BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lingkungan permukiman kota memiliki risiko bencana. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada lingkungan permukiman tertentu, misalnya korban jiwa, hilangnya rasa aman, kerusakan atau kehilangan harta,dan gangguan kegiatan masyarakat. Tinggi rendahnya suatu risiko bencana di lingkungan permukiman dipengaruhi adanya ancaman bencana/bahaya (hazard) yang sangat tinggi di lingkungan permukiman kota (BNPB,2008) dan adanya kerentanan (vulnerability).
BNPB (2008) menguraikan, munculnya ancaman bencana diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa alam, yang merupakan proses alamiah, dan terjadi secara berulang (Schwab,dkk,2007). Adanya ancaman bencana di lingkungan permukiman tertentu dapat dilihat melalui peta ancaman bencana, seperti peta ancaman bencana letusan gunung api, banjir, gempa bumi, dan tsunami.
Tingginya rendahnya risiko bencana juga dipengaruhi kerentanan suatu lingkungan permukiman kota. Secara rinci permen PU nomor 21/PRT/M/2007 tentang pedoman penataan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi, menguraikan kerentanan sebagai kondisi atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya/bencana alam tertentu. Beberapa karakteristik lingkungan permukiman kota yang mempertinggi tingkat risiko bencana diantaranya, keberadaan lokasi permukiman tersebut yang berada pada kawasan rawan bencana, kepadatan bangunan yang tinggi, konstruksi bangunan yang berkualitas tidak memadai, dan minimnya pengetahuan atau kurang relevannya upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan dengan ancaman bencana yang dihadapi. Berikut beberapa contoh kerentanan di lingkungan permukiman kota, sebagaimana diuraikan oleh CARRI (2008), BNPB (2008,2012),dan Borden,dkk (2007).
Tabel 1.Contoh-contoh kerentanan lingkungan permukiman Aspek Kerentanan Keterangan Kerentanan Fisik (infrastruktur)
Menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) jika bahaya (hazard) tertentu terjadi di lingkungan permukiman.
Contoh indikator:
Kepadatan rumah (permanen,semi-permanen,non-permanen), ketersediaan bangunan/fasilitas umum dan ketersediaan fasilitas kritis (misalnya jaringan listrik,air dan sistem komunikasi). Kerentanan
sosial-kependudukan
Menunjukan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa atau kesehatan penduduk apabila terjadi bahaya (hazard).
Contoh indikator:
Kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio penduduk usia tua dan balita, masyarakat dengan kebutuhan khusus (difabel, tunawisma),
Kerentanan
ekonomi Menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatanekonomi (proses ekonomi) bila terjadi bahaya (hazard). Contoh indikator:
Luas lahan produktif (sawah, perkebunan, lahan pertanian dan tambak).
Sumber: diolah dari CARRI (2008), BNPB (2008,2012),dan Borden,dkk (2007) Berdasarkan uraian, terkait ancaman bencana dan kerentanan lingkungan permukiman, upaya-upaya untuk mengurangi risiko bencana menjadi penting untuk segera dilakukan khususnya bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kota yang rawan bencana. Hal ini setidaknya didasarkan pada 2 karakteristik masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kota yang rawan bencana tinggi. Pertama, terbatasnya kapasitas untuk pulih dari dampak negatif bencana, misalnya kemampuan untuk secara mandiri melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi rumah dan lingkungan pascabencana. Hal ini menyebabkan “biaya” yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pemulihan menjadi beban tambahan bagi mereka disamping beban untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Kedua, masyarakat seringkali memiliki akses yang tidak setara terhadap sumberdaya kota (Oxfam,2012), dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di bagian lingkungan permukiman kota dengan tingkat kerawanan bencana rendah, sehingga setiap muncul ancaman bencana, mereka berpotensi selalu terkena dampak negatif bencana. Contoh akses terhadap sumberdaya kota misalnya lahan yang aman dari ancaman bencana. Berdasarkan dua karakteristik tersebut, kerugian akibat bencana seringkali dirasakan paling parah oleh masyarakat yang
tinggal di lingkungan permukiman kota yang rawan bencana. Pentingnya upaya pengurangan risiko bencana untuk mengurangi tingkat kerugian akibat bencana juga ditekankan oleh Amman (2006), bahwa selain perlindungan jiwa, upaya pengurangan risiko bencana juga diarahkan untuk mengurangi kerugian pada aset-aset ekonomi. Berikut merupakan kutipan pernyataan Amman (2006:4):
“The protection of life has to be given top priority but also economic damage has to be reduced. The reduction of the disaster risk is of vital importance especially for developing countries.”
