ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO)
INDONESIA: PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL
OLEH
MEIRISA REZEKI HAFIZAH H14050085
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
MEIRISA REZEKI HAFIZAH. Analisis Penawaran Crude Palm Oil (CPO) Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (dibimbing oleh SYAMSUL H. PASARIBU).
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang memiliki pengaruh yang cukup besar selain karet dan kakao. Tanaman ini menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia yang menghasilkan devisa negara selain dari Minyak dan Gas (Migas). Produk kelapa sawit yang di ekspor adalah dalam bentuk minyak kelapa sawit (CPO) atau minyak biji kelapa sawit (KPO). Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia memang merupakan salah satu penghasil devisa terbesar dikarenakan harganya yang relatif tinggi di pasar dunia.
Selain peluang ekspor yang semakin besar, pasar CPO di dalam negeri juga sangat luas. CPO dibutuhkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku seperti industri minyak goreng, lemak khusus (cocoa butter substitute), margarine/shortening, oleokimia dan sabun mandi. Beberapa tahun terakhir CPO juga sangat diminati dunia termasuk Indonesia sebagai bahan baku untuk Bahan Bakar Nabati (BBN), yaitu biodiesel. Biodiesel ini diharapkan dapat menjadi bahan bakar pengganti solar.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO Indonesia, dan menganalisis pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Error Correction Model (ECM) karena dapat menggabungkan efek jangka pendek dan jangka panjang. Analisis ECM dilakukan dengan menggunakan software E-views 6 dan Microsoft Excel 2007. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder berbentuk time series tahunan dari tahun 1980-2007 yaitu data produksi CPO Indonesia sebagai proxy dari penawaran CPO Indonesia, luas areal perkebunan kelapa sawit, harga CPO dalam negeri, harga solar dan nilai tukar. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persamaan jangka pendek dapat diketahui bahwa variabel produksi CPO 1 tahun sebelumnya, luas areal perkebunan kelapa sawit, luas areal perkebunan kelapa sawit 1 tahun sebelumnya, harga solar, dan harga solar 2 tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel harga domestik dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan. Nilai koefisien Error Correction Term (ECT) sebesar -0,89 menunjukkan bahwa disequilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang sebesar 0,89 persen. ECT menunjukkan seberapa cepat equilibrium tercapai kembali ke dalam keseimbangan jangka panjang.
Berdasarkan persamaan jangka panjang dapat diketahui bahwa variabel luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar dan harga solar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Nilai elastisitas penawaran CPO dapat dilihat dari nilai dugaan parameter pada model estimasi. Berdasarkan nilai tersebut diketahui ternyata respon semua variabel bebasnya terhadap penawaran CPO Indonesia adalah inelastis karena nilai mutlak dugaan parameternya kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran CPO Indonesia kurang responsif terhadap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel bebasnya, sehingga apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel tersebut tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap tingkat penawaran CPO. Sebagai salah satu komoditi yang penting dalam perekonomian, pemerintah diharapkan memperhatikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap penawaran CPO tersebut, terutama terkait harga domestik. Saat ini harga domestik CPO cenderung mengikuti pergerakan harga CPO internasional. Oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat meningkatkan bargaining position sebagai negara yang memiliki areal perkebunan dan produksi CPO terbesar di dunia sehingga harga CPO domestik tidak terpengaruh bahkan menjadi patokan bagi harga CPO internasional.
ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO)
INDONESIA: PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL
Oleh
MEIRISA REZEKI HAFIZAH H14050085
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Skripsi : ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA: PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL
Nama : Meirisa Rezeki Hafizah
NIM : H14050085
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si NIP: 19761020 200501 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP: 19641023 198903 2 002
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA:
PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL” ADALAH BENAR-BENAR
HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Meirisa Rezeki Hafizah H14050085
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Meirisa Rezeki Hafizah lahir di Jakarta pada tanggal 6 Maret 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ngatiyo dan Jamini. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Sukamaju IV Depok dari tahun 1993 sampai tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 11 Depok sampai tahun 2002. Penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di tahun 2005.
Pada tahun yang sama, penulis diberi kesempatan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menempuh program studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjalani perkuliahan, penulis berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan di Departemen Ilmu Ekonomi yaitu HIPOTESA 2007, menjadi panitia di beberapa kegiatan kampus, dan peserta di beberapa seminar serta pelatihan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Penawaran Crude Palm Oil (CPO) Indonesia: Pendekatan Error Correction Model”. CPO merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai komoditi yang dapat menghasilkan devisa, CPO juga digunakan sebagai input untuk industri pangan dan oleokimia serta Bahan Bakar Nabati (BBN) biodiesel. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini terutama mengkaji sisi penawarannya.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Syamsul H. Pasaribu, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama dan Widyastutik, M.Si, selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan atas saran dan kritik yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB untuk seluruh ilmu dan bantuan yang telah diperoleh penulis, dan para peserta pada seminar hasil penelitian skripsi atas kritik dan saran yang telah diberikan.
Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua, yaitu Bapak Ngatiyo dan Ibu Jamini serta adik penulis Sigit Nurcahyo atas doa dan dukungannya baik secara moral maupun material selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan memberikan kontribusi kepada berbagai pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 6 1.3. Tujuan Penelitian ... 7 1.4. Manfaat Penelitian ... 7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKAN PEMIKIRAN ... 9
2.1.Tinjauan Teori ... 9
2.1.1. Konsep Penawaran ... 9
2.1.2. Elastisitas Penawaran ... 13
2.1.3. Teori Engle-Granger Cointegration ... 15
2.1.4. Teori Error Correction Model ... 17
2.2.Penelitian Terdahulu ... 19
2.2.1. Studi Pustaka Respon Penawaran ... 19
2.2.2. Studi Pustaka Minyak Kelapa Sawit ... 21
2.3. Kerangka Pemikiran ... 22
2.4. Hipotesis ... 25
III.METODE PENELITIAN ... 26
3.1. Jenis dan Sumber Data ... 26
3.2. Metode Analisis Data ... 26
3.3. Analisis Deret Waktu ... 28
3.3.1. Uji Stasioneritas ... 28
3.3.2. Uji Derajat Integrasi ... 29
3.3.3. Uji Kointegrasi ... 30
3.5. Uji Diagnostik ... 33
3.5.1. Uji Heteroskedastisitas ... 33
3.5.2. Uji Autokorelasi ... 34
3.5.3. Uji Normalitas ... 35
IV.GAMBARAN UMUM ... 36
4.1. Profil Kelapa Sawit di Indonesia ... 36
4.2. Industri Hilir Minyak Kelapa Sawit ... 38
4.3. Perkembangan CPO Indonesia ... 41
4.3.1. Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO ... 41
4.3.2. Luas Areal Kelapa Sawit ... 43
4.3.3. Harga Domestik CPO ... 44
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46
5.1. Uji Stasioneritas ... 46
5.2. Uji Kointegrasi ... 48
5.3. Pendugaan Model Penawaran CPO Jangka Pendek ... 49
5.4. Uji kebaikan Model Untuk Jangka Pendek ... 53
5.5. Pendugaan Model Penawaran CPO Jangka Panjang ... 54
5.6. Nilai Elastisitas Penawaran CPO ... 56
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58
6.1. Kesimpulan ... 58
6.2. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Negara Produsen Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia ... 3
1.2. Perkembangan Kebutuhan CPO (Crude Palm Oil) Untuk Industri Hilir 4
1.3. Negara Importir Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia ... 5
4.1. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Tahun 2007 . 37 4.2. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Bentuk Pengusahaan Tahun 2000-2007... 38
4.3. Produktivitas Berbagai Sumber Minyak/Lemak Nabati ... 40
5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Tingkat Level ... 47
5.2. Hasil Uji Akar Unit pada Tingkat First Difference ... 48
5.3. Hasil Uji Akar Unit terhadap Residual Persamaan Regresi ... 48
5.4. Hasil Estimasi ECM ... 49
5.5. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 53
5.6. Hasil Uji Autokorelasi ... 53
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Sektor Pertanian ... 1
2.1. Kurva Penawaran ... 10
2.2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran ... 12
2.3. Kurva Elastisitas Penawaran ... 14
2.4. Kerangka Pemikiran ... 24
4.1. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO Indonesia ... 41
4.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit ... 44
4.3. Perkembangan Harga Domestik CPO ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Penelitian ... 62
2. Hasil Uji Stasioneritas Semua Variabel pada Tingkat Level ... 63
3. Hasil Uji Stasioneritas Semua Variabel pada First Difference ... 68
4. Hasil Estimasi Kointegrasi ... 73
5. Hasil Uji Stasioneritas terhadap Residual Persamaan Regresi ... 74
6. Hasil Estimasi ECM yang Tidak Signifikan ... 75
7. Hasil Estimasi ECM Terbaik yang Signifikan ... 76
8. Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test ... 77
9. Hasil Uji Autokorelasi ... 78
10.Hasil Uji Normalitas ... 79
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan cukup penting dalam
perekonomian Indonesia. Pada tahun 2007 saja, sektor pertanian memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar
harga berlaku yaitu sekitar 13,70 persen atau merupakan urutan ketiga setelah
sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (BPS,
2007). Pada waktu krisis ekonomi pun sektor pertanian merupakan sektor yang
cukup kuat menghadapi guncangan ekonomi dan menjadi sektor yang diandalkan
pada pemulihan ekonomi.
