• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAGASAN KEBIJAKAN TATA KELOLA ENERGI NAS (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GAGASAN KEBIJAKAN TATA KELOLA ENERGI NAS (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS

Mata Kuliah: Manajemen dan Ekonomi Energi

GAGASAN KEBIJAKAN TATA KELOLA ENERGI NASIONAL DENGAN PENDEKATAN PERENCANAAN BOTTOM-UP

Oleh:

Novan Akhiriyanto

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER MANAJEMEN TENAGA LISTRIK DAN ENERGI

2016

ABSTRAK

(2)

model perencanaan pembangunan dengan pendekatan bottom-up yang memiliki implementasi agar Pemerintah segera menggalakkan metode penelitian kualitatif yang terperinci, namun memang penelitian kualitatif memiliki jangka waktu pengambilan data/informasi yang cukup lama. Salah satu metode penelitian yang diterapkan yaitu Participatory Rural Appraisal

(PRA). PRA memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai kebutuhan dari masyarakat lokal yang dapat dipenuhi oleh Pemerintah melalui pembangunan yang terencana dengan baik, juga dapat memberikan data/informasi mengenai potensi energi secara tepat dan terperinci pada area setempat.

Kata kunci: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), reformasi struktur organisasi/instansi, pendekatan bottom-up, penelitian kualitatif, Participatory Rural Appraisal

(PRA), potensi energi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam sejarahnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pertama kali dibentuk dengan tujuan membantu Pemerintah untuk merencanakan pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Selama berkuasanya Orde Baru, anggaran menjadi tanggung jawab penting Bappenas. Setiap tahunnya, Bappenas melakukan penilaian terhadap paling sedikit 3.500 proyek pembangunan, termasuk membuat prioritas dan memantau pelaksanaannya.

(3)

otonomi daerah dan lahirnya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara memangkas peran Bappenas dalam melaksanakan fungsi anggaran, apalagi dengan adanya hak budgeting DPR.

Hal tersebut di atas, juga membawa dampak yang sangat berpengaruh pada pembangunan infrastruktur bidang energi, terutama sub sektor ketenegalistrikan. Saat ini kapasitas terpasang pembangkit listrik telah mencapai 55.528 MW dengan dominasi PLTU batubara, capaian tersebut juga menghadapi berbagai hambatan, diantaranya pembebasan lahan akibat lemahnya institusi dan koordinasi di antara instansi Pemerintah terkait di tengah situasi keterbatasan investasi sektor energi. Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, Pemerintah telah mencanangkan Program Percepatan Pembangunan Pembangkit 35.000 MW dengan memperbaiki mekanisme yang lalu dengan berbagai kebijakan. Program ini juga masih dominan menargetkan pembangunan PLTU batubara dengan jumlah pembangunan pembangkit paling banyak di Jawa mencapai 23.863 MW atau sekitar 55% dari keseluruhan pembangkit Program 35.000 MW (42.940 MW). Padahal rasio elektrifikasi yang telah mencapai 88,3% tersebar tidak merata di seluruh wilayah Indonesia, terbesar di Jawa. Di samping itu, perkembangan kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan (EBT) masih mencapai 11.330 MW, masih jauh dari harapan yang ditargetkan oleh Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Dengan adanya kondisi di atas, maka perlu adanya penguatan peran Bappenas dalam hal penyusunan program, anggaran serta evaluasi perencanaan pembangunan yang membawahi seluruh Kementerian/Lembaga yang ada. Bappenas diharapkan bertindak sebagai pemeran sentral dalam perencanaan pembangunan. Serta perlu perombakan struktur organisasi Kementerian/Lembaga sehingga dapat lebih tajam dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya dalam pelaksanaan pembangunan.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah menemukan gagasan ataupun pendapat tentang bagaimana seharusnya tata kelola sektor energi di Indonesia ke depan dengan mempertimbangkan dokumen skenario sektor energi (Skenario Bandung) yang telah diprakarsai oleh Pemerintahan yang lalu, target-target dalam KEN, pendekatan perencanaan secara bottom-up menggunakan metode participatory rural appraisal (PRA) serta adaptasi tata kelola energi di India.

