• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGETAHUAN REMAJA TENTANG FENOMENA KEKERASAN DALAM PACARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGETAHUAN REMAJA TENTANG FENOMENA KEKERASAN DALAM PACARAN"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN REMAJA TENTANG

FENOMENA KEKERASAN DALAM PACARAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Elisabeth Haksi Mayawati

NIM : 039114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

Dos€n

/N'

Didik Suryo V.

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

PENGETAHUAFT REMAJA TENTAI\IG FENOMENA KDKERASAN DALAM PACARAN

Hartoko, S.Psi., M.Si. Tanggal; 19 November 2008

ll

ai

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGETAITUAFT

REMATA TENTAI\TG

FENOMENA KEKERASAN DALAM PACARAN

Tanda Tangan

1 . 2. 3 .

v. Didik Prof. A. M.M. Nimas

ffi

/re$EnertanaS{gf i aepaf,qfo

rcn\

'\ bada tanesAli3 Desember 2f08

#t**ff*E

{ ffi,'B

Yogyakarta,

0 5 IYAR

zCCg

Dekan Fakultas Psikologi {o ro^\[piversitas Sanata Dhanna

5'-- {''vtc\

(4)

Just like a butterfly, grow up through metamorphosis....

(5)

v

Un t u k se m u a r e m a j a

da n pa r a pe m e r h a t i r e m a j a

(6)

HALAMAI\ PER}IYATAAN KEASLIAI\ KARYA

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Elisabeth Haksi Mayawati N I M : 0 3 9 1 1 4 0 1 0

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran adalah hasil karya saya sendiri. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain baik sebagian atau keseluruhan, kecuali bentuk kutipan yang telah saya sebutkan di daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Maret 2009 Penulis,

\ 0 u

- - l l . . t I

(-

\\lE+\---.1 r X ---_/

Elisabeth Haksi Mayawati

(7)

ABSTRAK

Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran

Elisabeth Haksi Mayawati

Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan fenomena yang banyak terjadi di masyarakat serta mendatangkan dampak negatif yang tidak ringan. Untuk mencegah semakin meluasnya fenomena tersebut, dibutuhkan langkah-langkah preventif yang efektif, salah satunya dengan menggali pengetahuan masyarakat tentang fenomena tersebut. Salah satu kelompok masyarakat yang rawan akan fenomena ini adalah para remaja. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan remaja tentang kekerasan dalam pacaran serta perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri tentang fenomena tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah focus groups discussions. 18 orang remaja putra dan 19 orang remaja putri ambil bagian dalam diskusi tentang KDP. Diskusi dilakukan dalam 6 kelompok: 3 kelompok remaja putra dan 3 kelompok remaja putri.

Lima tema muncul dalam penelitian ini: bentuk dan perilaku, faktor penyebab, akibat, pengatasan, dan sikap remaja terhadap kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan bentuk dan perilaku, secara umum remaja membagi kekerasan dalam pacaran menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan fisik dan nonfisik. Kekerasan fisik dan nonfisik dipandang sebagai sesuatu yang tidak berhubungan. Selain itu, remaja juga kurang menyadari keberadaan kekerasan seksual dalam pacaran. Berkaitan dengan faktor penyebab dan pengatasan, remaja cenderung lebih menyoroti masalah interpersonal dan intrapersonal sebagai penyebab dan langkah pengatasan fenomena kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan akibat, remaja cenderung hanya melihat akibat jangka pendek atau akibat langsung dari kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan sikap remaja terhadap kekerasan, secara umum remaja putra lebih menerima perilaku kekerasan dibanding remaja putri.

Dari penelitian ini, terlihat bahwa secara umum remaja kurang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang fenomena kekerasan dalam pacaran. Oleh karena itu, perlu diberikan pendampingan dan pelatihan secara khusus pada remaja tentang kekerasan dalam pacaran dengan memperhatikan faktor jenis kelamin. Penelitian selanjutnya tentang fenomena ini juga sangat diperlukan.

Kata kunci

Kekerasan dalam pacaran, remaja, pengetahuan

(8)

viii ABSTRACT

Adolescent’s Ideas About Dating Violence

Elisabeth Haksi Mayawati

Dating violence is a common phenomenon in our society and creates a lot of heavy negative impacts. It needs effective ways to prevent the widespread of this phenomenon, one of them is to reveal people’s ideas about it. Adolescent is one of high risk group on dating violence. Therefore, the aim of this research is to understand adolescent’s ideas about dating violence and the difference between boy’s ideas and girl’s ideas.

This research is a descriptive research with qualitative approach. To collect the data, the researcher used focus group discussion. 18 boys and 19 girls took part in discussion on dating violence. Subjects are grouped in six groups: three boy groups and three girl groups.

Five themes arise from focus group discussion. They are form and behavior, cause factors, impacts, steps to overcome, and adolescent’s attitude toward dating violence. Regarding form and behavior, generally adolescent divide dating violence into two forms, they are physical and non physical violence, each is independent entity. In addition, adolescent doesn’t really aware about sexual violence in dating. Regarding to cause and prevention steps, adolescent tend to focus on interpersonal and intrapersonal matter as area of cause and prevention steps. Regarding to impact, adolescent tend to pay attention on short term impact or direct impact of dating violence. Regarding to adolescent’s attitude toward dating violence, generally boys more accept violence than girls.

From this research, generally we can see that adolescent has little knowledge about dating violence phenomenon. Therefore, guidance and training on dating violence are needed with respect to gender difference. More research in this phenomena is needed in the future.

Key words

(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Elisabeth Haksi Mayawati

No. Mahasiswa : 03 9114 010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di Intemet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mernberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 5 Maret 2009 Yang menyatakan,

\ t \ I

w

Elisabeth Haksi Mayawati

(10)

KATA PENGANTAR

Akhirnya selesai sudah. Sebuah langkah awal menuju kemajuan yang lain.

Terima kasih sekali untuk Pak Didik, atas segala kekritisan dan pengertiannya yang

banyak membantu penulis dalam menyusun karya ini. Untuk Pak Siswa, terima kasih

atas pemahaman awal tentang penelitian yang diberikan pada penulis. Banyak

pemahaman baru yang penulis dapatkan selama kita berdiskusi bersama. Untuk Pak

Praktik dan Bu Nimas, terimakasih atas segala masukannya di waktu sidang. Juga

penulis ucapkan banyak terima kasih kepada segenap dosen Fakultas Psikologi, atas

segala ilmu dan bimbingan yang membukakan mata penulis tentang apa itu psikologi.

Tanpa sebuah kesempatan, tentunya karya ini tidak akan terwujud. Terima

kasih pada Tante Siarsi dan Om Alwin, atas perhatian dan bantuan yang diberikan

sehingga penulis dapat merasakan indahnya bangku kuliah. Untuk Ibu, segala upaya

yang Ibu lakukan membuat penulis menyadari bahwa penulis tidak boleh

menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah. Untuk Momo, entah mengapa aku merasa sedih

ketika harus menuliskan sebaris kata untukmu. Aku menyayangimu, dan aku tahu

Momo juga tidak pernah berhenti menyayangiku.

Bagi semua partisipan penelitianku, berdiskusi bersama kalian membukakan

mataku tentang kekerasan dalam pacaran. Terima kasih atas kesediannya

berpartisipasi dan mengalahkan rasa malu dalam berdiskusi. Untuk Ayu, sang asisten

moderator, great job non.. Makasih ya untuk segala bantuan dan dukungannya. Untuk

Ratih, makasih untuk bantuannya mengganti format lampiran . Juga untuk Xna,

(11)

thanks for your notebook bro.. . Untuk teman-teman di FRIENDS –Rani, Pandji,

Abe, Mba Yie, Dhajeng, Wiwid, Mba Hay, Amel, dan temen-temen lainnya– kita

pernah belajar bersama, jadi mari kita tetap berkembang bersama.

Mas Muji, Mas Gandung, Mas Doni, Pak Gie, dan Mbak Nanik.. terima

kasih atas bantuan yang diberikan selama penulis berkuliah. Rental komputer,

workstation perpustakaan, dan akhirnya komputerku, perjalanan panjang sampai

akhirnya bisa mengetik semua naskah skripsi. Kesabaran memang berujung kepuasan

ya..

Dan di atas itu semua, syukur dan terimakasih terdalam kepada Yang Di Atas,

atas kesadaran yang diberikan sehingga penulis mampu melewati hari dan

berkembang dari hari ke hari. Life just like a butterfly, grow up through metamorphosis..

Akhirnya, sebelum menutup prolog ini penulis ingin menginformasikan

bahwa di skripsi ini penulis tidak melampirkan naskah verbatim hasil diskusi.

Walaupun demikian, naskah verbatim telah penulis lampirkan sebagai bahan ujian.

Jika pembaca sekalian tertarik untuk mengetahui naskah verbatim penelitian ini,

pembaca dapat menghubungi penulis melalui email di haksimayawati@yahoo.com.

