasil rontgen tidak ditemukan adanya gangguan syaraf dibagian kepala S namun menurut diagnosa dokter saat ini S sedang mengalami gangguan depresi.

Menurut S sakit dikepalanya sudah ada sejak tahun 2008 namun S merasa sakit dikepalanya semakin parah sejak tanggal 14 januari kemaren, setiap pagi S merasakan sakit kepala yang selalu datang tiba-tiba tanpa ada yang dia pikirkan, hal tersebut dia rasakan dari pukul 8 hingga pukul 12 siang. Sakit yang ia rasakan menurutnya seperti kepalanya serasa mau pecah. Bila sedang menyerang maka ia hanya bisa tiduran saja dirumah sambil segera minum obat yang diberikan dokter dan berangsur-angsur sakitnya akan menghilang.

S juga menceritakan bahwa hubungan dengan suaminya akhir-akhir ini tidak baik. Hal tersebut diawali setelah tahun baru disumedang, ditempat orang tua dan keluarga besarnya berada. Disana S bertengkar dengan kakaknya, namun melihat hal tersebut suaminya justru tidak acuh padanya malah justru ikut menyalahkan S.

Hubungan dengan suaminya kurang harmonis, menurut S suaminya kurang memberikan rasa sayang. Suaminya sehari-hari hanya memperlakukan ia seperti pembantu rumah tangga saja yang hanya dicukupkan dengan materi berupa uang sementara S masih membutuhkan hal yang lain seperti perhatian dan kasih sayang. Seperti yang baru terjadi, S mengungkapkan dipertemuan pertama bahwa ia baru bertengkar dengan suaminya. Disamping itu, bila ia sedang menghadapi masalah S sangat berharap suaminya mau

(4)

membantu memecahkan masalahnya, bukan ikut-ikutan menyalahkan dirinya seperti yang dilakukan oleh keluarganya saat ini.

IV. STATUS PRAESENS 1. Status Fisik

S adalah seorang perempuan berperawakan kurus dan tinggi dimana diperkirakan tinggi badan sekitar 154 cm dan berat badan sekitar 45 kg. Pada pertemuan pertama S berpenampilan cukup rapi dengan menggunakan kemeja bunga-bunga merah dipadu dengan tas hitam ditangan, celana jeans serta menggunakan sandal kulit. Pertemuan kedua ia mengenakan pakaian yang serasi dengan baju warna kuning dan coklat, celana jeans biru muda, sepatu putih, jam tangan dipergelangan kiri serta rambut dibiarkan tergerai tidak diikat. Pertemuan selanjutnya yaitu yang ketiga, ia berpakaian tangan panjang berwarna hijau kotak-kotak, celana jeans dan jaket coklat. Memang pada saat pemeriksaan ketiga sedang turun hujan dan cuaca cukup dingin. Ia memakai make up tipis dan ramput diikat dengan aksesoris yang cukup menarik yaitu motif bunga. Pertemuan keempat, S mengenakan pakaian berwarna biru muda dan bermotif bunga serta celana kain dasar warna abu-abu. Dan pada pertemuan kelima, S mengenakan baju warna coklat muda dan celana kain dasar warna gelap. S memiliki warna kulit sawo matang dan rambut panjang se dada. Secara keseluruhan, penampilan S cukup bersih dan rapi.

2. Status Psikis

Pertama kali bertemu dengan pemeriksa, S terkesan malu dan kurang bersemangat, genggaman tangannya lemah dan dingin. Selain itu ketika berjalan memasuki ruangan pandangannya tertunduk ke bawah dan langkah kakinya cukup pelan, namun ketika S memperkenalkan dirinya, pemeriksa mampu mendengar dengan jelas nama yang disebutkannya. Terlihat diwajahnya yang murung dan matanya yang sembab seperti baru habis menangis. Pada pertemuan

(5)

ketiga begitu juga wajah S terlihat sedih, setelah ditanyakan ternyata S dua hari yang lalu baru bertengkar dengan suaminya. Disetiap pemeriksaan S sering kali menangis terutama bila menceritakan keadaan diri dan hubungan dengan suaminya. Ia kurang mampu menjaga kontak mata dengan pemeriksa selama pemeriksaan berlangsung, sesekali ia melihat ke arah lain atau ke orang lain yang sedang ada di dalam ruangan pemeriksaan atau bila menangis ia tertunduk sambil menyeka air mata dengan sapu tangannya. Status kesadarannya compos mentis. Secara keseluruhan, S cukup kooperatif dalam melakukan pemeriksaan psikologi.

V. OBSERVASI

1. Observasi Umum

Selama pemeriksaan berlangsung, S jarang mampu untuk menjaga kontak mata dengan pemeriksa, ia hanya sesekali untuk melihat ke arah pemeriksa. Selain itu, terkadang suaranya terdengar jelas dan tiba-tiba suaranya menjadi lebih kecil sehingga pemeriksa meminta S untuk kembali mengulang apa yang telah dikatakannya. Ketika S menceritakan tentang dirinya, hubungannya dengan suami, dan kedua orangtuanya maka ia akan menangis dengan suaranya bergetar. Sering menyeka air mata dengan sapu tangannya.

Selain itu, saat mengerjakan tes, ia cukup kooperatif dimana S mampu memahami dan menjawab pertanyaan, dan sering kali mengulang kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh pemeriksa. Ketika ia tidak mengetahui jawabannya, ia akan menggelengkan kepala sambil mengatakan, “gak tahu”. S juga terkadang berada pada posisi duduk menyandar ke kursi dan juga terkadang agak condong mendekati meja.

2. Observasi Khusus a. Lembar Riwayat Hidup

(6)

S mengisi lembar riwayat hidup sambil dibimbing oleh pemeriksa. Ia sesekali mengangguk-anggukkan kepala sebagai pertanda bahwa ia mengerti apa yang harus dilakukannya. S mengingat dengan jelas tahun kelulusannya sehingga ia lancar menuliskannya. S tidak mengisi kolom kursus karena ia mengatakan bahwa tidak pernah mengikuti kursus-kursus. Begitu pula pada kolom pengalaman kerja, berorganisasi, olahraga, kesenian dan hobby.

Pada kolom cita cita, ia mengisi dengan keinginan untuk kursus salon namun ia mengatakan hal itu tidak pernah tercapai sampai saat ini. Kemudian S menceritakan kejadian saat ia sakit tipes pada tahun 1991 disaat dia masih sekolah dan begitu pula saat mengalami kecelakaann motor namun ia tidak sampai dirawat di rumah sakit. Tetapi menurutnya itu hanyalah kecelakaan biasa, karena hasil pemeriksaan dokter mengatakan bahwa ia baik-baik saja walaupun badannya sedikit mengalami luka-luka. Secara keseluruhan, S mampu menyelesaikan lembar pengisian riwayat hidup dengan baik.

b. Anamnesa

Pemeriksa menjelaskan kepada S bahwa nantinya akan ada beberapa pertanyaan mengenai kehidupan pribadi S dan diharapkan S mampu menjawab dan menceritakannya. Mendengar penjelasan dari pemeriksa, S menganggukkan kepala dan posisi duduk menyandar ke kursi. Setiap akan menjawab, S nampak terdiam dan terkadang menangis, kemudian ia bercerita dengan suara yang cukup kecil sehingga terkadang pemeriksa meminta S untuk mengulang kata-katanya.

S menceritakan kehidupan pribadinya dengan cukup detail dan runtun, namun ia tidak menjaga kontak mata dengan pemeriksa. Matanya menatap ke depan tetapi hanya sesekali melihat ke arah

(7)

pemeriksa. Selain itu, ia kelihatan sedih dan sampai menagis ketika membicarakan ibunya dan menceritakan bahwa hubungan dalam keluarga mereka kurang harmonis. Ketika S menceritakan tentang hubungannya dengan suaminya, raut wajahnya juga kelihatan sedih, sampai beberapa kali ia menangis. Secara keseluruhan, S mudah untuk menceritakan kehidupan pribadinya dan mudah tergugah secara emosi jika menceritakan kondisi keluarga dan kehidupan pribadinya, raut wajahnya menunjukkan kesedihan jika isi ceritanya mengandung makna sedih, dan ia akan tersenyum bahkan tertawa jika isi cerita menarik bagi dirinya.

c. Grafis

WZT (8 menit)

Ketika S diminta untuk menggambar, ia kelihatan bingung, dan mengatakan bahwa ia tidak bisa menggambar, namun ia tetap mengerjakan tes ini. S menyelesaikan gambar tidak berurutan dan terkesan sangat sederhana gambar yang dibuatnya. S membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan stimulus 7 dan stimulus 3 dibandingkan stimulus lainnya. S kelihatan kebingungan ingin menggambar apa sehingga ia memandang ke arah lain kemudian kembali ke kertas untuk menggambar.

