IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4 Penentuan Harga Air Minum Lintas Wilayah yang Efisien
Karakteristik responden di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon dalam pemanfaatan air minum berbeda. Konsumsi air minum rumah tangga rata-rata di Kabupaten Kuningan adalah 0,76 m3/hari atau 22,70 m3/bulan, sedangkan konsumsi air minum di Kota Cirebon lebih tinggi, yaitu 0,87 m3/hari atau 26,10 m3/bulan. Biaya pengadaan untuk mendapatkan air minum bagi rumah tangga Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon masing-masing adalah Rp.1.484,84/m3/
21
Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon tentang Pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan ditandatangani tanggal 17 Desember 2004
bulan dan Rp.1.465,50/m3/bulan. Pendapatan rumah tangga per bulan rata-rata dari responden di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon masing-masing adalah Rp.964.000,00 dan Rp.1.105.875,00 dengan jumlah anggota keluarga relatif sama yaitu 4 (empat) orang per rumah tangga.
Model-model persamaan permintaan air minum untuk rumah tangga pengguna air di wilayah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon disajikan pada Tabel Lampiran 9. Persamaan permintaan air minum terpilih untuk wilayah Kabupaten Kuningan (y1) adalah :
Ln y1 = 2,30 -0,000223 x1 +0,000001 x2 + 0,0283 x3 ……… (3)
Keterangan :
y1 = Jumlah konsumsi air per rumah tangga selama satu bulan (m3/rt)
x1 = Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan 1 m3 air (Rp/m3)
x2 = Pendapatan keluarga per bulan (Rp/bulan)
x3 = Jumlah anggota rumah tangga (orang)
Adapun persamaan permintaan air minum terpilih untuk wilayah Kota Cirebon (y2) adalah
Ln y2 = 3,54 -0,000597 x1+0,0000002 x2+ 0,0308 x3... (4)
Keterangan :
y2 = Jumlah konsumsi air per rumah tangga selama satu bulan (m3/rt)
x1 = Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan 1 m3 air (Rp/m3)
x2 = Pendapatan keluarga per bulan (Rp/bulan)
x3 = Jumlah anggota rumah tangga (orang)
Grafik penentuan harga air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Alokasi Efisien dari Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai
Ln y2 = 3,54 -0,000597 x1+0,0000002 x2+ 0,0308
Berdasarkan persamaan permintaan air minum sebelumnya ditunjukkan bahwa konsumsi air cenderung meningkat dengan makin meningkatnya pendapatan rumah tangga dan anggota keluarga, sebaliknya jumlah konsumsi air cenderung menurun apabila biaya untuk mendapatkan air tersebut makin tinggi. Dalam hal ini masyarakat di Kota Cirebon dengan pendapatan lebih tinggi mengkonsumsi air minum lebih besar daripada masyarakat di Kabupaten Kuningan.
Hasil perhitungan terhadap persamaan pada Gambar 13 diperoleh harga efisien air untuk kedua wilayah (P*) sebesar Rp.2.955,16 per m3. Berdasarkan pada nilai P*, maka alokasi air minum untuk rumah tangga di Kabupaten Kuningan (q1) dan Kota Cirebon (q2) masing-masing sebesar 15 m3 dan 28 m3.
Rumah tangga di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon selama ini mengeluarkan dana untuk mendapatkan air minum rata-rata masing-masing sebesar Rp.1.484,84/m3 dan Rp.1.465,50/m3, ternyata apabila dibandingkan dengan harga efisien air maka akan memiliki selisih dana masing-masing sebesar Rp.1.470,82 dan Rp.1.490,16. Apabila jumlah rumah tangga pengguna air minum (pelanggan PDAM) di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon masing-masing berjumlah 15.000 rumah tangga dan 50.000 rumah tangga, maka surplus konsumen yang diperoleh oleh masing-masing wilayah sebesar Rp.22.063.300,00/ bulan atau Rp.264.747.600,00/tahun dan Rp.74.508.000,00/bulan atau Rp.894.096.000,00/tahun. Total surplus konsumen untuk kedua wilayah mencapai Rp.1.158.843.600,00/tahun. Besarnya surplus konsumen tersebut dapat dialokasikan pula untuk mendanai kegiatan konservasi sumber mata air di kawasan Gunung Ciremai. Biaya tersebut cukup untuk mendanai kebutuhan kegiatan konservasi di mata air Paniis yang diperkirakan mencapai Rp.1,12 milyar.
