• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory)."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Efikasi Diri

a. Definisi

Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory). Efikasi diri mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai hasil yang ditetapkan (Bandura, 1997). Bandura (1997) menjelaskan ketika dalam realita sosial banyak sekali tantangan, kesengsaraan, dan kemunduran yang harus dihadapi maka rasa optimislah yang dapat membawa individu mencapai keberhasilan dan kesejahteraan. Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan menghindari semua tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah muncul. Individu tersebut menganggap kegagalan sebagai kurangnya kemampuan yang ada. Kaitannya dengan keyakinan akan kemampuan ini, orang yang memiliki efikasi diri yang tinggi berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan dan hambatan, sebaliknya orang yang memiliki efikasi diri yang rendah akan mengurangi usahanya untuk bekerja dalam situasi yang sulit.

(2)

b. Dimensi Efikasi diri

Bandura (1997) mengemukakan bahwa efikasi diri individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu :

1) Tingkat (Magnitude)

Efikasi diri individu dalam mengerjakan suatu tugas pasti berbeda dalam setiap tingkatan kesulitan tugas. Individu memiliki efikasi diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. 2) Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki efikasi diri pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

3) Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Efikasi diri menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan

(3)

memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Efikasi diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

c. Sumber-Sumber Efikasi diri

Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri individu didasarkan pada empat hal, yaitu:

1) Pengalaman akan kesuksesan

Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap efikasi diri individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan efikasi diri individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya efikasi diri, khususnya jika kegagalan terjadi ketika efikasi diri individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan efikasi diri individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.

2) Pengalaman individu lain

Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber efikasi dirinya. Efikasi diri juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan efikasi diri individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan

(4)

jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan efikasi diri individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.

3) Persuasi verbal

Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan.

4) Keadaan fisiologis

Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya. Berdasarkan penjelasan di atas, efikasi diri

(5)

bersumber pada pengalaman akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis individu.

d. Proses efikasi diri

Bandura (1997) menguraikan proses psikologi efikasi diri dalam memengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara di bawah ini :

1) Proses kognitif

Dalam melakukan tugas, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu tersebut dapat merumuskan tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang memengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi.

(6)

2) Proses motivasi

Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai pengharapan.

Efikasi diri memengaruhi atribusi penyebab, di mana individu yang memiliki efikasi diri akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu dengan efikasi diri yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan. Teori nilai pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung keyakinan tentang sejauh mana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu

(7)

perilaku dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome expectation.

3) Proses afektif

Proses afektif terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afektif ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. Proses afektif berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri-sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya memengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut.

4) Proses seleksi

Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Efikasi diri dapat membentuk hidup individu melalui

(8)

pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan.

e. Dinamika Efikasi diri

Dinamika efikasi dirimerupakan interaksi dinamis antara tiga faktor yaitu: pernyataan perilaku (represent behavior), proses internal dalam pribadi berbentuk proses kognitif, afektif, dan peristiwa-peristiwa biologis, lingkungan eksternal (Bandura, 1997).

Dinamika perkembangan efikasi diri berlangsung melalui dua fase yaitu fase motivasi dan fase volitional. Pada fase motivasi, seseorang mengembangkan intensi atau tujuan untuk bertindak. Fase ini diinspirasi oleh tiga jenis kognisi, yaitu persepsi terhadap risiko, pengharapan hasil dan persepsi terhadap kemampuan diri-sendiri. Pada fase volitional, individu merencanakan tindakan-tindakan secara rinci, mencoba bertindak menghabiskan banyak waktu untuk berusaha, bertahan (persist), siap menghadapi kemungkinan terjadinya. Dengan demikian fase motivasi mengarahkan perilaku intensional dan fase

volition mengarahkan perilaku aktual. Perilaku dalam pandangan teori

kognitif sosial merupakan hasil pembelajaran yang diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan. Perilaku tersebut terus berkembang dan bertahan karena adanya penguatan berupa reward dan

