• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wila"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAWASAN GUNUNG CIREMAI PROPINSI JAWA BARAT

HIKMAT RAMDAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2006

Hikmat Ramdan

(4)

Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh KOOSWARDHONO MUDIKDJO, DUDUNG DARUSMAN, dan HIDAYAT PAWITAN.

Air minum merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya tidak dapat disubstitusi oleh komoditas lain. Sumber air minum dapat berasal dari wilayah lain yang secara administratif berbeda. Aliran air lintas wilayah dapat menjadi pemicu konflik antar daerah dalam memanfaatkan sumber air minumnya, misalnya konflik antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam memanfaatkan aliran air minum yang bersumber dari mata air yang berada di Gunung Ciremai.

Ketersediaan dan kebutuhan air minum, potensi konflik akibat kelangkaan air, mekanisme alokasi air lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air minum, dan kompensasi dana konservasi dari pengguna air minum adalah beberapa isu penting yang berkaitan dengan pengelolaan air minum lintas wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam alokasi air minum lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon; (b) menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai; (c) menganalisis kelembagaan pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai; dan (d) mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum rumah tangga untuk melestarikan sumber air di kawasan Gunung Ciremai. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif, proses hirarki analitis (analytical hierarchy process), dan penilaian kontingensi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik penggunaan air akan terjadi apabila kebutuhan air minum lebih besar daripada potensi ketersediaan air minum yang ada. Upaya resolusi konflik yang dilakukan di kawasan Gunung Ciremai adalah melalui penataan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air minum, dan mengestimasi nilai dana kompensasi konservasi dari pengguna air minum. Prioritas mekanisme alokasi air minum lintas wilayah di kawasan tersebut adalah alokasi air oleh pemerintah/public based allocation (0,4), alokasi melalui transfer hak guna air/water market allocation (0,204), alokasi melalui biaya penyediaan air/marginal cost pricing allocation (0,2), dan alokasi oleh pengguna air/user based allocation (0,196). Peraturan daerah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Implementasi RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah ini. Estimasi nilai WTP total untuk konservasi Gunung Ciremai dari pengguna air minum di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon masing-masing adalah Rp.29.250.000,00/bulan atau Rp.351.000.000,00/tahun dan Rp.177.500.000,00/bulan atau Rp.2,13 milyar/tahun.

(5)

Ciremai-West Java Province. Under the direction of KOOSWARDHONO MUDIKDJO, DUDUNG DARUSMAN, and HIDAYAT PAWITAN.

Drinking water is human basic need and could not be substituted by other resource. Source of drinking water can origin from other district which have different administrative jurisdiction. Transboundary water is able to be conflict trigger between district which use the same drinking water sources, such as conflict between Kuningan District and Cirebon Municipality in using drinking water flow from springs at Mount Ciremai.

Availability and needs for drinking water, potentials for conflict that were caused by water scarcity, the mechanisms of transboundary water allocation, institutions of drinking water source management, and compensation fund from drinking water users to conserve water source area are importanst issues that relevant with transboundary drinking water sources management.

This research objectives are : (a) to analyze the availability and the minimum required drinking water in Mount Ciremai area and potentials for conflicts in the allocation of transboundary drinking water between Kuningan District and Cirebon Municipality; (b) to analyze the mechanisms of allocation of transboundary drinking water as a mean for conflict resolution on transboundary water use in Mount Ciremai area; (c) to analyze the institutional settings on drinking water sources management in Mount Ciremai area; and (d) to estimate the amount of compensation from drinking water users to sustain the supply of water source in Mount Ciremai area. Descriptive analysis, analytical hierarchy process (AHP) and contingency valuation method (CVM) were used in this research.

The research result show that if drinking water need is more than water availability, the potentials of conflict happened. The conflict resolution efforts in Mount Ciremai area is carried out through transboundary water allocation mechanisms, institutional settings, and estimation of the value of fund for water conservation which should be provided by water users as a mean to promote conservation in Mount Ciremai area. The sequence of priorities on transboundary drinking water allocation models are public-based allocation (0.4), water market allocation (0.204), marginal cost pricing allocation (0.2) and user-based allocation (0.196). District regulation (peraturan daerah) Number 38 Year 2002 on general plan of spatial planning arrangement (Rencana Umum Tata Ruang, RUTR) of Mount Ciremai also stipulates to ensure that Kuningan District will supply water at the same quality all over the year. The implementation of RUTR as a certificate on commitment of the upstream district is a breakthrough in policy processes and inter regional cooperation under Indonesia’s decentralization. The estimation of the WTP of conservation fund from drinking water users of Kuningan District is Rp.29,250,000.00/month or Rp.351,000,000.00/year and from Cirebon Municipality is Rp.177,500,000.00/ month or Rp.2,130,000,000.00/year.

(6)

HIKMAT RAMDAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Disertasi ini dipersembahkan untuk orang-orang yang saya cintai, terima kasih atas semua do’a dan segenap dukungannya,

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia

dan petunjuk-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian ini ialah pengelolaan sumber air minum lintas wilayah dengan lokasi

penelitian di sekitar kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Tujuan dari

penelitian ini untuk : (a) menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di

kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam pemanfaatan air minum

lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon (b) menganalisis

mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air

lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai; (c) menganalisis kelembagaan dalam

pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai; dan (d)

mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum rumah

tangga untuk melestarikan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai.

Dengan terselesaikannya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran,

khususnya kepada Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc selaku Ketua

Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir.Dudung Darusman,MA dan Prof.Dr.Ir.Hidayat

Pawitan masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, serta Dr.Ir. Surjono

H Sutjahjo,MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima

kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga besar penulis, serta kolega dan

rekan kerja penulis atas segala doá dan dorongannya selama penulis mengikuti

program doktor di Institut Pertanian Bogor ini.

Akhirnya semoga disertasi ini bermanfaat bagi kemajuan pembangunan dan

kesejahteraan umat manusia.

Bogor, Mei 2006

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 26 Nopember 1971 sebagai anak keempat dari pasangan H. Edi Djunaedi dan Hj.Onyas Rostini. Penulis menikah dengan Ir. Fatimah Rahayu dan dikarunia seorang puteri bernama Gina Aura Ramdan.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999 dengan dana pendidikan berasal dari BPPS (Beasiswa Program Pascasarjana) Departemen Pendidikan Nasional. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh penulis pada tahun 2000 dengan beasiswa juga dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional.

Sejak tahun 1995 penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (Pengembangan Akademi Ilmu Kehutanan/AIK Propinsi Jawa Barat) yang berlokasi di kawasan pendidikan Jatinangor dan saat ini mengemban amanah sebagai Pembantu Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan. Selama mengikuti program S3, penulis juga menjadi anggota Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI), Dewan Pimpinan Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Jawa Barat dan Ketua Umum Forum Pemerhati Taman Buru Masigit Kareumbi.

Sebagian dari hasil penelitian ini telah dipresentasikan dalam International Symposium on Ecohydrology, UNESCO-IHP-LIPI, 21-26 Nopember 2005 di Kuta Bali dengan makalah yang disajikan berjudul Transboundary Drinking Water Sources Management at Mount Ciremai, West Java Province dan diterbitkan dalam Prosiding yang berjudul International Symposium on Ecohydrology (ISBN 979-3673-70-2). Beberapa bagian dari disertasi ini juga telah dimuat dalam jurnal ilmiah, yaitu :

(a). Artikel yang berjudul Estimasi Dana Konservasi Pengguna Air Minum di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan Media Konservasi (terakreditasi) pada bulan Desember 2004 volume IX, nomor 2, halaman 87-92;

(b). Artikel yang berjudul Nilai Manfaat Hidrologis Gunung Ciremai untuk Sektor Rumah Tangga dan Implikasi Kebijakannya diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan Oktober tahun 2002 volume I, nomor 1, halaman 13-23;

(c). Artikel yang berjudul Analisis Kebijakan Prospek Alokasi Air Lintas Wilayah dari Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan April tahun 2004 volume II, nomor 2, halaman 28-35; dan

(d). Artikel yang berjudul Penentuan Mekanisme Alokasi Air Baku Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan April tahun 2005 volume III, nomor 2, halaman 72-78.