DAP (06 menit 09 detik)

Pemeriksa meletakkan kertas kosong dihadapan S dan memintanya untuk menggambar orang. Pemeriksa menjelaskan bahwa gambar S tidak akan dinilai bagus atau buruknya. Gambar orang yang pertama kali digambar adalah wanita. S mulai menggambar dari bagian kepala, wajah, rambut, kuping, badan, dan tangan. S melakukan pengulangan garis hampir di seluruh

(8)

bagian gambar orang tersebut. S kemudian menggambar bagian bawah dan bagian kaki.

Pemeriksa kemudian memberikan kertas kosong baru dan meminta S menggambar orang dengan jenis kelamin yang berbeda dengan gambar orang sebelumnya. S kemudian mencoba menggambar dimulai dari bagian kepala, rambut, wajah, badan, tangan, dan bagian bawah gambar orang tersebut. S tidak membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan gambar yang berjenis kelamin laki laki dibandingkan gambar yang berjenis kelamin perempuan.

BAUM (03 menit 02 detik)

Pemeriksa memberikan kertas kosong kehadapan S dan

memintanya untuk menggambar pohon. S menggambar pohon dimulai dari bagian batang, kemudian secara bergantian

menggambar daun sebelah kiri dan sebelah kanan. S kemudian menambahkan garis-garis pada batang, serta menambahkan batang disebelah kanan pohon yang memiliki buah. Setelah gambar itu selesai.

d. WB (1 jam 45 menit) Information

S memahami instruksi dan hanya mampu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan. Jika ia tidak mengetahui jawabannya, ia akan mengatakan gak tau sambil menggelengkan kepala.

(9)

Pada sub tes ini, S mampu menjawab pertanyaan dengan cukup jelas. Selain itu, jika ia kurang memahami soal yang diberikan, ia akan meminta pemeriksa untuk mengulangnya.

Digit Span

Pemeriksa menjelaskan tentang sub tes ini dan diperhatikan dengan seksama oleh S. Saat mendengarkan deret angka yang disebutkan oleh pemeriksa dan mengulangi deret angka tersebut, ia akan memejamkan matanya. S hanya sesekali membuka matanya.

Arithmetic

S kurang mampu menjawab soal-soal hitungan ini dengan cepat. Ketika menjawab, S nampak berpikir sambil sesekali menutup matanya. S menjawab salah untuk soal nomor 3, 4, 5, 7 dan 10, walaupun pemeriksa masih memberikannya kesempatan untuk memperbaiki jawaban, akan tetapi S tetap memberikan jawaban yang salah.

Similiarities

Pemeriksa menjelaskan tentang sub tes similiarities dan nampaknya S memahami apa yang harus dilakukannya. Pada soal nomor 1 dan 8, S menjawab menggunakan kata kata “sama sama” namun selanjutnya S langsung menyebutkan persamaannya saja. Bila ia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut maka S akan mengatakan “gak tau” sambil menggelengkan kepalanya. Vocabulary

S memberikan jawaban-jawaban yang singkat dan jelas. Terkadang ia meminta soal yang disebutkan oleh pemeriksa diulangi, dan terkadang pula ia cukup lama dalam memberikan jawaban yang ia kurang mengerti namun ia berusaha untuk tetap memberikan jawaban.

(10)

S memperhatikan dengan seksama instruksi yang diberikan oleh pemeriksa untuk mengerjakan sub tes ini. Dalam mengerjakan tugas ini, S sering kali melihat ke contoh tanda sehingga ia lamban dalam menyelesaikan tugas ini.

Picture Arrangement

S mampu mengerjakan sub tes ini dengan cepat, akan tetapi setelah menyusun urutan gambar, ia terkadang mengubah susunan gambarnya, sehingga waktu yang digunakan bertambah lama. S menceritakan apa yang dilihatnya pada urutan gambar itu. Picture Completion

Dalam menjawab sub tes ini, S membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengamati bagian penting yang hilang dalam gambar. Pada nomor 9 ia mengatakan “gak tau” dan pada nomor 13 dan 14 ia mengatakan dengan jawaban yang salah.

Block Design

S mengerjakan tugas ini membutuhkan waktu yang tidak terlalu lama kecuali pada nomor ke 6 hingga waktu berakhir ia tetap tidak bisa menyusun bentuk yang dicontohkan. Dalam pengerjaannya S memulai secara tidak beraturan, bahkan terkadang membolak-balik balok secara berulang kali namun tidak menemukan sisi yang pas untuk digunakan. Ia mengerjakannya secara trial error.

Object Assembly

Pada sub tes ini, S tidak nampak kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Kepingan pertama diselesaikannya dengan baik, begitupula untuk kepingan 2 dan 3.

e. SSCT

Sebelum mengerjakan tes ini, pemeriksa menjelaskan bahwa S cukup menjawab pernyataan-pernyataan yang tercantum sesuai dengan pikiran yang pertama kali muncul ketika melihat

(11)

kesulitan untuk menyelesaikan suatu pernyataan maka ia akan beralih ke pernyataan berikutnya. S kembali mengecek

jawabannya dan mengisi jawaban pernyataan yang masih kosong f. Rorschach (1 jam 24 menit)

Tes ini dilakukan pada pertemuan kelima, dan pemeriksa memberikan prolog lengkap mengenai tes ini. S mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata “iya”, sebagai tanda bahwa ia mengerti apa yang harus dilakukannya. S memegang kartu dan sering memutar-mutar kartu lalu memberikan respon. Setelah respon pertama disebutkan, ia kembali memutar-mutar kartu sambil mengamati kartu tersebut. S cukup lama untuk meletakkan kembali kartu dan mengatakan “sudah, ga ada lagi yang bisa saya liat” sehingga waktu yang digunakan untuk melihat satu kartu cukup lama. S memberikan respon hanya 1 untuk tiap kartunya, kecuali untuk kartu nomor 3 dan 6, ia memberikan 2 respon. Sedangkan kartu 4 dan 9, ia menolaknya dengan mengatakan “saya tidak bisa melihat apa-apa disitu”

Pemeriksa memberikan testing the limit untuk mengetahui apakah S dapat melihat warna dan bentuk yaitu kupu-kupu berwarna merah pada kartu III, namun S mengatakan bahwa ia tidak melihatnya. S menjawab bahwa ia melihat daerah merah itu seperti jantung, karena jantung berwarna merah. Kemudian pemeriksa memberikan testing the limit pada kartu VI untuk memunculkan shading, yaitu kulit binatang yang dibentangkan, namun S juga tidak mampu melihat bentuk itu. S mengatakan bahwa mungkin orang lain dapat melihat sebagai kulit binatang, tetapi dirinya tidak melihat itu sebagai kulit binatang. Secara keseluruhan, S cukup kooperatif dalam memberikan respon pada

performance proper dan pada saat inquiry, hanya saja dalam

(12)

VI. ANAMNESA

1. Latar Belakang Keluarga

S adalah anak ketiga dari lima bersaudara dengan urutan sebagai berikut:

1. Rk, 37 tahun, perempuan, ibu rumah tangga, menikah. 2. Rj, 35 tahun, laki-laki, wiraswasta, menikah.

3. Subjek, 30 tahun, perempuan, ibu rumah tangga,menikah 4. Rn, 24 tahun, perempuan, ibu rumah tangga, menikah 5. Rp, 17 tahun, laki laki, pelajar, belum menikah

Kedua orangtua S berasal dari salah satu desa di Sumedang dan suku bangsa sunda. S berasal dari keadaan ekonomi keluarga menengah, ayahnya (alm) seorang pegawai di perusahaan negara dan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga.

S menceritakan bahwa ia kurang dekat dengan ayahnya, karena ayahnya sibuk bekerja. Dan bila liburpun ayah lebih senang pergi dengan ibunya, sehingga ia kurang mendapat perhatian dari ayahnya. Ayah dianggap sebagai sosok yang kurang memberikan perhatian kepada anak anak, kurang hangat dan jarang berkomunikasi. Ayahnya kurang memberikan nilai-nilai keagamaan dan norma-norma sosial. S mengatakan bahwa ayahnya jarang memperhatikan dirinya, sekolah ataupun tugas-tugas dari sekolah tidak diperdulikan oleh ayahnya. Namun menurutnya dibandingkan dengan anak anak yang lain ayah masih lebih memperhatikan adiknya yang bungsu. Ia sangat sedih bila merasakan hal itu dimana ayah kurang memberi perhatian padanya, kalau sudah seperti itu biasanya S akan diam saja dan memendam perasaannya.

