• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Polimorfisme Gen Matriks Metaloproteinase-12 Dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik Dibandingkan Dengan Non Penyakit Paru Obstruktif Kronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Polimorfisme Gen Matriks Metaloproteinase-12 Dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik Dibandingkan Dengan Non Penyakit Paru Obstruktif Kronik"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

2.1.1 Definisi PPOK

Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Penyakit tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun (GOLD, 2011). PPOK adalah penyakit peradangan saluran nafas kronis, yang ditandai dengan batasan aliran udara yang reversibel, infiltrasi sel-sel inflamasi, lendir berlebihan dan perbaikan saluran nafas (Zhou et al., 2013).

PPOK merupakan sekumpulan penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronis, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk satu kesatuan yang disebut Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) (Nguyen

et al., 2013).

(2)

chronic airflow limitation (CAL)’ dan ‘chronic obstructive lung diseases (COLD)’ (Supriyadi, 2013).

PPOK merupakan salah satu dari sekelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara didalam ruangan dan di tempat kerja (GOLD, 2011).

2.1.2 Klasifikasi PPOK

Klasifikasi PPOK menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2010) yaitu:

1. PPOK Ringan: gejala batuk kronik dan sputum (+), tetapi tidak sering. Pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru sudah menurun.

PFT : FEV1/FVC <70 %, dan FEV1≥ 80% prediksi

2. PPOK Sedang: sesak mulai dirasakan saat beraktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pasien sudah mulai datang berobat.

PFT : FEV1/FVC <70 %, 50%<FEV1<80%

3. PPOK Berat: gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah, dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kesehatan.

PFT : FEV1/FVC<70%, 30%<FEV1<50%

(3)

kesehatan semakin memburuk dan pada eksaserbasi pasien dapat meninggal (mengancam jiwa).

PFT : FEV1/FVC <70%, FEV1 <30 % atau FEV1<50% DENGAN GEJALA GAGAL NAPAS KRONIS

2.1.3 Etiologi PPOK

Faktor resiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dengan penyebab terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi: a. Faktor pejamu (host), b. Faktor perilaku (kebiasaan) merokok, dan c. Faktor lingkungan (polusi udara) (Kemenkes RI, 2008).

Gambar 2.1 Faktor Resiko Berkembangnya PPOK (Dikutip dari Teramoto, 2007).

(4)

pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa kanak-kanak. Asap rokok merupakan faktor terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun, dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian.

Tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal ini berhubungan dengan faktor genetik. Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dll. Polusi di luar ruangan (outdoor) seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan polusi di tempat kerja seperti bahan kimia, debu atau zat iritasi dan gas beracun (Kemenkes RI, 2008).

Masalah penyakit tidak menular (PTM) semakin meningkat di Indonesia. Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan nasional pengendalian PTM sejak tahun 2005. Pencegahan PTM dapat dilakukan dengan empat perilaku utama berisiko, yaitu konsumsi tembakau (rokok) dan alkohol, kurangnya aktivitas fisik, diet yang tidak sehat dan hipertensi. Program deteksi dini PPOK dilaksanakan dengan melatih 20 tenaga kesehatan dari 5 provinsi. Deteksi dini dengan pemeriksaan spirometri dilakukan pada masyarakat yang beresiko, seperti pekerja tambang dan prokok. Dilaksanakan pula surveilans epidemiologi PPOK di puskesmas dan rumah sakit (Kemenkes RI, 2011).

(5)

kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa bagian terbesar dari anggota rumah tangga dapat dikategorikan sebagai perokok pasif (Depkes RI, 2007).

2.1.4 Epidemiologi PPOK

PPOK adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. WHO dan Global Burden of Disease and Risk Factors memperkirakan pada tahun 2005, PPOK adalah penyebab utama kematian kelima di negara maju dan penyebab utama kematian keenam di negara berkembang. Merokok adalah etiologi utama faktor resiko untuk berkembangnya penyakit ini. Namun hanya sekitar 10-20% perokok secara signifikan berkembang menjadi PPOK, walaupun mungkin ini masih menjadi perkiraan saja. Selanjutnya, terdapat variabilitas diantara perokok yang memiliki tingkatan dampak yang sama dengan banyaknya perkembangan bentuk dari penyakit ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik menjadi dasar untuk kerentanan penyakit PPOK (Haq et al., 2010).

