• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802013601 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802013601 Full text"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PETUGAS PEMULASARAAN JENAZAH

DI RUMAH SAKIT DI KOTA SALATIGA

OLEH

HELLENA DARA CHRISTINA

802013601

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ADAPTASI, BEBAN PSIKOLOGIS, DAN RELASI DENGAN ISTRI

PETUGAS PEMULASARAAN JENAZAH DI RUMAH SAKIT

DI KOTA SALATIGA

Hellena Dara Christina

Aloysius L. S. Soesilo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

ABSTRAK

Petugas pemulasaraan jenazah memiliki tugas untuk merawat jenazah yang meliputi kegiatan memandikan, mengkafani, dan menshalati sebelum jenazah pulang ke rumah duka atau dilakukan pemakaman jenazah. Jenazah yang dipulasarakan memiliki berbagai variasi kondisi. Sebagai pekerjaan yang semula tidak dipilih, disertai dengan penanganan jenazah dalam kondisi jenazah yang berbeda-beda memberikan tantangan bagi partisipan untuk beradaptasi. Tidak jarang mereka mengalami kecemasan, ketakutan, stres, trauma, dan mengalami hal mistis sewaktu mereka bekerja. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan proses adaptasi dan mengeksplorasi pengalaman berhadapan dengan kematian dan jenazah pada petugas pemulasaraan jenazah di Rumah Sakit di Kota Salatiga serta mengidentifikasi reaksi dan proses adaptasi istri terhadap pekerjaan suami. Penelitian ini melibatkan empat partisipan yang terdiri dari satu petugas pemulasaraan jenazah yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga dengan masa kerja empat tahun dan satu petugas pemulasaraan jenazah yang bekerja di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga dengan masa kerja sepuluh tahun beserta masing-masing istri. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa kedua petugas pemulasaraan jenazah awalnya mengalami stres, takut, cemas, dan trauma ketika menghadapi berbagai kondisi jenazah maupun ketika mereka mengalami hal mistis. Adanya magang dan dukungan keluarga dapat membantu mereka dalam melewati proses adaptasi. Istri kedua partisipan awalnya juga mengalami kekhawatiran, ketakutan, dan trauma dari pekerjaan suami mereka. Setelah melewati proses adaptasi dengan cara mereka masing-masing akhirnya mereka bisa beradaptasi dan mampu memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan suami mereka.

(9)

ABSTRACT

The mortician has a duty to care for the corpse which includes bathing, dying, and cremation

before the corpse goes home to funeral or funerals. The corpse has a variety of conditions. As

previously unelected work, accompanied by the handling of corpses in different corpse

conditions posed challenges for participants to adapt. Not infrequently they experience

anxiety, fear, stress, trauma, and experience a mystical thing while they work. Qualitative

research aims to describe the process of adaptation and explore the experience of dealing

with death and corpse on the corpse officer at the Hospital in Salatiga City and identify the

reaction and process of wife adaptation to husband's work. The study involved four

participants consisting of a mortician who worked at Salatiga District Public Hospital with a

four-year working period and a post-mortem worker working at Dr. Ario Wirawan Lung

Hospital Salatiga with ten years working with each wife. From the results of this study it was

found that the two mortgage officers initially experienced stress, fear, anxiety, and trauma

when faced with various conditions of the corpse and when they experience a mystical thing.

The apprenticeships and family support can help them through the process of adaptation. The

wives of both participants initially also experienced fear, fear, and trauma from their

husbands' work. After going through the process of adaptation in their own way they can

finally adapt and be able to provide the social support their husbands need.

(10)

PENDAHULUAN

Rumah sakit tidak hanya merupakan tempat bagi penyelenggaraan kesehatan, tetapi juga merupakan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja dengan perbedaan tingkat keterampilan dan kemampuan yang sangat luas, mulai dari dokter spesialis dan superspesialis dengan pendidikan formal yang lama, sampai tenaga kerja kesehatan yang nonterampil dengan pendidikan umum yang sangat rendah. Salah satu tenaga kerja di rumah sakit adalah petugas pemulasaraan jenazah. Petugas pemulasaraan jenazah ini dapat berasal dari berbagai tingkat pendidikan, dari yang berpendidikan tinggi maupun yang berpendidikan rendah, dan juga berasal dari berbagai gender, baik laki-laki maupun perempuan. Petugas pemulasaraan jenazah memiliki tugas untuk merawat jenazah yang meliputi kegiatan memandikan, mengkafani, dan menshalati sebelum jenazah pulang ke rumah duka atau dilakukan pemakaman jenazah.

(11)

Kematian dapat berasal dari berbagai macam penyebab misalnya, sakit suatu penyakit, bunuh diri, atau kecelakaan, hal seperti ini akan menimbukan reaksi emosional pada mereka yang bertugas memulasarakan jenazah-jenazah tersebut. Dalam keadaan serius bisa menyebabkan trauma sekunder. Sklarew, Handel, dan Ley (2012) menyatakan bahwa trauma sekunder dialami beberapa anggota staf yang melaporkan mengalami mimpi buruk pada keadaan kematian paralel; hypervigilance; gangguan tidur; dan perasaan mati rasa, marah, takut dan kesedihan. Reaksi terhadap kematian mendadak dan traumatis sangat bervariasi, sehingga proses terjalin duka dapat mencakup aspek sosial, budaya, agama, psikologis, dan aspek biologis. Hal ini dapat menjadi salah satu pengalaman yang paling kuat dari kehidupan biasa dengan tingkat kesulitan yang tidak terukur.