1.3. Batasan Permasalahan

Untuk lebih fokus dalam pembahasan, maka diperlukan batasan dalam pembahasan. Dalam makalah ini, tidak dipertimbangkan permasalahan mengenai lama waktu yang dibutuhkan metode PRA serta seberapa akurat informasi/data yang dihasilkan metode ini pada masyarakat lokal, karena metode PRA termasuk dalam penelitian kualitatif. Makalah hanya mengusulkan konsep relatif baru mengenai pendekatan perencanaan serta reformasi pengelolaan dalam Pemerintahan terkait sektor energi, terutama sub sektor ketenagalistrikan.

BAB II. LANDASAN TEORI

(4)

Mekanisme perencanaan pembangunan ditetapkan dengan mempertimbangkan hasil Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) dengan mengikutsertakan aspirasi Pemerintah Daerah serta perwakilan Pemerintah Pusat (Kementerian/Lembaga sektor terkait) yang merupakan implementasi dari era Otonomi Daerah, kemudian usulan rencana pembangunan disampaikan dalam Trilateral Meeting (rapat tiga pihak) antara Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga terkait, yang merupakan implementasi dari UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Keuangan Negara.

Dalam rapat ini, Kementerian Keuangan akan mempertimbangkan kecukupan penganggaran atas suatu rencana/program yang telah dihasilkan dalam Musrenbangnas. Pada tahap ini, sering kali usulan rencana/program menghadapi hambatan, sehingga beberapa usulan akan ditolak demi kecukupan anggaran negara. Setelah melewati tahapan ini, usulan rencana/program yang telah tersaring dan disetujui dalam Trilateral Meeting akan disampaikan dalam Rapat Kerja DPR RI dengan Kementerian/Lembaga terkait dengan membahas rincian rencana/program pembangunan beserta anggarannya, karena DPR RI mempunyai hak budgeting yang mekanisme teknisnya akan disahkan dalam Rapat Badan Anggaran DPR RI bersama Pemerintah yang kemudian ditetapkkan menjadi UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga beberapa usulan rencana/program yang pada awalnya telah disampaikan dalam Musrenbangnas berpotensi tidak dapat difasilitasi melalui APBN.

Di samping itu, pada tingkat desentralistik selain adanya peraturan mengenai otonomi daerah (UU 32/2004 jo UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), juga UU 6/2014 tentang Desa menyebabkan keputusan di sektor energi tidak bergantung lagi dengan Pemerintah Pusat. Sehingga dari Pemerintah Daerah sampai Pemerintah setingkat Desa diharapkan mampu untuk mengatur anggaran dan keuangannya sendiri sesuai dengan kebutuhan rencana pembangunan setempat melalui kewenangan penerimaan perpajakan tertentu masing-masing Pemerintah Daerah yang telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat, dana alokasi khusus, dana dekonsentrasi maupun dana desa yang semuanya berasal dari APBN.

Hal ini disebabkan ketidakpuasan yang mulai merebak di daerah yang kaya cadangan energi fosil karena merasa Pemerintah Pusat hanya mau sumber daya alamnya tapi mengabaikan pembangunan setempat untuk menikmati pertumbuhan dan peningkatan standar hidup dari sumber daya yang menjadi hak Daerah. Serta juga meyebabkan kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk desa dan kota. Selain itu, wilayah-wilayah yang memiliki sumber energi terbarukan merasa kurang mendapat pemberdayaan dan dukungan dari Pemerintah Pusat dalam mengelola sumber-sumber energi tersebut. Secara umum, kelangkaan energi semakin nyata pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Diperparah dengan mulai dicabutnya subsidi energi secara bertahap. Sehingga untuk menanggulangi ketegangan tersebut, Pemerintah Pusat mulai melakukan kebijakan pendekatan yang pruralistik, dari bawah ke atas (bottom-up) guna mengimbangi tuntutan Otonomi Daerah yang lebih besar di tengah menghadapi kesulitan dalam menyediakan kecukupan pasokan energi akibat kelangkaan energi global.

(5)

Bappenas di bawah langsung Presiden, akan menjadi sangat vital kembali. Perubahan fungsi Bappenas disebabkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan DPR RI tidak lagi bisa membahas sampai satuan tiga (rincian rencana anggaran dan belanja Kementerian/Lembaga), sehingga kewenangan membahas rincian tersebut akan dikembalikan kepada Bappenas, demikian yang diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet[1].