PPOK adalah penyebab kematian keempat di Amerika Serikat, mengambil 120.970 jiwa pada 2006, disesuaikan dengan angka kematian 39.9 per 100.000 penduduk. Pada tahun tersebut juga selama enam tahun berturut-turut PPOK menyebabkan kematian pada pria (57,970) dan pada wanita (63,006). Pada tahun 2008, jutaan warga Amerika (43,6 per 1000) dilaporkan telah menderita PPOK dalam tahun terakhir (American Lung Association, 2010).

(6)

juta kematian di India. Sehingga menempatkan negara ini sebagai negara kedua kematian di dunia dengan PPOK (Arja etal., 2014).

Hasil SUSENAS 2005 menyebutkan bahwa 27,7% penduduk berusia diatas 10 tahun menyatakan merokok dalam satu bulan terakhir. Jadi mereka yang tidak merokok sebesar 72,3%. Jika diperhatikan prevalensi merokok menurut jenis kelamin, didapatkan persentase perbedaan merokok yang mencolok antara penduduk laki-laki (54,5%) dan perempuan (1,2%) (Depkes RI, 2007).

Persentase penduduk perokok yang mulai merokok pada usia di bawah 20 tahun meningkat dari 60,0% (SUSENAS 2005) menjadi 68,0% (SUSENAS 2006) yang memberikan gambaran usia merokok cenderung lebih awal (muda). Sebesar 23,8% mulai merokok pada usia 20-24 tahun (Depkes RI, 2007).

Menurut laporan RISKESDAS 2013, prevalensi PPOK meningkat seiring bertambahnya usia, cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan, dan lebih tinggi di pedesaan dibanding di perkotaan. PPOK ditemukan lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan indeks kepemilikan terbawah. Di Indonesia, prevalensi penyakit PPOK adalah sebesar 3,7% berdasarkan wawancara umur ≥ 30 tahun. Berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah sebesar 7,8%. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang kepada orang lain.

(7)

progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan.

Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dengan nilai Indeks Brinkman ≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang dihisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak (RISKESDAS, 2013).

2.1.5 Diagnosis PPOK

Diagnosis PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2008), ditegakkan berdasarkan:

Gambaran Klinis a. Anamnesis

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernafasan - Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

(8)

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak - Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b. Pemeriksaan fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan • Inspeksi

- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah dan sela iga melebar. • Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

• Auskultasi

- Suara nafas vesikuler normal atau melemah

- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa

- Ekspirasi memanjang

(9)

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed-lips breathing.

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pursed-lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.

Diagnosis PPOK berdasarkan anamnesis yaitu batuk, produksi sputum, sesak nafas dan riwayat pajanan terhadap faktor risiko. Tanda dan gejala klinis seperti sesak nafas dan waktu ekspirasi memanjang bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang baku adalah spirometri. Bila spirometri tidak tersedia, diagnosis PPOK harus ditegakkan menggunakan cara lain yang ada (Supriyadi, 2013).

Gambaran penyakit PPOK melibatkan dua kondisi patologis yaitu bronkitis kronis dan emfisema paru-paru. Di India, asap rokok dan paparan biomassa bahan bakar buang (kotoran hewan, kayu dan residu tanaman) adalah faktor risiko pada masing-masing pria dan wanita (Arja etal., 2014).

(10)

merupakan masalah pengobatan yang terpenting, oleh sebab itu mekanisme obstruksi jalan nafas pada penderita PPOK perlu dipahami secara baik. Mekanismenya yaitu dimulai dari obstruksi oleh sekret pada saluran nafas akibat produksi sekret yang berlebihan disertai penebalan kelenjar-kelenjar, infeksi saluran nafas, sembab mukosa, konstriksi otot polos bronkus (bronkospasme), dilatasi dan obstruksi alveoli pada emfisema (Tarigan, 2012).

Kriteria umum untuk mendiagnosa PPOK adalah ‘obstruksi jalan nafas yang progresif ireversibel’ pada spirometri. Sayangnya, alat spirometri tidak selalu tersedia dan hasil dari tes spirometri tidak selalu direkam dan konsisten. Lebih lanjut, spirometri hanya dapat dilakukan oleh orang yang berpengalaman dan hal yang sama tidak berlaku untuk perawatan primer (Joshi, 2008).