Penerapan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah tersebut dalam prakteknya memerlukan serangkaian negosiasi diantara pihak yang berkepentingan dengan lebih mengedepankan pandangan bahwa pembagian manfaat lebih penting daripada hanya pembagian air saja.
4.5. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum
Masyarakat di tiga lokasi yang diteliti (Darmaloka, Cibulan, dan Paniis) memiliki persepsi yang berbeda terhadap hak-haknya akan pemanfaatan sumber mata airnya. Tabel 5 menyajikan rangkuman persepsi masyarakat sekitar mata air terhadap hak-hak air. Adanya perbedaan persepsi tersebut disebabkan oleh perbedaan sistem pengelolaan sumber mata air. Sistem pengelolaan sumber mata air di Darmaloka dilakukan secara tradisional, sehingga air sepenuhnya dipersepsi sebagai barang publik dan semua orang memiliki akses yang bebas terhadapnya. Hak guna pakai air masih dipegang teguh oleh masyarakat, dan cenderung untuk menolak adanya hak guna usaha air. Masyarakat pengguna air langsung mengambil air dari sumber mata air Darmaloka menggunakan pipa langsung disalurkan ke rumahnya. Beberapa rumah tangga membentuk kelompok untuk mendistribusikan air ke rumah masing-masing. Air bersih didistribusikan kepada anggota kelompoknya dengan cara pipanisasi. Pada sistem ini, air dari mata air dibuatkan bangunan pelindung mata air (PMA) untuk menjaga agar air tidak terkotori oleh tanah di sekitar sumber mata air. Dari PMA air dialirkan ke bak penampungan air yang sebelum dialirkan lagi ke penampung-penampung kecil. Pada bak penampungan air ini terdapat beberapa pipa sebagai saluran untuk mengalirkan air ke tuk (penampung air kecil). Air bersih yang tertampung di tuk dialirkan ke masyarakat pengguna air dengan menggunakan selang.
Sistem pengelolaan air minum di mata air Cibulan dikoordinasikan oleh desa setempat dan selanjutnya didistribusikan ke penduduk, sehingga terkoordinasi lebih baik. Masyarakat pengguna air membayar penggunaan airnya ke desa yang mengkoordinasikan distribusi airnya. Masyarakat melihat air tidak sepenuhnya sebagai barang publik bebas, tetapi sudah mulai bergeser mempersepsikan air sebagai komoditas ekonomi potensial. Walaupun hak guna pakai air masih dipegang kuat, namun mereka masih menerima kemungkinan adanya hak guna usaha air sepanjang kebutuhan pokoknya terpenuhi dengan baik.
