KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteran Sosial Anak di Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta,
dan Provinsi Aceh
Editor
Drs. Edi Suharto, Ph.D.
Penulis
Mulia Astuti dkk.
Editor:
Drs. Edi Suharto, Ph.D.
Penulis:
1. Dra. Mulia Astuti, M.Si. 2. Ir. Ruaida Murni
3. Drs. Ahmad Suhendi, M.Si.
Design Cover :
Kreasi
Tata letak:
Kreasi
Foto Cover:
Peneliti
Cetakan Pertama: Desember 2013
ISBN: 978-979-698-365-0
Penerbit : P3KS Press
Alamat Penerbit : Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta - Timur Telp. (021) 8017126
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PERPUSTAKAAN NASIONAL: KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)
Mulia Astuti, dkk
Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Studi Kasus: Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) di Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta dan Provinsi Aceh; Jakarta 2013.
PENGANTAR PENERBIT
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan nikmat-Nya, buku hasil Studi Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak) dapat diselesaikan.
Dalam buku ini memuat informasi menarik tentang Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, khususnya terkait implementasi Program Kesejahteraan Sosial Anak. Oleh karena itu buku hasil studi ini layak untuk diterbitkan.
Buku hasil studi ini dapat memberikan manfaat bagi unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia, pemerintah daerah setempat dalam upaya pengembangan kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak, serta pembaca pada umumnya yang berkecimpung dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.
Pada siklus perumusan kebijakan sosial, studi ini sesungguhnya dapat menjadi keharusan dalam upaya mengetahui sejauhmana kebijakan sosial yang dibuat telah menjawab kebutuhan dan permasalahan anak yang dihadapi masyrakat.
Kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan studi ini, diucapkan terima kasih. Diharapkan buku hasil studi ini layak untuk dibaca
Jakarta, November 2013
PENGANTAR EDITOR
Puji syukur patut kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmatNya, penulisan buku ini dapat selesai pada waktunya. Buku ini, sesuai dengan judulnya, berisi tentang Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak.
Permasalahan anak menjadi perhatian besar sejak lama. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006), jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 jiwa, dan mengalami peningkatan menjadi 85.146.600 jiwa pada tahun 2008. Sementara itu, Kementerian Sosial melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), sejak tahun 2005 sampai 2013, rata-rata baru bisa menangani 3,7% atau sekitar 170.000 anak/tahun.
Pada tahun 2013, penerima manfaat Program Kesejahteraan Sosial Anak sebesar 175.611 anak. Program ini bertujuan mewujudkan pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud.
Program Kesejahteraan Sosial Anak merupakan bagian dari sistem Kesejahteraan Sosial secara luas. Kesejahteraan sosial sendiri adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya (menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial). Dalam konsep kesejahteraan sosial, harus terdapat aspek pencegahan (primer), penanganan resiko (sekunder), maupun penanganan korban (tersier).
Anak Berhadapan dengan Hukum, Anak dengan Kedisabilitasan, dan Anak Memerlukan Perlindungan Khusus.
Buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini berisikan isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak, Lalu, bagaimana respon Kementerian Sosial dan Kementerian/Lembaga lain terhadap isu-isu tersebut. Dan, apakah Program Kesejahteraan Sosial Anak sudah berjalan efektif. Buku ini juga berupaya menyajikan alternatif kebijakan dan rekomendasi kebijakan prioritas dalam kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak.
Kami berharap, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini bermanfaat bagi Kementerian Sosial dalam menjalankan Program Kesejahteraan Sosial Anak. Lebih luas lagi, semoga buku ini berguna bagi masyarakat umum. Terutama, Kementerian/Lembaga lain, Dinas Sosial, dan semua pihak yang bergerak dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.
Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti, dan semua pihak yang telah membantu. Dengan dukungan berbagai pihak, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini dapat tersusun.
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENERBIT ... iii
PENGANTAR EDITOR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
BAB II : KESEJAHTERAN, PENGASUHAN, DAN PERLINDUNGAN ANAK ... 13
A. Kesejahteraan Anak ... 13
B. Pengasuhan Anak ... 14
C. Perlindungan Anak ... 16
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 24
BAB III : MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN, PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK ... 27
A. Masalah Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 27
B. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 52
BAB IV : EFEKTIVITAS PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK ... 75
A. Dampak PKSA terhadap Penguatan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial Anak ... 76
B. Dampak PKSA terhadap Penguatan Tanggung Jawab Orangtua/ Keluarga dalam Pengasuhan dan Perlindungan Anak ... 84
C. Dampak PKSA terhadap Kesejahteraan Anak ... 87
BAB V : ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 93
A. Alternatif Kebijakan ... 93
BAB VI : REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS ... 97
A. Tujuan Kebijakan ... 97
B. Sasaran ... 97
C. Strategi ... 97
D. Komponen Program ... 98
E. Kelembagaan ... 98
F. Indikator Kebijakan ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 101
INDEK ... 106
BAB I
PENDAHULUAN
Kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia telah diatur oleh berbagai kebijakan dan program, antara lain mulai dari Undang Undang Dasar 1945, dimana anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak telah mengatur tentang hak anak yaitu “anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar”, dan tanggung jawab orangtua yaitu bahwa “orangtua bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak”.
Pada tahun 1990 Indonesia telah meratiikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keppres 36/1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dimana substansi inti dari KHA adalah adanya hak asasi yang dimiliki anak dan ada tanggung jawab Negara-Pemerintah-Masyarakat-dan Orangtua untuk kepentingan terbaik bagi anak agar meningkatnya efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak secara optimal. Kemudian KHA dikuatkan dengan terbitnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Anak, serta kewajiban dan tanggug jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua. Di samping itu juga diatur tentang kuasa asuh, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, serta penyelenggaraan perlindungan.
di tingkat nasional maupun wilayah. Di lingkup Kementerian Sosial (selanjutnya disebut Kemensos) untuk mempercepat penanganan masalah sosial anak, pada tahun 2009 Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak mulai mengembangkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) melalui kegiatan uji coba penanganan anak jalanan di lima wilayah yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta. PKSA dikuatkan melalui kebijakan pemerintah yaitu keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, dimana diperlukan penyempurnaan program bantuan sosial berbasis keluarga khususnya bidang kesejahteraan sosial anak balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan, anak dengan disabilitas, anak yang berhadapan dengan hukum, dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Selanjutnya PKSA dikuatkan lagi dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang menetapkan PKSA sebagai program prioritas nasional yang meliputi PKSA Balita, PKSA Terlantar, PKS-Anak Jalanan, PKS-Anak yang Berhadapan dengan Hukum, PKS-Anak Dengan Kecacatan, dan PKS-Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.
mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orangtua/ keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan.
PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak, termasuk memberikan penekanan pada upaya pencegahan melalui lima komponen program yaitu: 1) pemenuhan kebutuhan dasar, 2) aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, 3) pengembangan potensi dan kreativitas anak, 4) penguatan tanggung jawab orangtua, dan 5) penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. Secara konseptual PKSA lebih komprehensif dan berkelanjutan dibandingkan program pelayanan sosial anak pada tahun-tahun sebelumnya karena sudah berdasarkan pendekatan kepada anak, orangtua atau keluarga (family base care), dan kepada masyarakat yaitu lembaga kesejahteraan sosial yang khusus menangani anak (LKSA).
Sebelumnya, pengasuhan anak dan masalah-masalah perlindungan anak hanya difokuskan pada anak. Keluarga dan masyarakat belum banyak disentuh. Misalnya penanganan anak terlantar, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum lebih banyak diserahkan ke lembaga atau panti sosial dimana di dalam penanganannya orangtua atau keluarga pengganti kurang dilibatkan. Anak lebih banyak dicabut dari lingkungan keluarga. Isu ini dipertegas dengan banyaknya jumlah panti asuhan.
serta memperoleh layanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan) mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan.
