IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.6. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Gunung Cirema
Perhatian besar Pemda Kabupaten Kuningan terhadap kelestarian sumber air minum di Gunung Ciremai telah mendorong kebijakan berupa peraturan daerah (Perda) yang menaungi tentang tata ruang kawasan tersebut sebagai daerah resapan air. Pertimbangan dalam membuat perda tersebut adalah potensi kawasan tersebut sebagai kawasan lindung, konservasi alam, dan zona resapan air yang memiliki nilai besar sebagai penyangga sistem ekologis, hidrologis, dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Manfaat hidrologis kawasan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Kuningan saja, tetapi juga masyarakat di Kota Cirebon yang mengandalkan pasokan air minumnya dari sumber mata air di Gunung Ciremai. Untuk mempertahankan kawasan tersebut sesuai dengan fungsinya sehingga terhindar dari degradasi diperlukan upaya pengendalian, diantaranya melalui adanya kebijakan pengaturan tata ruang Gunung Ciremai.
Penataan ruang berpengaruh terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya air, dimanap sasaran strategis pengelolaan potensi sumberdaya air adalah menjaga keberlanjutan dan ketersediaan potensi sumberdaya air melalui upaya konservasi dan pengendalian kualitas sumber air minum. Pendekatan penataan ruang ditujukan untuk mengatur hubungan antar berbagai kegiatan dengan fungsi ruang, terutama untuk menjaga fungsi konservasi dan keseimbangan air. Peran penataan
ruang dalam pengelolaan sumberdaya air adalah untuk : (a) menjamin ketersediaan air, baik kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang melalui pengelolaan kawasan konservasi dan pengendalian kualitas air, (b) koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah untuk mencapai komitmen bersama, dan (c) mencegah eksternalitas yang merugikan masyarakat secara luas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001).
Penggunaan lahan di kawasan Gunung Ciremai berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 38 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai meliputi: Zona Inti , Zona Penyangga (buffer zone) dan Zona Budidaya. Penggunaan lahan di zona inti terdiri dari hutan, perkebunan, kebun campuran dan tegalan.
Upaya penataan kebijakan pengelolaan kawasan sumber air minum diperlukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi air secara efisien sekaligus memenuhi kebutuhan air minum bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Penataan kebijakan perlindungan sumber mata air di kawasan Gunung Ciremai terdiri penataan kebijakan perlindungan sumber mata air di bagian hulu dan penataan kebijakan pengelolaan air antar pemerintah daerah (pemda). Pengelolaan air lintas wilayah akan efektif berjalan apabila didukung oleh adanya inisiatif (kebijakan) dari pemerintah daerah di bagian hulu tempat dimana sumber-sumber air berada. Pemda Kabupaten Kuningan menyadari potensi air di kawasannya yang melimpah berinisiatif membuat kebijakan untuk melindungi kawasan Gunung Ciremai, yaitu dengan dibuatnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 38 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai. Dokumen Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tersebut dijadikan dasar petunjuk bagi aparat pemerintah dan masyarakat dalam melakukan pengaturan ruang dan pengendalian pembangunan di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya secara umum sesuai dengan fungsinya sebagai kawasan lindung, konservasi alam, dan zona resapan air. Isi dari RUTR Gunung Ciremai ini secara umum memberikan arahan pemanfaatan ruang dan pengelolaan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung, konservasi alam, dan zona resapan air yang sangat strategis dan vital sebagai kesatuan sistem penyangga kehidupan masyarakat di sekitarnya. Rencana pemanfaatan ruang yang terbagi menjadi tiga zona/kawasan pengelolaan, yaitu :
zona/kawasan inti, zona/kawasan penyangga (buffer zone), dan zona budidaya. Zona inti kawasan Gunung Ciremai meliputi areal seluas 4.980 ha. Penggunaan lahan di dalam zona inti terdiri dari hutan, perkebunan, kebun campuran, dan tegalan. Hutan mendominasi penggunaan lahan di dalam zona inti, yang terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan dan Majalengka seluas 15.500 ha menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Sejak keluarnya keputusan tentang Taman Nasional Gunung Ciremai tersebut, maka kawasan hutan di kelompok hutan Gunung Ciremai yang umumnya merupakan hutan lindung dan berdasarkan RUTR Ciremai merupakan zona inti beralih fungsi menjadi taman nasional yang dikategorikan sebagai kawasan hutan konservasi.