Perasaan yang berhubungan dengan kejadian traumatis termasuk depresi, kecemasan, harga diri yang rapuh, disregulasi, somatisasi, diinternalisasi agresi, kekosongan, dan keputusasaan dapat terus berlangsung selama bertahun-tahun. Kondisi seperti ini mudah terjadi ketika misalnya, ada kejadian serupa berulang kembali, atau adanya acara memperingati kematian korban. Dalam kasus kematian karena kekerasan, petugas pemulasaraan jenazah dihadapkan dengan realitas dan gambar kekerasan, mungkin dengan korban yang dimutilasi, hal ini bisa menimbulkan keadaan emosi yang acak (Sklarew, Handel, dan Ley, 2012).

(12)

3

Orang yang bekerja di kamar jenazah sering mencakup kerabat yang memberitahukan kematian, yang secara signifikan dapat menimbulkan stres, Eth, Baron, dan Pynoos (dalam Ward, Flisher, dan Kepe, 2006). Pengurus cenderung mengalami tingkat yang lebih tinggi dari anxietas akan kematian, Thorston dan Powell (dalam Ward, Flisher, dan Kepe, 2006) dan mengalami terjadinya tanda yang berhubungan dengan stres traumatik, Kroshus, Swarthout, dan Tibbetts (dalam Ward, Flisher, dan Kepe, 2006).

Menurut penelitian Flynn, McCarrol, dan Biggs (2015), pekerja yang berpengalaman dan tidak berpengalaman mengakui bahwa mereka merasakan beberapa derajat dari stres sebelum melakukan penanganan secara langsung terhadap jenazah. Dalam serangkaian penelitian dari tentara, stres diantisipasi dengan tentara yang memiliki pengalaman menangani dan mereka yang memiliki pengalaman stres yang diantisipasi dari 13 situasi yang melibatkan penanganan pada jenazah; kondisi tubuh (dibakar, membusuk, dipotong-potong), hubungan dari jenazah (dikenal, teman, anak), dan konteks pemulihan (dari medan perang, rumah sakit). Orang yang berpengalaman melaporkan bahwa stres kurang diantisipasi daripada yang kurang berpengalaman, McCarroll, Ursano, dan Ventis (dalam, Flynn, McCarroll, dan Biggs, 2015). Pekerja yang berpengalaman dilaporkan tidak mengetahui apa jenis trauma yang akan mereka hadapi, pekerja yang kurang berpengalaman takut akan reaksi yang akan mereka timbulkan dan akan merasa malu di depan orang lain, McCarroll, Ursano, dan Ventis (dalam, Flynn, McCarroll, dan Biggs, 2015 ).

(13)

secara baik. Perawat yang pada dasarnya sudah dilatih dan sudah belajar dalam menangani dan menghadapi jenazah masih mengalami stres saat berhadapan dengan kematian (Indriastuti, 2014).

Menurut Saam dan Wahyuni (2012), stres merupakan emosi ganda (multi

emotion) yang bukan emosi tunggal. Menurut Dwight (dalam Saam dan Wahyuni,

2012), stres adalah suatu perasaan ragu terhadap kemampuannya untuk mengatasi sesuatu karena persediaan yang ada tidak dapat memenuhi tuntutan kepadanya. Goldenson (dalam Saam dan Wahyuni, 2012) mengatakan bahwa stres adalah suatu kondisi atau situasi internal atau lingkungan yang membebankan tuntutan penyesuaian terhadap individu yang bersangkutan. Keadaan stres cenderung menimbulkan usaha ekstra dan penyesuaian baru, tetapi dalam waktu yang lama akan melemahkan pertahanan individu dan menyebabkan ketidakpuasan.

Saam dan Wahyuni (2012), mengatakan bahwa stres merupakan reaksi tubuh dan psikis terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan kepada seseorang. Reaksi tubuh terhadap stres misalnya berkeringat dingin, napas sesak, dan jantung bedebar-debar. Reaksi psikis terhadap stres misalnya frustrasi, tegang, marah, dan agresi. Dalam situasi stres terdapat sejumlah perasaan seperti frustrasi, ketegangan, marah, rasa permusuhan, atau agresi. Dengan kata lain, keadaan tersebut berada dalam tekanan (pressure). Dalam kualitas yang cukup berat, stres membuat orang bisa sakit bahkan membunuh kita.

(14)

5

pekerjaannya sehingga ia merasa tidak nyaman dan tidak senang (Saam dan Wahyuni, 2012).

Gejala stres kerja dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: gejala psikologis, gejala fisik, dan perilaku. Gejala psikologis seperti bingung, cemas, tegang, sensitif, mudah marah, bosan, tidak puas, tertekan, memendam perasaan, tidak konsentrasi, dan komunikasi tidak efektif. Gejala fisik seperti meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya ekskresi adrenalin, dan nonadrenalin, gangguan lambung, gangguan pernapasan, gangguan kardiovaskuler, kepala pusing, migrain, berkeringat, dan mudah lelah fisik. Gejala perilaku pada stres kerja antara lain prestasi dan produktivitas kerja menurun, menghindari pekerjaan, bolos kerja, agresif, kehilangan nafsu makan, meningkatnya penggunaan minuman keras, bahkan perilaku sabotase.