Tiga tahun terakhir ini (2010, 2011, dan 2012), jumlah anak yang telah dilayani melalui panti, luar panti, jumlah tenaga, dan jumlah lembaga yang telah diintervensi melalui PKSA adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah anak melalui Panti dan Luar Panti, SDM dan Lembaga yang telah di Intervensi melalui PKSA
No. Jenis Pelayanan 2010 2011 2012
1. Pelayanan dalam panti 2.575 2.470 2.460
2. Pelayanan luar panti 138.641 158.015 170.461
3. Sumber daya manusia (Pekerja Sosial) 350 855 1.111
4 Lembaga kesejahteraan sosial 5.833 5.833 6.728
Sumber: Direktorat Kesejahteraan Anak, 2013.
Dari hasil evaluasi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dalam implementasi PKSA masih terdapat kendala antara lain: 1) PKSA belum memiliki data prevalensi yang baik tentang masalah perlindungan anak dan kebijakan perlindungan anak yang komprehensif, 2) Ada beberapa kasus pemanfaatan bantuan yang digunakan tidak mendorong perubahan perilaku seperti digunakan untuk modal usaha, memenuhi kebutuhan keluarga, membayar sewa rumah dan utang serta membeli hewan peliharaan, 3) Belum adanya rumusan indikator tentang orangtua/keluarga yang dapat merawat dan melindungi anak-anak dengan kecacatan, dan 4) Terbatasnya lembaga pelayanan sosial masyarakat, sarana dan prasarananya dalam menangani masalah sosial anak dengan kecacatan.
perlindungan. Hasil kajian tersebut menunjukkan antara lain: “PKSA memberikan manfaat yang sangat berharga kepada mereka yang membutuhkan, meskipun pelaksanaan program tersebut masih memiliki banyak kekurangan”. Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa pelaksana PKSA belum memiliki data dasar untuk mengukur keberhasilannya sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan yaitu: 1) Jumlah anak terlantar (termasuk anak balita), anak jalanan, anak-anak berhadapan dengan hukum, anak-anak-anak-anak penyandang cacat, dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang mampu mengakses layanan dasar meningkat. 2) Persentase orangtua atau keluarga yang bertanggung jawab dalam perawatan dan perlindungan anak meningkat. 3) Jumlah anak yang mengalami masalah sosial menurun. 4) Jumlah lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan jasa perlindungan bagi anak-anak meningkat. 5) Jumlah pelayanan yang diberikan LKSA (Lembaga Pelaksana PKSA) meningkat. 6) Jumlah pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial di bidang kesejahteraan sosial meningkat. 7) Jumlah kerangka hukum yang mengatur perawatan dan perlindungan anak sebagai dasar hukum PKSA bertambah. Hasil penelitian ini mengharapkan KEMENSOS dan BAPPENAS harus bekerja dengan lebih terstruktur untuk mempromosikan integrasi perlindungan anak dalam kebijakan Negara di bidang sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian dan bukti yang dapat membantu pengembangan sistem kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak.
Walaupun sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden sampai dengan Keputusan Menteri, namun dalam implementasinya belum didukung oleh sumber daya manusia (SDM), anggaran, sarana dan prasarana serta sistem yang memadai, sehingga masih banyak bermunculan permasalahan pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak. Pada 2011 jumlah Anak Balita Terlantar 1.224.168 jiwa atau sekitar 5,77 persen dari 21,22 juta jiwa anak Balita, Anak Terlantar 3.115.777 jiwa atau 5,36 persen dari 58,17 juta jiwa anak usia 5-17 tahun (Kementerian Sosial RI Dalam Angka 2012), dan anak dengan disabilitas pada tahun 2009 berjumlah 438,39 ribu jiwa atau 0,55 persen dari jumlah seluruh anak (Proil PMKS, 2011). Disamping permasalahan konvensional tersebut, saat ini banyak muncul permasalahan kontemporer seperti anak dengan narkoba atau HIV/AIDS yang belum terakomodir dalam substasi peraturan perundang-undangan. Jumlahnyapun belum terdata secara regular oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi tergantung dari pelaporan keluarga ataupun masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan pokok dalam penelitian adalah:
1. Apa saja masalah/isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak? 2. Bagaimana respon Kemensos dan K/L lain terhadap masalah/
isu-isu tersebut?
3. Bagaimana efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)?
Tujuan penelitian yang diharapkan dapat tercapai adalah:
1. Mengetahui masalah/isu-isu anak, keluarga dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak.
3. Mengetahui efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).
4. Menyusun rekomendasi pengembangan kebijakan kesejahteraan anak yang memadai, yaitu berpusat pada anak dan keluarga, serta masyarakat.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan dan program yang terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak, serta sebagai wacana pengembangan keilmuan, terkait dengan perlindungan Anak.
Untuk menyamakan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan deinisi operasional sebagai berikut:
1. Kebijakan adalah suatu ketetapan pemerintah, memuat prinsip-prinsip yang mengarahkan cara-cara bertindak untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Kebijakan Sosial adalah suatu ketetapan pemerintah yang memberi arah atau petunjuk cara-cara bertindak yang diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas hidup. 3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
4. Kesejahteraan Sosial Anak adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial anak agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orangtua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak.
6. Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan Program Kesejahteraan Sosial Anak, yang dibentuk oleh masyarakat atau difasilitasi pemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
7. Pendamping PKSA adalah Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak, atau Relawan Sosial yang memenuhi syarat kompetensi untuk melakukan pendampingan, yang direkrut oleh dan bekerja untuk LKSA, yang fungsinya adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan khusus kepada anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA, serta lingkungan komunitas/ masyarakat.
8. Pengasuhan Anak. Dalam kerangka hak anak, keluarga adalah tempat pengasuhan yang utama. Selain itu dalam kerangka hak anak, pengasuhan bukan karena anak adalah properti/milik orangtua, tetapi lebih karena duty (kewajiban). Dalam kerangka hak anak, pengasuhan tidak hanya ada di tangan orangtua yang melahirkannya, tetapi bisa dilakukan oleh “orangtua” yang lain yang bisa menjamin anak akan tumbuh dan berkembang dengan layak.
9. Pelayanan Pengasuhan adalah berbagai jenis pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan anak akan pengasuhan, baik dalam keluarganya maupun keluarga pengganti.
11. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus pada PKSA. Lokasi penelitian ditentukan di tiga provinsi. Sesuai dengan hasil konsulatasi dengan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, dipilih lokasi dimana PKSA sudah dilaksanakan untuk semua kluster yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan DKI Jakarta. Pada masing-masing provinsi ditentukan dua kabupaten/kota. Pada masing-masing kabupaten/kota ditentukan informan yaitu penerima PKSA (anak dan orangtua), pendamping, LKSA, dan tokoh masyarakat.
Selain itu juga ada beberapa informan dari pemangku kepentingan antara lain: Pada tingkat pusat: Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Direktur Kesejahteraan Sosial Anak, Direktur Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
UNICEF, Komnas Perlindungan Anak, dan Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota: Dinas Sosial Provinsi, Dinas Sosial kabupaten/kota, Anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, Bappeda provinsi dan kabupaten/ kota, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan, Kepolisian RI, Pengadilan Anak, Forum LKSA, TPA/KB, Rumah Singgah, FKKADK, PSAA, Pendamping PKSA, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), Tokoh Masyarakat, Orangtua/anak, Seksi Sosial Kecamatan, dan unsur terkait lainnya.
kepustakaan/dokumentasi dengan menggunakan pedoman. Secara rinci jumlah informan yang terkait dengan penerima PKSA dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Jumlah Informan Berdasarkan Lokasi dan Fokus Penelitian
Lokus Fokus Informan Jumlah Keterangan
Aceh:
xKabupaten Aceh Besar
xKota Banda Aceh
xABT Pengawas kab & prov Tokoh masyarakat
Masing-masing fokus 2 anak+ 2 Ortu + 1 SP +1 LKS +1 petugas prov + 2 petugas kab/kota + tokoh masyarakat 4
DKI:
xJakarta Timur
xJakarta Pusat
xABH Pengawas kab & prov Tokoh masyarakat
Jumlah di setiap lokus (prov) 31 orang
DIY:
xKabupaten Sleman
xKota Yogyakarta Pelaksana kab & prov Tokoh masyarakat
Dalam pelaksanaan pengumpulan data terdapat berbagai hambatan antara keterbatasan waktu di lapangan sehingga tidak semua informan yang direncanakan dapat dihubungi dan terkait dengan informan yang sulit dihubungi karena kesibukan mereka sebagai pelaksana kebijakan, baik di tingkat nasional maupun di provinsi dan kabupaten/kota.
anak yang sudah diimplementasikan dengan studi kasus mengevaluasi pelaksanaan PKSA selama 3 tahun terakhir (2010-2012).