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Gambar 1. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Sektor Pertanian
Salah satu sub sektor pertanian yang cukup besar potensinya adalah sub
sektor perkebunan. Pada tahun 2007 sub sektor perkebunan memberikan
49,87 % 15,75 % 12,5 % 5,78 % 16,10 % 0 10 20 30 40 50 60 a. b. c. d. e. Keterangan:
a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan
d. Kehutanan e. Perikanan
kontribusi sebesar 15,75 persen terhadap pembentukan PDB sektor pertanian
(Gambar 1). Selain itu, sub sektor perkebunan juga merupakan penyedia bahan
baku sektor industri, penyerap tenaga kerja, dan penghasil devisa. Ditunjang oleh
kondisi iklim Indonesia dengan curah hujan yang cukup, ketersediaan lahan yang
masih luas, serta telah berkembangnya teknologi optimalisasi produksi, dapat
mendukung kelayakan pengembangan usaha agribisnis.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang
memiliki pengaruh yang cukup besar selain karet dan kakao. Tanaman ini menjadi
salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia yang menghasilkan devisa negara
selain dari Minyak dan Gas (Migas). Produk kelapa sawit yang di ekspor adalah
dalam bentuk minyak kelapa sawit (CPO) atau minyak biji kelapa sawit (KPO).
Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia memang merupakan salah satu penghasil
devisa terbesar yaitu dari besarnya jumlah ekspor ke berbagai negara di dunia.
Besarnya devisa yang dihasilkan dari CPO dikarenakan harganya yang relatif
tinggi di pasar dunia, yaitu sebesar US$ 870 per ton pada bulan Juni, 2007. Pada
tahun 2006 kontribusi ekspor CPO adalah US$ 4,82 miliar, meningkat sebesar
28,26 persen dari nilai ekspor tahun 2005 yaitu sebesar US$ 3,76 miliar dan pada
tahun 2007 nilai ekspor CPO mencapai US$ 7,86 miliar (BPS, 2007).
Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara produsen CPO terbesar di
dunia. Pangsa pasar ekspor CPO kedua negara ini mencapai 80 persen pasar
dunia. Sebelum tahun 2006 Malaysia adalah negara penghasil CPO terbesar, tetapi
sejak tahun 2006 hingga saat ini Indonesia berhasil melampaui produksi Malaysia.
Malaysia mencapai 14,96 juta ton, sedangkan pada tahun 2006 Produksi CPO
Indonesia telah mencapai 15,90 juta ton dan Malaysia hanya 15,88 juta ton. Pada
tahun 2007 produksi CPO Indonesia bertambah sekitar 900 ribu ton dari produksi
tahun 2006 sehingga mencapai 16,80 juta ton.
Tabel 1.1. Negara Produsen Utama CPO (Crude Palm Oil) Dunia Tahun 2000-2007 (ribu ton)
Negara Produksi CPO
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Malaysia 10.842 11.804 11.909 13.355 13.976 14.962 15.881 15.823 Indonesia 7.050 8.080 9.370 10.530 12.350 14.070 15.900 16.800 Nigeria 740 770 775 785 790 800 815 835 Columbia 524 548 528 527 632 661 708 780 Cote D’Ivore 278 205 240 220 270 260 265 320 Sumber : Ditjenbun, 2009.
Berhasilnya Indonesia melampaui produksi CPO Malaysia di duga karena
masih tersedianya lahan yang luas, dan tingginya permintaan CPO baik di dalam
negeri sebagai bahan baku minyak goreng ataupun dunia, sehingga terjadi
peningkatan produktivitas. Produksi CPO kedua negara diperkirakan tetap akan
meningkat pada tahun 2009 sebesar 1,80 juta ton atau sekitar 4,30 persen.
Indonesia diperkirakan akan memproduksi CPO sekitar 20 juta ton, sedangkan
Malaysia sekitar 17,60 juta ton. Konsumsi CPO dunia pada tahun 2009
diperkirakan mencapai 44,80 juta ton atau meningkat sekitar 6 persen jika
dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 42,40 juta ton1. Secara global produksi
CPO pada tahun 2009 diperkirakan antara 42-43 juta ton.
1 Maulidin, M. A. 2009. Konsumsi CPO Dunia Diprediksi Naik 6%.
http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1162:kons umsi-cpo-dunia-diprediksi-naik-6&catid=53:aumum. [26 Februari 2009]
Selain peluang ekspor yang semakin besar, pasar CPO di dalam negeri
juga sangat luas. CPO dibutuhkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku
seperti industri minyak goreng, lemak khusus (cocoa butter substitute),
margarine/shortening, oleokimia dan sabun mandi. Berdasarkan Tabel 1.2, dari
tahun 2003 sampai 2008 kebutuhan CPO untuk industri hilir terus meningkat
setiap tahun. Kebutuhan CPO paling besar terjadi pada industri minyak goreng,
dengan rata-rata kebutuhan mencapai 4,21 juta ton per tahun. Sedangkan total
kebutuhan CPO dalam negeri untuk industri hilir mencapai 5,43 juta ton per
tahun. Beberapa tahun terakhir CPO juga sangat diminati dunia termasuk
Indonesia sebagai bahan baku untuk Bahan Bakar Nabati (BBN), yaitu biodiesel.
Biodiesel ini diharapkan dapat menjadi bahan bakar nabati pengganti solar.
