DI KAWASAN GUNUNG CIREMAI PROPINSI JAWA BARAT
HIKMAT RAMDAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2006
Hikmat Ramdan
Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh KOOSWARDHONO MUDIKDJO, DUDUNG DARUSMAN, dan HIDAYAT PAWITAN.
Air minum merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya tidak dapat disubstitusi oleh komoditas lain. Sumber air minum dapat berasal dari wilayah lain yang secara administratif berbeda. Aliran air lintas wilayah dapat menjadi pemicu konflik antar daerah dalam memanfaatkan sumber air minumnya, misalnya konflik antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam memanfaatkan aliran air minum yang bersumber dari mata air yang berada di Gunung Ciremai.
Ketersediaan dan kebutuhan air minum, potensi konflik akibat kelangkaan air, mekanisme alokasi air lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air minum, dan kompensasi dana konservasi dari pengguna air minum adalah beberapa isu penting yang berkaitan dengan pengelolaan air minum lintas wilayah.
Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam alokasi air minum lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon; (b) menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai; (c) menganalisis kelembagaan pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai; dan (d) mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum rumah tangga untuk melestarikan sumber air di kawasan Gunung Ciremai. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif, proses hirarki analitis (analytical hierarchy process), dan penilaian kontingensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik penggunaan air akan terjadi apabila kebutuhan air minum lebih besar daripada potensi ketersediaan air minum yang ada. Upaya resolusi konflik yang dilakukan di kawasan Gunung Ciremai adalah melalui penataan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air minum, dan mengestimasi nilai dana kompensasi konservasi dari pengguna air minum. Prioritas mekanisme alokasi air minum lintas wilayah di kawasan tersebut adalah alokasi air oleh pemerintah/public based allocation (0,4), alokasi melalui transfer hak guna air/water market allocation (0,204), alokasi melalui biaya penyediaan air/marginal cost pricing allocation (0,2), dan alokasi oleh pengguna air/user based allocation (0,196). Peraturan daerah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Implementasi RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah ini. Estimasi nilai WTP total untuk konservasi Gunung Ciremai dari pengguna air minum di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon masing-masing adalah Rp.29.250.000,00/bulan atau Rp.351.000.000,00/tahun dan Rp.177.500.000,00/bulan atau Rp.2,13 milyar/tahun.
Ciremai-West Java Province. Under the direction of KOOSWARDHONO MUDIKDJO, DUDUNG DARUSMAN, and HIDAYAT PAWITAN.
Drinking water is human basic need and could not be substituted by other resource. Source of drinking water can origin from other district which have different administrative jurisdiction. Transboundary water is able to be conflict trigger between district which use the same drinking water sources, such as conflict between Kuningan District and Cirebon Municipality in using drinking water flow from springs at Mount Ciremai.
Availability and needs for drinking water, potentials for conflict that were caused by water scarcity, the mechanisms of transboundary water allocation, institutions of drinking water source management, and compensation fund from drinking water users to conserve water source area are importanst issues that relevant with transboundary drinking water sources management.
This research objectives are : (a) to analyze the availability and the minimum required drinking water in Mount Ciremai area and potentials for conflicts in the allocation of transboundary drinking water between Kuningan District and Cirebon Municipality; (b) to analyze the mechanisms of allocation of transboundary drinking water as a mean for conflict resolution on transboundary water use in Mount Ciremai area; (c) to analyze the institutional settings on drinking water sources management in Mount Ciremai area; and (d) to estimate the amount of compensation from drinking water users to sustain the supply of water source in Mount Ciremai area. Descriptive analysis, analytical hierarchy process (AHP) and contingency valuation method (CVM) were used in this research.
The research result show that if drinking water need is more than water availability, the potentials of conflict happened. The conflict resolution efforts in Mount Ciremai area is carried out through transboundary water allocation mechanisms, institutional settings, and estimation of the value of fund for water conservation which should be provided by water users as a mean to promote conservation in Mount Ciremai area. The sequence of priorities on transboundary drinking water allocation models are public-based allocation (0.4), water market allocation (0.204), marginal cost pricing allocation (0.2) and user-based allocation (0.196). District regulation (peraturan daerah) Number 38 Year 2002 on general plan of spatial planning arrangement (Rencana Umum Tata Ruang, RUTR) of Mount Ciremai also stipulates to ensure that Kuningan District will supply water at the same quality all over the year. The implementation of RUTR as a certificate on commitment of the upstream district is a breakthrough in policy processes and inter regional cooperation under Indonesia’s decentralization. The estimation of the WTP of conservation fund from drinking water users of Kuningan District is Rp.29,250,000.00/month or Rp.351,000,000.00/year and from Cirebon Municipality is Rp.177,500,000.00/ month or Rp.2,130,000,000.00/year.
HIKMAT RAMDAN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Disertasi ini dipersembahkan untuk orang-orang yang saya cintai, terima kasih atas semua do’a dan segenap dukungannya,
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia
dan petunjuk-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah pengelolaan sumber air minum lintas wilayah dengan lokasi
penelitian di sekitar kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Tujuan dari
penelitian ini untuk : (a) menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di
kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam pemanfaatan air minum
lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon (b) menganalisis
mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air
lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai; (c) menganalisis kelembagaan dalam
pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai; dan (d)
mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum rumah
tangga untuk melestarikan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai.
Dengan terselesaikannya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran,
khususnya kepada Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc selaku Ketua
Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir.Dudung Darusman,MA dan Prof.Dr.Ir.Hidayat
Pawitan masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, serta Dr.Ir. Surjono
H Sutjahjo,MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga besar penulis, serta kolega dan
rekan kerja penulis atas segala doá dan dorongannya selama penulis mengikuti
program doktor di Institut Pertanian Bogor ini.
Akhirnya semoga disertasi ini bermanfaat bagi kemajuan pembangunan dan
kesejahteraan umat manusia.
Bogor, Mei 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 26 Nopember 1971 sebagai anak keempat dari pasangan H. Edi Djunaedi dan Hj.Onyas Rostini. Penulis menikah dengan Ir. Fatimah Rahayu dan dikarunia seorang puteri bernama Gina Aura Ramdan.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999 dengan dana pendidikan berasal dari BPPS (Beasiswa Program Pascasarjana) Departemen Pendidikan Nasional. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh penulis pada tahun 2000 dengan beasiswa juga dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional.
Sejak tahun 1995 penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (Pengembangan Akademi Ilmu Kehutanan/AIK Propinsi Jawa Barat) yang berlokasi di kawasan pendidikan Jatinangor dan saat ini mengemban amanah sebagai Pembantu Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan. Selama mengikuti program S3, penulis juga menjadi anggota Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI), Dewan Pimpinan Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Jawa Barat dan Ketua Umum Forum Pemerhati Taman Buru Masigit Kareumbi.
Sebagian dari hasil penelitian ini telah dipresentasikan dalam International Symposium on Ecohydrology, UNESCO-IHP-LIPI, 21-26 Nopember 2005 di Kuta Bali dengan makalah yang disajikan berjudul Transboundary Drinking Water Sources Management at Mount Ciremai, West Java Province dan diterbitkan dalam Prosiding yang berjudul International Symposium on Ecohydrology (ISBN 979-3673-70-2). Beberapa bagian dari disertasi ini juga telah dimuat dalam jurnal ilmiah, yaitu :
(a). Artikel yang berjudul Estimasi Dana Konservasi Pengguna Air Minum di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan Media Konservasi (terakreditasi) pada bulan Desember 2004 volume IX, nomor 2, halaman 87-92;
(b). Artikel yang berjudul Nilai Manfaat Hidrologis Gunung Ciremai untuk Sektor Rumah Tangga dan Implikasi Kebijakannya diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan Oktober tahun 2002 volume I, nomor 1, halaman 13-23;
(c). Artikel yang berjudul Analisis Kebijakan Prospek Alokasi Air Lintas Wilayah dari Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan April tahun 2004 volume II, nomor 2, halaman 28-35; dan
(d). Artikel yang berjudul Penentuan Mekanisme Alokasi Air Baku Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan April tahun 2005 volume III, nomor 2, halaman 72-78.