Data yang telah terkumpul dilakukan pengelompokan, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan model analisis sebagai berikut:
BAB II
KESEJAHTERAN, PENGASUHAN,
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak adalah tiga konsep yang tidak terpisahkan dimana untuk mencapai kesejahteraan, anak membutuhkan pengasuhan dan perlindungan. Bab ini menguraikan tentang ketiga konsep tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
A. Kesejahteraan Anak
mereka. (CHILD WELFARE, For he Twenty-First Century, 2005) Dalam kenyataannya, yang pertama adalah yang paling umum dan paling luas cakupannya.
Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979, diamanatkan bahwa Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.
B. Pengasuhan Anak
Pengasuhan adalah sebuah proses mengasuh, merawat, membimbing, dan mendukung anak baik secara isik, sosial, intelektual, dan beragam aspek perkembangan lainnya. Sebesar apa sense of giving pelaku pengasuhan menjadi kunci yang akan menentukan kualitas proses pengasuhan yang didapatkan anak (Goldenline, STIF in Padang, 10_12_2013). Anak merupakan anugerah yang tidak dapat dinilai oleh apapun bagi pasangan suami isteri yang membentuk dalam suatu keluarga. Karena tidak setiap pasangan suami isteri diberikan keturunan berupa anak. Setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini harus mendapatkan kehidupan yang layak. Sampai seorang Aristoteles, mengatakan bahwa “anak layaknya bagian tubuh orangtuanya, oleh sebab itu orangtua memiliki hak atas pengasuhan anaknya”. Pendapat senada juga dikemukakan oleh John Lock, yang mengatakan “anak diproduksi atas jerih payah orangtua, oleh sebab itu orangtua punya hak atas pengasuhan anaknya”. Bahkan menurut teori property dikatakan, bahwa anak adalah milik orangtua. Oleh karena itu, anak wajib diasuh dengan sebaik-baiknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan semestinya.
baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam dan berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kesehatan isik dan psikologisnya. Dengan demikian, kehilangan atau berpisah dari keluarga ini akan meningkatkan risiko kesehatan, perkembangan, dan kesejahteraan anak secara keseluruhan. Risiko ini akan meningkat, apabila kehilangan ini terjadi dalam masa kritis pertumbuhan anak, yaitu masa awal kanak-kanak. Akibat bencana alam, perang, perceraian, kematian orangtua dan anggota keluarga lainnya, dan kelahiran tak dikehendaki seorang anak dapat mengalami kesulitan berkembang menjadi manusia dewasa seutuhnya.
Lebih lanjut dikatakan dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang, maka secara konseptual pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asah, asih, dan asuh) terpenuhi dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Akan tetapi, praktiknya tidaklah sesederhana itu karena praktik ini berjalan secara informal, sering dibumbui dengan hal-hal yang tanpa disadari dan tanpa disengaja serta lebih diwujudkan oleh suasana emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi dalam bentuk interaksi antara orangtua dan anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan inter dan intra personal orang-orang di sekitar anak tersebut dan anak itu sendiri sangat memberi warna pada praktik pengasuhan anak.
kandung yang dimilikinya, di dalam rumah mereka sendiri, dan di dalam lingkungan yang mendukungnya (http://mohamadafrizal. wordpress.com/paud/pengasuhan-anak/, diunduh 10_12_2013).
C. Perlindungan Anak
Di Indonesia, Perlindungan Anak diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik isik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Azas dan Tujuan Perlindungan Anak
Sejalan dengan tujuan tersebut, maka hakekat perlindungan anak Indonesia adalah perlindungan keberlanjutan, karena merekalah yang akan mengambil alih peran dan perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Layanan Perlindungan Anak (Child Protective Services/ CPS) Program layanan perlindungan anak ( CPS) merupakan program inti di semua lembaga kesejahteraan anak yang mengupayakan keselamatan anak bekerjasama dengan lembaga masyarakat. Lebih luas, CPS “mengacu pada perangkat hukum yang sangat khusus, mekanisme pendanaan, respon lembaga bersama pemerintah untuk melaporkan penyalahgunaan dan penelantaran anak” (Waldfogel, 1999). Dasar program CPS berasal dari hukum yang dibentuk di setiap negara yang mendeinisikan kekerasan dan penelantaran anak serta menentukan bagaimana lembaga CPS harus menanggapi laporan penganiayaan anak. Pekerja sosial di lembaga-lembaga CPS
memiliki tanggung jawab untuk mengatasi efek dari penganiayaan, menerapkan respon layanan yang akan menjaga anak-anak dan remaja aman dari penyalahgunaan dan penelantaran, serta bekerjasama dengan keluarga untuk mencegah kemungkinan terjadinya penganiayaan di masa yang akan datang (Depanilis & Salus 2003, Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia US, 1988).
bekerja berdasarkan keyakinan ilosois bahwa setiap anak memiliki hak untuk pengasuhan dan pengawasan yang memadai dan bebas dari penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi. Hukum melindungi anak-anak dan remaja, menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab orangtua untuk memperhatikan kebutuhan isik, mental, emosional, dan kesehatan anak-anak mereka terpenuhi secara memadai. Asumsi lainnya adalah bahwa Layanan Perlindungan Anak harus campur tangan ketika orangtua meminta bantuan atau gagal, atau lalai dalam memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan menjaga mereka agar aman dari penyalahgunaan atau penelantaran, seperti yang dideinisikan oleh undang-undang negara sipil (Gerald P. Mallon and Peg Mc Cartt Hess, 2005).
Penyalahgunaan dan Penelantaran Anak
Penelantaran dapat dideinisikan sebagai kelalaian dalam pengasuhan oleh orang yang bertanggung jawab (misalnya, orangtua atau pengasuh lainnya), yang mengakibatkan kerugian signiikan atau risiko bahaya yang signiikan terhadap anak dan remaja (Dubowitz, 2000). Penelantaran lebih lanjut dapat dideinisikan sebagai kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak dalam perawatan isik, pengawasan, dan perlindungan, pemeliharaan, pendidikan, dan kesehatan.
Kekerasan isik dapat dideinisikan sebagai suatu tindakan yang ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak atau remaja itu, yang mengakibatkan cedera isik yang signiikan atau risiko cedera tersebut (Dubowitz, 2000). Contoh tindakan yang ditimbulkan termasuk meninju, memukul, menendang, menggigit, mengguncangkan, melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau memukul dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain (Goldman & Salus, 2003).
dan remaja, atau eksploitasi seksual terhadap anak (Berliner, 2000) oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Pelecehan seksual anak termasuk perilaku yang lebih luas, seperti oral, anal penetrasi penis, atau alat kelamin, digital anal atau genital atau penetrasi lain, kontak kelamin dengan non intrusi, cumbuan payudara anak atau pantat, penampilan senonoh, supervisi yang tidak memadai atau tidak dari kegiatan sukarela seksual anak, dan penggunaan anak atau remaja dalam prostitusi, pornograi, kejahatan internet, atau kegiatan seksual eksploitatif lainnya (Goldman & Salus, 2003).