Tabel 1.2. Perkembangan Kebutuhan CPO (Crude Palm Oil) Untuk Industri Hilir Tahun 2003-2008 (ribu ton)
Tahun Minyak goreng Margarine Sabun Oleokimia Jumlah
2003 3.750 250 260 620 4.880 2004 4.100 250 260 620 5.230 2005 4.200 270 275 630 5.375 2006 4.300 297 300 650 5.545 2007 4.400 297 300 650 5.647 2008 4.500 347 350 841 6.038
Sumber: Ditjenbun, 2009 (diolah)
Tingginya harga minyak dunia pada tahun 2008 telah membuat harga
banyak negara meningkatkan penggunaan BBN. Selain faktor harga minyak
dunia, banyak negara yang menyadari semakin menipisnya cadangan minyak juga
membuat mereka mulai beralih menggunakan BBN yang bersifat renewable
(dapat diperbarui).
Peningkatan konsumsi biodiesel dunia membuat permintaan CPO dunia
semakin tinggi. Impor CPO yang dilakukan negara pengimpor tidak hanya
digunakan untuk kepentingan pangan dan industri tetapi juga pemgembangan
biodiesel masing-masing negara pengimpor. Data dari tahun 2000-2007
menunjukkan bahwa Uni Eropa, Cina, dan India merupakan negara importir CPO
terbesar di dunia dengan tingkat konsumsi CPO rata-rata pertahun sebesar 3,78
juta ton, 3,65 juta ton dan 3,55 juta ton.
Tabel 1.3. Negara Importir Utama CPO (Crude Palm Oil) Dunia Tahun 2000-2007 (ribu ton)
Negara Jumlah Impor CPO
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Cina 1.764 2.120 2.660 3.353 3.851 4.320 5.462 5.730 Uni Eropa 2.419 3.019 3.370 3.593 3.945 4.470 4.674 4.803 Pakistan 1.107 1.325 1.300 1.468 1.432 1.646 1.736 1.654 India 3.650 3.492 3.461 4.067 3.451 3.315 3.198 3.690 Mesir 524 525 611 678 702 774 770 849 Sumber: Ditjenbun, 2009
Pada tahun 2007 Jumlah impor yang dilakukan kelima negara importir
terbesar mencapai 55,31 persen dari total impor CPO dunia sebesar yaitu 30,23
juta ton. Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar mendapatkan
mulai mengembangkan biodiesel untuk konsumsi dalam negeri. Untuk
mendukung perkembangan BBN lebih lanjut, Pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional (KEN) dengan tujuan mewujudkan keamanan pasokan energi dalam
negeri. Salah satu produk BBN yang akan dikembangkan di dalam negeri adalah
biodiesel berbasis CPO.
1.2. Perumusan Masalah
Sebagai salah satu produk dari tanaman perkebunan, CPO merupakan
salah satu komoditi andalan ekspor Indonesia. Struktur pasar CPO Indonesia
didominasi oleh pasar internasional (75 persen) dari pada pasar domestik
(25persen)2. Oleh karena itu harga domestik CPO Indonesia dipengaruhi oleh
harga Internasional. Selain sebagai komoditi unggulan untuk ekspor, CPO di
dalam negeri juga dijadikan sebagai bahan baku berbagai industri baik pangan
maupun oleokimia. Komoditi CPO juga semakin strategis dengan mulai
dikembangkannya BBN biodiesel yang terbuat dari CPO.
Pengembangan biodiesel dari CPO mempunyai dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positifnya, komoditas ini akan melayani dua permintaan
yaitu dari pasar tradisional yaitu industri pangan, non pangan dan industri
biodiesel. Bagi sektor pertanian, perluasan pasar tentu akan berdampak positif.
Perluasan pasar tersebut jelas akan memberi tekanan pada kenaikan harga serta
2
Pahan, I. 2008. Salah Urus Industri CPO Indonesia. http://iyungpahan.blogspot.com/2008/04/ salah- urus-industri-cpo-indonesia. [6 April 2008].
stabilitas harga CPO. Di sisi lain, situasi ini berpotensi untuk memperburuk situasi
ketahanan pangan, jika pemerintah tidak dapat menciptakan kondisi pasar yang
baik. Oleh Karena itu, pada penelitian ini ada dua permasalahan yang akan di
bahas yaitu :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penawaran CPO di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat
penawaran CPO Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran CPO di
Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat
penawaran CPO Indonesia.
1.4. Manfaat penelitian
Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
1. Bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan dan memberikan pemahaman
yang semakin mendalam tentang konsep penawaran CPO Indonesia, selain itu
penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan.
2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan
dalam menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan CPO.
3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat membuka cakrawala pembaca
tentang penawaran CPO. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat
sebagai acuan, bahan pertimbangan dan sebagai sumber informasi untuk
penelitian selanjutnya.
1.5.Ruang Lingkup Penelitian
Produk primer yang dihasilkan dari kelapa sawit berupa Crude Palm Oil
(CPO) dan Kernel Palm Oil (KPO). Namun, pada penelitian ini produk kelapa
sawit yang digunakan hanya mencakup CPO saja dan tidak mengikutsertakan
produk lainnya seperti minyak biji kelapa sawit (KPO) ataupun minyak nabati
lainnya. Data produksi CPO Indonesia merupakan proxy untuk tingkat penawaran
CPO Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dalam
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk menganalisis penawaran CPO
Indonesia terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi penawarannya terkait
kepentingan CPO sebagai komoditi ekspor, bahan baku bagi industri pangan dan
oleokimia, juga biodiesel dari CPO yang akan dibuktikan secara statistik. Oleh
sebab itu terlebih dahulu perlu diketahui mengenai teori ataupun pustaka yang
berkaitan.
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Konsep Penawaran
Penawaran adalah jumlah barang atau jasa yang tersedia dan dapat dijual
oleh para penjual. Hukum penawaran menyatakan bahwa kuantitas barang yang
ditawarkan berhubungan secara positif dengan harga barang tersebut, apabila
faktor lain konstan (cateris paribus). Kuantitas yang ditawarkan akan meningkat
ketika harga meningkat dan menurun ketika terjadi penurunan harga. Secara
umum kurva penawaran untuk sebuah komoditi memperlihatkan hubungan antara
harga pasarnya dengan kuantitas dari komoditi tersebut yang diinginkan,
diproduksi dan dijual oleh produsen sementara hal-hal lain dianggap konstan
seperti pada Gambar 2.1 (Putong, 2003). Pada gambar tersebut jika harga suatu
barang meningkat maka jumlah barang yang akan ditawarkan oleh penjual juga
akan meningkat, karena penjual berharap akan mendapatkan keuntungan yang
Sumber: Putong, 2003
Gambar 2.1. Kurva Penawaran
Perubahan penawaran suatu komoditas selain dikarenakan perubahan
harga komoditas itu sendiri, juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lain.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah penawaran antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Harga input
Salah satu unsur utama yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu barang
adalah biaya produksi. Apabila biaya produksi barang relatif rendah terhadap
harga pasar, maka produsen akan menawarkan barang dalam jumlah yang
banyak agar mendapatkan keuntungan yang besar. Sebaliknya, apabila biaya
produksi relatif tinggi terhadap harga, maka produsen akan menawarkan
barang dalam jumlah yang sedikit, atau beralih ke produksi-produksi lain.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi biaya produksi adalah harga input
faktor-faktor produksi. Jika harga satu atau lebih berbagai input naik, kegiatan
memproduksi barang menjadi kurang menguntungkan sehingga produsen akan
lebih sedikit menawarkan barangnya. Jadi, Jumlah barang yang ditawarkan
P (harga)
Q (kuantitas) S
akan berhubungan secara negatif dengan harga input untuk membuat barang
tersebut.