Zona penyangga (buffer zona) kawasan Gunung Ciremai meliputi areal seluas 1.890 ha. Penggunaan lahan dalam kawasan penyangga terdiri dari kebun campuran, tegalan, sawah, dan sebagian kecil pemukiman penduduk. Zona budidaya adalah zona/kawasan yang berada di luar zona inti dan zona penyangga. Penggunaan lahan dalam zona budidaya secara umum merupakan tegalan, kebun campuran, sawah, pemukiman. Di dalam zona budidaya dimungkinkan untuk melakukan kegiatan budidaya dan ekonomi yang dilakukan secara intensif.
Pemanfaatan zona inti diarahkan untuk : (a) mempertahankan/melestarikan kawasan-kawasan dalam zona inti yang masih asli (belum terinventarisir) dan belum teritervensi oleh kegiatan manusia; (b) pengembalian fungsi kawasan lindung bagi kawasan lindung yang telah dibudidayakan dengan kegiatan yang secara pasti akan mengganggu fungsi lindungnya; (c) melakukan pembatasan secara ketat terhadap kegiatan budidaya yang telah ada dalam zona inti, sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu fungsi zona inti, dan dalam tahapan selanjutnya dialihfungsikan menjadi kawasan lindung; (d) mengembangkan kawasan penyangga sebagai perisai terhadap zona inti yang dapat mengganggu kelestarian zona inti sebagai kawasan lindung, kawasan konservasi alam, dan zona resapan air; (e) melaksanakan program penghutanan kembali disertai dengan tindakan konservasi tanah dan air secara terpadu terhadap kawasan-kawasan dalam zona inti yang telah mengalami degradasi, penurunan persentase penutupan
lahan, bencana alam, perambahan hutan, penebangan pohon, dan tindakan lainnya yang secara pasti mengarah kepada penurunan fungsi zona inti; (f) kegiatan penghutanan kembali dengan memprioritaskan penggunaan jenis-jenis endemik yang secara alami sudah lama tumbuh dan berkembang di dalam zona inti. Penggunaan jenis-jenis flora eksotik atau dari luar kawasan tidak dianjurkan (sangat dibatasi) sepanjang jenis-jenis asli atau endemik dalam zona inti masih ada.
Zona Penyangga Zona Inti
Gambar 14. Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Gunung Ciremai berdasarkan Perda Nomor 38 Tahun 2002
Pemanfaatan zona penyangga diarahkan untuk : (a) mempertahankan zona penyangga sebagai kawasan yang memiliki fungsi penyangga perluasan dan penyangga sosial terhadap upaya pemantapan perlindungan zona inti; (b) pengendalian terhadap kegiatan budidaya yang telah ada, sehingga tidak mengganggu fungsi zona inti; (c) melakukan kegiatan reboisasi dan penghijauan dalam kawasan penyangga yang penutupan lahannya terbuka, bekas bencana alam, dan lahan-lahan terlantar; (d) setiap kegiatan dalam zona penyangga yang diperkirakan memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem zona penyangga diwajibkan melakukan Amdal. Apabila hasil Amdal menunjukkan bahwa kegiatan tersebut mengurangi dan mengganggu fungsi zona penyangga, maka kegiatan tersebut harus dilarang dan dikeluarkan dari zona penyangga. Adapun pemanfaatan zona budidaya diarahkan sesuai dengan peruntukannya dengan tetap memperhatikan kegiatan konservasi tanah dan air yang bersifat vegetatif dan teknik sipil.