(9)

f. Efikasi Diri pada Pasien PPOK

Efikasi diri berperan sebagai mediator antara kualitas hidup, gejala penyakit dan psikologis pasien secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Bentsen et al., (2010) menyatakan bahwa pasien dengan efikasi diri yang baik akan menunjukkan kualitas hidup yang baik pula dalam pengelolaan penyakitnya. Pasien akan lebih percaya diri terhadap kemampuannya dalam perawatan diri dan percaya bahwa dirinya salah satu faktor terpenting yang berperan dalam mengontrol dan mencegah gejala penyakit yang timbul (Abedi, 2013). Makin tinggi efikasi diri pasien maka semakin rendah tingkat depresi, kecemasan dan derajat sesak napas pasien, sebaliknya kemampuan perawatan diri pasien, kualitas hidup dan toleransi pasien terhadap aktivitas akan semakin meningkat (Garrod, 2008).

Pengukuran efikasi diri digunakan untuk menilai seberapa besar keyakinan individu melakukan suatu kegiatan tertentu sebagai usaha untuk mencapai tujuan (Garrod, 2008). Efikasi diri pasien PPOK diukur menggunakan kuesioner COPD Self-Efficacy Scale (CSES). Kuesioner ini menilai tingkat keyakinan akan kemampuan penderita PPOK dalam mengelola kesulitan saat bernapas dalam beberapa situasi. Kuesioner ini pertama kali diperkenalkan oleh Wigal et al. pada tahun 1991 dan kemudian pada tahun 2010 direvisi oleh Bentsen et al. sehingga memiliki validitas dan reabilitas yang lebih baik (Abedi et al., 2013). CSES menyediakan item dengan kompleksitas yang memadai dalam

(10)

kaitannya dengan situasi khusus pengelolaan PPOK. Instrumen ini berisi 33 item yang terbagi menjadi 5 domain, yakni dampak negatif, kondisi emosional, kondisi fisik, cuaca dan lingkungan serta faktor risiko perilaku. Di mana beberapa subdomain seperti kondisi fisik, dampak negatif dan kondisi emosional memiliki peranan yang penting terhadap indikator kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien. Sehingga usaha intervensi untuk meningkatkan efikasi diri diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien dengan derajat PPOK yang sedang maupun berat (Bradford, 2014).

2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) a. Definisi

PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran utamanya. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Price & Wilson, 2005).

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang

(11)

ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar (Price & Wilson, 2005).

b. Permasalahan di Indonesia

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis dan emfisema menduduki peringkat keenam dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) pada tahun 2013, prevalensi tertinggi PPOK di Indonesia terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Sedangkan prevalensi kasus PPOK di Provinsi Jawa Tengah sebesar 3,4% di mana kasus tertinggi terdapat di Kota Salatiga sebesar 0,66%.

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut:

1) Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%)

2) Pertambahan penduduk

3) Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an

4) Industrialisasi

5) Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008).

(12)

c. Faktor Risiko

Menurut American Thoracic Society (2005), faktor risiko untuk terjadinya PPOK dibagi menjadi dua golongan :

1) Faktor pejamu a) Genetik

Faktor genetik yang bisa meningkatkan atau menurunkan risiko PPOK baru sedikit yang bisa diketahui. Salah satunya adalah

defisiensi α1-antitriptilin yang merupakan serum protease inhibitor.

b) Jenis kelamin

PPOK lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita. c) Hiperresponsif dari jalan napas

2) Faktor Paparan

a) Merokok

b) Status sosioekonomi c) Polusi lingkungan

d) Riwayat perinatal dan penyakit saraf anak-anak e) Infeksi bronkopulmoner berulang

d. Patofisiologi dan Patogenesis PPOK

Patofisiologi PPOK melibatkan beberapa sel inflamasi, mediator inflamasi dan stres oksidatif seperti halnya perubahan pada sistem kardiovaskular sebagai akibat dari pajanan asap rokok. Perubahan ini akan semakin berkembang dan terjadilah keterbatasan aliran udara yang progresif. Sel inflamasi dan mediator inflamasi menginduksi metaplasia