2. Teknologi
Faktor lain yang menentukan besarnya biaya produksi adalah kemajuan
teknologi, yang berupa perubahan-perubahan yang menurunkan jumlah
input-input yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah output yang sama.
Penemuan teknologi baru misalnya mekanisasi mesin, dapat mengurangi
jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu barang sehingga
meningkatkan jumlah barang yang ditawarkan seiring dengan terjadinya
penurunan biaya produksi.
3. Harga barang-barang yang terkait
Jumlah penawaran suatu barang juga dipengaruhi oleh harga-harga dari
barang-barang terkait, khususnya barang-barang yang merupakan barang
substitusi. Penawaran suatu barang akan meningkat jika harga barang
substitusinya juga meningkat.
4. Ekspektasi
Tingkat penawaran suatu barang juga dipengaruhi oleh ekspektasi produsen.
Jika produsen berharap bahwa harga barang yang diproduksinya akan
meningkat di masa datang, produsen akan menyimpan sejumlah produknya
saat ini, dan mengurangi penawaran ke pasar pada saat ini.
5. Kebijakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah juga mempunyai dampak terhadap tingkat penawaran
P1
dapat dengan signifikan menaikkan harga-harga input. Kebijakan-kebijakan
perdagangan yang dibuat oleh pemerintah juga mempunyai dampak yang
sangat penting terhadap terhadap penawaran.
Pergerakan dan Pergeseran Kurva penawaran
Perubahan pada kurva penawaran dapat berupa pergerakan kurva dan
pergeseran kurva. Pergerakan di sepanjang kurva penawaran terjadi akibat adanya
perubahan harga komoditas yang menyebabkan perubahan jumlah komoditas
yang ditawarkan. Sedangkan pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah atau
pun ke kiri atas terjadi jika salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah
penawaran komoditas selain faktor harga komoditas itu sendiri mengalami
perubahan.
Sumber: Putong, 2003
Gambar 2.2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran
Pada Gambar 2.2. (a) merupakan pergerakan di sepanjang kurva
penawaran. Apabila harga barang naik dari p1 ke p2 maka jumlah penawaran juga
P S1 S0 S (Supply) S2 P1 Q (k ua nti tas ) P2 Q (kuantitas) Q (kuantitas) q2 q1 q0 q2 (a) P q1 (b)
akan meningkat di sepanjang kurva dari q1 ke q2, begitu juga sebaliknya.
Sedangkan Gambar 2.2. (b) merupakan pergeseran kurva penawaran yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar harga barang itu sendiri. Misalkan harga
barang berada di p1, dengan tingkat penawaran sebesar q0, yaitu pada kurva S0.
Kemudian terjadi kemajuan teknologi pada proses produksi sehingga biaya
produksi menjadi turun. Penurunan biaya produksi ini akan direspon dengan
peningkatan jumlah penawaran barang, sehingga kurva penawaran akan bergeser
ke kanan bawah, yaitu pada tingkat penawaran sebesar q2 dengan tingkat harga
yang tetap. Sebaliknya jika terjadi kenaikan harga input-input produksi yang
mengakibatkan naiknya biaya produksi suatu barang, maka kurva penawaran akan
berbeser ke kiri atas. Jika produsen tidak meningkatkan harga jual barang yaitu
tetap di p1, maka ia akan mengurangi jumlah barang yang ditawarkannya dari q0
ke q1.
2.1.2. Elastisitas Penawaran
Elastisitas pada dasarnya adalah ukuran seberapa jauh para pembeli dan
penjual bereaksi terhadap perubahan-perubahan kondisi yang terjadi di pasar.
Elastisitas dibedakan menjadi dua yaitu elastisitas permintaan dan elastisitas
penawaran. Konsep elastisitas penawaran juga diperlukan untuk memahami
penawaran komoditas pertanian. Elastisitas penawaran adalah suatu nilai untuk
mengetahui ukuran ketanggapan komoditas yang ditawarkan terhadap perubahan
harga komoditas tersebut (Samuelson dan Nordhaus, 2003). Koefisien elastisitas
Terdapat tiga kasus penting dalam elastisitas penawaran. Pertama kurva
penawaran yang berbentuk vertikal, yang memperlihatkan penawaran yang
bersifat inelastis sempurna (Gambar 2.3 (a)). Kedua, kurva penawaran yang
berbentuk horisontal, yang memperlihatkan penawaran yang bersifat elastis
sempurna (Gambar 2.3 (c)), dan ketiga merupakan kurva penawaran yang
berbentuk diagonal dengan memotong kurva vertikal dan horizontal yang
menggambarkan penawaran yang memiliki elastisitas harga sebesar satu (Gambar
2.3 (b)).
Sumber: Putong, 2003
Gambar 2.3. Kurva Elastisitas Penawaran
Penawaran suatu barang dikatakan elastis jika perubahan harga
menyebabkan perubahan yang cukup besar pada jumlah yang ditawarkan.
Sebaliknya penawaran dikatakan bersifat inelastis atau tidak elastis jika perubahan
jumlah yang ditawarkan hanya sedikit ketika terjadi perubahan harga. Faktor
utama yang dapat mempengaruhi elastisitas penawaran adalah
kemudahan-P (Harga) Q (Kuantitas) (a) Es = 0 (b) Es = 1 (c) Es = ~ Es
Persentase perubahan kuantitas yang ditawarkan Persentase perubahan harga
kemudahan yang menyebabkan produksi dalam industri dapat ditingkatkan.
Faktor penting lainnya yang mempengaruhi elastisitas penawaran adalah rentang
waktu yang ada.
Pada penawaran dalam jangka waktu sangat pendek, kurva penawaran
berbentuk vertikal, artinya jumlah komoditas yang ditawarkan tidak akan
mengalami perubahan walaupun terjadi perubahan harga. Pada kondisi ini
elastisitas penawaran bernilai nol atau disebut inelastis sempurna. Hal ini dapat
dipahami karena dalam jangka pendek para produsen akan kesulitan menambah
atau mengurangi jumlah produksinya, sehingga jumlah yang ditawarkan tidak
tidak terlalu peka terhadap perubahan harga. Pada jangka panjang, penawaran
cenderung lebih elastis karena produsen mempunyai waktu yang cukup untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan harga, juga memungkinkan masuknya
pemain baru dalam pasar. Sehingga dalam jangka panjang, jumlah yang
ditawarkan bersifat peka atau elastis terhadap perubahan harga.
2.1.3. Teori Engle-Granger Cointegration
Konsep kointegrasi diawali dengan melakukan sebuah analisis formal
yang menyatakan hubungan variabel ekonomi dalam keseimbangan jangka
panjang, seperti yang tercantum dalam persamaan sebagai berikut
(2.1)
dimana dan mendenotasi vektor dan , dan
sistem tersebut mencapai keseimbangan jangka panjang ketika . Deviasi
(2.2)
Jika terjadi keseimbangan, maka equilibrium error dikatakan stasioner.
Engle dan Granger dalam Enders (2004) mendefinisikan bahwa komponen
vektor dikatakan terkointegrasi pada ordo yang
didenotasikan dengan jika :
a. Seluruh komponen terintegrasi pada derajat d.
b. Keberadaan vektor dalam kombinasi linear
terintegrasi pada derajat dimana dan
vektor disebut sebagai cointegrating vector.
Terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan mengenai kointegrasi,
yaitu :
a. Kointegrasi adalah kombinasi linear dari variabel-variabel yang tidak
stasioner. Secara teoritis, sangat tidak mungkin terdapat hubungan jangka
panjang yang non linear diantara variabel-variabel yang terintegrasi.
b. Berdasarkan definisi Engle-Granger, kointegrasi merujuk pada variabel yang
terintegrsi pada ordo yang sama. Umumnya variabel-variabel I(d) tidak
berkointegrasi. Tidak adanya kointegrasi mengindikasikan bahwa tidak
terdapat keseimbangan jangka panjang antar variabel.
c. Jika terdapat sebanyak n komponen yang tidak stasioner pada Xt, maka
terdapat paling banyak n-1 vektor kointegrasi tak bebas yang linear.
d. Literatur mengenai kointegrasi hanya memfokuskan pada kasus-kasus dimana
umumnya analisis regresi atau time series hanya diaplikasikan ketika variabel
adalah I(0). Di lain pihak, terdapat beberapa variabel ekonomi yang
terintegrasi sehingga kointegrasi merujuk pada kasus dimana variabel-variabel
nya adalah CI (1,1).
Enders (2004) menyatakan bahwa Engle-Granger Cointegration memiliki
beberapa kelemahan, yaitu:
Tidak memiliki prosedur sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi
berganda (multiple cointegration) secara terpisah.
Prosedur estimasi Engle-Granger Cointegration terdiri dari dua tahap yang
saling berkaitan. Tahap pertama adalah menghasilkan residual. Tahap kedua
adalah mengestimasi regresi, akibatnya koefisien yang diperoleh melalui
estimasi regresi menggunakan residual dari regresi lainnya. Hal ini
mengakibatkan error yang dihasilkan pada tahap pertama dilanjutkan pada
tahap kedua.
2.1.4. Teori Error Correction Model (ECM)
Thomas dalam Mardianti (2005) mengatakan bahwa Error Correction
Model (ECM) lahir dan dikembangkan untuk mengatasi masalah perbedaan
kekonsistenan hasil peramalan antara jangka pendek dengan jangka panjang
dengan cara proporsi disequilibrium pada satu periode dikoreksi pada periode
selanjutnya, sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan hingga penggunaan
Munculnya ketidakseimbangan (disequilibrium error) itu sendiri terjadi
karena dua hal. Pertama, kesalahan spesifikasi misalnya kesalahan pemilihan
variabel, parameter, keseimbangan itu sendiri. Kedua, kesalahan membuat definisi
variabel dan cara mengukurnya. Ketiga, kesalahan yang disebabkan oleh faktor
manusia dalam menginput data.
ECM merupakan salah satu model dinamik yang diterapkan secara luas
dalam analisis ekonomi. Konsep mengenai ECM pertama kali diperkenalkan oleh
Sargan dan Gujarati pada tahun 1964 (Mardianti, 2005). Model ini bertujuan
untuk mengatasi masalah permasalahan data time series yang tidak stasioner dan
regresi palsu.
Thomas dalam Mardianti (2005) berkesimpulan bahwa penggunaan ECM
mempunyai kelebihan-kelebihan sebagai berikut :
a. Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah data time
series yang non-stasioner dan regresi yang palsu (spurious regression),
b. Model dengan variabel-variabel dalam bentuk first difference mengeliminasi
trend dari variabel,
c. ECM dapat diestimasi dengan mengguanakan metode OLS (Ordinary Least
Square),
d. Membantu mengatasi masalah pengolahan data lanjutan seperti masalah
multikolinearitas antar data yang dapat menyebabkan standar error yang
e. Membedakan dengan jelas antar parameter jangka panjang sehingga sangat
ideal untuk digunakan menaksir dari keakuratan sebuah hipotesis,
f. Jika terdapat variabel yang tidak nyata, pengeliminasian variabel tersebut
dapat dilakukan sehingga meningkatkan efisiensi estimasi.
Kelebihan lain dari ECM adalah seluruh komponen dan informasi pada
tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukkan semua bentuk
kesalahan untuk dikoreksi yaitu dengan cara mendaur ulang error yang terbentuk
pada periode sebelumnya, menghindari terjadinya trend dan regresi palsu
(spurious regression). Selain itu dalam pendekatan ECM sifat-sifat statistik yang
diinginkan dari model akan memberikan makna yang lebih sederhana. Artinya
model ECM mampu memberikan makna lebih luas dari estimasi model ekonomi
sebagai pengaruh perubahan variabel independen terhadap dependen dalam
hubungan jangka pendek maupun jangka panjang (Enders, 2004).
2.2. Penelitian Terdahulu
2.2.1. Studi Pustaka Respon Penawaran
Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan mengenai respon
penawaran, terutama difokuskan pada respon penawaran untuk komoditas
pertanian. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Alemu, et al. (2003),
Awasola, et al. (2006), dan Imai, et al. (2008). Di pihak lain penelitian mengenai
komoditi kelapa sawit sebagian besar membahas tentang perdagangan dan daya
saing kelapa sawit yang terkait dengan ekspor atau pun impor diantaranya
Penelitian dari Alemu et al. (2003) yang berjudul “Grain-Supply Response in Ethiopia: An Error Correction Approach” dilakukan untuk mengukur respon
produsen teh, gandum (terigu), jagung, dan tebu (gula) di negara Ethiopia dengan
menggunakan metode ECM. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari
tahun 1966 sampai 1994 yang terdiri dari data produksi, harga komoditi, harga
komoditi pesaing dan curah hujan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rencana
penawaran dari komoditi-komoditi tersebut dipengaruhi secara positif oleh harga
komoditi itu sendiri, negatif oleh harga komoditi substitusinya dan structural
breaks yang berhubungan dengan perubahan kebijakan. Pada jangka panjang
elastisitas harga signifikan untuk seluruh komoditas, sedangkan pada jangka
pendek elastisitas harga signifikan hanya pada jagung, dan keduanya bernilai
inelastis.
Awasola, et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Vector Error
Correction Modelling Of Nigerian Agricultural Supply Response” mempelajari
respon penawaran pada sektor pertanian di Nigeria dengan menggunakan model
Vector Error Correction Model (VECM). Data yang digunakan adalah data
sekunder dari tahun 1978 sampai yahun 2003 yang terdiri dari data indeks
produksi pertanian agregat, indeks rata-rata harga komoditi pertanian dari Nigeria,
Anggaran untuk sektor pertanian, dan kredit untuk sektor pertanian. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji jangka panjang produksi pertanian tidak hanya terhadap
harga, tetapi juga investasi pemerintah, dan insentif kredit yang diberikan
pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas harga komoditas
sedangkan perlengkapan (mesin) dan kredit tidak meningkat, maka tidak cukup
untuk meningkatkan respon penawaran untuk mencapai harga yang baik.
Penelitin Imai, et al. (2008) dengan judul ”Supply Response to Changes in
Agricultural Commodity Prices in Asia Countries” meneliti bagaimana
produktifitas beberapa komoditi utama (jagung, gandum, padi, buah-buahan, dan
sayur-sayuran) pada harga domestik, mengontrol efek curah hujan dan harga
minyak mentah. Dengan menggunakan metode panel data terhadap 10 negara
Asia, yaitu Bangladesh, Cina, Kamboja, India, Indonesia, Nepal, Pakistan,
Philipina, Sri lanka dan Thailand, peneliti ingin memperlihatkan seberapa kuat
elastisitas produktivitas untuk komoditas tertentu. Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah respon produktivitas yang kuat terhadap harga di 10 negara
Asia, walaupun terjadi variasi yang besar pada kekuatan dan kecepatan respon
produktifitas di antara komoditi yang berbeda.