(11)

DAFTAR ISI

1.2. Kerangka Pemikiran 5

1.3. Perumusan Masalah 8

1.4. Tujuan Penelitian 10

1.5. Manfaat Penelitian 10

1.6. Kebaruan (Novelty) 10

II. TINJAUAN PUSTAKA 12

2.1. Air Minum Lintas Wilayah dan Potensi Konflik Pemanfaatannya 12

2.2. Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 19

2.3. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum 28

2.4. Dana Konservasi Sumber Air Minum 31

III. METODE PENELITIAN 37

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 37

3.2. Rancangan Penelitian 37

3.2.1. Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Air Minum 37

3.2.2. Analisis Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 40

3.2.3. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum 43

3.2.4. Estimasi Dana Kompensasi Konservasi Pengguna Air Minum 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 47

4.1. Keadaan Umum Kawasan Gunung Ciremai 47

4.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Air Minum 56

4.3. Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 63

4.4. Penentuan Harga Air Minum Lintas Wilayah yang Efisien 70

4.5. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum 73

4.6. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai 77

4.7. Estimasi Dana Kompensasi Konservasi Pengguna Air Minum 85

4.8. Rekomendasi Umum Pengelolaan Sumber Air Minum 94

Lintas Wilayah

V. KESIMPULAN DAN SARAN 98

5.1. Kesimpulan 98

5.2. Saran 100

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pertimbangan Penggunaan Mekanisme Alokasi Air Minum 25

2 Beberapa Contoh Kasus Penerapan Mekanisme Alokasi Air 26

3 Skala Penilaian Perbandingan Pasangan (Saaty, 1993) 42

4 Jumlah Debit Mata Air di Kabupaten Kuningan 54

5 Persepsi Masyarakat Sekitar Mata Air terhadap Hak-Hak Air 76

6 Nilai WTP Konservasi dari Rumah Tangga 87

di Kabupaten Kuningan

7 Nilai WTP Konservasi dari Rumah Tangga di Kota Cirebon 88

8 Alternatif Pembayaran Dana Konservasi 90

9 Alternatif Lembaga Penyimpanan Dana Konservasi 91

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 7

2 Alokasi Efisien Air Minum Lintas Wilayah 28

(Roumaset dan Smith, 2001)

3 Hirarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah 41

4 Peta Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Kuningan Tahun 2004 48

5 Kontur Wilayah Gunung Ciremai 49

6 Penampang Tiga Dimensi Gunung Ciremai 49

7 Peta Hidrogeologi Kabupaten Kuningan 55

8 Proyeksi Konsumsi Air Minum Masyarakat di Kecamatan 57

Darma dan Kuningan Selama 30 tahun

9 Proyeksi Konsumsi Air Minum Masyarakat Kecamatan 58

Jalaksana dan Sekitarnya Selama 30 Tahun

10 Peta Potensi Air Tanah Cekungan Cirebon (Wahyudin, 2000) 60

11 Produksi Mata Air Paniis, Ijin Pengambilan Air, dan 62

Curah Hujan Dalam Kurun 2000-2003

12 Hierarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah untuk 64

Kawasan Gunung Ciremai

13 Alokasi Efisien dari Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung 71

Ciremai

14 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Gunung Ciremai Berdasarkan 80

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil Analisis Kualitas Air Mata Air Darmaloka 1 dan 107

Darmaloka 2

2 Hasil Analisis Kualitas Air Mata Air Cibulan dan Paniis 107

3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Kuningan 108

Pada Tahun 2003

4 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kecamatan 109

Darma dan Kuningan Selama 30 Tahun

5 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kecamatan 110

Kecamatan Jalaksana Selama 30 Tahun

6 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kota Cirebon 111

Selama 30 Tahun

7 Karakteristik Penduduk di Kawasan Gunung Ciremai 112

8 Karakteristik Ekonomi Responden Pengguna Air Minum 115

di Kawasan Gunung Ciremai

9 Persamaan Kurva Permintaan Air untuk Wilayah Kabupaten 117

Kuningan dan Kota Cirebon

10 Data Responden dalam Penentuan Mekanisme Alokasi Air Minum 121 Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai

11 Kuisioner Penentuan Mekanisme Alokasi Air Minum 132

Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai

12 Tahapan Pengolahan Matriks Berpasangan (Saaty, 1993) 155

13. Hasil Pengolahan Data Menggunakan Perangkat Lunak HIPRE 3+ 158 dalam Penentuan Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum

Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai.

14 Peta Kontur Curah Hujan Kabupaten Kuningan (Bapeda 164 Kuningan dan Rissapel, 2000)

(15)

16 Peta Aliran Air Tanah Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan 166 (Bapeda Kuningan dan Rissapel, 2000)

17 Peta Zona Vegetasi Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan (Bapeda 167 Kuningan dan Rissapel, 2000)

18 Debit Mata Air Total per Kecamatan di Kabupaten Kuningan 168

(Departemen Pekerjaan Umum, 1990)

19 Peta Taman Nasional Gunung Ciremai 169

20 Citra Landsat Kawasan Gunung Ciremai Tahun 2003 (tidak berskala) 170

21 Peta Topografi Daerah Tangkapan Air Paniis 171

(16)

1.1. Latar Belakang

Air merupakan sumberdaya alam (SDA) yang strategis dan vital bagi

kehidupan manusia dan pembangunan, serta keberadaannya tidak dapat digantikan

oleh materi lainnya. Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan,

baik dalam lingkup atmosfir, litosfir, dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup

manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga (domestik),

pertanian, industri, dan kegiatan ekonomi lainnya. Pasokan air untuk mendukung

berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin

kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya

sesuai dengan yang dibutuhkan. Sumberdaya air1 yang ada perlu dikelola secara berkelanjutan. Sistem pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan (sustainable

water resources management systems) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya

air yang didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan

masyarakat (sosial dan ekonomi) saat ini dan masa yang akan datang, dengan

tetap mempertahankan kelestarian aspek ekologisnya (Loucks, 2000).

Berbagai upaya dilakukan manusia untuk memperoleh sumber airnya. Mata

air merupakan salah satu sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat

untuk memenuhi kebutuhannya. Mata air dapat ditemukan pada satu titik lokasi

yang umumnya terjadi di sepanjang perbukitan dan dataran rendah yang tanahnya

berpori atau formasi batuannya patah (fractured) sehingga memungkinkan air

mengalir di atas permukaan tanah. Aliran mata air selanjutnya mengalir

membentuk aliran permukaan, dan apabila berkumpul dengan aliran air dari

sumber air lainnya membentuk aliran sungai. Mata air yang bersumber di

perbukitan memiliki kemiringan lereng yang cukup untuk mengalirkan air secara

gravitasi ke daerah-daerah yang ada di bawahnya. Air yang mengalir dan

bersumber dari mata air tersebut telah banyak digunakan oleh masyarakat

sekitarnya untuk keperluan rumah tangga, pertanian, dan kegiatan produksi.

Aliran air tersebut selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal, juga

1

(17)

dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara

administratif dan atau politis berbeda.

Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan

hilirnya dalam pemanfaatan air adalah erat, sehingga upaya untuk mewujudkan

pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung-jawab semua wilayah di

sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut. Acreman (2004) menyebutkan

bahwa upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air2 yang umumnya berada di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air

berkelanjutan. Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan karena adanya

masalah-masalah dalam manajemen sumberdaya air. Masalah kelangkaan dan

alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah menjadikan air yang awalnya

merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi,

alat politik dan bahkan sumber konflik lintas wilayah. Perbedaan sistem

administratif dan politis antar wilayah dalam suatu DAS secara alamiah terjadi di

hampir semua negara di dunia. Frederick (2001) menyebutkan bahwa di dunia

terdapat 214 sungai yang melintasi dua negara atau lebih, 13 sungai diantaranya

melintasi lima atau lebih negara, dan empat sungai (Sungai Kongo, Danube, Nil,

dan Niger) melintasi sembilan atau lebih negara, kesemuanya memiliki potensi

konflik yang cukup serius dan dapat mengganggu stabilitas wilayah. Sebaliknya,

aliran air lintas wilayah pun apabila dikelola dengan kebijakan yang tepat dapat

menjadi katalis kerjasama antar wilayah.

Masalah konflik air dapat terjadi di berbagai tempat di dunia, termasuk

Indonesia yang sejak 1 Januari 2001 menerapkan sistem desentralisasi atau

otonomi daerah (otda) yang lebih luas. Otonomi daerah tersebut memberikan

kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur

daerahnya, termasuk mengelola sumberdaya alam di wilayah administratifnya.