Strategi untuk memantapkan zona inti yang dilakukan adalah (a) mempertahankan luas kawasan yang termasuk zona inti untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung, konservasi alam, dan zona resapan air; (b) mengupayakan perubahan fungsi hutan produksi yang berada dalam kawasan lindung menjadi hutan lindung, dan memantapkan hutan produksi yang berada di luar zona inti; (c) mengendalikan zona/kawasan inti dengan mengembangkan kawasan penyangga (buffer zone) di sekitar zona inti; (d) melakukan penataan kawasan dalam zona inti yang memiliki karakteristik khusus untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi in-situ spesies flora dan fauna. Zona inti dapat dimanfaatkan secara sangat terbatas untuk menunjang kegiatan perekonomian daerah, melalui pengembangan wisata alam ilmiah, terutama yang berkaitan dengan program penelitian sumberdaya alam hayati dan non-hayati, serta pendidikan lingkungan hidup. Zona penyangga memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai penyangga perluasan dan penyangga sosial. Penyangga perluasan pada dasarnya memperluas fungsi zona inti sebagai kawasan yang dilindungi ke dalam zona penyangga. Strategi dalam memantapkan zona penyangga di kawasan Gunung Ciremai yaitu (a) mempertahankan zona penyangga sebagai penyangga zona inti dalam fungsinya untuk menyangga sistem perlindungan ekosistem,
konservasi sumberdaya alam hayati dan non-hayati, dan penyelamatan resapan air; (b) mengembangkan zona penyangga sebagai kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat akan lahan, hasil hutan, pertanian, dan sebagainya tanpa mengganggu dan merusak kondisi ekosistem yang telah ada dalam zona tersebut; (c) melakukan pengendalian secara ketat terhadap aktifitas yang dapat merusak dan mengubah bentang alam dan ekosistem alami di dalam zona penyangga.
Penggunaan zona budidaya tidak terlepas dari tujuan dan strategi pengelolaan di zona inti dan zona penyangga, yang memiliki fungsi perlindungan ekosistem, konservasi alam, dan resapan air. Pengelolaan kawasan budidaya dilakukan secara seksama dan berdaya guna sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan budi daya dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis seperti daya dukung dan kesesuaian tanah, aspek sosial serta aspek-aspek keruangan seperti sinergi kegiatan-kegiatan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemanfaatan zona/kawasan budidaya untuk berbagai penggunaan lahan harus tetap mengaplikasikan teknik KTA dalam pengelolaan lahannya.
Tingkat efektifitas RUTR Gunung Ciremai dalam mengendalikan ruang di kawasan tersebut masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya permasalahan yang mengganggu perlindungan fungsi sumber daya alam yang ada, misalnya perambahan lahan kawasan hutan cukup tinggi akibat keterbatasan lahan milik masyarakat. Komoditas yang diusahakan petani di kawasan Gunung Ciremai umumnya adalah sayuran dan palawija yang pengolahannya sangat intensif sehingga mempercepat degradasi tanah. Kegiatan penambangan galian C (pasir) di kawasan Gunung Ciremai menimbulkan degradasi tanah yang sangat serius dan mengancam fungsi kawasan tersebut sebagai wilayah resapan air. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa efektifitas Perda Nomor 38 Tahun 2002 tentang RUTR Gunung Ciremai masih rendah. Penegakan aturan hukum akan berjalan efektif apabila tingkat kepatuhan (compliance) masyarakat terhadap hukum itu besar. Hirakuri (2003) mengemukakan perbedaan
compliance (tingkat kepatuhan) hukum dalam bidang kehutanan di Finlandia yang
compliance yang tinggi di Finlandia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
economic incentives, forest extention, institutional management and cooperation, small-scale forestry, forest-management plans, dan penerapan forest-certification. Adapun di Brazil, beberapa permasalahan pengelolaan hutan diantaranya :
complicated administrative procedures for procursing logging permits, deficient processes for forest control, law rates of compliance with forest-law, ineffectiveness within the legal systems for imposing penalties on violators, institutional problems within enforcement division, scarce financial resources allocated to field enforcement, dan less economic incentives. Dari kasus yang dikemukakan tersebut tampak bahwa keberhasilan penegakan hukum tidak berdiri sendiri, namun harus didukung oleh pembenahan instrumen lainnya termasuk di dalamnya instrumen politik, sosial-kelembagaan, dan ekonomi.
Adanya perubahan status kawasan hutan dari hutan lindung menjadi taman nasional di sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai memerlukan upaya penataan kembali terhadap isi dari RUTR di lapangan, atau sebaliknya dalam menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) maka isi dari RUTR Gunung Ciremai yang telah di-perda-kan dapat diadopsi dalam rencana tersebut, sehingga antara kepentingan konservasi dalam TNGC bisa sinergis dengan RUTR Ciremai yang telah ada. Oleh karena itu konsultasi publik yang lebih luas dalam menyusun Rencana Pengelolaan TNGC23 perlu melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan Gunung Ciremai.