2.2.2. Studi Pustaka Minyak Kelapa Sawit
Sari (2008) meneliti bagaimana posisi daya saing ekspor minyak kelapa
sawit Indonesia di perdagangan Internasional dari tahun 2002-2005 jika dilihat
dari pangsa pasar dan keunggulan komparatif. Pengolahan data dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
analisis pangsa pasar dan Revealed Comparative Advantages (RCA), sedangkan
analisis kualitatif dengan menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pangsa pasar Indonesia berada pada posisi teratas kemudian
berfluktuatif tetapi cenderung tetap mengalami kenaikan. Hasil nilai RCA yang
lebih dari satu juga menunjukkan bahwa CPO Indonesia memiliki keunggulan
komparatif yang tinggi.
Kusumawardhana (2008) meneliti bagaimana pengaruh kebijakan pajak
ekspor (PE) CPO terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Peneliti
menggunakan persamaan simultan dengan metode estimasi yang digunakan
adalah Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar
berpengaruh positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan
pajak ekspor akan mengurangi ekspor CPO Indonesia walaupun secara statistik
tidak signifikan. Penawaran CPO Indonesia juga mempunyai hubungan yang
negatif terhadap harga CPO domestik.
2.3. Kerangka Pemikiran
Komoditas minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu komoditas
penting bagi perekonomian Indonesia, melalui peningkatan nilai tambah, ekspor,
pengurangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja baru. Selain sebagai
sumber devisa negara, berbagai manfaat dapat dihasilkan kelapa sawit, termasuk
manfaatnya sebagai salah satu bahan baku biodiesel untuk bahan bakar nabati.
Meningkatnya penggunaan BBN beberapa tahun terakhir membuat permintaan
CPO dunia meningkat sehingga pasar komoditi ini bertambah luas. Adanya
perluasan pasar, menjadikan peningkatan penawaran. Indonesia merupakan
penting dalam menjaga keseimbangan pasar CPO dunia. Ketersediaan CPO
Indonesia masih memiliki peluang yang besar, hal ini dapat dilihat dari luas areal,
produksi dan produktivitas kelapa sawit. Peningkatan penggunaan biodiesel di
dunia sebagai pengganti bahan bakar fosil sangat membuka peluang Indonesia
untuk menjadi produsen biodiesel terbesar di dunia.
Disisi lain tingkat permintaan CPO dalam negeri juga tinggi. CPO
merupakan bahan baku dari minyak goreng yang merupakan salah satu dari
sembilan bahan pokok pangan yang paling dibutuhkan. Kebijakan pemerintah
yang menetapkan penggunaan BBN biodiesel minimal 5 persen dari konsumsi
BBM nasional juga membuat permintaan CPO dalam negeri semakin tinggi.
Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO internasional,
karena Indonesia menganut perekonomian terbuka. Harga CPO yang tinggi
merupakan insenstif yang besar bagi para pengusaha domestik untuk mengekspor
CPO dan menghindari diri dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO
dalam negeri.
Fokus penelitian ini adalah meneliti bagaimana penawaran minyak kelapa
sawit (CPO) Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Error Correction
Model (ECM) untuk mengetahui hubungan jangka panjang dan jangka pendek
harga komoditi, luas areal, harga komoditi pesaing, harga solar, dan nilai tukar
terhadap penawaran CPO Indonesia. Kerangka penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Pendugaan penawaran
CPO
Luas areal perkebunan kelapa sawit
Harga domestik CPO Harga solar
Nilai tukar
Analisis jangka pendek dan jangka
panjang Analisis ECM (Error Correction Model) Perkembangan produksi CPO Indonesia
Peningkatan permintaan ekspor CPO Indonesia Bahan Bakar Nabati (biodiesel) dari CPO
Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO Indonesia dan nilai elastisitas penawaran CPO
2.4. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di
atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Harga domestik CPO akan berpengaruh positif terhadap penawaran.
2. Luas areal perkebunan kelapa sawit berpengaruh positif terhadap penawaran
CPO.
3. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berpengaruh positif
terhadap penawaran CPO.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series (data deret waktu) tahunan dari tahun 1980 sampai dengan
tahun 2007. Data diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik
(BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, dan literatur lain
yang berhubungan dengan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Jumlah produksi CPO (ton)
2. Luas areal kelapa sawit (ha)
3. Harga CPO domestik (Rp/Kg)
4. Nilai tukar (Rp/US$)
5. Harga solar (Rp/liter)
3.2. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah bersifat kuantitatif dengan
menggunakan (ECM). Analisis ECM dilakukan dengan mengguanakan software
E-views 6 dan Microsoft Excel. Bentuk umum ECM dapat dilihat pada persamaan
3.1 sebagai berikut :
(3.1)
dimana nilai dan adalah nilai Y dan X dalam logaritma natural dan
(3.2)
Syarat untuk menghasilkan persamaan ECM adalah dan tidak
stasioner, dan stasioner. Jika persyaratan ini terpenuhi, maka persamaan 3.2
akan ditulis dalam bentuk ECM sebagai berikut :
(3.3) dimana : = First difference , = First difference , = Variabel endogen, = Variabel eksogen, = Galat.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menggunakan ECM.
Pertama, minimal ada satu variabel yang digunakan tidak stasioner pada tingkat
level. Kedua, persamaan yang digunakan mempunyai hubungan kointegrasi.
Ketiga, persamaan yang digunakan univariate (hanya variabel endogen yang
mempengaruhi eksogen). Jika ketiga persyaratan tidak terpenuhi, maka metode
3.3. Analisis Deret Waktu (Time Series)
Pada analisis ini akan dijelaskan tentang uji stasioneritas, derajat
kointegrasi, dan uji kointegrasi. Ketiga uji ini diperlukan dalam penelitian yang
menggunakan data time series.
3.3.1. Uji Stasioneritas
Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian dengan
menggunakan data time series adalah stasioneritas. Perhatian ini muncul karena
jika data yang diteliti tidak stasioner, maka dapat menyebabkan regresi semu
(spurious regression), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel
atau lebih yang terlihat signifikan secara statistik padahal dalam kenyataanya
tidak sebesar regresi yang dihasilkan.
Untuk mengukur stasioneritas data, ada beberapa cara yang dapat
dilakukan. Salah satu cara yang sering dipakai yaitu dengan menggunakan
Augmented Dickey Fuller (ADF) test atau uji akar-akar unit (unit root test).
Nelson dan Plosser dalam Enders (2004) menyebutkan bahwa pada dasarnya ADF
test melakukan regresi dengan persamaan sebagai berikut :
(3.4)
dimana:
= Selang yang terpilih,
= Nilai yang diestimasi,
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah :
H0 : γ = 0, artinya data tidak stasioner (mengandung unit root),
H1 : γ < 0, artinya data stasioner (tidak mengandung unit root).
Nilai γ diestimasi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan statistik
uji yang digunakan adalah :
, dimana Sγ adalah simpangan baku dari γ.
Jika nilai t-hit (ADF statistik) lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value
maka terima H0 atau dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner, dan
sebaliknya. Selain dengan memperhatikan nilai ADF statistik, kestasioneran juga
dapat dilakukan dengan membandingkan antara nilai probabilitas dan taraf nyata
yang digunakan. Data dikatakan stasioner jika nilai probabilitasnya lebih kecil
dari taraf nyata.