DAFTAR ISI
1.2. Kerangka Pemikiran 5
1.3. Perumusan Masalah 8
1.4. Tujuan Penelitian 10
1.5. Manfaat Penelitian 10
1.6. Kebaruan (Novelty) 10
II. TINJAUAN PUSTAKA 12
2.1. Air Minum Lintas Wilayah dan Potensi Konflik Pemanfaatannya 12
2.2. Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 19
2.3. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum 28
2.4. Dana Konservasi Sumber Air Minum 31
III. METODE PENELITIAN 37
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 37
3.2. Rancangan Penelitian 37
3.2.1. Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Air Minum 37
3.2.2. Analisis Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 40
3.2.3. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum 43
3.2.4. Estimasi Dana Kompensasi Konservasi Pengguna Air Minum 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 47
4.1. Keadaan Umum Kawasan Gunung Ciremai 47
4.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Air Minum 56
4.3. Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 63
4.4. Penentuan Harga Air Minum Lintas Wilayah yang Efisien 70
4.5. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum 73
4.6. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai 77
4.7. Estimasi Dana Kompensasi Konservasi Pengguna Air Minum 85
4.8. Rekomendasi Umum Pengelolaan Sumber Air Minum 94
Lintas Wilayah
V. KESIMPULAN DAN SARAN 98
5.1. Kesimpulan 98
5.2. Saran 100
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pertimbangan Penggunaan Mekanisme Alokasi Air Minum 25
2 Beberapa Contoh Kasus Penerapan Mekanisme Alokasi Air 26
3 Skala Penilaian Perbandingan Pasangan (Saaty, 1993) 42
4 Jumlah Debit Mata Air di Kabupaten Kuningan 54
5 Persepsi Masyarakat Sekitar Mata Air terhadap Hak-Hak Air 76
6 Nilai WTP Konservasi dari Rumah Tangga 87
di Kabupaten Kuningan
7 Nilai WTP Konservasi dari Rumah Tangga di Kota Cirebon 88
8 Alternatif Pembayaran Dana Konservasi 90
9 Alternatif Lembaga Penyimpanan Dana Konservasi 91
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian 7
2 Alokasi Efisien Air Minum Lintas Wilayah 28
(Roumaset dan Smith, 2001)
3 Hirarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 41
4 Peta Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Kuningan Tahun 2004 48
5 Kontur Wilayah Gunung Ciremai 49
6 Penampang Tiga Dimensi Gunung Ciremai 49
7 Peta Hidrogeologi Kabupaten Kuningan 55
8 Proyeksi Konsumsi Air Minum Masyarakat di Kecamatan 57
Darma dan Kuningan Selama 30 tahun
9 Proyeksi Konsumsi Air Minum Masyarakat Kecamatan 58
Jalaksana dan Sekitarnya Selama 30 Tahun
10 Peta Potensi Air Tanah Cekungan Cirebon (Wahyudin, 2000) 60
11 Produksi Mata Air Paniis, Ijin Pengambilan Air, dan 62
Curah Hujan Dalam Kurun 2000-2003
12 Hierarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah untuk 64
Kawasan Gunung Ciremai
13 Alokasi Efisien dari Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung 71
Ciremai
14 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Gunung Ciremai Berdasarkan 80
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Analisis Kualitas Air Mata Air Darmaloka 1 dan 107
Darmaloka 2
2 Hasil Analisis Kualitas Air Mata Air Cibulan dan Paniis 107
3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Kuningan 108
Pada Tahun 2003
4 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kecamatan 109
Darma dan Kuningan Selama 30 Tahun
5 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kecamatan 110
Kecamatan Jalaksana Selama 30 Tahun
6 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kota Cirebon 111
Selama 30 Tahun
7 Karakteristik Penduduk di Kawasan Gunung Ciremai 112
8 Karakteristik Ekonomi Responden Pengguna Air Minum 115
di Kawasan Gunung Ciremai
9 Persamaan Kurva Permintaan Air untuk Wilayah Kabupaten 117
Kuningan dan Kota Cirebon
10 Data Responden dalam Penentuan Mekanisme Alokasi Air Minum 121 Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai
11 Kuisioner Penentuan Mekanisme Alokasi Air Minum 132
Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai
12 Tahapan Pengolahan Matriks Berpasangan (Saaty, 1993) 155
13. Hasil Pengolahan Data Menggunakan Perangkat Lunak HIPRE 3+ 158 dalam Penentuan Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum
Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai.
14 Peta Kontur Curah Hujan Kabupaten Kuningan (Bapeda 164 Kuningan dan Rissapel, 2000)
16 Peta Aliran Air Tanah Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan 166 (Bapeda Kuningan dan Rissapel, 2000)
17 Peta Zona Vegetasi Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan (Bapeda 167 Kuningan dan Rissapel, 2000)
18 Debit Mata Air Total per Kecamatan di Kabupaten Kuningan 168
(Departemen Pekerjaan Umum, 1990)
19 Peta Taman Nasional Gunung Ciremai 169
20 Citra Landsat Kawasan Gunung Ciremai Tahun 2003 (tidak berskala) 170
21 Peta Topografi Daerah Tangkapan Air Paniis 171
1.1. Latar Belakang
Air merupakan sumberdaya alam (SDA) yang strategis dan vital bagi
kehidupan manusia dan pembangunan, serta keberadaannya tidak dapat digantikan
oleh materi lainnya. Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan,
baik dalam lingkup atmosfir, litosfir, dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup
manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga (domestik),
pertanian, industri, dan kegiatan ekonomi lainnya. Pasokan air untuk mendukung
berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin
kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya
sesuai dengan yang dibutuhkan. Sumberdaya air1 yang ada perlu dikelola secara berkelanjutan. Sistem pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan (sustainable
water resources management systems) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya
air yang didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan
masyarakat (sosial dan ekonomi) saat ini dan masa yang akan datang, dengan
tetap mempertahankan kelestarian aspek ekologisnya (Loucks, 2000).
Berbagai upaya dilakukan manusia untuk memperoleh sumber airnya. Mata
air merupakan salah satu sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya. Mata air dapat ditemukan pada satu titik lokasi
yang umumnya terjadi di sepanjang perbukitan dan dataran rendah yang tanahnya
berpori atau formasi batuannya patah (fractured) sehingga memungkinkan air
mengalir di atas permukaan tanah. Aliran mata air selanjutnya mengalir
membentuk aliran permukaan, dan apabila berkumpul dengan aliran air dari
sumber air lainnya membentuk aliran sungai. Mata air yang bersumber di
perbukitan memiliki kemiringan lereng yang cukup untuk mengalirkan air secara
gravitasi ke daerah-daerah yang ada di bawahnya. Air yang mengalir dan
bersumber dari mata air tersebut telah banyak digunakan oleh masyarakat
sekitarnya untuk keperluan rumah tangga, pertanian, dan kegiatan produksi.
Aliran air tersebut selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal, juga
1
dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara
administratif dan atau politis berbeda.
Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan
hilirnya dalam pemanfaatan air adalah erat, sehingga upaya untuk mewujudkan
pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung-jawab semua wilayah di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut. Acreman (2004) menyebutkan
bahwa upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air2 yang umumnya berada di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air
berkelanjutan. Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan karena adanya
masalah-masalah dalam manajemen sumberdaya air. Masalah kelangkaan dan
alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah menjadikan air yang awalnya
merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi,
alat politik dan bahkan sumber konflik lintas wilayah. Perbedaan sistem
administratif dan politis antar wilayah dalam suatu DAS secara alamiah terjadi di
hampir semua negara di dunia. Frederick (2001) menyebutkan bahwa di dunia
terdapat 214 sungai yang melintasi dua negara atau lebih, 13 sungai diantaranya
melintasi lima atau lebih negara, dan empat sungai (Sungai Kongo, Danube, Nil,
dan Niger) melintasi sembilan atau lebih negara, kesemuanya memiliki potensi
konflik yang cukup serius dan dapat mengganggu stabilitas wilayah. Sebaliknya,
aliran air lintas wilayah pun apabila dikelola dengan kebijakan yang tepat dapat
menjadi katalis kerjasama antar wilayah.