Hubungan S dengan ibunya juga kurang terjalin dengan baik. Ibu terlihat sama dengan ayah yang lebih memperhatikan adik

(13)

bungsunya, apa yang diminta pasti dituruti karena kalau tidak adiknya akan marah. Misalnya sewaktu kecil adik meminta dibelikan es krim maka ibu akan menyuruh ayah mencarikannya. Menurut s didalam keluarga ibu lebih dominan dibandingkan ayah. Keputusan didalam keluarga lebih banyak ibu yang memutuskan dibandingkan ayah. Jika liburan ibunya menyenangi olahraga voli dan ayah pasti akan lebih memilih menemani ibu hingga keluar kota hanya untuk bermain voli saja tanpa mengajak anak anaknya. Disamping adiknya yang bungsu, ibu juga terlihat lebih sayang dengan kakaknya yang pertama, sebab bila dimarahi ibu biasanya kakak tersebut akan pingsan. Sehingga menurutnya kakak dan adiknya lebih disayang dibandingkan dirinya, begitupula dengan saudara saudara lainnya. Ia merasa sedih karena ia dibedakan dibandingkan dengan yang lain. Pernah sewaktu masih kecil semua saudara saudaranya dibelikan pakaian baru bahkan saudara sepupunya kebagian dibelikan juga, sementara dirinya tidak dibelikan, ia menanyakan kepada ibu namun ibunya menjawab “ibu bingung dengan selera kamu, nanti saja..” namun hingga sekarang ibu tidak pernah membelikannya. Kemudian sewaktu ia pertama sekali mendapat haid, ia merasa seharusnya mendapat penjelasan dari ibu sebagai orang tuanya tapi begitu ia menanyakan tentang hal itu ia malah justru kena marah, begitupula saat ia meminta untuk dibelikan pembalut tetap tidak mendapat perhatian dari ibu sehingga ia memakai kain yang disobek sobek sebagai pengganti pembalut. Padahal pekerjaan rumah banyak yang dilimpahkan kepadanya dibandingkan dengan saudara saudara yang lain. S sangat kecewa sekali dengan perlakuan ibunya, sehingga pernah ia berpikir “sebenarnya dia itu anak mereka bukan…?”. Bila sudah seperti itu biasanya S hanya menangis dikamar sambil merenungi kenapa nasibnya bisa seperti ini.

Sewaktu ia masih kecil, s merasa bahwa kedua orang tuanya hanya mementingkan dan memuaskan diri mereka sendiri dan tidak

(14)

memperhatikan anak anaknya terutama dirinya, semua tingkah laku maupun kerjaan yang dilakukannya salah dimata orang tuanya. Terkadang S bingung “kenapa saya selalu disalahkan”, Ia merasa sedih dan kecewa atas sikap ibunya yang selalu menyalahkannya. Palagi bila ia benar-benar melakukan kesalahan seperti misalnya bila ia membersihkan rumah dan pada saat itu pernah ia memecahkan gayung mandi maka iapun mendapat marah berupa omelan dari ibunya. Kalau sudah dimarahi ibu, S akan berlari masuk kekamarnya dan menangis.

Hubungan kekerabatan antara S dengan saudara kurang begitu dekat, mereka jarang bermain bersama. Ia lebih memilih bermain sendiri dibandingkan dengan saudara saudaranya. Sebab mereka justru sering menyalahkan dirinya. S terkadang heran “kenapa kakak-kakaknya juga suka menyalahkan dirinya dan tidak mau bermain bersamanya”. Mereka juga sering bertengkar misalnya dalam memperebutkan mainan atau remote tv. Ia sering bertengkar dengan kakaknya yang kedua yaitu RJ. Sebab kakaknya tersebut paling sering menyalahkan dirinya sehingga membuat ia marah dan selalu melawan kakaknya RJ itu.

Dirumah ia menempati kamar bersama saudaranya Rn yang perempuan padahal menurutnya ia sangat ingin memiliki kamar sendiri karena baginya ia merasa tidak nyaman bila bersama orang lain. Dibandingkan pada waktu SMP ia tinggal dirumah nenek dan memiliki kamar sendiri.

Pada waktu ia berusia 7 tahun ia tinggal bersama neneknya dikosambi dan iapun memasuki sekolah dasar. Nenek lebih banyak menanamkan kedisiplinan, nilai nilai agama dan sosial, namun ia tidak lama tinggal dengan nenek. Ketika S naik kelas 2 iapun kembali tinggal dengan kedua orang tuanya. Pada saat itu menurutnya ia sedih kenapa harus kembali kerumah orang tuanya, tapi karena ia tidak berdaya untuk menolak maka ia menurut saja untuk kembali tinggal

(15)

dirumah bersama keluarganya. Kemudian memasuki sekolah menengah pertama iapun tinggal kembali dengan neneknya hingga ia duduk dikelas 3. Baginya ia merasa lebih enak dan nyaman tinggal dirumah nenek dibandingkan tinggal dengan kedua orang tuanya. Nenek lebih sayang padanya. Ia sering mendapat uang jajan dan perhatian yang lebih dari neneknya. Apapun yang diinginkannya pasti selalu dipenuhi oleh nenek dan kakeknya.

Sewaktu kelas 1 SMK ia pernah berkelahi secara fisik dengan kakaknya yang kedua, gara gara ia ketauan merokok dan kakaknya tersebut menampar wajahnya, dan iapun tidak terima perlakuan tersebut. Kemudian ia kembali memukul kakaknya Rj dan merekapun bertengkar fisik. Pada saat itu kedua orang tuanya tidak ada dirumah, mereka sedang pergi keluar kota untuk bermain voli. Baginya perlakuan kakaknya sangat berlebihan karena ia merasa “kakaknya sendiri saja perilakunya tidak benar, ngapain mengurusi dirinya”.

Pada tahun 1997, saat S duduk dikelas II SMK ia pernah dirawat di rumah sakit karena sakit typus, pada waktu itu ia merasakan keluarganya benar-benar tidak begitu peduli pada dirinya, ia dirawat selama 20 hari di RS, keluarganya hanya sesekali menjenguk dan melihatnya. S sangat kecewa atas perlakuan keluarganya itu tapi ia tidak dapat mengungkapkan pada mereka, ia hanya bisa mengeluh pada pacarnya yang saat ini telah menjadi suaminya. Menurutnya ia masih beruntung sebab walaupun keluarga tidak memperhatikan dirinya, ia masih memiliki pasangan yang pada saat itu begitu sayang padanya dan mau berkorban untuk dirinya. Selama sekolah di SMK ia menyatakan bahwa sering tidak masuk sekolah dengan alasan sakit apalagi setelah dirawat di RS itu, ia terkadang tidak masuk hanya gara-gara kepalanya sakit, demam, dan merasa kurang sehat badannya.

Dirumah menurutnya ia suka merasa tidak nyaman, sehingga ia lebih memilih bermain keluar bersama teman-temannya. Terkadang ia

(16)

membohongi kedua orang tuanya bahwa ada kegiatan ekstrakurikuler namun ia pergi jalan-jalan dengan temannya.

Pada tahun 2000 S menikah diusia 28 tahun. S sangat senang sekali bisa menikah dengan orang yang selama ini menyayanginya. Begitu dilamar oleh pasangannya pada waktu itu ia segera menyetujui karena ia berpikir nantinya ada seseorang yang akan lebih memperhatikan dia daripada saat ini berada dikeluarganya. Ia mengenal calon suaminya selama lima tahun dan kemudian mereka memutuskan untuk menikah. S memiliki 3 orang anak laki-laki. S menceritakan bahwa ia dulunya sangat senang berada dalam keluarganya. Suaminya adalah seorang pegawai negri di instansi pemerintah propinsi. Namun setelah menginjak dua tahun perkawinan ia berpikir kenapa suaminya sekarang sangat berbeda dengan dulu sewaktu pacaran yang lebih memperhatikan dirinya. Ia merasa sekarang suaminya lebih sibuk mengurusi pekerjaannya dikantor. Bila pulang dari kantor suaminya terlihat sering marah-marah, terkadang hanya persoalan sepele seperti masakan yang dimasak S kurang cocok dengan selera suami, rumah sedikit berantakan, maka suaminya akan mudah sekali menyalahkannya dan pertengkaran diantara mereka pun akan terjadi. Ia sangat sedih dan kecewa sekali dengan perilaku suami yang mulai berubah dan tidak seperti dulu lagi. Kalau sudah bertengkar dengan suaminya biasanya S hanya bisa menangis.