Segala bentuk saran, kritik, ataupun diskusi tentang penelitian ini dapat juga

disampaikan melalui alamat email di atas. Akhirnya, penulis berharap semoga karya

ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca sekalian.

Salam,

Elisabeth Haksi Mayawati

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii

HALAMAN MOTTO iv

HALAMAN PERSEMBAHAN v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 12

D. Manfaat Penelitian 12

BAB II. KONSEP TEORITIS

A. Pengetahuan 13

B. Remaja 14

1. Remaja Secara Umum 14

2. Kemampuan Kognitif Remaja 17

(13)

3. Remaja Sebagai Bagian Dari Kelompok Sosial 19

C. Kekerasan Dalam Pacaran 21

1. Pacaran 21

2. Kekerasan Dalam Pacaran 23

a. Pengertian Kekerasan 23

b. Pengertian Kekerasan Dalam Pacaran 24

c. Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran 27

d. Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran 29 e. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi KDP 30 D. Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran 33

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian 37

B. Metode Pengumpulan Data 38

1. Jenis Metode 38

2. Peran Peneliti Dalam Pengumpulan Data 39

C. Partisipan Penelitian 40

1. Karakteristik Partisipan 40

2. Teknik Pengambilan Partisipan Penelitian 41

3. Jumlah Partisipan Dalam Tiap Kelompok 42

4. Komposisi Partisipan Dalam Tiap Kelompok 43

5. Waktu Diskusi Tiap kelompok 44

D. Instrumen Penelitian 44

1. Panduan Diskusi 44

2. Alat Perekam 47

E. Prosedur Penelitian 47

1. Tahap Persiapan 47

2. Tahap Pengambilan Data 47

a. Prosedur Pengambilan Data 47

(14)

b. Tanggal dan Waktu Pengambilan Data 51

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data 51

1. Kredibilitas 51

2. Dependability 53

G. Metode Analisis Data 54

1. Organisasi Data 54

2. Pengkodean Data 55

3. Interpretasi 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Utama dan Pembahasannya 58

1. Bentuk dan Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran 58

2. Penyebab Timbulnya Kekerasan Dalam Pacaran 62

B. Hasil Tambahan dan Pembahasannya 67

1. Sikap Remaja Terhadap Kekerasan Dalam Pacaran 67

2. Akibat Kekerasan Dalam Pacaran 70

3. Pengatasan Kekerasan Dalam Pacaran 73

C. Pembahasan Umum 77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 88

B. Saran 89

C. Refleksi Penelitian

1. Refleksi Diri 92

2. Keterbatasan Penelitian 93

DAFTAR PUSTAKA 95

LAMPIRAN 103

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Prevalensi Kasus KDP Dari Beberapa Penelitian 3

Tabel 1.2 Data Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Tahun 1994-2006 4 Tabel 1.3 Jenis Kekerasan yang Dialami Subjek Tahun 2001-2006 9

Tabel 3.1 Panduan Diskusi Secara Umum 45

Tabel 3.2 Panduan Diskusi Secara Praktis 46

Tabel 3.3 Prosedur Pengambilan Data 50 Tabel 3.4 Pelaksanaan Pengambilan Data 51 Tabel 3.5 Pelaksanaan Konfirmasi Data Kepada Partisipan 53 Tabel 4.1 Bentuk dan Perilaku KDP 60 Tabel 4.2 Penyebab Timbulnya KDP 65 Tabel 4.3 Sikap Remaja Terhadap Kekerasan 69 Tabel 4.4 Akibat Kekerasan Dalam Pacaran 72 Tabel 4.5 Pengatasan Kekerasan Dalam Pacaran 75 Tabel 4.6 Persamaan Hasil Remaja Putra dan Putri 86 Tabel 4.7 Perbedaan Hasil Remaja Putra dan Putri 87

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Pencegahan Kekerasan

Interpersonal 7

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Pengetahuan Remaja Terhadap KDP 36

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

“Pacar saya sangatlah posesif. Hanya 4 bulan saja masa pacaran terasa indah, sisanya mulai keluar watak aslinya, yaitu temperamental. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya maka dia akan mulai marah besar, dengan cara membanting barang pecah belah di kamar kosnya sampai dia harus membeli piring dan gelas setiap minggu sekali. Dan memasuki tahun kedua, mulailah ringan tangan. Bahkan pernah kedua lengan saya dipegang erat-erat dan digoncang-goncangkan saat ia marah besar sampai menyisakan tanda biru legam di lengan saya berhari-hari. Perilaku posesif ditunjukkan dengan kontrol yang ketat, dia harus tahu kemanapun saya pergi dan dengan siapa. Bahkan pernah suatu ketika ia sedang berada di luar kota, namun saya tidak berani pergi ke manapun karena takut jika ia menelepon ke tempat kos saya dan saya tidak ada, maka ia bisa marah besar. Saya hanya berani berdiam diri di kamar sambil ketakutan. Hal paling buruk yang saya alami adalah pada saat kami sudah pacaran selama 2 tahun dan terjadi miskomunikasi yang menyebabkan kami tidak bertemu di suatu tempat. Saat datang ke kos saya, tanpa bicara dia langsung menampar saya dan kami bertengkar hebat sesudahnya.” (Laily, 2004).

Peristiwa yang digambarkan dalam cuplikan di atas merupakan kisah

nyata dari kasus kekerasan dalam pacaran. Banyak remaja yang memulai

hubungan pacaran beranggapan bahwa kekerasan seperti itu merupakan hal yang

tidak mungkin dilakukan. Hal tersebut disebabkan karena pacaran selalu

dikonotasikan dengan hal-hal yang indah, dimana janji-janji manis dan puji-pujian

selalu dilontarkan. Namun ketika bentuk-bentuk kekerasan mulai tampak dalam

proses pacaran, kebanyakan remaja memandangnya sebagai sebuah peristiwa

yang wajar dan dapat diterima. Hal itu dipandang sebagai resiko pacaran. Padahal,

kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu wujud kekerasan yang pastinya

(19)

“Sesudah kejadian itu, R mengalami rasa takut yang luar biasa tiap bertemu pacarnya itu. Ketakutan ini ternyata berdampak pada fisiknya. Memang R dapat dikatakan tidak menderita sakit fisik, tetapi sakit di hatinya menyebabkannya tidak mampu bangun dan berjalan, sampai dia harus menemui 4 orang dokter spesialis, yaitu dokter saraf, ahli jantung, psikiater dan penyakit dalam dan mereka semua menganjurkan R untuk menghilangkan penyebab sakitnya itu, yaitu memutuskan pacarnya. Namun berat bagi R untuk memutuskan pacarnya, karena setiap diputuskan, maka dia akan memohon-mohon untuk kembali. Akhirnya, setelah 3 tahun pacaran, R berani memutuskan hubungan mereka dan setelah itu R menjadi pasien tetap seorang psikolog sampai 1 tahun lamanya untuk menyembuhkan luka hatinya yang teramat dalam (bahkan sampai 4 tahun lamanya setelah mereka putus, masih terasa sakit hatinya). Sampai saat inipun dia masih trauma dan ingin marah bila bertemu dengannya.(Laily, 2004).

Jelaslah bahwa kekerasan dalam pacaran membawa dampak yang negatif.

Sayangnya, keterbatasan informasi yang didapat remaja mengenai fenomena

kekerasan dalam pacaran mengakibatkan fenomena tersebut tetap langgeng,

bahkan dianggap sebagai hal yang normal (Ratnadewi, 2007). Padahal kekerasan

dalam pacaran sejatinya termasuk dalam deretan panjang kasus kekerasan yang

kemunculannya dapat dicegah.

Konsep kekerasan sendiri sebenarnya mengacu pada suatu bentuk opresi,

penindasan, pemaksaan, dan berbagai bentuk perlakuan lain yang menyebabkan

seseorang dirugikan atau mengalami dampak negatif dalam berbagai bentuk

(Hayati dalam Hidayana, 2004). Kekerasan juga dapat diartikan sebagai perilaku

yang dapat menyebabkan perasaan dan tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman.

Perasaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan,

ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Di sisi lain, keadaan fisik tidak

yang nyaman dapat berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya

(20)

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, salah satu jenis kekerasan yang

muncul adalah kekerasan dalam pacaran. Kekerasan dalam pacaran (KDP)

merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar

hubungan pernikahan yang sah (berdasar UU Perkawinan 1/1974, pasal 2 ayat 2),

termasuk kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar (Rifka

Annisa WCC, 2006). Menurut Black et.al (2006) kekerasan dalam pacaran dapat

meliputi kekerasan fisik, seksual, atau psikologis.

Dewasa ini, kekerasan dalam pacaran semakin menjadi masalah sosial dan

kesehatan yang serius bagi remaja (Ocampo, Shelley, & Jaycox, 2007). Hal ini

tampak dari prevalensi kasus KDP yang cukup banyak di masyarakat. Tabel 1.1

di bawah ini menunjukkan prevalensi terjadinya KDP dari beberapa penelitian.