(13)

sel goblet, hipersekresi mukus, hipertrofi otot polos jalan napas dan hilangnya fungsi mukosiliar. Hipersekresi mukus dan kehilangan fungsi siliar adalah keadaan yang mempermudah terjadinya infeksi oleh virus maupun bakteri yang dapat mengubah kondisi jalan napas. Infiltrasi sel yang melepaskan enzim proteolitik dan mengakibatkan kerusakan menetap. Pada saat yang sama, reactive oxygen species (ROS) dihasilkan dalam kompartemen paru sebagai hasil dari inhalasi asap rokok atau peningkatan produksi oleh aktivasi sel inflamasi dan aktivasi siklus xantin oksidase. Oksidan-oksidan ini akan menghambat α1-antitripsin yang merupakan salah satu penghambat enzim elastase yang berperan dalam kerusakan parenkim dan kehilangan elastisitas rekoil. Penelitian terbaru pada hewan yang mengalami emfisema adalah bahwa kerusakan parenkim juga disebabkan oleh proses apoptosis endotel vaskular dan sel alveoli yang mendukung bahwa kejadian emfisema disebabkan oleh gangguan vaskular. Inflamasi dan stres oksidatif merupakan peran utama pada patofisiologi perubahan kompartemen paru pada penderita PPOK (Supriyadi, 2013).

Pada bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi juga oleh metaplasia sel goblet, saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus dengan infiltrasi sel radang. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida,

(14)

juga berperan. Berbagai iritan ini memicu hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya memengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Polusi udara yang terus-menerus yang merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat, sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri lemah. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan neutrofil (Price & Wilson, 2005). Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru. Pada emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan protease-antiprotease dan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat dalam menyebabkan kerusakan jaringan. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan disertai kerusakan dinding alveoli (Price & Wilson, 2005).

(15)

Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Secara anatomi dapat dibedakan tiga jenis emfisema:

1) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok yang lama.

2) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.

3) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveolar. Prosesnya terlokalisir di septa atau dekat pleura (Price & Wilson, 2005).

e. Klasifikasi PPOK

Menurut Global Initiative Obstructive Lung Disease (2006), PPOK diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Klasifikasi tingkat keparahan berdasarkan spirometri

Berdasarkan pengukuran fungsi paru dengan menggunakan spirometri, PPOK diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan Berdasarkan Spirometri

Tahap Keterangan

Tahap I : Mild FEV1/FVC < 0,70

FEV1 ≥ 80 % predicted

Tahap II : Moderate FEV1/FVC < 0,70

(16)

Tahap III : Severe FEV1/FVC < 0,70

30% ≤ FEV1 < 50% predicted

Tahap IV : Very Severe FEV1/FVC < 0,70

FEV1 < 30% predicted or FE1 < 50%

predictedplus chronic respiratory failure

Keterangan : FEV1 : Forced Expiratory Volume dalam 1 detik

FVC : Forced Vital Capacity

Sumber: Global Initiative Obstructive Lung Disease (2006)

2) Tahapan Penyakit PPOK

Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Tahapan Penyakit

Tahap Keterangan

Tahap I : Mild a) Keterbatasan aliran udara ringan FEV1/FVC < 0,70 FEV1 ≥ 80 %

b) Gejala batuk kronik c) Sputum produktif

d) Penderita tidak menyadari adanya penurunan fungsi paru

Tahap II : Moderate a) Keterbatasan aliran udara buruk FEV1/FVC < 0,70 ; 50% ≤ FEV1 < 80% b) Batuk kronik

(17)

d) Sesak nafas saat aktifitas

e) Penderita mulai mencari pelayanan kesehatan karena keluhannya

Tahap III : Severe a) Keterbatasan aliran udara buruk FEV1/FVC < 0,70 ; 30% ≤ FEV1 < 50% b) Batuk kronik

c) Sputum produktif d) Sesak nafas sangat berat

e) Mengurangi aktifitas, kelelahan f) Eksaserbasi berulang

g) Mengurangi kualitas hidup

Tahap IV: Very Severe a) Keterbatasan aliran udara sangat buruk FEV1/FVC < 0,70 ; 30% ≤ FEV1 < 50% b) Gagal nafas (Pa O2 : 60 mmHg, dengan

atau tanpa Pa CO2 : 50 mmHg c) Batuk kronik

d) Sputum produktif e) Sesak nafas sangat berat f) Eksaserbasi berulang g) Mengurangi kualitas hidup h) Terjadi komplikasi gagal jantung i) Mengancam jiwa

(18)

f. Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.