Semakin hari hubungan dengan suaminya semakin kurang harmonis, suaminya kurang memberikan rasa sayang. Suaminya sehari-hari hanya memperlakukan ia seperti pembantu rumah tangga saja yang hanya dicukupkan dengan materi berupa uang sementara ia masih membutuhkan hal yang lain seperti perhatian dan kasih sayang itu. S juga menyampaikan bahwa akhir-akhir ini ia merasa kehilangan gairah hubungan seksual dengan suaminya. Bila suaminya mengajaknya untuk berhubungan, ia akan mencoba beberapa kali untuk menolak atau dengan cara pura pura tidur. Bila pun terpaksa ia

(17)

akan melakukannya tanpa ada rasa gairah. Disamping itu bila ia sedang menghadapi masalah S sangat berharap suaminya mau membantu memecahkan masalahnya, bukan ikut menyalahkan dirinya seperti yang dilakukan oleh keluarganya saat ini.

Saat ini bila ia sedang mengalami masalah dengan keluarganya seharusnya suami melindungi dan peduli padanya tapi yang ia dapat justru suami malah ikut mempersalahkan dirinya juga. Seperti kejadian sewaktu tahun baru kemarin disumedang, ditempat orang tua dan keluarga besarnya berada. Disana diadakan acara keluarga dimana semua keluarga berkumpul sampai menyewa organ. Pada saat itu adiknya yang perempuan hingga larut malam belum juga pulang kerumah. Ia sangat mengkhawatirkan keadaannya dan merasa was was akan keberadaan adiknya itu. Namun hal itu justru dinilai salah oleh keluarganya terutama kakaknya yang laki laki nomor dua. Kakaknya bilang “sudahlah ina kan sudah besar ngapain dikhawatirkan seperti itu, kamu ini berlebihan sekali, lagian dia jugakan punya suami, suaminya biasa aja, kog kamu yang sibuk” hal tersebut justru membuat S heran “apa salah ia mencemaskan adiknya, bagaimana kalo ada yang mencelakakan ina diluar” Kejadian itu menjadi ia bersitegang dengan kakaknya, melihat hal tersebut suaminya justru tidak acuh padanya malah justru ikut menyalahkan dia yang seperti itu. Bila sudah seperti itu ia hanya diam saja dan merasa tidak berdaya.

Pada tahun 2008 yang lalu, S menyatakan bahwa ia sering mengalami sakit kepala yang berkepanjangan sehingga mendatangi beberapa dokter. Ia sudah beberapa kali diperiksa oleh dokter yang berbeda mulai dari dokter umum, dokter mata dan dokter syaraf. Namun ia merasa penyakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh tapi akhir-akhir ini malah justru semakin parah. Diagnosa dokter syaraf di RSHS menyatakan bahwa ia menderita depresi, sehingga akhirnya

(18)

ia memutuskan untuk mendatangi psikolog untuk memeriksaan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

2. Riwayat Pendidikan

Sekolah Dasar dilalui S dibeberapa tempat berbeda. Menurutnya hal itu disebabkan S harus menemani neneknya sehingga iapun sekolah yang dekat dengan tempat tinggal nenek. Kelas 1 ia menempuh pendidikan di SD Cipaera Kosambi. Naik kelas 2 ia pindah ke SD Cikadut, ia disana sampai kelas 3. Hal ini disebabkan karena orangtuanya menghendaki S untuk kembali kerumah orang tua kelas 4 S pindah sekolah ke SDN 5 antapani hingga ia menamatkan sekolah dasarnya disana. Selama di sekolah dasar, S belajar selalu sendiri, orang tua tidak pernah mendisiplinkan tentang waktu belajar. Rangking disekolahnya juga menurutnya biasa-biasa saja yaitu selalu berada ditengah antara sepuluh dan duapuluh. Namun menurutnya saat lulus dari sekolah dasar ia memperoleh NEM yang cukup baik sehingga pada saat itu orangtuanya memuji atas prestasi yang diperolehnya. Sewaktu sekolah dasar S sangat menyenangi pelajaran ketrampilan karena pelajarannya santai dan sambil bisa berkreasi, sedangkan pelajaran yang tidak disukainya adalah matematika sebab pelajaran itu baginya sangat sulit dan susah dimengerti.

Sekolah menengah pertama ditempuhnya di SMPN 6 Bandung. Prestasi yang diperolehnya pun selama di SMP biasa-biasa saja. Kelas 1 ia bisa berusaha sampai rangking 9, namun begitu naik kelas 2 dan 3 prestasinya menurun. Ia hanya bisa berada dirangking kelas berkisar sepuluh hingga duapuluh. Menurutnya prestasi yang diperolehnya tidak bisa membanggakan karena didalam belajar selama di SMP hanya dilakukan pada saat mau ujian saja. Pelajaran yang S senangi juga hanya bahasa inggris dan olahraga volley. Menurutnya, ia bisa bermain volley karena sering melihat ibunya bermain. Sedangkan pelajaran yang tidak senanginya adalah matematika. Ketika lulus SMP ia memperoleh NEM yang rendah, baginya hal itu wajar karena ia

(19)

memang jarang belajar. Namun dampak yang ia rasakan adalah S sulit untuk melanjutkan ke SMA di Sumedang. Akhirnya atas saran dari kakaknya RJ, S melanjutkan ke SMEA di bandung. Alasan kakaknya itu agar setelah lulus sekolah, ia nanti dapat mudah mencari pekerjaan minimal menjadi SPG di toko-toko atau mall.

Atas saran kakaknya itu S pun melanjutkan ke SMEA Pasundan I di Bandung. Selama sekolah, S jarang belajar. Ia hanya belajar pada saat-saat mau ujian saja. Sehingga prestasinya juga tidak begitu baik selama pendidikan disekolah itu. Pelajaran yang disenanginya adalah pemasaran dan bahasa inggris karena baginya kedua pelajaran tersebut mudah dimengertinya, sedangkan pelajaran yang tidak disenanginya adalah perpajakan sebab mata pelajaran tersebut selalu menggunakan hitung-hitungan.

3. Emosi dan Dorongan

S mengungkapkan bahwa ia adalah sosok yang tertutup untuk menceritakan masalah pribadinya. Ia sulit untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perasaannya kepada orang lain. Misalnya ia kecewa atau marah karena ada sikap seseorang yang kurang berkenan, ia tidak mampu untuk menyampaikan hal itu kepada orang yang bersangkutan karena tidak ingin menyinggung perasaan orang tersebut. Ia menganggap dirinya kurang hangat terhadap orang lain namun ia mudah tergugah secara emosional. Ketika ia bercerita tentang perlakuan orangtua terhadap dirinya, kehidupan rumah tangganya, matanya berkaca-kaca disertai dengan intonasi suara yang bergetar. Hal itu juga terjadi ketika ia bercerita tentang masalah yang muncul antara S dengan saudaranya terutama mereka yang suka menyalahkan dirinya. S mengatakan bahwa ia ingin bisa terbuka terhadap orang lain, tetapi ia sulit untuk melakukan hal itu dikarenakan ia jarang mendapatkan pengalaman dimana ia mampu berkomunikasi dan melibatkan emosi dengan orang lain.

(20)

Berkaitan dengan dorongan yang dimiliki, S mengungkapkan bahwa ia akan menerima apa adanya dan bila keinginannya tidak terpenuhi maka iapun akan diam saja dan merenungi dirinya sendiri sambil berkata dalam hari “kenapa aku harus mengalami seperti ini”. 4. Relasi Sosial dan Heteroseksual

S menganggap dirinya mudah untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia merasa bisa berteman dengan siapa saja seperti dengan teman teman adiknya atau kakaknya RJ. Hanya saja ia selalu menjaga jarak dengan orang lain karena takut menyinggung perasaan mereka. S mengatakan bahwa ia senang berbicara dengan orang-orang yang memiliki pemahaman yang sama dengan dirinya karena lebih mudah mengerti apa yang dibicarakan. Kalau tidak sepaham dengan dirinya bahkan orang itu sering menceritakan kejelekan orang lain, S tidak akan mau untuk berbicara lebih banyak lagi dengan orang tersebut. S juga jarang untuk menceritakan masalah pribadinya ke orang lain, ia cenderung memilih diam.