(15)

Kondisi tersebut disebut dengan istilah deprivational stress; (4) pekerjaan berisiko tinggi, artinya berbahaya bagi keselamatan seperti pekerja tambang, pekerja pertambangan minyak lepas pantai, pemadam kebakaran, pekerja cleaning service gedung-gedung bertingkat, dan pekerja bangunan bertingkat.

Tidak hanya mereka yang memiliki tugas memulasarakan jenazah, istri dari petugas pemulasaraan jenazah juga membutuhkan adaptasi dari pekerjaan atau profesi yang dimiliki oleh suami mereka. Dikarenakan apabila seorang petugas pemulasaraan jenazah tidak dapat beradaptasi dengan baik akan timbul stres atau hal lain seperti kecemasan, trauma, depresi, dan hal negatif lainnya yang berdampak pada kondisi di dalam keluarga.

Konflik di dalam keluarga dapat terjadi ketika ada ketidaksamaan persepi, padangan, dan pendapat. Bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah ini bukanlah pekerjaan biasa, berpotensi menimbulkan konflik apabila tidak dapat beradaptasi. Oleh karena istri memiliki peran dalam memberikan dukungan kepada suami, maka dibutuhkan adaptasi dari istri dalam keadaan seperti ini. Dukungan sosial diakui sebagai variabel penyangga terhadap efek negatif , Cohen dan Wills (dalam Linley dan Joseph, 2005).

Ada beberapa pengertian tentang adaptasi (mekanisme penyesuaian diri). W.A. Gerungan (dalam Sunaryo, 2004) menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri

adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri)”. Mengubah diri sesuai dengan

(16)

7

masyarakat desa tempat ia bertugas. Sebaliknya, apabila individu berusaha untuk mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri, sifatnya adalah aktif (alloplastis), misalnya seorang bidan desa ingin mengubah perilaku ibu-ibu desa untuk meneteki bayi sesuai dengan manajemen laktasi.

Pengertian lain dikemukakan oleh Soeharto Heerdjan (dalam Sunaryo, 2004), “Penyesuaian diri adalah usaha atau perilaku yang tujuannya mengatasi

kesulitan dan hambatan”. Sedangkan menurut Sunaryo (2004), adaptasi

merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena belajar dari pengalaman untuk mengatasi stres. Cara mengatasi stres dapat berupa membatasi tempat terjadinya stres, mengurangi, atau menetralisasi pengaruhnya. Adaptasi adalah suatu cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas (task oriented).

Tujuan adaptasi, yaitu:

a. Menghadapi tuntutan keadaan secara sadar. b. Menghadapi tuntutan keadaan secara realistik. c. Menghadapi tuntutan keadaan secara objektif. d. Menghadapi tuntutan keadaan secara rasional.

Cara yang ditempuh dapat bersifat terbuka maupun tertutup, yaitu:

(17)

Menurut Sunaryo (2004), ada beberapa jenis adaptasi, antara lain:

a. Adaptasi fisiologik, bisa terjadi secara lokal atau umum. Contoh:

1. Seseorang yang mampu mengatasi stres, tangannya tidak berkeringat dan tidak gemetar, serta wajahnya tidak pucat. 2. Seseorang yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan

yang berat dan merasa mengalami gangguan apa-apa pada organ tubuh.

b. Adaptasi psikologis, bisa terjadi secara:

1. Sadar : Individu mencoba memecahkan/ menyesuaikan diri dengan masalah.

2. Tidak sadar : Menggunakan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism).

3. Menggunakan gejala fisik (konversi) atau psikofisiologik/ psikosomatik.

(18)

9

Dalam konteks penyesuaian kerja, kesiapsiagaan dapat dipromosikan melalui berbagai modalitas, seperti konseling formal, pelatihan, mentoring, workshop, atau kegiatan mandiri. Kesiapan digolongkan menjadi dua jenis umum dari suatu kegiatan: pembaharuan karir rutin dan untuk mempersiapkan dalam mengatasi peristiwa tertentu (Lent, 2013).

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses adaptasi pada petugas pemulasaraan jenazah pada saat menghadapi tantangan dan tuntutan pekerjaan mereka?

2. Bagaimana proses adaptasi istri terhadap profesi yang dimiliki suami mereka sebagai petugas pemulasaraan jenazah?

3. Apa saja dampak dan respon yang ditimbulkan dari pengalaman kerja yang didapatkan bagi istri?

(19)

mahasiwa mengenai adaptasi khususnya pada petugas pemulasaraan jenazah di Kota Salatiga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan, memperkaya pengetahuan, serta mendapat pemahaman yang lebih mendalam mengenai bahasan adaptasi khususnya pada petugas pemulasaraan jenazah di RSUD Kota Salatiga dan di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah untuk melihat proses adaptasi istri dan petugas pemulasaraan jenazah di Rumah di Kota Salatiga.

Partisipan

Subjek dalam penelitian ini adalah satu petugas pemulasaraan jenazah yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga dengan masa kerja empat tahun dan satu petugas pemulasaraan jenazah yang bekerja di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga dengan masa kerja sepuluh tahun beserta masing-masing istri. Jadi jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah empat orang.

Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

(20)

11

Huberman (dalam Herdiansyah, 2015) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, display data, dan kesimpulan/verifikasi.

HASIL

Dimulai dari analisis verbatim, pencarian makna psikologis, hingga dihasilkan sejumlah kategori, peneliti sampai pada sejumlah tema sebagai temuan dari penelitian ini, antara lain : Motivasi awal bekerja, magang dengan senior, mengalami hal mistis, menghadapi jenazah dengan riwayat kecelakaan, menghadapi jenazah dengan penyakit menular, dampak pekerjaan bagi petugas pemulasaraan jenazah, respon awal istri terhadap pekerjaan suami, cara istri mengatasi kecemasan yang timbul dari pekerjaan suami, dan dukungan keluarga.

Motivasi awal bekerja

Awalnya P1 bekerja di rumah sakit sebagai petugas kebersihan, tidak ada niatan untuk bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah. Kemudian ia mendapatkan tawaran dari pihak rumah sakit karena petugas sebelumnya pindah karena suatu hal. Tidak terpikirkan bagi P1 untuk bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah, tetapi karena adanya kebutuhan dan tanggung jawab untuk menghidupi keluarga, P1 memantapkan diri untuk menerima pekerjaan tersebut.

“ dulu nggak langsung masuk sini nggak, dulu saya tugas disini di bagian lain tapi dulu yang tugas sini pindah jadi saya dipindah kesini.. Ditawari mau nggak gitu..”.

(21)

memiliki dorongan dari dalam diri, ada keinginan untuk merawat orang-orang lain semenjak pengalamannya dulu sewaktu memandikan jenazah ibunya.

“ heem, tapi awalnya kan kalo dorongan dari diri sendiri itu karena dulu saya sebelum kerja sini saya sempet merawat ibu saya sendiri pas dia meninggal..”. “ nah, sejak dari itu saya mungkin entah kenapa ee.. ada panggilan, panggilan jiwa.. “Ah, saya juga ingin merawat orang-orang lain juga”, makanya saya masuk sini di bagian pemulasaraan jenazah ini, gitu..”.

Magang dengan senior

Meskipun tidak ada kesiapan dan tidak terpikirkan sebelumnya untuk bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah, P1 mendapatkan pelatihan dari seniornya sebanyak dua kali dan magang ini memberikan kesempatan bagi P1 untuk mempersiapkan diri karena ada pendampingan dari senior sehingga selanjutnya ia mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

“kalau pertama awal tu kan ya belum bisa ya.. tapi kan ada yang ee.. yang petugas sini dulu mbak, kan ngajari.. Ngajari dua kali itu langsung bisa..”.

Sedangkan P3 membutuhkan penyesuaian untuk menghadapi jenazah sebanyak lima kali, awalnya P3 hanya berani melihat seniornya memandikan jenazah, kemudian ia mulai berani memegang jenazah, dan akhirnya ia berani untuk memandikan setelah ia melihat seniornya memandikan lima jenazah dalam kurun waktu yang berbeda

“ heem, kan didampingi tu, cuman ngeliat ee.. satu dua kali, ada lagi, megang.. Tapi belom berani ngerawat, lha terus abis itu baru ngerjain..”.

(22)

13 sampai sekarang tidak pernah terjadi lagi.

“ ya dulu awal-awal itu.. Keranda itu goyang sendiri.. Wah ini mau ada tamu ini (sambil tertawa). Tapi sekarang ya sudah biasa..”

“ itu pertama ya.. awal-awal disini.. yang.. yang.. yang keranda itu “Glodak!” gitu itu awal-awal.. Tapi lha lama-lama nda sampe ya satu taun lebih itu sudah nda pernah lagi..”

Ada juga pengalaman mistis yang dialami P3, yaitu ketika dirinya harus jaga malam di rumah sakit, ada sesuatu yang meniup telinganya ketika ia sedang tidur di IGD, tetapi setelah ia bangun ternyata tidak ada satu orang pun disekitarnya. Meskipun tidak ada ritual khusus yang dilakukan, tetapi dari pengalaman tersebut munculah ritual doa sebelum P3 menjalankan tugasnya agar P3 lebih percaya diri saat bekerja.

“ nggak.. Di IGD sini, di IGD, jadi pas tidur itu kaget ditiup kenceng gitu (sambil tertawa). Pas misalnya pas sholat gitu kerasa di belakang itu kayak ada yang lewat-lewat gitu, muter-muter, tapi ya itu.. nggak bisa ngeliat cuma bisa merasakan, tapi kalo misalnya saya tanya istri saya ya, “Oya itu emang ada” gitu..”

(23)

Menghadapi jenazah dengan riwayat kecelakaan

P1 pernah menangani jenazah yang meninggal karena kecelakaan tetapi hanya satu kali dan jenazah tersebut tidak memiliki kondisi fisik yang parah, hanya sebatas patah tulang.

ee.. pernah ada yang sudah sebagian sudah membusuk, ada yang kecelakaan tulangya patah, tapi kalo yang dari rumah sakit kan ee.. kebanyakan TBC sama HIV, itu masih utuh gitu..”