Masalah konflik air dapat terjadi di berbagai tempat di dunia, termasuk
Indonesia yang sejak 1 Januari 2001 menerapkan sistem desentralisasi atau
otonomi daerah (otda) yang lebih luas. Otonomi daerah tersebut memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur
daerahnya, termasuk mengelola sumberdaya alam di wilayah administratifnya.
Daerah yang memiliki sumberdaya alam umumnya merasa paling berhak untuk
mengatur dan mengelolanya dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga untuk
sumberdaya alam yang lintas wilayah seperti air berpotensi menimbulkan konflik
diantara daerah-daerah yang menggunakannya. Adanya konflik antar daerah akan
2
menciptakan instabilitas yang dapat memicu konflik sipil. Imai dan Weinstein
(2000) menyebutkan bahwa konflik sipil dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah, menurunnya investasi, dan peningkatan defisit
pemerintah untuk pembangunan. Nitibaskara (2002) mencatat bahwa konflik air
minum antar daerah setelah otda diberlakukan pernah terjadi antara Kota
Bukittinggi dengan Kabupaten Agam, dan antara Kabupaten Badung dengan
Kabupaten Tabanan. Pasokan air ke Kota Bukittinggi pada tanggal 4-5 Januari
2001 sempat terhenti karena warga Sungai Tanang membendung aliran Sungai
Tanang yang memasok air ke Bukittinggi. Tindakan ini diambil karena
tuntutannya untuk mendapatkan bagi hasil dari Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Bukittinggi tidak dipedulikan. Sementara itu, Kabupaten Tabanan
mengancam menaikan tarif air PDAM setelah diketahui bahwa Kabupaten
Badung berencana menghentikan distribusi pendapatan asli daerahnya. Apabila
rencana penghentian ini dilaksanakan, maka Kabupaten Tabanan akan kesulitan
menutupi anggaran belanja daerahnya karena tidak cukup memiliki pendapatan
sendiri. Akibat ancaman ini, maka Kabupaten Badung menunda rencananya.
Konflik air minum antar daerah juga terjadi di kawasan Gunung Ciremai antara
Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon yang mencuat menjadi isu publik di
Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004.
Kawasan Gunung Ciremai sebagian besar berada di Kabupaten Kuningan
Propinsi Jawa Barat memiliki sumber air minum berupa mata air yang cukup
melimpah. Potensi air dari mata air di kawasan gunung tersebut diperkirakan
mencapai 80% dari potensi mata air yang ada di Kabupaten Kuningan
(Departemen Pekerjaan Umum, 1990). Aliran air yang berasal dari mata airnya
dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebagian lagi
dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan air bagi daerah-daerah di bawahnya
untuk berbagai kebutuhan, baik kebutuhan air minum, pertanian, dan industri.
Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon adalah dua wilayah yang sebagian besar
pasokan airnya berasal dari kawasan Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan.
Selama ini pengguna air yang berada wilayah hilir (Kabupaten dan Kota Cirebon)
yang memanfaatkan air dari Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi
mengkonservasi daerah resapan airnya. Konservasi sumber air tersebut berkaitan
langsung dengan kesinambungan pasokan air (Acreman, 2004). Kabupaten
Kuningan sendiri termasuk kabupaten dengan tingkat pendapatan asli daerah yang
jauh lebih kecil dibandingkan Kabupaten dan Kota Cirebon3, sehingga dorongan untuk mendapatkan dana kompensasi hasil air dari daerah lain yang
memanfaatkannya dipandang menjadi salah satu alternatif untuk membiayai
upaya konservasi sumber airnya di wilayahnya. Tuntutan Pemda Kabupaten
Kuningan untuk memperoleh dana kompensasi atas pemanfaatan sumber air
minumnya dari Kota Cirebon mencuat menjadi konflik air minum lintas wilayah
sepanjang tahun 2004. Dana kompensasi yang dituntut oleh Pemda Kabupaten
Kuningan menyangkut penggunaan mata air Paniis di Kecamatan Pasawahan yang
selama ini merupakan sumber air bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Kota Cirebon. Apabila tuntutan dana kompensasi tersebut tidak dipenuhi, maka
pasokan air minum ke Kota Cirebon akan dikurangi4. Ancaman pengurangan pasokan air tersebut akan menimbulkan krisis air di Kota Cirebon dan bisa
memicu krisis lain yang berdampak secara sosial, ekonomi, dan politik. Proses
penyelesaian konflik di wilayah tersebut yang berlangsung selama enam bulan
merupakan studi kasus mengenai konflik sumber air minum lintas wilayah pasca
pemberlakuan otda di Propinsi Jawa Barat5.
Adanya permasalahan konflik dalam pengelolaan sumber air minum lintas
wilayah di kawasan Gunung Ciremai membutuhkan upaya resolusi konflik
melalui penataan kebijakan, karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi dan
menyelesaikan masalah yang ada di dalam suatu komunitas serta menjadi salah
3
Pada tahun 2002, Kabupaten Kuningan mentargetkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp.14,88 milyar, padahal kebutuhan belanja dalam APBD-nya mencapai Rp.270 miliar lebih. Nilai PAD ini sedikit lebih besar dibandingkan anggaran sektor pendidikan di Kabupaten Cirebon sebesar Rp.11 miliar atau 15% dari total dana pembangunannya pada tahun yang sama (www.pikiran-rakyat.com accesed at April 15 2003).
4
Kepala Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan (SDAP) Kabupaten Kuningan, Ir.Abdul Khodir menyatakan bahwa PDAM Kota Cirebon mengambil air dari kawasan Mata Air Paniis sebesar 1.045,2 liter per detik melebihi dari ijin pengambilan air yang dikeluarkannya sebesar 750 liter/detik sesuai dengan SIPA (Surat Ijin Pengambilan Air) Nomor 616/039/SDAM/2003 yang berlaku dari 24 April 2003 sampai dengan 24 April 2005 (Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2004).
5
satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ramdan et al., 2003). Upaya
penataan kebijakan pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di Kawasan
Gunung Ciremai ini perlu dilakukan sebagai upaya mengoptimalkan pengelolaan
sumber air secara berkelanjutan di kawasan tersebut dan menghindari terjadinya
konflik antar daerah dalam pemanfaatan sumber air minum lintas wilayah di era
otda ini.
1.2. Kerangka Pemikiran
Kawasan Gunung Ciremai menyediakan sejumlah jasa lingkungan
(environmental services) yang bermanfaat untuk menyangga kehidupan
masyarakat di sekitarnya. Manfaat hidrologis merupakan salah satu manfaat yang
langsung dirasakan penduduk. Kawasan tersebut memiliki sejumlah sumber air
minum berupa mata air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air minum
masyarakat di dalam wilayah Kabupaten Kuningan sendiri, maupun untuk
memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di Kota Cirebon dan Kabupaten
Cirebon yang bersifat lintas wilayah.
Aspek kebijakan yang penting dalam pemanfaatan air minum yang berasal
dari Kawasan Gunung Ciremai adalah pengelolaan kawasan sumber air dan
mekanisme alokasi air minum lintas wilayah. Kedua kebijakan tersebut secara
spesifik berkaitan dengan karakteristik kebutuhan air minum di tingkat lokal dan
lintas wilayah. Kebutuhan air minum lokal dan lintas wilayah perlu dikelola
secara berkelanjutan. Flint (2003) menyebutkan bahwa pengelolaan air
berkelanjutan setidaknya diindikasikan oleh tiga hal berikut, yaitu tersedianya air
yang cukup dan aman untuk memenuhi berbagai kebutuhan, mengalokasikan air
secara efektif dan adil diantara pengguna, serta adanya upaya perlindungan
terhadap sumber-sumber air dari ancaman degradasi. Oleh karena itu kebijakan
dalam mengelola kawasan sumber air dan pemanfaatan airnya harus dapat
memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang sama bagi masyarakat.