Penganiayaan psikologis dapat dideinisikan sebagai pola berulang dari perilaku atau kejadian ekstrim oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak yang menyampaikan kepada anak bahwa ia tidak berharga, cacat, tidak dicintai, tidak diinginkan, terancam, atau hanya bernilai jika menemukan orang lain yang membutuhkan, oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Masyarakat profesional Amerika tentang Penyalahgunaan Anak, 1995). Penganiayaan psikologis meliputi baik tindakan pelecehan terhadap anak atau remaja dan kelalaian dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk penolakan secara angkuh (misalnya, perilaku bermusuhan menolak dan merendahkan); teror (misalnya, ancaman untuk menyakiti anak atau seseorang yang penting untuk anak), mengeksploitasi atau merusak (misalnya, mendorong anak atau remaja untuk berpartisipasi dalam merusak diri sendiri atau perilaku kriminal); menyangkal respon emosional (misalnya, mengabaikan atau gagal untuk mengekspresikan kasih sayang), dan mengisolasi (misalnya, membatasi anak mendapatkan pengalaman sesuai dengan tahapan perkembangan) (Brassard & Hart, 2000).
Tahapan proses Layanan Perlindungan Anak
dan keamanan anak-anak dan remaja, dan menyediakan atau mengatur layanan untuk meningkatkan keamanan, kestabilan dan kesejahteraan anak-anak dan remaja yang telah disalahgunakan atau diabaikan atau yang beresiko disalahgunakan atau ditelantarkan. Setiap penanganan masalah dilakukan melalui satu atau lebih rangkaian tahapan proses CPS yaitu: (1) penerimaan, (2) asesmen awal/investigasi, (3) penilaian keluarga, (4) perencanaan intervensi, (5) penyediaan layanan, (6) Evaluasi kemajuan kasus, dan (7) penutupan kasus. Keputusan kunci bervariasi pada masing-masing tahapan proses (De Panilis & Salus, 2003).
Intake (penerimaan)
CPS bertanggung jawab untuk menerima dan menanggapi laporan pelecehan dan penelantaran anak yang dicurigai. Keputusan kunci pada tahap ini adalah: (1) menentukan apakah informasi yang dilaporkan sesuai kriteria yang ada dalam pedoman lembaga untuk penganiayaan anak yang didasarkan hasil kontak tatap-muka dengan anak atau remaja dan keluarganya dan (2) untuk menentukan urgensinya, lembaga harus menanggapi laporan tersebut. Petugas penerimaan mewawancarai orang yang menelepon tentang laporan pelecehan atau penelantaran anak yang dicurigai untuk membuat keputusan.
Asesmen awal
(yaitu, kemungkinan penganiayaan anak di masa depan).
Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan: (1) apakah penganiayaan anak terjadi seperti yang dideinisikan oleh hukum negara, (2) apakah kelangsungan keselamatran anak atau pemuda mengkhawatirkan dan, jika demikian, intervensi yang akan dilakukan untuk menjamin perlindungan anak, (3) apakah ada risiko penganiayaan masa depan dan tingkat resikonya, dan (4) apakah jasa keagenan terus diperlukan untuk membantu keluarga menjaga keamanan anak, mengurangi risiko penganiayaan di masa depan, dan mengatasi efek penganiayaan anak. Beberapa kasus ditutup pada tahap ini jika tidak ada dasar untuk memberikan layanan kepada anak atau remaja dan keluarga.
Asesmen keluarga
Asesmen keluarga adalah suatu proses yang komprehensif untuk mengidentiikasi, mengingat, dan mencari faktor yang mempengaruhi keselamatan, kestabilan dan kesejahteraan anak atau remaja. Tujuan dari asesmen ini adalah untuk mengembangkan kemitraan dengan keluarga, rencana pelayanan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak (Department Kesehatan dan Layanan Manusia US, 2000). Pada tahap ini, pekerja CPS melibatkan anggota keluarga dalam proses untuk memahami kekuatan, risiko, dan kebutuhan intervensi.
Rencana Intervensi
Untuk mencapai hasil program CPS yaitu, keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak, serta keluarga, intervensi harus direncanakan dan bertujuan. Hasil ini dicapai melalui tiga jenis rencana: (1) rencana keselamatan, yang dikembangkan berdasarkan bahwa anak berada pada risiko kerusakan parah dalam waktu dekat, (2) rencana kasus, yang mengikuti asesmen keluarga dan menetapkan hasil dan tujuan dan menjelaskan bagaimana keluarga bekerja menuju hasil tersebut, dan (3) jika seorang anak atau remaja telah ditempatkan dalam pengasuhan luar rumah ( out-of-home care), dalam waktu bersamaan disusun rencana kasus dengan mengidentiikasi bentuk-bentuk alternatif bagaimana penyatuan kembali atau keajekan dengan orangtua baru dapat tercapai jika usaha untuk menyatukan kembali gagal.
Keputusan penting pada tahap perencanaan kasus adalah untuk menentukan: (1) hasil kasus yang menjadi target intervensi (misalnya, fungsi keluarga ditingkatkan, mengontrol perilaku emosi, meningkatkan harga diri, meningkatkan interaksi orangtua-anak), (2) tujuan kasus yang akan membantu anggota keluarga berhasil, (3) intervensi terbaik yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan dan hasil, dan (4) penyedia terbaik intervensi.
Penyediaan layanan
terbaik diposisikan untuk memberikan layanan ini, (3) menentukan interval yang tepat untuk mengevaluasi kemajuan keluarga, dan (4) menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasikan para penyedia layanan (misalnya, mengembangkan berbagi informasi, jadwal pertemuan tim).
Evaluasi kemajuan
Penilaian adalah proses yang berkelanjutan yang dimulai dengan kontak dengan klien dan berlanjut sepanjang penanganan kasus. Kemajuan pencapaian hasil dan tujuan harus dievaluasi secara resmi setidaknya setiap 3 bulan. Keputusan kunci yang harus dibuat selama tahap proses ini mencakup penilaian: (1) status keamanan anak atau remaja saat ini, (2) tingkat pencapaian manfaat keluarga, (3) tingkat pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas sesuai rencana kasus, (4) perubahan risiko dan faktor perlindungan yang telah diidentiikasi, dan (5) tingkat keberhasilan dalam mengatasi salah satu dari efek penganiayaan pada anak atau remaja dan anggota keluarga lainnya.
Penutupan kasus
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak antara lain: pelaksanaan peran dan fungsi keluarga atau keluarga pengganti, dan keberfungsian lembaga perlindungan anak dan penerapan sanksi terhadap pelaku perlakuan salah terhadap anak. Setiap keluarga memiliki sejumlah peranan yang mesti dilaksanakan. Menurut Jhonson (1988), peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut: 1) Ayah sebagai suami dan ayah dari anak-anak, berperan sebagai pencari nakah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2) Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu ibu juga dapat berperan sebagai pencari nakah tambahan dalam keluarganya. 3) Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik isik, mental, sosial, dan spiritual.
Selain memiliki peranan, setiap keluarga juga memiliki sejumlah fungsi yang mesti dilaksanakan. Menurut Zastrow (1999), beberapa fungsi keluarga, yaitu: 1) Replacement of the population. Replacement
lain-lain kepada anggota keluarga. 4) Regulation of Sosial behavior,
fungsi pengaturan perilaku sosial. Kegagalan pengaturan perilaku sosial akan menghasilkan ketidakcocokan dengan harapan yang diinginkan. 5) Source of afection. Fungsi untuk memberikan kasih sayang, cinta yang tulus kepada semua anggota keluarga. Bilamana hal ini mengalami kegagalan, maka keluarga akan menjadi kurang harmonis.