Jenazah yang ditangani P3 didominasi oleh jenazah dengan kondisi fisik yang ekstrim karena kecelakaan. P3 juga pernah menangani jenazah dengan kondisi tubuh sudah membusuk. Meskipun P3 awalnya merasa ngeri dan harus merasakan ketidaknyamanan misalnya dari bau tidak sedap yang berasal dari jenazah, tetapi karena keharusan yang membuatnya sering berhadapan dengan kondisi seperti itu justru membuatnya terbiasa dan bisa menyesuaikan diri.

“ jenazahnya, heem secara fisik itu dulu ada pernah yang.. apa.. isi perut keluar semua sampe sini kan sobek semua, jadi hampir putus..”

“ itu.. udah agak lama sih.. udah agak lama.. Jadi kepalanya hancur, otaknya keluar gitu, terus perutnya, isi perutnya keluar semua, patah semua gitu, ya hampir putus.”

“ ee.. setahun yang lalu itu ada itu korban gantung diri, di jalan JB itu.. Itu.. keadaannya baru dua minggu diketemukan, jadi keadaanya kan udah item semua, belatunge banyak banget itu, ee.. itu yang, itu yang paling busuk yang pernah saya temui..”.

Menghadapi jenazah dengan penyakit menular

(24)

15

menghadapi jenazah dengan penyakit menular ini ia tidak merasa cemas atau takut karena sejak awal bekerja ia mendapatkan fasilitas keamanan yang lengkap dari rumah sakit, sehingga ia bisa bekerja dengan percaya diri.

“ ya manteb aja pasrah sama yang kuasa aja.. (sambil tertawa) yang penting kita udah pake pelindung diri.. gitu aja.. Karena apa ya, sing kene udah merencana tapi yang kuasa kan punya rencana yang lain, gitu aja..”

P3 menangani jenazah dengan penyakit HIV/AIDS, hepatitis, dan juga TBC. Tetapi ia merasa takut dan cemas ketika menghadapi jenazah dengan penyakit menular karena ia merasa tidak mendapatkan fasilitas keamanan yang memadai dari pihak rumah sakit, meskipun begitu ia tetap memenuhi tugasnya bahkan ketika ada resiko besar yang harus ia hadapi, misalnya ketika ia harus memandikan jenazah dengan penyakit HIV/AIDS ketika terdapat luka gores di tubuhnya. Seiring berjalannya waktu dan karena sering berhadapan dengan jenazah yang memiliki riwayat penyakit menular, P3 sekarang tidak merasa cemas atau khawatir karena selama ini juga tidak pernah terjadi hal yang buruk pada dirinya.

“ kekhawatirannya ya cuman itu, misalnya takut tertular aja, sedangkan kan kalo misalnya orang di kampung kan pemikirannya kan, wah, orang itu kena HIV/AIDS berarti kerjannya kan tau sendiri pasti negatif, sedangkan kita kan emang bersentuhan terus istilahnya kan dengan banyak penyakit kan.. ya gitu..”

(25)

Dampak psikologis pekerjaan bagi petugas pemulasaraan jenazah

Pekerjaan P1 menghadirkan konflik bagi dirinya, khususnya konflik ya ia dapat dari keluarga jenazah. Meskipun mengalami konflik, P1 merasa hal tersebut bukanlah sesuatu yang membuatnya stres. Selain itu, saat pertama kali menghadapi jenazah, P1 merasa takut dan membuatnya terbayang-bayang selepas ia bekerja, tetapi seiring berjalannya waktu, rasa takut dan terbayang-bayang itu hilang dengan sendirinya karena semakin sering ia menghadapi jenazah ia semakin terbiasa.

ya kan kalo sudah selesai mandikan kok ngenteni ambulance sui men.. ya itu “Kono mas, dipanggil cepet ki selak meh mangkat gitu” gitu tok itu. Tapi ndak marah-marah sampe gitu ndak..”.

ya.. maksudnya piye ya, ya kita ya pertama ya rodo prinding-prinding tapi karena sudah kebiasaan sering lihat, sering.. sering melakukan pekerjaan itu ya lama-lama ilang sendiri gitu..”

Meskipun P3 tidak pernah terbayang-bayang ketika berhadapan dengan jenazah yang memiliki kondisi fisik yang ekstrim, tetapi ia takut jika hal yang terjadi pada jenazah tersebut terjadi pada orang terdekatnya atau pada anggota keluarganya sendiri Selain itu ia juga mengalami konflik dengan keluarga jenazah, konflik dengan rekan kerja, dan juga konflik dengan pihak rumah sakit.

“ yang dipikirkan ya.. apa ya.. Ya maksudnya takut aja kalo misalnya ee.. ada keluarga yang meninggalnya kayak gitu, kan ngebayangin juga.. makanya jadi ngerasa takut, kalo takut misalnya sesuatu yang medeni nggak.. nggak ada.. takutnya karena itu, kalo misal yang meninggal keluarga sendiri, itu sih..”

“ heem, iya.. Jadi ada yang nggak terima, ada yang kurang bersih atau misalnya pas kita njahit gitu kan ada yang marah-marah nggak tega gitu lho.. Tapi kan emang harus prosedurnya kayak gitu..”.

(26)

17

udah selesai tapi kembalinya kesana lama.. Jadi kan disana ada pasien banyak, sendiri, yang disini malah enak-enakan udah selesai malah ditinggal istirahat duduk-duduk, lha itu kan jadi masalah juga.. Biasanya kayak gitu..”.