Upaya-upaya untuk mengurangi risiko bencana, semestinya didasari oleh konsep dasar risiko bencana sebagai berikut:
Sumber: USAID, 2007:13
Konsep tersebut diartikan bahwa tinggi-rendahnya risiko bencana dipengaruhi tingkat keseringan dan besarnya bahaya (hazard) yang dihadapi, dan tinggi rendahnya kerentanan (vulnerability) dari suatu kelompok masyarakat. Dalam hal ini, bahaya bersifat alamiah sehingga tidak banyak dapat dilakukan rekayasa dalam komponen ini untuk mengurangi tingkat risiko bencana. Sedangkan komponen kerentanan terbentuk oleh kondisi karakterisktik masyarakat dan keterbatasannya untuk mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menangani dampak bahaya/bencana alam tertentu. Maka pada komponen kerentanan inilah rekayasa dapat banyak dilakukan, untuk meminimasi tingkat risiko bencana.
Rekayasa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan meredam, mencapai kesiapan dan menangani dampak bencana adalah adaptasi. Secara ringkas, adaptasi yang dimaksud adalah penyesuaian sistem untuk mengendalikan atau menurunkan potensi kerugian yang meliputi proses memahami, antisipasi, modifikasi, melakukan persiapan, dan perencanaan (Hufschmidt,2011). Pada praktinya, adaptasi diwujudkan dengan strategi adaptasi.
Terdapat 3 macam strategi adaptasi yakni dengan cara merubah perilaku diri, merubah fisik lingkungan, dan keluar dari lingkugan (Haryadi & Setiawan,2010; Berry,1980). Berbagai strategi adaptasi tersebut terdiri dari berbagai kegiatan
RISK = Hazard(Frequency and severity) X
yang dilakukan masyarakat untuk menghadapi ancaman bencana yang dapat dilakukan sebelum, saat terjadi bencana, sesudah terjadi bencana.
Bencana banjir lahar dingin 2010 di Sungai Code Kota Yogyakarta menimbulkan berbagai kerusakan di lingkungan permukiman. Lingkungan permukiman yang mengalami dampak terparah dari banjir lahar dingin tersebut adalah Kampung Jogoyudan, Kecamatan Jetis (Rencana Kontinjensi Kota Yogyakarta,2011; Observasi,2013). Berkenaan dengan hal ini, masyarakat Kampung Jogoyudan melakukan berbagai kegiatan untuk menanggulangi bencana baik sebelum, saat terjadi bencana, dan sesudah terjadi bencana. Dari berbagai kegiatan itu, tidak semua kegiatan tersebut dapat dijelaskan oleh teori strategi adaptasi yang dikemukakan oleh Berry (1980). Kegiatan tersebut adalah bekerjasama untuk mengurangi tekanan lingkungan akibat bencana, yakni suatu keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kenyamanan diri seseorang sebagai akibat terjadinya bencana (Baum dalam Bungsu,2008; Heimstra dan Farling,1974).
Pada saat bencana dan sesudah bencana, masyarakat Kampung Jogoyudan memanfaatkan kerjasama sebagai cara untuk menanggulangi bencana. Hal ini dikuatkan dengan hasil wawancara mendalam bahwa Kampung Jogoyudan adalah satu-satunya kampung yang menjalin kerjasama dengan pihak luar untuk menangani dampak bencana.
“Jogoyudan satu-satunya kampung (di bantaran Sungai Code) yang ada kerjasama dengan LSM untuk rekonstruksi” Bp.Hatta (32 tahun, warga RW 10, fasilitator LSM HABITAT, wawancara tanggal 10 mei 2013)
Oleh karena adanya perbedaan antara fenomena dan teori, penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki teori strategi adaptasi yang dikemukakan oleh Berry (1980) diatas. Selain itu, hal lain yang mendasari pemilihan fokus ini adalah berkenaan dengan keperluan untuk mereplikasi strategi adaptasi tersebut di permukiman yang memiliki karakteristik ancaman bencana yang sama, seperti permukiman di sepanjang bantaran Sungai Code.
1.2. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana strategi adaptasi masyarakat pada kasus bencana banjir lahar dingin di Kampung Jogoyudan?
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilihan strategi adaptasi tersebut?
1.3. Tujuan penelitian
a. Mendeskripsikan strategi adaptasi masyarakat pada kasus bencana banjir lahar dingin di Kampung Jogoyudan.
b. Menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi adaptasi tersebut diatas.
1.4. Manfaat penelitian
a. Memberikan solusi alternatif dalam pemilihan strategi adaptasi terhadap ancaman bencana banjir lahar dingin.
b. Hasil-hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan kebijakan pemerintah dan bahan masukan pelaksanaan program-program pengurangan risiko bencana, khususnya peningkatan kemampuan adaptasi dalam menghadapi bencana banjir lahar dingin
1.5. Batasan penelitian
Batasan penelitian ini mencakup fokus dan lokasi penelitian, sebagai berikut: a. Fokus
Fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana banjir lahar dingin dan menemukan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
b. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Kampung Jogoyudan, Kelurahan Gowongan, Kota Yogyakarta. Adapun yang dimaksud kampung disini adalah bagian kampung yang terkena dampak banjir lahar dingin saja. Secara detail
bagian kampung tersebut diuraikan di bab IV tentang deskripsi lokasi penelitian.