Tabel 1.1 : Prevalensi Kasus KDP Dari Beberapa Penelitian

Sumber Sampel Hasil

Howard, Beck, Kerr, & Shattuck (2005)

Remaja etnik Latino

(14-19 tahun) dengan N = 446 (215

perempuan dan 231 laki-laki)

8,9 % perempuan dan 8,8 % laki-laki mengalami kekerasan fisik dalam pacaran.

Libby, B. (1992) Siswa SLTA dengan N = 631 (337 perempuan dan 294 laki-laki)

 10,5% subjek mengalami

kekerasan seksual.

 12% subjek mengalami

kekerasan fisik.

 17,7% subjek mengalami

kombinasi antara kekerasan fisik dan seksual.

 11,3% subjek mengalami

kekerasan verbal.

(21)

Sumber Sampel Hasil

Luthra & Gidycz (2006)

Mahasiswa berusia 18-24 tahun dengan N = 200 (100 perempuan dan 100 laki-laki)

25 % perempuan dan 10 % laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya.

Mikler, Goebert; Nishimura, & Caetano (2006)

Siswa SLTA di Hawaii dengan N =

1242 (683 perempuan dan 559

laki-laki)

8,0 % perempuan dan 7,6 % laki-laki mengalami kekerasan fisik dalam pacaran.

O'Kefee (1997) Siswa SLTA berusia 14-20 tahun dengan N = 939 (554 perempuan dan 385 laki-laki)

43 % perempuan dan 39 % laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya.

Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, prevalensi terjadinya kasus

KDP dapat dilihat pada Tabel 1.2 di bawah ini.

Tabel 1.2 : Data Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Tahun 1994-2006

No. Tahun Jumlah Kasus

1. 1994 3

2. 1995 20

3. 1996 24

4. 1997 54

5. 1998 51

6. 1999 50

7. 2000 92

8. 2001 103

9. 2002 97

10. 2003 58

11. 2004 48

12. 2005 35

13. 2006 31

Sumber: Annual Report Tahun 2006 Rifka Annisa WCC

Data di atas bersumber pada jumlah kasus KDP yang masuk ke LSM Rifka

Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC) selama tahun 1994-2006. Angka

(22)

bersedia melapor. Oleh karena itu, fenomena kekerasan ini tampak seperti gunung

es, dimana kasus yang sebenarnya masih jauh lebih besar, hanya tidak muncul ke

permukaan (Zulfah, 2004). Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa

jumlah kasus KDP yang terjadi di masyarakat, khususnya DIY dan sekitarnya,

lebih banyak dari yang diketahui.

Seperti layaknya sebuah fenomena kekerasan, kekerasan dalam pacaran

pastinya menimbulkan akibat-akibat yang negatif. Callahan, Tolman, & Saunders

(2003) menemukan bahwa KDP berkorelasi positif dengan timbulnya stres paska

trauma dan gejala disosiatif pada remaja perempuan, sedangkan pada remaja

laki-laki berpotensi menimbulkan kecemasan, depresi, serta stres paskatrauma. Selain

itu, pada kedua kelompok jenis kelamin, KDP berkorelasi negatif dengan

kepuasan hidup. Data Annual Report Rifka Annisa WCC tahun 2004

menunjukkan bahwa selain dampak fisik dan psikis, ternyata KDP juga

menimbulkan dampak negatif pada kesehatan reproduksi dan menimbulkan

perubahan perilaku pada remaja. Secara lebih spesifik, KDP menimbulkan

perasaan cemas, malu, tidak aman, dan menimbulkan stres. Selain itu, KDP juga

dilaporkan menyebabkan cidera tulang ekor, kehamilan tidak diinginkan, dan juga

memunculkan beberapa perubahan perilaku, seperti mulai merokok dan senang

melamun.

Selain dampak fisik dan psikologis yang ditimbulkannya, kekerasan dalam

pacaran yang terjadi pada masa remaja juga merupakan prediktor yang lebih baik

daripada kekerasan pada masa kanak-kanak dalam memprediksi timbulnya

(23)

seseorang mengalami atau melakukan kekerasan dalam bentuk apapun selama ia

berpacaran di usia remaja, besar kemungkinan ia juga akan menjadi korban atau

pelaku kekerasan ketika dewasa. Oleh karena itu, jika KDP pada masa remaja

dapat dicegah, maka secara tidak langsung kita turut mencegah timbulnya

kekerasan pada pasangan di waktu selanjutnya.

Mencegah timbulnya suatu fenomena dapat dilakukan dengan baik apabila

pengetahuan atau pemahaman terhadap fenomena tersebut sudah memadai.

Demikian halnya dengan kasus kekerasan dalam pacaran. Dibutuhkan pemahaman

yang baik dan utuh terhadap kasus tersebut ketika kita akan menyusun langkah

preventif yang efektif. Salah satu caranya adalah dengan melalui penelitian.

Sayangnya, sebagian besar penelitian tentang KDP seringkali menggunakan orang

dewasa dan mahasiswa sebagai subjek penelitiannya (Sears, Byers, Whelan, &

Pierre, 2006). Walaupun telah dilakukan, namun penelitian yang secara khusus

meneliti KDP dengan subjek yang tergolong dalam remaja awal (12 atau 13 tahun

hingga 17 atau 18 tahun) masih sangat diperlukan karena dalam rentang usia

tersebut biasanya remaja mulai membangun hubungan pacaran untuk pertama

kalinya sehingga kasus KDP rentan terjadi (Hickman, Jaycox, & Aronoff, 2004;

Smith, White, & Holland, 2003).

“More descriptive research is needed to gain a foundation of knowledge about the phenomenon of violence between adolescent dating partners, including study risk and protection factors beyond gender”. (Hickman, Jaycox, & Aronoff, 2004)

Pendapat tersebut didukung oleh Dickinson (Santrock, 2003) yang

menyatakan bahwa kebanyakan remaja melakukan kencan pertama mereka pada

(24)

2005 juga menunjukkan bahwa kasus KDP mulai terjadi pada korban yang berusia

kurang dari 15 tahun. Dengan demikian, penting untuk meneliti fenomena

kekerasan dalam pacaran pada masa remaja awal agar semakin diperoleh

pemahaman yang utuh terhadap fenomena tersebut.

Salah satu langkah penelitian yang dapat diambil untuk memahami suatu

fenomena adalah dengan menggali sejauh mana pengetahuan masyarakat terhadap

fenomena tersebut. Berkaitan dengan kekerasan interpersonal secara umum dan

kekerasan dalam pacaran (KDP) secara khusus, terdapat empat buah langkah

kesehatan masyarakat yang biasa digunakan untuk memahami dan mengatasi

fenomena tersebut (Marais et.al, 2004).

Gambar 1.1 : Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Pencegahan Kekerasan Interpersonal (dari Marais et.al, 2004)

1

Mendefinisikan Masalah

Mengungkapkan ukuran dan wilayah permasalahan

4

Mengimplementasikan Meluaskan implementasi dan

penyebarannya

3 Merencanakan dan mengevaluasi intervensi Apa intervensinya dan untuk siapa

intervensi itu diberikan? 2

Mengidentifikasi faktor resiko dan faktor protektif Apa penyebab timbulnya

masalah?

Menurut Marais et.al (2004), dalam langkah 1, hal yang dilakukan adalah

menganalisis bagaimana, kapan, dimana, dan apa itu kekerasan. Dalam langkah 2,

dilakukan pengidentifikasian faktor resiko dan faktor protektif dari kekerasan.

(25)

untuk merencanakan dan mengevaluasi intervensi (langkah 3) dan perluasan

implementasi (langkah 4).

Penelitian ini mengambil posisi dalam langkah 1, yaitu pendefinisian

masalah. Pendefinisian masalah ini dilakukan dengan cara menggali bagaimana

pengetahuan remaja, khususnya remaja awal, terhadap fenomena kekerasan dalam

pacaran. Hal ini dilakukan agar terdapat gambaran tentang kekerasan dalam

pacaran dari sudut pandang remaja itu sendiri. Penelitian sebelumnya berkaitan

dengan hal ini pernah dilakukan oleh Sears, Byers, Whelan, & Pierre (2006) serta

Welsh & Mahistedt (2005). Kedua penelitian tersebut mengungkap tentang

bagaimana opini masyarakat terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran. Hanya

saja, Welsh & Mahistedt (2005) menggunakan mahasiswa sebagai subjek

penelitiannya, sedangkan Sears, Byers, Whelan, & Pierre (2006) memilih remaja

sebagai subjeknya. Sayangnya, kedua penelitian tersebut hanya membahas tentang

kekerasan fisik dan psikologis dalam hubungan pacaran. Secara lebih spesifik,

penelitian Welsh & Mahistedt (2005) membahas tentang kekerasan fisik,

sedangkan penelitian Sears, Byers, Whelan, & Pierre (2006) mengungkap tentang

kekerasan fisik dan psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Kekerasan

seksual yang sebenarnya juga berpotensi timbul dalam hubungan pacaran tidak

ditelah dalam kedua penelitian tersebut.