Adapun sistem pengelolaan mata air Paniis dilakukan oleh manajemen PDAM Kota Cirebon, karena pasokan airnya digunakan sebagai sumber air minum di Kota Cirebon. Sistem penyediaan air minum Kota Cirebon dimulai sejak tahun 1890 dari Mata Air Sendang di Kabupaten Cirebon dengan kapasitas
10 l/dtk. Pemerintah Belanda, pada tahun 1937, membangun sistem penyediaan air minum untuk Kota Cirebon dengan kapasitas penyediaan air sebesar 33 l/dtk dari Mata Air Paniis dengan sistem sumur pengumpul vertikal yang berlokasi di Desa Paniis Kabupaten Kuningan. Tahun 1960 Kota Cirebon memperluas distribusi dan meningkatkan kapasitas penyediaan air minum menjadi 100 l/dtk dari mata air Paniis. Kapasitas penyediaan air minum dari mata air Paniis berhasil ditambah sebesar 760 l/dtk pada tahun 1982, sehingga total kapasitas menadi 860 l/dtk. Penambahan ini berasal dari sumber air yang terletak kurang lebih 50 m dari mata air Paniis (sumur vertikal). Sistem produksi air ini berupa sumur pengumpul berdiameter dalam 4 m dan diameter luar 5 m, dengan kedalaman lebih 7 m yang mengumpulkan air dari 24 buah sumur horisontal yang ada di sekelilingnya yang berdiameter 200 mm dengan panjang antara 9 m sampai 32,5 m. Air dialirkan melalui pipa berdiameter 700 mm dari sumur pengumpul keinstalasi pengolahan di Plagon ± 8.195 m dari Paniis. PDAM Kota Cirebon secara resmi mengelola sistem penyediaan air minum sejak tahun 1963, yang pada saat itu bernama Perusahaan Daerah Saluran Air Minum yang pendiriannya berdasarkan Peraturan Daerah Kotapraja Cirebon tanggal 8 Mei 1963. Pada tahun 1994 berubah menjadi Perusahaan Daerah Air Minum Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon berdasarkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon No. 9 tahun 1994. Kebijakan PDAM Kota Cirebon yang bekaitan dengan masyarakat berlandaskan pada Perda Kodya Dati II Cirebon Nomor 13 tahun 1994 tentang Ketentuan Pelayanan Air Minum Kotamadya Daerah Tingkat II Cierbon. Dalam hal ini hak guna usaha air yang dilakukan oleh PDAM Cirebon yang telah berjalan sejak lama akhirnya membentuk persepsi masyarakat sekitar mata air bahwa air adalah sumberdaya alam yang bernilai ekonomi.
Hak atas akses sumber mata air di tiga lokasi umumnya memiliki persepsi yang hampir sama. Mereka menyatakan bahwa yang berhak untuk memanfaatkan air yang bersumber dari mata air di wilayahnya selain masyarakat sendiri, juga masyarakat yang berada di luar wilayahnya. Hak akses yang diberikan seluas- luasnya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat pada umumnya dilatarbelakangi oleh pandangan hukum Islam yang banyak dianut di daerah penelitian. Pandangan tersebut sesuai dengan pernyataan Sarwan et al. (2003)
yang menjelaskan bahwa persepsi masyarakat atas hak-hak air di Indonesia dilatarbelakangi oleh pandangan hukum Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh penduduk Indonesia22. Oleh karena itu pengembangan hak guna air, terutama hak guna usaha air, perlu memperhatikan pandangan masyarakat terhadap hak-hak airnya. Penerapan kebijakan pengelolaan sumber air yang tidak mempertimbangkan posisi hak-hak air masyarakat dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan sistem air minum masyarakat.
Masyarakat di tiga lokasi mata air memiliki perbedaan persepsi tentang pihak yang sebaiknya mengelola sumber air minum. Masyarakat yang tinggal di sekitar Darmaloka melihat bahwa kelompok masyarakatlah yang paling berhak mengelola sumber air, kemudian desa. Adapun di Cibulan masyarakat melihat bahwa desa merupakan pihak yang paling berhak mengelola sumber mata air, selanjutnya pemerintah daerah. Namun masyarakat di sekitar mata air Paniis melihat bahwa pihak yang berhak mengelola sumber mata air adalah perusahaan daerah (PDAM), pemerintah daerah, dan kelompok masyarakat. Perbedaan pandangan tentang pihak yang berhak mengelola sumber mata air di tiga lokasi tersebut cenderung dipengaruhi oleh sistem pengelolaan air yang selama ini dilakukan dan bentuk hak guna air yang diyakininya. Masyarakat yang teguh memegang hak guna pakai air cenderung memilih kelompok masyarakat sebagai pihak yang cocok untuk mengelola sumber mata air, namun bagi masyarakat yang menerima adanya hak guna usaha air cenderung lebih mengarah pada pihak yang memiliki sistem manajemen yang secara ekonomis dipandang lebih efisien dalam mengalokasikan air. Walaupun secara umum masyarakat mengakui bahwa masyarakat di luar wilayahnya memiliki hak untuk mengakses air minum, tetapi jurisdiksi pengelolaan sumber air minum tetap di wilayah dimana sumber air minum tersebut berada.