Perda RUTR Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Oleh karena itu RUTR Gunung Ciremai merupakan sertifikat dari komitmen Kabupaten Kuningan untuk mempertahankan wilayah Gunung Ciremai sebagai resapan air yang memasok kebutuhan air bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Implementasi RUTR sebagai sebuah sertifikat
komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan
23
Rencana Pengelolaan (RP) TNGC yang sedang dibuat pada saat penyelesaian disertasi ini setidaknya harus tetap mampu menjamin kelestarian kawasan Gunung Ciremai, khususnya dalam menyediakan jasa hidrologis bagi masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Dokumen RP tersebut pun harus menjadi dokumen legal yang tetap berfungsi sebagai sertifikat jaminan pengelola TNGC dalam mengkonservasi kawasan Gunung Ciremai secara berkelanjutan. Perubahan status kawasan hendaknya tidak mengubah mekanisme PES dari jasa hidrologis yang telah berjalan di kawasan tersebut.
dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah ini. Bagi bidang perencanaan wilayah, proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tidak hanya bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam, meningkatkan pendapatan asli daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir cenderung lebih merasa aman apabila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan komitmen dalam menjaga kawasan resapan airnya, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk membayar (willingness to pay) untuk air yang digunakannya diprediksikan akan meningkat. Peningkatan apresiasi nilai ini berkaitan dengan adanya komitmen yang jelas dari wilayah hulu sebagai pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air.
Dana kompensasi konservasi yang diberikan oleh pengguna air minum, terutama yang berada di luar Kabupaten Kuningan agar difokuskan untuk mendukung kegiatan konservasi sumber resapan air di kawasan Gunung Ciremai. Sesuai perjanjian antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, maka dana kompensasi konservasi tersebut hanya digunakan untuk kegiatan perlindungan dan pelestarian daerah tangkapan air dari sumber air yang digunakan oleh pengguna air di Kot Cirebon. Beberapa bentuk kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air tersebut adalah : (a) pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air; (b) pengendalian dan pemanfaatan sumber air; (c) pengisian air pada sumber air; (d) perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air; (e) pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu; (f) rehabilitasi hutan dan lahan; dan (g) pelestarian hutan lindung dan kawasan pelestarian alam.24Dari dana kompensasi tersebut, sebagian harus disalurkan ke desa sesuai dengan Perda Kabupaten Kuningan Nomor 18 Tahun 2003 tentang Bagi Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kepada Desa. Perda tersebut menyebutkan bahwa 40% dari Retribusi Daerah tertentu diperuntukan untuk Desa (Pasal 3 ayat 1). Adanya ketentuan yang mengatur bagi hasil pajak dan retribusi daerah diharapkan akan meningkatkan upaya perlindungan wilayah sumber resapan air dengan tanpa mengabaikan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
24
Inisiatif untuk menata wilayah hulu resapan air oleh Pemda Kabupaten Kuningan memudahkan upaya-upaya untuk merancang kebijakan pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di kawasan tersebut secara berkelanjutan. Kebijakan pengelolaan air minum lintas wilayah yang akan dirancang selanjutnya perlu memperhatikan prinsip pokok sistem pengelolan air berkelanjutan, yaitu mengembangkan visi yang sama terhadap tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan; mengembangkan koordinasi yang kuat diantara pengguna air; dan membangun kondisi dasar (baseline condition) untuk berjalannya sistem yang akan dibangun (Loucks, 2000). Air pun harus dipandang sebagai katalis kerjasama lintas wilayah daripada sebagai sumber konflik. Air sebagai katalis kerjasama memungkinkan terjadinya pengelolaan air secara bersama diantara wilayah- wilayah yang berkepentingan. Deklarasi Petersberg tahun 1998 yang dihasilkan oleh forum Global Water Politics-Cooperation for Transboundary Water Management" di Petersberg/Bonn pada 3-5 Maret 1998, menegaskan bahwa faktor-faktor penting untuk mewujudkan kerjasama pengelolaan air lintas wilayah, yaitu (a) Shared Vision (Visi untuk berbagi), dimana setiap wilayah perlu memiliki keinginan untuk berbagi dalam memanfaatkan air, termasuk berbagi dalam pertukaran informasi dan teknologi pengelolaan air yang lebih efisien; (b)
Political commitment and public support (adanya komitmen politik dan dukungan publik) dari masing-masing wilayah untuk menciptakan sistem pembagian air yang efisien dan merata (adil); (c) Broad Based Parternships (kemitraan yang luas) diantara pemerintah, legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan air; (d) Environmental Management (pengelolaan lingkungan) harus diintegrasikan ke dalam pengelolaan air minum lintas wilayah di kawasan tersebut.