Kebijakan tersebut juga harus dapat diterima oleh masyarakat, sehingga kebijakan
pengelolaan air tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan saja,
Beberapa parameter yang berkaitan dengan pengelolaan sumber air minum
lintas wilayah yang perlu diteliti adalah ketersediaan air minum, jumlah
kebutuhan air minum masyarakat, potensi konflik dalam pemanfaatan air minum,
kelembagaan pengelolaan sumber air minum, mekanisme alokasi air minum lintas
wilayah, dan estimasi dana kompensasi konservasi dari pengguna air untuk
melindungi sumber airnya. Cruz et al.(2000) menyebutkan bahwa biaya untuk
penggunaan air yang berasal dari sumber air di dalam kawasan hutan belum
memasukan biaya perlindungan dan pengelolaan yang sebenarnya serta biaya
kerusakan lingkungan yang timbul akibat pemanfaatan air, sehingga nilai air
umumnya di bawah nilai yang sebenarnya (underestimated). Oleh karena itu
upaya untuk mengestimasi kemampuan pengguna air minum dalam membantu
membiayai konservasi kawasan sumber airnya perlu diteliti. Penilaian tentang
besarnya kontribusi ini dilakukan dengan pendekatan kesediaan membayar
(willingnes to pay) dari pengguna air (ADB, 2001). Nilai kontribusi konservasi
dari pengguna air minum merupakan pendekatan PES (payment for environmental
services) atas jasa hidrologis kawasan Gunung Ciremai yang dimanfaatkan oleh
pengguna air minum. Bagi pengguna air minum yang berada di bagian hilir, nilai
kontribusi konservasi tersebut merupakan bentuk dari kontribusi hilir untuk
membantu melestarikan kawasan sumber air minum di bagian hulu. Estimasi dana
konservasi kawasan yang berasal dari pengguna air minum tersebut digunakan
untuk membiayai upaya rehabilitasi dan konservasi sumber air minum di kawasan
Gunung Ciremai.
Masalah kelembagaan yang penting dalam pengelolaan sumber air minum
lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai menyangkut kelembagaan pengelolaan
sumber air minum dan mekanisme alokasi air lintas wilayah. Kelembagaan
pengelolaan sumber air minum di kawasan tersebut ada yang dikelola oleh
masyarakat, desa, dan badan usaha pemerintah (PDAM). Latar belakang sistem
kelembagaan pengelolaan sumber air minum dapat berpengaruh terhadap
distribusi pemanfaatan air minum. Kelembagaan pengelolaan air minum lintas
wilayah ditekankan pada upaya menyusun mekanisme kerjasama yang efektif
antar daerah hulu-hilir. Dalam penelitian ini pendekatan mekanisme alokasi air
mekanisme berdasarkan alokasi oleh pemerintah, pasar air, pendekatan biaya
marjinal (marginal cost pricing), dan berbasis pengguna air. Keempat mekanisme
tersebut merupakan mekanisme alokasi air yang dikenal luas di dunia (Dinar et al.
, 2001). Dari keempat mekanisme tersebut selanjutnya disusun peringkat prioritas
mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai untuk
diimplementasikan di kawasan tersebut.
Jasa Lingkungan lainnya Kawasan Gunung Ciremai
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Jasa Hidrologis :
Kebutuhan Air Minum Lintas Wilayah
Kuantitas Penggunaan Air Minum, Kelembagaan Pengelolaan, Potensi Konflik
Kuantitas Penggunaan Air Minum, Kelembagaan Pengelolaan, Potensi
Dari hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan
pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai, disusun rekomendasi
kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber air minum lintas wilayah yang
berasal dari kawasan tersebut secara berkelanjutan.
1.3. Perumusan Masalah
Kawasan pegunungan Gunung Ciremai sebagai daerah hulu DAS memiliki
sejumlah mata air yang dimanfaatkan penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik
oleh penduduk di sekitar kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang
aliran air tersebut. Dalam penelitian ini sumber air minum yang dimaksud adalah
wilayah dimana mata air untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat
berada. Aliran air yang mengalir dari hulu DAS ke bagian hilirnya berjalan
mengikuti alur-alur sungai yang telah terbentuk secara alami, dan melintasi
beberapa wilayah administratif dan/atau politis yang berbeda. Bagian hulu DAS
umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir,
sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin
mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas
yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan
airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001). Apabila terjadi gangguan
terhadap ekosistem hulu yang menjadi resapan air, maka tanggung-jawab tidak
hanya dipikul oleh masyarakat hulu akan tetapi juga merupakan tanggung-jawab
masyarakat hilirnya. Oleh karena itu tanggung-jawab memelihara kondisi DAS
seharusnya menjadi tanggung-jawab bersama daerah-daerah di hulu sampai
dengan daerah-daerah di hilirnya. Namun dalam kenyataannya, pasokan air
minum yang merupakan kontribusi daerah hulu terhadap daerah hilirnya belum
mendapatkan apresiasi dan penilaian yang pantas karena air umumnya masih
dipersepsi sebagai barang publik. Daerah hulu sebagai daerah resapan air belum
mendapatkan perhatian dan kontribusi dari daerah hilir yang memadai, termasuk
upaya daerah hilir membantu konservasi resapan air di daerah hulu. Beban
konservasi kawasan hulu pun sebenarnya menjadi tanggung-jawab daerah hilir
sebagai pengguna air, sehingga tuntutan daerah hulu mendapatkan kontribusi dana
pengelolaan sumber air minum di kawasan tersebut belum tercapai yang
diindikasikan dengan masih tingginya beban konservasi kawasan hulu yang harus
ditanggung oleh daerah hulu dibandingkan dengan daerah-daerah hilirnya.
Interaksi Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pengelolaan air
minum sudah berjalan sejak lama dan hampir semua kebutuhan air minum di Kota
Cirebon dipasok dari kawasan Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten
Kuningan. Pada masa yang akan datang diperkirakan kebutuhan air minum di
kawasan tersebut meningkat berkaitan dengan dijadikannya wilayah Cirebon
sebagai salah satu kawasan pembangunan nasional. Kebutuhan air bersih di Kota
Cirebon hingga tahun 2015 mencapai 1.382 l/dtk atau 43,58 juta m3 per tahun6. Penyediaan air untuk keperluan minum merupakan prioritas utama di atas segala
keperluan lain7. Kebutuhan air minum akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup, dan perkembangan sektor industri (Sanim, 2003).
Kebutuhan air minum yang lebih besar daripada ketersediaannya di suatu wilayah
menciptakan kondisi kelangkaan (scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik
diantara pengguna air minum. Selain itu mekanisme alokasi air minum lintas
wilayah diantara pengguna air minum lintas wilayah perlu ditentukan sebagai
upaya resolusi konflik pemanfaatan air minum lintas wilayah.
Ketersediaan dan kebutuhan air minum, mekanisme alokasi air minum
lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air, dan nilai dana kompensasi
konservasi dari pengguna air minum merupakan beberapa permasalahan pokok
yang diteliti dalam penelitian ini. Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah
menganalisis pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di kawasan Gunung
Ciremai.
6
Adapun kebutuhan akan air bersih di wilayah Kabupaten Cirebon pada tahun 2000 sekitar sekitar 93 juta m3/tahun, sedangkan prediksi pada tahun 2010 meningkat mencapai sekitar 150 juta m3/tahun (Wahyudin, 2000).
7
1.4. Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung
Ciremai dan potensi konflik dalam pemanfaatan air minum lintas wilayah
antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon.
2. Menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya
resolusi konflik air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai.
3. Menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan sumber air minum di
kawasan Gunung Ciremai.
4. Mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum
rumah tangga untuk melestarikan sumber air minum di kawasan Gunung
Ciremai.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan rekomendasi dalam
menata kebijakan pengelolaan sumber air minum lintas wilayah khususnya di
lokasi penelitian, sehingga diharapkan akan diperoleh bentuk kebijakan yang
menjamin terciptanya pengelolaan kawasan sumber air minum secara
berkelanjutan dan menghindari terjadinya konflik antar daerah dalam pemanfaatan
sumber air minum di era otonomi daerah ini.