BAB III
MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN,
PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
Anak merupakan anggota masyarakat yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kelangsungan hidup bangsa. Anak yang tumbuh kembang secara wajar dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan pembangunan bangsa. Sebaliknya jika mereka mengalami berbagai hambatan dalam tumbuh kembangnya akan menjadi beban bagi masyarakat dan Negara. Hambatan dalam tumbuh kembang anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain tidak terpenuhi hak-haknya oleh orangtua, keluarga, msyarakat, dan pemerintah.
Bab tiga ini menguraikan tentang masalah/isu-isu dalam kontek kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak serta kebijakan Kementerian Sosial RI dan K/L lainnya dalam merespon masalah/isu-isu tersebut. Masalah dan kebijakan yang disajikan merupakan hasil kajian data sekunder maupun primer hasil penelitian lapangan.
gizi, air dan sanitasi lingkungan, 3) Lingkungan keluarga dan perawatan alternatif, 4) Pendidikan, waktu bersantai dan main & kegiatan budaya, dan 5) Perlindungan khusus.
Permasalahan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak dapat bersumber dari berbagai pihak yaitu anak itu sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas lagi yaitu kemajuan teknologi komunikasi dan globalisasi. Dalam tulisan ini masalah/isu-isu tentang anak dilihat dalam konteks kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak diuraikan berikut ini.
1. Masalah/Isu-isu dalam konteks Kesejahteraan Anak
Dalam konteks kesejahteraan sosial anak, permasalahannya adalah belum terpenuhinya hak-hak dasar anak seperti hak sipil dan kebebasan fundamental, kesehatan, gizi, air dan sanitasi lingkungan, dan pendidikan. Kondisi anak yang demikian kita kenal dengan keterlantaran pada anak, baik pada anak Balita maupun pada anak usia 6-17 tahun. Kondisi Balita terlantar di Indonesia dapat dilihat pada uaraian berikut.
Jumlah Balita di Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan 21,22 juta jiwa (Susenas, 2009). Persentase Balita Terlantar tercatat 5,77 persen, hampir terlantar 20,17 persen, dan tidak terlantar 74,06. Kebanyakan mereka barada di Perdesaan yaitu 6,25 persen dan di Perkotaan 5,23 persen.
Sumber: BPS RI - Susenas MSPB 2009
Menurut Proil PMKS (2011:h.104), Anak Balita Terlantar adalah “anak berumur 0-4 tahun yang karena suatu sebab, orangtuanya melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhannya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani, maupun sosial”. Kriteria keterlantaran pada Balita antara lain: 1) Balita yang tidak pernah diberi air susu ibu (ASI), 2) Balita tidak mempunyai bapak/ibu kandung, 3) Frekunsi makan makan pokok Balita, 4) Frekuensi makan lauk pauk berprotein tinggi, 5) Ibu Balita yang bertanggung jawab, bekerja, 6) Balita sakit tidak diobati, dan 7) Pengasuh Balita.
Balita terlantar menurut BPS dalam Pusdatin 2011, pada Tahun 2009 kondisinya adalah sebagai berikut:
a. Balita yang tidak diberi ASI selama seminggu terakhir 74,44 persen.
b. Sebagian besar yaitu 97,72 persen Balita Terlantar masih punya orangtua. Balita yang orangtuanya tidak lengkap persentasenya cukup kecil yaitu 2,28 persen yang terdiri dari yatim 1,16 persen dan piatu 0,62 persen, dan yatim piatu 0,41 persen.
c. Balita terlantar yang makan makanan pokok kurang dari 14 kali sebesar 83,33 persen.
d. Persentase Balita terlantar yang makan makanan berprotein tinggi nabati kurang dari 4 kali seminggu adalah 84,65 persen, sedangkan untuk protein hewani yang kurang dari dua kali seminggu berjumlah 82,80 persen. Hal ini diduga karena ketidakmampuan orangtua/penanggung jawab Balita untuk membeli pangan yang harganya cukup mahal.
e. Persentase Balita terlantar yang sakit, namun tidak diobati relatif masih tinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 17,05 persen.
mayoritas lapangan usaha utamanya adalah di sektor pertanian (42,79 persen), perdagangan (22,19 persen), dan jasa (19,87 persen). Sebagian besar Balita terlantar memiliki ibu kandung/ penanggung jawab, bekerja sebagai pekerja tidak dibayar (33,05 persen), buruh/karyawan 32,21 persen, dan berusaha sendiri 16, 77 persen.
Peran ibu dalam proses kehidupan Balita sangat dominan. Ibulah yang berperan besar dalam tumbuh kembang Balita. Sejak bayi lahir, ibu yang menyusui dan menyuapi makanan ke mulut bayi. Pada masa Balita, anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Namun pada kenyataannya masih banyak anak Balita yang terlantar karena kemiskinan sehingga ibu bekerja. Akibatnya ibu kurang mengurus anak dan bila sakit tidak memeriksakannya ke dokter/Puskesmas bahkan ke Posyandu pun belum pernah dibawa. Hal ini bisa dilihat dari hasil wawancara berikut:
“... anak saya terlepas dari bersih atau belum bersih mandi sendiri dan mengambil baju sendiri yang sudah disiapkan di lemari. Saya hanya menyiapkan peralatan mandi dan mengawasi. Ketika anak sakit, saya memberi obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh. Sampai saat ini saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika anak sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter, karena takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak punya kartu KJS karena saya bukan penduduk DKI, dan sampai saat ini saya belum pernah memberikan vitamin kepada anak”.
nakah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk membawa ke Puskesmas atau dokter.
Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang, tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami oleh beberapa keluarga penerima manfaat Taman Anak Sejahtera (PKS ABT).
Demikian pula halnya dengan Anak Terlantar yaitu “anak yang berusia 5-17 tahun tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial” (Proil PMKS, 2011:h.104).
Berdasarkan pendekatan kebutuhan minimum, baik kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial, jumlah anak usia 5-17 tahun berjumlah 58,17 juta anak. Dilihat dari kategori keterlantaran jumlah anak dengan kategori terlantar sebanyak 3,1 juta anak (5,36 persen) dan hampir terlantar 7,2 juta anak (12,23 persen).
Sumber: BPS RI-Susenas Modul 2009
Bila dilihat dari jenis kelamin, proporsi anak terlantar laki-laki lebih besar dibanding anak terlantar perempuan (5,82 persen dibanding 4,85 persen). Tempat tinggalnya lebih banyak di perdesaan dibanding perkotaan (7,62 persen berbanding 2,69 persen).
Ketelantaran pada anak (Proil PMKS, 2011) dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
a. Pendidikan anak terlantar
Pendidikan dasar dimulai sejak usia 7 tahun sebagai awal usia program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan Pemerintah. Untuk itu anak yang berumur 7 tahun harus sekolah. Salah satu penentu derajat keterlantaran anak adalah tingkat partisipasi sekolah. Anak dikatakan tidak bersekolah apabila tidak/belum pernah sekolah atau sudah tidak sekolah lagi. Pada tahun 2009, tingkat partisipasi sekolah anak 66,04 persen yang tidak/belum pernah sekolah sama sekali 8,99 persen dan tidak bersekolah lagi 24,96 persen. Adapun alasan anak terlantar tidak/belum pernah atau tidak sekolah lagi sebagian besar adalah tidak ada biaya, kemudian tidak suka/malu, bekerja, dan sekolah jauh.
b. Kesehatan anak terlantar
Sehat merupakan hak setiap manusia termasuk anak. Pada tahun 2009 persentase anak terlantar yang mengalami keluhan kesehatan selama sebulan terakhir menurut jenis keluhan adalah panas (53,27 persen), batuk (53,80 persen), dan pilek (53,48 persen) merupakan keluhan yang paling banyak dirasakan. Kemudian sakit kepala berulang (15,71 persen), sakit gigi (6,26 persen), dan diare (6,25 persen).
c. Kegiatan ekonomi anak terlantar
penyebab orangtua merelakan anaknya membantu mencari nakah, sehingga harus meninggalkan bangku sekolah.