Pada waktu sekolah menengah pertama ia memiliki teman dekat, s merasa bisa bercerita apapun padanya, mereka bisa saling cerita karena temannya tersebut memiliki permasalahan keluarga yang sama dengan dirinya. Mereka merasa sebagai anak yang tidak diistimewakan oleh keluarganya dan kurang diberikan kasih sayang sehingga menurut S mereka berperilaku sebagai anak yang nakal seperti merokok dan terkadang minum alkohol, namun begitu mereka minum tidak sampai mabuk hanya sekedar minum saja. Hal itu dilakukan saat duduk dikelas 3 SMP dan keluarga mereka tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Ia berhenti minum setelah duduk dikelas 3 SMK. Hubungan dengan sahabatnya itu dilakukan sampai sekarang dan mereka masih sering cerita tentang keadaan keluarga masing masing.

(21)

Ia mulai berpacaran dengan suaminya tersebut sejak duduk dikelas 3 SMP. Pacarnya pada saat itu suka membatasi dirinya untuk berteman dengan yang lain. Bila pulang sekolah selalu ditemani. Pada saat itu mereka berpacaran masih sembunyi sembunyi dari orang tuanya. Karena suka dibatasi berteman oleh pacarnya tersebut ia merasa pada saat itu ia kurang memiliki teman, apalagi pacarnya seorang pencemburu.

VII. KESIMPULAN SEMENTARA

S adalah perempuan berusia 31 tahun, anak ketiga dari lima bersaudara yang memiliki pola kepribadian neglected yaitu dimana ia kurang mendapatkan perhatian/afeksi dari kedua orangtuanya sehingga ia tumbuh menjadi orang yang kurang percaya diri.

Sewaktu masih kanak-kanak, S dibesarkan oleh orangtua yang kurang memberikan afeksi padanya. Ayah lebih banyak memperhatikan ibu dibandingkan dirinya dan saudara-saudaranya. Begitu juga ibu, yang sangat cerewet dan sering memarahi S, terutama dalam hal kegiatan sehari hari seperti membersihkan rumah. Ibupun kurang memberikan perhatian dan kasih sayang padanya.

Saat S memasuki masa remaja, S mulai tertarik dengan lawan jenis dan mencoba untuk menjalin relasi yang lebih mendalam (berpacaran). Pacaran ini dilakukan S untuk mendapatkan perhatian dan tempat bergantung, sebagai pengganti dari perhatian orangtua yang mulai berkurang kepadanya. Oleh pacarnya itu yang sekarang menjadi suaminya. S banyak memperoleh apa yang diinginkannya yang selama ini tidak didapat dari kedua orangtuanya. Seperti dalam hal materi, pacarnya yang sudah bekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah S. Begitu juga dalam hal kasih sayang dan perhatian. Pacarnya akan slalu berada disampingnya, mau mengantar dan menjemputnya kesekolah.

(22)

Memasuki masa dewasa awal, S mulai menikah dengan pacarnya selama ini. Namun apa yang didapat saat mereka berpacaran seperti perhatian dan kasih sayang, sekarang didalam rumah tangga sudah tidak ditemukannya lagi. Lama-kelamaan perhatian dan kasih sayang dari suami mulai berkurang. Suami hanya memenuhi kebutuhan materinya saja. Sehingga S beranggapan bahwa ia hanya sebagai seorang pembantu dirumahnya. Pada saat mereka beberapakali berselisih paham dimana S yang memiliki sifat yang keras dan tidak mau mengalah maka ia akan memaksakan keinginannya pada suami. Misalnya saja pada saat ingin membeli suatu barang. Mereka akan berselisih-paham, sebab keinginan dirinya dan suaminya pasti berbeda. Kalau sudah seperti itu biasanya terjadi pertengkaran. Dan bila ia selalu disalahkan maka akan timbullah sakit dikepalanya. Saat ini s diperlakukan oleh suaminya sebagai seorang wanita dewasa yang tidak memperoleh perhatian dan kasih sayang, sehingga kemungkinan ia datang kepsikolog untuk mencari atensi dan butuh pengarahan tentang apa yang sebaiknya ia lakukan

Sebenarnya, S cukup peka dan relasi sosialnya juga cukup baik dengan orang lain, S juga cukup terbuka dan bisa menyatakan perasaannya pada orang lain namun penempatan dirinya dengan orang lain itu yang kurang baik. Hal ini kemungkinan karena ibu dan kakaknya sering menyalahkan S. Bila S sudah merasa terluka, maka akan menurunkan kemampuan kognisinya. Hal inilah yang menyebabkan S memilih solusi dengan cara melawan dan berargumen kepada mereka, namun bila sudah seperti itu maka sakit kepalanya akan menyerang.

Proses yang dilakukan S dengan mendatangi beberapa dokter untuk memeriksakan sakit dikepala, sebenarnya hanya untuk mencari pengakuan dari orang profesional atas apa yang sedang dialaminya sehingga nantinya ia memperoleh perhatian dari keluarga bahwa saat ini ia sedang sakit.

(23)

VIII. RENCANA ALAT TES YANG DIGUNAKAN 1.GRAFIS DAN WZT

2. WB

3. SSCT

4. RORSCHACH

IX. TINJAUAN TEORITIS 1. Somatoform

Pada tahun 1859 seorang dokter berkebangsaan Francis Pierre Briquet menggambarkan suatu sindrom yang pada awalnya diberi nama sesuai dengan namanya, sindrom Briquet, dan kini dalam DSM-IV-TR disebut gangguan somatisasi.

Kata somatoform diambil dari bahasa Yunani yaitu soma yang berarti tubuh. Dalam gangguan somatoform (somatoform disorder), orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas fisik yang dapat ditemukan sebagai penyebab. Somatoform disorder adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai dengan keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab gangguan fisik secara medis (misalnya nyeri, mual, dan pening/sakit kepala). Berbagai simtom dan keluhan somatik tersebut serius, sehingga menyebabkan stres emosional dan gangguan untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan.

Keluhan somatik yang berulang dan banyak yang memerlukan perhatian medis, namun tidak memiliki sebab fisik yang jelas merupakan dasar gangguan ini. Untuk memenuhi kriteria diagnostik, yang bersangkutan harus mengalami keempat hal di bawah ini:

1. empat simtom rasa sakit di bagian yang berbeda (seperti kepala, punggung, sendi);

(24)

3. satu simtom seksual selain rasa sakit (seperti tidak berminat pada hubungan seksual, disfungsi ereksi);

4. satu simtom pseudoneurologis (seperti : seperti yang terjadi dalam gangguan konversi).

Diagnosis gangguan somatoform ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Simtom-simtom yang ditunjukkan merupakan refleksi dari konflik psikologi dalam diri orang yang mengalami gangguan somatoform. Misalnya beberapa orang mengeluhkan masalah dalam bernafas, menelan, atau seperti ada sesuatu yang menekan dalam tenggorokan. Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik yang dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simtom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf.

Simtom-simtom tersebut, yang lebih pervasif dibanding keluhan hipokondriasis, biasanya menyebabkan hendaya, terutama dalam pekerjaan. DSM-IV-TR mencatat bahwa simtom-simtom spesifik gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya. Sebagai contoh, tangan terbakar atau seperti ada semut-semut yang berjalan di bawah kulit sering terjadi di Asia dan Afrika dibanding di Amerika Utara. Terlebih lagi, gangguan tersebut dinilai lebih sering terjadi pada budaya yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka (Ford, 1995).

Gangguan somatisasi dan gangguan konversi memiliki banyak persamaan simtom, dan keduanya dapat ditegakkan pada pasien yang sama (a.l., Ford & Folks, 1985). Kunjungan ke dokter, kadangkala ke banyak dokter pada waktu yang bersamaan, sering kali dilakukan, juga penggunaan obat-obatan. Perawatan di rumah sakit dan bahkan operasi menjadi hal umum (Guze, 1967). Masalah menstruasi dan

(25)

hambatan seksual sering terjadi (Swartz dkk., 1986). Para pasien umumnya menyampaikan keluhan mereka secara histrionik dan berlebih-lebihan atau sebagai bagian riwayat kesehatan yang panjang dan penuh komplikasi. Banyak yang meyakini bahwa mereka telah mengalami sakit sepanjang hidup. Komorbiditas tinggi dengan gangguan anxietas, gangguan mood, penyalahgunaan zat, dan sejumlah gangguan kepribadian (Golding, Smith, & Kashner, 1991; Kirmayer, Robbins, & Paris, 1994)

Prevalensi sepanjang hidup gangguan somatisasi diperkirakan kurang dari 0.5 persen dari populasi AS; lebih sering terjadi pada perempuan, terutama keturunan Afrika Amerika dan Hispanik (Escobar dkk., 1987), dan di kalangan pasien dalam perawatan medis. Prevalensi lebih tinggi di beberapa negara Amerika Selatan dan Puerto Rico (Tomasson, Kent, & Coryell, 1991).