3.3.2. Uji Derajat Integrasi
Uji derajat Integrasi merupakan kelanjutan dari uji unit root sebagai
konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol atau
I(0). Uji derajat integrasi dari masing-masing variabel sangat penting untuk
mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan stasioner atau tidak, dan
berapa kali harus di-difference agar menghasilkan variabel yang stasioner.
Pada uji ini, semua variabel yang ada di-difference pada derajat tertentu
sampai sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama. Suatu variabel
dikatakan stasioner pada first difference jika setelah di-difference satu kali, nilai
3.3.3. Uji Kointegrasi
Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang (equilibrium) antara
variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi linier tersebut
harus stasioner. Uji kointegrasi digunakan untuk memperoleh hubungan jangka
panjang antar variabel sehingga dapat digunakan dalam sebuah persamaan.
Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah metode Engle-Granger
Cointegration Test yang biasanya dilakukan pada persamaan tunggal yang searah.
Engle-Granger Cointegration pada dasarnya menggunakan metode
Augmented Dickey Fuller (ADF) yang terdiri dari dua tahap. Pertama, dengan
meregresikan persamaan variabel dependen dengan variabel independen
menggunakan metode OLS. Produksi CPO Indonesia diregresikan dengan harga
CPO domestik, luas areal kelapa sawit, harga solar dan nilai tukar kemudian
didapatkan residual (u) dari persamaan tersebut. Kedua, melakukan uji ADF
terhadap residual dengan hipotesis yang sama seperti hipotesis uji ADF
sebelumnya.
Jika hipotesis nol ditolak atau signifikan, maka variabel u stasioner atau
dalam hal ini ada kombinasi linier antar variabel adalah stasioner atau u = I(0).
Hal ini berarti meskipun variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner, namun
dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung menuju pada
keseimbangan. Oleh karena itu, kombinasi linier dari variabel-variabel ini disebut
regresi co-integrated regression atau regresi kointegrasi dan parameter-parameter
yang dihasilkan disebut co-integrated parameters atau koefisien-koefisien jangka
(3.5)
(3.6)
dimana:
= Volume penawaran CPO Indonesia tahun ke-t,
= Harga CPO domestik tahun ke-t,
= Luas areal kelapa sawit tahun ke-t,
= Harga BBM (solar) tahun ke-t,
= Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat tahun ke-t,
= error distribunce tahun ke-t.
3.4. Error Correction Model (ECM)
Karena kelebihannya dalam menggabungkan efek jangka pendek dan
jangka panjang sehingga ECM menjadi model yang dapat menjelaskan variabel
penjelas dengan baik. Persamaan ECM dalam penelitian ini adalah :
(3.7)
dimana :
D = Perbedaan pertama (first difference),
= Volume penawaran CPO Indonesia tahun ke-t,
= Harga CPO domestik tahun ke-t,
= Luas areal kelapa sawit tahun ke-t,
= Harga BBM (solar) tahun ke-t,
= Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat tahun ke-t,
= (3.8)
= error distribunce tahun ke-t.
Dengan mensubstitusikan persamaan 3.8 yaitu mengeluarkan koefisien dalam u
maka persamaan 3.7 dapat diubah menjadi :
(3.9)
dimana:
= ; = ; = ; = ; = ; = ; = ;
= , = ; = .
Untuk mengetahui apakah spesifikasi model dengan ECM merupakan
model yang valid maka dilakukan uji terhadap koefisien Error Correction Term
(ECT). Jika hasil pengujian terhadap koefisien ECT signifikan, maka spesifikasi
3.5. Uji diagnostik (Diagnostic test)
Penelitian ini menggunakan pengujian pelanggaran asumsi klasik yaitu uji
heteroskedastisitas, autokorelasi dan uji normalitas. Uji pelanggaran asumsi klasik
digunakan untuk melihat kestabilan jangka pendek dari hasil pengolahan
penelitian.
3.5.1. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linier klasik adalah
varian memiliki varian yang sama (homoskedastisitas). Rumusan
homoskedastisitas adalah sebagai berikut :
,
dimana :
= unsur disturbance,
= nilai varians.
Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka varian residual tidak lagi bersifat
konstan disebut dengan heteroskedastisitas. Konsekuensi dari adanya
heteroskedastisitas yaitu :
a. Estimasi dengan menggunakan ECM tidak akan lagi memiliki varian yang
minimum atau estimator tidak efisien.
b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya
akan mempunyai varian yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien.
Uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi apakah data yang diamati
Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata berarti
terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, dan sebaliknya.
3.5.2. Uji Autokorelasi
Autokorelasi diartikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut ruang dan waktu (Gujarati, 2003). Autokorelasi
terjadi pada serangkaian data deret waktu, dimana error term pada satu periode
waktu secara sistematik tergantung error term pada periode-periode waktu yang
lain. Rumusan adanya masalah autokorelasi dalam pemodelan adalah sebagai
berikut:
E (ui, uj) ≠ 0, i ≠ j
dimana:
ui = Disturbance pengamatan i,
uj = Disturbance pengamatan j.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa unsur gangguan (disturbance) yang
berhubungan dengan observasi (ui) dipengaruhi oleh unsur gangguan
(disturbance) yang berhubungan dengan pengamatan lain (uj).
Ada dua Konsekuensi yang terjadi dari adanya autokorelasi. Pertama,
ragam yang diperoleh dari estimasi ECM bersifat under estimate, yaitu nilai
varian parameter yang diperoleh lebih kecil daripada nilai varian yang
sebenarnya.
Kedua, prediksi yang didasarkan pada metode ECM bersifat inefisien, artinya
memiliki varian yang lebih besar dibandingkan dengan metode ekonometrika
Uji yang digunakan untuk mendeteksi apakah pada data yang diamati
terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM.
Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata maka tidak
ditemukan gejala autokorelasi pada model, tetapi jika nilai probability
Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata maka ditemukan gejala autokorelasi pada
model. Cara untuk mengatasi autokorelasi adalah dengan menambahkan variabel
Auto Regressive (AR).
3.5.3. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati
distribusi normal atau tidak. Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka prosedur
pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term
yang dilakukan adalah uji Jarque-Bera yang pengujiannya dilakukan berdasarkan
error dan penduga least squares. Prosedur pengujiannya adalah
H0 : Error term terdistribusi normal,
H1 : Error term tidak terdistribusi normal.
Jika probability Obs*R-squared lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Profil Kelapa Sawit di Indonesia
Tanaman kelapa sawit bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Kelapa sawit
masuk ke Indonesia pertama kali dari Afrika pada tahun 1848 yang ditanam di
kebun raya Bogor. Pada tahun 1911 kebun kelapa sawit pertama kali dibuka di
daerah Sumatera Utara, tepatnya di Tanah Itam Ulu. Luas areal kelapa sawit
sampai tahun 1915 baru mencapai 2.715 ha, dan ditanam bersama tanaman lain
seperti kopi, kelapa, karet dan tembakau (Naibaho, 1998).
Pada masa penjajahan Jepang, banyak perkebunan kelapa sawit digantikan
dengan tanaman pangan dan pabrik-pabrik dihentikan. Pada tahun 1947 tepatnya
setelah perang berakhir, kebun-kebun milik Belanda dan Jepang dikembalikan
lagi kepada pemiliknya. Produksi CPO baru mencapai 160 ribu ton dengan luas
areal hanya 103 ribu ha pada tahun 1957.