1.6. Kebaruan (Novelty)
Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi
pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara
komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis, yaitu : (1) analisis
ketersediaan dan kebutuhan air minum untuk memprediksi potensi konflik air
minum di wilayah penelitian, (2) pendekatan proses hirarki analisis atau AHP
(analytical hierarchy process) untuk menentukan mekanisme alokasi air minum
lintas wilayah yang sesuai dengan karakteristik wilayah penelitian, serta (3)
melestarikan sumber air minum di bagian hulu sebagai bentuk dari implementasi
pendekatan PES (payment for environmental services) terhadap jasa hidrologis
hutan. Kebaruan dari segi hasil dapat dilihat dari : (1) adanya dana kompensasi
konservasi dari pengguna air minum di bagian hilir (Kota Cirebon) untuk
membiayai kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan sumber air minum di
bagian hulu (Kabupaten Kuningan) sebagai bentuk dari pendekatan PES terhadap
jasa hidrologis yang keluar dari kawasan hutan, dan (2) terobosan untuk
menjadikan kebijakan Kabupaten Kuningan berupa peraturan daerah (perda) yang
mengatur tata ruang Gunung Ciremai sebagai sertifikat jaminan komitmen daerah
hulu untuk melindungi sumber air di wilayahnya, sehingga apresiasi nilai
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air Minum Lintas Wilayah dan Potensi Konflik Pemanfaatannya
Air merupakan sumberdaya alam vital yang keberadaan dan fungsinya tidak
dapat disubstitusi oleh sumberdaya lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia, ekosistem, dan kegiatan pembangunan lainnya (Wolf, 1998). Air
merupakan salah satu bagian terpenting dalam ekosistem, selain itu air juga
merupakan barang sosial dan ekonomi yang perlu dikelola secara berkelanjutan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya
(Flint, 2003; Loucks, 2000; Soenaryo et al., 2005). Keberadaan dan fungsi air
terkait dengan berbagai kegiatan kehidupan masyarakat dan perkembangan
peradaban manusia (Soenaryo et al., 2005). Air sebagai bagian dari kebutuhan
dasar manusia dijamin keberadaannya oleh konstitusi, misalnya di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”'8. Konstitusi tersebut menunjukkan bentuk kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya (Sanim, 2003). Adanya
kontrak sosial tersebut menunjukkan bahwa air merupakan sumberdaya alam yang
berperan sangat penting dalam mendukung keberlanjutan kehidupan masyarakat
perlu dikelola secara baik untuk mendukung tercapainya kesejahteraan
masyarakat9.
Tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan
tercapai sepanjang kebijakan dan praktek pengelolaan air tidak terpadu dan
berkelanjutan (Loucks, 2000; Soenaryo et al., 2005). Pengelolaan sumberdaya air
berkelanjutan merupakan pengelolaan air yang bersifat multi dimensional
mengenai hubungan antara sumber daya alam, sosial dan sistem ekonomi yang
simultan dalam penggunaan dan pengelolaan air (Flint, 2003). Sistem sumberdaya
8
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : Kep-14/M.Ekon/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Arahan Kebijakan Nasioanal Sumberdaya Air menegaskan bahwa penguasaan sumberdaya air diabdikan kepada kesejahteraan rakyat di segala bidang, baik sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, maupun bidang ketahanan nasional, sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilan sosial, dan kemandirian.
9
air diatur untuk memenuhi perubahan terhadap kebutuhan air pada saat ini dan
masa depan tanpa terjadi kerusakan lingkungan (Loucks, 2000). Pengelolaan air
berkelanjutan merefleksikan aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan
kelembagaan dari prinsip pembangunan berkelanjutan, misalnya dimensi-dimensi
yang menyangkut jumlah dan kualitas air, perlindungan sumber air, distribusi air,
akses masyarakat untuk memperoleh air, serta nilai manfaat air bagi masyarakat
(Lundin et al., 1997).
Pengelolaan air minum di suatu wilayah berkaitan dengan masalah
ketersediaan air (water availability) yang meliputi kuantitas dan kualitas air
minum, serta kebutuhan air minum yang dibutuhkan oleh masyarakat (Buras,
2000). Penyediaan air minum masyarakat merupakan prioritas pertama yang perlu
dilakukan dalam penatagunaan sumberdaya air di suatu wilayah10. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air minumnya. Mata air
merupakan sumber air minum yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di
sekitar wilayah yang potensi mata airnya cukup melimpah, misalnya di Kawasan
Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Aliran air minum dari mata air di Gunung
Ciremai yang secara administratif berada di Kabupaten Kuningan selain
dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Kuningan juga dimanfaatkan oleh
masyarakat di Kota Cirebon. Kondisi tersebut terkait dengan beberapa
karakteristik dasar sumberdaya air, yaitu sumberdaya air dapat mencakup
beberapa wilayah administratif, dipergunakan oleh berbagai aktor (
multi-stakeholders), dan merupakan sumberdaya alam mengalir (flow resources)
sehingga memiliki keterkaitan yang erat antara wilayah hulu dengan hilir
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001).
Ketersediaan air minum di suatu wilayah dapat menjadi permasalahan
apabila dikaitkan dengan kebutuhan air minum masyarakat, terutama dalam
pengelolaan air minum lintas wilayah. Hoekstra (1998) menyebutkan bahwa
peningkatan kebutuhan air minum berkaitan dengan dinamika pertumbuhan
penduduk, sehingga proyeksi kebutuhan air minum dihitung dengan
mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut dan
konsumsi air minum rata-rata (Sanim, 2003). Kekurangan air minum (drinking
10
water shortage) terjadi apabila kebutuhan air minum masyarakat melebihi
ketersediaan air yang ada, dan pada akhirnya menimbulkan kelangkaan air (water
scarcity). Masalah kelangkaan air yang timbul di suatu wilayah berkaitan pula
dengan kondisi klimatis wilayah, hidrologeologis, dan aktifitas masyarakat yang
memanfaatkannya (Hoekstra, 1998). Masalah alokasi air minum lintas wilayah
yang tidak merata telah mengubah keberadaan air yang awalnya merupakan
barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, alat politik
dan pemicu konflik diantara pengguna air minum.
Konflik11 selalu terjadi di dalam interaksi antara individu/kelompok /masyarakat dengan individu/kelompok/masyarakat lainnya untuk memanfaatkan
sumberdaya alam yang sama. Perubahan kondisi sumberdaya alam dan
lingkungan di suatu wilayah memiliki konsekuensi negatif terhadap
wilayah-wilayah di sekitarnya dan memicu timbulnya konflik lingkungan antar wilayah-wilayah.
Spector (2001) mengklasifikasikan perubahan sumberdaya alam dan lingkungan
yang potensial menjadi masalah lintas wilayah menjadi empat aspek, yaitu :
terjadinya degradasi (polusi) lingkungan, adanya kelangkaan (scarcity/shortages)
dari sumberdaya alam dan lingkungan, maldistribusi sumberdaya alam
(inequitable allocation), dan bencana alam/lingkungan atau kecelakaan yang
terjadi secara alami atau akibat perbuatan manusia. Keempat kategori tersebut
semuanya terkait dengan ketersediaan sumberdaya alam. Di samping menyangkut
ketersediaan sumberdaya alam, konflik lintas wilayah berinteraksi pula dengan
masalah perbedaan politik, ekonomi, dan budaya.