Sebenarnya potensi timbulnya kekerasan seksual dalam hubungan pacaran

sudah dibuktikan dari beberapa penelitian. Salah satunya data Annual Report

Rifka Annisa WCC tahun 2002-2006. Data seperti yang dipaparkan pada tabel 1.3

(26)

ternyata menduduki urutan kedua sebagai bentuk kekerasan yang paling sering

diterima subjek, sedangkan yang menempati urutan ketiga adalah kekerasan

seksual.

Tabel 1.3 : Jenis Kekerasan yang Dialami Subjek Tahun 2001-2006

Tahun

Jenis Kekerasan 2002 2003 2004 2005 2006 Total

Emosi 46 16 16 15 13 106

Fisik 14 0 1 0 0 15

Seksual 27 1 1 0 1 30

Ekonomi 10 1 0 2 0 13

Emosi-Fisik 3 6 2 3 14

Emosi-Ekonomi 4 3 3 2 12

Emosi-Seksual 19 4 7 9 39

Emosi-Sosial 0 1 0 0 1

Ekonomi-Seksual 0 1 1 0 2

Ekonomi-Fisik-Seksual 1 0 0 2 3

Emosi-Ekonomi-Seksual 1 0 2 0 3

Emosi-Fisik-Ekonomi 4 2 0 1 7

Emosi-Fisik-Seksual 6 2 1 0 9

Emosi-Fisik-Sosial 0 3 0 0 3

Emosi-Seksual-Sosial 0 1 0 0 1

Emosi-Ekonomi-Fisik-Seksual 2 3 2 0 7

Emosi-Ekonomi-Fisik-Sosial 0 1 0 0 1

Emosi-Ekonomi-Fisik-Seksual-Sosial 0 3 0 0 3

TOTAL 97 58 48 35 31 269

Sumber: Annual Report RAWCC tahun 2002-2006

Selain data tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Demartoto (2002)

terhadap sepuluh orang korban KDP juga menampakkan hasil bahwa kekerasan

(27)

Selain itu, review penelitian yang dilakukan oleh Jejeebhoy & Bott (2003)

menambahkan data bahwa kekerasan seksual sebenarnya sering terjadi pada kaum

muda, namun sayangnya tidak banyak penelitian dan intervensi yang dilakukan

berkaitan dengan hal tersebut. Padahal kekerasan seksual juga menimbulkan efek

negatif jangka pendek maupun jangka penjang yang tidak ringan, baik dalam

aspek fisik, psikologis, dan sosial (Jejeebhoy & Bott, 2003; Zweig, Barber, &

Eccles, 1997). Oleh karena itu, selain ingin mengungkap tentang bagaimana

pemahaman remaja terhadap fenomena kekerasan fisik dan psikologis, penelitian

ini juga akan menelusur tentang sejauh mana remaja memahami fenomena

kekerasan seksual yang terjadi dalam hubungan pacaran.

Penelitian ini secara khusus juga akan melihat apakah terdapat perbedaan

pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam memandang fenomena

kekerasan dalam pacaran. Langkah ini diambil karena dalam penelitian yang

dilakukan oleh O’Keefe (1997), terlihat bahwa terdapat perbedaan alasan antara

remaja putra dan putri dalam melakukan kekerasan dalam pacaran. Alasan utama

yang dikemukakan oleh kedua remaja, baik putra dan putri adalah untuk

mengekspresikan kemarahan. Walaupun demikian, keinginan untuk mengontrol

pasangan adalah alasan kedua remaja putra dalam melakukan KDP, sedangkan

untuk remaja putri lebih dilatarbelakangi oleh upaya pertahanan diri (self-defense)

dari kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Dilatarbelakangi oleh hasil

penelitian tersebut, penelitian ini ingin mengungkap apakah terdapat perbedaan

pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam memandang fenomena

(28)

Berdasar pada fakta-fakta yang terkumpul, yaitu bahwa kekerasan dalam

pacaran merupakan fenomena yang cukup banyak terjadi di masyarakat dan

mendatangkan dampak negatif yang tidak ringan serta pentingnya mengungkap

pengetahuan remaja terhadap fenomena KDP sebagai langkah awal untuk

menyusun tindakan preventif, maka penelitian ini disusun untuk mengetahui

sejauh mana pengetahuan remaja tentang fenomena kekerasan dalam pacaran.

Secara khusus, peneliti ingin mengungkap tentang bagaimana pengetahuan remaja

tentang kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang terjadi dalam proses pacaran.

Dalam hal ini, peneliti juga akan melihat apakah terdapat perbedaan pengetahuan

antara remaja putra dan putri dalam memandang fenomena kekerasan dalam

pacaran. Dengan demikian, diharapkan dapat digali pemahaman yang utuh

terhadap fenomena KDP dari sudut pandang remaja sehingga intervensi

selanjutnya dapat disusun dengan tepat.

B.

Rumusan Masalah

1. Rumusan Masalah Umum

Bagaimana pengetahuan remaja terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran?

2. Rumusan Masalah Khusus

a. Apa bentuk dan contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan dalam

pacaran menurut remaja putra dan putri?

b. Apa faktor penyebab munculnya kekerasan dalam pacaran menurut remaja

(29)

C.

Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengetahuan remaja

terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui bentuk dan perilaku yang termasuk dalam kekerasan dalam

pacaran menurut remaja putra dan putri.

b. Mengetahui faktor penyebab munculnya kekerasan dalam hubungan

pacaran menurut remaja putra dan putri.

D.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang bagaimana

pengetahuan remaja putra dan putri terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran.

Dengan demikian, intervensi selanjutnya dapat disusun dengan lebih akurat,

misalnya dengan mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin dalam penyusunan

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) oleh VandenBos (2007) didefinisikan sebagai

informasi dan pemahaman tentang suatu topik tertentu atau hal-hal umum yang

ada di sekitar kita yang biasanya didapat dari pengalaman atau proses

pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Surajiyo (2007) yang menjabarkan

pengetahuan sebagai suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila

seseorang mengenal sesuatu atau hasil tahu manusia terhadap sesuatu.

Tidak semua pengetahuan merupakan ilmu pengetahuan. Hanya

pengetahuan yang telah tersusun secara sistematik serta diperoleh dengan

menggunakan metode ilmiahlah yang disebut dengan ilmu pengetahuan

(Soekanto, 1990; Surajiyo, 2007). Oleh karena itu, pengetahuan senantiasa

bertujuan untuk mendapatkan kepastian serta menghilangkan prasangka akibat

dari adanya ketidakpastian (Soekanto, 1990). Hal ini sesuai dengan tujuan

pengetahuan teoritikal menurut Henle (1983), yaitu memahami kenyataan dan

merenungkan kebenaran.

Dalam psikologi, konsep pengetahuan sering disebut dengan pengetahuan

umum (general knowledge). Pengetahuan ini merupakan bentuk dari sistem

memori manusia yang terorganisasi mengenai segala sesuatu yang ada di

(31)

Sebagai sebuah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, tentunya pengetahuan

memiliki sumber. Sumber pengetahuan tersebut yang terutama adalah

pengalaman, baik pengalaman langsung (pengalaman yang dialami sendiri)

maupun pengalaman tidak langsung (pengalaman yang dialami oleh orang lain).

Untuk pengalaman tidak langsung, pengetahuan bisa didapat individu melalui

interaksinya dengan lingkungan atau melalui proses pewarisan budaya (Hadi,

1994; Surajiyo, 2007).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan

pemahaman yang terorganisir mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar kita

yang dapat diperoleh melalui pengalaman langsung ataupun tidak langsung.

B.

Remaja

1. Remaja Secara Umum

Dalam kehidupannya, individu akan mengalami berbagai macam

tahap perkembangan. Salah satu tahap perkembangan yang dilalui individu

adalah masa remaja. Masa remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak

ke masa dewasa. Erikson (1963) menyebut masa ini sebagai masa pencarian

identitas. Dalam proses menemukan identitasnya tersebut, Erikson

mengemukakan bahwa remaja akan banyak dipengaruhi oleh norma dan

nilai kelompok (Berk, 2007; Gevrig & Zimbardo, 2002).

Masa remaja yang dialami individu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu

masa remaja awal, tengah, dan akhir. Remaja awal berlangsung antara usia

(32)

tahun, dan remaja akhir berlangsung dalam kurun usia 16-18 tahun (Berk,

2007).