Sampai tahun 2007, penyebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mencakup 22 provinsi yaitu seluruh provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan,
dua provinsi di Jawa (Jawa Barat dan Banten), empat provinsi di Sulawesi
(Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat)
serta Papua dan Papua barat dengan luas areal tanam perkebunan kelapa sawit
mencapai 6,77 juta ha. Dari ke 22 Provinsi, Riau merupakan provinsi yang
mempunyai luas areal terbesar, yaitu mencapai 22,72 persen dari total areal kelapa
Tabel 4.1. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Tahun 2007
No. Provinsi Luas (ha) No. Provinsi Luas (ha)
1. Nangroe Aceh D. 274.822 12. Banten 14.894
2. Sumatera Utara 998.966 13. Kalimantan Barat 451.400 3. Sumatera Barat 291.734 14. Kalimantan Tengah 616.331
4. Riau 1.620.882 15. Kalimantan Selatan 257.862
5. Kepulauan Riau 6.678 16. Kalimantan Timur 339.294
6. Jambi 448.899 17. Sulawesi Tengah 52.298
7. Sumatera Selatan 682.730 18. Sulawesi Selatan 15.708 8. Bangka Belitung 172.227 19. Sulawesi Barat 115.906
9. Bengkulu 163.455 20. Sulawesi Tenggara 18.912
10. Lampung 152.409 21. Papua 29.736
11. Jawa Barat 10.550 22. Papua Barat 31.144
Sumber: Ditjenbun, 2009
Kepemilikan usaha perkebunan kelapa sawit dibagi menjadi tiga yaitu
Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar
Swasta (PBS). Kepemilikan usaha PR baru ada sejak tahun 1979, yaitu ketika
pemerintah mengembangkan kelapa sawit sebagai tanaman ekspor, dan
mengalami perkembangan pesat dengan laju pertumbuhan mencapai 43,2 persen
per tahun untuk periode tahun 1980-1989. Sampai tahun 2006, luas areal kelapa
sawit terbesar diusahakan oleh PBS yaitu 47,69 persen, kemudian PR sebesar
41,59 persen, dan sisanya oleh PBN. Luas areal yang diusahakan oleh PR dan
PBS paling besar berada di provinsi Riau, dengan total luas areal 805 ribu ha oleh
PR dan 732 ribu ha oleh PBS. Pada PBN, luas areal terbesar berada di provinsi
Sumatera Utara yaitu mencapai 284 ribu ha. Pada periode tahun 2000 sampai
Tabel 4.2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Bentuk Pengusahaan Tahun 2000-2007 Tahun PR (ribu ha) PBN (ribu ha) PBS (ribu ha) Total Luas (ribu ha) Pertumbuhan (persen) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1.167 1.561 1.808 1.854 2.120 2.356 2.549 2.852 588 610 632 663 665 677 679 698 2.403 2.542 2.627 2.766 2.781 2.915 3.023 3.358 4.158 4.713 5.067 5.283 5.566 5.948 6.251 6.908 13,35 7,51 4,26 5,36 6,86 5,09 10,51 Sumber : Ditjenbun, 2009 (diolah)
4.2. Industri Hilir Minyak Kelapa Sawit
Industri hulu perkebunan kelapa sawit menghasilkan produk primer yaitu
minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti kelapa sawit (KPO). Dari produk
CPO dan KPO dapat dikembangkan menjadi bermacam-macam produk industri
hilir sebagai berikut:
Industri Pangan
Pada awalnya minyak kelapa sawit dikembangkan untuk mengisi
perkembangan permintaan minyak goreng domestik yang tidak dapat dipenuhi
oleh minyak kelapa. Pada akhir tahun 1980-an minyak kelapa sawit menjadi
minyak utama dalam konsumsi minyak goreng, menyingkirkan minyak kelapa
karena mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi. Penggunaan CPO domestik
sebagian besar (lebih dari 80 persen) untuk pangan sedangkan untuk industri
oleokimia relatif masih kecil (PPKS, 2006). Selain untuk minyak goreng, olahan
CPO lain yang digolongkan dalam produk pangan adalah lemak makan yang
Industri Oleokimia
Oleokimia adalah penggunaan CPO untuk produk kimia. Kapasitas
produksi industri oleokimia dasar di Indonesia masih relatif kecil, padahal
mempunyai nilai tambah yang cukup besar. Oleokimia semula merupakan produk
alternatif terhadap petrokimia, namun dalam perjalanannya oleokimia semakin
mendominasi pasokan industri kimia lanjut tertentu khususnya industri toiletries
dan personal care (hair care seperti shampoo, bahan pembersih seperti sabun dan
deterjen).
Industri oleokimia dasar yaitu fatty acid, glycerine dan fatty alcohol
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 1988 produksi oleokimia
dasar Indonesia baru mencapai 79,50 ribu ton, naik menjadi 217,70 ribu ton pada
tahun 1993 dan menjadi 652 ribu ton pada tahun 1998 atau tumbuh dengan laju
sekitar 23,50 persen per tahun.
Industri Energi Alternatif (Biodiesel)
Kelapa sawit merupakan bahan baku biodiesel yang prospekif. Hal ini
didukung dengan luas areal dan produksi CPO yang besar di Indonesia. Artinya
dari sisi bahan baku, potensinya cukup tersedia secara berkelanjutan.Penggunaan
biodiesel dari CPO di Indonesia layak dikembangkan karena beberapa alasan
sebagai berikut (PPKS, 2006):
1) Ketersediaan bahan bakar minyak bumi yang semakin terbatas (cadangan
minyak bumi Indonesia hanya cukup untuk 18 tahun lagi yaitu sebesar 9
2) Indonesia mulai tahun 2005 menjadi pengimpor (net importer) bahan bakar
minyak, karena produksi dalam negeri tidak dapat lagi memenuhi permintaan
pasar yang meningkat dengan cepat akibat pertumbuhan penduduk dan
industri.
3) Pada saat harga minyak mentah (minyak bumi) tinggi dan subsidi BBM dalam
negeri dikurangi/dicabut maka biodiesel merupakan alternatif yang cukup
kompetitif.
4) Antisipasi kelebihan produksi CPO di Indonesia.
Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa kelapa sawit memiliki tingkat
Produktivitas terbesar diantara komoditas lain yang juga dapat dimanfaatkan
sebagai biodiesel. Biodiesel dari sawit memiliki sejumlah keunggulan. Selain
ramah lingkungan dan tidak beracun, untuk dipakai di kendaraan bermotor tidak
perlu memodifikasi mesin. Emisi yang dihasilkan biodiesel juga rendah, tidak
menambah efek rumah kaca, energi yang dihasilkan sama, ada efek pelumasan,
penyimpanannya lebih mudah dan besifat renewable (dapat diperbaharui).
Tabel 4.3. Produktivitas Berbagai Sumber Minyak/Lemak Nabati
Nama Indonesia Nama Inggris Nama Latin Kg/Ha/Tahun
Kelapa sawit Kelapa Alpukat Kacang Brasil Kacang Makadam Jarak pagar Jojoba K. pekan / kemiri Jarak kaliki Zaitun Oil Palm Coconut Avocado Brasil nut Macadamia nut Physic nut Jojoba Pecan nut Castor Olive Elaeis gueneesis Cocos nucifera Persea americana Bertholletia excelsea Macadamia ternif Jathropa curcas Simmondsia califor Carya pecan Ricinus Communis Olea europea 5.000 2.260 2.217 2.010 1.887 1.590 1.528 1.505 1.188 1.109 Sumber : Prihandana dan Hendroko, 2008