2.1.6 Patogenesis PPOK

(11)

Gambar 2.2 Patogenesis Terjadinya PPOK (dikutip dari GOLD, 2010).

Dua hipotesa utama penyebab PPOK yaitu hipotesa protease-antiprotease dan hipotesa oksidan-antioksidan yang telah ada sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Hal yang diyakini bahwa xenobiotik, termasuk reaktif epoksida dan benzo pyrene juga terlibat dalam patogenesis PPOK, oleh kemampuannya untuk menghambat antiprotease dan mendorong kerusakan sel dan jaringan di paru. Faktor resiko penting terjadinya PPOK adalah kebiasaan merokok. Namun, hanya sekitar 10-20% saja dari perokok berat yang berkembang menjadi PPOK, yang menunjukkan bahwa kerentanan dari perokok berhubungan dengan faktor genetik. Selain itu, studi terbaru menemukan bahwa faktor keturunan selain inhibitor protease mungkin mempengaruhi obstruksi aliran udara dan bronkitis kronis (Ishii et al., 2006).

Sebagai penyakit yang kompleks, mekanisme molekular yang tepat untuk PPOK masih belum diketahui. Namun hal tersebut masih dapat diterima bahwa terjadinya PPOK dipengaruhi oleh interaksi gen dengan lingkungannya (Zhou et al., 2013).

(12)

radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim terjadi di daerah industri. Polusi udara yang terus-menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah (Nguyen et al., 2013).

Penyakit paru obstruktif kronik tidak hanya menyebabkan respon inflamasi paru yang abnormal, tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik, aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi. Respons inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase

protein akan meningkatkan pembekuan darah yang merupakan prediktor angka

kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga menjadi pemicu terjadi trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung (Jurnal Respirologi Indonesia, 2007).

2.1.7 COPD Assessment Test (CAT)

(13)

dapat menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari pasien (CAT Development Steering Group. COPD Assessment Test (CAT) User Guide. 2009).

Para ahli yang terlibat dalam pengembangan CAT menyarankan pasien PPOK untuk melengkapi kuesioner CAT ketika menunggu untuk pemeriksaan atau saat di rumah sebelum berangkat konsultasi karena CAT hanya membutuhkan beberapa menit untuk diisi. Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi dapat membantu dalam menyusun langkah penatalaksanaan pasien. CAT Development Steering Group dan GOLD menyarankan agar pasien mengisi kuesioner CAT setiap 2 sampai 3 bulan untuk menilai perubahan (CAT Development Steering Group. COPD Assessment Test (CAT) User Guide. 2009).

2.2 Matriks Metaloproteinase-12 (MMP-12)

2.2.1 Sejarah

Matriks Metaloproteinase-12 (MMP-12) pertama sekali ditemukan oleh Jerome Gross dan Charles M. Lapiere, pada tahun 1962 ketika mempelajari mengenai degradasi dari kolagen triple-helical selama metamorfosis. Kolagen tersebut dibelah oleh enzim yang disebut insterstitial colagenase. Enzim ini pertama sekali diisolasi dari kulit manusia, proMMP atau MMP zymogen (Zitka et al., 2010).

(14)

perubahan spesifik mereka pada urutan DNA. Gen MMP-12 terletak pada kromosom 11q22.2-q22.3 (Sekhon, 2010).

2.2.2 Definisi MMP-12

MMP-12 adalah bagian dari MMP dan dikelompokkan ke dalam makrofag metaloelastase. MMP-12 memiliki kemampuan untuk membelah elastin bersama MMP lainnya (golongan gelatinase dan matrilisin). MMP-12 juga dapat membelah fibronektin, laminin, kolagen, membran basal, entaktin, chondroitin sulphate, dll. Enzim ini adalah makrofag yang mampu menembus membran basal dan juga membentuk kembali jaringan inflamasi (Zitka et al., 2010).

2.2.3 Karakteristik MMP-12

(15)

Gambar 2.3 Struktur Domain Dasar dari MMP-12 pada manusia. Bentuk laten

MMP-12 pada manusia (atas), bentuk aktif dari MMP-12 pada

manusia dengan berat molekul 45KDa (tengah), dan domain katalitik

dengan berat molekul 22KDa (bawah) (Dikutip dari Song et al., 2013).