Ketika memasuki masa remaja, individu mengalami banyak

perubahan, yaitu dari segi fisik, emosi, sosial, maupun kognitif. Dari segi

fisik, pada awal remaja individu mengalami pubertas, yaitu periode saat

kematangan fisik dan seksual meningkat dengan pesat (Berk, 2007; Sdorow

& Rickabaugh, 2002). Peningkatan kematangan fisik dan seksual tersebut

mengakibatkan remaja mengalami perubahan-perubahan dalam tubuhnya.

Remaja putri mengalami menarche yang kemudian diikuti dengan

berkembangnya buah dada, pinggul yang membesar, dan mulai munculnya

rambut di ketiak. Pada remaja putra, perubahan tersebut ditandai dengan

mimpi basah, munculnya jakun, tumbuhnya kumis, dan suara yang

memberat (Baron, 1998; Davis & Palladino, 1997).

Secara emosi, pada masa remaja individu biasanya mengalami

fluktuasi emosi. Fluktuasi emosi tersebut dapat berhubungan dengan

peningkatan hormon yang juga terjadi pada awal masa remaja ataupun

karena faktor-faktor lain seperti pola makan, stres, atau relasi sosial

(Santrock, 2003). Selain itu, para remaja khususnya remaja awal, belum

sepenuhnya mampu mengekspresikan emosi mereka secara adekuat. Dengan

sedikit provokasi, mereka dapat dengan mudah bertengkar dengan orangtua,

teman, ataupun saudara. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon yang

mereka tampilkan mungkin merefleksikan displacement perasaan mereka

(33)

remaja dan akan berkurang seiring mereka beranjak dewasa (Dye &

Eckhardt, 2000; Santrock, 2003).

Selain perubahan fisik dan emosi, remaja juga mengalami perubahan

sosial. Remaja mulai menjalin persahabatan secara intensif, baik dengan

sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Baron, 1998). Berkumpulnya

remaja dalam kelompok sebaya juga merupakan salah satu perubahan sosial

yang menonjol pada masa remaja. Menurut Gevrig & Zimbardo (2002),

kelompok sebaya memiliki pengaruh besar bagi nilai, sikap, dan perilaku

remaja. Coleman (dalam Davis & Palladino, 1997) menjelaskan tiga fungsi

penting kelompok sebaya bagi remaja, yaitu:

a. Menyediakan umpan balik yang dibutuhkan remaja berkaitan

dengan perilaku-perilaku yang diterima kelompok dan yang

tidak.

b. Kelompok sebaya mampu berperan sebagai kelompok

pendukungketika remaja menghadapi masalah berkaitan dengan

perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Hal

tersebut disebabkan karena kelompok sebaya turut mengalami

perubahan-perubahan seperti yang dialami oleh remaja.

c. Masa remaja merupakan periode saat individu mulai

mempertanyakan nilai-nilai dan perilaku yang ditanamkan oleh

orang dewasa. Oleh karena itu, jika remaja mengalami masalah

(34)

bantuan dan nasehat dari orang dewasa. Dalam hal ini, kelompok

sebaya mampu menyediakan solusi bagi remaja.

2. Kemampuan Kognitif Remaja

Menurut Piaget, pada masa remaja individu mulai memasuki tahap

operasional formal (Morris & Maisto, 2002). Tahap yang dimulai pada usia

11 tahun ini merupakan tahap tertinggi dalam perkembangan kognitif

individu karena pada tahap ini kemampuan individu untuk berpikir abstrak

mulai berkembang (Steinberg, 2002). Dengan demikian, pemikiran remaja

menjadi lebih abstrak, logis, dan idealis. Pemikiran remaja tidak lagi terbatas

pada pengalaman konkret, namun remaja mulai mengembangkan situasi

khayalan yang membuat mereka mampu membuat hipotesis (Hockenbury &

Hockenbury, 2003). Secara lebih detil, pemikiran remaja ditandai dengan

hal-hal sebagai berikut:

a. Berpikir tentang kemungkinan

Hal ini berarti pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal

yang riil, namun mulai berkembang ke pemikiran abstrak

(Keating dalam Gazzaniga & Heatherton, 2003; Santrock, 2003;

Steinberg, 2002).

b. Berpikir ke depan

Remaja mampu merencanakan masa depan dengan berdasar pada

pengalaman masa lalunya (Keating dalam Gazzaniga &

(35)

c. Berpikir dalam hipotesis

Remaja mampu berpikir logis, membuat hipotesis untuk

memecahkan suatu masalah serta mampu menguji keefektifan

pemecahan masalah tersebut. Remaja juga dapat menarik

kesimpulan secara sistematik, baik bersifat deduktif ataupun

induktif (Keating dalam Gazzaniga & Heatherton, 2003;

Santrock, 2003; Steinberg, 2002).

d. Metakognisi

Metakognisi merupakan pengetahuan, kesadaran, dan kontrol

terhadap proses kognitif yang ada pada diri individu (Matlin,

1994). Dengan metakognisi, remaja menjadi lebih introspektif

serta lebih menyadari tentang diri dan pikiran-pikirannya

(Steinberg, 2002).

e. Berpikir multidimensi

Pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada satu hal atau satu isu

saja, namun menjadi lebih kompleks (Keating dalam Gazzaniga

& Heatherton, 2003; Steinberg, 2002).

f. Berpikir relatif

Remaja cenderung melihat sesuatu tidak hanya hitam dan putih,

(36)

Selain hal-hal di atas, Schaie (dalam Davis & Palladino, 1997)

menambahkan bahwa tugas perkembangan kognitif masa remaja adalah

untuk memperoleh informasi, pengetahuan, dan ketrampilan-ketrampilan

dari lingkungan sekitarnya. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut nantinya

akan digunakan ketika mereka dewasa. Oleh karena itu, penting bagi remaja

untuk menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitarnya guna memenuhi

tugas perkembangan ini.

Adanya tugas perkembangan yang disandang remaja tersebut serta

mulai berkembangnya kemampuan remaja dalam berpikir abstrak dan

multidimensi mendorong remaja untuk mulai meluaskan ketertarikannya

pada hal-hal yang bersifat non-riil. Remaja mulai tertarik pada topik-topik

seperti hubungan interpersonal, politik, filosofi, religiusitas, maupun moral

(Steinberg, 2002). Topik-topik tersebut mengandung hal-hal yang abstrak

seperti persahabatan, harapan, demokrasi, keadilan, dan kejujuran; hal-hal

tersebut hanya dapat dipahami dengan baik ketika kemampuan berpikir

abstrak individu sudah berkembang. Oleh karena itu, jelaslah mengapa

remaja lebih tertarik dan lebih mampu memahami isu-isu sosial daripada

anak-anak.

3. Remaja Sebagai Bagian dari Kelompok Sosial

Sebagai bagian dari masyarakat atau kelompok sosial, remaja

seringkali berperilaku atau berpandangan sesuai dengan apa yang dianut

(37)

kelompok untuk kemudian diinternalisasi menjadi perilaku dan pandangan

pribadinya. Dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan modeling

(Pervin, Cervone, & John, 2005). Dalam ranah sosiologi, fenomena ketika

remaja berperilaku dan berpandangan seperti anggota kelompok merupakan

hasil dari proses sosialisasi (Berry et al., 1999).

Konsep modeling dicetuskan oleh Albert Bandura. Menurut

Bandura, dalam situasi sosial individu dapat belajar lebih cepat dengan

mengamati atau melihat tingkah laku orang lain (Cloninger, 2004). Individu

belajar mengenali tipe-tipe perilaku yang diterima dan tidak diterima dengan

cara mengobservasi perilaku anggota kelompoknya (Pervin, Cervone, &

John, 2005). Oleh karena itu, individu menjadi tahu perilaku yang diterima

kelompok dan perilaku yang yang tidak diterima.

Berkaitan dengan sosialisasi, proses ini menunjukkan proses

pembentukan individu dengan sengaja melalui cara-cara pengajaran. Dalam

proses ini, orang-orang di sekitar individu mewariskan nilai, ketrampilan,

keyakinan, dan lain sebagainya melalui pewarisan tegak (dari orang tua),

pewarisan miring (dari orang dewasa lainnya), atau pewarisan mendatar

(dari teman sebaya) (Berry et.al., 1999).

Melalui kedua hal tersebut, sosialisasi dan modeling, individu (dalam

hal ini remaja) menjadi bagian dari kelompok sosial. Remaja mendapat

sosialisasi tentang nilai-nilai atau perilaku yang berkembang di

kelompoknya dan selanjutnya remaja meniru nilai-nilai dan perilaku

(38)

lama-kelamaan remaja memiliki nilai-nilai dan perilaku yang relatif sama dengan

yang dimiliki oleh kelompoknya. Dalam hal ini, remaja telah menjadi bagian

dari kelompok sosial tempat ia hidup.

C.