Daerah yang memiliki sumberdaya alam umumnya merasa paling berhak untuk

mengatur dan mengelolanya dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga untuk

sumberdaya alam yang lintas wilayah seperti air berpotensi menimbulkan konflik

diantara daerah-daerah yang menggunakannya. Adanya konflik antar daerah akan

2

(18)

menciptakan instabilitas yang dapat memicu konflik sipil. Imai dan Weinstein

(2000) menyebutkan bahwa konflik sipil dapat berpengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi daerah, menurunnya investasi, dan peningkatan defisit

pemerintah untuk pembangunan. Nitibaskara (2002) mencatat bahwa konflik air

minum antar daerah setelah otda diberlakukan pernah terjadi antara Kota

Bukittinggi dengan Kabupaten Agam, dan antara Kabupaten Badung dengan

Kabupaten Tabanan. Pasokan air ke Kota Bukittinggi pada tanggal 4-5 Januari

2001 sempat terhenti karena warga Sungai Tanang membendung aliran Sungai

Tanang yang memasok air ke Bukittinggi. Tindakan ini diambil karena

tuntutannya untuk mendapatkan bagi hasil dari Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM) Bukittinggi tidak dipedulikan. Sementara itu, Kabupaten Tabanan

mengancam menaikan tarif air PDAM setelah diketahui bahwa Kabupaten

Badung berencana menghentikan distribusi pendapatan asli daerahnya. Apabila

rencana penghentian ini dilaksanakan, maka Kabupaten Tabanan akan kesulitan

menutupi anggaran belanja daerahnya karena tidak cukup memiliki pendapatan

sendiri. Akibat ancaman ini, maka Kabupaten Badung menunda rencananya.

Konflik air minum antar daerah juga terjadi di kawasan Gunung Ciremai antara

Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon yang mencuat menjadi isu publik di

Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004.

Kawasan Gunung Ciremai sebagian besar berada di Kabupaten Kuningan

Propinsi Jawa Barat memiliki sumber air minum berupa mata air yang cukup

melimpah. Potensi air dari mata air di kawasan gunung tersebut diperkirakan

mencapai 80% dari potensi mata air yang ada di Kabupaten Kuningan

(Departemen Pekerjaan Umum, 1990). Aliran air yang berasal dari mata airnya

dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebagian lagi

dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan air bagi daerah-daerah di bawahnya

untuk berbagai kebutuhan, baik kebutuhan air minum, pertanian, dan industri.

Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon adalah dua wilayah yang sebagian besar

pasokan airnya berasal dari kawasan Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan.

Selama ini pengguna air yang berada wilayah hilir (Kabupaten dan Kota Cirebon)

yang memanfaatkan air dari Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi

(19)

mengkonservasi daerah resapan airnya. Konservasi sumber air tersebut berkaitan

langsung dengan kesinambungan pasokan air (Acreman, 2004). Kabupaten

Kuningan sendiri termasuk kabupaten dengan tingkat pendapatan asli daerah yang

jauh lebih kecil dibandingkan Kabupaten dan Kota Cirebon3, sehingga dorongan untuk mendapatkan dana kompensasi hasil air dari daerah lain yang

memanfaatkannya dipandang menjadi salah satu alternatif untuk membiayai

upaya konservasi sumber airnya di wilayahnya. Tuntutan Pemda Kabupaten

Kuningan untuk memperoleh dana kompensasi atas pemanfaatan sumber air

minumnya dari Kota Cirebon mencuat menjadi konflik air minum lintas wilayah

sepanjang tahun 2004. Dana kompensasi yang dituntut oleh Pemda Kabupaten

Kuningan menyangkut penggunaan mata air Paniis di Kecamatan Pasawahan yang

selama ini merupakan sumber air bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

Kota Cirebon. Apabila tuntutan dana kompensasi tersebut tidak dipenuhi, maka

pasokan air minum ke Kota Cirebon akan dikurangi4. Ancaman pengurangan pasokan air tersebut akan menimbulkan krisis air di Kota Cirebon dan bisa

memicu krisis lain yang berdampak secara sosial, ekonomi, dan politik. Proses

penyelesaian konflik di wilayah tersebut yang berlangsung selama enam bulan

merupakan studi kasus mengenai konflik sumber air minum lintas wilayah pasca

pemberlakuan otda di Propinsi Jawa Barat5.

Adanya permasalahan konflik dalam pengelolaan sumber air minum lintas

wilayah di kawasan Gunung Ciremai membutuhkan upaya resolusi konflik

melalui penataan kebijakan, karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi dan

menyelesaikan masalah yang ada di dalam suatu komunitas serta menjadi salah

3

Pada tahun 2002, Kabupaten Kuningan mentargetkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp.14,88 milyar, padahal kebutuhan belanja dalam APBD-nya mencapai Rp.270 miliar lebih. Nilai PAD ini sedikit lebih besar dibandingkan anggaran sektor pendidikan di Kabupaten Cirebon sebesar Rp.11 miliar atau 15% dari total dana pembangunannya pada tahun yang sama (www.pikiran-rakyat.com accesed at April 15 2003).

4

Kepala Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan (SDAP) Kabupaten Kuningan, Ir.Abdul Khodir menyatakan bahwa PDAM Kota Cirebon mengambil air dari kawasan Mata Air Paniis sebesar 1.045,2 liter per detik melebihi dari ijin pengambilan air yang dikeluarkannya sebesar 750 liter/detik sesuai dengan SIPA (Surat Ijin Pengambilan Air) Nomor 616/039/SDAM/2003 yang berlaku dari 24 April 2003 sampai dengan 24 April 2005 (Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2004).

5

(20)

satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ramdan et al., 2003). Upaya

penataan kebijakan pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di Kawasan

Gunung Ciremai ini perlu dilakukan sebagai upaya mengoptimalkan pengelolaan

sumber air secara berkelanjutan di kawasan tersebut dan menghindari terjadinya

konflik antar daerah dalam pemanfaatan sumber air minum lintas wilayah di era

otda ini.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kawasan Gunung Ciremai menyediakan sejumlah jasa lingkungan

(environmental services) yang bermanfaat untuk menyangga kehidupan

masyarakat di sekitarnya. Manfaat hidrologis merupakan salah satu manfaat yang

langsung dirasakan penduduk. Kawasan tersebut memiliki sejumlah sumber air

minum berupa mata air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air minum

masyarakat di dalam wilayah Kabupaten Kuningan sendiri, maupun untuk

memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di Kota Cirebon dan Kabupaten

Cirebon yang bersifat lintas wilayah.

Aspek kebijakan yang penting dalam pemanfaatan air minum yang berasal

dari Kawasan Gunung Ciremai adalah pengelolaan kawasan sumber air dan

mekanisme alokasi air minum lintas wilayah. Kedua kebijakan tersebut secara

spesifik berkaitan dengan karakteristik kebutuhan air minum di tingkat lokal dan

lintas wilayah. Kebutuhan air minum lokal dan lintas wilayah perlu dikelola

secara berkelanjutan. Flint (2003) menyebutkan bahwa pengelolaan air

berkelanjutan setidaknya diindikasikan oleh tiga hal berikut, yaitu tersedianya air

yang cukup dan aman untuk memenuhi berbagai kebutuhan, mengalokasikan air

secara efektif dan adil diantara pengguna, serta adanya upaya perlindungan

terhadap sumber-sumber air dari ancaman degradasi. Oleh karena itu kebijakan

dalam mengelola kawasan sumber air dan pemanfaatan airnya harus dapat

memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang sama bagi masyarakat.