2.2.4 Struktur MMP-12

(16)

Gambar 2.4 Struktur utama MMP dan perannya pada proses fisiologis dan

patofisiologis (kiri). Struktur spesifik dari beberapa kelompok MMP

(kanan) (dikutip dari Zitka et al., 2010).

2.2.5 Klasifikasi MMP-12

(17)

Anggota keluarga dari MMP secara umum terbagi atas 40% dari struktur primernya. Diperkirakan terdapat 20 jenis yang berbeda dari MMP telah ditemukan dan diklasifikasi berdasarkan area pre-syntheticnya pada kromosom dan spesifisitas substratnya yang berbeda-beda. Penomoran dimulai dari MMP-1 sampai MMP-28 telah digunakan sebagai klasifikasinya, tetapi beberapa diantaranya masih belum teridentifikasi sesuai sistem (Zitka et al., 2010).

Tabel 2.1 Klasifikasi enzim MMP

No. Jenis MMP Kelas Lokasi kromosom (manusia)

1. MMP-1 Kolagenase 11q22-q23

2. MMP-8 Kolagenase 11q21-q22

3. MMP-13 Kolagenase 11q22.3

4. MMP-18 Kolagenase Bukan pada manusia

5. MMP-2 Gelatinase 16q13

6. MMP-9 Gelatinase 20q11.2-q13.1

7. MMP-3 Stromelisin 11q23

8. MMP-10 Stromelisin 11q22.3-q23

9. MMP-11 Stromelisin 22q11.2

10. MMP-17 Stromelisin 11q22.2-22.3

11. MMP-7 Matrilisin 11q21-q22

12. MMP-26 Matrilisin 11p15

(18)

14. MMP-15 MT-MMP 16q13-q21

15. MMP-16 MT-MMP 8q21

16. MMP-17 MT-MMP 12q24.3

17. MMP-24 MT-MMP 20q11.2

18. MMP-25 MT-MMP 16p13.3

19. MMP-12 Metaloelastase 11q22.2-q22.3

20. MMP-19 Enzim lain 12q14

21. MMP-20 Enzim lain 11q22.3

22. MMP-21 Enzim lain 1p36.3

23. MMP-22 Enzim lain 11q24

24. MMP-23 Enzim lain 1P36.3

25. MMP-28 Enzim lain 17q11.2

26. MMP-29 Tidak terdeteksi -

(Sekhon, 2010).

2.2.6 Fungsi MMP-12

(19)

Aktivitas dari MMP dipengaruhi oleh gen yang mengkodenya. Keberadaan polimorfisme gen menentukan tingkatan ekspresi yang berbeda diantara individu, yang pada akhirnya menghasilkan berbagai fenotip penyakit yang berbeda untuk setiap populasi (Zhou et al., 2013).

2.3 MMP-12 dan PPOK

Sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa penyebab PPOK adalah ketidakseimbangan dari enzim proteolitik dan inhibitornya, berdasarkan penelitian bahwa defisiensi berat dari α1-antitripsin pada perokok yang berkembang menjadi emfisema paru usia dewasa. Hal ini diduga terjadi karena tidak ada hambatan dari neutrofil elastase yang menurunkan elastin, komponen utama dari jaringan ikat paru. Ada sejumlah enzim proteolitik yang juga mampu menurunkan elastin adalah matriks metaloproteinase (MMP), kelompok dari proteinase yang mampu menurunkan komponen protein utama dari matriks ekstraselular (Haq et al., 2010).

Tabel 2.2 Studi Hubungan MMP dengan PPOK pada beberapa Penelitian

Penulis

(Tahun)

Kasus Kontrol Popu

lasi

Polimorfisme Gen Penemuan

Minematsu et al

MMP1 -1607G/GG dan MMP9

357Asn/Ser berhubungan dengan

PPOK

Zhou et al

(2004)

100 pasien PPOK 98 perokok pasif Han (Cina

Selatan)

MMP9 (-1562C/T) MMP9 -1562 C/T berhubungan

(20)

PPOK

MMP-12 357 Asn/Ser berhubungan

dengan PPOK

Ito et al (2005) 84 pasien PPOK 85 perokok pasif Jepang MMP9 (-1562C/T) MMP9 -1562C/T berhubungan dengan PPOK

Hersh et al

(2006)

304 pasien PPOK 441 perokok pasif Kaukasia

(USA)

MMP1 (-1607G/GG)

MMP9 (CA Repeat)

Tidak ditemukan hubungan

Tesfaigzi et al

MMP9 CA Repeat berhubugan

dengan PPOK

Tidak ditemukan hubungan

(Haq et al., 2010).