Kekerasan Dalam Pacaran

1. Pacaran

Masa remaja merupakan suatu tahap ketika kebanyakan individu

mulai menjalin komitmen personal dengan lebih loyal (Davis & Palladino,

1997). Salah satu komitmen personal yang dijalani individu terwujud dalam

hubungan pacaran. Selain dilatarbelakangi oleh hal tersebut, pacaran identik

dengan masa remaja karena pada masa ini banyak terjadi perubahan

hormonal pada diri individu yang menyebabkan mereka mulai tertarik pada

lawan jenis. Selain itu, hubungan heteroseksual yang diwujudkan dalam

bentuk pacaran merupakan salah satu usaha untuk memenuhi tugas

perkembangan sosialisasi pada remaja (Hurlock, 1980). Hal ini senada

dengan yang disebutkan Fuhrmann (Yarni, 2005) yang mengatakan bahwa

salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah

mempersiapkan diri secara fisik, psikis, dan sosial untuk berkomitmen

dengan lawan jenis dan selanjutnya membentuk keintiman sebagai bentuk

kematangan psikologis. Dowdy & Howard (Santrock, 2003) juga

menambahkan bahwa meskipun banyak remaja putra dan putri saling

(39)

pacaranlah kontak yang serius antara dua orang yang berlainan jenis kelamin

muncul.

Pacaran merupakan proses saling menyayangi antara dua manusia

dengan jenis kelamin yang berbeda di mana didalamnya terdapat proses

saling mengenal, memahami, dan sekaligus proses belajar membina

hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah (Imran

dalam Yarni, 2005). Namun terdapat perbedaan dalam memandang fungsi

pacaran pada remaja awal, pertengahan, dan akhir. Tidak semua remaja

memandang pacaran sebagai proses persiapan untuk menikah. Hanya remaja

akhir saja yang memandang pacaran atau kencan sebagai sarana untuk

mencapai keakraban, kebersamaan, dan sosialisasi. Bagi remaja awal dan

pertengahan, kencan atau pacaran dipandang sebagai sarana untuk mencari

kesenangan, keakraban, dan status sosial (Berk, 2007). Arsih (2006) juga

menambahkan bahwa pacaran saat ini tidak lebih dari sekedar trend. Pacaran

digunakan sebagai sarana untuk mencari teman having fun atau sebagai

sarana pemenuhan harga diri. Bahkan yang lebih parah, pacaran kadang

hanya digunakan sebagai penyaluran hasrat biologis semata. Padahal,

pacaran biasanya dimulai pada masa pubertas atau remaja awal (Dickinson

dalam Santrock, 2003). Oleh karena itu, kemungkinan munculnya

masalah-masalah dalam hubungan pacaran rentan terjadi pada masa tersebut,

misalnya kenakalan remaja dan penurunan prestasi akademik (Berk, 2007)

ataupun timbulnya kekerasan dalam pacaran (Hickman, Jaycox, & Aronoff,

(40)

2. Kekerasan Dalam Pacaran a. Pengertian kekerasan

Untuk mendefinisikan konsep kekerasan, Poerwandari (2004)

menggunakan dua penekanan, yaitu pada sisi intensi dan sisi akibat. Dari

sisi intensi, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang secara

sengaja dilakukan untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi,

mengendalikan, menguasai, dan menghancurkan melalui cara-cara fisik,

psikologis, deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam

bermacam-macam bentuk. Dari sisi akibat, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan

yang tidak disengaja, bukan intensional, tetapi didasarkan oleh

ketidaktahuan, kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain yang

menyebabkan subjek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam

upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, dan perendahan

manusia lain.

Menurut WHO, kekerasan (violence) merupakan penggunaan

kekuatan atau kekuasaan, ancaman atau berupa tindakan langsung,

secara sengaja pada seseorang atau sekelompok orang yang dapat

menyebabkan atau memungkinkan timbulnya luka, kematian, luka

emosional, dan pertumbuhan yang terhambat (Krug et.al, 2002). Dari

definisi tersebut, terlihat bahwa kekerasan lebih ditekankan pada sisi

(41)

Dari kedua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan

merupakan suatu bentuk perilaku atau ancaman, baik disengaja atau

tidak, yang merugikan pihak lain, baik dari segi fisik maupun emosional.

b. Pengertian Kekerasan Dalam Pacaran

1) Pengertian Umum KDP

WHO dalam Krug et.al (2002) membagi kekerasan menjadi 3

kategori, yaitu kekerasan terhadap diri sendiri (self-directed violence), kekerasan kolektif (collective violence), dan kekerasan interpersonal (interpersonal violence). Dari ketiga kategori tersebut, kekerasan dalam pacaran (KDP) termasuk dalam kategori kekerasan interpersonal.

Secara umum, kekerasan dalam pacaran dilihat sebagai sebuah pola

dalam penggunaan kekuasaan dan kontrol yang dilakukan seseorang

terhadap pasangannya (Bernstein, et.al., 2004). Menurut Wolfe, et.al

(dalam Fredland, et.al, 2005) kekerasan dalam pacaran merupakan usaha

untuk mengontrol atau mendominasi pasangan secara fisik, seksual,

ataupun psikologis yang dapat mengakibatkan luka. Sedangkan menurut

Riffka Annisa WCC (2006), kekerasan dalam pacaran diartikan sebagai

segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan

pernikahan yang sah (berdasar UU Perkawinan 1/1974, pasal 2 ayat 2),

termasuk kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan

(42)

Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi pada siapa saja. Usia, jenis

kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, atau latar belakang ekonomi

tidak membatasi seseorang untuk menjadi korban atau pelaku kekerasan.

Selain itu, kekerasan dalam pacaran juga tidak terbatas pada pasangan

heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan dengan jenis

kelamin yang sama (Alfonso & Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam

pacaran merupakan salah satu jenis kekerasan interpersonal yang berupa

penggunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan seseorang terhadap

pasangannya di luar hubungan pernikahan yang sah tanpa memandang

jenis kelamin dan latar belakang pelaku dan/atau korban.

2) Perbandingan KDP dengan Konsep Lain yang Sejenis

Terdapat konsep lain yang sejenis dengan konsep kekerasan dalam

pacaran. Konsep tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga serta

bullying.

Konsep kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut

Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga didefinisikan sebagai:

(43)

Dari definisi tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan

antara konsep KDRT dengan KDP. Persamaan yang nampak terutama

dari sisi bentuk-bentuk kekerasan, yaitu mencakup kekerasan fisik,

seksual, psikologis, dan/atau penelantaran. Di sisi lain, perbedaannya

nampak dalam sisi ruang lingkup. Suatu kekerasan disebut dengan

KDRT ketika kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga,

sedangkan disebut KDP ketika terjadi di luar hubungan pernikahan yang

sah.

Selain KDRT, konsep lain yang sejenis dengan kekerasan dalam

pacaran adalah bullying. Bullying dapat didefinisikan sebagai perilaku

agresif tipe proaktif yang didalamnya terdapat aspek kesengajaan untuk

mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan, adanya

ketidakseimbangan kekuatan, serta dilakukan secara berulang oleh satu

atau beberapa anak terhadap anak yang lain (Olweus, 1993; Sheras &

Tippins, 2002; Gini, 2004, Pereira dkk., 2004; Veenstra dkk., 2005;

Bauman & Del Rio, 2006). Menurut Olweus (1993), bullying memiliki

tiga bentuk, yaitu:

Bullying yang dilakukan secara langsung (bisa berbentuk

bullying fisik maupun verbal)

Bullying yang dilakukan secara tidak langsung (bullying

psikologis)

(44)

Fenomena bullying dapat terjadi di mana saja, namun paling sering

terjadi di lingkungan sekolah sehingga istilah bullying identik dengan

kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Jika dibandingkan dengan konsep kekerasan dalam pacaran,

terlihat bahwa konsep bullying dan kekerasan dalam pacaran (KDP)

merupakan suatu himpunan bagian. Konsep bullying merupakan konsep

yang luas, dimana di dalamnya dapat mencakup kekerasan dalam

pacaran (serta KDRT). Hanya saja, kekerasan dalam pacaran membahas

secara lebih spesifik fenomena kekerasan yang terjadi dalam konteks

hubungan romantik di luar pernikahan sedangkan istilah bullying sendiri

lebih sering digunakan untuk menyebut kekerasan yang terjadi di

lingkungan pendidikan.

c. Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran

Menurut WHO, kekerasan interpersonal dapat meliputi

bentuk-bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan deprivatif atau

penelantaran. Namun secara khusus, bentuk-bentuk kekerasan yang

biasa muncul dalam hubungan pacaran adalah kekerasan fisik,

emosional, dan seksual (Black et.al, 2006).

1) Kekerasan Fisik

Ketika memikirkan konsep kekerasan, kebanyakan orang

langsung mengacu pada kekerasan fisik. Padahal dalam

(45)

kekerasan dalam pacaran. Ketika terjadi kekerasan fisik, dalam

kebanyakan kasus, telah terdapat sejarah panjang kekerasan

emosional dan seringkali kekerasan seksual (Murray, 2006).