1) Gambaran Klinis

a) Anamnesis

(1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

(2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja (3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

(4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.

(5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak (6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b) Pemeriksaan fisik

(1) Inspeksi

(a)Pursed – lips breathing (mulut setengah terkatup

mencucu)

(b)Barrel chest (diameter antero – posterior dan transversal

sebanding)

(c)Penggunaan otot bantu napas (2) Palpasi

(19)

(3) Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

(4) Auskultasi

(a) Suara napas vesikuler normal, atau melemah

(b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

(c) Ekspirasi memanjang

(d) Bunyi jantung terdengar jauh c) Pemeriksaan Penunjang (1) Pemeriksaan rutin (a) Spirometri (b) Uji bronkodilator (c) Darah rutin (d) Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.

(2) Pemeriksaaan khusus (tidak rutin) (a) Faal paru

(b) Uji latih kardiopulmoner (c) Uji provokasi bronkus

(20)

(d) Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednisolon atau metilprednisolon) sebanyak 0–50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pasca bronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. (e)Analisis gas darah

Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal napas kronik

(f) Radiologi

(g) Elekrokardiografi

Membantu penegakan diagnosis hipertrofi ventrikel kanan, aritmia, dan iskemia.

(h) Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi sputum, pewarnaan Gram dan kultur resistensi kuman terhadap antibiotik diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

(21)

commit to user (i) Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitrypsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia (PDPI, 2004).

g. Penatalaksanaan PPOK

Tujuan penatalaksanaan PPOK: 1) Mengurangi gejala

2) Mencegah eksaserbasi berulang

3) Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru 4) Meningkatkan kualitas hidup penderita (PDPI, 2004)

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: 1) Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di Unit Gawat Darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik

(22)

peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan penderita PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup penderita PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah : a) Berhenti merokok

b) Pengetahuan dasar PPOK c) Obat-obatan

d) Pencegahan perburukan penyakit e) Menghindari pencetus

f) Penyesuaian aktivitas 2) Farmakologi

a) Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).

(23)

Macam - macam bronkodilator : (1) Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, di samping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

(2) Golongan agonis β-2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat digunakan sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tetapi tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip digunakan untuk mengatasi eksaserbasi berat.

(3) Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Di samping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

(4) Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak

(24)

(pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

b) Anti inflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, yang berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi. Anti infamasi yang digunakan berupa golongan metilprednisolon atau prednison.

Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif, yaitu terdapat perbaikan VEP1 pasca bronkodilator meningkat >20% dan minimal 250 mg.

c) Antibiotik

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

(1) Lini I : amoksisilin makrolid

(2)Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin

kuinolon makrolid baru

d) Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada

(25)

PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

e) Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang berulang dan tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin (PDPI, 2004).

f) Non Farmakologi (1) Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.

Manfaat oksigen: (a) Mengurangi sesak (b) Memperbaiki aktivitas

(c) Mengurangi hipertensi pulmonal (d) Mengurangi vasokonstriksi (e) Mengurangi hematokrit

(f) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri (g) Meningkatkan kualitas hidup

(26)

Indikasi:

(a) PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi O2 < 90%

(b) PaO2 di antara 55-59 mmHg atau Saturasi O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pulmonal, Hematokrit >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.

(2) Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada penderita PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

(a) Ventilasi mekanik dengan intubasi, digunakan pada pasien PPOK yang mengalami gagal napas pertama kali, perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab jelas dan dapat diperbaiki serta pada pasien yang aktivitas ebelumnya tidak terbatas.

(b) Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada pasien PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.

(27)

(3) Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnea menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan : (a) Penurunan berat badan

(b) Kadar albumin darah (c) Antropometri

(d) Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

(e) Hasil metabolisme (hiperkapnea dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresif tidak akan mengatasi masalah, karena akibat dari gangguan ventilasi pada PPOK, CO2 hasil dari metabolisme karbohidrat tidak dapat dikeluarkan. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus-menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak

(28)

rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit

oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia

dan hiperkapnea. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas, kelebihan pasokan protein dapat menyebabkan timbulnya kelelahan.

(4) Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah penderita yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:

(a) Simptom pernapasan berat

(b) Beberapa kali masuk ruang gawat darurat (c) Kualitas hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan (PDPI,2014).