2.2. Skenario Awak Kapal (Skenario Bandung) [2]

Pada masa akhir Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, mulai digagas mengenai ide untuk mengatasi permasalahan tata kelola energi yang lebih baik berdasarkan 4 skenario (Skenario Bandung) yang mungkin dapat terjadi ke depan oleh para pemangku kepentingan sektor energi atas inisiatif Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP), dimana semua skenario tersebut mempunyai tantangannya masing-masing. Skenario-skenario tersebut menciptakan kerangka kerja dan bahasa bersama untuk mendukung dialog, debat, dan pengambilan keputusan para pemangku kepentingan di dalam maupun di luar sektor energi. Skenario Bandung sektor energi digambarkan pada Tabel-1 di bawah.

Dari kondisi yang terjadi saat ini, maka indikasi-indikasi kondisi menunjukkan bahwa Skenario Awak Kapal lebih mendekati kondisi dan tantangan ke depan. Dimana dengan adanya UU 23/2014 dan UU 6/2014 maka kewenangan Pemerintah Daerah sampai tingkat Desa sekalipun menjadi lebih besar untuk mengatur anggaran dan belanja pembangunan masing-masing.

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel-1 di atas. Bahwa melihat situasi tersebut serta kemungkinan yang dapat terjadi melalui Skenario Awak Kapal, sebenarnya Pemerintahan saat ini telah mempersiapkan dasar-dasar kebijakan untuk mendukung Skenario Awak Kapal ini. Terbukti dengan adanya pendistribusian Dana Desa oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (KDPDT), sehingga Pemerintahan setingkat Desa dapat mengalokasikan Dana Desa tersebut sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakat desa melalui perencanaan pembangunan desa setempat yang telah disetujui oleh seluruh perangkat desa. Dari segi pendekatan perencanaan pembangunan, maka kondisi ini sangat memungkinkan diterapkannya pendekatan pruralistik/bottom-up dengan lebih luas yang bertujuan melaksanakan pembangunan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan karena pelaku

(6)

perencanaan pembangunan merupakan objek sasaran pembangunan itu sendiri, namun masih di bawah pengawasan Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam teknis pelaksanaannya sesuai prinsip Good Governance.

2.3. Kebijakan Energi Nasional

Sebagai upaya untuk mendukung pemerintah dalam mengembangkan manajemen pengelolaan energi di tanah air, Dewan Energi Nasional (DEN) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya telah merancang KEN. Saat ini Peraturan Pemerintahan (PP) KEN yang merupakan panduan operasional bagi tata kelola kebijakan energi hingga 2050 sudah terbentuk dengan lahirnya PP 79/2014 yang telah disahkan oleh Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu serta Pemerintahan saat ini sedang menjabarkannya dalam bentuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dasar pemikiran mengenai terbentuknya KEN atas dasar adanya pernyataan bahwa permasalahan energi Indonesia saat ini bukan disebabkan tidak mempunyai sumber daya energi, tetapi karena belum ditemukannya manajemen tata kelola yang tepat untuk Indonesia yang secara geografis merupakan negara kepulauan. Perencanaan dan pembangunan energi menganut konsep negara kontinental sehingga kurang tepat untuk Indonesia.

Secara definisi, KEN merupakan kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi Nasional. Kemandirian Energi adalah terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri. Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan, akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Bauran energi sampai dengan 2050 dalam KEN menitikberatkan pada pencapaian target peningkatan porsi EBT sampai dengan 31% dari bauran energi total pada 2050, dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik ditargetkan sebesar 430 GW. Target porsi EBT dalam jangka menengah pada 2025 sebesar 23%, dengan dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik ditargetkan sebesar 115 GW. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar-1 di bawah. Kebijakan mengenai energi nasional ini dibentuk agar dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam hubungan kebijakan pemerintah mengenai energi. Tujuan pengadaan KEN yaitu agar dapat dijadikan sebagai acuan dalam menata dan juga mengelola energi Indonesia di masa mendatang.

Dengan begitu Indonesia akan menjadi negara yang mandiri, terutama dalam bidang energi. Oleh sebab itu, KEN sangat penting untuk ada dan juga dipertahankan. KEN disusun sebagai pedoman dalam mengelola energi demi mewujudkan ketahanan energi yang juga sebagai sistem pendukung. KEN atau kebijakan energi nasional sendiri menetapkan sasaran penyediaan dan juga pemanfaatan energi primer serta energi final.