Pada tahun 2009 persentase terbesar anak usia 10-14 bekerja kurang dari 15 jam seminggu terakhir adalah 41,08 persen, dan 15–28 jam sebesar 35,22 persen, dan anak terlantar usia 15-17 tahun sebagian besar (32,56 persen) bekerja lebih atau sama dengan 35 jam perminggu.
d. Kegiatan sosial budaya anak terlantar
Seorang anak selayaknya melakukan aktivitas sosial dan budaya bahkan proporsi yang lebih besar dari pada bekerja seperti akses terhadap media massa. Sebagian besar (70,84 persen) anak terlantar mengases televisi, kemudian radio 13,15 persen, dan surat kabar/majalah paling sedikit diakses.
Kondisi anak terlantar sebelum masuk panti menurut anak adalah sebagai berikut:
Kasus di atas menujukkan keterlantaran hanya disebabkan tidak punya ayah (anak yatim). Dari segi pendidikan sebelum masuk panti anak sudah akses ke pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari umur dan kelas yang yang diduduki yaitu 14 tahun di kelas 3 M.Ts (setingkat SMP). Kelihatannya orangtua hanya tidak mampu menyekolahkannya karena ayahnya meninggal, ibunya takut anaknya putus sekolah. Jadi anak diserahkan pengasuhannya ke LKSA karena faktor kemiskinan dan untuk akses anak ke pendidikan.
Kasus Anak Terlantar Luar Panti yang tinggal bersama orangtuanya, permasalahannya sebagian besar karena kemiskinan orangtua. Hal ini digambarkan oleh hasil wawancara dengan anak dan observasi sebagai berikut:
Anak akses terhadap sistem pendidikan dan kesehatan, namun demikian kadang-kadang terlibat dalam membantu orangtua mencari nakah seperti hasil wawancara berikut:
Kasus LA menggambarkan anak rawan terlantar, karena kemiskinan orangtua, (pekerjaan orangtua sebagai pemulung) dan tempat tinggal yang kurang layak huni di daerah kumuh, dan anak kadang-kadang terlibat dalam pekerjaan memulung.
Anak jalanan merupakan bagian dari anak terlantar dapat dikelompokkan menjadi empat kategori. Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap
... Saat saya tinggal di Kampung Jawa Lr. 5 Dusun Tengku Muda bersama dengan kedua orang tua dan ketiga adik-adik, tinggal di area/lokasi sebuah penampungan barang-barang bekas. Memiliki rumah yang sangat sederhana terbuat dari kayu bekas, dinding kayu campur bekas kardus, atap yang terdiri dari berbagai jenis atap (asbes, genteng, seng plastik bekas, dan lain-lain). Ruangan yang ada terdiri dari 1 ruang yang disekat menjadi 2 ruang, 1 ruang makan merangkap ruang tidur anak ruang istirahat ruang tamu dan lain-lain, 1 ruang tidur orang tua.
hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang, baik berkala ataupun dengan jadual yang tidak rutin. Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kategori keempat adalah anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari (http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan). Menurut Pusdatin Kementerian Sosial RI anak jalanan pada tahun 2011 berjumlah 135.983 jiwa.
Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan informan anak jalanan diketahui bahwa Rudi (nama samaran) adalah tergolong kategori tiga yaitu anak jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kondisi ini terjadi karena bapaknya meninggal. Hal ini tergambar dari hasil wawancara berikut:
Kasus selanjutnya adalah Ratna (nama samaran) menurut orangtuanya permasalahan Keluarga Ratna adalah sebagaimana tergambar dari hasil wawancara berikut ini.
Kasus Ratna dapat dikategorikan anak yang rentan menjadi anak jalanan, karena orangtua miskin, tinggal di daerah di pinggiran kota yang padat penduduk, ibu bekerja sebagai pemulung.
Data di atas menunjukkan bahwa masalah/isu-isu anak dalam kontek kesejahteraan terkait dengan kurang terpenuhinya kebutuhan pangan, pendidikan kesehatan, karena faktor kemiskinan dan orangtua/orangtua pengganti sebagai pengemban tugas pengasuhan sibuk bekerja. Hal ini sesuai dengan konsep kesejahteraan anak yang diuraikan pada bab dua yaitu Pertama, kesejahteraan dalam arti: Keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Kedua, Kesejahteraan dalam arti: Anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, Kesejahteraan dalam arti: Anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan isik dan kesehatan mental mereka.
Untuk mengatasi masalah anak tersebut perlu memperhatikan peningkatan kapasitas keluarga untuk memenuhi hak-hak mereka sesuai Konvensi Hak Anak, baik kapasitas di bidang ekonomi, pengasuhan dan perlindungan terhadap anak-anak mereka.
2. Masalah/isu-isu dalam Konteks Pengasuhan Anak
Dalam konteks pengasuhan anak, permasalahan dilihat dari pelaksanaan kewajiban orangtua atau orangtua pengganti dan lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) dalam pengasuhan anak. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa keterlantaran disebabkan oleh pengabaian kewajiban orangtua/orangtua pengganti dalam pemenuhan hak-hak dasar anak. Anak adalah amanah yang dititipkan pada orangtua untuk dijaga dan diasuh, serta dididik dengan layak. Akan tetapi seiring dengan mobilitas kedua orangtua, maka menjadikan anak diasuh bukan oleh kedua orangtuanya. Banyak alternatif yang dipilih oleh orangtua dalam mencari pengasuh pengganti selama orangtua bekerja atau beraktivitas. Pada tahun 2009 mayoritas pengasuhan Balita terlantar yang ibu kandung/ penanggung jawabnya bekerja di luar rumah adalah dititipkan atau diasuh oleh pihak lainnya (33,28 persen) yaitu diasuh tetangga, baby sitter, pembantu, penitipan anak dan ditinggal sendiri. Kemudian dititipkan ke family (25,99 persen) dan dibawa serta bekerja/ beraktivitas (21,96 persen). Pertanyaannya adalah apakah orangtua pengganti selama ibu bekerja faham dengan konsep pengasuhan pada anak?
Kondisi anak Balita terlantar temuan lapangan hasil wawancara dengan ibu (Penerima PKSA Balita Terlantar) adalah: orangtua mereka berasal dari keluarga miskin dimana kedua orangtua bekerja di luar rumah. Hal ini dikemukakan oleh informan orangtua yaitu:
Keluarga ini tinggal di rumah kontrakan Rp.250.000/bulan, dengan ukuran 3x3 m, tidak memiliki ruang dapur, ruang tidur dan lain-lain (satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga kecuali masak di luar rumah/di teras), Sumber air sumur pompa, MCK
umum (bersama dengan para warga yang mengintrak rumah).
Frekuensi makan makanan pokok dan lauk pauk berprotein tinggi, melihat penghasilan keluarga masih dirasakan kurang belum mencukupi. Hal ini terungkap dari pernyataan informan:
Anak juga mandi sendiri bahkan sudah bisa memandikan adiknya yang berusia 3,5 tahun, karena kesibukan orangtua mencari nakah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk membawa ke Puskesmas atau dokter. Gambaran ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut:
Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang, tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami
“... anak makan 3 kali sehari dengan menu makan nasi, sayur, kadang-kadang pakai daging, atau ikan sekali-sekali ada buah. Saya menyiapkan makanan, kadang-kadang mendampingi, sering membiarkan kedua anak makan sendiri karena kedua orang tua bekerja di pasar induk, berangkat pagi-pagi. Sedangkan anak kadang-kadang tidak mau diajak ke pasar, sehingga anak harus mengambil sendiri makanannya, dan mengambilkan makan untuk adiknya”.
oleh beberapa keluarga yang mengakses Taman Anak Sejahtera (PKS ABT).