Berbagai perbedaan budaya tersebut tidak dapat langsung diinterpretasi begitu saja (Kirmayer & Young, 1998). Berdasarkan perspektif Eropa Barat, contohnya, kadangkala muncul pendapat bahwa perwujudan fisik masalah psikologis dalam satu atau lain hal merupakan sesuatu yang primitif atau tidak canggih. Namun, perbedaan dualistik antara fisik dan psikologis mencerminkan tradisi medis yang tidak diterima secara universal (contohnya, dalam ilmu pengobatan Cina). Jauh lebih beralasan untuk memandang budaya seseorang sebagai sesuatu yang memberikan konsep mengenai distress dan bagaimana cara mengomunikasikan distress itu.

Gangguan somatisasi umumnya bermula pada masa dewasa awal (Cloninger dkk., 1986). Walaupun mungkin tidak sestabil seperti yang disebutkan dalam DSM karena dalam satu studi mutakhir hanya sepertiga dari pasien yang menderita gangguan somatisasi masih memenuhi kriteria diagnostik ketika diukur kembali 12 bulan kemudian (Simon & Gureje, 1999). Kecemasan dan depresi sering kali dilaporkan, juga sejumlah masalah perilaku dan interpersonal, seperti membolos

(26)

kerja, catatan kerja yang jelek, dan masalah perkawinan. Gangguan somatisasi tampaknya juga terjadi dalam keluarga; gangguan ini terjadi pada sekitar 20 persen kerabat tingkat pertama kasus indeks, yaitu individu yang didiagnosis menderita gangguan somatisasi (Guze, 1993).

Beberapa kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan somatisasi :

• Terdapat riwayat banyak keluhan fisik selama beberapa tahun yaitu ada empat simtom : 1. rasa sakit dikepala; 2. gastroin-testinal; 3. seksual, dan 4 pseudoneurologis

• Simtom-simtom tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan bila ditilik kondisi medis yang mungkin dialami orang yang bersangkutan

Etiologi Gangguan Somatoform

Sebagian besar teori mengenai gangguan somatoform hanya diarahkan pada pemahaman histeria sebagaimana dikonseptualisasi oleh Freud. Konsekuensinya, teori ini memfokuskan pada penjelasan gangguan konversi. Pada akhir bagian ini, kami mengkaji pandangan psikoanalisis mengenai gangguan konversi kemudian membahas penjelasan para teoris, behavioral, kognitif, dan biologis. Pertama, kami membahas secara singkat berbagai pemikiran tentang etiologi gangguan somatisasi.

Etiologi Gangguan Somatisasi. Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan terhadap sensasi tersebut, atau menginterpretasinya sebagai sesuatu yang membahayakan (Kirmayer dkk., 1994; Rief dkk., 1998). Kemungkinan lain adalah mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dibanding orang lain (Rief & Auer, 2001). Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan nyeri,

(27)

rasa tidak nyaman, dan disfungsi raerupakan manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-sistem tubuh. Sejalan dengan pemikiran bahwa terdapat faktor kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki level kortisol tinggi, suatu indikasi bahwa mereka berada di bawah tekanan (Rief dkk., 1998). Mungkin ketegangan ekstrem yang dialami individu terpusat pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa mual atau muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola maladaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.

Gangguan somatoform berbeda dengan malingering, dimana pasien berpura-pura mengalami simtom dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas seperti menghindari pekerjaan. Gangguan tersebut juga berbeda dengan factitious disorder, yang bentuk paling umumnya adalah munchausen syndrome. Munchausen adalah suatu bentuk penyakit yang dibuat-buat dimana orang tersebut berpura-pura sakit atau membuat dirinya sendiri sakit seperti dengan cara memasukkan zat beracun. Sejumlah pasien munchausen menjalani operasi bedah yang tidak perlu meski mereka tahu tidak ada yang salah dengan diri mereka. Simtom pada factitious disorder, tidak terhubung dengan hasil yang jelas. Gangguan ini memungkinkan adanya suatu kebutuhan psikologis. Dengan menampilkan peran sakit dalam lingkungan rumah sakit yang terlindungi memberikan suatu rasa aman yang kurang di dapat pada masa kecil.

Somatoform & Pain Disorder

Psychosomatic

Disorder Malingering Factitious Disorder Mengalami

beberapa

gejala sakit fisik yang subyektif tanpa sebab

Mengalami sakit fisik yang nyata, faktor psikologis ikut ber-kontribusi pada sakitnya Sengaja menipu sakit secara fisik untuk menghindari situasi tidak Sengaja menipu sakit secara fisik untuk menarik perhatian

(28)

organis (pengalaman sakit termasuk kedalam pain disorder) menyenangkan, seperti tugas kemiliteran secara medis

Disini kita membahas beberapa tipe utama dari gangguan somatoform seperti gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi.

A. Klasifikasi

Terdapat beberapa tipe utama dari gangguan somatoform: gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi. Dalam DSM IV-TR, yang termasuk dalam Somatoform Disorder sebagai berikut :

300.81 Somatization Disorder

300.82 Undifferentiated Somatoform Disorder 300.11 Conversion Disorder

300.xx Pain Disorder

300.80 Associated With Psychological Factors

300.89 Associated With Both Psychological Factors and a General Mediacal Condition

300.7 Hypochondriasis

300.7 Body Dismorphic Disorder 300.82 Somatoform Disorder NOS

Namun disini hanya akan membahas beberapa tipe utama dari gangguan somatoform, yaitu : gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, gangguan somatisasi dan gangguan nyeri.

1. Gangguan Konversi

a. Definisi

Gangguan konversi dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan sebagai penyebab simtom

(29)

atau kemunduran fisik tersebut. Simtom-simtom tersebut tidaklah dibuat secara sengaja. Orang tersebut tidak melakukan malingering. Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.

Gangguan konversi dinamakan demikian karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik. Gangguan konversi sebelumnya disebut neurosis histerikal atau histeria.

Menurut DSM, simtom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simtom yang ‘klasik’ melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi, kebutaan dan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di depan mata), kehilangan indera pendengaran dan penciuman, atau kehilangan rasa pada anggota badan (anestesi). Simtom-simtom tubuh yang ditemukan dalam gangguan konversi seringkali tidak sesuai dengan kondisi medis yang mengacu. Misalnya, orang yang menjadi ‘tidak mampu’ berdiri atau berjalan dilain pihak dapat melakukan gerakan kaki lainnya secara normal.

Beberapa orang dengan gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutan terhadap simtom-simtom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle

indifference (ketidakpedulian yang indah). b. Treatment

Pemberian treatmen dengan menggunakan pendekatan psikoanalisa untuk pasien konversi adalah berfokus pada pengekspresian emosi dan ingatan yang menyakitkan dan

insight bahwa gangguan berkaitan dengan simtom konversi

(30)

ditangani. Ketika simtom muncul lebih dari satu bulan, riwayat pasien sering mirip gangguan somatisasi dan diperlakukan seperti itu.

Sementara treatmen dengan pendekatan behavioral berfokus pada mengurangi kecemasan pasien yang berasal dari trauma yang menyebabkan simtom konversi. Terapi behavioral bisa dilakukan dengan metode systematic desensitization dan

vivo exposure therapy. 2. Hipokondriasis

a. Definisi

Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung. Rasa sakit tetap ada meskipun telah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak mendasar.

Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan simtom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, sering kali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri. Orang yang mengembangkan hipokondriasis sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli, terhadap simtom dan hal-hal yang mungkin mewakili apa yang ia takutkan. Orang dengan hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit rasa sakit serta nyeri (Barsky dkk., 2001). Padahal kecemasan akan simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik tersendiri, misalnya keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Dengan demikian, sebuah lingkaran setan (vicious cycle) akan muncul. Orang dengan hipokondriasis dapat menjadi marah saat dokter mengatakan betapa ketakutan mereka sendirilah yang

(31)

menyebabkan simtom-simtom fisik tersebut. Mereka sering ‘belanja dokter’ dengan harapan bahwa seorang dokter yang kompeten dan simpatik akan memperhatikan mereka sebelum terlambat.

b. Treatment

Untuk penanganan pasien dengan hipokondria dengan pendekatan psikoanalisa. Pasien diajak untuk mengidentifikasi perasaan dan pikiran dibalik simtom yang muncul dan mencari cara melakukan coping yang adaptif.