2.4 Polimorfisme Gen MMP-12 pada PPOK

(21)

fungsi paru. Polimorfisme MMP-12 diidentifikasi dalam promoter gen (substitusi adenosin [A] - untuk - guanosin [G] pada posisi –82) (Li et al., 2012).

Dalam dekade terakhir, upaya besar yang telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan resiko PPOK pada berbagai populasi. Namun, banyak hasil penelitian yang tidak konsisten. Beberapa melaporkan bahwa MMP tertentu berhubungan dengan terjadinya PPOK. Penemuan ini kontradiktif karena keterbatasan jumlah sampel, hasil yang salah dan bias penelitian. Dalam mengidentifikasi polimorfisme MMP yang berperan dalam terjadinya PPOK, dilakukan sebuah meta analisis untuk mengukur keseluruhan polimorfisme PPOK (Zhou et al., 2013).

Tabel 2.3 Distribusi Alel dan Genotip MMP-12 dari beberapa penelitian

Alel Genotip HWE(p)

Kasus Kontrol Kasus Kontrol

MMP12 -82 A/G (rs2276109) A G A G AA AG GG AA AG GG

Diemen 2011 308 56 195 345 130 48 4 812 281 32 0.202

Haq 2010 174 205 152 228 782 185 10 657 210 9 0.082

Korytina 2008 567 69 579 59 249 69 0 260 59 0 0.069

Korytina 2012 700 82 787 85 309 82 0 353 81 2 0.243

Schirmer 2009 194 28 186 16 84 26 1 85 16 0 0.387

Zhang 2004 289 7 386 8 141 7 0 189 8 0 0.877

(22)

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa SNP di wilayah promoter dari gen MMP telah dijelaskan. Untuk MMP-12 -82A G(rs2276109) telah terdeteksi. Analisis fungsional dari SNP tersebut telah diusulkan berperan pada aktivitas transkripsi, yang mengarah pada ekspresi gen (Nguyen et al., 2013).

MMP-12 terletak di dekat kromosom 11. Telah dilaporkan ada hubungan dari gen-gen ini dengan PPOK, termasuk asosiasi dari haplotipe MMP-1 dan 12 pada tingkat penurunan fungsi paru pada suku Kaukasia dan hubungan dari promoter polimorfisme MMP-9 dengan emfisema pada populasi Jepang. Namun, ada data yang bertentangan dengan potensi keterlibatan dari variasi MMP pada PPOK. Hal ini akan mencerminkan sejumlah isu yang berkaitan dengan studi kasus kontrol positif atau berkurangnya sampel yang kecil dan terbatasnya jumlah polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang diselidiki (Haq et al., 2010).

Tabel 2.4 Ringkasan Penelitian yang menyelidiki Hubungan Polimorfisme MMP-12 dan PPOK

(23)

Haq 2010 Kaukasia 977 876 Tidak GOLD KASPar assay

Hersh 2005 Kaukasia 304 441 Tidak NETT Taqman

Hua 2010 Asia 180 180 Ya CMA PCR-RLFP

Ito 2005 Asia 84 85 Tidak GOLD PCR-RLFP

Korytina 2008 Kaukasia 318 319 Ya GOLD PCR-RLFP

Korytina 2012 Kaukasia 391 514 Tidak GOLD PCR-RLFP

Lee 2010 Asia 301 333 Tidak GOLD ABI sequencer

Minematu 2001 Asia 45 65 Ya CT-Scan PCR-RLFP

Santus 2009 Kaukasia 147 133 Tidak GOLD ABI sequencer

Schirmer 2009 Kaukasia 111 101 Tidak jelas GOLD PCR-RLFP

Sun 2005 Asia 59 109 Ya CMA PCR-RLFP

Sun 2012 Asia 80 74 Ya CMA PCR-RLFP

Tesfaigzi 2006 Kaukasia 123 262 Tidak 58.6 PCR-RLFP

Zhang 2004 Asia 148 197 Ya CMA PCR-RLFP

Zhang 2005 Asia 147 120 Ya CMA PCR-RLFP

Zhou 2004 Asia 100 98 Ya GOLD PCR-RLFP

(Zhou et al., 2013).