“ jengkel, jengkelnya ya udah tau istilahnya yang penyakit menular, penyakit bahaya, kenapa kok nda dikasih tau, istilahnya apa mereka punya pikiran mau mematikan saya kan itu juga ada pikiran kayak gitu.. Pastinya jengkel.. kan perawatannya beda kalo penyakitnya menular sama yang nggak itu.. jadi kadang jengkel aja, pas kan kadang ada keluarganya juga yang nanya, “Mas, ini sakitnya apa to? Kok perawat nggak bilang”, biasanya kan gitu, tapi kan yang menderita kan kadang biasanya nggak memberitahu keluarganya, tergantung dari pribadi masing-masing, mau dikasih tau atau nggak itu kan nanti tergantung yang menderita.. Tapi kalo perasaannya pas nggak dikasih tau ya jengkel, udah tau penyakit kayak gini kok nggak dikasih tau.. Biasanya pas itu saya telpon atau kalo nggak saya ke ruangannya bilang, tanya sendiri, “Kenapa kok nggak dikasih tau?”, “Oh lupa.. gini, gini, gini..”, gitu..”.

Selain itu, karena terlalu sering melihat orang lain berduka dan berhadapan dengan jenazah, P3 kehilangan rasa iba dan rasa belas kasihan.

“ kalo dampak ee.. ya kalo buat saya sendiri sih.. ya itu, rasa iba sama orang itu yang rasa kasian itu hilang. Misalnya liat orang nangis itu gimana gitu kita nganggepnya itu, “Wah, itu lebay itu”, karena kita saking serinnya ngeliat yang seperti itu.. itu liat orang nangis gitu malah rasanya, “Wah, lebay ini..”

“ iya, rasanya itu hilang, itu beneran emang, saya sendiri pas di kampung lihat ee.. apa.. sodara meninggal, nenek meninggal, om meninggal itu rasanya juga biasa, rasa sedih itu hilang, karena ya itu, saking seringnya kita ngeliat jenazah itu jadi rasa kayak gitu itu hilang.. Tapi saya nggak tau kalo yang lain ngerasakan apa yang saya rasakan atau nggak saya nggak tau.. Kalo saya sendiri emang seperti itu yang saya rasakan.”

Respon awal istri terhadap pekerjaan suami

(27)

ya pas pertama itu dulu pas pertama suami saya ditugaskan di kamar jenazah itu ya sempat kaget.. Kan abis bersih-bersih halaman to.. Itu terus dipindah ke kamar jenazah, terus suami saya pulang kerja bilang, ee.. “Saya dipindah ke kamar jenazah untuk pemulasaraan jenazah” gitu to.. Terus ya saya kaget terus ya..”

Berbeda dengan partisipan kedua, P4 tidak merasa terkejut ketika mengetahui suaminya bekerja menjadi petugas pemulasaraan jenazah karena sejak awal ia sudah mengetahui jika suaminya ingin melamar bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah.

nggak ada, soale kan dari awal kita udah tau nanti kerjanya ditempatkan disini, kerjaannya gini, gini, gini, jadinya kita udah tau.. gitu aja..”

Cara istri mengatasi kecemasan yang timbul dari pekerjaan suami

Ketika P2 merasa cemas ketika suaminya harus menangani jenazah dengan penyakit menular, P2 mengatasi kekhawatiran dan ketakutannya dengan mengingatkan suami mengenai keselamatan dan juga berdoa agar dirinya merasa lebih tenang dan percaya diri.

“ ya cara ngatasinya ya kita berdoa saja.. Biar nanti njalaninnya biar tenang, biar semangat, gitu aja..”

(28)

19

selain itu P4 juga memiliki kemampuan supranatural yang membuatnya bisa lebih cepat terbiasa karena ia juga melihat hal-hal yang menurutnya mirip dengan kondisi jenazah tersebut. Hal lain yang dilakukan P4 ketika ia merasa takut mendapatkan cerita dari suaminya adalah dengan menolak mendapatkan cerita yang detail dari suaminya mengenai jenazah yang tadi dimandikan.

“ terus ya lakukan hal positif aja.. main sama suami, itu kan nanti lupa sendiri..” “ iya.. tapi kadang kan suami kalo mau cerita kecelakaan itu saya udah bilang, “Jangan cerita kondisinya”, udah gitu aja.. jadi cuma bilang, “Kecelakaan”, gitu aja.. (sambil tertawa), jadi terus nggak diceritain kondisinya seperti ini itu nggak cerita..”

Dukungan Keluarga

Suami P2 memiliki jam kerja yang tidak menentu, terkadang suami P2 harus berangkat memenuhi panggilan pihak rumah sakit untuk memandikan jenazah di tengah malam, P2 bisa memaklumi dan memahami profesi suami dengan baik sehingga ia tidak merasa keberatan dan bahkan memberikan dukungan dengan ikut menemani suaminya pergi ke rumah sakit. Tidak hanya P2 saja yang memberikan dukungan, anak dari P2 juga memberikan dukungan bagi ayahnya. P2 juga selalu memberikan semangat ketika suaminya mendapatkan panggilan mendadak dari rumah sakit. P2 juga tidak pernah memberikan tuntutan atau mengeluh kepada suaminya.