Kebijakan tersebut juga harus dapat diterima oleh masyarakat, sehingga kebijakan

pengelolaan air tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan saja,

(21)

Beberapa parameter yang berkaitan dengan pengelolaan sumber air minum

lintas wilayah yang perlu diteliti adalah ketersediaan air minum, jumlah

kebutuhan air minum masyarakat, potensi konflik dalam pemanfaatan air minum,

kelembagaan pengelolaan sumber air minum, mekanisme alokasi air minum lintas

wilayah, dan estimasi dana kompensasi konservasi dari pengguna air untuk

melindungi sumber airnya. Cruz et al.(2000) menyebutkan bahwa biaya untuk

penggunaan air yang berasal dari sumber air di dalam kawasan hutan belum

memasukan biaya perlindungan dan pengelolaan yang sebenarnya serta biaya

kerusakan lingkungan yang timbul akibat pemanfaatan air, sehingga nilai air

umumnya di bawah nilai yang sebenarnya (underestimated). Oleh karena itu

upaya untuk mengestimasi kemampuan pengguna air minum dalam membantu

membiayai konservasi kawasan sumber airnya perlu diteliti. Penilaian tentang

besarnya kontribusi ini dilakukan dengan pendekatan kesediaan membayar

(willingnes to pay) dari pengguna air (ADB, 2001). Nilai kontribusi konservasi

dari pengguna air minum merupakan pendekatan PES (payment for environmental

services) atas jasa hidrologis kawasan Gunung Ciremai yang dimanfaatkan oleh

pengguna air minum. Bagi pengguna air minum yang berada di bagian hilir, nilai

kontribusi konservasi tersebut merupakan bentuk dari kontribusi hilir untuk

membantu melestarikan kawasan sumber air minum di bagian hulu. Estimasi dana

konservasi kawasan yang berasal dari pengguna air minum tersebut digunakan

untuk membiayai upaya rehabilitasi dan konservasi sumber air minum di kawasan

Gunung Ciremai.

Masalah kelembagaan yang penting dalam pengelolaan sumber air minum

lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai menyangkut kelembagaan pengelolaan

sumber air minum dan mekanisme alokasi air lintas wilayah. Kelembagaan

pengelolaan sumber air minum di kawasan tersebut ada yang dikelola oleh

masyarakat, desa, dan badan usaha pemerintah (PDAM). Latar belakang sistem

kelembagaan pengelolaan sumber air minum dapat berpengaruh terhadap

distribusi pemanfaatan air minum. Kelembagaan pengelolaan air minum lintas

wilayah ditekankan pada upaya menyusun mekanisme kerjasama yang efektif

antar daerah hulu-hilir. Dalam penelitian ini pendekatan mekanisme alokasi air

(22)

mekanisme berdasarkan alokasi oleh pemerintah, pasar air, pendekatan biaya

marjinal (marginal cost pricing), dan berbasis pengguna air. Keempat mekanisme

tersebut merupakan mekanisme alokasi air yang dikenal luas di dunia (Dinar et al.

, 2001). Dari keempat mekanisme tersebut selanjutnya disusun peringkat prioritas

mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai untuk

diimplementasikan di kawasan tersebut.

Jasa Lingkungan lainnya Kawasan Gunung Ciremai

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Jasa Hidrologis :

Kebutuhan Air Minum Lintas Wilayah

Kuantitas Penggunaan Air Minum, Kelembagaan Pengelolaan, Potensi Konflik

Kuantitas Penggunaan Air Minum, Kelembagaan Pengelolaan, Potensi

(23)

Dari hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan

pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai, disusun rekomendasi

kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber air minum lintas wilayah yang

berasal dari kawasan tersebut secara berkelanjutan.

1.3. Perumusan Masalah

Kawasan pegunungan Gunung Ciremai sebagai daerah hulu DAS memiliki

sejumlah mata air yang dimanfaatkan penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik

oleh penduduk di sekitar kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang

aliran air tersebut. Dalam penelitian ini sumber air minum yang dimaksud adalah

wilayah dimana mata air untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat

berada. Aliran air yang mengalir dari hulu DAS ke bagian hilirnya berjalan

mengikuti alur-alur sungai yang telah terbentuk secara alami, dan melintasi

beberapa wilayah administratif dan/atau politis yang berbeda. Bagian hulu DAS

umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir,

sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin

mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas

yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan

airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001). Apabila terjadi gangguan

terhadap ekosistem hulu yang menjadi resapan air, maka tanggung-jawab tidak

hanya dipikul oleh masyarakat hulu akan tetapi juga merupakan tanggung-jawab

masyarakat hilirnya. Oleh karena itu tanggung-jawab memelihara kondisi DAS

seharusnya menjadi tanggung-jawab bersama daerah-daerah di hulu sampai

dengan daerah-daerah di hilirnya. Namun dalam kenyataannya, pasokan air

minum yang merupakan kontribusi daerah hulu terhadap daerah hilirnya belum

mendapatkan apresiasi dan penilaian yang pantas karena air umumnya masih

dipersepsi sebagai barang publik. Daerah hulu sebagai daerah resapan air belum

mendapatkan perhatian dan kontribusi dari daerah hilir yang memadai, termasuk

upaya daerah hilir membantu konservasi resapan air di daerah hulu. Beban

konservasi kawasan hulu pun sebenarnya menjadi tanggung-jawab daerah hilir

sebagai pengguna air, sehingga tuntutan daerah hulu mendapatkan kontribusi dana

(24)

pengelolaan sumber air minum di kawasan tersebut belum tercapai yang

diindikasikan dengan masih tingginya beban konservasi kawasan hulu yang harus

ditanggung oleh daerah hulu dibandingkan dengan daerah-daerah hilirnya.

Interaksi Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pengelolaan air

minum sudah berjalan sejak lama dan hampir semua kebutuhan air minum di Kota

Cirebon dipasok dari kawasan Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten

Kuningan. Pada masa yang akan datang diperkirakan kebutuhan air minum di

kawasan tersebut meningkat berkaitan dengan dijadikannya wilayah Cirebon

sebagai salah satu kawasan pembangunan nasional. Kebutuhan air bersih di Kota

Cirebon hingga tahun 2015 mencapai 1.382 l/dtk atau 43,58 juta m3 per tahun6. Penyediaan air untuk keperluan minum merupakan prioritas utama di atas segala

keperluan lain7. Kebutuhan air minum akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup, dan perkembangan sektor industri (Sanim, 2003).

Kebutuhan air minum yang lebih besar daripada ketersediaannya di suatu wilayah

menciptakan kondisi kelangkaan (scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik

diantara pengguna air minum. Selain itu mekanisme alokasi air minum lintas

wilayah diantara pengguna air minum lintas wilayah perlu ditentukan sebagai

upaya resolusi konflik pemanfaatan air minum lintas wilayah.

Ketersediaan dan kebutuhan air minum, mekanisme alokasi air minum

lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air, dan nilai dana kompensasi

konservasi dari pengguna air minum merupakan beberapa permasalahan pokok

yang diteliti dalam penelitian ini. Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah

menganalisis pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di kawasan Gunung

Ciremai.

6

Adapun kebutuhan akan air bersih di wilayah Kabupaten Cirebon pada tahun 2000 sekitar sekitar 93 juta m3/tahun, sedangkan prediksi pada tahun 2010 meningkat mencapai sekitar 150 juta m3/tahun (Wahyudin, 2000).

7

(25)

1.4. Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung

Ciremai dan potensi konflik dalam pemanfaatan air minum lintas wilayah

antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon.

2. Menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya

resolusi konflik air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai.

3. Menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan sumber air minum di

kawasan Gunung Ciremai.

4. Mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum

rumah tangga untuk melestarikan sumber air minum di kawasan Gunung

Ciremai.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan rekomendasi dalam

menata kebijakan pengelolaan sumber air minum lintas wilayah khususnya di

lokasi penelitian, sehingga diharapkan akan diperoleh bentuk kebijakan yang

menjamin terciptanya pengelolaan kawasan sumber air minum secara

berkelanjutan dan menghindari terjadinya konflik antar daerah dalam pemanfaatan

sumber air minum di era otonomi daerah ini.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi

pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara

komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis, yaitu : (1) analisis

ketersediaan dan kebutuhan air minum untuk memprediksi potensi konflik air

minum di wilayah penelitian, (2) pendekatan proses hirarki analisis atau AHP

(analytical hierarchy process) untuk menentukan mekanisme alokasi air minum

lintas wilayah yang sesuai dengan karakteristik wilayah penelitian, serta (3)

(26)

melestarikan sumber air minum di bagian hulu sebagai bentuk dari implementasi

pendekatan PES (payment for environmental services) terhadap jasa hidrologis

hutan. Kebaruan dari segi hasil dapat dilihat dari : (1) adanya dana kompensasi

konservasi dari pengguna air minum di bagian hilir (Kota Cirebon) untuk

membiayai kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan sumber air minum di

bagian hulu (Kabupaten Kuningan) sebagai bentuk dari pendekatan PES terhadap

jasa hidrologis yang keluar dari kawasan hutan, dan (2) terobosan untuk

menjadikan kebijakan Kabupaten Kuningan berupa peraturan daerah (perda) yang

mengatur tata ruang Gunung Ciremai sebagai sertifikat jaminan komitmen daerah

hulu untuk melindungi sumber air di wilayahnya, sehingga apresiasi nilai

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air Minum Lintas Wilayah dan Potensi Konflik Pemanfaatannya

Air merupakan sumberdaya alam vital yang keberadaan dan fungsinya tidak

dapat disubstitusi oleh sumberdaya lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia, ekosistem, dan kegiatan pembangunan lainnya (Wolf, 1998). Air

merupakan salah satu bagian terpenting dalam ekosistem, selain itu air juga

merupakan barang sosial dan ekonomi yang perlu dikelola secara berkelanjutan

untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya

(Flint, 2003; Loucks, 2000; Soenaryo et al., 2005). Keberadaan dan fungsi air

terkait dengan berbagai kegiatan kehidupan masyarakat dan perkembangan

peradaban manusia (Soenaryo et al., 2005). Air sebagai bagian dari kebutuhan

dasar manusia dijamin keberadaannya oleh konstitusi, misalnya di dalam

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”'8. Konstitusi tersebut menunjukkan bentuk kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya (Sanim, 2003). Adanya

kontrak sosial tersebut menunjukkan bahwa air merupakan sumberdaya alam yang

berperan sangat penting dalam mendukung keberlanjutan kehidupan masyarakat

perlu dikelola secara baik untuk mendukung tercapainya kesejahteraan

masyarakat9.

Tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan

tercapai sepanjang kebijakan dan praktek pengelolaan air tidak terpadu dan

berkelanjutan (Loucks, 2000; Soenaryo et al., 2005). Pengelolaan sumberdaya air

berkelanjutan merupakan pengelolaan air yang bersifat multi dimensional

mengenai hubungan antara sumber daya alam, sosial dan sistem ekonomi yang

simultan dalam penggunaan dan pengelolaan air (Flint, 2003). Sistem sumberdaya

8

Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : Kep-14/M.Ekon/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Arahan Kebijakan Nasioanal Sumberdaya Air menegaskan bahwa penguasaan sumberdaya air diabdikan kepada kesejahteraan rakyat di segala bidang, baik sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, maupun bidang ketahanan nasional, sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilan sosial, dan kemandirian.

9

(28)

air diatur untuk memenuhi perubahan terhadap kebutuhan air pada saat ini dan

masa depan tanpa terjadi kerusakan lingkungan (Loucks, 2000). Pengelolaan air

berkelanjutan merefleksikan aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan

kelembagaan dari prinsip pembangunan berkelanjutan, misalnya dimensi-dimensi

yang menyangkut jumlah dan kualitas air, perlindungan sumber air, distribusi air,

akses masyarakat untuk memperoleh air, serta nilai manfaat air bagi masyarakat

(Lundin et al., 1997).

Pengelolaan air minum di suatu wilayah berkaitan dengan masalah

ketersediaan air (water availability) yang meliputi kuantitas dan kualitas air

minum, serta kebutuhan air minum yang dibutuhkan oleh masyarakat (Buras,

2000). Penyediaan air minum masyarakat merupakan prioritas pertama yang perlu

dilakukan dalam penatagunaan sumberdaya air di suatu wilayah10. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air minumnya. Mata air

merupakan sumber air minum yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di

sekitar wilayah yang potensi mata airnya cukup melimpah, misalnya di Kawasan

Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Aliran air minum dari mata air di Gunung

Ciremai yang secara administratif berada di Kabupaten Kuningan selain

dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Kuningan juga dimanfaatkan oleh

masyarakat di Kota Cirebon. Kondisi tersebut terkait dengan beberapa

karakteristik dasar sumberdaya air, yaitu sumberdaya air dapat mencakup

beberapa wilayah administratif, dipergunakan oleh berbagai aktor (

multi-stakeholders), dan merupakan sumberdaya alam mengalir (flow resources)

sehingga memiliki keterkaitan yang erat antara wilayah hulu dengan hilir

(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001).

Ketersediaan air minum di suatu wilayah dapat menjadi permasalahan

apabila dikaitkan dengan kebutuhan air minum masyarakat, terutama dalam

pengelolaan air minum lintas wilayah. Hoekstra (1998) menyebutkan bahwa

peningkatan kebutuhan air minum berkaitan dengan dinamika pertumbuhan

penduduk, sehingga proyeksi kebutuhan air minum dihitung dengan

mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut dan

konsumsi air minum rata-rata (Sanim, 2003). Kekurangan air minum (drinking

10

(29)

water shortage) terjadi apabila kebutuhan air minum masyarakat melebihi

ketersediaan air yang ada, dan pada akhirnya menimbulkan kelangkaan air (water

scarcity). Masalah kelangkaan air yang timbul di suatu wilayah berkaitan pula

dengan kondisi klimatis wilayah, hidrologeologis, dan aktifitas masyarakat yang

memanfaatkannya (Hoekstra, 1998). Masalah alokasi air minum lintas wilayah

yang tidak merata telah mengubah keberadaan air yang awalnya merupakan

barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, alat politik

dan pemicu konflik diantara pengguna air minum.

Konflik11 selalu terjadi di dalam interaksi antara individu/kelompok /masyarakat dengan individu/kelompok/masyarakat lainnya untuk memanfaatkan

sumberdaya alam yang sama. Perubahan kondisi sumberdaya alam dan

lingkungan di suatu wilayah memiliki konsekuensi negatif terhadap

wilayah-wilayah di sekitarnya dan memicu timbulnya konflik lingkungan antar wilayah-wilayah.

Spector (2001) mengklasifikasikan perubahan sumberdaya alam dan lingkungan

yang potensial menjadi masalah lintas wilayah menjadi empat aspek, yaitu :

terjadinya degradasi (polusi) lingkungan, adanya kelangkaan (scarcity/shortages)

dari sumberdaya alam dan lingkungan, maldistribusi sumberdaya alam

(inequitable allocation), dan bencana alam/lingkungan atau kecelakaan yang

terjadi secara alami atau akibat perbuatan manusia. Keempat kategori tersebut

semuanya terkait dengan ketersediaan sumberdaya alam. Di samping menyangkut

ketersediaan sumberdaya alam, konflik lintas wilayah berinteraksi pula dengan

masalah perbedaan politik, ekonomi, dan budaya.

Ada empat model hubungan antara perubahan sumberdaya alam dan

lingkungan dengan terjadinya konflik, yaitu Scarcity Model, Modernization

Model, Spillover Model, dan Leading Edge Model (Spector, 2001). Model scarcity

(model kelangkaan) merupakan model yang paling populer dibandingkan model

lainnya. Tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan : penurunan dan

degradasi pasokan sumberdaya alam, peningkatan kebutuhan dan konsumsi

sumberdaya alam, dan distribusi sumberdaya alam yang tidak merata di dalam

11

Konfllik dan kompetisi sering dipertukarkan. Persamaan antara konflik dan kompetisi adalah bahwa keduanya terjadi apabila menghadapi aktifitas yang cenderung incompatible. Namun perbedaannya adalah bahwa kompetisi memiliki aturan jelas yang sifatnya formal atau informal. Konflik umumnya dipandang negatif, namun ada beberapa nilai positif dari konflik adalah : (a) menstimulus keterlibatan stakeholder

(30)

populasi. Apabila sumberdaya alam tersebut terbagi ke dalam beberapa wilayah

dan ketersediannya mulai terancam maka potensi konflik antar wilayah

(transboundary conflicts) akan terjadi (Spector, 2001). Kelangkaan sumberdaya

alam mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di dalam suatu wilayah.

Sebagai contoh penurunan produksi pertanian akibat makin terbatasnya suplai air

berpengaruh terhadap meningkatnya kesukaran ekonomi, migrasi terjadi,

ketegangan etnis meningkat, dan sistem pemerintahan melemah. Dampak-dampak

tersebut akan memicu konflik yang hebat. Konflik yang terjadi akibat kelangkaan

air di Timur Tengah dan beberapa wilayah lainnya di dunia merupakan contoh

konflik berdasarkan model kelangkaan (scarcity model).