(24)

digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara SNP 26 dalam MMP-1,9, dan 12 pada PPOK untuk menyelidiki hubungan yang didefinisikan fenotip berat oleh GOLD. SNPs yang bertanda ini menyediakan sebagian besar variasi dalam gen MMP (Haq et al., 2010).

2.5 Terapi dan Pengobatan pada PPOK

Gambar 2.6 Algoritma Pengobatan PPOK berdasarkan Farmakogenetik. (Dikutip

dari Wood et al., 2009).

(25)

lanjut untuk menentukan gambaran klinis yang spesifik yang dipengaruhi oleh faktor genetik. Penentuan genotip dari polimorfisme kemudian akan dilakukan untuk mengidentifikasi jalur penting dari patofisiologinya, dan terapi akan diarahkan pada sisi yang paling aktif dari individu tersebut. Pemantauan spesifik dari respon tingkat protein target atau fenotip klinis kemudian akan dilakukan. Algoritma pengobatan ini boleh digunakan bersamaan dengan pengobatan lainnya, seperti bronkodilator, atau untuk membantu pengobatan mahal lainnya (Wood et al., 2009).

2.6 Hukum Hardy-Weinberg Equilibrium

Hukum Hardy-Weinberg dirumuskan oleh G.H. Hardy adalah pakar matematika yang berasal dari Inggris dan W.Weinberg adalah dokter yang berasal dari Jerman. Hukum Hardy-Weinberg menyatakan jumlah distribusi frekuensi alel dan distribusi genotif dalam suatu populasi selalu konstan, yaitu berada dalam satu kesetimbangan kecuali terdapat beberapa pengaruh seperti mutasi, perkawinan tak acak, seleksi, aliran gen dengan jumlah yang besar dan menetap.

(26)

Kerangka Teori

(Joos et al., 2005).

PPOK Penyebab PPOK:

- Faktor pejamu (host) - Faktor kebiasaan - Penurunan berat badan - Risiko penyakit

kardiovaskuler - Osteoporosis - Depresi (Oemiati,2013).

oksidan antioksidan protease MMP-12 MMP-9 Stress

oksidatif

Anti protease

Gambar

Gambar 2.1 Faktor Resiko Berkembangnya PPOK (Dikutip dari Teramoto, 2007).
Gambar 2.2 Patogenesis Terjadinya PPOK (dikutip dari GOLD, 2010).
Gambar 2.3 Struktur Domain Dasar dari MMP-12 pada manusia. Bentuk laten MMP-12 pada manusia (atas), bentuk aktif dari MMP-12 pada manusia dengan berat molekul 45KDa (tengah), dan domain katalitik dengan berat molekul 22KDa (bawah) (Dikutip dari Song et al.
Gambar 2.4 Struktur utama MMP dan perannya pada proses fisiologis dan patofisiologis (kiri)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor.. Nilai Ujian

Di dalam hidup berumah tangga, keluarga mempunyai beberapa fungsi, sebagai berikut :.. Fungsi Pendidikan : Dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak

HAIKAL HANIF NASUTION: Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Berbagai Perbandingan Media Tanam Sludge dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) di Pre

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bila suatu balok hanya mengalami satu beban terpusat gaya geser bernilai konstan di antara beban dan momen lentur

Suatu kebakaran tidak akan pernah terjadi tanpa tersedia oksigen, bahan bakar dan sumber panas yang cukup yang dapat berkombinasi dengan sesuai. Berdasarkan konsep segitiga

Merupakan teori yang dikembangkan berdasarkan pandangan perkembangan manusia bersifat kompleks sehingga tidak bisa hanya didasarkan pada satu fakor saja yaitu kematangan

Ada pengaruh yang signifikan secara parsial maupun simultan personal selling dan promosi pen- jualan terhadap peningkatan vo- lume penjualan produk fashion SM (Multi

Kesimpulan penelitian adalah terdapat hubungan yang positif antara antara kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan kepuasan konsumen Matahari Dept Store pada warga RW