Selain itu, penanganan hipokondria dengan pendekatan kognitif, pasien dibantu untuk belajar menginterpretasikan simtom-simtom fisik dan menghindari bencana simtom fisik. 3. Gangguan Dismorfik Tubuh

a. Definisi

Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata, misalnya seseorang yang merasa hidungnya kurang mancung, atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Orang dengan gangguan dismorfik tubuh terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka (APA, 2004). Beberapa pasien cenderung menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengamati kekurangan mereka di cermin. Bahkan agar tidak mengingatnya, terkadang mereka menyembunyikan cermin atau menggunakan kamuflase, misalnya dengan menggunakan pakaian yang sangat longgar atau tindakan paling ekstrim menjalani operasi plasti yang tidak dibutuhkan.

Orang dengan Body Dysmorphic Disorder percaya bahwa orang lain memandang diri mereka jelek atau berubah bentuk menjadi rusak dan bahwa penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berpikir negatif tentang

(32)

karakter atau harga diri mereka sebagai manusia (Rosen, 1996). Mereka sering menunjukkan pola berdandan atau mencuci atau menata rambut secara kompulsif dalam rangka mengoreksi kerusakan yang dipersepsikan.

Pada gangguan ini faktor subyektif berperan penting. Gangguan ini lebih banyak berpengaruh pada perempuan dibanding laki-laki, dan onset biasanya muncul sekitar usia 15-20 tahun (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994).

b.Treatment

Terapi psikoanalisa berfokus pada tujuan insight sebagai kekhawatiran yang direpres mengarah pada simtom. Sementara terapi behavioral berfokus pada menghadapkan pasien pada situasi yang ditakuti pasien tentang kekhawatiran tentang tubuh mereka, menghilangkan kekhawatiran mereka tentang bagian tubuh mereka dan mencegah respon yang kompulsif terhadap bagian tubuh tertentu. Meningkatkan seretonin dalam otak bisa menghilangkan obsesi-kompulsif pada bagian tubuh.

4. Gangguan Somatisasi

a. Definisi

Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik sebagai keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Perbedaan antara gangguan somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah banyaknya keluhan dan banyaknya sistem tubuh yang terpengaruh. Gangguan ini sifatnya kronis muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun, dan berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam kehidupan sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup

(33)

sistem-sistem organ yang berbeda (Spitzer, dkk, 1989). Jarang dalam setahun berlalu tanpa munculnya beberapa keluhan fisik yang mengawali kenjungan ke dokter. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan pelayanan medis (G.R. Smith, 1994).

Gangguan somatisasi biasanya bermula pada masa remaja atau dewasa muda dan tampaknya merupakan gangguan yang kronis atau bahkan yang berlangsung sepanjang hidup (Kirmayer, Robbins & Paris, 1994; Smith, 1994). Gangguan ini biasanya muncul dalam konteks gangguan psikologis lain, terutama gangguan kecemasan dan gangguan depresi (Swartz dkk, 1991). Meskipun tidak banyak diketahui tentang latar belakang masa kecil dari orang dengan gangguan somatisasi, suatu penelitian melaporkan bahwa wanita dengan gangguan ini lebih mungkin untuk melaporkan penganiayaan seksual di masa kecil daripada kelompok wanita pembanding yang mengalami gangguan mood (Morrison, 1989). Orang dengan gangguan somatisasi terganggu dengan simtomnya sendiri. Namun gangguan ini tetap controversial. Banyak pasien, terutama pasien wanita, salah didiagnosis dengan gangguan psikologis, termasuk gangguan somatisasi, karena kegagalan dari kedokteran modern untuk mengidentifikasi dasar medis dari keluhan fisik mereka (Klonoff & Landrine, 1997).

b. Treatment

Penanganan gangguan somatisasi sama dengan penanganan pada hipokondria. Pada penanganan treatment dengan pendekatan psikoanalisa, pasien diajak untuk mengidentifikasi perasaan dan pikiran dibalik simtom yang muncul dan mencari cara melakukan coping yang adaptif.

Selain itu, pendekatan kognitif pasien dengan gangguan somatisasi ditangani dengan cara membantu pasien belajar

(34)

menginterpretasikan simtom-simtom fisik dan menghindari bencana simtom fisik.

5. Gangguan Nyeri

a. Definisi

Pada gangguan ini individu mengalami gejala sakit atau nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis (non-psikiatris) maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stres emosional atau gangguan fungsional. Gangguan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan faktor psikologis.

Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuatif intensitasnya dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi dan situasi (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994). Dengan kata lain, faktor psikologis mempengaruhi kemunculan, bertahannya dan tingkat keparahan gangguan (Davidson & Neale, 2001). Prevalensi gangguan nyeri pada perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan puncak onsetnya terjadi sekitar usia 40-50 tahun, mungkin karena pada usia tersebut toleransi terhadap rasa sakit sudah berkurang (Kaplan, Sandock, & Grebb, 1994).

b. Treatment

Treatment untuk gangguan nyeri sama dengan penanganan pada pasien dengan gangguan somatisasi. Melalui pendekatan psikoanalisa, pasien diajak untuk mengidentifikasi perasaan dan pikiran dibalik simtom yang muncul dan mencari cara melakukan coping yang adaptif.

Pada pendekatan kognitif, pasien dengan gangguan nyeri ditangani dengan cara membantu pasien belajar menginterpretasikan simtom-simtom fisik dan menghindari bencana simtom fisik.

(35)

Somatoform

Somatoform Disorder memiliki karakteristik gejala fisik atau keluhan yang muncul karena sebab psikologis

Disorder Kunci Gejala

Conversion Disorder Kehilangan fungsi pada bagian tubuh dengan alas an psikologis daripada alasan fisik.

Somatization Disorder

Riwayat keluhan tentang gejala fisik, mempengaruhi beberapa area tubuh yang berbeda agar mendapat perhatian secara medis namun tidak memiliki sebab fisik

Pain Disorder Riwayat keluhan tentang nyeri untuk mendapat perhatian secara medis tetapi tidak ada penyebab fisik

Hypochondriasis Kekhawatiran kronis tentang suatu penyakit fisik namun tidak ada bukti satupun, secara berulang mencari perhatian medis.

Body Dysmorphic Disorder

Senang berlebihan dengan satu bagian tubuh yang diyakininya sangat kurang/tidak sempurna

B.Dinamika Gangguan

Gangguan konversi atau ‘histeria diperkenalkan oleh Hippocrates, yang mengatribusikan simtom tubuh yang aneh pada ‘berjalan-jalannya rahim’ yang menimbulkan kekacauan internal. Istilah hysterical (histerikal) diambil dari bahasa Yunani hystera yang berarti ‘rahim’. Hippocrates menemukan bahwa keluhan ini lebih jarang terjadi pada wanita yang menikah daripada yang tidak menikah.

Teori modern yang membahas gangguan somatoform hampir selalu berasal dari teori psikoanalisa dan teori belajar. Meski tidak banyak yang diketahui mengenai dasar biologis dari gangguan somatoform, bukti mengindikasikan bahwa gangguan somatisasi cenderung diwariskan dalam keluarga terutama antara anggota

(36)

keluarga yang perempuan (Guze, 1993). Hubungan genetis ini masih berupa dugaan, meski kita tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa pengaruh keluarga berperan dalam menjelaskan hubungan kekeluargaan ini.

C. 1. Teori Psikodinamika

Gangguan histerikal merupakan arena debat antara teori psikologi dan biologi di abad ke-19. Pengurangan --meskipun sering hanya sementara – dari simtom-simtom histerikal melalui hipnosis oleh Charcot, Breuer, dan Freud memberikan kontribusi pada keyakinan bahwa penyebab histeria bersifat psikologis dan bukan fisik dan mendorong Freud untuk mengembangkan teori pikiran yang tidak disadari. Freud meyakini bahwa ego berfungsi untuk mengontrol impuls seksual dan agresif yang mengancam atau tidak dapat diterima yang timbul dari id melalui mekanisme pertahanan diri seperti represi.