(29)

h. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 1) Gagal napas kronik

Hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :

a) Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2 b) Bronkodilator adekuat

c) Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur d) Antioksidan

e) Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing 2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :

a) Sesak napas dengan atau tanpa sianosis b) Sputum bertambah dan purulen

c) Demam

d) Kesadaran menurun 3) Infeksi berulang

Pada penderita PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbetuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

4) Kor pulmonal

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematrokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2004).

(30)

3. Kualitas Hidup a. Definisi

Ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, kualitas hidup mempunyai pengertian dan tujuan yang berbeda. Dari segi filsafat, penilaian kualitas hidup dilakukan melalui kesadaran manusia terhadap makna dan tujuan hidupnya. Dari segi psikologi, kualitas hidup tercermin dari tingkat kepuasan hidupnya (Pradono, 2009). Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antarkeluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Silitonga, 2007). Menurut Donald dalam Silitonga (2007), kualitas hidup berbeda dengan status fungsional, kualitas hidup mencakup evaluasi subyektif tentang dampak dari penyakit dan pengobatannya dalam hubungannya dengan tujuan, nilai dan pengharapan seseorang, sedangkan status fungsional memberikan suatu penilaian obyektif dari kemampuan fisik dan emosional penderita.

Dalam definisi WHO, sehat bukan hanya terbebas dari penyakit, akan tetapi juga berarti sehat secara fisik, mental, maupun sosial. Seseorang yang sehat akan mempunyai kualitas hidup yang baik, begitu pula kualitas hidup yang baik tentu saja akan menunjang kesehatan (Harmaini, 2006).

(31)

Menurut de Haan et al. dalam Yani (2010), kualitas hidup terkait kesehatan harus mencakup beberapa dimensi sebagai berikut:

1) Dimensi fisik

Dimensi merujuk pada gejala-gejala yang terkait penyakit dan pengobatan yang dijalani.

2) Dimensi fungsional

Dimensi ini terdiri dari perawatan diri, mobilitas, serta level aktivitas fisik seperti kapasitas untuk dapat berperan dalam kehidupan keluarga maupun pekerjaan.

3) Dimensi psikologis

Meliputi fungsi kognitif, status emosi, serta persepsi terhadap kesehatan, kepuasan hidup, serta kebahagiaan.

4) Dimensi sosial

Meliputi penilaian aspek kontak dan interaksi sosial secara kualitatif maupun kuantitatif.

b. Ruang Lingkup Kualitas Hidup

Secara umum terdapat 5 bidang (domain) yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan.

(32)

Secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut:

1) Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.

2) Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

3) Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari-hari, komunikasi, kemampuan kerja.

4) Hubungan sosial (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial.

5) Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja (Silitonga, 2007).

c. Kualitas Hidup Penderita PPOK

Kualitas hidup adalah keadaan individu dalam lingkup kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut (Khotimah, 2013).

Menurut sistem International Classification of Impairment Disability

and Handicap (ICIDH)-WHO, penyakit paru diklasifikasikan menjadi tiga

tingkat yaitu impairment, disability dan handicap. Impairment merupakan keadaan patologis dan dapat ditentukan dengan pengukuran laboratorium. Pada penyakit saluran napas impairment menunjukkan penurunan Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) dan udara yang terperangkap pada

(33)

uji faal paru atau penurunan kekuatan otot quadriceps pada uji fungsi otot.

Disability terjadi disaat penderita mengalami sesak napas, kapasitas fisik

menurun sehingga terjadi penurunan kemampuan berjalan, naik tangga dan melakukan aktivitas harian. Handicap, penderita mengalami gangguan tidur, berkurang rasa percaya diri dan terjadi gangguan aktivitas sosial.

Handicap adalah suatu keadaan akibat impairment dan disability sehingga

penderita tidak mampu berperan dalam masyarakat seperti yang diharapkan. Penderita akan jatuh ke dalam keadaan yang kurang menguntungkan karena berkurangnya aktivitas yang dapat memengaruhi sistem muskuloskeletal, respirasi, kardiovaskuler dan lainnya (Ikalius, 2007).