Selanjutnya pada anak terlantar usia 6-17 tahun juga terjadi permasalahan pengasuhan oleh orangtua inti atau orangtua penggati. Keberadaan orangtua kandung sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak terutama perkembangan kepribadian dan perilakunya. Tetapi tidak semua anak beruntung diasuh oleh kedua orangtua mereka dalam masa tumbuh kembangnya. Keberadaan orangtua kandung anak terlantar pada tahun 2009, sebagian besar anak terlantar masih memiliki orangtua lengkap (97,72 persen), 1,16 persen adalah anak yatim, 0,62 persen piatu, dan 0,41 yatim piatu. Aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh anak terlantar adalah menonton televisi dan makan bersama. Menurut BPS dari jumlah anak terlantar 3,1 juta anak (5,36 persen), sebagian besar masih memiliki orangtua lengkap (97,72 persen). Anak terlantar banyak dikirim atau ditempatkan pada panti asuhan. Isu ini dipertegas lagi dengan banyaknya jumlah panti asuhan. “Diperkirakan terdapat 5.250 hingga 8.610 panti asuhan seluruh Indonesia. Walaupun orangtua mereka masih lengkap, karena faktor kemiskinan dan agar anak dapat terpenuhi kebutuhan dasar dan akses ke pendidikan mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan”. Masalah pengasuhan yang dilakukan oleh LKSA, beberapa temuan inti dari penelitian Save the Children bekerjasama dengan Departemen Sosial RI dan Unicef
adalah:
a. Panti Sosial Asuhan Anak lebih berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan akses pendidikan kepada anak dari pada sebagai lembaga alternatif terakhir pengasuhan anak yang tidak dapat diasuh oleh orangtua atau keluarganya.
c. Berdasarkan tujuan panti ke arah pendidikan, anak-anak harus tinggal lama di panti sampai lulus SLTA dan harus mengikuti pembinaan dari pada pengasuhan yang seharusnya mereka terima.
d. Pengurus panti tidak memiliki pengetahuan memadai tentang situasi anak yang seharusnya diasuh di dalam panti, dan pengasuhan yang idealnya diterima anak.
Data di atas menunjukkan sebagian besar orangtua anak terlantar masih ada, terutama ibu yang paling berperan dalam pengasuhan, namun karena faktor kemiskinan mereka sibuk bekerja di luar rumah baik di sektor pertanian, jasa maupun perdagangan. Keluarga miskin ini pada umumnya pendidikannya juga rendah. Sehubungan dengan itu kapasitanya dalam pengasuhan anak masih rendah. Untuk memperoleh akses pendidikan sebagian mereka menitipkan di panti sosial asuhan anak, baik milik masyarakat maupun pemerintah. Di panti sosial pun belum fokus pada peran pengasuhan secara ideal hanya dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, tempat tinggal, akses pendidikan, dan kesehatan. Untuk kasih sayangnya masih terabaikan.
3. Masalah/Isu-Isu Dalam Kontek Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak, diamanatkan salah satu hak anak adalah mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terkait dengan perlindungan, secara umum semua anak membutuhkan perlindungan, baik dari orangtua, masyarakat, maupun pemerintah. Namun dalam beberapa situasi, anak membutuhkan perlindungan secara khusus.
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (ngamen, ABH Panti) anak yang diperdagangkan (contoh ABH Panti), anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, korban kekerasan baik isik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Peningkatan perlindungan bagi anak merupakan salah satu prioritas pembangunan bidang sosial, salah satunya perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang memerlukan perlindungan khusus.
yang seringkali sederhana, mampu membangkitkan tingkah laku agresi. Objeknya adalah sesama anggota keluarga, dan seringkali anak karena posisinya yang lemah.
Menurut Liunir Z, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain: (1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. (2) Kemiskinan keluarga, banyak anak, (3) Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah. (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada salah satu orangtua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan: orangtua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama, serta (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan (http:// file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_ KELUARGA/194903201974122-LIUNIR_ZULBACHRI/makalah_ Ke\ke rasan_terhadap_Anak.pdf).
Beberapa faktor lain yang sebenarnya menjadi fakta penyebab pelanggaran hak anak bukan saja karena faktor kemiskinan tetapi adalah karena rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, lemahnya kesadaran hukum oleh orangtua/masyarakat sehingga mampu melakukan tindakan pelanggaran hak anak dan lemahnya penegak hukum atau tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hak anak.
dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Kemudian Komnas Anak melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orangtua kadung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Pada tengah tahun 2013, menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, data pelanggaran hak anak sekitar 59.396.336 kasus dari 80 juta jumlah anak Indonesia, http://news. detik. com/read/2013/07/18/154429/2307141/10/komnas-anak-59-juta-dari-80-juta-anak-indonesia-dilanggar-haknya.
Selain itu, lembaga-lembaga perlindungan yang seyogyanya memberikan perlindungan penuh terhadap anak sebagai penerima pelayanan di lembaga tersebut, justru sering mengalami berbagai tindak kekerasan. Ditemukan di lapangan, bahwa pengurus lembaga tidak memahami hak anak yang harus dipenuhi oleh lembaga tersebut. Kemudian lembaga yang mendidik kedisiplinan terhadap anak dengan memberikan beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan anak, sehingga terjadi tindak kekerasan ketika anak tidak mampu melakukannya, seperti bentakan, pukulan, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian anak belum mendapatkan perlindungan, baik dari orangtua maupun lembaga, dan lembaga dan orangtua telah melanggar hak anak. Keberadaan lembaga yang belum mampu memberikan perlindungan terhadap anak, terkait dengan kurangnya kuantitas dan kulitas SDM lembaga, serta sarana dan prasarana yang dimiliki masih belum memenuhi kriteria lembaga yang mampu memberikan perlindungan terhadap anak. Perlindungan yang belum mampu diberikan oleh orangtua, masyarakat maupun lembaga, merupakan pelanggaran hak anak.
mendapatkan uang jajan. Berbagai penyebab anak harus berada di jalan, diantaranya adalah karena orangtua (bapak meninggal dunia) sehingga anak harus mencari sendiri kebutuhan hidupnya, karena pencari kerja utama yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup tidak ada lagi. Kemudian ditemukan juga anak yang terjebak dalam perdagangan orang dan mengalami tindak kekerasan seksual.
Kemudian anak yang membutuhkan perlindungan khusus lainnya adalah anak dengan disabilitas. Berdasarkan hasil Susenas 2006 dan 2009, bahwa persentase anak dengan disabilitas mengalami kenaikan, baik dalam jumlah maupun persentase. Jumlah anak dengan disabilitas pada tahun 2006 tercatat sebanyak 193,35 ribu anak atau sekitar 0,26 persen dari jumlah anak. Sedangkan pada tahun 2009 angka tersebut mengalami kenaikan dua kali lipat menjadi 438,39 ribu anak atau 0,55 persen dari seluruh anak (Proil PMKS, 2011:h.104).
Secara umum proporsi anak dengan disabilitas berdasarkan jenisnya paling tinggi adalah disabilitas tubuh sebesar 31,71 persen, diikuti anak disabilitas mental/tuna grahita sebesar 22,05 persen, dan disabilitas wicara/bisu sebesar 13,75 persen. Sementara jenis disabilitas rungu/tuli dan disabilitas jiwa merupakan yang paling rendah dengan persentase masing-masing sebesar 5,16 persen dan 2,28 persen (Proil PMKS, 2011:h.103-106).
hingga penyalahgunaan zat adiktif dan tawuran pelajar, pelanggaran lalu lintas, yang senyatanya masih berada pada jenjang tumbuh kembang. Kasus itu bukanlah terjadi begitu saja, melainkan karena ada faktor pemicu dan pemacunya. Mulai dari penyebab sangat klasik, seperti desakan ekonomi (kemiskinan), dekadensi moral yang dipicu dari tereduksinya kasih sayang orangtua (pengawasan dan perhatian), hingga tekanan psikologis yang disebabkan manusia dewasa dalam berbagai kasus yang menyertainya. Tidak ketinggalan faktor kemudahan akses teknologi informasi memiliki andil besar atas terjadinya kondisi yang mungkin dialami sebagian anak-anak saat ini. Seperti juga yang terjadi pada kasus-kasus ABH yang ditemukan dalam penelitian ini. Seorang anak harus berhadapan dengan hukum karena perkenalannya yang secara singkat melalui handphon dengan teman laki-lakinya, yang menyebabkan menjadi korban tindak kekerasan seksual. Hal ini selain akses teknologi yang semakin mudah, juga kurangnya pengawasan dan perhatian orangtua sehingga anak lebih mudah melakukan apa yang dia mau tanpa memperhatikan akibat negatif yang mungkin terjadi. Kemudian anak yang harus melakukan kegiatan ekonomi karena orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhannya dan terjebak dalam penjualan anak.
tidak lagi melanjutkan sekolahnya; (c) Ruangan dan rumah tahanan sangat tidak representatif untuk anak-anak karena ABH di rutan bercampur dengan Napi dewasa; (d) ABH senantiasa mendapat julukan/label dari masyarakat sebagai “narapidana” atau anak nakal; (e) Kesadaran lembaga penegak hukum tentang pentingnya perspektif anak dalam penanganan ABH dengan pendekatan restoratif belum diselenggarakan sepenuhnya.