(7)

2.4. Tata Kelola Energi di India[3]

India bertransisi menjadi pemakai energi terbesar ketujuh dunia pada tahun 2000. Negara ini mempunyai kapasitas pembangkit listrik terbesar kelima dunia. Bauran energi di India meliputi semua sumber daya energi, termasuk energi terbarukan. Dominasi dari energi primer batubara dalam bauran energi nampaknya akan berlanjut pada masa mendatang.

Saat ini ketergantungan India terhadap impor energi primer batubara menjadi suatu permasalahan tersendiri, karena sekitar 58% dari total kapasitas pembangkitan energi listrik berasal dari batubara. Kapasitas terpasang PLTU batubara mencapai 86% dari total kapasitas terpasang pembangkit thermal yang mempunyai porsi 67% dalam bauran energi primer untuk pembangkitan. Sedangkan porsi energi primer lainnya, seperti energi terbarukan mencapai 13%, energi hidro mencapai 17% dan energi nuklir bertahan pada posisi 2% dalam porsi bauran energi.

Terdapat beberapa instansi dalam sektor energi di India. Dengan Komisi Perencanaan (Planning Commission) di atasnya yang sekarang menjadi institusi NITI Aayog (National Institution for Transfroming India), 5 Kementerian membidangi kebijakan energi untuk masing-masing jenis bahan bakar dan Kementerian-Kementerian yang lain serta Pemerintah Pusat yang secara langsung atau tak langsung dapat mempengaruhi kebijakan dalam energi. Seperti terdapat pada Gambar-2 di bawah.

Komisi Perencanaan (Planning Commission) dibentuk oleh resolusi pemerintah India pada tahun 1950 dengan Jawaharlal Nehru sebagai ketua pertama untuk mempercepat pembangunan ekonomi dengan mengalokasikan sumber daya nasional secara efisien dan memastikan kesempatan dibuka untuk semua kalangan masyarakat. Komisi Perencanaan memiliki tanggung jawab untuk menilai sumber daya nasional, untuk menentukan prioritas dan merumuskan perencanaan. Peran Komisi Perencanaan sangat penting karena merumuskan rencana lima tahunan dan memantau implementasi berdasarkan konsultasi dengan kementerian pusat dan pemerintah federal dalam prosesnya, namun tidak memiliki kekuatan untuk mengimplementasikan kebijakan. Perdana Menteri India sebagai ketuanya dan memberikan arahan kepada komisi pada semua isu-isu kebijakan utama, sementara ada wakil ketua dan anggota tetap yang berfungsi sebagai badan gabungan melalui beberapa divisi-divisi khusus.

Pembuatan kebijakan dan implementasi di sektor energi terbagi di antara lima kementerian, dan beberapa komisi pemerintah dan lembaga. Sebelumnya, terdapat Kementerian Energi, Kementerian ini membawahi bidang ketenagalistrikan, batubara dan energi non-konvensional. Dengan adanya reformasi ekonomi nasional, Kementerian Energi dibagi menjadi 5 kementerian yang terpisah pada tahun 1992, yaitu Kementerian Ketenagalistrikan (Ministry of

(8)

Power MOP) kebijakan eksplorasi dan pengembangan cadangan batubara; dan Kementerian Energi Baru dan Terbarukan

(Ministry of New and Renewable Energy – MNRE) melaksanakan program nasional untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan seperti energi angin, matahari dan minihidro. Kementerian Minyak dan Gas Bumi (Ministry of Petroleum and Natural Gas – MOPNG) mengawasi semua aspek dari sektor minyak dan gas alam, termasuk eksplorasi, produksi, pemasaran dan impor/ekspor. Serta Departemen Energi Atom (Department of Atomic Energy – DAE). Sedangkan Otoritas Kelistrikan Pusat untuk mengawasi dan menentukan penerapan kebijakan pengusahaan ketenagalistrikan mulai dari investasi, perizinan usaha sampai dengan penentuan tarif listrik yang ditangani oleh Pemerintah Pusat. Otoritas ini memiliki perwakilan pada tiap negara bagian di seluruh India, mulai dari daerah perkotaan sampai daerah terpencil.