Model modernisasi (modernization) didasarkan atas asumsi bahwa tekanan

akibat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan khususnya di negara-negara

berkembang telah mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat

intensif dan menimbulkan polusi lingkungan yang menyebabkan pembangunan

berjalan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh dampak pencemaran air di hulu atau

tengah DAS akibat buangan limbah industri akan dirasakan oleh masyarakat di

wilayah hilir sungai, sehingga memicu konflik antar wilayah hulu-hilir. Perbaikan

teknologi dan investasi pengolahan limbah diperlukan untuk menghindari

terjadinya konflik (Spector, 2001).

Model spillover melihat konflik lingkungan berasal dari sengketa domestik,

tetapi secara cepat berkembang menjadi sengketa antar wilayah. Dalam prosesnya

sifat konflik dapat berubah dari masalah lingkungan menjadi masalah sosial,

ekonomi, dan politik. Spector (2001) mencontohkannya pada peristiwa

dehutanisasi di Haiti yang menyebabkan erosi tanah hebat, sehingga tanah

pertanian tidak bisa diolah kembali. Akibat rusaknya tanah pertanian di Haiti

telah memaksa penduduknya untuk bermigrasi ke Amerika Serikat. Kedatangan

pengungsi Haiti menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik yang serius antara

Haiti dan Amerika Serikat.

Model terakhir yaitu Leading Edge Model memandang masalah-masalah

lingkungan sebagai pemicu dan pemanas konflik antar wilayah yang sebelumnya

telah ada tetapi tidak muncul ke permukaan (bersifat laten). Spector (2001)

(31)

pertanian dan ancaman kekeringan di Lembah Sungai Senegal. Pada tahun 1989

terjadi peperangan untuk memperebutkan Lembah Sungai Senegal yang

menewaskan ratusan orang dan ribuan penduduk mengungsi.

Dari keempat model konflik sebagaimana diuraikan sebelumnya, tampak

bahwa permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan dapat memicu perselisihan

antar wilayah yang selanjutnya diperbesar oleh masalah ekonomi, sosial, etnis,

dan militer. Konflik yang terjadi dalam memperebutkan sumberdaya alam akan

merangsang kelompok-kelompok yang bersengketa untuk mencari solusi

menghindari konflik yang dapat mengganggu stabilitas wilayah. Air, termasuk air

air minum, adalah sumberdaya alam yang sering memicu terjadinya konflik lintas

wilayah. Keterbatasan, kekurangan, dan kelangkaan air minum berpotensi sebagai

sumber konflik diantara wilayah pengguna air minum (Wolf, 1998). Beberapa

karakteristik dari air (minum) lintas wilayah yang memicu terjadinya konflik

adalah sebagai berikut (Ramdan et al., 2003) :

a. Air adalah sumberdaya alam yang sangat vital dan dibutuhkan oleh hampir

semua aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat serta tidak dapat disubstitusi

oleh komoditas lain, sehingga air memiliki kaitan erat dengan perkembangan

kebudayaan suatu bangsa. Kehancuran berbagai peradaban dunia diawali oleh

kehancuran sistem pengelolaan air.

b. Karakteristik aliran air bersifat dinamis dan tidak mengenal batas administrasi

atau politis yang dibuat oleh manusia. Air dibatasi oleh batas ekologis DAS

berupa topografi punggung bukit dan pegunungan yang tidak sama dengan

batas administrasi dan atau politis. Sistem pembagian batas administrasi dan

politis sering menggunakan sungai sebagai batas tepinya tetapi batas ekologis

memandang sungai sebagai batas tengah ekosistem, sehingga dalam satu

aliaran DAS dapat meliputi beberapa wilayah administrasi dan atau politis.

Perbedaan kebijakan pembangunan antar wilayah dalam satu DAS memicu

konflik air antar wilayah.

c. Dampak kegiatan pembangunan akan dirasakan oleh masyarakat atau wilayah

di sepanjang aliran DAS, misalnya terjadinya pembabatan hutan yang

menyebabkan erosi hebat di bagian hulu akan menurunkan kualitas air sungai

(32)

penghubung sistem ekologis dan ekonomis antara bagian hulu dan hilir

sungai.

d. Distribusi air berbeda menurut keruangan (spasial) dan waktu. Jumlah air

tersedia secara global relatif tetap, tetapi distribusinya berbeda-beda. Di

beberapa tempat ditemukan air dalam jumlah melimpah namun di daerah

lainnya air tersedia dalam jumlah terbatas. Daerah yang makin terbatas

sumberdaya alamnya cenderung menjadi agresor bagi daerah lainnya.

Sementara itu distribusi air yang berbeda menurut waktu memaksa penduduk

yang kekurangan air saat musim kemarau melakukan migrasi ke tempat lain

dengan berbagai tujuan, terutama untuk mendapatkan pekerjaan sampingan

ketika lahan pertaniannya tidak bisa digarap karena kekurangan air.

Konflik air minum lintas wilayah pada dasarnya menyangkut sistem

manajemen dan alokasi air minum yang efisien dan adil (equitable), seperti

variabilitas dan ketidakpastian pasokan air, ketergantungan (inter dependencies)

diantara pemakai, serta peningkatan kelangkaan dan biaya pengadaan air minum

(Frederick, 2001). Adapun pengaruh manusia sebagai akar dari konflik air minum

adalah penurunan kualitas air dan ekosistem akuatik akibat kegiatan manusia,

kegagalan menjadikan air sebagai komoditas ekonomi yang menyebabkan

pemanfaatan air tidak efisien, serta kebutuhan air minum yang tidak seimbang

dengan ketersediaan air minum yang ada.

Konflik air minum lintas wilayah diantara pengguna air yang secara

administratif dan atau politis berbeda, berkaitan pula dengan masih kuatnya

doktrin kedaulatan wilayah tanpa batas (unlimited territorial sovereignty) dan

tidak jelasnya hak kepemilikan (property rights) dari sumberdaya air. Doktrin

kedaulatan wilayah tanpa batas menyatakan bahwa wilayah memiliki hak

eksklusif untuk memanfaatkan sumber air minum di dalam wilayahnya, sehingga

wilayah tersebut merasa lebih berhak untuk mengeksploitasinya tanpa

memberikan kompensasi terhadap wilayah lain yang dirugikannya. Akibat dari

doktrin ini wilayah atau negara yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan

yang berujung kepada terjadinya konflik. Kondisi yang hampir mirip terjadi

dengan menguatnya kewenangan daerah untuk mengatur sumberdaya alam yang

(33)

cenderung merasa lebih berhak untuk mengatur sistem pengelolaan air minumnya

dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang menggantungkan pasokan air dari

padanya, misalnya tuntutan daerah hulu terhadap daerah hilir yang terjadi di

beberapa wilayah di Indonesia. Sebaliknya, doktrin keterpaduan wilayah tidak

terbatas (unlimited territorial integrity) yang merupakan kebalikan dari doktrin

kedaulatan wilayah tanpa batas, menyatakan bahwa satu wilayah tidak berhak

mengubah kuantitas dan kualitas dari ketersediaan air yang mengalir ke wilayah

lainnya. Doktrin ini mengatur bagaimana pemanfaatan air di bagian hulu sehingga

tidak mengganggu daerah lainnya, seperti diaplikasikan oleh Mesir terhadap

negara-negara yang memiliki proyek-proyek air di sepanjang Sungai Nil yang

diperkirakan akan mengurangi pasokan air ke Mesir (Frederick, 2001). Kedua

doktrin tersebut tidak akan menghasilkan penggunaan air yang efisien apabila

tidak diikuti oleh proses tawar (bargaining process) antar wilayah yang terlibat,

misalnya doktrin pertama menjadikan India tidak berkeinginan untuk

menyediakan insentif dalam mengurangi dampak polusi air sungai yang dirasakan

oleh Banglades. Posisi tawar (bargaining position) dalam alokasi sumber air

minum lintas regional akan dapat dilaksanakan apabila hak kepemilikan sumber

air (water sources property rights) yang dimiliki oleh masing-masing wilayah

dapat dinyatakan secara jelas. Adanya water sources property rights yang jelas

akan memunculkan posisi tawar antar wilayah, dan selanjutnya akan menciptakan

mekanisme transfer air yang secara ekonomis akan efisien (Frederick, 2001).