22
Beberapa hadits Rosululloh SAW yang menyatakan air sebagai barang publik, yaitu (a) Almuslimuuna syurakaa-a fii tsalaatsin fil maa-i wal kalaa-i wannaari, yang artinya kaum muslimin berserikat dalam tiga hal pada air, padang penggembalaan, dan api (Hadits Riwayat Abu Dawud); (b) Almuslimuuna syurakaa-a fii tsalaatsin fil maa-i wal kalaa-i wannaari wa tsamanuhu haraamu,yang artinya kaum muslimin berserikat dalam tiga hal pada air, padang penggembalaan, dan api serta harganya (hasil jual belinya) adalah haram (Hadits Riwayat Anas); (c) Tsalaatsu laa yumnaánnul maa-u wal kalaa-u wannaaru, yang artinya tiga hal yang tidak terhalangi (untuk memanfaatkannya) yaitu air, padang penggembalaan, dan api (Hadits Riwayat Ibnu Majah)
Tabel 5. Persepsi Masyarakat Sekitar Mata Air terhadap Hak-Hak Air
No Pernyataan Darmaloka Jalaksana Paniis
A Akses terhadap Sumber Air Yang berhak memanfaatkan air
a. Masyarakat sekitar mata air 9 10 10 b. Masyarakat di luar mata air 1 10 10 B Pengelolaan Mata Air
Pengelola Mata Air Saat ini untuk kebutuhan masyarakat
a. Kelompok Masyarakat 8 1 2
b. Perorangan 1
c. PDAM 1 8
d. Desa 9
Pihak yang sebaiknya mengelola mata air
a. Masyarakat 8
b. Desa 2 9 3
c. Perusahaan Air Minum 4
d. Perorangan
e. Pemerintah Daerah 1 3
C Transfer Air dan Kontribusi Transfer air ke wilayah lain
a. Setuju 10 10 10
b. Tidak setuju 0 0
Alasan transfer ke wilayah lain
a. Barang publik 2 8 7
b. Terbuang percuma 8 2 3
Kontribusi dari daerah lain
a. Tidak perlu 2 0 0
b. Perlu 8 10 10
Bentuk kontribusi
a. Biaya penggunaan air 2 6 7
b. Biaya konservasi 3 1 c. Pembangunan infrastruktur 8 1 2 Mekanisme kontribusi a. Rekening air b. Kas Desa 10 10 10 c. Kas Daerah
d. Pajak Pengguna Air Tempat Penyimpanan Dana Konservasi Mata Air
a. Kas Desa 10 10 10
b.Kas Daerah
Bagi masyarakat di Cibulan dan Paniis, air dapat ditransfer dengan alasan bahwa air merupakan barang publik yang manfaatnya dapat dirasakan pula oleh
kelompok masyarakat lainnya. Apabila terjadi transfer air ke wilayah lain, masyarakat di tiga lokasi sumber mata air umumnya memandang perlu adanya kontribusi dari daerah lain yang memanfaatkannya. Masyarakat di Darmaloka lebih menginginkan bentuk kontribusi tersebut dalam bentuk bantuan pembangunan infrastruktur publik sesuai dengan yang dibutuhkannya, misalnya perbaikan jalan umum. Bagi masyarakat di sekitar mata air Cibulan menginginkan bentuk kontribusi langsung berupa biaya penggunaan air dan biaya konservasi resapan air. Kondisi masyarakat di sekitar mata air Cibulan secara umum tidak berbeda dengan masyarakat yang tinggal di sekitar mata air Paniis. Kontribusi dana untuk penggunaan air dan kegiatan konservasi lingkungan sekitar mata air yang berasal dari wilayah lain sebaiknya dimasukan dalam kas desa untuk membiayai pembangunan desa dan konservasi sumber mata air.