2.5. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)

Secara harfiah metode ini dapat diartikan sebagai pengkajian pedesaan dan secara partisipatif. Menurut Robert Chambers (yang mengembangkan metode ini) mengartikan sebagai sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan dan atau pesisir untuk turut serta meningkatkan dan mengkaji pengetahuan mereka mengenai hidup dan keadaan mereka sendiri agar meraka dapat menyusun rencana dan tindakan pelaksanaannya.

Metode ini bukan sekedar pengkajian, melainkan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses kegiatan sejak mulai mengenal kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai mengevaluasi kegiatan. Juga bukan saja untuk masyarakat pedesaan, melainkan juga untuk perkotaan. Alasan dikembangkannya metode PRA dikarenakan adanya kelemahan pendekatan top-down, dimana terdapat ketidakselarasan antara Peneliti dan Perencana dengan pelaksanaan kegiatan. Dari kenyataan selama ini, bahwa masyarakat hanya sekedar sebagai pelaksana kegiatan atau objek pembangunan, tidak merasa pemilik perencanaan/program kegiatan pembangunan serta ada keberlanjutan apabila program pembangunan telah selesai dilaksanakan. Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan metode ini, yaitu:

1. Tujuan Jangka Pendek: yaitu melaksanakan kegiatan bersama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan praktis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

2. Tujuan Jangka Panjang adalah untuk mencapai pemberdayaan masyarakat dan perubahan sosial dengan pengembangan masyarakat melalui proses pembelajaran.[4]

PRA adalah pengenalan masalah/kebutuhan dan potensi wilayah pedesaan secara umum; perumusan masalah dan penetapan prioritas masalah; identifikasi alternatif pemecahan

(9)

masalah; pemilihan alternatif pemecahan masalah sesuai

dengan kemampuan

masyarakat dan sumberdaya yang tersedia; perencanaan penerapan gagasan; penyajian rencana kegiatan guna mendapatkan masukan dan penyempurnaan di tingkat yang lebih besar; pelaksanaan dan pengorganisasian masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan masyarakat; pemantauan dan pengarahan; serta evaluasi dan rencana tindak lanjut.

Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan PRA secara ringkas adalah penelusuran kondisi wilayah desa dari masa ke masa; pencatatan kalender musiman berdasarkan kebiasaan warga; gambaran

pemetaan wilayah desa; penelusuran lokasi (Transect); pembuatan Diagram Venn (bagan hubungan kelembagaan); kajian mata pencaharian warga desa; pembuatan Matriks Ranking (bagan peringkat); penyusunan Rencana Kegiatan Spesifik Lokasi. Dapat dilihat pada Gambar-3 di atas, memang proses pelaksanaan metode PRA menggunakan suatu pendekatan yang sesederhana mungkin agar setiap anggot amasyarakat dengan latar belakang pendidikan berbeda-beda dapat memahami bersama-sama dan peduli atas pelaksanaan rencana/pembangunan yang nantinya dapat memberikan pemberdayaan bersama. [5]

BAB III. GAGASAN KEBIJAKAN TATA KELOLA ENERGI 3.1. Peluang Perencanaan Pembangunan yang Lebih Tepat Sasaran

Dengan adanya putusan MK mengenai hak budgeting DPR RI yang menggugurkan kewenangan lembaga tersebut untuk memeriksa sampai dengan rincian kegiatan (satuan tiga) suatu Kementerian/Lembaga dan diserahkan kepada Bappenas kembali kewenangan tersebut serta Bappenas ditempatkan di bawah langsung Presiden melebihi kewenangan dari Kementerian Koordinator dan Kementerian/Lembaga lainnya, maka perencanaan/program pembangunan yang akan dilaksanakan oleh tiap Kementerian/Lembaga diharapkan akan berjalan lebih tepat sasaran, karena Bappenas dianggap mengerti tentang analisis teknokratis suatu perencanaan/program yang diusulkan oleh tiap Kementerian/Lembaga.

(10)

kewenangan Bappenas dalam menentukan penganggaran untuk prioritas program yang sangat diutamakan dalam misi Nawacita Pemerintahan saat ini. Kemudian penentuan satuan biaya kegiatan (Satuan Biaya Masukan – SBM) Kementerian/Lembaga masih merupakan domain Kementerian Keuangan dengan penetapan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), padahal diharapkan Bappenas dapat menyusun satuan biaya kegiatan karena hal ini terkait dengan penentuan satuan tiga dari pagu indikatif yang termuat dalam Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-K/L) ataupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Penyesuaian atas anggaran indikatif dalam Renja-K/L atau RKP selama ini memang merupakan kewenangan dari Bappenas. Serta kekurangan anggaran atas belanja negara (Kementerian/Lembaga) pada suatu rencana/program pembangunan, yang penerimaannya terbesar dari perpajakan (Kementerian Keuangan) selama ini ditutupi oleh pencarian dana oleh Bappenas.