Resolusi konflik air minum lintas wilayah dapat dilakukan dengan

menentukan mekanisme alokasi air minum yang sesuai dengan karakteristik

wilayah. Alokasi air minum dalam perspektif kebijakan publik berbeda-beda

antara satu tempat dengan tempat lainnya, baik dari yang langsung dikendalikan

pemerintah, menggabungkan sistem pasar dan alokasi pemerintah, dan mekanisme

sistem pasar dalam transaksi air. Struktur dari alokasi air minum lintas wilayah

yang dipilih dipengaruhi oleh keberadaan institusi, kerangka hukum, dan sistem

infrastruktur sumberdaya air yang berlaku di tempat tersebut, sehingga setiap

(34)

2.2. Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

Menentukan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah merupakan salah

satu upaya resolusi konflik dalam pemanfaatan sumber air minum lintas wilayah.

Beberapa mekanisme alokasi sumberdaya air, termasuk air minum, yang dikenal

luas di dunia adalah : marginal cost pricing (MCP), alokasi oleh pemerintah,

pasar air, dan alokasi berbasis pemakai (Dinar et al., 2001). Keempat alokasi air

tersebut dijelaskan berikut ini.

Pendekatan Biaya Marginal (Marginal Cost Pricing, MCP).

Mekanisme MCP pada prinsipnya menetapkan harga air sama dengan biaya

marjinal untuk penyediaan dan pasokan air. Sistem alokasi ini secara ekonomi

dianggap efisien atau optimal secara sosial. Kriteria efisiensi yang digunakan

adalah memaksimumkan nilai total produksi untuk semua sektor ekonomi yang

menggunakan air.

Biaya pasokan air yang dihitung meliputi biaya pengumpulan atau

pengambilan air dari sumber air, biaya transpor ke tempat pengolahan air

(treatment plant), biaya pengolahan air sesuai dengan baku mutu air yang

ditetapkan, biaya distribusi air ke konsumen, serta biaya monitoring dan

pengawasan. Biaya air juga perlu memasukkan biaya sosial sebagai bentuk biaya

eksternalitas pengadaan air terhadap masyarakat, walaupun dalam prakteknya hal

ini sering diabaikan. Apabila terjadi biaya yang lebih tinggi dalam

mengalokasikan air untuk penggunaan tertentu, maka harga air perlu dibedakan

untuk setiap penggunaannya.

Keuntungan diterapkannya mekanisme MCP untuk mengalokasikan

sumberdaya air secara teori adalah tercapainya efisiensi. Mekanisme MCP

cenderung menghindari under-price dari sumberdaya air yang juga dapat

menghindari penggunaan air berlebihan (overuse of water). Dalam kondisi

kelangkaan, penggunaan air berlebihan tentunya tidak diharapkan dan

menimbulkan biaya sosial tinggi. Penerapan mekanisme MCP merefleksikan pula

(35)

dapat dikombinasikan dengan biaya polusi (pollution charges) atau pajak

lingkungan, sehingga eksternalitas negatif dari penggunaan air dapat ditekan.

Kelemahan untuk penerapan mekanisme MCP ini berkaitan dengan

kesulitan dalam mendefinisikan secara jelas biaya marjinal itu sendiri. Hal ini

berkaitan dengan informasi yang tidak memadai, dimana biaya marjinal di alam

bersifat multi-dimensi, biaya marjinal bervariasi menurut periode waktu (

short-run versus long-short-run marginal cost), dan biaya marjinal bervariasi tergantung

apakah peningkatan demand bersifat tetap atau sementara. Oleh karena itu seorang

analisis harus dapat memprediksi secara jelas biaya tetap dan biaya variabel.

Mekanisme MCP cenderung kurang memperhatikan isu-isu keadilan. Pada

waktu terjadi kekurangan atau kelangkaan, jika harga meningkat maka sebagian

kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampaknya yang

cenderung bersifat negatif, sehingga kelompok ini akan tersisih untuk

mendapatkan pelayananan air yang memadai.

Penerapan mekanisme MCP memerlukan sistem monitoring untuk

mengukur volume air yang disuplai dan digunakan, dan untuk membangun sistem

volumetrik tersebut diperlukan biaya tinggi. Pada tingkat pengambil kebijakan

implementasi MCP belum banyak dimengerti karena keterbatasan informasi yang

dimiliki, sehingga dalam penetapan harga air banyak ditemukan kesalahan

penghitungan yang didasarkan atas proses trial and error di dalam

menetapkannya. Jika harga ditetapkan terlalu rendah, permintaan air (water

demand) akan meningkat, selanjutnya jika harga air ditetapkan terlalu tinggi maka

transaksi sulit terjadi dan air akan dibuang percuma ke saluran-saluran drainase.

Alokasi Air oleh Pemerintah (Public-Based Water Allocation)

Ada tiga alasan intervensi pemerintah dalam mengalokasikan sumberdaya

air, yaitu : kesulitan memperlakukan air sebagai barang pasar, air secara luas

masih dianggap sebagai barang publik, dan pengembangan sumberdaya air skala

besar umumnya terlalu mahal untuk dilaksanakan oleh sektor swasta.

Model alokasi oleh pemerintah sering ditemukan dalam sistem alokasi air

irigasi. Pemerintah memutuskan apakah sumberdaya air dapat digunakan oleh

(36)

berbagai bagian dalam sistem (irigasi) tersebut. Alokasi oleh pemerintah juga

meliputi pengaturan pemungutan pajak pengambilan air untuk kegiatan rumah

tangga dan industri, serta mengalokasikan air untuk keperluan publik lainnya,

seperti alokasi air untuk pembangkit tenaga listrik.

Negara atau wilayah yang menerapkan mekanisme ini dalam alokasi

sumberdaya airnya umumnya memegang prinsip bahwa air sebagai sumberdaya

alam sangat vital dan strategis, sehingga perlu dikuasai dan diatur pemanfaatannya

oleh negara/pemerintah dan mencegah penguasaan air oleh pihak tertentu.

Institusi pemerintah yang mengatur alokasi air memiliki kekuatan dalam

mengalokasikan air antar sektor dan memiliki yurisdiksi kuat terhadap semua

sektor pengguna air. Selain mengalokasikan air, institusi tersebut juga

bertanggung-jawab melindungi air dan membuat aturan untuk mengalokasikan air

secara adil untuk sektor-sektor pengguna air, seperti rumah tangga, pertanian,

industri, pelestarian lingkungan dan sebagainya.

Mekanisme alokasi oleh pemerintah cenderung mengedepankan

tujuan-tujuan keadilan, terutama menjamin suplai air ke daerah-daerah kurang air. Hal ini

menguntungkan untuk melindungi masyarakat miskin, menyelamatkan

lingkungan, dan menyediakan air sesuai dengan kebutuhan setiap sektor. Alokasi

air (secara fisik) diantara pemakai tidak tergantung dari biaya (independent of

charges) tetapi dapat didasarkan atas fakta sejarah, pembagian yang adil

berdasarkan volume air tersedia, kebutuhan air individual, dan sistem politik yang

berlaku. Model alokasi oleh pemerintah biasanya memiliki tujuan pengembangan

air yang majemuk (multiobjective goals), misalnya di samping untuk memenuhi

kebutuhan domestik rumah tangga, pengembangan air juga digunakan untuk

memenuhi kebutuhan air industri, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, dan

sebagainya.

Kelemahan mekanisme alokasi oleh pemerintah adalah adanya inefisiensi

alokasi sumberdaya air. Daerah yang membutuhkan biaya lebih tinggi dalam

membangun infrastruktur airnya perlu disubsidi, sehingga mekanisme subsidi

yang dilakukan mengurangi kinerja mekanisme pasar yang menekankan

terjadinya transfer sumberdaya secara efisien. Harga air yang ditetapkan tidak

(37)

akan sulit diterapkan untuk menetapkan kuota pembagian air yang dapat

diperjualbelikan sebagaimana halnya dengan komoditas ekonomi lainnya. Akibat

inefisiensi alokasi air, maka akan terjadi pemborosan air dan misalokasi air yang

menghambat upaya pengelolaan sumberdaya air secara rasional dan ekonomis.