Ada empat model hubungan antara perubahan sumberdaya alam dan
lingkungan dengan terjadinya konflik, yaitu Scarcity Model, Modernization
Model, Spillover Model, dan Leading Edge Model (Spector, 2001). Model scarcity
(model kelangkaan) merupakan model yang paling populer dibandingkan model
lainnya. Tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan : penurunan dan
degradasi pasokan sumberdaya alam, peningkatan kebutuhan dan konsumsi
sumberdaya alam, dan distribusi sumberdaya alam yang tidak merata di dalam
11
Konfllik dan kompetisi sering dipertukarkan. Persamaan antara konflik dan kompetisi adalah bahwa keduanya terjadi apabila menghadapi aktifitas yang cenderung incompatible. Namun perbedaannya adalah bahwa kompetisi memiliki aturan jelas yang sifatnya formal atau informal. Konflik umumnya dipandang negatif, namun ada beberapa nilai positif dari konflik adalah : (a) menstimulus keterlibatan stakeholder
populasi. Apabila sumberdaya alam tersebut terbagi ke dalam beberapa wilayah
dan ketersediannya mulai terancam maka potensi konflik antar wilayah
(transboundary conflicts) akan terjadi (Spector, 2001). Kelangkaan sumberdaya
alam mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di dalam suatu wilayah.
Sebagai contoh penurunan produksi pertanian akibat makin terbatasnya suplai air
berpengaruh terhadap meningkatnya kesukaran ekonomi, migrasi terjadi,
ketegangan etnis meningkat, dan sistem pemerintahan melemah. Dampak-dampak
tersebut akan memicu konflik yang hebat. Konflik yang terjadi akibat kelangkaan
air di Timur Tengah dan beberapa wilayah lainnya di dunia merupakan contoh
konflik berdasarkan model kelangkaan (scarcity model).
Model modernisasi (modernization) didasarkan atas asumsi bahwa tekanan
akibat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan khususnya di negara-negara
berkembang telah mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat
intensif dan menimbulkan polusi lingkungan yang menyebabkan pembangunan
berjalan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh dampak pencemaran air di hulu atau
tengah DAS akibat buangan limbah industri akan dirasakan oleh masyarakat di
wilayah hilir sungai, sehingga memicu konflik antar wilayah hulu-hilir. Perbaikan
teknologi dan investasi pengolahan limbah diperlukan untuk menghindari
terjadinya konflik (Spector, 2001).
Model spillover melihat konflik lingkungan berasal dari sengketa domestik,
tetapi secara cepat berkembang menjadi sengketa antar wilayah. Dalam prosesnya
sifat konflik dapat berubah dari masalah lingkungan menjadi masalah sosial,
ekonomi, dan politik. Spector (2001) mencontohkannya pada peristiwa
dehutanisasi di Haiti yang menyebabkan erosi tanah hebat, sehingga tanah
pertanian tidak bisa diolah kembali. Akibat rusaknya tanah pertanian di Haiti
telah memaksa penduduknya untuk bermigrasi ke Amerika Serikat. Kedatangan
pengungsi Haiti menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik yang serius antara
Haiti dan Amerika Serikat.
Model terakhir yaitu Leading Edge Model memandang masalah-masalah
lingkungan sebagai pemicu dan pemanas konflik antar wilayah yang sebelumnya
telah ada tetapi tidak muncul ke permukaan (bersifat laten). Spector (2001)
pertanian dan ancaman kekeringan di Lembah Sungai Senegal. Pada tahun 1989
terjadi peperangan untuk memperebutkan Lembah Sungai Senegal yang
menewaskan ratusan orang dan ribuan penduduk mengungsi.
Dari keempat model konflik sebagaimana diuraikan sebelumnya, tampak
bahwa permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan dapat memicu perselisihan
antar wilayah yang selanjutnya diperbesar oleh masalah ekonomi, sosial, etnis,
dan militer. Konflik yang terjadi dalam memperebutkan sumberdaya alam akan
merangsang kelompok-kelompok yang bersengketa untuk mencari solusi
menghindari konflik yang dapat mengganggu stabilitas wilayah. Air, termasuk air
air minum, adalah sumberdaya alam yang sering memicu terjadinya konflik lintas
wilayah. Keterbatasan, kekurangan, dan kelangkaan air minum berpotensi sebagai
sumber konflik diantara wilayah pengguna air minum (Wolf, 1998). Beberapa
karakteristik dari air (minum) lintas wilayah yang memicu terjadinya konflik
adalah sebagai berikut (Ramdan et al., 2003) :
a. Air adalah sumberdaya alam yang sangat vital dan dibutuhkan oleh hampir
semua aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat serta tidak dapat disubstitusi
oleh komoditas lain, sehingga air memiliki kaitan erat dengan perkembangan
kebudayaan suatu bangsa. Kehancuran berbagai peradaban dunia diawali oleh
kehancuran sistem pengelolaan air.
b. Karakteristik aliran air bersifat dinamis dan tidak mengenal batas administrasi
atau politis yang dibuat oleh manusia. Air dibatasi oleh batas ekologis DAS
berupa topografi punggung bukit dan pegunungan yang tidak sama dengan
batas administrasi dan atau politis. Sistem pembagian batas administrasi dan
politis sering menggunakan sungai sebagai batas tepinya tetapi batas ekologis
memandang sungai sebagai batas tengah ekosistem, sehingga dalam satu
aliaran DAS dapat meliputi beberapa wilayah administrasi dan atau politis.
Perbedaan kebijakan pembangunan antar wilayah dalam satu DAS memicu
konflik air antar wilayah.
c. Dampak kegiatan pembangunan akan dirasakan oleh masyarakat atau wilayah
di sepanjang aliran DAS, misalnya terjadinya pembabatan hutan yang
menyebabkan erosi hebat di bagian hulu akan menurunkan kualitas air sungai
penghubung sistem ekologis dan ekonomis antara bagian hulu dan hilir
sungai.
d. Distribusi air berbeda menurut keruangan (spasial) dan waktu. Jumlah air
tersedia secara global relatif tetap, tetapi distribusinya berbeda-beda. Di
beberapa tempat ditemukan air dalam jumlah melimpah namun di daerah
lainnya air tersedia dalam jumlah terbatas. Daerah yang makin terbatas
sumberdaya alamnya cenderung menjadi agresor bagi daerah lainnya.
Sementara itu distribusi air yang berbeda menurut waktu memaksa penduduk
yang kekurangan air saat musim kemarau melakukan migrasi ke tempat lain
dengan berbagai tujuan, terutama untuk mendapatkan pekerjaan sampingan
ketika lahan pertaniannya tidak bisa digarap karena kekurangan air.
Konflik air minum lintas wilayah pada dasarnya menyangkut sistem
manajemen dan alokasi air minum yang efisien dan adil (equitable), seperti
variabilitas dan ketidakpastian pasokan air, ketergantungan (inter dependencies)
diantara pemakai, serta peningkatan kelangkaan dan biaya pengadaan air minum
(Frederick, 2001). Adapun pengaruh manusia sebagai akar dari konflik air minum
adalah penurunan kualitas air dan ekosistem akuatik akibat kegiatan manusia,
kegagalan menjadikan air sebagai komoditas ekonomi yang menyebabkan
pemanfaatan air tidak efisien, serta kebutuhan air minum yang tidak seimbang
dengan ketersediaan air minum yang ada.