3.2. Peluang Penerapan Metode PRA dalam Sektor Energi

Merujuk pada uraian pada Bab II, dimana terdapat kemungkinan Skenario Awak Kapal yang dapat terjadi serta dengan adanya Program Dana Desa maka metode PRA yang dikenal luas sebagai metode perencanaan dengan pendekatan bottom-up sangat cocok dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Hal ini selaras dengan filosofi pernyataan permasalahan yang mendasari tersusunnya KEN.

Ditambah dengan program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang saat ini sedang melakukan inovasi program dengan mengirimkan para sarjana melalui Program Penggerak Energi Tanah Air (PETA) dengan mendidik para sarjana tersebut untuk turun ke desa-desa atau daerah-daerah terpencil dan miskin untuk menggerakkan pembangunan infrastruktur energi yang nantinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat lokal agar dapat memberikan keberlanjutan program pembangunan energi ini.

Diharapkan dengan adanya program PETA ini, KESDM dapat bekerja sama dengan KDPDT untuk melakukan kesepakatan, sehingga KDPDT dapat mengucurkan dana desa tersebut dengan memprioritaskan dana tersebut untuk pembangunan energi, jika nantinya berdasarkan metode PRA yang dilaksanakan memang masyarakat lokal setempat membutuhkan infrastruktur energi agar dapat meningkatkan taraf ekonominya. Mengingat nawacita Pemerintahan saat ini yang salah satu program prioritasnya kedaulatan energi yang dilaksanakan sesuai dengan arahan dalam KEN. Model penerapan kerjasama antara KESDM dengan KDPDT ini diharapkan para sarjana yang mengikuti Program PETA dapat sekaligus menghitung potensi energi pada area kecil setempat, sehingga dapat mengetahui kapan seharusnya dilakukan pembangunan infrastruktur energi pada area itu, sekalipun jika belum begitu membutuhkan pembangunan infrastruktur energi, data/informasi mengenai potensi energi telah didapat oleh Pemerintah Pusat. Sehingga ketika area ini siap untuk dilaksanakan perencanaan pembangunan infrastruktur energi, maka data/informasi telah tersedia.

(11)

Selain itu, Pendekatan khusus untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, karena sifat dari infrastruktur ketenagalistrikan yang memiliki manfaat secara tidak langsung terhadap masyarakat setempat yang satu area dengan pembangkitan tenaga listrik. Maka perlu ada Peraturan Menteri khusus mengenai pembentukan unit khusus di PLN (setingkat area) di sekitar pembangkit dengan pentarifan khusus yang lebih murah dari TTL nasional, dihitung sebagai tanggung jawab sosial (CSR) dari perusahaan pembangkit IPP/swasta dan/atau PLN.

3.3. Alternatif Gagasan

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka perlu adanya perombakan dalam struktur organisasi yang menangani sektor energi, dimana KESDM diharapkan dapat dipisah sehingga Menteri yang menangani sektor energi dapat lebih fokus dalam mengambil kebijakan terkait energi. Mengadaptasi struktur organisasi sektor energi di India, gagasan yang diusulkan ini memecah KESDM menjadi 2 Kementerian, yaitu Kementerian Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan – Ministry of Power and Renewable Energy; dan Kementerian Energi Hulu dan Mineral – Ministry of Upstream Energy and Mineral), agar dapat memfokuskan urusan sektor ESDM, terutama sektor hulu energi seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara yang saat ini masih dianggap sebagai komoditas ekspor yang mempengaruhi penerimaan negara.