“Di telpon, itu ya saya suruh berangkat, saya dukung, ya kalo berangkat ya gitu biar disananya itu tenang gitu lho.. Malem-malem biar di jalannya juga tenang, dalam perjalanan untuk kesana, nanti pulangnya tenang lagi gitu kan dah nggak kepikiran yang di rumah gitu lho..”

(29)

Berbeda dengan P2, meskipun P4 bisa menerima pekerjaan suaminya sebagai petugas pemulasaraan jenazah, tetapi ia tidak memberikan dukungan khusus kepada suaminya. P4 justru berharap jika suaminya bisa berkuliah lagi agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

“Jadinya saya pengennya ya kalo pengen pindah bagian nanti kuliah dulu, itu nanti bisa naik jabatan, gitu..”

PEMBAHASAN

Kebutuhan ekonomi sehari-hari dan tanggung jawab untuk menghidupi keluarga rupanya menjadi salah satu faktor yang menjadi alasan seseorang bekerja diluar bidang minatnya bahkan ketika resiko tinggi harus mereka hadapi. Dalam penelitian ini kedua partisipan tidak memiliki niatan awal untuk bekerja sebagai petugas pemulasaraan. Awalnya pastisipan pertama bekerja sebagai petugas kebersihan tetapi mendapatkan tawaran dari rumah sakit untuk menjadi petugas pemulasaraan jenazah karena petugas sebelumnya pindah dan tidak ada orang yang mau mengisi bagian tersebut, sedangkan partisipan kedua bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah berawal dari coba-coba, meskipun ada dorongan dari dalam diri untuk merawat orang-orang lain setelah dulu ia pernah memandikan jenazah ibunya.

(30)

21

jenazah yang dapat mengancam keselamatan mereka. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Flynn, McCarroll, dan Biggs (2015), baik pekerja yang berpengalaman maupun yang tidak berpengalaman mengakui bahwa mereka merasakan beberapa tingkat stres sebelum menangani jenazah secara langsung. Adanya magang di awal masa kerja mereka sangat membantu proses adaptasi ketika mereka harus menghadapi masa-masa sulit ketika bekerja berhadapan dengan kematian. Program magang dan pelatihan dapat dilakukan melalui kontrak, penggabungan antara kerja dan pelatihan, dan dapat dilakukan secara penuh atau paruh waktu, serta menjadi bagian dari pendidikan sekolah menengah yang mana disebut sebagai pelatihan berbasis sekolah, dan dilakukan pada atau di luar pekerjaan, atau melalui kombinasi, NCVER (dalam Cocks, Thoresen, dan Lee, 2015). Setelah mendapatkan pelatihan atau magang, kedua partisipan dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik ketika mereka harus melakukan beberapa prosedur merawat jenazah, misalnya ketika mereka harus menjahit dan menyusun kembali tubuh jenazah yang rusak atau terpisah-pisah dan saat harus menangani jenazah dengan penyakit menular ada prosedur tersendiri yang harus dipelajari dan dilakukan agar tidak membahayakan partisipan maupun keluarga jenazah.

(31)

menyesuaikan diri serta mampu menghadapi situasi dimana mereka harus menangani jenazah bahkan dengan kondisi tubuh jenazah yang ekstrim.

Tidak hanya pengalaman berhadapan dengan jenazah, pengalaman mistis juga dialami oleh kedua partisipan ketika mereka bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah. Menurut DeHoff (2014), ada banyak cara agar orang mengalami iman dan pengalaman mistis menjadi yang paling mendalam. Kematian di dalam pola pikir budaya Jawa seringkali dikaitkan dengan hal-hal mistis. Meskipun tidak ada dampak khusus bagi mereka setelah mengalami hal mistis, tetapi pengalaman tersebut memunculkan ritual doa yang mereka lakukan ketika akan bekerja memandikan jenazah dengan harapan diberikan kelancaran dan kemantapan saat bekerja menghadapi segala resiko yang mungkin terjadi. Doa adalah bagian integral dari kebanyakan agama besar dunia dan dapat menjadi dimensi penting dalam mengatasi rasa sakit dan penderitaan (Bänzinger, Van Uden, dan Janssen, 2008). Exline, Smyth, Gregory, Hockemeyer, dan Tulloch (2005) menemukan bahwa terlibat aktif dalam doa mungkin merupakan cara yang sangat membantu untuk menegosiasikan masalah kesehatan mental atau memproses paparan trauma potensial.

(32)

23

orang lain berduka, dan menangani jenazah dengan kondisi fisik yang ekstrim, ia kehilangan rasa belas kasihan. Partisipan ketiga juga mengalami trauma sekunder, ia merasa takut jika hal yang terjadi pada jenazah yang ia tangani juga terjadi pada anggota keluarganya sendiri maupun orang terdekatnya, meskipun ia tidak secara langsung mengalami hal tersebut. Trauma sekunder ini juga dialami oleh istri partisipan ketiga karena istri partisipan ketiga sering mendapatkan cerita-cerita dan juga foto jenazah yang ditangani suaminya.

Sklarew, Handel, dan Ley (2012) menyatakan bahwa trauma sekunder dialami beberapa anggota staf yang melaporkan mengalami mimpi buruk pada keadaan kematian paralel; hypervigilance; gangguan tidur; dan perasaan mati rasa, marah, takut dan kesedihan. Hal serupa dialami oleh istri partisipan ketiga, setelah melihat foto-foto jenazah yang dimandikan suaminya, ia merasa takut, kemudian mengalami sulit tidur dan menjadi lebih waspada ketika ia bepergian keluar rumah menggunakan kendaraan bermotor.