Konflik air minum lintas wilayah diantara pengguna air yang secara
administratif dan atau politis berbeda, berkaitan pula dengan masih kuatnya
doktrin kedaulatan wilayah tanpa batas (unlimited territorial sovereignty) dan
tidak jelasnya hak kepemilikan (property rights) dari sumberdaya air. Doktrin
kedaulatan wilayah tanpa batas menyatakan bahwa wilayah memiliki hak
eksklusif untuk memanfaatkan sumber air minum di dalam wilayahnya, sehingga
wilayah tersebut merasa lebih berhak untuk mengeksploitasinya tanpa
memberikan kompensasi terhadap wilayah lain yang dirugikannya. Akibat dari
doktrin ini wilayah atau negara yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan
yang berujung kepada terjadinya konflik. Kondisi yang hampir mirip terjadi
dengan menguatnya kewenangan daerah untuk mengatur sumberdaya alam yang
cenderung merasa lebih berhak untuk mengatur sistem pengelolaan air minumnya
dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang menggantungkan pasokan air dari
padanya, misalnya tuntutan daerah hulu terhadap daerah hilir yang terjadi di
beberapa wilayah di Indonesia. Sebaliknya, doktrin keterpaduan wilayah tidak
terbatas (unlimited territorial integrity) yang merupakan kebalikan dari doktrin
kedaulatan wilayah tanpa batas, menyatakan bahwa satu wilayah tidak berhak
mengubah kuantitas dan kualitas dari ketersediaan air yang mengalir ke wilayah
lainnya. Doktrin ini mengatur bagaimana pemanfaatan air di bagian hulu sehingga
tidak mengganggu daerah lainnya, seperti diaplikasikan oleh Mesir terhadap
negara-negara yang memiliki proyek-proyek air di sepanjang Sungai Nil yang
diperkirakan akan mengurangi pasokan air ke Mesir (Frederick, 2001). Kedua
doktrin tersebut tidak akan menghasilkan penggunaan air yang efisien apabila
tidak diikuti oleh proses tawar (bargaining process) antar wilayah yang terlibat,
misalnya doktrin pertama menjadikan India tidak berkeinginan untuk
menyediakan insentif dalam mengurangi dampak polusi air sungai yang dirasakan
oleh Banglades. Posisi tawar (bargaining position) dalam alokasi sumber air
minum lintas regional akan dapat dilaksanakan apabila hak kepemilikan sumber
air (water sources property rights) yang dimiliki oleh masing-masing wilayah
dapat dinyatakan secara jelas. Adanya water sources property rights yang jelas
akan memunculkan posisi tawar antar wilayah, dan selanjutnya akan menciptakan
mekanisme transfer air yang secara ekonomis akan efisien (Frederick, 2001).
Resolusi konflik air minum lintas wilayah dapat dilakukan dengan
menentukan mekanisme alokasi air minum yang sesuai dengan karakteristik
wilayah. Alokasi air minum dalam perspektif kebijakan publik berbeda-beda
antara satu tempat dengan tempat lainnya, baik dari yang langsung dikendalikan
pemerintah, menggabungkan sistem pasar dan alokasi pemerintah, dan mekanisme
sistem pasar dalam transaksi air. Struktur dari alokasi air minum lintas wilayah
yang dipilih dipengaruhi oleh keberadaan institusi, kerangka hukum, dan sistem
infrastruktur sumberdaya air yang berlaku di tempat tersebut, sehingga setiap
2.2. Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah
Menentukan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah merupakan salah
satu upaya resolusi konflik dalam pemanfaatan sumber air minum lintas wilayah.
Beberapa mekanisme alokasi sumberdaya air, termasuk air minum, yang dikenal
luas di dunia adalah : marginal cost pricing (MCP), alokasi oleh pemerintah,
pasar air, dan alokasi berbasis pemakai (Dinar et al., 2001). Keempat alokasi air
tersebut dijelaskan berikut ini.
Pendekatan Biaya Marginal (Marginal Cost Pricing, MCP).
Mekanisme MCP pada prinsipnya menetapkan harga air sama dengan biaya
marjinal untuk penyediaan dan pasokan air. Sistem alokasi ini secara ekonomi
dianggap efisien atau optimal secara sosial. Kriteria efisiensi yang digunakan
adalah memaksimumkan nilai total produksi untuk semua sektor ekonomi yang
menggunakan air.
Biaya pasokan air yang dihitung meliputi biaya pengumpulan atau
pengambilan air dari sumber air, biaya transpor ke tempat pengolahan air
(treatment plant), biaya pengolahan air sesuai dengan baku mutu air yang
ditetapkan, biaya distribusi air ke konsumen, serta biaya monitoring dan
pengawasan. Biaya air juga perlu memasukkan biaya sosial sebagai bentuk biaya
eksternalitas pengadaan air terhadap masyarakat, walaupun dalam prakteknya hal
ini sering diabaikan. Apabila terjadi biaya yang lebih tinggi dalam
mengalokasikan air untuk penggunaan tertentu, maka harga air perlu dibedakan
untuk setiap penggunaannya.
Keuntungan diterapkannya mekanisme MCP untuk mengalokasikan
sumberdaya air secara teori adalah tercapainya efisiensi. Mekanisme MCP
cenderung menghindari under-price dari sumberdaya air yang juga dapat
menghindari penggunaan air berlebihan (overuse of water). Dalam kondisi
kelangkaan, penggunaan air berlebihan tentunya tidak diharapkan dan
menimbulkan biaya sosial tinggi. Penerapan mekanisme MCP merefleksikan pula
dapat dikombinasikan dengan biaya polusi (pollution charges) atau pajak
lingkungan, sehingga eksternalitas negatif dari penggunaan air dapat ditekan.
Kelemahan untuk penerapan mekanisme MCP ini berkaitan dengan
kesulitan dalam mendefinisikan secara jelas biaya marjinal itu sendiri. Hal ini
berkaitan dengan informasi yang tidak memadai, dimana biaya marjinal di alam
bersifat multi-dimensi, biaya marjinal bervariasi menurut periode waktu (
short-run versus long-short-run marginal cost), dan biaya marjinal bervariasi tergantung
apakah peningkatan demand bersifat tetap atau sementara. Oleh karena itu seorang
analisis harus dapat memprediksi secara jelas biaya tetap dan biaya variabel.
Mekanisme MCP cenderung kurang memperhatikan isu-isu keadilan. Pada
waktu terjadi kekurangan atau kelangkaan, jika harga meningkat maka sebagian
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampaknya yang
cenderung bersifat negatif, sehingga kelompok ini akan tersisih untuk
mendapatkan pelayananan air yang memadai.
Penerapan mekanisme MCP memerlukan sistem monitoring untuk
mengukur volume air yang disuplai dan digunakan, dan untuk membangun sistem
volumetrik tersebut diperlukan biaya tinggi. Pada tingkat pengambil kebijakan
implementasi MCP belum banyak dimengerti karena keterbatasan informasi yang
dimiliki, sehingga dalam penetapan harga air banyak ditemukan kesalahan
penghitungan yang didasarkan atas proses trial and error di dalam
menetapkannya. Jika harga ditetapkan terlalu rendah, permintaan air (water
demand) akan meningkat, selanjutnya jika harga air ditetapkan terlalu tinggi maka
transaksi sulit terjadi dan air akan dibuang percuma ke saluran-saluran drainase.
Alokasi Air oleh Pemerintah (Public-Based Water Allocation)
Ada tiga alasan intervensi pemerintah dalam mengalokasikan sumberdaya
air, yaitu : kesulitan memperlakukan air sebagai barang pasar, air secara luas
masih dianggap sebagai barang publik, dan pengembangan sumberdaya air skala
besar umumnya terlalu mahal untuk dilaksanakan oleh sektor swasta.
Model alokasi oleh pemerintah sering ditemukan dalam sistem alokasi air
irigasi. Pemerintah memutuskan apakah sumberdaya air dapat digunakan oleh
berbagai bagian dalam sistem (irigasi) tersebut. Alokasi oleh pemerintah juga
meliputi pengaturan pemungutan pajak pengambilan air untuk kegiatan rumah
tangga dan industri, serta mengalokasikan air untuk keperluan publik lainnya,
seperti alokasi air untuk pembangkit tenaga listrik.
Negara atau wilayah yang menerapkan mekanisme ini dalam alokasi
sumberdaya airnya umumnya memegang prinsip bahwa air sebagai sumberdaya
alam sangat vital dan strategis, sehingga perlu dikuasai dan diatur pemanfaatannya
oleh negara/pemerintah dan mencegah penguasaan air oleh pihak tertentu.
Institusi pemerintah yang mengatur alokasi air memiliki kekuatan dalam
mengalokasikan air antar sektor dan memiliki yurisdiksi kuat terhadap semua
sektor pengguna air. Selain mengalokasikan air, institusi tersebut juga
bertanggung-jawab melindungi air dan membuat aturan untuk mengalokasikan air
secara adil untuk sektor-sektor pengguna air, seperti rumah tangga, pertanian,
industri, pelestarian lingkungan dan sebagainya.