Kualitas hidup penderita PPOK amat penting dinilai karena berhubungan langsung dengan gejala yang dialami. Pada penderita PPOK terjadi peningkatan beban kerja pernapasan yang menimbulkan sesak napas sehingga penderita mengalami penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari dan selanjutnya terjadi penurunan kualitas hidup (Khotimah, 2013).

Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnea, inflamasi dan malnutrisi kronik. Hal inilah yang membuat kondisi penderita PPOK semakin memburuk dan membuat penderita mengalami

(34)

gangguan dalam beraktivitas sehari-hari dan aktivitas sosial (Ikalius, 2007).

Penderita PPOK karena penyakitnya progresif sering mengalami gangguan psikis dan sosial. Gangguan tersebut berupa depresi, cemas, gelisah, marah, terancam kematian, kelelahan dan lain-lain. Prevalensi depresi penderita PPOK diperkirakan 42%. Gejala lain depresi seperti rasa sedih, tidak ada motivasi, perasaan lelah atau tidak bertenaga, keinginan bunuh diri dan kemunduran psikomotor sering terjadi pada penderita PPOK. Dalam hal ini tekanan psikologis pada penderita PPOK memberikan kontribusi yang besar pada kualitas hidup penderita PPOK (Ikalius, 2007).

d. Faktor yang Memengaruhi Kualitas Hidup Penderita PPOK

1) Usia

Insidensi PPOK terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pasien PPOK dengan usia yang semakin bertambah menunjukkan kualitas hidup yang semakin buruk, hal ini disebabkan penurunan fungsi paru secara fisiologis yang berkaitan dengan proses penuaan (Smeltzer & Bare, 2008).

2) Jenis Kelamin

Kualitas Hidup penderita PPOK laki-laki cenderung lebih buruk daripada perempuan dalam hal mengelola dampak dari PPOK. Selain itu terdapat perbedaan fenotipe dalam merespon asap rokok pada

(35)

laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki-laki-laki lebih rentan terhadap fenotipe empisemateus dan perempuan terhadap fenotipe airway (Rini, 2011). 3) Status merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko dari PPOK. Dengan mengonsumsi rokok atau terpapar asap rokok dapat memperberat gejala yang dialami. Dengan berhenti merokok dapat memperbaiki ventilasi pernapasan, mengurangi gejala dan meningkatkan status kesehatan (Price & Wilson, 2005).

4) Pekerjaan

Orang yang sudah pensiun atau tidak bekerja cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih rendah, karena pensiunan mempunyai hari yang secara fisik tidak sehat lebih banyak daripada yang bekerja. Akan tetapi terdapat beberapa jenis pekerjaan yang justru menurunkan kualitas hidup penderita karena pekerjaan tersebut memperberat kondisi penderita (Rini, 2011).

5) Lama menderita PPOK

Menurut Tanaflos dalam Rini (2011) durasi lama menderita PPOK dan berat kondisi penyakit akan berpengaruh pada buruknya kualitas hidup penderita.

6) Derajat sesak napas

Sesak napas merupakan masalah utama pada PPOK dan sebagai alasan penderita mencari pengobatan. Sesak napas bersifat persisten

(36)

untuk melakukan aktivitas. Gejala sesak napas harus dievaluasi secara rutin pada setiap penderita PPOK. Gangguan ini secara progresif memperburuk fungsi paru dan keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi. Perburukan penyakit menyebabkan menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai penurunan kualitas hidup (Anwar, 2012).

e. Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup Penderita PPOK

Seiring dengan peningkatan komplikasi pada penderita PPOK, penderita memerlukan upaya khusus untuk memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dengan melakukan pengobatan dan perawatan penyakit. Bahkan penderita PPOK seharusnya didorong untuk mampu melakukan manajemen diri yang efektif (Rini, 2011). Karena walaupun telah diberikan pengobatan medis yang optimal, pada penderita PPOK tetap dapat terjadi penurunan kualitas hidup (Bentsen et al., 2010).