(33)
(34)

25

KESIMPULAN

Kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga menjadi salah satu faktor pendorong bagi partisipan untuk mau tidak mau berani menghadapi tantangan dan resiko pekerjaan yang harus dihadapi ketika mereka harus bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah.

Adanya magang pada awal masa kerja dapat membantu partisipan untuk mempersiapkan diri dan membantu mereka dalam proses adaptasi ketika bekerja menghadapi jenazah dengan kondisi yang bervariasi.

Dukungan dari keluarga khususnya dari istri atau anak dapat membantu partisipan dalam menghadapi saat-saat sulit ketika mereka harus mengalami berbagai pengalaman yang tidak biasa ketika harus berhadapan dengan kematian.

SARAN

Dalam penyusunan tugas akhir ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan penelitian. Kecilnya jumlah partisipan dan lokasi penelitian yang kurang luas memungkinkan kurangnya temuan-temuan yang dihasilkan. Untuk penelitian selanjutnya, agar bisa mendapatkan temuan yang lebih kaya, peneliti selanjutnya bisa menambahkan jumlah partisipan dan juga mengumpulkan data dari berbagai tempat, tidak hanya dari satu kota saja.

(35)

Pihak rumah sakit bisa membuat program sebagai sarana untuk menyalurkan dukungan sosial bagi karyawan dan juga keluarga dari karyawan terkait dengan resiko bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah.

(36)

27

DAFTAR PUSTAKA

Bänzinger, S., Uden, M.V., & Janssen, J. (2008). Praying and coping: The relation between varieties of praying and religious coping styles. Mental Health, Religion & Culture, 11(1), 101-118.

Chapman, R. (2003). Death, society and archaeology: the social dimensions of mortuary practices. Mortality, 8, 305-312.

Cocks, E., Thoresen, S.H., & Lee, E.A.L. (2015). Pathways to employment and quality of life for apprenticeship and traineeship graduates with disabilities. International Journal of Disability, Development and Education,62, 422-437.

DeHoff, S. L. (2014). Distinguishing mystical religious experience and psychotic experience: A qualitative study interviewing presbyterian church (U.S.A) professionals. Pastoral Psychol, 64, 21-39.

Exline, J. J., Smyth, J. M., Gregory, J., Hockemeyer, J., & Tulloch, H. (2005). Religious framing by individuals with PTSD when writing about traumatic experiences. The International Journal for The Psychology of Religion, 15(1), 17-33.

Flynn, B. W., McCarroll, J. E., & Biggs, Q. M. (2015). Stress and resilience in military mortuary workers: Care of the dead from battlefield to home. Dead Studies, 39, 92-98.

Herdiansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Indriastuti, R. (2014). Penyesuaian diri pada pekerja pemulasaraan jenazah rumah sakit umum daerah di Salatiga. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

Lent, R. W. (2013). Career-life preparedness: Revisiting career planning and adjustment in the new workplace. The Career Development Quarterly, 61, 2-12.

Linley, P. A. & Joseph, S. (2005). Positive and negative changes following occupational death exposure. Journal of Traumatic Stress, 18, 751-758. Saam, Z., & Wahyuni, S. (2012). Psikologi keperawatan. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Sklarew, B.H., Handel, S., & Ley S. (2012). The analyst at the morgue: Helping families deal with traumatic bereavement. Psychoanalytic Inquiry, 32, 147-157.

(37)

Tan, Y. & Shen, X. (2016). Socialization content and adjustment outcome: A longitudinal study of chinese employees beginning their career. Social Behavior and Personality, 44, 161-176.

Ward, C. I., Flisher, A. J., & Kepe, L. (2006). A pilot study of an intervention to prevent negative mental health consequences of forensic mortuary work. Journal of Traumatic Stress, 19, 159-163.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu perangkat lunak ( software ) yang akan digunakan untuk membuat animasi pada penelitian ini adalah macromedia flash 8. Animasi yang pernah dibuat antara lain

Penelitian lain yang pernah dilakukan berjudul “ Implementasi Penyembunyian Pesan pada Citra GIF dengan Menggunakan Algoritma GifShuffle dengan Menggunakan Enkripsi Pesan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri dengan segala aspek yang terkandung didalamnya memang memberikan kontribusi terhadap resiliensi remaja meskipun

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada januari 2014 sampai pada penulisan penelitian ini dilakukan kepada sebagian para mahasiswa yang kuliah di UKSW pernah

promosi lewat media sosial, masih sangat minim dan kurang efektif karena menurut wawancara dengan pengunjung perpustakaan, ada yang mengatakan belum pernah melihat

Kesehatan fisik (physical health) yang dimiliki kedua partisipan tidak jauh berbeda dari individu lain dengan kondisi fisik normal.. Meskipun tidak dapat

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan terkait pemanfaatan fungsi- fungsi khusus dalam merancang dan memodifikasi suatu teknik kriptografi, maka akan dilakukan

Apakah saudara-saudara mengaku bahwa berdasarkan kasih Allah yang tidak berhingga, sudahlah Ia mengaruniakan kita anak-Nya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus yang dengan