Mekanisme alokasi oleh pemerintah cenderung mengedepankan
tujuan-tujuan keadilan, terutama menjamin suplai air ke daerah-daerah kurang air. Hal ini
menguntungkan untuk melindungi masyarakat miskin, menyelamatkan
lingkungan, dan menyediakan air sesuai dengan kebutuhan setiap sektor. Alokasi
air (secara fisik) diantara pemakai tidak tergantung dari biaya (independent of
charges) tetapi dapat didasarkan atas fakta sejarah, pembagian yang adil
berdasarkan volume air tersedia, kebutuhan air individual, dan sistem politik yang
berlaku. Model alokasi oleh pemerintah biasanya memiliki tujuan pengembangan
air yang majemuk (multiobjective goals), misalnya di samping untuk memenuhi
kebutuhan domestik rumah tangga, pengembangan air juga digunakan untuk
memenuhi kebutuhan air industri, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, dan
sebagainya.
Kelemahan mekanisme alokasi oleh pemerintah adalah adanya inefisiensi
alokasi sumberdaya air. Daerah yang membutuhkan biaya lebih tinggi dalam
membangun infrastruktur airnya perlu disubsidi, sehingga mekanisme subsidi
yang dilakukan mengurangi kinerja mekanisme pasar yang menekankan
terjadinya transfer sumberdaya secara efisien. Harga air yang ditetapkan tidak
akan sulit diterapkan untuk menetapkan kuota pembagian air yang dapat
diperjualbelikan sebagaimana halnya dengan komoditas ekonomi lainnya. Akibat
inefisiensi alokasi air, maka akan terjadi pemborosan air dan misalokasi air yang
menghambat upaya pengelolaan sumberdaya air secara rasional dan ekonomis.
Partisipasi publik dalam sistem mekanisme alokasi publik cenderung rendah
sebagai konsekuensi terlalu dominannya pemerintah dalam mengatur alokasi air,
bahkan kondisi yang lebih buruk akan terjadi apabila aparat pemerintah tidak
memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai dalam pengelolaan dan alokasi
air. Mekanisme alokasi oleh pemerintah kurang memberikan insentif bagi
masyarakat untuk berpartisipasi melakukan kegiatan konservasi daerah tangkapan
air, karena mereka menganggap tanggung-jawab perlindungan berada di tangan
pemerintah saja. Selain masalah dominasi kewenangan, struktur fee dalam
mekanisme alokasi oleh pemerintah juga kurang mencerminkan adanya insentif
bagi pengguna air untuk menggunakan air secara efisien dan menghematnya.
Pasar Air (Water Market)
Mekanisme pasar air dalam mengalokasikan sumberdaya air pada
prinsipnya adalah terjadinya pertukaran hak penggunaan air (water use rights)
dalam jumlah tertentu diantara pengguna air yang berdekatan (neighboring-users),
sehingga mekanisme ini sering disebut juga sebagai spot-water market.
Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pasar air adalah (Dinar et al., 2001) :
a. Pasar harus memiliki penjual dan pembeli yang identik/jelas, masing-masing
memiliki informasi lengkap mengenai aturan/institusi pasar yang akan
dijalankannya, dan masing-masing pihak memiliki biaya untuk melakukan
transaksi.
b. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh setiap pembeli atau penjual bebas dari
keputusan yang dibuat oleh penjual atau pembeli lainnya.
c. Keputusan yang dibuat oleh seorang individu tidak mempengaruhi individu
lainnya.
d. Individu-individu atau badan-badan ekonomi yang beroperasi dalam pasar
Di dalam kondisi-kondisi tersebut jumlah permintaan dan penawaran air
akan ditentukan, termasuk unit harga air di dalam pasar tersebut. Secara umum
sumberdaya akan ditransfer dari penggunaan yang bernilai rendah ke nilai
tertinggi, dan secara ekonomi dianggap efisien. Namun untuk menciptakan
kondisi pasar air tersebut, pemerintah perlu melakukan intervensi agar pasar dapat
beroperasi melalui hal-hal berikut ini :
a. Mendefinisikan secara jelas hak-hak penggunaan air yang berlaku di
masyarakat.
b. Membuat kerangka institusi dan hukum untuk perdagangan air.
c. Melakukan investasi untuk membangun infrastruktur dasar yang dapat
menstimulasi berjalannya pasar air.
Mekanisme pasar air apabila dapat diterapkan dengan benar akan
memungkinkan terjadinya insentif bagi masyarakat atau pengguna air untuk
memanfaatkan air lebih efisien. Bagi penjual air ada peningkatan pendapatan dan
mendorongnya untuk lebih memperhatikan kelestarian daerah tangkapan air, dan
bagi pembeli air ada jaminan mengenai jumlah dan kualitas air sesuai dengan
yang diinginkan berdasarkan kesepakatan transaksi antar penjual dan pembeli.
Pasar air memiliki beberapa keuntungan. Penjual berkesempatan untuk
meningkatkan profitabilitasnya, dan pembeli mendapatkan jaminan dalam
mendapatkan air yang sesuai dengan jumlah dan kualitas yang telah
ditetapkannya. Dalam hal perdagangan air antara sektor pertanian dan perkotaan,
maka lingkungan akan mendapatkan keuntungan yaitu peningkatan sistem
pengelolaan air, pemanfaatan air makin efisien, menurunkan polusi air di saluran
irigasi. Apabila terjadi pencemaran di saluran air yang ditransfer maka penjual
harus memasukan biaya eksternalitas atau bahkan membayar lebih tinggi biaya
sosial akibat polusi air tersebut.
Manfaat-manfaat lain dari pasar air adalah meningkatkan pemberdayaan
pengguna air dalam merealokasi air yang ditransfernya menjadi lebih baik, adanya
jaminan penggunaan air secara berkelanjutan terhadap pengguna air yang
mendorong berkembangnya teknologi penyelamatan air, meningkatkan alternatif
pendapatan daerah tanpa merusak ekosistem dan lingkungan hidup, meningkatkan
menjadi solusi dalam memformalkan hak-hak masyarakat atas sumberdaya air
secara kuantitatif. Untuk mempraktekkan mekanisme pasar air sering menemukan
kendala-kendala yang berhubungan dengan : pengukuran air secara kuantitatif
memerlukan investasi besar, mendefinisikan hak-hak air apabila alirannya
bervariasi, membuat aturan-aturan pasar air yang dapat disepakati bersama,
investasi sistem saluran air (conveyance system), serta penghitungan biaya
eksternalitas dan degradasi lingkungan yang mungkin terjadi.
Alokasi Berbasis Pengguna (User-Based Water Allocation)
Variasi alokasi air berbasis pengguna dapat didasarkan atas pembagian
rotasi waktu, jumlah air, luas lahan, dan pembagian aliran air ke masing-masing
pengguna. Alokasi air berbasis pengguna sering ditemukan pada sistem irigasi
pertanian dan sistem pembagian air domestik menggunakan sumur bersama dan
sistem pompa air.
Mekanisme alokasi ini memerlukan institusi aksi bersama yang memiliki
otoritas dalam menetapkan hak-hak atas (pemakaian) air. Pengembangan institusi
masyarakat ini menjadi masalah pertama dan sangat penting dalam membangun
mekanisme alokasi air berbasis pengguna. Institusi masyarakat dalam
mengalokasikan air berkembang dari tengah masyarakat lokal secara spontan, atau
dapat juga dibentuk melalui katalis eksternal yang memfasilitasi terciptanya
institusi pengelolaan air. Pengembangan sistem kepemilikan hak-hak penggunaan
air di masyarakat menjadi pendorong perlunya dibentuk institusi dalam
masyarakat yang mengatur dan mengalokasikan air. Dalam sistem masyarakat
yang masih memiliki institusi sosial yang kuat, pengaturan alokasi air dapat
menjamin penggunaan air yang efisien dan distribusi air yang berkeadilan, serta
menjadi insentif bagi pengguna air dalam melindungi daerah resapan air secara
kolektif.
Alokasi berbasis pengguna lebih fleksibel dalam mengatur aliran air untuk
memenuhi kebutuhan lokal secara langsung. Hal ini disebabkan bahwa semua
pihak yang terlibat dalam penggunaan air - pertanian, konsumsi rumah tangga,
atau industri - memiliki informasi memadai tentang kondisi lokal masing-masing,