Partisipasi publik dalam sistem mekanisme alokasi publik cenderung rendah

sebagai konsekuensi terlalu dominannya pemerintah dalam mengatur alokasi air,

bahkan kondisi yang lebih buruk akan terjadi apabila aparat pemerintah tidak

memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai dalam pengelolaan dan alokasi

air. Mekanisme alokasi oleh pemerintah kurang memberikan insentif bagi

masyarakat untuk berpartisipasi melakukan kegiatan konservasi daerah tangkapan

air, karena mereka menganggap tanggung-jawab perlindungan berada di tangan

pemerintah saja. Selain masalah dominasi kewenangan, struktur fee dalam

mekanisme alokasi oleh pemerintah juga kurang mencerminkan adanya insentif

bagi pengguna air untuk menggunakan air secara efisien dan menghematnya.

Pasar Air (Water Market)

Mekanisme pasar air dalam mengalokasikan sumberdaya air pada

prinsipnya adalah terjadinya pertukaran hak penggunaan air (water use rights)

dalam jumlah tertentu diantara pengguna air yang berdekatan (neighboring-users),

sehingga mekanisme ini sering disebut juga sebagai spot-water market.

Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pasar air adalah (Dinar et al., 2001) :

a. Pasar harus memiliki penjual dan pembeli yang identik/jelas, masing-masing

memiliki informasi lengkap mengenai aturan/institusi pasar yang akan

dijalankannya, dan masing-masing pihak memiliki biaya untuk melakukan

transaksi.

b. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh setiap pembeli atau penjual bebas dari

keputusan yang dibuat oleh penjual atau pembeli lainnya.

c. Keputusan yang dibuat oleh seorang individu tidak mempengaruhi individu

lainnya.

d. Individu-individu atau badan-badan ekonomi yang beroperasi dalam pasar

(38)

Di dalam kondisi-kondisi tersebut jumlah permintaan dan penawaran air

akan ditentukan, termasuk unit harga air di dalam pasar tersebut. Secara umum

sumberdaya akan ditransfer dari penggunaan yang bernilai rendah ke nilai

tertinggi, dan secara ekonomi dianggap efisien. Namun untuk menciptakan

kondisi pasar air tersebut, pemerintah perlu melakukan intervensi agar pasar dapat

beroperasi melalui hal-hal berikut ini :

a. Mendefinisikan secara jelas hak-hak penggunaan air yang berlaku di

masyarakat.

b. Membuat kerangka institusi dan hukum untuk perdagangan air.

c. Melakukan investasi untuk membangun infrastruktur dasar yang dapat

menstimulasi berjalannya pasar air.

Mekanisme pasar air apabila dapat diterapkan dengan benar akan

memungkinkan terjadinya insentif bagi masyarakat atau pengguna air untuk

memanfaatkan air lebih efisien. Bagi penjual air ada peningkatan pendapatan dan

mendorongnya untuk lebih memperhatikan kelestarian daerah tangkapan air, dan

bagi pembeli air ada jaminan mengenai jumlah dan kualitas air sesuai dengan

yang diinginkan berdasarkan kesepakatan transaksi antar penjual dan pembeli.

Pasar air memiliki beberapa keuntungan. Penjual berkesempatan untuk

meningkatkan profitabilitasnya, dan pembeli mendapatkan jaminan dalam

mendapatkan air yang sesuai dengan jumlah dan kualitas yang telah

ditetapkannya. Dalam hal perdagangan air antara sektor pertanian dan perkotaan,

maka lingkungan akan mendapatkan keuntungan yaitu peningkatan sistem

pengelolaan air, pemanfaatan air makin efisien, menurunkan polusi air di saluran

irigasi. Apabila terjadi pencemaran di saluran air yang ditransfer maka penjual

harus memasukan biaya eksternalitas atau bahkan membayar lebih tinggi biaya

sosial akibat polusi air tersebut.

Manfaat-manfaat lain dari pasar air adalah meningkatkan pemberdayaan

pengguna air dalam merealokasi air yang ditransfernya menjadi lebih baik, adanya

jaminan penggunaan air secara berkelanjutan terhadap pengguna air yang

mendorong berkembangnya teknologi penyelamatan air, meningkatkan alternatif

pendapatan daerah tanpa merusak ekosistem dan lingkungan hidup, meningkatkan

(39)

menjadi solusi dalam memformalkan hak-hak masyarakat atas sumberdaya air

secara kuantitatif. Untuk mempraktekkan mekanisme pasar air sering menemukan

kendala-kendala yang berhubungan dengan : pengukuran air secara kuantitatif

memerlukan investasi besar, mendefinisikan hak-hak air apabila alirannya

bervariasi, membuat aturan-aturan pasar air yang dapat disepakati bersama,

investasi sistem saluran air (conveyance system), serta penghitungan biaya

eksternalitas dan degradasi lingkungan yang mungkin terjadi.

Alokasi Berbasis Pengguna (User-Based Water Allocation)

Variasi alokasi air berbasis pengguna dapat didasarkan atas pembagian

rotasi waktu, jumlah air, luas lahan, dan pembagian aliran air ke masing-masing

pengguna. Alokasi air berbasis pengguna sering ditemukan pada sistem irigasi

pertanian dan sistem pembagian air domestik menggunakan sumur bersama dan

sistem pompa air.

Mekanisme alokasi ini memerlukan institusi aksi bersama yang memiliki

otoritas dalam menetapkan hak-hak atas (pemakaian) air. Pengembangan institusi

masyarakat ini menjadi masalah pertama dan sangat penting dalam membangun

mekanisme alokasi air berbasis pengguna. Institusi masyarakat dalam

mengalokasikan air berkembang dari tengah masyarakat lokal secara spontan, atau

dapat juga dibentuk melalui katalis eksternal yang memfasilitasi terciptanya

institusi pengelolaan air. Pengembangan sistem kepemilikan hak-hak penggunaan

air di masyarakat menjadi pendorong perlunya dibentuk institusi dalam

masyarakat yang mengatur dan mengalokasikan air. Dalam sistem masyarakat

yang masih memiliki institusi sosial yang kuat, pengaturan alokasi air dapat

menjamin penggunaan air yang efisien dan distribusi air yang berkeadilan, serta

menjadi insentif bagi pengguna air dalam melindungi daerah resapan air secara

kolektif.

Alokasi berbasis pengguna lebih fleksibel dalam mengatur aliran air untuk

memenuhi kebutuhan lokal secara langsung. Hal ini disebabkan bahwa semua

pihak yang terlibat dalam penggunaan air - pertanian, konsumsi rumah tangga,

atau industri - memiliki informasi memadai tentang kondisi lokal masing-masing,

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1.  Pertimbangan Penggunaan Mekanisme Alokasi Air Minum
Gambar 2.   Alokasi Efisien Air Minum Lintas Wilayah (Roumaset dan Smith, 2001)
Gambar 3.  Hirarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Higiene Sanitasi Dan Kualitas Air Minum Isi Ulang (AMIU) Berdasarkan Sumber Air Baku Pada Depot Air Minum Isi Ulang Di Kota Medan. Tesis , Sekolah Pascasarjana

Sampel dalam penelitian ini ditetapkan dengan cara sampel berurutan dengan observasi kontinue yaitu mengadakan analisa terhadap laporan keuangan pada Perusahaan Daerah Air Minum

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah kualitas air minum, dengan judul Teknologi Pengolahan Air Minum dan Potensi Penggunaan

Dalam rangka pelaksanaan Program Hibah Air Minum, pemerintah daerah penerima hibah wajib mengalokasikan dana penyertaan modal dalam APBD kepada PDAM untuk pembangunan

Ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari merupakan masalahyang cukup pelik, baik pada musim penghujan maupun musim kemarau, wargamemperoleh air bersih dari mata air yang

18/PRT/M/2015, maka nilai manfaat ekonomi usaha air minum dihitung dengan menggunakan pendekatan pendapatan bruto yang diperoleh dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum)

Ketersediaan Sumber Air PDAM Ketersediaan sumber air PDAM yang terdapat dalam persepsi masyarakat tentang perusahaan daerah air minum (PDAM) di Kelurahan Tabing

Pengoperasian dan pemeliharaan sistem penyediaan air merupakan kegiatan penting untuk memenuhi kebutuhan standar pelayanan minimum air minum kepada