Menurut teori psikodinamika, simtom histerikal memiliki fungsi : memberikan orang tersebut keuntungan primer dan sekunder. Keuntungan primer (primary gains) yang didapat adalah memungkinkan individu untuk mempertahankan konflik internal direpresi. Orang tersebut sadar akan simtom fisik yang muncul namun bukan konflik yang diwakilinya. Dalam kasus-kasus seperti itu, “simtom” merupakan simbol dari, dan memberikan orang tersebut “pemecahan sebagian” untuk, konflik yang mendasarinya. Misalnya, kelumpuhan histerikal dari sebuah lengan dapat menyimbolkan dan juga mencegah individu untuk mengekspresikan impuls seksual (contoh, masturbasi) atau agresif (contoh, membunuh) yang tidak dapat diterima dan telah direpresi. Represi timbul secara otomatis, sehingga individu tetap tidak sadar akan

(37)

konflik yang mendasarinya. Dari pandangan psikodinamika, gangguan konvers memiliki suatu tujuan.

Keuntungan sekunder (secondary gains) dapat memungkinkan individu untuk menghindari tanggung jawab yang membebani dan untuk mendapatkan dukungan – dan bukan celaan – dari orang-orang di sekitar mereka. Misalnya, tentara terkadang mengalami “kelumpuhan” yang tiba-tiba pada tangan mereka, yang mencegah mereka untuk menembakkan senapannya dalam pertempuran. Mereka kemudian dapat dikirim untuk dirawat di rumah sakit dan bukan menghadapi tembakan musuh.

C. 2. Teori Belajar

Teori Psikodinamika dan teori belajar sepakat bahwa simtom-simtom dalam gangguan konversi dapat mengatasi kecemasan. Teoretikus psikodinamika mencari penyebab kecemasan dalam konflik-konflik yang tidak disadari. Sedangkan teoretikus belajar berfokus pada hal-hal yang secara langsung menguatkan simtom dan peran sekundernya dalam membantu individu menghindari atau melarikan diri dari situasi tidak nyaman atau situasi yang membangkitkan kecemasan.

Dalam pandangan teori belajar, simtom dari gangguan konversi dan gangguan somatoform lain juga membawa keuntungan, atau hal-hal yang me-reinforcing, pada “peran sakit”. Orang dengan gangguan konversi dapat terbebaskan dari tugas atau tanggung jawab seperti pergi kerja atau melakukan tugas rumah tangga (Miller, 1987). Menjadi sakit biasanya juga menimbulkan simpati dan dukungan. Orang yang menerima penguatan semacam ini saat sakit di masa lalu cenderung belajar untuk mengadopsi peran sakit bahkan saat ia sedang tidak sakit (Kendell, 1983).

(38)

Perbedaan dalam pengalaman belajar dapat menjelaskan mengapa secara historis, gangguan konversi lebih sering dilaporkan oleh wanita daripada pria. Hal ini mungkin karena wanita dalam budaya Barat lebih cenderung untuk disosialisasikan cara mengatasi stres melalui menampilkan peran sakit dibandingkan kaum pria (Miller, 1987).

Sejumlah teoretikus belajar menghubungkan hipokondriasis dan gangguan dismorfik tubuh dengan gangguan obsesif kompulsif. Pada hipokondriasis, orang terganggu oleh pikiran-pikiran yang obsesif dan menimbulkan kecemasan mengenai kesehatan mereka. Pergi dari satu dokter ke dokter lain dapat merupakan suatu dari perilaku kompulasif yang diperkuat oleh hilangnya kecemasan yang dialami secara temporer saat mereka diyakinkan kembali oleh dokternya bahwa ketakutan mereka tidak terbukti. Namun pikiran-pikiran yang mengganggu kembali muncul, mendorong mereka melakukan konsultasi yang berulang. Lingkaran tersebut kemudian berulang. Seperti itu juga, dengan gangguan dismorfik tubuh, berdandan dan memotong yang terus-menerus dalam usaha untuk “memperbaiki” kekurangan fisik yang dipersepsikan dapat memberikan kebebasan secara parsial dari kecemasan, namun “perbaikan” yang dilakukan tidak pernah cukup baik untuk menghilangkan kekhawatirkan yang mendasari secara sepenuhnya. Satu kemungkinan adalah bahwa hipokondriasis dan gangguan dismorfik tubuh berada pada spektrum gangguan tipe OCD.

C. 3 Teori Kognitif

Teoretikus kognitif telah berspekulatif bahwa beberapa kasus hipokondriasis dapat mewakili sebuah tipe dari strategi

self-handicapping, suatu cara menyalahkan kinerja yang rendah pada

kesehatan yang buruk (Smith, Snyder, & Perkins, 1983). Pada kasus-kasus lain, mengalihkan perhatian pada keluhan fisik dapat menjadi

(39)

suatu cara untuk menghidari berpikir tentang masalah kehidupan yang lain.

Penjelasan kognitif lain berfokus pada peran dari pikiran yang terdistorsi. Orang yang menderita hipokodriasis memiliki kecenderungan untuk “membuat gunung dari kerikil” dengan cara membesar-besarkan signifikansi dari keluhan fisik yang minor (Barsky dkk., 2001). Mereka salah menginterpretasikan simtom-simtom ringan yang muncul sebagai tanda dari sakit yang serius, yang menimbulkan kecemasan yang membawa mereka dari kunjungan satu dokter ke kunjungan dokter lain dalam usaha untuk menemukan penyakit mengancam yang takutnya mereka miliki. Kecemasan itu sendiri dapat menghasilkan simtom fisik yang tidak menyenangkan, yang nantinya justru semakin dianggap penting, menyebabkan kognisi yang semakin mengkhawatirkan.

Teoretikus kognitif berspekulasi bahwa hipokondriasis dan gangguan panik, yang sering kali terjadi secara bersamaan, dapat memiliki penyebab yang sama: cara berpikir yang terdistorsi yang membuat orang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda dari bencana yang akan terjadi (Salkovskis & Clark, 1993). Perbedaan antara kedua gangguan itu terletak pada apakah interpretasi yang salah dari tanda-tanda tubuh membawa sebuah persepsi tentang ancaman yang akan segera terwujud dan lalu menyebabkan terjadinya kecemasan yang berputar cepat (gangguan panik) ataukah tentang ancaman dengan kisaran yang lebih panjang dalam bentuk proses penyakit yang mendasarinya (hipokondriasis). Penelitian mengenai proses kognitif yang muncul dalam hipokondriasis membutuhkan studi lebih lanjut. Meski ada hubungan yang mungkin terjadi antara hipokondriasis dan gangguan kecemasan seperti gangguan panik dan OCD, tetap tidak jelas apakah hipokondriasis harus diklasifikasikan sebagai

(40)

suatu gangguan somatoform atau gangguan kecemasan (Barsky dkk., 1992).

Kriteria gangguan somatoform dalam PPDGJ III (Maslim, 2001) Menurut PPDGJ III, ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah beberapa kali terbukti hasilnya negatif dan sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya.

Gangguan somatoform yang diderita oleh S adalah jenis Gangguan Hipokindrik F45.2 yang diagnostiknya adalah, harus memiliki dua diagnostik yang harus ada yaitu :

Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu

penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi

yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk

penampakan fisiknya (tidak sampai waham)

Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari

beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya

2. GANGGUAN KEPRIBADIAN HISTRIONIK

Sebuah pola yang menetap dari emosionalitas dan pencarian perhatian yang berlebihan, dimulai dari awal masa dewasa dan timbul dalam konteks yang bervariasi, seperti yang diindikasikan oleh lima (atau lebih) dari hal-hal berikut ini:

1. tidak nyaman dalam situasi dimana ia tidak menjadi pusat perhatian.

Referensi

Dokumen terkait

(2) dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir

Pada kekurangan vitamin A dapat menyebabkan: gangguan penglihatan ( Xeropthalmia) , kerusakan jaringan epitel, gangguan pertumbuhan, daya tahan tubuh yang rendah. Vitamin D

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nutrisi dan cairan yang berlebihan dan intake yang kurang. Gangguan rasa nyaman : nyeri ulu hati

satu bentuk berusaha untuk memperoleh rezeki adalah dengan cara terus menerus mengembangkan usaha itu sendiri. b) Kaitannya dengan strategi pengembangan bisnis yang

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan

Usaha atau dapat juga disebut suatu perusahaan adalah suatu bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh

Orang dengan kepribadian mengalah menampilkan sikap dan perilaku yang merefleksikan hasrat untuk bergerak menuju orang lain. Kebutuhan yang kuat dan terus- menerus

Sehingga sangat diperlukan usaha dalam meningkatkan dan memperbaiki layanan secara terus menerus yang berfokus untuk memenuhi ekspektasi dan kepentingan dari pengguna Buditjahjanto,