1.6. Keaslian penelitian
Ada cukup banyak penelitian terkait strategi adaptasi masyarakat terhadap bencana banjir di lingkungan permukiman di bantaran Sungai Code. Beberapa penelitian tersebut diantaranya oleh Heryanti (2012), Rahmawati (2011), Afrizal (2010), dan Wahida (2009). Untuk menghasilkan temuan-temuan baru, penelitian ini menekankan pada perbedaan fokus penelitiannya.
Fokus utama penelitian ini adalah mendeskripsikan strategi adaptasi masyarakat terhadap bencana banjir lahar dingin dan menemukan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Fokus penelitian ini, ditujukan untuk memodifikasi atau memperbaiki teori adaptasi individu atau kelompok masyarakat terhadap lingkungan yang dikemukakan oleh Berry (1980). Hasil-hasil temuan berupa strategi adaptasi dapat direplikasikan di tempat lain, khususnya untuk lingkungan permukiman di sepanjang bantaran Sungai Code yang memiliki karakteristik ancaman bencana yang sama dengan lokasi amatan. Menurut BPPTKG DIY (2012), lingkungan permukiman di sepanjang bantaran Sungai Code memiliki risiko bencana banjir lahar dingin yang besar dan periode ulang banjir (5 tahunan) seiring siklus erupsi gunung Merapi, sehingga replikasi strategi adaptasi banjir lahar dingin menjadi penting. Intisari dari penelitian-penelitian terdahulu, diuraikan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2. Keaslian penelitian
No. Peneliti Judul Tahun Fokus Pembahasan Pendekatan atau
Metode Analisis Lokus 1. Heryanti,Dyah
Noor (Tesis)
Persepi Risiko Bencana Banjir dan mekanisme penanganannya di Sungai Code dengan Pendekatan Berbasis Komunitas (Community Based Approach to Assess Flood Risk Perception and Coping Mechanism Along Code River, Yogyakarta Municipality)
2012
Menilai Persepsi Risiko Masyarakat terhadap Banjir dan Banjir lahar
dingin dan mekanisme
Penanganannya. Menggunakan analisis kuantititatif-kualitatif. Serta deskriptif 1. RW 2, Kelurahan Tegalpanggung 2. RW 1 dan 5, Kelurahan Prawirodirjan 3. RW 1, Kelurahan Suryatmajan 4. RW 5, Kelurahan Terban 5. RW 10, Kelurahan Gowongan 2. Rahmawati, Wuri (Tesis)
Peran Media Komunikasi Dalam Masa Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin Di Sepanjang Sungai Code Kota
Yogyakarta 2011
Menganalisis peran
1. pihak-pihak yang terlibat dalam tangap bencana banjir lahar dingin, dan
2. peran media komunikasi dalam masa tanggap bencana banjir lahar dingin, dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi banjir lahar dingin
induktif kualitatif secara ekploratif
1. Kampung Gemblakan Bawah, Gemblakan Atas dan Ledok Macanan (Suryatmajan) 2. Kampung Ledok Tukangan (Danurejan). 3. Kampung Karanganyar, Lowanu (Brontokusuman) 4. Kampung Lowanu (Sorosutan) 3. Afrizal, Zahmi
(Tesis) Arahan Kawasan PenataanBantaran Sungai yang Antisipatif
terhadap Bencana Banjir 2010
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penataan kawasan bantaran sungai dalam pemanfaatan ruang dan kesiapan menghadapi bencana banjir, dan
deduktif kualitatif dengan pendekatan rasionalistik Kawasan Cokrodirjan, Kelurahan Suryatmajan, Kecamatan Danurejan bersambung….
Sumber: Analisis, 2013
No. Peneliti Judul Tahun Fokus Pembahasan Pendekatan atau
Metode Analisis Lokus merumuskan arahan penataan dan
model kawasan bantaran sungai yang antisipatif terhadap bencanan banjir, berkaitan dengan pola permukiman, ruang hijau, sempadan sungai, dan keamanan terhadap bahaya banjir 2. elemen-elemen kawasan yang
memberikan dampak dan kontribusi dalam kawasan rawan bencana banjir
4. Wahida(Tesis)
Mitigasi Bencana Banjir di Bantaran Sungai Code Kota Yogyakarta
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2009
1. Mengidentifikasi pengaruh kepadatan penduduk dan kepadatan permukiman di bantaran Sungai Code, perilaku dan persepsi masyarakat terhadap penyebab terjadinya banjir, dan 2. Mengindentifikasi jenis partsipasi
yang dilakukan masyarakat pada mitigasi bencana banjir dibantaran Sungai Code sebagai upaya mengurangi risiko bencana
Menggunakan metode survei dengan teknik sampling probability (stratified). Analisis data menggunakan tabel frekwensi dan stattistik lanjutan tabel 2