Sejauh ini tidak ada penjelasan yang menerangkan secara

implisit definisi kekerasan fisik. Biasanya untuk menjelaskan

tentang kekerasan fisik, para ahli menggunakan contoh-contoh

perilaku yang termasuk dalam kekerasan fisik. Contoh-contoh

perilaku tersebut adalah menampar, memukul, mendorong,

menjambak, menyakiti dengan senjata, dan lain-lain (James, West,

Deters, & Armijo, 2000; Poerwandari, 2004). Dari contoh perilaku

tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan

segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan

kekuatan fisik dan menyebabkan sakit secara fisik.

2) Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis atau kekerasan emosional merupakan

kekerasan tingkat pertama dan merupakan jalan menuju kekerasan

fisik dan/atau kekerasan seksual (Murray, 2006). Contoh perilaku

yang termasuk dalam kekerasan psikologis adalah penyerangan

harga diri, membuat korban merasa cemburu, posesif yang

berlebihan, melukai perasaan korban, membuat malu korban di

depan umum, menyalahkan korban atas tindakan agresif yang

(46)

2000). Menurut Poerwandari (2004), kekerasan jenis ini tidak

hanya diekspresikan melalui ungkapan verbal (kekerasan verbal),

tapi dapat pula dalam bentuk pengekangan, diskriminasi, dan

penjauhan pemenuhan kebutuhan dasar (deprivasi).

3) Kekerasan Seksual

Merupakan bentuk kekerasan yang terjadi ketika seseorang

memaksa pasangannya untuk melakukan aktifitas seksual di luar

keinginannya (Jejeebhoy & Bott, 2003). Aktifitas seksual di luar

keinginan yang dimaksud misalnya memaksa mencium, memaksa

memeluk, memaksa pasangan melakukan hubungan badan,

ataupun bentuk pemaksaan lain yang berkaitan dengan perilaku

seksual.

d. Penyebab Kekerasan Dalam pacaran

1) Perspektif Feminis

Menurut perspektif teori feminis, kekerasan terjadi karena

adanya ketidakseimbangan kekuatan antara laki-laki dan

perempuan serta adanya pertarungan kepentingan (Poerwandari,

2004). Dalam lingkungan yang bersifat patriarki, dominasi kaum

laki-laki merupakan sesuatu yang wajar dan kekerasan adalah hal

yang diterima dan digunakan sebagai alat untuk mengontrol

(47)

perempuan merupakan hal yang normal (O’Kefee & Treister,

1998.).

2) Perspektif Belajar Sosial

Psikologi menekankan pada internalisasi nilai dan

pemahaman internal dalam menjelaskan kekerasan, yang

menyebabkan pelaku terus melakukan kekerasan dan korban tetap

tinggal dalam posisinya sebagai korban (Poerwandari, 2004).

Internalisasi nilai dan pemahaman internal tersebut dapat

dijelaskan melalui teori belajar sosial yang dikemukakan oleh

Bandura.

Dalam teori belajar sosial, individu belajar mengenai suatu

hal dengan cara mengamati tingkah laku orang lain (Cloninger,

2004; Pervin, Cervone, & John, 2005). Anak-anak belajar tentang

nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dasar dengan cara

mengobservasi nilai-nilai dan perilaku significant others-nya

(Gazzaniga & Heatherton, 2003). Oleh karena itu, kekerasan yang

dilakukan seseorang terhadap pasangannya juga merupakan hasil

dari perilaku yang dipelajari.

e. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi KDP

Masa remaja merupakan periode gender intensification, yaitu

(48)

stereotype (Berk, 2007). Gender role stereotype atau stereotip peran

gender sendiri oleh Lefton (2000) didefinisikan sebagai

kepercayaan-kepercayaan tentang perilaku mana yang tepat dilakukan oleh laki-laki

dan perempuan. Stereotip peran gender ini sangat dipengaruhi oleh

kondisi budaya setempat. Selain itu, stereotip peran gender ini nantinya

akan menetukan sikap dan perilaku individu (Lips, 1988).

Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender pada

awal masa remaja sangat berkaitan dengan perubahan-perubahan

biologis, sosial, dan kognitif yang terjadi remaja. Pertama, penampilan

fisik yang berubah pada awal masa remaja karena efek pubertas

membuat remaja lebih terpusat pada penampilan fisik mereka dan

berusaha membuat penampilan mereka sesuai dengan beban gender yang

disandangnya. Selain itu, dorongan dari orangtua juga semakin besar

dalam mengarahkan remaja untuk berperilaku sesuai peran gender yang

dimilikinya. Ketika remaja mulai berpacaran, kecenderungan untuk

berperilaku sesuai dengan peran gendernya lebih meningkat. Hal

tersebut dilakukan remaja dalam usaha untuk meningkatkan daya tarik

mereka. Terakhir, perubahan kognitif yang terjadi pada awal masa

remaja, yaitu remaja mulai lebih peka terhadap pikiran dan pendapat

orang lain, membuat remaja lebih responsif terhadap

pengharapan-pengharapan akan peran gender yang harus disandangnya (Berk, 2007).

Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender ini

(49)

hubungan sosial. Pada remaja putri, keintiman dan pengasuhan atau

pemeliharaan menjadi tujuan yang utama, sedangkan pada remaja putra,

dominasi dan kepemimpinanlah yang terutama (Jarvinen & Nicholls

dalam Baron, 1998). Perbedaan tujuan ini tentunya akan berdampak

pada respon pikiran dan perilaku yang ditampilkan remaja.

Perbedaan respon tersebut salah satunya tampak dari hasil

penelitian O’Keefe (1997) yang menyebutkan bahwa selain sebagai

ekspresi kemarahan, alasan remaja putra dalam melakukan kekerasan

dalam pacaran adalahkeinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan

pada remaja putri sebagai upaya pertahanan diri. Selain itu, Cowan &

Quinton (dalam Mahlstedt & Welsh, 2005) mengungkap tentang

perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menganalisis fenomena

perkosaan. Bagi laki-laki, mereka cenderung menyalahkan perempuan

atas kasus perkosaan yang dialaminya (victim blaming), sedang bagi

perempuan, perkosaan terjadi lebih disebabkan karena rasa permusuhan

dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan demikian, jelaslah

bahwa stereotip peran gender yang berkembang di masyarakat membuat

individu dengan jenis kelamin yang berbeda menampilkan pikiran dan

perilaku yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah. Berdasar pada

hal-hal tersebut, maka ada kemungkinan remaja laki-laki dan perempuan

juga akan menampilkan respon yang berbeda dalam menanggapi

(50)

D.

Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena KDP

Masa remaja awal merupakan periode ketika individu mengalami banyak

perubahan dalam hidupnya. Pada masa ini individu mengalami perubahan biologis

yang menyebabkan individu mulai tertarik pada lawan jenis (Berk, 2007). Oleh

karena itu, pacaran biasanya mulai muncul pada masa ini (Dickinson dalam

Santrock, 2003). Namun sayangnya, pada masa ini pacaran hanya dipandang

sebagai sarana untuk mencari kesenangan, keakraban, dan status sosial (Berk,

2007). Dengan demikian, hubungan pacaran yang dilakukan di masa ini besar

kemungkinannya memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah kekerasan

dalam pacaran (Hickman, Jaycox, & Aronoff, 2004; Smith, White, & Holland,

2003).

Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan salah satu jenis kekerasan

interpersonal yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya di luar hubungan

pernikahan yang sah tanpa memandang jenis kelamin dan latar belakang pelaku

dan/atau korban. Kekerasan dalam pacaran tidak hanya terbatas pada pasangan

heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan homoseksual (Alfonso &

Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000).

Sebagai sebuah masalah sosial, kekerasan dalam pacaran menimbulkan

dampak negatif yang tidak bisa dikatakan ringan. Kekerasan dalam pacaran dapat

menimbulkan stres paska trauma, gejala disoasiatif, kecemasan, dan depresi

(Callahan, Tolman, & Saunders, 2003). Selain itu, urgensi untuk menangani

masalah kekerasan dalam pacaran yang timbul di masa remaja menguat karena

(51)

terjalin. Individu biasanya akan mempelajari pola-pola interaksi pada hubungan

tersebut dan membawanya sampai ke masa dewasa (Werkerle & Wolfe, 1999).

Oleh karena itu, kekerasan dalam pacaran muncul sebagai prediktor yang lebih

baik daripada kekerasan pada masa kanak-kanak dalam memprediksi timbulnya

kekerasan di usia dewasa (Smith, White, & Holland, 2003).

Sebagai langkah awal untuk mencegah semakin meluasnya fenomena

kekerasan dalam pacaran, hal yang bisa dilakukan adalah mencari tahu sejauh

mana pengetahuan remaja, khususnya yang termasuk dalam kategori remaja awal

tentang fenomena ini. Dengan mengetahui bagaimana pengetahuan remaja

tersebut, kita dapat menaksirkan sejauh mana remaja memahami atau tidak

memahami fenomena kekerasan dalam pacaran. Dengan demikian, langkah

selanjutnya dapat disusun dengan lebih tepat.