Terdapat berbagai faktor yang berhubungan terhadap kualitas hidup penderita PPOK yakni status merokok, usia, jenis kelamin, lama menderita PPOK, pekerjaan, dan derajat sesak napas (Rini, 2011; Okutan et al., 2012). Akan tetapi persepsi penderita dan keyakinan terhadap kemampuan berperilaku kesehatan juga menentukan sebagian besar kualitas hidup secara keseluruhan (Gupta & Kant, 2008).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bentsen (2010), penderita PPOK dengan efikasi diri yang baik lebih percaya diri untuk melakukan

(37)

aktivitas fisik dan psikososialnya daripada pada penderita dengan efikasi diri yang rendah.

Perkembangan efikasi diri pada penderita PPOK berlangsung melalui dua fase yaitu fase motivasi dan fase volitional. Fase motivasi mengarahkan perilaku intensional dari pasien PPOK, sedangkan fase

volitional mengarahkan perilaku aktual. Di mana pada kedua fase ini

penderita memiliki pandangan terhadap segala risiko dari penyakit, harapan mengenai hasil dari terapi dan keyakinan terhadap kemampuan diri-sendiri untuk melakukan manajemen perawatan diri serta usaha untuk bertahan (Bandura, 1997). Berdasarkan hal tersebut, Bentsen (2010) memperkirakan jika efikasi diri merupakan faktor penentu yang secara konsisten memengaruhi kualitas hidup.

(38)

B. Kerangka Pemikiran

Kualitas Hidup

Faktor risiko PPOK: 1. Faktor pejamu 2. Faktor paparan

a. Keterbatasan aliran udara progresif b. Hipertrofi otot polos

c. Hipersekresi mukus

Gejala dan tanda: a) Dispnea b) Batuk kronik

c) Pursed lips breathing d) Barrel chest

e) Sputum berlebihan

f) Wheezing

PPOK

Komplikasi

1) Gagal napas kronik 2) Gagal napas akut 3) Infeksi berulang 4) Kor pulmonal Penatalaksanaan (a) Edukasi (b) Obat-obatan (c) Non Farmakologi Faktor Perancu: (1)Usia (2)Jenis Kelamin (3)Status Merokok (4)Pekerjaan

(5)Lama Menderita PPOK (6)Derajat sesak napas

Efikasi Diri

Sumber efikasi diri 1. Pengalaman akan

kesuksesan

2. Pengalaman orang lain 3. Persuasi verbal 4. Keadaan fisiologis

Dimensi efikasi diri 1. Magnitude

2. Generality

3. Strength

Proses pembentukan efikasi diri 1. Proses kognitif

2. Proses motivasi 3. Proses afektif 4. Proses seleksi Fase Motivasi

i. persepsi terhadap risiko ii. persepsi pengharapan hasil iii. persepsi kemampuan diri-sendiri

Fase Volitional

i. merencanakan dan mencoba

bertindak

ii. bertahan dan siap hadapi berbagai kemungkinan

Keterangan:

: menyebabkan : memengaruhi

(39)

C. Hipotesis

Ada hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup penderita PPOK.

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan Berdasarkan Spirometri
Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Tahapan Penyakit

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohmatika, dkk (2016) yang dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan pengaruh pemberian

Ketika Philipp, redaktur muda kita yang baru datang dari perjalanan jauh itu, mendengar nama Ayhan, ia merasa yakin bahwa nama itu adalah nama Turki?. Oleh karena itu ia

Berdasarkan hasil yang terukur maka, kemampuan CWDM untuk mengoptimalisasikan band frekuensi tidak mempengaruhi pada turunnya kualitas audio dan video dan masih berada

menunjukkan bahwa agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau

2 Dimensi yang diperoleh setelah direduksi dengan PCA 10 3 Akurasi organisme dikenal menggunakan k=3 pada KNN (dalam %) 11 4 Akurasi organisme dikenal menggunakan k=5 pada KNN

Penelitian ini didukung oleh Prayitno (1995) yang menerangkan bahwa apabila setiap nilai dari ARR, PBP, NPV, IRR, dan PI yang diperoleh sesuai dengan syarat-syarat kelayakan

Manakala, pegawai dan anggota Polis Diraja Malaysia, Angkatan Tentera Malaysia, dan beberapa agensi penguatkuasaan yang lain turut memainkan peranan penting dalam

Matakuliah wajib kelompok Riset dan Publikasi, dan Praktek Pembelajaran Matematika diselenggarakan setiap semester. Mata kuliah Praktek Pembelajaran Matematika dapat