Menurut Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, tercatat ada 1.182 anak yang menjadi tahanan dan terjerat kasus asusila. Jumlah ini berada di bawah tahanan anak, dan anak pidana yang terjerat kasus pencurian sebanyak 1.957 orang, kasus narkotika 931 anak, kasus penganiayaan 358 anak dan kasus pembunuhan 224 anak. Sedangkan berdasarkan kategori usia, masih didominasi anak-anak berusia 17 dan 18 tahun. Namun ada enam orang tahanan anak yang ada di kategori usia sekolah dasar (SD). Terdiri dari masing-masing satu anak usia 9 dan 10 tahun serta empat anak usia 12 tahun, (http:// www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/07/23/mqdjhz-menkumham-kasus-asusila-di-kalangan-anak-sedang-tren.)
Komnas Perlindungan Anak juga mencatat sebanyak 774 kasus anak yang berhadapan dengan hukum berasal dari kalangan ekonomi bawah, 11 kasus dari kalangan menengah, dan tiga kasus berasal dari kalangan atas. Jumlah tersebut sebagian besar adalah anak dari keluarga miskin dan putus sekolah mencapai 420 kasus. http:// komnaspa.wordpreAni.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/.
Jumlah tersebut hanya jumlah yang tercatat pada instansi-instansi yang terkait dengan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dan instansi dan lembaga perlindungan anak, jumlah yang dilaporkan oleh masyarakat maupun oleh lembaga-lembaga yang menangani masalah anak. Jumlah tersebut bisa jadi akan lebih banyak, karena banyak anak yang berhadapan dengan hukum, baik pelaku maupun korban yang sengaja maupun karena ketidaktahuan sehingga tidak dilaporkan kepada pihak yang seharusnya menangani kasus tersebut.
Sebagai temuan lapangan ABH adalah secara konkrit masalah anak berhadapan dengan hukum dari hasil studi kasus terhadap empat orang informan ABH yaitu dua orang anak laki-laki sebagai pelaku masing-masing Andi (bukan nama sebenarnya) pelaku pencurian, dan Udin (bukan nama sebenarnya) pelaku tawuran, perkelahian, bentrok dengan guru, dan dua orang anak perempuan sebagai korban masing-masing Lia (bukan nama benarnya) korban pelcehan seksual (percobaan perkosaan oleh pacar) dan Ani (bukan nama sebenarnya) pelecehan seksual (pemerkosaan oleh kakak ipar) dan perdagangan anak yang dilakukan oleh teman sekolahnya.
anak-anak yang disebut sebut sebagai anak kampung. Menurut orangtuanya, Udin sering terpancing dengan ajakan temannya, sehingga dikhawatirkan akan terlibat kasus dengan kepolisian. Sampai saat ini Udin tidak mau lagi sekolah dan diarahkan ibunya untuk bekerja.
Kemudian kasus pelecehan seksual dan perdagangan orang yang dialami oleh Lia. Lia saat itu berusia 12 tahun mengalami dua kali kasus; Pertama, kasus perkosaan oleh kakak iparnya dan kasus kedua pelecehan seksual dan perdagangan orang oleh teman sekolahnya (SMP). Lia terkecoh dengan janji yang diberikan temannya, teman sekolahnya menawarkan pekerjaan, Lia tertarik dan dibawa ke tempat yang telah dijanjikan sebagai pekerjaan, ternyata Lia dijual temannya untuk menjadi pelayan orang dewasa. Ketertarikan Lia dengan tawaran pekerjaan yang ditawarkan temannya karena Lia membutuhkan uang jajan yang ia rasakan masih kurang diberikan orangtuanya. Orangtuanya mengakui, tidak pernah tau kalau anaknya ditawarkan pekerjaan oleh temannya.
Selanjutnya adalah pencurian, Andi sebagai pelaku pencurian saat ini masih sekolah di SMP kelas 1(satu). Menurut orangtuanya, andi merupakan anak baik, penurut, dan rajin belajar. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan Andi setelah pulang sekolah hanya belajar, main di sekitar rumah dan pada malam harinya (kecuali malam Sabtu) belajar mengaji di Masjid. Hal seperti ini dilakukan Andi sejak sebelum terjadi masalah hukum yang menimpanya. Saat Andi terlibat kasus hukum masih bersekolah di kelas 5 SD. Masalah hukum yang terjadi pada Andi adalah masalah pencurian, yang sebenarnya dilakukan oleh salah seorang temannya. Namun karena saat itu Andi bersama dengan temannya yang melakukan pencurian, maka Andi juga ikut terkena imbasnya. Andi bersama temannya disidang oleh pemuka kampung untuk diadili.
Ani kronologis kejadian adalah pada saat itu Ani berkenalan dengan seorang laki-laki melalui ponsel, setelah beberapa kali saling telephon, Ani menjalin pertemanan bersama pelaku, sampai pada akhirnya keduanya sepakat tidak saja hanya sebagai teman, tetapi bersahabat dekat (pacaran). Pada satu kesempatan, Ani diajak jalan-jalan ke rumah pelaku, saat itu situasi di rumah pelaku sepi, tidak ada orang. Ani dibuatkan minuman oleh pelaku, setelah Ani meminum minuman yang dihidangkan pelaku, tiba-tiba Ani merasa pusing, dan saat itu pelaku mencoba memperkosa Ani.
Kemudian salah satu permasalahan anak membutuhkan perlindungan khusus lainnya yang ditemukan di lapangan adalah Anak dengan HIV/AIDS (ADHA).
cuma berteman biasa. Tapi kita tetap takut, buktinya anak itu tertular dari orangtuanya. Jadi kita tetap aja was-was menjaga diri”, demikian pengakuan seorang tetangga anak yang menjadi informan.
Dari hasil wawancara dengan pendamping, gambaran kasus anak terinfeksi HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
Pada bulan Maret klien opname di rumah sakit selama dua minggu. Di rumah sakit ini klien diperiksa penyakit dan gejala penyakit lainnya. Orangtua setuju anaknya diperiksa HIV. Orangtua tidak menduga anaknya positif HIV, karena anak pertama dan kedua hasilnya negatif. Namun orangtua baru menyadari ketika melahirkan klien, saat itu mereka sudah positif HIV. Keluarga lain tidak ada yang tahu kecuali orangtua klien, bahkan klien saja tidak mengetahui bahwa mereka menderita HIV/AIDS.
Dahulu ayah klien sering mabuk-mabukan dan masuk penjara. Dua tahun yang lalu keluar dari penjara. Setelah keluar dari penjara ayah klien sudah tobat dan sekarang ayah banyak berdiam di rumah. Ketika ada orang yang menawarkan kerjaan serabutan ia kerjakan. Isteri yang menderita sakit HIV saat ini tetap bekerja untuk kebutuhan hidup dalam keluarganya.