Pengetahuan sendiri dapat diartikan sebagai pemahaman yang terorganisir

mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang dapat diperoleh melalui

pengalaman langsung ataupun tidak langsung. Untuk mengetahui gambaran

pengetahuan remaja berkaitan dengan fenomena kekerasan dalam pacaran,

tentunya kita harus mempertimbangkan kedudukan remaja dalam kelompok

sosial. Sebagai bagian dari kelompok sosial, tentunya remaja sangat dipengaruhi

oleh nilai-nilai yang berlaku di kelompoknya. Remaja akan berpikir dan

berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok. Ditambah lagi,

masa remaja merupakan masa pencarian identitas (Erikson, 1963) sehingga

remaja akan banyak dipengaruhi oleh norma dan nilai kelompok (Berk, 2007;

(52)

tingkat kepercayaan terhadap stereotip gender meningkat. Oleh karena itu, para

remaja yang termasuk dalam kategori remaja awal akan lebih cenderung untuk

berpikiran dan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kelompok

(Berk, 2007).

Salah satu contoh yang membuktikan bahwa perilaku remaja dipengaruhi

oleh nilai-nilai kelompok adalah respon remaja ketika ditanya tentang alasan

mereka melakukan kekerasan dalam pacaran. Alasan utama remaja putra dan putri

dalam melakukan kekerasan dalam pacaran adalah sebagai ekspresi kemarahan.

Walaupun demikian, alasan kedua yang dikemukakan oleh remaja putra adalah

keinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan alasan kedua remaja putri

adalah sebagai usaha untuk mempertahankan diri dari pasangan (O’Keefe, 1997).

Respon remaja tersebut dapat dikatakan dipengaruhi oleh nilai-nilai kelompok

karena respon tersebut sesuai dengan stereotip gender yang berkembang di

masyarakat, yakni bahwa laki-laki harus dominan dan memiliki kontrol sedangkan

perempuan harus mengalah (Lips, 1988). Dengan didasarkan pada hal tersebut,

penelitian ini selain ingin mengetahui bagaimana pengetahuan remaja, khususnya

remaja awal terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran juga ingin mencari tahu

apakah terdapat perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam

(53)

Gambar 2.1 : Kerangka Penelitian Pengetahuan Remaja Terhadap KDP

Pengetahuan tentang bentuk & perilaku KDP

Stereotipe peran gender

(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi deskriptif. Penelitian studi

deskriptif memiliki tujuan untuk mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan

menginterpretasi suatu kondisi tertentu. Sebagai sebuah studi deskriptif, penelitian

ini berfungsi sebagai penelitian dasar (basic research) yang bertujuan untuk

memahami bagaimana fenomena-fenomena terjadi di sekitar kita (Patton, 2002).

Secara khusus, penelitian ini ingin mendeskripsikan pengetahuan remaja tentang

fenomena kekerasan dalam pacaran sehingga dapat diperoleh pemahaman yang

lebih mendalam tentang fenomena tersebut.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Mack et.al. (2005) mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif efektif

digunakan dalam menggali data yang berupa informasi spesifik tentang nilai-nilai,

opini, perilaku, dan konteks sosial budaya dari sebuah populasi. Selain itu,

pendekatan kualitatif juga mampu memfasilitasi peneliti dalam menyediakan

deskripsi data yang menyeluruh tentang bagaimana respon individu terhadap suatu

topik atau isu tertentu. Berdasar pada hal asumsi itulah maka peneliti

(55)

B.

Metode Pengumpulan Data

1. Jenis Metode

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah

focus groups discussion. Focus groups discussion (FGD) adalah metode

pengumpulan data pada penelitian kualitatif dimana satu atau dua peneliti dan

beberapa partisipan bertemu dalam sebuah kelompok untuk mendiskusikan

sebuah topik yang diajukan oleh peneliti (Mack, et.al., 2005). Dalam FGD,

peneliti akan memimpin proses diskusi dengan meminta partisipan untuk

merespon pertanyaan-pertanyaan terbuka yang akan diajukan oleh peneliti.

Oleh karena itu, apa yang diungkapkan partisipan selama proses diskusi

merupakan data penting dalam FGD (Morgan, 1998a).

Focus groups discussion digunakan untuk memperoleh pemahaman yang

komprehensif berkaitan dengan pengalaman-pengalaman dan

kepercayaan-kepercayan subjek dalam waktu yang relatif cepat (Morgan, 1998a). Secara

lebih mendetil, Mack, et.al. (2005) menjelaskan bahwa FGD merupakan

metode yang sangat efektif untuk mengidentifikasi norma-norma dan/atau

nilai-nilai kelompok, mendapatkan opini dari anggota kelompok tentang

norma dan/atau nilai yang berlaku dalam kelompok, serta menangkap variasi

opini atau pandangan individu tentang suatu hal dalam sebuah populasi.

Kelebihan FGD sebagai sebuah metode penelitian kualitatif tampak dari

kedinamisan serta keberagaman data dari kelompok. Dalam proses diskusi,

antar partisipan akan saling mempengaruhi melalui reaksi mereka terhadap

(56)

kelompok tidak setiap partisipan memiliki pandangan dan pengalaman yang

sama, maka akan muncul berbagai keberagaman pandangan atau opini

partisipan terhadap suatu topik yang diajukan (Mack, et.al., 2005). Hal ini

sesuai dengan saran Morgan (1998b) yang meminta peneliti untuk

mempertimbangkan metode FGD ketika penelitian yang dilakukan bertujuan

untuk memahami variasi pandangan partisipan tentang suatu hal.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa metode focus groups discussion

merupakan metode yang tepat untuk penelitian ini. Hal ini disebabkan karena

karakteristik FGD, yaitu cocok untuk menggali variasi opini atau pandangan

individu tentang suatu hal dalam waktu yang relatif cepat, sesuai dengan

tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui gambaran pengetahuan yang

dimiliki remaja tentang kekerasan dalam pacaran.

2. Peran Peneliti dalam Pengumpulan Data

Dalam penelitian dengan focus groups discussion ini, peneliti berperan

sebagai moderator, yaitu orang yang memoderatori jalannya diskusi (Krueger,

1998b). Peneliti akan menjadi moderator dalam setiap diskusi yang dilakukan

dalam penelitian ini.

Pada prakteknya, peneliti akan dibantu oleh seorang asisten moderator.

Asisten moderator ini bertugas untuk memonitor jalannya diskusi, memastikan

tape recorder berjalan dengan sempurna selama proses diskusi berlangsung,

mencatat hasil diskusi, serta bersama-sama dengan peneliti membangun

(57)

berdiskusi dengan baik. Dalam penelitian ini, yang berperan sebagai asisten

moderator adalah rekan peneliti.

C.

Partisipan Penelitian

1. Karakteristik Partisipan

Karakteristik partisipan penelitian ini adalah:

a. Remaja yang berusia 11-14 tahun (kategori remaja a

Gambar

Gambar 1.1 Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Pencegahan Kekerasan
Tabel 1.1 : Prevalensi Kasus KDP Dari Beberapa Penelitian
Tabel 1.2 : Data Kasus Kekerasan Dalam Pacaran  Tahun 1994-2006
Gambar 1.1 : Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Pencegahan Kekerasan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada uji koefisien regresi secara parsial, diperoleh nilai t hitung variabel investasi sebesar 5,020 lebih besar dari nilai t tabel 1,703 dapat disimpulkan bahwa variabel

Furthermore, using such a static factory method mandates that the client refer to the returned object by its interface rather than by its implementation class, which is generally

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis mengenai pengaruh efektivitas pengendalian internal terhadap kualitas pelayanan publik

Pendidikan jasmani itu sendiri adalah pendidikan yang dikaitkan dengan ak- tivitas jasmani, dilaksanakan dalam lembaga pendidikan,membutuhkan sarana dan prasarana yang pasti,

Ha diterima artinya ada hubungan antara nyeri lutut osteoarthritis dengan aktivitas fisik lanjut usia di posyandu lansia Nedyo Waras dan Ngudi Waras

Perpustakaan adalah suatu unit kerja dari suatu badan atau lembaga tertentu yang mengelola bahan-bahan pustaka, baik berupa buku-buku maupun bukan buku (non book material)

Kondisi fisik kimia lingkungan pantai Dusun Pia adalah sebagai berikut; 1) Hasil Pengukuran suhu di perairan pantai dusun Pia dapat dilihat pada Tabel 1, yang menunjukan kisaran

Tingkat kepuasan informasi pada mahasiswa Telkom University angkatan 2017/2018 dalam penggunaan situs igracias.telkomuniversity.ac.id dengan skor rata-rata 3.0173 dan