Berdasarkan Gambar-4, Kementerian

Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan (KKET) dibentuk agar dapat mengembangkan infrastruktur

ketenagalistrikan, terutama pembangkitan tenaga listrik yang berbasis sumber energi primer dari EBT. Diharapkan KKET memiliki kewenangan

salah satunya kebijakan untuk mengawasi dan meninjau tarif tenaga listrik (TTL) secara nasional maupun TTL secara lokal sehingga TTL lebih tepat sasaran dan berkeadilan sesuai potensi yang dimiliki area lokal, merencanakan program pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, melalui Badan Otoritas Kelistrikan Pusat (BOK) maupun Daerah. Badan ini juga melakukan kebijakan percepatan perizinan usaha penyediaan tenaga listrik serta mempromosikan investasi ketenagalistrikan kepada pihak-pihak swasta yang berminat dengan memberikan data/informasi potensi EBT yang diperoleh melalui metode PRA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga pihak swasta memperoleh kepastian pengembalian modal jika berinvestasi membangun pembangkit berbasis EBT, baik on-grid maupun off-grid. Peluang ini juga muncul karena PT PLN (Persero) juga telah melakukan regionalisasi perusahaan sehingga, penerapan TTL nasional berdasarkan kondisi suatu daerah dapat dilakukan secara berkeadilan.

(12)

Selain itu juga, KKET dapat membentuk Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi Energi Terbarukan (BP2TET) yang terdiri dari BLU Pusat Penelitian, Pengembangan dan Pengkajian Energi Surya (Puspesur), BLU Pusat Penelitian, Pengembangan dan Pengkajian Energi Angin (Puspera) serta BLU Pusat Pengembangan dan Pengkajian Energi Hidro Marjinal (Puspemar), dimana data/informasi potensi energi dari metode PRA akan diolah dan dilakukan pengembangan teknologi energi sesuai potensi energi area lokal setempat. Di samping membentuk unit eselon I, terdiri dari Ditjen Implementasi dan Akses Energi (DJIAE), Ditjen Program Energi (DJPE), Ditjen Konservasi Energi (DJKE). KKET dapat juga membentuk UPT seperti pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) sehingga jejaring aspirasi daerah dapat tertampung secara seksama dan UPT ini harus melaksanakan implementasi perencanaan/program energi, khususnya energi terbarukan di suatu kawasan tertentu yang secara khusus diperuntukkan untuk prioritas yang lain dan terkait energi, seperti Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

BAB IV. PENUTUP

Dengan adanya sistem perencanaan dengan pendekatan bottom-up diharapkan menjamin sutau hasil pembangunan yang berkelanjutan, karena masyarakat turut merasa memiliki hasil dari pembangunan itu sendiri. Penguatan fungsi Bappenas dalam hal kewenangan di bidang perencanaan dan penganggaran dianggap sangat perlu untuk diwujudkan, diiringi dengan perombakan KESDM menjadi 2 Kementerian terpisah yang memang memiliki latarbelakang permasalahan yang berbeda sambil dilakukan penguatan struktur organisasi dalam pemecahan KESDM.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://togartanjung.wordpress.com/2014/04/15/pergeseran-peran-bappenas-2/

2. “Skenario Bandung – Sketsa Energi Indonesia 2030”, atas prakarsa UKP-PPP

3. “India: Towards Energy Independence 2030”, McKinsey & Company, Inc., January 2014 4. “Panduan Pengambilan Data dengan Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan

Participatory Rural Appraisal (PRA) – Volume 2”, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2006

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, Avatara berarti Perwujudan Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa turun ke dunia untuk menegakkan dharma dari tantangan adharma dengan perwujudan tertentu untuk

15,821 4,235 Total other comprehensive income, after tax Jumlah laba rugi komprehensif 172,634 152,554 Total comprehensive income Laba (rugi) yang

Proses mediasi dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan domisili nasabah, pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia dilakukan sampai

Sistem informasi akademik yang akan di bangun meliputi : pengolahan data siswa, data guru, data kelas, data mapel, data pengembangan diri, data ekskul, jadwal ,

5 diperlukan di kantor ini (PT. Finnet Indonesia), namun belum ada penelitian mengenai hal tersebut, sehingga kami dari pihak Human Resource belum tahu apakah self concept yang

Para kader PKK yang juga para istri camat dan lurah ini harus verbal atau berbicara di depan umum den- gan baik.. “Bagaimana kita bisa memobilisasi warga untuk menjaga

Manfaat penghitungan BOSP yang rinci bagi masyarakat/orangtua adalah sebagai informasi yang transparan dan mudah dimengerti tentang (1) biaya operasional yang harus

Hasil penelitian menggunakan analisis univariat untuk karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan lama kerja), tingkat stres kerja, dan